View of Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tax Compliance Penyetoran SPT Masa PPN (Studi Empiris Pada PKP yang Terdaftar di KPP Pratama Mataram Barat)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TAX COMPLIANCE PENYETORAN SPT MASA PPN

(STUDI EMPIRIS PADA PKP YANG TERDAFTAR DI KPP PRATAMA MATARAM BARAT)

DESAK MADE SANTIKA DEWI 1 desak.santika@yahoo.com

RR. SRI PANCAWATI MARTININGSIH 2

pancawati_unram@yahoo.com

LALU TAKDIR JUMAIDI 3

takdirjumaidi@yahoo.com

ABSTRACT

The objective of this study was to analyze the factors that influence tax compliance in submitting VAT return. This study used research survey design and collected data through the distribution of questionnaire. The respondents of this study consisted of 154 tax payer determined based on incidental sampling technique. The independent variables were attitude, subjective norm, perceived behavioral control and moral obligation while the dependent variable was tax compliance. This study also used the intention to obey as an intervening variable. Hypothesis testing was based on multiple linear regression. The result indicated that; (1) The attitude had positive influence on the intention to comply, (2) Subjective norms did not have effect on the intention to comply, (3) perceived behavioral control did not have effect on the intention to comply, (4) Moral obligation had positive influence on the intention to obey, (5) Intention to comply did not have influence on tax compliance.

Keywords: Attitude, Subjective Norm, Perceived Behavioral Control, Moral Obligation, Intent to Obey and Tax Compliance.

ABSTRAKSI

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tax compliance penyetoran SPT Masa PPN. Penelitian ini menggunakan desain survey dengan teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner. Responden dalam penelitian ini berjumlah 154 PKP dimana pemilihan sampel atau responden menggunakan teknik incidental sampling. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya sikap, norma subjektif, kontrol keperilakuan yang dipersepsikan dan kewajiban moral sebagai variabel independen. Selain itu terdapat variabel niat untuk patuh sebagai variabel intervening dan kepatuhan pajak sebagai variabel dependen. Pengujian hipotesis berdasarkan regresi linear

1 Desak Made Santika Dewi adalah alumni Fakultas Ekonomi Universitas Mataram 2 Rr. Sri Pancawati Martiningsih adalah dosen tetap Fakultas Ekonomi Universitas Mataram 3 Lalu Takdir Jumaidi adalah dosen tetap Fakultas Ekonomi Universitas Mataram

32 Desak Made Santika Dewi, Rr. Sri Pancawati Martiningsih, Lalu Takdir Jumaidi

berganda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa; (1) Sikap berpengaruh positif terhadap niat untuk patuh, (2) Norma subjektif tidak berpengaruh terhadap niat untuk patuh, (3) Kontrol keperilakuan yang dipersepsikan tidak berpengaruh terhadap niat untuk patuh, (4) Kewajiban Moral berpengaruh positif terhadap niat untuk patuh, (5) Niat untuk Patuh tidak berpengaruh terhadap tax compliance.

Kata kunci: Sikap, Norma subjektif, Kontrol Keperilakuan yang Dipersepsikan, Kewajiban Moral, Niat untuk Patuh, dan Tax Compliance.

PENDAHULUAN

Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang utama dan dominan di Indonesia. Ini terlihat dari rata-rata penerimaan negara dari sektor perpajakan mencapai 73,4 % selama empat tahun terakhir dan sisanya sebesar 26,6 % berasal dari penerimaan lain di luar pajak (penerimaan bukan pajak 26,2% dan hibah sebesar 0,4%). Tingginya penerimaan pajak mencerminkan kemandirian suatu negara untuk membiayai pembangunan nasional. Apabila penerimaan pajak tinggi maka dapat dikatakan suatu negara telah mandiri untuk membiayai pembangunannya dan semakin kecil ketergantungannya terhadap bantuan asing seperti hutang luar negeri maupun hibah. Sehingga diharapkan penerimaan pajak terus meningkat setiap tahunnya.

Tabel 1 Perkembangan Pendapatan Negara, 2010-2013 (Dalam Triliun Rupiah)

Penerimaan

Penerimaan Bukan

Hibah Perpajakan

Pajak

Tahun Realisasi

Sumber: Kementerian Keuangan, Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2015 (data diolah)

Pada kenyataannya, hingga saat ini penerimaan dari sektor perpajakan masih belum optimal. Belum optimalnya penerimaan di sektor perpajakan disebabkan karena masih minimnya tingkat kesadaran dan kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak. Seperti yang dikutip dari artikel yang ditulis oleh Agung Sasongko dalam www.republika.co.id (4 Januari 2015), Direktur Jenderal Kementerian Keuangan Fuad Rahmany menyatakan tingkat kepatuhan wajib pajak di tanah air hingga saat ini masih sangat minim. Berdasarkan data Kemenkeu, dari total 12 juta wajib pajak badan (non-perorangan) hanya 5 juta yang sudah menghasilkan laba usaha. Dari jumlah tersebut, hanya 550 ribu atau 11% yang rutin melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) pajak

Jurnal Keuangan dan Bisnis, Vol. 12, No. 2, Oktober 2014

penghasilan. Sedangkan wajib pajak pribadi ditengarai sebanyak 30 juta orang tidak membayar pajak.

Besarnya jumlah wajib pajak badan yang tidak melaporkan SPT Tahunan PPh dan wajib pajak orang pribadi yang tidak membayar pajak menunjukkan bahwa kesadaran dan kepatuhan wajib pajak di Indonesia masih rendah. Rendahnya kepatuhan dan kesadaran wajib pajak dapat dilihat salah satunya melalui rendahnya pelaporan SPT Tahunan (Tarjo dan Kusumawati 2005). Artikel yang dimuat oleh Athurtian dalam www.okezone.com (3 Maret 2015) menyebutkan bahwa target pajak yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) sebesar Rp 1.246 triliun tidak tercapai. Realisasi penerimaan pajak tahun 2014 hanya mencapai Rp 1.143 triliun atau sekitar 91,75%. Hal ini tentunya akan berdampak pada berkurangnya penerimaan APBN yang mengakibatkan kerugian bagi negara.

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak didefinisikan sebagai:

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang- undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat.”

Dalam definisi tersebut kata- kata “bersifat memaksa” dan “tidak mendapatkan imbalan secara langsung” menunjukkan adanya ketidaksimetrisan

hubungan (hubungan yang tidak selaras) antara negara dan masyarakat (dalam hal ini wajib pajak). Negara mengharapkan jumlah penerimaan pajak yang besar dari masyarakat untuk dapat membiayai pembangunan negara. Sedangkan masyarakat lebih mengharapkan pembayaran pajak yang kecil karena bagi masyarakat pajak merupakan beban yang dapat mengurangi pendapatan.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk terus meningkatkan penerimaan dari sektor perpajakan. Pada tahun 1983, pemerintah Indonesia mulai melakukan reformasi perpajakan secara menyeluruh dimana pembaharuan dilakukan pada peraturan perundang-undangan perpajakan dan dalam sistem pemungutan pajak. Reformasi ini bertujuan agar kepatuhan wajib pajak di tanah air terus meningkat.

Menurut Pangestu dan Rusmana (2012) besarnya jumlah penerimaan pajak tidak terlepas dari peran serta wajib pajak dalam pelaksanaan sistem pemungutan pajak. Di Indonesia, sistem pemungutan pajak menggunakan sistem Self Assessment yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar (Waluyo 2011:17). Sehingga kejujuran dan kepatuhan wajib pajak sangat diperlukan agar sistem ini berjalan dengan baik. Kepatuhan pajak yang dimaksud adalah terkait dengan bagaimana melaporkan semua informasi yang diperlukan tepat pada waktunya, mengisi secara benar

34 Desak Made Santika Dewi, Rr. Sri Pancawati Martiningsih, Lalu Takdir Jumaidi

jumlah pajak terutang, dan membayar pajak tepat pada waktunya (Pangestu dan Rusmana 2012).

Peran perumus kebijakan sangatlah penting dalam upaya meningkatkan kepatuhan pajak. Akan tetapi perumus kebijakan seringkali terlalu mengandalkan pada sanksi. Perumus kebijakan mendesain sedemikian rupa dan mungkin begitu banyak sanksi, dengan tujuan agar kepatuhan meningkat. Kepatuhan wajib pajak yang disebabkan karena takut pada sanksi atau hukuman merupakan kepatuhan bersifat semu dan akan mengurangi manfaat dari penerapan sanksi (Rosdiana dan Irianto 2013:18-19).

Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan pajak yaitu dengan menetapkan target rasio kepatuhan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT). Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE – 06/PJ/2012. SPT yang dimaksud adalah SPT Tahunan PPh dan SPT Masa PPN. Target rasio kepatuhan penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun 2012 minimal 62,50%. Sementara untuk Kantor Pelayanan Pajak yang berada di Pulau Nusa Tenggara ditetapkan target rasio SPT Tahunan PPh minimal sebesar 60,00% dan SPT Masa PPN minimal sebesar 45,00%.

PPN merupakan salah satu jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. PPN pada dasarnya adalah Pajak Penjualan yang dipungut atas nilai tambah (tax on added value). Sehingga seluruh transaksi di bidang perdagangan, industri dan jasa yang tegolong Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) terkena PPN. Sebagai pihak pemungut PPN, Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib melaporkan penghitungan PPN setiap masa pajak dengan menggunakan (SPT) Masa PPN (Pangestu dan Rusmana 2012). PKP yang dimaksud dapat berupa PKP Orang Pribadi maupun PKP Badan.

Berdasarkan data yang diperoleh dari KPP Pratama Mataram Barat yang ditunjukkan dalam tabel 2 dan tabel 3, terlihat bahwa wajib pajak khususnya PKP yang terdaftar di KPP Pratama Mataram Barat memiliki tingkat kepatuhan pajak yang rendah. Ini terlihat dari jumlah pelaporan SPT Masa PPN di KPP Pratama Mataram Barat terus menurun setiap tahunnya selama tiga tahun terakhir. Jumlah SPT Masa PPN yang masuk pada tahun 2011 sebanyak 17.379 SPT menjadi 11.761 SPT di tahun 2013. Penurunan yang tinggi terjadi di tahun 2013 yaitu sebesar 4.929 SPT. Ini menunjukkan bahwa kepatuhan wajib pajak di KPP Paratama Mataram Barat terus menurun. Selain itu jumlah PKP yang terlambat menyampaikan SPT Masa PPN setiap tahunnya terbilang sangat tinggi, karena jumlah keterlambatan penyampaian SPT Masa PPN rata-rata setiap tahunnya mencapai angka diatas 52%.

Tabel 2 Perbandingan Jumlah SPT Masa PPN Di KPP Pratama Mataram Barat Tahun Pajak

Jumlah SPT Masa PPN *

Selisih Penurunan Per Tahun

Sumber: KPP Pratama Mataram Barat, 2015 (data diolah)

Jurnal Keuangan dan Bisnis, Vol. 12, No. 2, Oktober 2014

*Keterangan: Besarnya jumlah SPT Masa PPN merupakan akumulasi SPT Masa PPN yang dilaporkan selama 12 (dua belas) bulan oleh PKP ditambah dengan SPT Masa PPN yang dilaporkan oleh bendaharawan.

Tabel 3 Perbandingan Jumlah PKP yang Terlambat Menyampaikan SPT Masa PPN Di KPP Pratama Mataram Barat Jumlah PKP yang Terlambat

Jumlah PKP Tahun Pajak

Menyampaikan SPT Masa Persentase Terdaftar

Sumber: KPP Pratama Mataram Barat, 2015 (data diolah)

Menurut Mustikasari (2007) untuk mencapai target pajak, perlu ditumbuhkan terus menerus kesadaran dan kepatuhan masyarakat wajib pajak untuk memenuhi kewajiban pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mengingat kesadaran dan kepatuhan wajib pajak merupakan faktor penting bagi peningkatan penerimaan pajak, maka perlu secara intensif dikaji tentang faktor- faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak.

Theory of Planned Behavior (TPB) adalah salah satu teori perilaku yang sering digunakan untuk menjelaskan perilaku kepatuhan pajak. Teori ini menjelaskan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh niat yang dimiliki. Sementara niat seseorang dibentuk oleh sikap terhadap perilaku (attitude toward the behavior ), norma subjektif (subjective norm), dan kontrol keperilakuan yang dipersepsikan (perceived behavioral control) melalui keyakinan yang dimilikinya. Blanthorne (2000) dan Bobek (2003) dalam Mustikasari (2007) membuktikan bahwa perilaku tidak patuh (noncompliance) wajib pajak sangat dipengaruhi oleh sikap, norma subjektif, dan kontrol keperilakuan yang dipersepsikan.

Beberapa peneliti lain juga melakukan penelitian tentang kepatuhan wajib pajak dengan menggunakan Theory of Planned Behavior dalam menjelaskan perilaku wajib pajak dan menemukan hasil yang berbeda-beda. Mustikasari (2007) menemukan bahwa sikap berpengaruh positif terhadap niat tax professional untuk berperilaku tidak patuh. Tax Professional adalah profesional di perusahaan yang ahli di bidang perpajakan (Harinurdin 2009). Temuan ini didukung oleh Nurina (2010) yang melakukan penelitian terhadap wajib pajak orang pribadi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sikap berpengaruh positif terhadap wajib pajak orang pribadi untuk berperilaku tidak patuh.

Selain itu Mustikasari (2007) menemukan bahwa norma subjektif berpengaruh negatif terhadap niat. Mustikasari (2007) menyebutkan pengaruh orang sekitar (perceived social pressure) yang kuat mempengaruhi niat tax professional untuk berperilaku patuh. Berbeda dengan Oktavia (2009) dan Nurina (2010) yang menemukan bahwa norma subjektif berpengaruh positif terhadap niat berperilaku tidak patuh.

36 Desak Made Santika Dewi, Rr. Sri Pancawati Martiningsih, Lalu Takdir Jumaidi

Penelitian Mustikasari (2007) juga menemukan bahwa pengaruh kontrol keperilakuan yang dipersepsikan berpengaruh positif terhadap niat tax professional untuk berperilaku tidak patuh. Semakin rendah persepsi tax professional atas kontrol yang dimilikinya, akan mendorong tax professional berniat patuh (Mustikasari, 2007). Temuan ini didukung oleh Nurina (2010) yang menemukan bahwa pengaruh kontrol keperilakuan yang dipersepsikan berpengaruh positif terhadap niat untuk berperilaku tidak patuh. Penelitian ini tidak didukung oleh Mandiri, Tarjo dan Herawati (2009) yang menemukan bahwa kontrol keperilakuan yang dipersepsikan tidak berpengaruh terhadap niat berperilaku tidak patuh. Penelitian Mandiri, Tarjo dan Herawati (2009) menggunakan wajib pajak orang pribadi. Hal ini menunjukkan bahwa wajib pajak orang pribadi kurang memiliki kontrol yang dapat mengahambat maupun mendorongnya untuk berniat tidak patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Penelitian Mustikasari (2007) dan Oktavia (2009) menemukan bahwa kewajiban moral berpengaruh negatif terhadap niat berperilaku tidak patuh. Mustikasari (2007) menyebutkan bahwa tax professional yang memiliki kewajiban moral yang tinggi, niat ketidakpatuhannya rendah atau sebaliknya. Mandiri, Tarjo dan Herawati (2009) juga menemukan bahwa kewajiban moral berpengaruh terhadap niat berperilaku tidak patuh. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, Nurina (2010) menemukan bahwa kewajiban moral berpengaruh positif terhadap niat wajip pajak orang pribadi untuk berperilaku tidak patuh.

Penelitian Mustikasari (2007), Oktavia (2009) dan Miladia (2010) menemukan bahwa niat berpengaruh positif terhadap ketidakpatuhan wajib pajak. Mustikasari (2007) menyebutkan bahwa tax professional yang memiliki niat ketidakpatuhan pajak rendah, ketidakpatuhan pajaknya rendah atau sebaliknya. Penelitian ini juga didukung oleh Pangestu dan Rusmana (2012) yang menemukan bahwa niat wajib pajak untuk patuh berpengaruh terhadap kepatuhan pajak. Hal ini berarti bahwa wajib pajak yang memiliki niat untuk patuh yang tinggi, kepatuhan pajaknya tinggi.

Sebaliknya Nurina (2010) serta Fauziawati dan Minova (2012) menemukan bahwa niat tidak berpengaruh terhadap kepatuhan pajak. Menurut Nurina (2010) tidak terdapatnya pengaruh tersebut menandakan bahwa adanya niat wajib pajak untuk berperilaku tidak patuh tidak mengakibatkan ketidakpatuhan wajib pajak.

Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tax compliance (kepatuhan pajak) dengan menggunakan Theory of Planned Behavior mengingat pentinganya kepatuhan wajib pajak dalam rangka meningkatkan penerimaan negara khususnya dalam sektor perpajakan. Penelitian ini dikembangkan dalam bentuk skripsi yang

berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tax Compliance Penyetoran SPT Masa PPN (Studi Empiris Pada PKP yang Terdaftar di

KPP Pratama Mataram Barat)”.

Jurnal Keuangan dan Bisnis, Vol. 12, No. 2, Oktober 2014

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah yang menjadi pokok bahasan penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaruh sikap, norma subjektif, kontrol keperilakuan yang dipersepsikan, dan kewajiban moral terhadap niat untuk patuh?

2. Bagaimana pengaruh niat untuk patuh terhadap kepatuhan pajak (tax compliance) ?

TELAAH TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Theory of Planned Behavior (TPB)

Menurut Theory of Planned Behavior (Teori Perencanaan Perilaku), perilaku manusia didasarkan atas tiga jenis pertimbangan yaitu:

1. behavioral beliefs (keyakinan perilaku), yaitu keyakinan tentang kemungkinan hasil dari perilaku dan evaluasi atas hasil tersebut (beliefs strength and outcome evaluation) . Keyakinan perilaku menghasilkan sikap terhadap perilaku baik atau buruk;

2. normative beliefs (keyakinan normatif), yaitu keyakinan tentang harapan normatif orang lain dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (nomative beliefs and motivation to comply) . Keyakinan normatif mengakibatkan tekanan sosial yang dirasakan atau norma subjektif (subjective norm); dan

3. control beliefs (keyakinan kontrol), yaitu keyakinan tentang adanya faktor yang dapat memfasilitasi atau menghambat perilaku yang akan ditampilkan (control beliefs) dan persepsi tentang seberapa kuat faktor tersebut (perceived power). Keyakinan kontrol menimbulkan kontrol keperilakuan yang dipersepsikan.

Dalam kombinasinya, sikap terhadap perilaku (attitude toward the behavior), norma subjektif (subjective norm), dan kontrol keperilakuan yang dipersepsikan (perceived behavioral control) mengarah pada pembentukan niat perilaku (intention) (Ajzen, 2002).

Gambar 1 Theory of Planned Behavior

Sumber: Ajzen, Icek. 2002. Constructing a TPB Questionnaire: Conceptual and Methodological Consideration. September (Revised January, 2006).

38 Desak Made Santika Dewi, Rr. Sri Pancawati Martiningsih, Lalu Takdir Jumaidi

Relevansi dari Theory of Planned of Behavior dengan penelitian ini adalah bahwa perilaku patuh atau tidak patuh wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dipengaruhi oleh niat yang dimiliki oleh wajib pajak. Apabila wajib pajak memiliki niat untuk patuh terhadap kewajiban perpajakannya maka akan terjadi perilaku tax compliance (kepatuhan pajak). Dimana niat untuk patuh ditentukan oleh tiga faktor yaitu sikap, norma subjektif dan kontrol keperilakuan yang dipersepsikan yang dimiliki oleh wajib pajak.

Tax Compliance (Kepatuhan Pajak)

Kepatuhan dalam hal perpajakan berarti keadaan wajib pajak yang melaksanakan hak, dan khususnya kewajibannya, secara disiplin sesuai peraturan perpajakan yang berlaku. Kepatuhan dimaksud adalah terkait dengan bagaimana melaporkan semua informasi yang diperlukan tepat pada waktunya, mengisi secara benar jumlah pajak terutang, dan membayar pajak tepat pada waktunya (Pangestu dan Rusmana 2012). Kriteria Wajib Pajak Patuh yang disebutkan dalam pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penetapan dan Pencabutan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu Dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak menyebutkan:

Untuk dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu, Wajib Pajak harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;

b. tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak;

c. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan

d. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.

Tepat waktu penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf a tersebut meliputi:

a. penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan selama 3 (tiga) Tahun Pajak terakhir yang wajib disampaikan sampai dengan akhir tahun sebelum tahun penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu dilakukan tepat waktu;

b. penyampaian Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat dalam tahun terakhir untuk Masa Pajak Januari sampai November tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut; dan

c. Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud pada huruf

b telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Masa Pajak berikutnya.

Jurnal Keuangan dan Bisnis, Vol. 12, No. 2, Oktober 2014

Menurut Nurmantu (2003) dalam Widodo, Djefris dan Wardhani (2010:68-69), terdapat dua macam kepatuhan yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material.

1. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajibannya secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan. Misalnya ketentuan tentang batas waktu penyampaian SPT PPh Tahunan adalah selambat-lambatnya 3 bulan setelah berakhirnya tahun pajak untuk wajib pajak orang pribadi dan 4 bulan untuk wajib pajak badan, yang pada umumnya adalah tanggal 31 Maret dan 30 April. Jika wajib pajak menyampaikan SPT PPh tersebut sebelum tanggal batas waktu tersebut maka dapat dikatakan bahwa wajib pajak tersebut telah memenuhi kepatuhan formal.

2. Kepatuhan Material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantif (hakekat) memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan material dapat juga meliputi kepatuhan formal. Jadi wajib pajak yang memenuhi kepatuhan material dalam mengisi SPT PPh, adalah wajib pajak yang mengisi dengan jujur, baik dan benar atas SPT tersebut sehingga sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakan dan menyampaiakan ke KPP sebelum batas waktu.

Adapun faktor-faktor yang mendorong kepatuhan Wajib Pajak yaitu: (1) kemudahan memperoleh informasi melalui sistem perpajakan, (2) keberadaan peraturan perpajakan yang baik, (3) tarif pajak yang baik dan tidak memberatkan, (4) kemudahan proses pelaporan, dan (5) kenyamanan di kantor pajak (Widodo, Djefris dan Wardhani 2010:214).

Wajib Pajak

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 2 mendefinisikan wajib pajak yaitu:

“Wajib Pajak (WP) adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.”

Wajib pajak dibedakan menjadi 2 yaitu wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan. Selanjutnya dalam Undang-Undang tersebut yang dimaksud badan adalah:

“Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,

40 Desak Made Santika Dewi, Rr. Sri Pancawati Martiningsih, Lalu Takdir Jumaidi

organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. ”

Sistem Pemungutan Pajak Setelah reformasi perpajakan, pemungutan pajak langsung dan pajak tidak langsung digunakan satu sistem yaitu sistem berbayar sendiri (self assessment). Sistem ini dipilih karena menurut Undang-undang Perpajakan yang baru wajib pajak diberi kepercayaan sepenuhnya untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya (A.T. Salamun 1991:111-112). Waluyo (2011) menyebutkan bahwa Sistem Self Assessment adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pengusaha Kena Pajak (PKP)

PPN adalah pajak yang dikenakan atas pertambahan nilai suatu barang atau jasa. Suatu pertambahan nilai tercipta karena untuk menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang ataupun memberikan pelayanan jasa membutuhkan faktor-faktor produksi pada berbagai tingkat produksi (Judisseno 2002:321). Dasar hukum mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah (PPN dan PPnBM) adalah UU Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana terakhir diubah dengan UU Nomor 42 Tahun 2009.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 pasal 4 ayat 1 menyebutkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:

a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

b. impor Barang Kena Pajak;

c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;

g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan

h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Selain itu, dalam pasal 1 ayat 14 - 15 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 menyebutkan:

“Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau

Jurnal Keuangan dan Bisnis, Vol. 12, No. 2, Oktober 2014

memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean. Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai pajak berdasarkan Undang- Undang ini.”

Pengusaha yang wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM dikecualikan dari pengsuaha kecil. Pengusaha kecil yang dimaksud dijelaskan dalam pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai yang menyebutkan:

“Pengusaha kecil merupakan pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). ”

Sebelumnya dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa standar peredaran bruto untuk pengusaha kecil adalah tidak lebih dari Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah).

Besarnya jumlah PPN yang harus disetor setiap bulan adalah selisih antara Pajak Keluaran (PK) dan Pajak Masukan (PM) (A.T. Salamun 1991:149-150). Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-18/PJ/2011 tentang Target Rasio Kepatuhan Penyampaian Surat Pemberitahuan Pada Tahun 2011 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-06/PJ/2012 tentang Target Rasio Kepatuhan Penyampaian Surat Pemberitahuan Pada Tahun 2012 bahwa yang dimaksud PKP meliputi PKP Orang Pribadi dan PKP Badan yang terdaftar dalam administrasi DJP pada akhir bulan kegiatan sebelumnya.

Pengusaha orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan, sedangkan bagi Pengusaha badan berkewajiban melaporkan usahanya tersebut pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan.

Surat Pemberitahuan (SPT)

Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Diana dan Setiawati 2009:121). SPT memiliki berbagai fungsi diantaranya bagi wajib pajak pajak penghasilan, bagi PKP dan bagi pemotong atau pemungut pajak.

a. Bagi WP Pajak Penghasilan, SPT berfungsi sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:

42 Desak Made Santika Dewi, Rr. Sri Pancawati Martiningsih, Lalu Takdir Jumaidi

1. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.

2. penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak,

3. harta dan kewajiban, dan/atau

4. pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam satu Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

b. Bagi PKP, SPT berfungsi sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:

1. pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran dan

2. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh PKP dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

c. Bagi pemotong atau pemungut pajak, SPT berfungsi sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.

Sehingga dapat disimpulkan fungsi SPT secara umum adalah sarana untuk mempertanggungjawabkan dan melaporkan pajak yang sebenarnya terutang oleh wajib pajak baik oleh wajib pajak pajak penghasilan, wajib pajak PKP dan pemotong atau pemungut pajak.

Terdapat dua jenis SPT yaitu:

1. SPT Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.

2. SPT Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk mengitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka watu tertentu. Masa Pajak sama dengan 1 bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lama 3 bulan kalender.

Sikap ( Attitude)

Sikap merupakan produk dari proses sosialisasi di mana seseorang bereaksi sesuai dengan rangsang yang diterimanya (Mar‟at 1981:9). Menurut

Mustikasari (2007), sikap adalah suatu bentuk evaluasi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada obyek tersebut. Sikap mempunyai peran yang penting dalam menjelaskan perilaku seseorang dalam lingkungannya, walaupun masih banyak faktor lain yang mempengaruhi perilaku, seperti stimulus, latar belakang individu, motivasi, dan status kepribadian. Secara timbal balik, faktor lingkungan juga mempengaruhi sikap dan perilaku. Ajzen (2002) menyebutkan sikap terhadap tingkah laku

Jurnal Keuangan dan Bisnis, Vol. 12, No. 2, Oktober 2014

(attitude toward the behavior) ditentukan oleh keyakinan perilaku (behavioral beliefs) yang dimiliki oleh seseorang.

Penelitian Mustikasari (2007) berhasil membuktikan bahwa sikap berpengaruh positif terhadap niat untuk berperilaku. Tax professional yang memiliki sikap terhadap ketidakpatuhan positif, niat ketidakpatuhan pajaknya tinggi. Pangestu dan Rusmana (2012) juga menemukan bahwa sikap berpengaruh terhadap niat wajib pajak untuk patuh. Semakin positif sikap wajib pajak untuk patuh terhadap pajak, maka niat wajib pajak untuk patuh semakin besar.

Norma Subjektif (Subjetive Norm)

Norma subjektif adalah persepsi individu tentang pengaruh sosial dalam membentuk perilaku tertentu (Ajzen 1988 dalam Mustikasari 2007). Norma subjektif merupakan fungsi dari harapan yang dipersepsikan individu dimana satu atau lebih orang disekitarnya (misalnya saudara, teman sejawat) menyetujui perilaku tertentu dan memotivasi individu tersebut untuk mematuhi mereka (Ajzen 1991). Ajzen (2002) menyebutkan bahwa subjective norm (norma subjektif ditentukan oleh normative beliefs (keyakinan normatif) yang dimiliki oleh seseorang yang mengakibatkan tekanan sosial yang dirasakan atau norma subjektif.

Penelitian tentang kepatuhan wajib pajak menunjukkan bahwa teman sejawat mempunyai pengaruh penting untuk memprediksi perilaku wajib pajak (Jackson dan Milliron 1986; Roth et al., 1989; Steenbergen, McGraw and Scholz 1992 dalam Mustikasari 2007). Indikator norma subjektif yang digunakan Bobek & Hatfield (2003) yaitu anggota keluarga, pimpinan perusahaan, teman, pasangan dan Hanno & Violette (1996) indikator yang digunakan yaitu keluarga telah membuktikan secara empiris bahwa norma subjektif secara positif mempengaruhi niat ketidakpatuhan wajib pajak (Mustikasari 2007). Norma subjektif membentuk niat tax professional untuk berperilaku patuh (pengaruh orang-orang yang dianggap penting disekitar tax professional) (Miladia 2010).

Penelitian Oktavia (2009) dan Fauziawati dan Minova (2012) menemukan bahwa norma subjektif berpengaruh positif terhadap niat berperilaku. Hal ini disebabkan karena keinginan atau niat seseorang dipengaruhi oleh lingkungan tempat wajib pajak itu berada.

Kontrol Keperilakuan yang Dipersepsikan (Perceived Behavioral Control)

Kontrol keperilakuan yang dipersepsikan dalam konteks perpajakan adalah seberapa kuat tingkat kendali yang dimiliki seorang wajib pajak dalam menampilkan perilaku tertentu, seperti melaporkan penghasilannya lebih rendah, mengurangkan beban yang seharusnya tidak boleh dikurangkan ke penghasilan, dan perilaku ketidakpatuhan lainnya (Bobek dan Hatfield 2003 dalam Mustikasari 2007). Artinya, semakin kuat tingkat kendali yang dimilki seorang wajib pajak untuk menampilkan perilaku kepatuhan pajak maka akan semakin patuh wajib pajak tersebut. Ajzen (2002) mengatakan bahwa kontrol keperilakuan yang dipersepsikan memberikan implikasi motivasi pada individu yang akan berperilaku tersebut. Dalam arti bahwa, niat akan terbentuk apabila individu merasa mampu untuk menampilkan perilaku.

44 Desak Made Santika Dewi, Rr. Sri Pancawati Martiningsih, Lalu Takdir Jumaidi

Penelitian yang dilakukan oleh Mustikasari (2007) menemukan bahwa kontrol keperilakuan yang dipersepsikan berpengaruh positif terhadap niat tax professional untuk berperilaku tidak patuh. Hal ini menunjukkan semakin rendah persepsi tax professional atas kontrol yang dimilikinya akan mendorong tax professional berniat patuh. Pangestu dan Rusmana (2012) juga menemukan bahwa kontrol keperilakuan yang dipersepsikan berpengaruh terhadap niat wajib pajak untuk patuh. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi wajib pajak atas kendali dan kesanggupan yang dimilikinya akan mendorong niat wajib pajak untuk patuh.

Kewajiban Moral (Moral Obligation)

Ajzen (1991) menyebutkan bahwa model Theory of Planned Behavior masih memungkinkan untuk ditambahi variabel prediktor lain selain ketiga variabel pembentuk niat. Moralitas adalah hidup yang tertuang dalam perilaku yang benar, yaitu perilaku benar dalam hubungan dengan orang lain maupun dengan diri sendiri (Kurtines dan Gerwitz 1984:14). Cahyonowati (2011) menyebutkan moral perpajakan merupakan motivasi intrinsik wajib pajak untuk mematuhi dan membayar pajak sehingga seharusnya menjadi fokus utama kebijakan otoritas pajak. Kewajiban moral (moral obligation) merupakan norma individu yang dipunyai oleh seseorang yang kemungkinan tidak dimilki oleh orang lain, dimana norma ini secara implisit termasuk dalam model Theory of Planned Behavior (Mustikasari, 2007).

Penelitian yang dilakukan oleh Mustikasari (2007) dan Oktavia (2009) menunjukkan bahwa kewajiban moral berpengaruh negatif terhadap niat berperilaku tidak patuh. Hal ini menunjukkan pernyataan kewajiban moral terhadap ketidakpatuhan pajak yaitu tindakan yang melanggar etika, perasaan bersalah, dan prinsip hidup merupakan indikator yang membentuk kewajiban moral.

Niat untuk Patuh ( Intention to Comply)

Niat berperilaku merupakan variabel perantara dalam membentuk perilaku (Ajzen 2002). Dalam Theory of Planned Behavior (TPB), perilaku yang ditampilkan oleh individu timbul karena adanya niat untuk berperilaku. Sedangkan munculnya niat berperilaku ditentukan oleh 3 faktor penentu yaitu behavioral beliefs, normative beliefs dan control beliefs.

Pada umumnya manusia bertindak sesuai dengan niat atau tendensinya. Niat wajib pajak untuk patuh merupakan suatu keadaan dimana seorang wajib pajak memiliki kecenderungan atau keputusan untuk berperilaku patuh pada ketentuan perpajakan. Kecenderungan adalah kecondongan atau tendensi pribadi wajib pajak untuk patuh atau tidak patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Keputusan adalah keputusan pribadi yang dipilih wajib pajak untuk mematuhi atau tidak mematuhi aturan perpajakan (Harisnani 2011:28 dalam Pangestu dan Rusmana 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Mustikasari (2007), Oktavia (2009), Miladia (2010) serta Pangestu dan Rusmana (2012) berhasil membuktikan bahwa niat untuk patuh berpengaruh positif terhadap kepatuhan pajak (tax compliance).

Jurnal Keuangan dan Bisnis, Vol. 12, No. 2, Oktober 2014

Hal ini berarti bahwa wajib pajak yang memiliki niat untuk patuh yang tinggi, kepatuhan pajaknya pun tinggi.

Gambar 2 menyajikan model penelitian “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tax Compliance Penyetoran SPT Masa PPN ”.

Gambar 2 Model Penelitian

Sikap (Attitude) (X 1 )

Norma subjektif

(Subjective Norm) (X 2 )

Niat untuk Patuh

Kontrol Perilaku

Kepatuhan Pajak

(Intention to

yang Dipersepsikan (Tax Compliance) (Perceived

Comply)

(Y 2 ) Control)

Kewajiban Moral : pengaruh parsial (Moral

: pengaruh simultan Obligation) X4)

Pengembangan Hipotesis Pengaruh Sikap terhadap Niat untuk Patuh

Sikap mempengaruhi arah perilaku seseorang apakah mendukung (favorable) atau tidak mendukung (unfavorable) terhadap suatu objek sikap. Sikap mempunyai peran yang penting dalam menjelaskan perilaku seseorang dalam lingkungannya (Mustikasari 2007). Seseorang yang mendukung atas suatu objek sikap akan memiliki kecenderungan bertindak untuk melakukan tindakan terhadap objek sikap. Seseorang wajib pajak yang mendukung (bersikap positif) terhadap tindakan kepatuhan pajak akan memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan kepatuhan pajak. Begitupula sebaliknya, seorang wajib pajak yang tidak mendukung (bersikap negatif) terhadap tindakan kepatuhan pajak akan memiliki kecenderungan untuk tidak melakukan tindakan kepatuhan pajak (Miladia 2010). Dengan kata lain semakin positif sikap wajib pajak terhadap kepatuhan pajak

46 Desak Made Santika Dewi, Rr. Sri Pancawati Martiningsih, Lalu Takdir Jumaidi

maka semakin kuat niat wajib pajak untuk patuh (Nurina 2010). Sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu:

H1a : Sikap berpengaruh positif terhadap niat untuk patuh.

Pengaruh Norma Subjektif terhadap Niat untuk Patuh

Norma subjektif membentuk niat wajib pajak untuk berperilaku patuh (pengaruh orang-orang yang dianggap penting disekitar wajib pajak) (Miladia 2010). Apabila orang-orang yang dianggap penting oleh wajib pajak memiliki sikap positif terhadap pajak, maka wajib pajak akan patuh membayar pajak. Sebaliknya, jika orang-orang yang dianggap penting oleh wajib pajak memiliki sikap negatif terhadap pajak, maka wajib pajak akan menghindari pajak (Pangestu dan Rusmana 2012). Sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu:

H1b : Norma subjektif berpengaruh positif terhadap niat untuk patuh.

Pengaruh Kontrol Keperilakuan yang Dipersepsikan terhadap Niat untuk Patuh

Kontrol keperilakuan yang dipersepsikan merupakan seberapa kuat tingkat kendali yang dimiliki seorang wajib pajak dalam menampilkan perilaku tertentu (Bobek dan Hatfield 2003 dalam Mustikasari 2007). Niat akan terbentuk apabila individu merasa mampu untuk menampilkan perilaku. Apabila tingkat kendali yang dimiliki oleh wajib pajak semakin kuat untuk menampilkan perilaku kepatuhan pajak maka wajib pajak akan semakin patuh, dan sebaliknya apabila tingkat kendali yang dimiliki oleh wajib pajak semakin kuat untuk menampilkan perilaku ketidakpatuhan pajak maka wajib pajak akan semakin tidak patuh. Sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu:

H1c : Kontrol keperilakuan yang dipersepsikan berpengaruh positif

terhadap niat untuk patuh.

Pengaruh Kewajiban Moral terhadap Niat untuk Patuh

Kewajiban moral merupakan norma individu yang dipunyai oleh seseorang, namun kemungkinan tidak dimiliki oleh orang lain (Mustikasari 2007). Dalam kaitannya dengan perilaku wajib pajak dalam pelaporan pajak, kewajiban moral pajak merupakan prinsip-prinsip moral atas nilai-nilai yang diyakini seseorang mengapa dia membayar pajak (Mandiri, Tarjo dan Herawati 2009).

Penilaian wajib pajak bahwa ketidakpatuhan pajak merupakan tindakan yang melanggar etika dan prinsip hidup akan mempengaruhi niat wajib pajak untuk melakukan kepatuhan pajak. Begitu juga dengan perasaan bersalah dalam melakukan ketidakpatuhan pajak. Jika wajib pajak merasa bersalah dengan melakukan ketidakpatuhan pajak, maka akan memunculkan niat wajib pajak untuk berperilaku patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu:

H1d : Kewajiban moral berpengaruh positif terhadap niat untuk patuh.

Jurnal Keuangan dan Bisnis, Vol. 12, No. 2, Oktober 2014

Pengaruh Niat untuk Patuh terhadap Tax Compliance (Kepatuhan Pajak)

Niat wajib pajak untuk patuh merupakan suatu keadaan dimana seorang wajib pajak memiliki kecenderungan atau keputusan untuk berperilaku patuh pada ketentuan perpajakan (Harisnani 2011:28 dalam Pangestu dan Rusmana 2012). Apabila seorang wajib pajak memiliki persepsi bahwa tindakan membayar pajak akan memberikan banyak keuntungan, maka ia akan berniat positif terhadap kewajiban membayar pajak. Apabila wajib pajak memiliki persepsi bahwa tindakan membayar pajak akan memberikan kerugian, maka ia akan berniat negatif terhadap kewajiban membayar pajak (Pangestu dan Rusmana 2012). Wajib pajak yang memiliki niat untuk patuh yang tinggi maka kepatuhan pajaknya tinggi. Sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu:

H2 : Niat untuk patuh berpengaruh positif terhadap tax compliance (kepatuhan pajak).

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian asosiatif dengan hubungan kausal. Penelitian asosiatif adalah penelitian yang bersifat menanyakan hubungan antara dua variabel atau lebih sementara hubungan kausal adalah hubungan yang bersifat sebab akibat (Sugiyono 2014:36-37).

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey. Metode survey digunakan untuk mendapatkan data dari tempat tertentu yang alamiah (bukan buatan), tetapi peneliti melakukan perlakuan dalam pengumpulan data, misalnya dengan mengedarkan kuesioner (Sugiyono 2014:6).

Penelitian ini dilakukan di KPP Pratama Mataram Barat yang berlokasi di Jln. Langko No. 74 Mataram. Alasan dipilihnya lokasi ini karena berdasarkan fenomena yang terjadi di KPP Pratama Mataram Barat yaitu kepatuhan wajib pajak yang terus menurun. Selain itu jumlah PKP yang terdaftar di KPP Paratama Mataram Barat lebih banyak dibandingkan dengan jumlah PKP yang terdaftar di KPP Pratama Mataram Timur.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh PKP baik orang pribadi maupun badan yang terdaftar di KPP Pratama Mataram Barat per 28 Februari tahun 2015 yang berjumlah 745 PKP orang pribadi dan 192 PKP badan.

Untuk menentukan besarnya sampel untuk masing-masing PKP digunakan rumus Slovin (Umar 2014:78), yaitu sebagai berikut:

Keterangan: n = ukuran sampel N = ukuran populasi

e = persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel

yang masih dapat ditolerir atau diinginkan (digunakan 10%)

Sehingga besarnya sampel dapat dihitung sebagai berikut:

48 Desak Made Santika Dewi, Rr. Sri Pancawati Martiningsih, Lalu Takdir Jumaidi

Perhitungan sampel PKP OP

= 88,16 88 (dibulatkan), PKP OP yang menjadi sampel sebanyak 88.

Perhitungan sampel PKP Badan

= 65,75 66 (dibulatkan), PKP Badan yang menjadi sampel sebanyak 66.

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu nonprobability sampling dengan teknik sampling insidental. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner Instrumen kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini diadopsi dari penelitian Mustikasari (2007). Jenis data dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dengan sumber data primer. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah PKP yang bertindak sebagai responden. Variabel dalam penelitian ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Variabel independen (variabel bebas) dalam penelitian ini adalah Sikap (attitude) (X 1 ), Norma subjektif (subjective norm) (X 2 ), Kontrol Keperilakuan yang Dipersepsikan (perceived behavioral control) (X 3 ), dan Kewajiban Moral (moral obligation) (X4).

b. Variabel intervening dalam penelitian ini yaitu Niat untuk Patuh (intention to comply) (Y 1 ).

c. Variabel Dependen (variabel terikat) dalam penelitian ini adalah Tax

Compliance (Kepatuhan Pajak) (Y 2 ).

Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Indikator masing-masing variabel yang mempengaruhi niat dan perilaku diperoleh dari hasil exploratory-test atau yang dalam TPB sering disebut sebagai belief elicitation procedures (BEP) yang dikembangkan oleh Mustikasari (2007). Definisi operasional masing-masing variabel disajikan sebagai berikut:

Sikap (attitude)

Sikap adalah suatu bentuk perasaan seseorang apakah mendukung atau memihak (favorable) maupun tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) terhadap suatu obyek. Pengukuran variabel sikap menggunakan 4 indikator pertanyaan dengan kerangka penilaian harapan (valuation-expectancy framework). Pernyataan pertama untuk mengukur belief strength. Pernyataan kedua berkaitan dengan outcome evaluation (Mustikasari 2007). Ajzen (2002) memberikan formula sikap dalam persamaan sebagai berikut:

Jurnal Keuangan dan Bisnis, Vol. 12, No. 2, Oktober 2014

Dimana: A B = attitude toward the behavior

b = belief strength

e = outcome evaluation

Norma Subjektif (subjective norm)