Masyarakat Ekonomi ASEAN Suatu Tantangan

Masyarakat Ekonomi ASEAN: Suatu Tantangan bagi Indonesia
Oleh: Rika Febriani
(Indonesia for Global Justice)

Implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan dilaksanakan bulan Desember 2015
menyisakan tantangan bagi seluruh masyarakat Indonesia sebagai pelaku yang berhadapan
langsung dengan liberalisasi perdagangan ini. Berbagai kalangan dengan keahlian khusus
seperti: dokter dan pengacara mulai cemas dengan semakin terbukanya liberalisasi jasa melalui
MEA. Lantas bagaimana dengan masyarakat yang tidak mempunyai tenaga keahlian, seperti:
petani dan nelayan yang selalu berada pada level bawah dalam pembangunan. Bukankah ini
menjadi penindasan berlapis bagi mereka? Dapatkah MEA digunakan sebagai instrumen untuk
peningkatan kehidupan masyarakat atau malah sebaliknya menambah parah marginalisasi
masyarakat?
Rancangan MEA atau yang dikenal juga pada saat dibentuknya sebagai ASEAN Free Trade Area
(AFTA) sudah dimulai semenjak tahun 1992. Pada awal terbentuknya sudah ditujukan sebagai
pembentukan kawasan perdagangan bebas dengan menghapuskan tariff, pengahapusan
hambatan non-tarif dan fasilitasi perdagangan. Semenjak itu, berbagai perjanjian perdagangan
mulai dijajaki dan ditanda tangani oleh Indonesia dibawah payung ASEAN, beberapa
diantaranya adalah dengan China, India, Korea, Australia dan New Zealand. Selain dengan MEA,
sampai pada tahun 2010, ASEAN mempunyai 159 Perjanjian Perdagangan (FTA) yang terdiri dari
berbagai level. 86 FTA diantaranya sudah diimplementasikan dan 36 FTA lainnya baru diajukan.

Dalam MEA, kebutuhan atas integrasi lebih banyak didasari oleh motif upaya maksimalisasi
pertumbuhan kawasan yang tidak dapat lagi hanya dibatasi oleh sekat-sekat negara.
Sementara itu, pertumbuhan Eropa yang lambat mengakibatkan perusahaan banyak berpindah
ke ASEAN. Hal ini kontras dengan pertumbuhan yang sangat pesat di ASEAN. Pertumbuhan
ekonomi rata-rata lima Negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam)
berkisar 4,6% pada 2014. Bandingkan dengan Negara-Negara Eropa yang berkisar hanya 1-2%
dan malah beberapa Negara mengalami pertumbuhan yang minus.
Hal ini mengakibatkan perusahaan asal Uni Eropa mengalihkan invetasinya ke ASEAN.
Perusahaan asal Eropa setiap tahunnya berinvestasi di wilayah ASEAN rata-rata $17,4 milyar
selama lebih dari satu dekade dan menjadi investor terbesar di ASEAN. Ini akan terus
bertambah seiring dengan prosedur yang dibuat mudah untuk melaksanakan bisnis di satu blok
yang terdiri dari 10 negara. Investasi yang membuat pasar terus bergerak, tidak ada celah buat
masyarakat untuk berperan di dalamnya. Semakin banyaknya perusahaan yang beroperasi di
wilayah ASEAN tidak serta merta akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Hal ini
disebabkan karena berbagai hal: Pertama, hanya sebagian kecil dari fraksi masyarakat yang akan
1

terserap oleh perusahaan. Hanya masyarakat dengan keahlian khusus yang dapat berkerja pada
perusahaan. Kedua, upah yang dibayarkan oleh perusahaan asing bukan ditentukan oleh
produktivitas tetapi lebih kepada kondisi kehidupan masyarakat dimana perusahaan ini

beroperasi. Hal ini menguntungkan perusahaan tetapi di lain pihak, merugikan masyarakat
tempat investasi ditanamkan. Ketiga, pajak dan royalty yang dibayarkan kepada Negara akan
menjadi minimal. Keuntungan direpatriasi ke Negara asal, bukan kepada Negara tempat
berinvetasi. Negara yang tidak mempunyai kebijakan ekonomi yang kuat akan dirugikan seiring
dengan banyaknya perusahaan yang berinvestasi. Alih-alih mendapatkan keuntungan, justru
defisit perdagangan yang akan didapatkan.
Walau secara ekonomi, integrasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang natural, tetapi ada proses
yang secara social tidak dapat dibenarkan. Proses rekonfigurasi melalui integrasi ASEAN ini
memaksa terjadinya penghilangan lapangan kerja secara massif pada tingkatan sector-sektor
yang mengalami kekalahan dalam kompetisi pasar.
Regionalisme hendaknya mempertimbangkan beberapa hal: Perbedaan masyarakat dan
pembangunan ekonomi Negara-negara yang tergabung dalam wilayah tersebut. Proses social
yang berbeda antara Negara. Ada Negara yang terbentuk dengan proses Archaic, feodal,
modern, dan kapitalistik. Penyatuan di bidang eknomi harus mempertimbangkan perbedaan ini.
Indonesia berbeda secara asal-usul struktur ekonomi dan social dengan Malaysia dan Singapore.
Permasalahan lainnya, beberapa sector rentan seperti: pertanian, perikanan dan industry
nasional berpotensi tercederai karena tingginya ketergantungan terhadap produk impor. Jika
tidak dibereskan, Indonesia tetap akan menjadi pasar bagi Negara-negara ASEAN. Sementara
Negara lainnya sibuk menarik investor. Kerugian ini sudah kita rasakan semenjak implementasi
ASEAN Tiongkok Free Trade Agreement (ACFTA) pada 2010. Impor produk elektrik semakin

membanjiri pasar Indonesia. Hampir di setiap pasar tradisional maupun supermarket kita
temukan limpahan barang elektronik harga murah. Berdasarkan data dari Kementrian
Perindustrian, impor produk eletrik ini meningkat tujuh kali lipat, pada 2007 nilai impor hanya
$1,25 miliar menjadi $8,66 miliar pada 2010 pasca diimplementasikannya ACFTA. Hal ini
tentunya merugikan keberadaan industry elektronik dalam negeri dengan banyaknya industry
elektronik yang mengalami kebangkrutan. Di tengah banyaknya produk impor asal Tiongkok,
pemerintah ASEAN justru akan mengupgrade ACFTA sebelum menandatangani Regional
Comprehensive Economic Partnership (RCEP), suatu kerjasama ekonomi ASEAN dengan
tambahan 6 Negara yang sudah lebih dahulu menandatangani FTA dengan ASEAN. Hal ini
tentunya akan menambah berbagai produk impor di pasar ASEAN.
Sementara itu, di dalam isue produk pangan, strategi utama dalam menjawab isu keamanan
pangan di ASEAN sangatlah tidak tepat yaitu melalui industrialisasi pertanian. Industrialisasi ini
membuka jalan bagi masuknya arus modal (investasi) skala besar di sektor pertanian, khususnya
di lima prioritas komoditas dalam ASEAN Integrated Food Security (AIFS) yakni beras, jagung,
2

kedelai, gula, dan singkong. Tingginya nilai impor produk pangan yang tercatat selama ini, yaitu:
pada tahun 2009 sebesar US$ 5,94 Milyar dan 2012 mencapai US$ 12,05 Miliar. Nilai impor
pangan pada kwartal III tahun 2013 sebesar US$ 7,21 Miliar. (Kementan, 2013). Investasi di
bidang pangan yang berlimpah, ternyata tidak berkorelasi positif dengan keberlanjutan dan

kesejahteraan produsennya (petani).
Bagaimana pandangan masyarakat sendiri terhadap MEA? Berdasarkan survey yang
dilaksanakan oleh Kompas, tanggal 28 November 2014, Modal social yang dipunyai oleh
masyarakat Indonesia yang berdasarkan kekerabatan cukup rentan bagi masyarakat dalam
mengahadapi MEA. Padahal, modal social dapat berguna untuk menyebarluaskan pemahaman
tentang MEA, jika informasi yang disampaikan tidak purna, bisa menjadi sumber salah tafsir
tentang MEA secara luas dalam jangka panjang. Oleh karena itu harus diwaspadai dalam
menghadapi MEA. Pemerintah bersama masyarakat harus saling mengisi dalam menghadapi
pasar bebas ASEAN jika tidak ingin kalah dan hanya menjadi bangsa yang mengkonsumsi produk
luar tanpa ada kebanggaan terhadap potensi sendiri.
Sejalan dengan itu, berdasarkan penelitian IGJ (2014) tidak ada strategi khusus yang
dipersiapkan oleh pemerintah untuk penguatan sector-sektor rentan seperti: petani, nelayan
lokal, industry dalam negeri. Padahal sector ini akan semakin terpinggirkan akibat
diberlakukannya MEA. Tidak adanya konsepsi kedaulatan pangan dalam strategi pemerintah
akan semakin mengancam kedaulatan pangan dan menggantungkan pangan nasional kepada
impor.
Kita sebenarnya bisa berkaca kepada suatu sistem ekonomi alternative seperti: Bolivarian
Alternative for Latin America and the Caribbean (ALBA). ALBA adalah konsep alternatif yang
dibuat oleh pemerintah Venezuela sebagai alternatif terhadap FTA dengan Amerika. Proposal ini
bertujuan untuk melindungi hak Negara yang mensyaratkan investor asing untuk melakukan

transfer tekhnologi dan menggunakan local input dan pekerja lokal. ALBA dianggap lebih
menekankan kepada solidaritas dibandingkan kompetisi sebagai dasar dari kerjasa perjanjian
ekonomi.

3