TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN PIDANA MATI DALAM SISTEM PEMIDANAAN INDONESIA

  TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN PIDANA MATI DALAM SISTEM PEMIDANAAN INDONESIA (Jurnal) Oleh BUDI RIZKI HUSIN, S.H., M.H. NIP. 197709302010121002

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2015

  

ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN PIDANA MATI

DALAM SISTEM PEMIDANAAN INDONESIA

Oleh

BUDI RIZKI HUSIN, S.H., M.H.

  Pemidanaan pada dasarnya merupakan suatu penderitaan yang sengaja dan dibebankan kepada seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Pidana sebagai reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada si pembuat delik itu. Pidana pada hakekanya merupakan suatu pcngenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (orang yang berwenang) dan pidana dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. Sistem pemidanaan di Indonesia yang berlaku saat ini masih menerapkan pidana mati terhadap tindak pidana tertentu yang berpotensi membahayakan dan mengancam kehidupan bangsa dan negara. Permasalahan penelitian ini adalah: Bagaimanakah penerapan pidana mati dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, dengan sumber data sekunder yang dikumpulkan melalui studi pustaka. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa penerapan pidana mati dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan KUHP yang menggunakan perumusan alternatif, artinya hakim dapat memilih tiga ancaman pidana pokok yaitu pidana mati, pidana penjara seumur hidup dan pidana sementara waktu dua puluh tahun. Pidana mati dilaksanakan dengan pembuktian dan pemeriksaan yang sangat ketat, dengan berbagai pertimbangan keamanan dan ketertiban masyarakat umum, serta didasarkan putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

  Kata Kunci: Penerapan, Pidana Mati, Sistem Pemidanaan

  

ABSTRACT

JURIDIS REVIEW OF THE IMPLEMENTATION OF CRIMINAL DEAD IN

INDONESIA'S TRAINING SYSTEM

  By

BUDI RIZKI HUSIN, S.H., M.H.

  

Criminalization is essentially a deliberate misery and imposed on someone who commits

an act that meets certain conditions. Criminal in reaction to the offense and this is the

intention of a deliberate state inflicted upon the maker of the offense. Criminal law is a

matter of suffering or misfortune or other unpleasant consequences. The penalty shall be

granted intentionally by a person or entity which has power (the competent person) and

the penalty imposed on a person who has committed a criminal offense under the law. The

current criminal punishment system in Indonesia still applies capital punishment to

certain crimes that are potentially harmful and threaten the life of the nation and state.

The problems of this research are: How is the application of capital punishment in the

Penal System in Indonesia? This study uses a normative juridical approach, with

secondary data sources collected through literature study. Data analysis is done

qualitatively. Based on the discussion it can be concluded that the application of capital

punishment in the Penal System in Indonesia is carried out in accordance with the

Criminal Code which uses alternative formulation, meaning that the judge can choose

three main criminal threats namely capital punishment, life imprisonment and criminal

punishment for twenty years. The death penalty is carried out with very strict proof and

examination, with various considerations of public order and security, and based on

judges' verdicts having permanent legal force .

  Keywords: Application, Death Penalty, Penalty System

  Hukum pada dasarnya merupakan pedoman atau pegangan bagi manusia yang digunakan sebagai pembatas sikap, tindak atau perilaku dalam melangsungkan antar hubungan dan antar kegiatan dengan sesama manusia lainnya dalam pergaulan hidup bermasyarakat.

  dalam kehidupan masyarakat adalah adanya kekuasaan kehakiman (judicial

  power ), yang diselenggarakan dalam

  Sistem Peradilan Pidana (Criminal

  Justice System ) yakni Kepolisian,

  Kejaksaan dan Pengadilan. Selain secara komplementer terdapat fungsi pemasyarakatan, advokat serta notaris untuk mendukung tugas penegakan hukum. Recht positie dari subsistem peradilan pidana Indonesia adalah Kepolisian dan Kejaksaan serta Pemasyarakatan masuk ranah eksekutif, sedangkan Pengadilan masuk ranah yudikatif. Kemudian advokat merupakan 1 Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan

  Pidana Indonesia Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi.

  Pusat Keadilan dan Pengabdian

  pejabat publik yang independend di mana advokat tidak berada di dalam dua ranah yang ada tersebut. Tugas dan fungsi sub sistem peradilan pidana tersebut menegakan hukum demi kemaslahatan masyarakat, meskipun posisi sub sistem peradilan pidana beragam namun dalam menjalankan fungsinya jelas atas nama negara. Sub sistem peradilan pidana berada di atas semua ranah dan kekuasaan yang ada di negara Indonesia secara operasional dalam kewenangan. Realita tersebut menjadi sulit dimaknai seimbang apabila bekerjanya sub sistem peradilan pidana tersebut berhadap-hadapan dengan eksistensi Hak Asasi Manusia. Konkritnya adalah dalam penjatuhan dan pelaksanaan pidana mati kepada seseorang yang diduga keras dan terbukti melakukan suatu kejahatan yang sangat berat, misalnya terorisme, narkoba, pembunuhan berencana, makar, dan korupsi. Hukuman mati di dalam Pasal 10 Buku Kesatu (Algemene Bepalingen) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

I. Pendahuluan

1 Wujud nyata dari implementasi hukum

  1918 keberadaan hukuman mati dalam KUHP Indonesia (wetboek van strafrech

  voor Nederland Indie ), sementara itu

  negeri Belanda sendiri Tahun 1830 telah menghapus hukuman mati dalam

  3 Pro dan kontra mengenai hukuman mati

  Pasal 479 Ayat (2) pembajakan udara yang berakibat matinya obyek dan hancurnya pesawat udara.

  9. Pasal 444 pembajakan yang berakibat matinya obyek; 10.

2 Berdasarkan Kitab Undang-Undang

  3. Pasal 124 Ayat (3) Jo. Pasal 129 penghianatan dalam arti sempit (negara sahabat); 4.

  Wetboek van Strafrecht .

  been a logic bahkan Satjipto Rahardjo nenyatakan hukum itu bukan manusia, tetapi untuk manusia dalam Fachmi Kepastian Hukum Mengenai Putusan Batal Demi Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Disertasi

  tetapi lebih kepada pendekatan sosial dan kemanusiaan, namun patut dicermati agar eksistensi hukuman mati lebih tepat tujuannya. 3 P.A.F Lamintang, Hukum Penetensier Indonesia, Armico, Bandung, 2005, hlm.7. 4 Badra Nawawi Arief, Op.Cit., hlm. 6. 5 Philipe, Selznik dan No.net the law has No.t

  5

  mengenai hukum

  4 Kendati argumentasi mereka tidak selalu

  telah membawa perdebatan sampai upaya uji materiil oleh Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 28i UUD 1945, sebab di tengah beberapa perubahan yang mendasar tersebut, ternyata dalam RKUHP masih mengatur beberapa ketentuan yang selama ini menjadi kontroversi, hukuman mati. Perspekif global menunjukkan pandangan pro dan kontra terhadap eksistensi pidana mati dan eksekusinya.

  Hukum Pidana terdapat 10 (sepuluh) pasal tentang kejahatan yang diancam dengan hukuman mati antara lain: 1.

  Pasal 140 Ayat (3) makar berencana terhadap kepala negara sahabat;

  Pasal 104 makar membunuh presiden;

  Global, Pembaharuan Hukum Pidana dan Alternatif Pidana Untuk Koruptor , Pustaka Magister Semarang, 2012, hlm. 1.

  2. Pasal 111 Ayat (2) penghianatan dalam arti luas;

  Pasal 365 Ayat (4) perampokan berat;

  6. Pasal 340 pembunuhan berencana; 7.

  5. Pasal 185 Jo. 340 duel yang dilakukan dengan rencana;

  8. Pasal 368 Ayat (2) pemerasan berat; 2 Barda Nawawi Arief, Pidana Mati, Perspektif

  Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan dalam tulisan ini adalah: Bagaimanakah penerapan pidana mati dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia?

II. PEMBAHASAN

  Pidana mati masih terdapat dalam sistem hukum Indonesia. Dengan melihat sejarah hukum pidana di Indonesia, di mana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia berasal dari belanda, masih terdapat pidana mati di Indonesia merupakan hal yang ganjil. Mengingat dalam KUHP belanda pidana mati telah dihapus. Oleh sebab itu perlu dipertanyakan mengapa pemerintah di Hindia Belanda masih mempertahankan pidana mati di india Belanda sekarang adalah Indonesia. Pemerintahan Hindia Belanda menganggap bahwa rakyat Indonesia masih sulit diatur, sehingga masih di tentukan ancaman pidana mati Adanya kelompok masyarakat yang tidak menyetujui pidana mati, akan tetapi terdapat pula kelompok yang masih menginginkan dipertahankan pidana mati. Kelompok yang tidak menghendaki pidana mati menanamkan dirinya sebagai kelompok HATI, yaitu singkatan dan hapus pidana mati. Masing-masing kelompok sama-sama mempunyai argumentasi yang kuat, sehingga akhirnya apakah pidana mati masih dipertahankan atau akan dihapus dalam hukum pidana Indonesia adalah merupakan politik hukum pemerintah.

  Penjatuhan pidana mati menurut pemidanaan dalam KUHP, selalu dialternatifkan dengan jenis pidana lainnya yaitu pidana penjara, baik pidana penjara seumur hidup maupun pidana penjara selama-lamanya

  20 tahun (pidana penjara sementara waktu 20 tahun), hal ini dapat dilihat dalam perumusan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Sementara itu sistem pemidanaan yang bersifat tunggal sebagaimana di anut KUHP dapat dilihat dalam Pasal 489 Ayat (1) KUHP tentang pelanggaran terhadap keamanan umum bagi orang dan barang.

  Sanksi hukuman mati juga terdapat dalam beberapa undang-undang di luar KUHP, di antara Pasal 1 Undang- Undang Darurat Republik Indonesia Nomor

  12 Tahun 1951 tentang

  Bijzondere Strafbep Alingen" (Stbl. 1948

  Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948, yang menyatakan bahwa barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi- tingginya dua puluh tahun Selain itu beberapa pasal dalam Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika, di antaranya sebagai berikut: 1.

  (2) huruf (a) 2.

  Pasal 80 Ayat (3) huruf (a) 3. Pasal 81 Ayat (3) huruf (a) 4. Pasal 82 Ayat (1) huruf (a) 5. Pasal 82 Ayat (2) huruf (a) 6. Pasal 82 Ayat (3) huruf (a)

  6 Hal tersebut sementara ini bahwa

  eksistensi hukuman mati dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia mengalami perkuatan dengan lahirnya beberapa undang-undang di luar KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

  Apabila kita merujuk kepada ketentuan pasal yang mengatur mengenai Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945 terutama

  Pasal 28I, yakni ada beberapa butir yang menyinggung bukan saja berlawanan dengan eksistensi hukuman mati tetapi hak hidup seseorang dalam arti luas. Misalnya hak untuk tidak disiksa, kemerdekaan pikiran dan hati nurani, beragama, untuk tidak diperbudak, untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Dengan demikian terdapat dualisme yakni di satu sisi hak hidup sebagai hak asasi manusia 6 Erwin Mappaseng, Pemberantasan dan

Pasal 80 Ayat (1) huruf (a) dan Ayat

  Pencegahan Narkoba yang Dilakukan oleh Polri dalam Aspek Hukum dan Pelaksanaannya, Buana Ilmu, Surakarta, 2002, hlm. 2. dilindungi, tetapi di sisi lain sanksi melalui Stablaad 1945 Nomor 123, hukuman mati dilembagakan dan pidana mati dijalankan dengan jalan mengalami perkuatan. menembak mati terpidana, hal ini kemudian diperkuat dengan Undang-

  Undang Nomor 2/PNPS/Tahun 1964, Penerapan pidana mati dalam sistem

  Lembaran Negara 1964 Nomor 83 yang pemidanaan di Indonesia tidak dapat ditetapkan menjadi Undang-Undang dilepaskan dari adanya kekuasaan Nomor 5 Tahun 1969 yang menetapkan kehakiman yang berlaku di Indonesia. bahwa pelaksanaan pidana mati dirubah

  Hakim dalam mengadili pelaku tindak dengan cara ditembak mati. pidana harus melalui proses penyajian kebenaran dan keadilan dalam suatu

  Mekanisme penerapan pidana mati putusan pengadilan sebagai rangkaian sebagaimana ditetapkan di dalam Pasal 2 proses penegakan hukum, maka dapat sampai dengan Pasal 16 UU No. dipergunakan teori kebenaran. Dengan

  2/PNPS/1964, adalah sebagai berikut: demikian, putusan pengadilan dituntut

  1. Dalam jangka waktu tiga kali dua untuk memenuhi teori pembuktian, yaitu puluh empat jam sebelum saat pidana saling berhubungan antara bukti yang mati itu dilaksanakan, jaksa tinggi satu dengan bukti yang lain, misalnya, atau jaksa yang bersangkutan harus antara keterangan saksi yang satu dengan memberitahukan kepada terpidana keterangan saksi yang lain atau saling tentang akan dilaksanakannya pidana berhubungan antara keterangan saksi mati tersebut. Apabila terpidana dengan alat bukti lain sebagaimana berkeinginan untuk mengemukakan diatur dalam Pasal 184 KUHAP. sesuatu, maka keterangan atau pesannya itu diterima oleh jaksa

  Menurut Pasal 11 KUHP, pidana mati tinggi atau jaksa tersebut; dijalankan dengan cara menjerat ditiang

  2. terpidana merupakan Apabila gantungan pada leher terpidana, seorang wanita yang sedang hamil, kemudian algojo menjatuhkan papan maka pelaksanaan dari pidana mati tempat terpidana berdiri. Akan tetapi sejak penjajahan Jepang di Indonesia, harus ditunda hingga anak yang 7.

  Pelaksanaan dari pidana mati itu dikandungnya itu telah lahir; tidak boleh dilakukan di muka

  3. umum;

  Tempat pelaksanaan pidana mati itu ditentukan oleh Menteri Kehakiman, 8. jenazah terpidana

  Penguburan yakni di daerah hukum dari diserahkan kepada keluarga atau pengadilan tingkat pertama yang kepada sahabatsahabat terpidana, dan telah memutuskan pidana mati yang harus dicegah pelaksanaan dari bersangkutan; penguburan yang bersifat 4. demonstratif, kecuali demi

  Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan bertanggung jawab kepentingan umum maka jaksa tinggi mengenai pelaksanaan dari pidana atau jaksa yang bersangkutan dapat mati tersebut setelah mendengar menentukan lain; nasehat dari jaksa tinggi atau dari 9.

  Setelah pelaksanaan dari pidana mati jaksa yang telah melakukan itu selesai dikerjakan, maka jaksa penuntutan pidana mati pada tinggi atau jaksa yang bersangkutan peradilan tingkat pertama; harus membuat berita acara

  5. mati itu mengenai pelaksanaan pidana mati Pelaksanaan pidana dilakukan oleh suatu regu penembak tersebut, di mana isi dari berita acara polisi di bawah pimpinan dari tersebut kemudian harus seorang perwira polisi; dicantumkan di dalam surat

  6. keputusan dari Pengadilan yang

  Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan (atau perwira yang bersangkutan. ditunjuk) harus menghadiri

  Pada perkembangan selanjutnya pelaksanaan dari pidana mati itu, berdasarkan Pasal 4 Peraturan Kepala sedang pembela dari terpidana atas Kepolisian Negara Republik Indonesia permintaannya sendiri atau atas Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata permintaan dari terpidana dapat Cara Pelaksanaan Pidana Mati, maka menghadirinya; diketahui bahwa tata cara pelaksanaan pidana mati terdiri dari tahapan persiapan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengakhiran.

  Penerapan pidana mati dalam sistem pidana di Indonesia dilaksanakan dengan sebagai upaya menjamin kepastian hukum bagi masyarakat. Kesadaran yang menyebabkan hukum merupakan instrumen untuk mewujudkan tujuan- tujuan tertentu, menjadikan hukum sebagai sarana yang secara sadar dan aktif digunakan untuk mengatur masyarakat, dengan menggunakan atau melalui peraturan-peraturan hukum yang dibuat dengan sengaja.

  Pada implementasinya kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Secara umum dapat dikemukakan ada dua prinsip peradilan yang sangat pokok dalam sistem peradilan suatu negara yaitu independensi hakim/badan peradilan dan ketidakberpihakan hakim dan badan diwujudkan oleh para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Independensi peradilan juga tercermin dari berbagai pengaturan secara internal yang berkaitan dengan pengangkatan jabatan, masa kerja, pengembangan karir, sistem manajemen perkara, penggajian, serta pemberhentian para hakim. Sedangkan prinsip ketidakberpihakan merupakan suatu kebutuhan terhadap keberadaan hakim yang dapat bekerja secara imparsial dan tidak memihak salah satu pihak. Pidana mati pada penerapannya menggunakan perumusan alternatif, artinya hakim dapat memilih tiga ancaman pidana pokok yaitu pidana mati, pidana penjara seumur hidup dan pidana sementara waktu dua puluh tahun. Hal ini dimaksudkan sesuai dengan tujuan diancamkannya pidana mati tersebut yaitu preventif bagi para pelaku tindak pidana. Hal ini mengandung makna bahwa penerapan pidana mati dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia dilaksanakan dengan pembuktian dan pemeriksaan yang sangat ketat, dengan berbagai pertimbangan keamanan dan ketertiban masyarakat umum, maka jelas tidak bertentangan dengan nilai kemanusian yang adil dan beradab, justru kalau pidana mati tidak dilaksanakan padahal jelas-jelas telah terbukti berkekuatan tetap melanggar hukum, maka perwujudan rasa keadilan dan HAM telah diabaikan.

DAFTAR PUSTAKA

III. PENUTUP

  Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984.

  Satjipto Rahardjo nenyatakan hukum itu bukan manusia,

  No.t been a logic bahkan

  Semarang Philipe, Selznik dan No.net the law has

  Mati, Perspektif Global, Pembaharuan Hukum Pidana dan Alternatif Pidana Untuk Koruptor , Pustaka Magister

  Nawawi Arief, Barda. 2012. Pidana

  Teori-teori Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

  Berdasarkan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa penerapan pidana mati dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan KUHP yang menggunakan perumusan alternatif, artinya hakim dapat memilih tiga ancaman pidana pokok yaitu pidana mati, pidana penjara seumur hidup dan pidana sementara waktu dua puluh tahun. Pidana mati dilaksanakan dengan pembuktian dan pemeriksaan yang sangat ketat, dengan berbagai pertimbangan keamanan dan ketertiban masyarakat umum, serta didasarkan putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

  Anwari, Imron. 2012. Penjatuhan

  Armico, Bandung Mappaseng, Erwin. 2002. Fachmi Kepastian Hukum

  Penetensier Indonesia,

  2001 Lamintang, P.A.F. 2005. Hukum

  Pidana , Rineka Cipta, Jakarta,

  Hamzah, Andi. 2001. Asas-Asas Hukum

  Peradilan Pidana , Binacipta, Bandung.

  Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem

  Pidana Tambahan Pemecatan Prajurit TNI dari Dinas Militer dan Akibatnya, Pustaka Muda, Manado.

  Pemberantasan dan Pencegahan Narkoba yang Dilakukan oleh Polri dalam Aspek Hukum dan Pelaksanaannya, Buana Ilmu, Surakarta.

  Mengenai Putusan Batal Demi Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

  Disertasi dipertahankan di Unpad, 29 Juli 2009. Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem

  Peradilan Pidana Indonesia Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam

  Pusat

Batas-Batas Toleransi.

Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta.

  Sudarto, 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana , Alumni,Bandung.

Dokumen yang terkait

KAJIAN KRIMINOLOGIS TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH PELAKU ANAK TERHADAP ANAK

0 0 11

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP MENARA TELEKOMUNIKASI TAK BERIZIN DI KOTA BANDAR LAMPUNG

1 0 16

PERAN KEPOLISIAN DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Kasus di Polda Metro Jaya) Desy Dwi Katrin, Diah Gustiniati, Rini Fathonah email: (desydwikatrinyahoo.co.id)

0 0 11

PERENCANAAN PEMERINTAH KOTA BANDAR LAMPUNG DALAM PENERAPAN KOTA LAYAK ANAK

0 1 15

PELAKSANAAN SURAT EDARAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR: SE.8PSLB3PSPLB.052016 TENTANG PENGURANGAN SAMPAH PLASTIK MELALUI PENERAPAN KANTONG BELANJA PLASTIK SEKALI PAKAI TIDAK GRATIS DI KOTA BANDAR LAMPUNG (Jurnal)

0 0 15

PERANAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (TRAFICKING) Windy Astria, Mahasiswa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Email: windyastria11gmail.com, Erna Dewi, Eko Raharjo, Bagian Hukum Pidana Fa

0 0 13

ANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU ANAK TINDAK PIDANA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK UNTUK MELAKUKAN PERBUATAN KESUSILAAN ( Studi Putusan: No.202Pid.Sus2012PN.KTA ) Yogi Arsandi, Erna Dewi, Diah Gustiniati M. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Univer

0 0 11

PERAN KEPALA KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM PROVINSI LAMPUNG DALAM PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA DI LAPAS WANITA KELAS II A BANDAR LAMPUNG

0 0 16

ANALISIS FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP PEMBANTU RUMAH TANGGA

0 0 9

PENEGAKAN HUKUM OLEH BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN KOTA BANDAR LAMPUNG TERHADAP AIR MINUM DALAM KEMASAN TANPA IZIN EDAR

1 2 23