KONSEP DASAR aplikasi gadai RAHN (1)

KONSEP DASAR RAHN
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Fiqih Kontemporer Perbankan
Dosen Pengampu

: Imam Mustofa, S.H.I., M.SI.

Disusun Oleh:
Ema Sartika
Kelas

141261810
D

JURUSAN S1 PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
METRO
2017

A. PENDAHULUAN

Perbankan merupakan salah satu bagian dari aktivitas ekonomi
yang terpenting dan sebagai suatu sistem yang dibutuhkan dalam suatu
Negara modern, tak luput juga Negara Indonesia yang mayoritas muslim.
Hampir semua perjanjian ekonomi termasuk perbankan dikaitkan dengan
dengan bunga. Banyak Negara, termasuk Indonesia dapat mencapai
kemakmurannya dengan sistem bunga.
Pada Bank Konvensional pembiayaan gadai emas merupakan hal
yang lumrah untuk memberikan pinjaman kredit bagi para nasabahnya.
Bahkan beberapa Bank Konvensional dapat meningkatkan pendapatannya
dengan mengeluarkan gadai emas tersebut karena pembiayaan gadai emas
merupakan suatu produk yang dapat memberikan nilai jual yang cukup
tinggi bagi bank tersebut. Akan tetapi dalam bank yang berbasis syariah
hal tersebut berbeda dari bank konvensional yang melakukan proses
transaksi

dengan

sistem

riba’(pengambilan


keuntungan

dengan

mengenakan bunga).
Bank syari’ah dalam usahanya memberikan pembiayaan dan jasa
lainnya selalu berlandaskan pada prinsip syariah, antara lain dengan tidak
menggunakan sistem bunga untuk aktivitas perbankannya karena bunga
merupakan jenis riba’ yang diharamkan dalam Islam.
Pembiayaan gadai syariah atau Rahn dalam pengoperasiannya
menggunakan metode Fee Based Income (FBI), tetapi adapula yang
menggunakan mudharabah (bagi hasil). Pembiayaan gadai syariah
membutuhkan kerangka

akuntansi

yang

menyeluruh yang


dapat

menghasilkan pengukuran akuntansi yang tepat dan sesuai sehingga dapat
mengkomunikasikan informasi akuntansi secara tepat waktu dengan
kualitas yang dapat diandalkan serta mengurangi adanya perbedaan
perlakuan akuntansi antara bank syariah yang satu dengan yang lainnya.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
No.26/DSN-MUI/III/2002 dengan akad ijarah (PSAK 107) merupakan
panduan dalam pengakuan, pengukuran penyajian, dan pengungkapan

yang berhubungan dengan pembiayaan gadai syariah. PSAKini berlaku
sejak 1 Januari 2008. Penerapan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia No.26/DSN-MUI/III/2002 dengan akad pendamping dari
gadai syariah yaitu akad ijarah (PSAK 107) untuk pembiayaan dengan
gadai syariah akan memberikan konstribusi terhadap pencapaian target
pertumbuhan perbankan syariah karena peraturan (JAAKFE, Desember
2013) dapat menambah kepercayaan masyarakat dalam memanfaatkan
produk pembiayaan gadai syariah. 1


1

Ira Ikasa Putri, “Analisis Perlakuan Akuntansi Pembiayaan Gadai Syariah (Rahn) Pada

PT. Bank Syariah Mandiri, Tbk. Cabang Pontianak “,Jurnal Audit dan Akuntansi Fakultas
Ekonomi Universitas Tanjungpura Vol. 2, No. 2, Desember 2013, (1-20), h. 2-3.

B. KONSEP DASAR RAHN
1. Definisi Rahn
Menurut bahasa (etimologi), gadai (al-rahn) berarti al-tsubut dan
al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Adapula yang menjelaskan
bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat.2
Sedangkan menurut istilah (terminologi), gadai adalah penahanan
terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai
pembayaran dari barang tersebut.3
Beberapa ulama mendefinisikan rahn sebagai harta yang oleh
pemiliknya digunakan sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.
Rahn juga diartikan sebagai jaminan terhadap utang yang mungkin
dijadikan sebagai pembayaran kepada pemberi utang baik seluruhnya
atau sebagian apabila pihak yang berutang tidak mampu melunasinya. 4

Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa gadai
syariah merupakan aktivitas pinjam meminjan dengan menyerahkan
barang jaminan yang memiliki nilai ekonomis dimana barang jaminan
tersebut dapat digunakan untuk melunasi pinjaman apabila peminjam
tidak dapat membayarnya5
Produk rahn dalam bank dapat dipakai sebagai produk pelengkap
sebagai jaminan dalam pembiayaan, ataupun sebagai produk tersendiri
atau yang biasa dikenal dengan gadai.
Abu Hurairah ra berkata bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “
Barang yang digadaikan itu tidak boleh ditutup dari pemilik yang
2

Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), h. 105.

3

Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), h. 159.

4


Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 209.

5

Galis Kurnia Afdhila, “Analisis Implementasi Pembiayaan Ar-Rahn (Gadai Syariah)

Pada Kantor Pegadaian Syariah Cabang Landungsari Malang”, (1-14), h. 4.

menggadaikannya.

Baginya

adalah

keuntungan

dan

tanggung


jawabnyalah bila ada kerugian (atau biaya)”. (H.R Syafi’idan
Daruqutni)6
Pemeliharaan dan penyimpanan barang gadaian pada hakekatnya
adalah kewajiban pihak yang menggadaikan ( rahun), namun dapat
juga dilakukan oleh pihak yang menerima barang gadai (murtahn) dan
biayanya harus ditanggung rahin. Besarnya biaya ini tidak boleh
ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
Apabila barang gadaian dapat diambil manfaatnya, misalnya mobil
maka pihak yang menerima barang gadai boleh memanfaatkannya atas
seizin pihak yang menggadaikan sebaliknya ia berkewajiban
memelihara barang gadaian. Untuk barang gadaian berupa emas tentu
tidak ada biaya pemeliharaan, yang ada adalah biaya penyimpanan.
Penentuan besarnya biaya penyimpanan dilakukan dengan akad ijarah.
Dalam rahn, barang gadaian tidak otomatis menjadi milik pihak
yang menerima gadai (pihak yang memberi pinjaman) sebagai
pengganti piutangnya. Dengan kata lain fungsi rahn ditangan mutahin
(pemberi utang) hanya berfungsi sebagai jaminan utang dari rahin
(orang yang berutang). Namun, barang gadaian tetap milik orang ang
berutang.7


6

Nur Rianto Al Arif, Dasar-Dasar Pemasaran Bank Syariah, (Bandung: Alfabeta, 2012),

7

Sri Nurhayati, Akutansi Syariah di Indonesia Edisi 4 , (Salemba Empat), h. 269.

h.55.

2. Dasar Hukum Rahn
a. Al- Qur’an:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tunai),
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah
ada barang tanggungan yang dipegang oleh yang berpiutang.” (QS.
Al-Baqarah 2:283)
b. As-Sunnah:
“Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah membeli makanan dengan
berutang dari seorang Yahudi dan Nabi menjaminkan sebuah baju
besi kepadanya”. (H.R. Bukhari, Nasa’i dan Ibnu Majah)

“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan
menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat
diperah susunya dengan menanggung biayanya. Orang yang
menggunakan kendaraan dan memerah susu tersebut wajib
menanggung biaya perawatan dan pemeliharaan.” (H.R.Jamaah
kecuali muslim dan An-nisa’i)8
3. Rukun dan Syarat Rahn
a. Rukun Rahn
1) Rahin, orang yang menggadaikan jaminan atau orang yang
menggadaikan
2) Murtahin, yaitu orang yang menerima jaminan
3) Marhun, yaitu barang yang dijadikan jaminan
4) Marhun bih, yaitu uang yang dijadikan sebagai utang
5) Sighat, yaitu akad ijab kabul dari rahin dan murtahin. 9
b. Syarat Rahn
1) Pelaku: Dari keduanya orang yang menggadaikan dan orang
yang menerima gadai yakni orang baligh, sehat akal, bukan
safih dan tidak terpaksa.
8


9

Ibid., h. 271.

Afif muhammad, Fikih (edisi 3) , PT Grafindo Media Pratama, 2006, h. 56.

2) Barang yang digadaikan harus:
a) Berupa barang yang sesuai dengan syarat
b) Tidak boleh rusak sebelum masa jatuh tempo utang
c) Tidak boleh digadaikan lagi untuk utang yang lain
d) Murtahin hanya berhak menyimpan, tidak memanfaatkan
atau memiliki
e) Jika utangnya sudah jatuh tempo, maka murtahin boleh
menjualnya dengan didampingi rahin untuk membayar
utangnya.
f) Murtahin wajib mengganti kerusakan jika ia ceroboh dalam
menyimpannya.
3) Utang. Syaratnya:
a) Berupa tanggungan utang. Jika bukan utang, seperti barang
curian, pinjaaman, titipan, modal mudharabah dan lainnya

b) Utang yang sudah jadi tidak dapat dibatalkan lagi
c) Maklum jumlahnya bagi kedua pihak
4) Shigat. Syaratnya:
a) Seperti syarat dalam jual beli
b) Tidak mencantumkan syarat yang merugikan salah satu
pihak seperti:
(1) Marhun boleh mengambil keuntungan dari barang gadai
(2) Rahin mensyaratkan tidak boleh dijual saat utang jatuh
tempo.10
Menurut ulama Hanafiah, syarat barang yang digadaikan harus
barang yang berharga jelas, dapat diserahterikakan, dapat disimpan
tahan lama, terpisah dari barang lainnya baik benda bergerak maupun
tidak. Secara lebih rinci syarat-syarat ini dapat dijelaskan sebagai
berikut:
10

Andi Ali Akbar, Prinsip-Prinsip Dasar Transaksi Syariah, ( Blogagung, Karangdoro,

Tegalsari, Banyuwangi, (Jawa Timur: Yayasan PP Darussalam, 2014), h. 59-60.

1. Barang yang digadaikan harus dapat diperjualbelikan, harus pada
waktu akad dan dapat diserahterimakan
2. Barang yang digadaikan harus berupa harta (kekayaan) yang
bernilai
3. Barang yang digadaikan harus halal dan digunakan atau
dimanfaatkan, sekiranya barang tersebut dapat untuk melunasi
utang
4. Barang harus jelas, sfesifikasinya, ukuran, jenis jumlah, kualitas
dan seterusnya
5. Barang harus milik pihak yang menggadaikan secara sempurna
6. Barang yang digadaikan harus menyatu, tidak terpisah-pisah
7. Barang harus tidak ditempeli sesuatu yang tidak ikut digadaikan
8. Barang yang digadaikan harus utuh, tidak sah menggadaikan mobil
hanya seperepat atau separuh
Rahn dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat
sebagaimana dijelaskan di atas. Apabila salah satu rukun atau syarat
tidak terpenuhi, maka rahn tidak sah. 11

11

Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2016), h.197-198.

C. Kesimpulan
gadai syariah merupakan aktivitas pinjam meminjan dengan
menyerahkan barang jaminan yang memiliki nilai ekonomis dimana
barang jaminan tersebut dapat digunakan untuk melunasi pinjaman apabila
peminjam tidak dapat membayarnya 12
Produk rahn dalam bank dapat dipakai sebagai produk pelengkap
sebagai jaminan dalam pembiayaan, ataupun sebagai produk tersendiri
atau yang biasa dikenal dengan gadai.
Dasar Hukum Rahn terdiri Al- Qur’an Surat Al-Baqarah 2:283 dan
As-Sunnah, H.R. Bukhari, Nasa’i dan Ibnu Majah dan H.R.Jamaah kecuali
muslim dan An-nisa’i.
Adapun Rukun Rahn adalah:
1. Rahin, orang yang menggadaikan jaminan atau orang yang
menggadaikan
2. Murtahin, yaitu orang yang menerima jaminan
3. Marhun, yaitu barang yang dijadikan jaminan
4. Marhun bih, yaitu uang yang dijadikan sebagai utang
5. Sighat, yaitu akad ijab kabul dari rahin dan murtahin
Menurut ulama Hanafiah, syarat barang yang digadaikan harus
barang yang berharga jelas, dapat diserahterikakan, dapat disimpan tahan
lama, terpisah dari barang lainnya baik benda bergerak maupun tidak.
Secara lebih rinci syarat-syarat ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Barang yang digadaikan harus dapat diperjualbelikan, harus pada
waktu akad dan dapat diserahterimakan
2. Barang yang digadaikan harus berupa harta (kekayaan) yang bernilai
3. Barang yang digadaikan harus halal dan digunakan atau dimanfaatkan,
sekiranya barang tersebut dapat untuk melunasi utang
12

Galis Kurnia Afdhila, “Analisis Implementasi Pembiayaan Ar-Rahn (Gadai Syariah)

Pada Kantor Pegadaian Syariah Cabang Landungsari Malang”, (1-14), h. 4.

4. Barang harus jelas, sfesifikasinya, ukuran, jenis jumlah, kualitas dan
seterusnya
5. Barang harus milik pihak yang menggadaikan secara sempurna
6. Barang yang digadaikan harus menyatu, tidak terpisah-pisah
7. Barang harus tidak ditempeli sesuatu yang tidak ikut digadaikan
8. Barang yang digadaikan harus utuh, tidak sah menggadaikan mobil
hanya seperepat atau separuh.

DAFTAR PUSTAKA
Afif muhammad. Fikih (edisi 3). PT Grafindo Media Pratama.2006.
Andi

Ali Akbar,.Prinsip-Prinsip Dasar Transaksi Syariah, Blogagung,
Karangdoro, Tegalsari, Banyuwangi. Jawa Timur: Yayasan PP
Darussalam. 2014.

Galis Kurnia Afdhila. “Analisis Implementasi Pembiayaan Ar-Rahn (Gadai
Syariah) Pada Kantor Pegadaian Syariah Cabang Landungsari Malang”.
Hendi Suhendi. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2002.
Imam Mustofa. Fiqih Mu’amalah Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.2016.
Ira Ikasa Putri. “Analisis Perlakuan Akuntansi Pembiayaan Gadai Syariah (Rahn)
Pada PT. Bank Syariah Mandiri. Tbk. Cabang Pontianak “, Jurnal Audit
dan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Tanjungpura Vol. 2. No. 2.
Desember 2013.
Ismail, Perbankan Syariah. Jakarta. Kencana. 2011.
Nur Rianto Al Arif, Dasar-Dasar Pemasaran Bank Syariah. Bandung. Alfabeta,
2012.
Rachmat Syafe’i. Fiqih Muamalah. Bandung: CV Pustaka Setia, 2001.
Sri Nurhayati. Akutansi Syariah di Indonesia Edisi 4. Salemba Empat.