Filsafat Ilmu dan Penelitian

  FILSAFAT ILMU & PENELITIA

  

   POLITEKNIK KESEHATAN DEPKES RI JURUSAN GIZI

  1

  

YOGYAKARTA, 2008

  MATA KULIAH: Metodologi Penelitian Gizi dan Kesehatan GBMK:

  Filsafat Ilmu dan Penelitian

  POKOK BAHASAN:

  1. Filsafat ilmu, pengertian, sejarah, kegunaan, penerapan dalam keilmuan gizi-

  kesehatan

  

2. Filsafat penelitian, filosofi-filosofi dasar penelitian, pentingnya suatu penelitian

  3. Evidance based research, pengertian, manfaat/tujuan, langkah-langkah, cara

  pengelolaan

  

Apakah filsafat itu ?

  Marilah sebelumnya kita memasuki suatu refleksi tentang berfilsafat. Menurut

3 Jujun S.Suriasumantri , berfilsafat berarti berendah hati, dan mengoreksi diri. Bila

  pengetahuan dimulai dari rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu, dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya, yakni rasa ingin tahu dan rasa ragu-ragu. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita ketahui dan apa yang belum kita ketahui. Berendah hati dimaksudkan bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tidak terbatas ini. Mengoreksi diri dikandung maksud, adanya keberanian untuk berterus terang, yakni tentang seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah kita jangkau.

  Bukankah yang sering terjadi justeru sebaliknya ? Secara jujur harus kita akui apa 3 yang dialami bangsa Indonesia, di tengah-tengah keterpurukan ekonomi dan kualitas kehidupan penduduk yang namanya manusia, ciptaan-Nya yang paling sempurna, manusia telah kehilangan kesempurnaan dan kemuliaannya. Kerusakan hutan, kemerosotan lingkungan alam yang dahsyat, menyebabkan bencana banjir, tanah longsor, udara semakin panas, polusi udara dan berbagai jenis penyakit menular (misalnya Flu Burung, Demam Berdarah, ISPA, Diare, dll) dan penyakit tidak menular (Diabetes Mellitus, penyakit Jantung, Hipertensi, kelainan Jiwa dll), tidak kunjung berhenti mendera masyarakat, nahkan secara kuantitas dan kualitas cenderung meningkat intensitasnya. Bukankah hal ini karena kerendahan hati yang semakin menjauh, apalagi keinginan mengoreksi diri yang semakin langka bagi mereka yang menyandang sebutan manusia?. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang kian terbungkus rapi dan saling ‘tahu sama tahu’ antar pelakunya. Kekayaan negara yang seharusnya bagi kesejahteraan rakyat justeru dinikmati sebagian kecil orang yang memiliki ‘kekuasaan’ untuk melakukan KKN-nya. Mereka yang mewakili rakyat justeru menelantarkan rakyat yang diwakilinya. Bukankah seharusnya rakyat yang lebih sejahtera dibandingkan wakilnya ?. Mengapa yang terjadi sebaliknya ?.

  Demikian pula halnya, mengapa masalah gizi juga tidak kunjung dapat dieliminasi ?. Masalah kekurangan gizi masih ada dan semakin tinggi intensitasnya, seiring dengan masalah kelebihan gizi semakin menjadi-jadi dan berefek ganda terhadap kejadian penyakit yang berkaitan dengan kelebihan gizi. Bahkan tidak jarang terjadi dalam menghadapi permasalahan gizi yang ada justeru yang muncul hanya sekedar polemik yang saling ‘menuding’ sembari ‘mencuci tangan’. Penulis pernah mempertanyakan seputar

  

  kejadian gizi buruk atau busung lapar di negeri i Maksud penulis adalah agar tidak terjadi mispersepsi di kalangan masyarakat khususnya ilmuwan dan akademisi. Misalnya pernyataan: “Daerah itu kan lumbung padi, masak ada busung lapar !?”. Bukankah pernyataan tersebut dapat menimbulkan salah persepsi bagi masyarakat, karena pemahaman yang keliru terhadap makna dari pernyataan tersebut ?. Secara akal sehat atau 4 common sense, berikut beberapa makna yang mungkin ditangkap:

  (1) Lumbung padi dapat saja diartikan sebagai lumbungnya saja tanpa isi berupa padi; (2) Bilapun ada padinya, namun belum berupa beras yang siap dimasak dan dimakan; (3) Bilapun sudah berupa beras, belum tentu diterima keluarga yang membutuhkan, misalnya tidak mampu membeli; (4) Bilapun diperuntukkan bagi mereka yang tidak mampu, lumbung padi tidak luput dari

  tikus-tikus yang setiap saat menggerogoti dan memakan habis padi tersebut;

  (5) Adanya lumbung padi otomatis dapat menanggulangi busung lapar. Pernyataan tersebut bermakna terlalu sempit dan terkesan lari dari rasa tanggungjawab, dan belum

  menyadari segala kelemahan dalam membangun sumberdaya manusia melalui

  kesejahteraan rakyat; (6) Antara lumbung padi dan busung lapar tidak saling berkaitan secara langsung. Artinya adanya lumbung padi tidak otomatis membasmi busung lapar di negeri ini.

  Pernyataan pejabat terkesan hanya sebatas komoditas politik, mengabaikan tanggungjawab yang diemban sebagai seorang pemimpin.

  Bila dalam keadaan setengah sadar atau antara sadar dan tidak sadar, seakan-akan masalah gizi yang diderita manusia dari usia bayi hingga usia lanjut bukanlah hal yang perlu dipersoalkan, bukankah hal ini menjadi bukti semakin hilangnya kepekaan kemanusiaan kita ?. Lebih baik kiranya mengingat sebuah kata-kata bijak:

  Belajar dari kesalahan. Semudah itukah mengetahui dan mengakui kesalahan dalam kehidupan ini ?

  

Kerendahan hati dan mengoreksi diri sangat mendasari kemauan manusia untuk belajar

  dari kesalahan yang dibuatnya. Keledai sekalipun tidak akan terperosok ke lubang yang

  

sama untuk kedua kalinya. Kita mengetahui bahwa ilmu gizi merupakan ilmu yang

  mempelajari hubungan antara makanan dan kesehatan. Bagaimana memperoleh bahan pangan yang di dalamnya terkandung zat gizi bagi kebutuhan tubuh dan kesehatan jasmani setiap orang. Sudahkah kemaslahatan/kesejahteraan manusia melalui gizi terpenuhi ?. Bila belum, siapa yang mengalaminya dan mengapa mereka belum bernasib baik ?. Bukankah ilmu gizi itu suatu hal yang indah dan menyejukkan hati karena bermotif untuk menyehatkan manusia ?. Diperlukan suatu refleksi diri, dan mempertanyakan segala hal tentang ilmu gizi, khususnya bagi mereka yang menjadi calon Sarjana bidang gizi dan kesehatan. Bilamana menjadi Sarjana Gizi dan Kesehatan, maka refleksi ini akan mewujud menjadi tindakan positif dalam upaya menanggulangi permasalahan gizi dan kesehatan masyarakat..

  Proses pendidikan umumnya dan proses pendidikan gizi dan kesehatan khususnya hanya sibuk mendidik mahasiswa/peserta didik bagaimana cara berbuat (know now) dalam mengatasi permasalahan gizi dan kesehatan. Namun mengapa berbuat demikiam (know

  

why) sangat jarang dipertanyakan, baik bagi penyelenggara pendidikan, maupun

  mahasiswa/peserta didik. Jawaban atas pertanyaan ini juga akan terus mengiringi seorang tenaga profesional gizi dan kesehatan, mengapa berbuat / bekerja untuk meningkatkan derajat gizi dan kesehatan rakyat. Dalam kondisi saat ini (secara jujur tentunya), bukankah sebagian besar akan menjawabnya demi uang, harta dan kekayaan ?. Ada uang pelayanan kesehatan akan dilakukan, bila klien/pasien miskin mau diapakan ?. Berfilsafat tentang ilmu, berarti kita berterus terang terhadap diri sendiri: ♪ Mengapa saya kuliah di program D3/D4/S1/S2/S3 Gizi ? ♪ Apa yang sebenarnya saya ketahui tentang ilmu ? ♪ Apakah ciri-ciri hakiki yang membedakan antara ilmu dengan yang bukan ilmu ? ♪ Bagaimana saya ketahui bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang benar ? ♪ Kriteria apa yang dipakai dalam menentukan kebenaran ilmiah ? ♪ Mengapa kita harus mempelajari ilmu ? ♪ Apakah kegunaan yang sebenarnya ?

  Demikianlah berfilsafat berarti berendah hati mengevaluasi segenap pengetahuan yang kita ketahui: Apakah ilmu telah mencakup segenap pengetahuan yang seyogianya berhenti ?, kemanakah saya harus berpaling di batas ketidaktahuan ini ?, apakah kelebihan dan kekurangan ilmu ?.

  

Mengapa saya ada di dunia ini ?

  Karakteristik berfikir filsafat yang pertama adalah sifatnya menyeluruh. Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Artinya dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Bagaimana kaitan ilmu dengan moral, kaitan ilmu dengan agama, dan dia ingin yakin bahwa ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya. Bagai ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk, semakin menyadari kebodohan kita sendiri, dan sebenarnya kita akan berkata bahwa kita tidak tahu apa-apa.

  Karakteristik kedua dari berfikir filsafat adalah sifatnya mendasar. Seseorang bukan saja menengadah ke langit dengan bintang-bintang, namun juga membongkar tempat berpijak secara fundamental. Dia tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu dapat dikatakan benar ? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan ? Apakah kriteria itu sendiri benar ? Lalu benar itu sendiri apa ?.

  Memang harus diakui bahwa tidak mungkin meraih pengetahuan secara keseluruhan, dan bahkan kita tidak yakin kepada titik awal yang menjadi jangkar pemikiran yang mendasar.

  Dalam hal ini berarti kita hanya berspekulasi. Inilah karakteristik berfikir filsafat berikutnya, yaitu sifat spekulatif. Dalam hal ini yang penting adalah bahwa dalam prosesnya (baik dalam analisis maupun pembuktiannya) harus dipisahkan mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak. Tugas utama filsafat adalah menentukan dasar-dasar yang dapat diandalkan. Apakah yang disebut logis, benar, sahih, apakah hidup ini ada tujuannya atau tidak ?. Sekarang kita mulai sadar, bahwa semua pengetahuan yang sekarang ada dimulai dengan spekulasi, namun kita harus dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal penjelajahan pengetahuan. Tanpa menetapkan kriteria tentang apa yang disebut benar, maka tidak mungkin pengetahuan lain berkembang di atas kebenaran. Tanpa menetapkan apa yang disebut baik atau buruk, maka kita tidak mungkin berbicara tentang moral. Demikian pula tanpa wawasan apa yang disebut indah atau jelek, tidak mungkin kita berbicara tentang kesenian/estetika. Pokok permasalahan yang dikaji filsafat dari ketiga segi di atas merupakan tiga cabang utama filsafat, yakni meliputi logika, etika dan estetika.

  

Apakah filsafat ilmu itu ?

  Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat pengetahuan (epistemologi) yang mengkaji hakikat ilmu atau yang dikenal dengan pengetahuan ilmiah. Berikut merupakan pertanyaan-pertanyaan dalam menjawab hakikat ilmu.

  1. Objek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? Bagaimana hubungan antara obyek dengan daya tangkap manusia (seperti berfikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan ?. Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan landasan ontologis. Apa yang dikaji oleh pengetahuan itu.

  2. Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu ? bagaimana prosedurnya ? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar ? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri ? Apakah kriterianya ? Cara / teknik / sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengethuan yang berupa ilmu ?. Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan landasan epistemologis. Bagaimana caranya mendapatkan pengetahuan tersebut.

  3. Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan ? Bagaimana kaitan antara cara penggunaannya dengan kaidah-kaidah moral ? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral / profesional ?. Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan landasan aksiologis. Untuk apa pengetahuan dipergunakan (nilai kegunaan ilmu).

  Ada tiga disiplin ilmu ditinjau dari karakteristiknya, yakni kelompok ilmu-ilmu

  

  alamiah, ilmu-ilmu sosial dan pengethuan buda Perbedaan ketiga disipin ilmu tersebut disajikan pada Tabel 1.

  

Tabel 1. Karakteristik Disiplin Ilmu

Aspek Ilmu-ilmu Alamiah Ilmu-ilmu Sosial Pengetahuan Budaya

  Pendekat Empiris Empiris-normatif Normatif (sebaiknya) an (sesungguhnya) Mempelajari Mempelajari Mengungkap dan

  Tujuan keteraturan keteraturan dalam mempelajari peristiwa keterangan yang hubungan antar dan pernyataan terdapat dalam alam manusia budayayang dianggap semesta unik. Fisika, Anatomi, Ilmu Politik, Pengethuan Agama,

  Contoh Ilmu Pasti, Kimia, Sosiologi, Ilmu Falsafah, Pengetahuan Geologi, Kedokteran Ekonomi, hokum, Sastra, Seni

  Antropologi, musik, Seni tari Psikologi

  Selanjutnya Ilmu Gizi termasuk kelompok disiplin ilmu yang mana ?. Ini merupakan pertanyaan mendasar, terlebih dikaitkan dengan permasalahan gizi dan kesehatan yang senantiasa. Kandungan gizi pangan yang dianalisis sehingga diketahui kadarnya untuk setiap bahan pangan, misalnya sebagai sumber protein, sumber lemak, sumber karbohidrat, sumber vitamin dan mineral, hal ini berkaitan dengan dengan disiplin ilmu alamiah. Bagaimana dengan upaya peningkatan pengetahuan gizi bagi ibu hamil dan ibu menyusui, misalnya melalui penyuluhan/pendidikan gizi sehingga mereka dapat menyusun menu makanan sehari-hari yang bergizi untuk memenuhi kebutuhan gizinya ?.

  Bukankah keadaan ini menunjukkan bahwa ilmu gizi juga termasuk disiplin ilmu sosial. Bagaimana pula bila gizi dilihat dari konteks budaya, bukankah ilmu gizi juga berkaitan dengan pengetahuan budaya ?.

  Soekirman mengatakan, bahwa karena definisi ilmu gizi senantiasa mengandung dua unsur pokok, yakni makanan (baik mentah maupun terolah), dan manusia atau

  

masyarakat. Dengan demikian pada hakekatnya ilmu gizi merupakan gabungan disiplin

  

  ilmu yang berkaitan dengan makanan dan manusia atau masyaraka Luasnya ruang lingkup Ilmu Gizi, maka dalam profesi gizi diperlukan penguasaan bidang-bidang khusus, seperti gizi manusia, gizi masyarakat, gizi klinik, teknologi pangan dan lain-lain sesuai dengan kebutuhan.

  

Apakah filsafat penelitian itu ?

  Materi filsafat penelitian perlu diberikan kepada mahasiswa, dimaksudkan untuk mendidik mereka memiliki sifat rasional, kritis, terbuka, rendah hati, skeptis yang

  

positif, dan tidak fanatik. Ilmu dan penelitian tidak dapat dipisahkan. Ilmu tidak dapat

  berkembang tanpa penelitian, dan penelitian tidak akan ada apabila tidak di dalam kerangka ilmu tertentu. Secara umum dapat dikatakan bahwa penelitian bertujuan untuk mengembangkan khasanah ilmu dengan memperoleh pengetahuan serta fakta-fakta baru, sehingga dapat disusun teori, konsep, hokum, kaidah atau metodologi baru.

  Sesuai dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 232/U/2000 tanggal 20 Desember 2000, kualifikasi lulusan program sarjana adalah: (1) Menguasai dasar-dasar ilmiah dan ketrampilan dalam bidang keahlian tertentu (gizi dan kesehatan) sehingga mampu menemukan, memahami, menjelaskan, dan merumuskan cara penyelesaikan masalah gizi dan kesehatan yang ada dalam kawasan keahliannya;

  (2) Mampu menerapkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya sesuai dengan bidang keahliannya dalam kegiatan produktif dan pelayanan kepada masyarakat dengan sikap dan perilaku yang sesuai dengan tata kehidupan bersama;

  (3) Mampu bersikap dan berperilaku dalam membawakan diri berkarya di bidang keahliannya maupun dalam kehidupan bersama di masyarakat;

  (4) Mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan/atau kesenian yang merupakan keahliannya.

  Sedangkan kualifikasi lulusan program D-IV Gizi adalah: Menguasai kemampuan dalam melaksanakan pekerjaan yang kompleks, dengan dasar kemampuan profesional tertentu, termasuk keterampilan merencanakan, melaksanakan kegiatan, memecahkan masalah dengan tanggungjawab mandiri pada tingkat tertentu, memiliki kemampuan manajerial, serta mampu mengikuti perkembangan, pengetahuan, dan teknologi di dalam bidang keahliannya. Tenaga gizi (termasuk lulusan D-IV Gizi) sebagai salah satu tenaga kesehatan, adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah No:32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan). Menurut hemat penulis, tenaga kesehatan yang dihasilkan oleh institusi pendidikan tenaga kesehatan adalah tenaga kesehatan atau tenaga gizi yang berkarakter. Tenaga gizi yang berkarakter akan menunjukkan sikap hormat dalam meraih status sebagai tenaga gizi, yakni melalui proses belajar dan pemikiran-pemikiran yang bersih. Ia juga mampu menempatkan kewajiban-kewajibannya di atas segala sesuatu. Tenaga gizi yang disandang merupakan suatu tugas panggilan yang mulai dan diperoleh melalui proses yang terus menerus menuju kesempurnaan.

  tentang

  dunia pendidikan yang menghasilkan insan-insan akademis / intelektual / cendekia pengelola bumi yang satu ini. Menurutnya ada tujuh materi penting bagi dunia pendidikan (perguruan tinggi), yakni meliputi: (1) Mendeteksi kekeliruan dan ilusi, (2) Prinsip keterkaitan pengetahuan, (3) Mengajarkan kondisi manusiawi, (4) Jati diri bumi, (5) Menghadapi ketidakpastian, (6) Memahami satu sama lain, dan (7) Etika manusia. Mendeteksi kekeliruan dan ilusi

  Tujuan pendidikan adalah penerusan/alih pengetahuan. Namun ternyata pendidikan justeru gagal menagkap realitas pengetahuan manusia, yakni sistemnya, kelemahannya, kesulitannya, dan kecenderungannya terhadap kekeliruan dan ilusi. Pendidikan tidak hirau untuk mengajarkan hakikat pengetahuan. Pengetahuan bukanlah alat siap pakai yang dapat dipergunakan tanpa mempelajari sifatnya. Mengenal pengetahuan harus menjadi syarat utama untuk mempersiapkan pikiran menghadapi ancaman kekeliruan dan ilusi yang terus menerus menjadi parasit dalam pikiran manusia. Mengenal pengetahuan adalah soal mempersenjatai pikiran dalam pertempuran hidup-mati untuk memperoleh kejernihan.

  Dengan demikian, kita harus memperkenalkan dan mengembangkan kajian tentang aspek- aspek kultural, intelektual, dan serebral pengetahuan manusia, mengenai proses dan caranya, serta pelbagai disposisi psikologis dan budaya yang membuat kita rentan terhadap kekeliruan dan ilusi.

  Prinsip keterkaitan pengetahuan Salah satu permasalahan pokok yang terlalu sering disalahpahami adalah bagaimana mengembangkan suatu cara belajar yang mampu menangkap masalah-masalah yang bersifat umum dan mendasar, seraya menyisipkan pengetahuan yang bersifat parsial ke dalamnya. Dominannya belajar yang terbagi-bagi ke dalam berbagai disiplin ilmu sering membuat kita tidak mampu menghubungkan bagian-bagian dengan keseluruhan. Belajar semacam ini seharusnya diganti dengan belajar yang dapat memahami materi ajar sesuai konteks, kompleksitas, dan totalitasnya. Kita harus mengembangkan potensi alami pikiran manusia, yakni kemampuan untuk menempatkan semua informasi dalam suatu konteks dan entitas. Kita perlu mengajarkan berbagai metode untuk memahami hubungan satu sama lain dan pengaruh timbal balik antara bagian-bagian dan keseluruhan dalam dunia yang kompleks. Mengajarkan kondisi manusiawi

  Manusia adalah mahluk yang sekaligus bersifat fisis, biologis, psikologis, cultural, pendidikan yang terkotak-kotak ke dalam berbagai disiplin ilmu. Oleh karenanya, kini kita tidak dapat lagi belajar apa artinya menjadi manusia. Manusialah penghubung antara kesatuan dan keberagaman dari semua hal. Jati diri bumi

  Masa depan umat manusia sekarang berada pada skala planet. Hal pokok ini merupakan realitas hakiki lainnya yang kerap diabaikan oleh pendidikan. Kita sangat membutuhkan pengetahuan tentang perkembangan-perkembangan planeter terkini yang niscaya akan tumbuh pesat pada abad ke-21 dan penyadaran akan keberadaan kita sebagai penghuni bumi. Sejarah era platener harus diajarkan sejak awal perkembangannya pada abad ke-16 ketika komunikasi terjalin di antara lima benua. Tanpa mengaburkan kejamnya penindasan dan penjajahan di masa lalu dan masa sekarang, kita harus menunjukkan bagaimana semua bagian dunia saling tergantung satu sama lain. Konfigurasi krisis berskala planet yang kompleks pada abad ke-20 harus diurai untuk menunjukkan bagaimana umat manusia sekarang menghadapi persoalan-persoalan hidup-mati yang sama dan takdir yang sama. Menghadapi ketidakpastian

  Di satu sisi, kita telah mendapatkan banyak kepastian melalui sains, tetapi di sisi lain sains abad ke-20 juga telah menunjukkan banyak bidang ketidakpastian. Pendidikan seharusnya mencakup studi tentang ketidakpastian-ketidakpastian yang telah muncul dalam ilmu-ilmu fisika (mikrofisika, termodinamika, kosmologi), ilmu evolusi biologis, dan ilmu sejarah. Kita harus mengajarkan prinsip-prinsip strategis untuk menghadapi peluang, hal- hal yang tidak terduga dan tidak pasti, serta cara mengubah strategi-strategi ini sebagai tanggapan atas perolehan informasi yang terus menerus. Kita harus belajar mengarungi lautan ketidakpastian, berlayar menuju dan mengitari pulau kepastian. ‘Dewa memberi kita banyak kejutan: yang diharapkan tidak terjadi, justeru mereka membuka pintu bagi yang tidak diharapkan’. Larik ini, yang ditulis lebih dari dua puluh lima abad yang lalu oleh sejarah manusia, yang diklaim dapat memprediksi masa depan, telah ditinggalkan. Kajian- kajian mengenai peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian penting pada masa kini menunjukkan betapa tidak terduganya peristiwa dan kejadian tersebut dan betapa tidak terprediksinya arah petualangan manusia. Ini mendorong kita untuk mempersiapkan pikiran agar siap menantikan hal yang tidak terduga dan menghadapinya. Setiap orang yang bertanggungjawab terhadap pendidikan harus siap maju ke pos-pos terdepan ketidakpastian dalam zaman kita. Memahami satu sama lain

  Pemahaman bisa berarti sarana dan juga tujuan komunuikasi manusia. Namun demikian, kita tidak mengajarkan pemahaman. Planet kita menghendaki agar kita saling memehami dalam segala arah. Mengingat betapa pentingnya mengajarkan pemahaman di semua tingkat pendidikan pada segala usia, pem,bangunan kualitas memerlukan pembaruan mentalitas. Ini tugas pendidikan masa depan. Saling memahami di antara manusia, entah dekat entah jauh, menjadi kebutuhan penting agar relasi antar manusia melalui tahap kesalahpahaman. Oleh karena itu, semua sebab, cara, dan akibat kesalahpahaman tersebut harus dipelajari. Ini sangat penting, karena kesalahpahaman merupakan penyebab dan bukan gejala rasisme, xenophobia, dan diskriminasi. Pemahaman yang makin baik membentuk dasar yang kokoh bagi pendidikan untuk perdamaian yang meneguhkan fondasi dan panggilan kita. Etika manusia

  Pendidikan harus menuntun ke ‘antropo-etika’ (etika manusia) dengan mengenali tiga serangkai kondisi manusia: manusia adalah serentak individu-masyarakat spesies.

  Dalam pengertian ini, etika individu/spesies membutuhkan kontrol masyarakat oleh individu dan kontrol individu oleh masyarakat. Dengan kata lain, demokrasi dan etika individu-spesies menghendaki suatu kewargaan dunia pada abad ke-21. Etika tidak dapat diajarkan melalui pelajaran moral. Etika harus mewujud dalam kesadaran akal budi bahwa

  Setiap individu menyandang ketiga realitas ini di dalam dirinya. Perkembangan manusia yang sejati harus mencakup perkembangan terpadu antara otonomi individu, partisipasi kelompok, dan kesadaran sebagai bagian umat manusia. Dari pokok ini, dua tujuan etis/politis pokok milenium baru adalah terbentuknya hubungan saling mengontrol antara masyarakat dan individu melalui jalan demokrasi, dan terpenuhinya solidaritas umat manusia sebagai sebuah komunitas planet. Pendidikan seharusnya tidak hanya mendukung suatu kesadaran akan Tnah Air Bumi, tetapi juga membantu agar kesadaran ini mewujud sebagai kehendak untuk menyadari keberadaan kita sebagai warga bumi.

  Kembali ke pertanyaan: Apakah filsafat penelitian itu ?. Menurut Tejoyuwono dalam Ida

8 Bagoes Mantra , filsafat penelitian dapat diartikan sebagai suatu sistem pemikiran yang mengarahkan penelitian menuju perolehan makna tentang soal yang dikaji.

  Memperoleh makna berarti memahami hakekat eksistensi fakta dan kejadian yang terkandung dalam persoalan tersebut sebagai suatu kausalitas. Sesuatu tidak dapat eksis tanpa sebab (asas kausalitas) dan sebab selalu mendahului akibat (hukum kausalitas). Filsafat penelitian bersifat universal. Artinya, tidak ada filsafat penelitian khusus untuk disiplin masing-masing. Penelitian menghasilkan pengetahuan dan ilmu. Pengetahuan ialah keseluruhan hal yang diketahui, yang membentuk persepsi jelas tentang kebenaran atau fakta. Ilmu ialah pengetahuan yang diatur dan diklasifikasikan secara tertib, membentuk suatu sistem pengetahuan berdasarkan rujukan kepada kebenaran atau hukum. Evidence Based Research

  Evidence Based Research, merupakan istilah yang sangat penting artinya dalam

  memahami dasar-dasar penelitian gizi dan kesehatan, dimana penelitian harus dilandasi data empiris yang merujuk dan menuju kepada kebenaran. Permasalahan gizi dan kesehatan akhir-akhir ini merupakan masalah penelitian yang menantang setiap orang untuk mencari jalan keluar / pemecahannya. Sepintas pertanyaan di bawah ini menjadi kawasan mereka yang akan melakukan suatu penelitian bidang gizi dan kesehatan. Landasan teori yang mendasari suatu penelitian merupakan modal awal bagi mereka yang akan mendalami permasalahan gizi dan kesehatan. Baik secara induktif maupun secara deduktif, pemahaman teori tentang gizi dan kesehatan sangat penting artinya dalam memasuki ranah penelitian gizi dan kesehatan di Indonesia, khususnya.

  Bagaimana kedudukan asumsi, model, teori serta aplikasi kesimpulan riset dalam paradigma penelitian gizi dan kesehatan ? Kedudukan asumsi, model, teori serta aplikasi kesimpulan riset sangat berkaitan erat satu dengan lainnya. Berikut ini akan dijelaskan kaitan diantara mereka. Kedudukan teori dalam suatu penelitian empirik, dapat diibaratkan sebagai jaring /yang dipakai untuk menangkap ikan. Jaring memiliki simpul-simpul dan tali penghubung antar mereka. Demikian pula teori memiliki proposisi-proposisi dan pernyataan-pernyataan penghubung antar mereka. Peneliti bidang gizi dan kesehatan yang membangun teori empirik dunianya dengan pusat dan kitaran (boundaries) yang dipilih perlu memahami dan memilih teori atau rangkaian teori sebagai alat pengamatan atau eksperimentasi. Karl Popper (1965) dalam Suyata

  

  (hlm.3)mengatakan, bahwa teori-teori itu merupakan jaring-jaring yang digunakan untuk menangkap ‘dunia’ yang telah kita pilih dengan merasionalisasikannya, menjelaskannya, dan menguasainya dan seterusnya mengusahakan agar hal-hal yang kelihatannya simpangsiur menjadi semakin kelihatan bertambah bagus. Fenomena dan hubungan antara fenomena dalam bidang gizi dan kesehatan yang awalnya tidak jelas dan nampak bercerai berai, atau secara kuantitatif fenomena dan kemungkinan tata hubungannya sangat banyak, maka peneliti perlu menatanya melalui konseptualisasi tata hubungan (organik dan logik), sehingga mudah dipahami.

10 Lebih lanjut Kerlinger mendefinisikan teori sebagai seperangkat konsep, definisi

  dan proposisi yang saling berhubungan yang menyajikan suatu pandangan yang sistematik atas fenomena dengan menjabarkan hubungan-hubungan dengan tujuan menjelaskan dan 9 meramalkan fenomena tersebut. Fungsi/peran teori sebagai alat dari suatu ilmu

  

  pengetahuan ada empat, seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (hlm.19) yaitu: (1) Menyimpulkan generalisasi-generalisasi dari fakta-fakta hasil pengamatan; (2) Memberi kerangka orientasi untuk analisis dan klasifikasi dari fakta-fakta yang dikumpulkan dalam penelitian; (3) Memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang akan terjadi, dan (4) Mengisi lowongan-lowongan dalam pengetahuan kita tentang gejala-gejala yang telah atau sedang terjadi.

  

Model merupakan salah satu komponen teori yang diartikan sebagai suatu kreasi mental

  tentang suatu objek yang dapat berupa benda, proses psikologik, proses sosial dan lain-lain lewat miniaturisasi dan penyederhanaan kompleksitas yang ada dengan maksud memperoleh gambaran keseluruhan yang utuh secara lebih mudah. Dengan demikian model menjadi bagian dari suatu teori, membantu peneliti dalam konseptualisasi dan generalisasi suatu fenomena sosial dengan cara melepaskan sejumlah hal yang rinci dan memperluas terapan sifat yang diangkat dari hal-hal yang sifatnya khusus. Artinya, model akan memberi pembatasan terhadap teori yang dikembangkan, memberi ketentuan asumsi- asumsi yang digunakan, dan akibat lebih lanjut akan berpengaruh terhadap corak hipotesis

  

  dan hukum-hukum yang disimpulkannya. Secara singkat Black & Champion (hlm.60) mengatakan, bahwa model-model tidal lebih dari konseptualisasi sistematik yang disederhanakan tentang unsur-unsur yang saling terkait dalam bentuk skema. Lebih lanjut dikatakan bahwa penggunaan model memiliki kelebihan karena: (1) Menampilkan gambaran dari teori; (2) Memperlihatkan lebih jelas batas-batas konseptual dari teori; dan (3) Memungkinkan kita memahami arah dari kaitan-kaitan di antara beberapa variabel.

  

Asumsi merupakan bahan pokok dari suatu teori. Asumsi digunakan sebagai pengikat

  serangkaian model untuk sejumlah kepentingan. Asumsi juga berfungsi sebagai penghubung model atau teori dunia empirik, sehingga memungkinkan suatu model atau 11 suatu teori dites dan juga modifikasi model atau teori dilakukan. Asumsi dapat dinyatakan 12 Koentjaraningrat.1983. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT.Gramedia.

  secara implisit dan eksplisit. Pernyataan asumsi secara eksplisit memungkinkan asumsi dites. Formalisasi teori penelitian juga memberi peluang lebih besar bagi pengujian asumsi.

  Penegasan asumsi memberi arah yang jelas menafsirkan hasil-hasil suatu studi penelitian. Demikianlah kedudukan asumsi, model, teori serta aplikasi kesimpulan riset sangat berkaitan erat satu dengan lainnya.

  Selanjutnya mengapa terjadi kontroversi sekitar upaya mengangkat derajat riset sosial bidang gizi dan kesehatan masyarakat dengan menerapkan riset-riset ilmu-ilmu alamiah ?

  Dalam bidang keilmuan terdapat dua perspektif (paradigma) utama (Mulyana,

  

  hlm yakni perspektif ilmu alam dan perspektif ilmu sosial (mencakup juga ilmu-ilmu kemanusiaan-humaniora). Persyaratan yang harus dipenuhi oleh perspektif ilmu alam dan perspektif ilmu sosial berbeda untuk disebut ilmiah. Sementara ilmu alam harus menjelaskan ciri-ciri realitas fisik yang diamati dan hubungan diantara berbagai aspek realitas tersebut, sedangkan ilmu sosial harus menjelaskan bukan hanya ciri-ciri dan tindakan-tindakan manusia yang diamati, namun juga makna karakteristik dan tindakan tersebut bagi individu. Artinya, ilmu tentang manusia harus memperhitungkan fakta bahwa manusia sekaligus menafsirkan diri mereka sendiri dan ilmu yang bermaksud menerangkan mereka; Sementara benda-benda, seperti air, batu, udara, cuaca dll, tidak melakukan hal tersebut. Tidak mengherankan bahwa terdapat lebih banyak perbedaan dalam menjelaskan ciri dan perilaku manusia dalam ilmu sosial daripada menjelaskan ciri dan perilaku benda dalam fisika atau ilmu alamiah.

  Bagi sebagian ilmuwan sosial keistimewaan ilmu sosial justeru keanekaragaman perspektifnya. Objek ilmu-ilmu alam (yang statis, tidak punya kemauan bebas), memang berbeda dengan objek ilmu sosial, yakni manusia yang mempunyai jiwa dan kemauan 13 bebas. Artinya, bahwa upaya mengangkat derajat riset sosial bidang gizi dan kesehatan dengan menerapkan riset-riset ilmu-ilmu alamiah akan mengalami kesulitan dalam upaya menjelaskan fenomena dan realitas kehidupan manusia. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa tidak satu perspektif pun dapat menangkap keseluruhan realitas yang diamati. Perspektif (paradigma) dalam bidang keilmuan akan mempengaruhi definisi, model atau teori yang pada gilirannya akan mempengaruhi cara kita melakukan penelitian.

  Perspektif menjelaskan asumsi-asumsinya yang spesifik mengenai bagaimana penelitian harus dilakukan dalam bidang yang bersangkutan. Selanjutnya perspektif menentukan apa yang dianggap fenomena yang relevan bagi penelitian dan metode yang sesuai untuk menemukan hubungan di antara fenomena. Oleh karena itu, keragaman paradigma berguna dalam memberikan perspektif mengenai fenomena yang sama. Yang jelas, suatu paradigma berkembang sepanjang terus memungkinkan kita berhasil mengatasi problem dan menjelaskan fenomena yang diteliti.

  Masalah Gizi Latar Belakang

  Akhir-akhir ini pemberitaan tentang istilah busung lapar, terkesan menjadi bermakna keadaan gizi buruk saja. Hal ini tentunya wajar-wajar saja, namun lebih manusia lagi bila upaya penanggulangan gizi buruk, nyata dilakukan dan terpantau untuk masing- masing anak penderita gizi buruk. Gizi buruk yang tidak ditanggulangi akan berakibat timbulnya (berdasarkan tanda-tanda klinis) apa yang disebut marasmus dan kwashiorkor atau tipe gabungan marasmus-kwashiorkor. Anak penderita marasmus atau kwashiorkor telah mengalami kekurangan zat-zat gizi, baik zat gizi makro (Energi dan Protein) dan zat gizi mikro (Vitamin dan Mineral), dalam jangka waktu lama dan terus menerus (kronis).

  Berdasarkan publikasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations, July 1996,

  

How Nutrition Improves), penyebab gizi buruk atau busung lapar dapat ditinjau dari

  beberapa tingkatan, yaitu penyebab langsung, penyebab tidak langsung dan akar masalahnya. Penyebab langsung merupakan faktor yang langsung berhubungan dengan kejadian gizi buruk, yakni konsumsi makanan (asupan gizi) yang tidak adekuat dan penyakit yang diderita anak. Asupan gizi dan penyakit yang diderita anak akan bersinergi dan menguatkan untuk memperburuk status gizi anak – bahkan dapat berakibat fatal (kematian) dini bagi anak-anak.

  Penyebab tidak langsung merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyebab langsung, seperti akses mendapatkan pangan yang kurang, perawatan dan pola asuh anak, pelayanan kesehatan serta lingkungan buruk yang tidak mendukung kesehatan anak balita. Akar masalah terjadinya gizi buruk terdiri dari dua hal, yakni faktor sumberdaya potensial dan faktor sumberdaya manusia (pengawasan, ekonomi dan organisasi). Pengelolaan sumberdaya potensial sangat erat kaitannya dengan politik dan ideologi, suprastruktur dan struktur ekonomi. Sedangkan faktor sumberdaya manusia erat kaitannya dengan pendidikan, sehingga pemberdayaan rakyat melalui pendidikan sangat penting artinya untuk mengatasi penyebab tidak langsung gizi buruk.

  Status gizi merupakan cerminan kuantitas (jumlahnya) dan kualitas (ragamnya) pasokan zat gizi makanan yang dikonsumsi dan kemampuan tubuh untuk memanfaatkan secara optimal. Dengan demikian beberapa kemungkinan berkaitan dengan pasokan gizi bagi tubuh. Pertama, pasokan gizi tidak memenuhi kuantitas dan kualitas sehingga tubuh menderita kekurangan gizi, termasuk terjadinya gizi buruk dan busung lapar; Kedua, pasokan gizi terpenuhi tetapi tubuh tidak mampu memanfaatkannya secara optimal (karena menderita penyakit tertentu seperti cacingan, tuberkulosis, diare, campak dll).; Ketiga, pasokan gizi berlebih, berakibat menumpuknya zat gizi dalam tubuh dan terjadi kegemukan dan obesitas. Kegemukan dan obesitas bila tidak dikendalikan dapat berakibat timbulnya penyakit, seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, kencing manis, hipertensi dll).

  Masalah kegemukan dan obesitas juga telah mencapai titik kritis, karena penderitanya semakin hari semakin meningkat tajam; Keempat, merupakan peluang yang menghantarkan sehat bergizi prima dan produktif, karena memperoleh pasokan gizi seimbang, baik kuantitas maupun kualitasnya.

  Hak Asasi Manusia

  Butir pertama dari World Declaration on Nutrition di Roma pada bulan Desember 1992, berbunyi: “Menyatakan kebulatan tekad untuk menghapuskan kelaparan dan menurunkan berbagai bentuk gizi salah. Kelaparan dan gizi salah tidak layak ada di muka bumi ini yang memiliki pengetahuan dan sumberdaya untuk melenyapkan bencana besar bagi manusia. Akses untuk memperoleh gizi seimbang dan makanan yang sehat adalah hak setiap manusia”. Demikian pula Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia No.7 Tahun 1997 tentang Pangan, secara tegas menyatakan bahwa: “Pangan sebagai kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat Indonesia harus senantiasa tersedia cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat”.

  Semakin jelas, bahwa terjadinya busung lapar dan tingginya kejadian gizi buruk pada anak-anak, tentunya merupakan tragedi kemanusiaan karena tidak terpenuhinya pangan dan gizi sebagai hak asasi manusia yang mendasar bagi generasi penerus bangsa. Apalagi terjadinya busung lapar dan gizi buruk, seiring semakin terbongkarnya kasus-kasus korupsi mulai ‘kelas teri’ hingga ‘kelas kakap’ di negeri ini. Tentunya upaya mengatasi busung lapar dan gizi buruk, tidak sebatas lumbung padi. Namun dilakukan dengan upaya sungguh-sungguh agar setiap orang dari 200 juta lebih rakyat Indonesia, terpenuhi pangan dan kecukupan gizinya, secara adil dan merata di seluruh persada Tanah Air.

  Rangkaian penyebab gizi buruk dan busung lapar yang teruntai dalam model tingkatan, bukanlah konsep/teori semata. Namun yang terpenting adalah bagaimana meracik sebuah sistem yang kondusif, agar semua faktor terkait mendapat perhatian sesuai dengan porsinya masing-masing. Dominasi salah satu sektor/program (misalnya Kesehatan, Pertanian atau Pemda/Depdagri) yang terjadi selama ini, maka tidak menutup kemungkinan bertambahnya anak-anak yang menderita gizi buruk dari waktu ke waktu, merupakan pertanda bahwa tidak ada upaya yang berarti bagi kesejahteraan anak. Badan atau lembaga ketahanan pangan dan gizi nasional dan daerah, hendaknya lebih diaktifkan dan dioptimalkan fungsinya dalam mengatasi ketersediaan pangan. Daerah yang surplus pangan dapat menutupi daerah defisit pangan, sesuai dengan keadaan agroklimat masing-masing pangan di daerah.

  Pada skala mikro, upaya mengatasi gizi buruk sebaiknya ‘memberi kail bukan ikan’. Memberdayakan setiap keluarga / rumahtangga, yakni melalui penyediaan lapangan kerja merupakan keharusan sehingga daya beli meningkat. Keluarga harus secara mandiri dapat mengelola konsumsi pangan bagi anak-anak secara berkelanjutan, khususnya bagi anak yang menderita gizi buruk.

  Pengetahuan gizi keluarga (ibu) perlu ditingkatkan melalui pelatihan ketrampilan pengolahan makanan yang disediakan bagi anggota keluarga. Misalnya ibu-ibu diajarkan bagaimana membuat kue-kue yang berbahan dasar nonberas (jagung, singkong, ubi, dan kacang-kacangan) yang memang diproduksi setempat. Dengan demikian, keluarga lebih diberdayakan bagaimana mengelola sumberdaya yang dimilikinya untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi anak-anak. Niscaya dengan modal kesungguhan hati, di masa mendatang bukan saja kita dapat mengatasi anak-anak yang menderita gizi buruk, namun mencegahnya dan menciptakan gizi baik pada anak-anak di negeri ini.

  

Kompas, 10/12/2005; Kompas, 7/6/2005; Kompas, 30/9/1997; Undang-undang Republik

Indonesia No.7 Tahun 1997 tentang Pangan United Nations, 1996; How Nutrition

Improves; World Declaration on Nutrition di Roma pada bulan Desember 1992 KECENDERUNGAN MASALAH GIZI DAN ) TANTANGAN DI MASA DATANG*

  Oleh: Prof. Dr. Azrul Azwar, MPH (Dirjen Bina Kesmas Depkes)

A. Pendahuluan

  Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun sumber daya manusia yang bekualitas yang sehat, cerdas, dan produktif. Pencapaian pembangunan manusia yang diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) belum menunjukkan hasil yang menggembirakan dalam tiga dasawarsa terakhir. Pada tahun 2003, IPM Indonesia masih rendah yaitu berada pada peringkat 112 dari 174 negara, lebih rendah dari negara-negara tetangga. Rendahnya IPM ini sangat dipengaruhi oleh rendahnya status gizi dan status kesehatan penduduk, hal ini antara lain terlihat dari masih tingginya angka kematian bayi sebesar 35 per seribu kelahiran hidup dan angka kematian balita sebesar 58 per seribu kelahiran hidup serta angka kematian ibu 307 per seratus ribu kelahiran hidup. Lebih dari separuh kematian bayi dan anak balita disebabkan oleh buruknya status gizi anak balita.

  Kemiskinan dan kurang gizi merupakan suatu fenomena yang saling terkait, oleh karena itu meningkatkan status gizi suatu masyarakat erat kaitannya dengan upaya peningkatan ekonomi. Beberapa penelitian di banyak negara menunjukkan bahwa proporsi bayi dengan BBLR berkurang seiring dengan peningkatan pendapatan nasional suatu negara.

  Secara umum dapat dikatakan bahwa peningkatan ekonomi sebagai dampak dari berkurangnya kurang gizi dapat dilihat dari dua sisi, pertama berkurangnya biaya berkaitan dengan kematian dan kesakitan dan di sisi lain akan meningkatkan produktivitas. Paling kurang manfaat ekonomi yang diperoleh sebagai dampak dari perbaikan status gizi adalah: berkurangnya kematian bayi dan anak balita, berkurangnya biaya perawatan untuk neonatus, bayi dan balita, produktivitas meningkat karena berkurangnya anak yang menderita kurang gizi dan adanya peningkatan kemampuan intelektualitas, berkurangnya biaya karena penyakit kronis serta meningkatnya manfaat "intergenerasi" melalui peningkatan kualitas kesehatan.

  Masalah gizi dapat terjadi pada seluruh kelompok umur, bahkan masalah gizi pada suatu kelompok umur tertentu akan mempengaruhi pada status gizi pada periode siklus kehidupan berikutnya (intergenerational impact). Masa kehamilan merupakan periode yang sangat menentukan kualitas SDM di masa depan, karena tumbuh kembang anak sangat ditentukan oleh kondisinya saat masa janin dalam kandungan. Akan tetapi perlu diingat bahwa keadaan kesehatan dan status gizi ibu hamil ditentukan juga jauh sebelumnya, yaitu pada saat remaja atau usia sekolah.

  ' Disampaikan pada Pertemuan Advokasi Program Perbaikan Gizi Menuju Keluarga Sadar Gizi, di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 27 September 2004 United Nations (Januari, 2000) memfokuskan usaha perbaikan gizi dalam kaitannya dengan upaya peningkatan SDM pada seluruh kelompok umur, dengan mengikuti siklus kehidupan.

  Pada bagan 1 dapat dilihat kelompok penduduk yang perlu mendapat perhatian pada upaya perbaikan gizi.

  Bagan 1. Masalah Gizi Menurut Daur Kehidupan

  

IMR, perkembangan

risiko penyakit kronis

mental terhambat,

pada usia dewasa Produktivitas fisik berkurang/rendah memadai pola asuh tidak kesehatan kurang, infeksi, pelayanan Kurang makan, sering terkena USIA LAN JUT ses memadai Konsumsi Kesehatan kurang Pelayanan tidak seimbang KURANG GIZI tidak bena lambat, ASI ekslusif Pertumbuhan kurang, MP-ASI pola asuh kurang

  REMAJA & USIA SEKOLAH GANGGUAN BUMIL KEK ERTUMBUHAN

  (KENAIKAN B Pelayanan y REND AH) kesehatan tidak if Konsumsi Kurang memadai Kekurangan gizi biasanya terjadi secara tersembunyi dan sering luput dari pengamatan biasa. Tidaklah mudah untuk mengetahui seorang ibu hamil yang menderita kekurangan zat gizi besi (anemia), atau seorang bayi yang terganggu pertumbuhannya atau seorang anak sekolah yang lemah tidak mampu mengikuti proses belajar karena kekurangan zat gizi tertentu seperti iodium atau zat besi. Sebagian besar penduduk Indonesia atau sekitar 50% dapat dikatakan tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat dan kondisi ini tergolong kekurangan gizi. Kekurang gizi secara perlahan akan berdampak terhadap tingginya kematian anak, kematian ibu dan menurunnya produktivitas kerja. Kondisi ini secara langsung menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu negara, oleh karena itu upaya perbaikan gizi masyarakat merupakan bagian dari investasi sumber daya manusia untuk pembangunan suatu bangsa.

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2