KRITIK POLITIK KUMPULAN CERPEN BABI KARY

KRITIK POLITIK
DALAM CERPEN “BABI” KARYA PUTU WIJAYA
SEBUAH TINJAUAN SEMIOTIK STRUKTURALISME
Disusun guna memenuhi tugas Kapita Selekta Sastra Bahasa Indonesia
Dosen pengampu: Dra. Ambarini Asriningsari, M.Hum

Oleh :
Mohammad Nurofik
07410803

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
IKIP PGRI SEMARANG
2011

Cerpen pilihan dari “GRES” 17 cerita pendek karya Putu Wijaya
“BABI”
Setiap kali hendak menulis namanya sendiri, tanganya keseleo dan menulis kata
“babi”.Ia jadi dongkol sekali. Ia telah mengunjungi seorang ahli ilmu jiwa, tetapi tak
mendapatkan hasil yang ia inginkan. Ia juga sudah datang kedepan seorang ulama,
tetapi Ia hanya dinasehati supaya beristirahat. Padahal Ia yakin benar bahwa mungkin

sekali Ia sedang berubah untuk menjadi gila.
Akhirnya ia datang ke dokter bedah.
“Dokter”, ujarnya dengan terharu, “saya sudah memutuskan untuk berpisah dengan
tangan ini. Ideologi kami tidak sama lagi. Daripada saya bosok dan diganggu terus,
lebih baik saya putuskan sekarang.Saraf saya tak kuat lagi untuk menerima
pemberontakanya.Saya minta dokter sudi memotong tangan ini”.
Dokter itu seorang yang penuh pengertian.Ia mendengarkan dengan tenang,
seakan-akan ia sudah seringkali memotong tangan orang tanpa alasan-alasan medis. Ia
hanya tampak ragu-ragu, apakah ia akan memotong yang kanan atau yang kiri. Pemilik
tangan itu sendiri yakin bahwa tangan kananyalah yang telah berontak, karena itulah
yang dipakai untuk menulis.
“jangan terburu nafsu”, kata dokter, “kita jangan melupakan faktor-faktor
sampingan. Kalau tangan saudara ini memang telah nekat untuk menganut ideologi
yang berbeda, tak akan mungkin ia bertindak dengan serampangan. Saya khawatir kalau
ia hanya sekedar pancingan”.
Penderita itu tercengang.
“Maksud Dokter?”.
“Maksud
saya
adalah


bahwa,

janganlah

anda

begitu

cepat

terpancing.Berpikirlah sejenak dan renungkan apa yang hendak anda lakukan. Jangan
berkata-kata lagi.Anda relaks saja dahulu. Saya akan berikan waktu seperempat jam.
Kemudian saya akan kembali lagi. Sesudah itu kita pastikan apa yang akan kita
lakukan. Ketahuilah.Tak ada yang sulit untuk dilakukan.Saya sudah memotong ribuan
tangan orang.Saya berani melakukan itu semua. Saya cuma tak kuat kalau pada
akhirnya saya harus berhadapan dengan orang yang menyesal. Saudara mengerti apa
yang saya katapkan?”.
Penderita itu tidak begitu mengerti. Tetapi ia menurut.
Selama seperempat jam kemudian ia duduk beristirahat, memikirkan tingkah

laku tanganya. Ia perhatikan tangan itu. Ia bertambah yakin lagi bahwa ia harus

berpisah. Lalu dibukanya jam tanganya. Dibukanya cincinya.Semua barang-barang itu
dipindahkanya ke tangan kiri.Sesudah itu ia duduk dengan tenang.
Waktu dokter datang, ia segera mengulurkan tangan kananya. “saya kira tak ada
jalan lain harus dipotong dokter”, ujarnya. Dokter memandangi tangan itu dengan hatihati.
“Ada sesuatu yang lain dari tangan ini sekarang”, ujarnya.
Penderita itu tertawa.
“Tentu saja dokter, sebab jam tangan dan cincin sudah saya copot”.
“Kenapa ?”
“Kan tangan ini mau dipotong ?”.
“Lalu dimana jam dan cincin itu?”.
Penderita itu mengeluarkan tangan kirinya.
“Disini dong!”
Dokter itu tiba-tiba tersenyum.Ia segera memegang tangan itu dengan
gairahnya. Sebelum penderita itu sadar, ia cepat mengikat tangan itu dan segera
mengambil alat untuk memotongnya. Penderita itu tentu saja terkejut.
“Dokter mau memotong tangan kiri saya?”.
“Ya”.
“Kenapa?”.

Dokter meletakan telunjuknya di mulut, “Sst”
Penderita itu menggeleng.
“Kenapa mesti Sst?”
“Sudahlah diam dulu, ini politik!”
“Politik bagaimana?”
Dokter mendekatkan mulutnya ketelinga penderita itu, lantas berbisik,
“Kelihatanya saja tangan kanan saudara yang salah.Tapi sebetulnya tangan kiri
saudara.Ini politik. Tangan kiri saudara iri kepada tangan kanan yang pakai jam dan
cincin kawin. Lalu ia mencoba membuat sabotase. Sementara saudara menulis ia
menutup muka saudara, lalu menggosok tulisan itu menjadi, menjadi apa yang biasanya
ia tulis?”.
“Babi”.
“Ya babi”.
“Tapi dokter”.
“Oke, mari kita coba sekarang!”.
Dokter itu kemudian mengambil kertas dan pulpen.
“Sekarang coba tulis nama Anda”.
Penderita itu menggeleng.Dokter menepuk-nepuk pundaknya.
“Jangan takut, ini bukan eksperimen, ini hanya untuk bukti saja sehingga
saudara rela untuk memotong tangan kiri itu. Ayo coba!”.

Ia segera menggenggamkan pulpen itu ditangan kanan penderita.
“Tulislah sekarang nama Anda!”.
Penderita itu menggeleng.
“Kenapa?”

“Nggak mau!”
“Ayo coba dong, jangan seperti anak kecil!”.
Dokter itu membujuk-bujuk.Akhirnya orang itu mau juga menulis. Tapi ia
kelihatan terpaksa sekali. Ia memejamkan matanya. Tanganya bergerak dengan
lambat.Tetapi jari-jari tangan itu tampak kaku.Urat-uratnya keluar.Dokter itu
memperhatikan dengan takjub.Ia seperti melihat sebuah pertempuran. Tetapi ia seorang
yang sabar.
Hampir sepuluh menit lamanya, baru tangan itu berhasil menulis: ANWAR.
Dokter itu menarik napas dengan lega sekali.Ia menoleh ke pasienya. Orang itu tampak
berkeringat.Seluruh mukanya basah.Matanya masih terpejam.Dokter itu segera
mengambil saputangan.Ia mengusap muka pasienya.
Ia sempat juga mengambil air dan memberi minum pasienya itu. Aneh sekali
matanya masih tetap tertutup.Dokter kemudian menepuk-nepuk pundaknya.
“Sudah, sudah, semuanya sudah selesai.Sekarang buka matanya”.
Penderita itu membuka matanya perlahan-lahan.Ia tampak lelah sekali. Dokter

itu mengambil kertas dan menunjukan kepada orang itu.Ia tersenyum simpul.
“Coba baca”, kata dokter dengan bangga.
Pasien itu diam saja.
Dokter segera menyalakan lampu, sehingga kertas itu jadi lebih terang.
“Cobabaca dong”, kata dokter dengan nada kemenangan.
Pasien itu masih diam-diam saja.
“Ayo baca!”
Pasien itu tampak memusatkan pikiranya keatas kertas itu.Mukanya tampak
lebih banyak mengucurkan keringat.Tubuhnya gemetar.Lalu tiba-tiba saja ia membaca
kertas itu dengan suara yang menggeledek.
“Babi!”.
Kriktik Politik dalam Cerpen “Babi” Karya Putu Wijaya
Sebuah Tinjauan Semiotik Strukturalisme
a. Perumusan Masalah
Karya sastra sebagai refleksi pemikiran, perasaan, dan keinginan yang
disampaikan melalui bahasa dengan muatan tanda-tanda (semiotik) membentuk sistem
ketandaan (Ambar & Nazla, 2011). Cerpen sebagai salah satu karya sastra pada genre
sastra prosa dipandang sebagai hasil kreatifitas. Rangkaian peristiwa yang ada dalam
cerpen meski hanya terbatas pada satu tema utama dan memiliki alur tunggal (Harjito,
2006). Namun, tetap saja mampu mengahadirkan keterhubungan antara aspek-aspek


struktur dengan tanda-tanda bahasa yang tersirat dalam rangkaian peristiwa pada cerpen
tersebut.
Refleksi pemikiran, perasaan, dan keinginan yang dimaksud diatas dapat
berkaitan dengan pemikiran atas perpolitikan yang dampak dan akibatnya secara
lansung maupun tidak langsung dialami oleh pengarang sebagai warga Negara.
Dengan demikian, makna yang terkandung dalam cerpen “Babi” Karya Putu
Wijaya ini dapat diketahui maknannya secara optimal melalui tanda dan sistem tanda
yang terdapat didalamnya. Anggapan awal pada cerpen “Babi” yang mengungkapkan
suatu makian atas ketidak puasan pengarang terhadap serba-serbi politik di negeri ini.
b. Signifier Utama
Signifier atau penanda utama pada cerpen ini (yang mendukung dan
menyatakan kaitan terhadap kriktik politik). Tafsiran “babi” sebagai makian terhadap
perpolitikan dapat diperoleh dari menggabungkan bahasan politik dalam cerpen ini
dengan ungkapan “Babi” sebagai ekspresi kekecewaan atas pemotongan tangan yang
tidak sesuai keinginan tokoh penderita. Melainkan karena Ia telah dipengaruhi oleh
dokter bedah.
“Kelihatanya saja tangan kanan saudara yang salah. Tapi sebetulnya tangan kiri
saudara. Ini politik. Tangan kiri saudara iri kepada tangan kanan yang pakai jam
dan cincin kawin. Lalu ia mencoba membuat sabotase (Wijaya, 2000:13)”.

..............................................................................................................................
“Pasien itu tampak memusatkan pikiranya keatas kertas itu.Mukanya tampak
lebih banyak mengucurkan keringat.Tubuhnya gemetar. Lalu tiba-tiba saja ia
membaca kertas itu dengan suara yang menggeledek. “Babi!” (Wijaya,
2000:14)”.
Kutipan diatas menunjukan bahwa, adanya aksi politik yang dilancarkan oleh
sang dokter. Bahkan mampu membuat penderita mengikuti pengaruh sang dokter.
Namun, karena keputusanya mengikuti kat-kata sang dokter malah membuatnya
kecewa. Sehingga Ia menjadi benci setengah mati dengan politik.
Dari uaraian tersebut dapat diketahui bahwa kata “babi” yang berulang-ulang
ditulis oleh penderita. Bahkan dibacanya dengan suara menggeledak setelah kecewa
karena ulah politik sang dokter, merupakan cemoohan atau makian terhadap panggung
politik yang tidak berprikemanusiaan.

Dalam tinjauan semiotik strukturalisme, tanda-tanda yang terdapat dalam cerpen
dapat dimaknai secara optimal melaui tanda-tanda yang terdapat dalam unsur-unsur
pemabangun cerpen itu sendiri. Maka, agar dapat memaknai tanda-tanda yang terdapat
dalam cerpen “Babi” karya Putu Wijaya tersebut dengan optimal sesuia arah kritik
politik sebagai pokok masalah. Secara terperinci dapat diuraukan melalui identifikasi
unsur-unsur pembangunya sebagai berikut:


c. Identifikasi Tema
Dalam bahasa Jawa kata “Babi” = “Celeng” sering digunakan sebagai makian
terhadap sesuatu yang membuat tidak puas atau makian terhadap seseorang yang tidak
disukai. Ketidakpuasan muncul dari muali awal cerita.
“Ia telah mengunjungi ahli ilmu jiwa, tetapi tak mendapatkan hasil yang ia
inginkan. Ia juga sudah datang kedepan seorang ulama, tetapi Ia hanya
dinasehati supaya beristirahat. Padahal Ia yakin benar bahwa mungkin sekali Ia
sedang berubah untuk menjadi gila (Wijaya, 2000:11)”.
Dapat dilihat betapa tidak kecawanya seseorang yang menganggap penting suatu
persoalan, namun hanya diberi solusi yang tidak memuaskan. Bahkan, hanya mengulur
permasalahan menjadi lebih panjang.
Seseorang yang berkali-kali mencoba menuliskan namanya namun malah
keseleo menjadi “babi” (sebenarnya dalam cara pandangnya sendiri saja), makin
kecewa. Karena tanganya telah menganut ideologi lain dan mengikuti ideologi kaum
yang berkuasa. Hal ini terbukti dengan pembacaan hasil tulisanya setelah operasi.
Bahwa sang dokter membacanya “Anwar”, namun ternyata si penderita masih
membacanya “Babi” bahkan dengan suara yang menggetarkan. Itu adalah ekspresi
kekecewaanya yang paling besar karena ia telah terjebak oleh politik sang dokter.
“Hampir sepuluh menit lamanya, baru tangan itu berhasil menulis: ANWAR.

Dokter itu menarik napas dengan lega sekali.Ia menoleh ke pasienya. Orang itu
tampak berkeringat.Seluruh mukanya basah.Matanya masih terpejam (wijaya,
2000:14)”.
…………………………………………………………………………………..
“Pasien itu tampak memusatkan pikiranya keatas kertas itu.Mukanya tampak
lebih banyak mengucurkan keringat.Tubuhnya gemetar. Lalu tiba-tiba saja ia

membaca kertas itu dengan suara yang menggeledek. “Babi!” (Wijaya,
2000:14)”.
Tafsiran “babi” sebagai makian dapat diketahui dari kutipan diatas. Ekspresi
kekecewaan tokoh penderita yang telah mengikuti pengaruh Sang dokter. Yakni
mengikuti untuk memotong tangan kiri, padahal yang menulis adalah tangan kanan.
Ternyata hasilnya sama saja. Si penderita tetap saja membaca tulisan namanya dengan
“babi” bahkan Ia baca dengan suara yang menggeledak, dapat membuktikan bahwa
tema dalam cerpen “babi” karya Putu Wijaya ini adalah tentang ungkapan cemoohan
atau makian dengan kata “babi”.
d. Identifikasi Latar
Latar yang lebih dominan berupa latar suasana bukan latar tempat. Membuat
nuansa cerita seperti mengambang, namun pembaca terbawa suasana yang aneh diluar
nalar manusia. Tetapi tetap mengandung realitas-realitas makna yang kuat dengan fakta

kehidupan.
Suasana yang bisa dikatakan menjadi teka-teki dan secara tiba-tiba berubah
sesuai alur. Sama dengan perpolitikan yang seperti teka-teki, karena banyak sekali para
pihak yang memiliki kepentingan dan kekuasaan, menyembunyikan hal-hal atas hal
tertentu. Menggiring masayarakat kedalam nuansa lain yang sedang popular. Padahal
dibelakang itu semua, ada maksud untuk melancarkan suatu niat yang disembunyikan.
“Dokter itu tiba-tiba tersenyum. Ia segera memegang tangan itu dengan gairahnya.
Sebelum penderita itu sadar, ia cepat mengikat tangan itu dan segera mengambil
alat untuk memotongnya. Penderita itu tentu saja terkejut (Wijaya, 2000:12)”.
Kutipan diatas menunjukan adanya hal yang disembunyikan. Yaitu sebuah
peristiwa pemotongan tangan, yang disembunyikan pada senyum sang dokter. Karena
Ia merasa teorinya patut dan pantas untuk diikuti. Suasana yang seharusnya dapat
menjadi mencekam karena terjadi pemotongan tangan, namun menjadi mengalir saja
tanpa disadari, bahkan oleh tokoh dalam cerpen tersebut.
Hal-hal yang dapat ditemukan melalui tafsiran tanda yang terdapat dalam cerpen
“Babi” ini. Serta suasana yang terjadi dalam cerpen tersebut sacara maknawi membuat
pembaca dapat menginterpretasikanya sebagai suasana yang sama dengan percaturan
politik di Indonesia.
e. Identifikasi alur

Secara keseluruhan, alur dalam cerpen ini adalah maju. Mengalami pergeseran
waktu atau peristiwa yang secara runtut mengalir ke depan.
“Selama seperempat jam kemudian ia duduk beristirahat, memikirkan tingkah
laku tanganya (Wijaya, 2000:13).”
Rangkaian peristiwa yang terjadi dalam cerpen “Babi” ini, sebenarya
menggambarkan pertentangan ideologi atau pertentangan yang dipicu oleh perbedaan
cara pandang. Tokoh penderita yang merasa tanganya telah memiliki ideologi lain,
sehingga dapat mengantarkanya pada nuansa yang kental dengan kekuasaan.
“Penderita itu tidak begitu mengerti. Tetapi ia menurut (Wijaya, 2000:13).
Kutipan tersebut menunjukan bahwa penderita telah terbawa arus, terbawa alur
sang dokter. Peristiwa ini dapat ditafsirkan, bahwa sang dokter memiliki kekuasaan atas
diri Si penderita.
Selain perbedaan pandangan atau ideologi yang terjadi pada penderita dan
tanganya. Perbedaan cara pandang juga terjadi pada penderita dengan Sang dokter.
Perbedaan cara pandang ini sangat terlihat setelah peristiwa pemotongan tangan.
“Hampir sepuluh menit lamanya, baru tangan itu berhasil menulis: ANWAR.
Dokter itu menarik napas dengan lega sekali.Ia menoleh ke pasienya. Orang itu
tampak berkeringat.Seluruh mukanya basah.Matanya masih terpejam.Dokter itu
segera mengambil saputangan.Ia mengusap muka pasienya (Wijaya, 2000:14).”
Peristiwa diatas menunjukan bahwa dokter itu membaca tulisan sang penderita
dengan kata “Anwar” dalam kondisi mata Sang penderita tertutup. Peristiwa ini dapat
menjadi tanda bahwa saat cara pandang Sang penderita tidak digunakan. Maka, yang
terjadi tulisan itu dibaca “Anwar” (hanya pada cara pandang sang dokter saja).
Namun saat mata Sang penderita dibuka dan disuruh untuk membaca, yang
terjadi tulisan tersebut tetap saja dibacanya “Babi”. Ini terjadi pada akhir cerita. (yang
dikutip menjadi penanda dalam identifikasi tema).
Perbedaan cara pandang antara dokter dan penderita, ketika dikaitkan dengan
yang terjadi pada tangan penderita yang memliki ideologi lain, maka akan timbul
pertanyaan. Sebenarnya cara pandang siapa mengikuti cara pandang siapa?
Peristiwa pemindahan cincin dan jam tangan dari tangan kanan ke tangan kiri
(tangan penderita yang sengaja oleh pengarang dibuat tangan kanan yang mengenakan
cincin dan jam tangan). Dapat ditafsirkan bahwa pihak kanan yang sama dengan
ideologi kaum penguasa (dokter, ahli kejiwaan, dan dokter bedah) berhak mendapatkan
penghargaan dan harta benda yang bagus-bagus. Sedangkan orang yang salah, dianggap
kekiri-kirian. Sehingga menjadi korban yang disalahkan atau menjadi korban politik
pihak yang berkuasa.

“Ia perhatikan tangan itu. Ia bertambah yakin lagi bahwa ia harus berpisah. Lalu
dibukanya jam tanganya. Dibukanya cincinya.Semua barang-barang itu
dipindahkanya ke tangan kiri.Sesudah itu ia duduk dengan tenang(Wijaya,
2000:13)”.
Fakta lain adalah bahwa politik selalu berkaitan dengan idealisme dan cara
pandang seseorang maupun kelompok. Saat cara pandang seseorang tidak sepaham
dengan kelompok lain yang utamanya sedang berkuasa. Maka orang tersebut dianggap
sebagai yang kekiri-kirian, sesuatu yang tidak baik. Seperti suatu organisasi tubuh
tokoh utama diibaratkan memiliki satu orang yang mengikuti idealisme ketenaran
kelompok lain yang sedang berkuasa.
f. Identifikasi tokoh
Dalam cerpen “Babi” tokoh-tokoh yang dominan muncul yaitu penderita,
tangan penderita, dan dokter bedah. Sedangkan tokoh pendukung yaitu ahli jiwa dan
ulama. Yang sebenranya, juga dapat ditafsirkan sebagai simbol orang yang memiliki
kekuasaan. Ahli jiwa adalah orang yang berpengaruh dalam ilmu kejiwaan, ulama
adalah orang yang berpengaruh dalam bidang agama. Sehingga dapat ditafsirkan bahwa
orang yang memiliki pengaruh adalah juga orang yang berkuasa atau memilki
kekuasaan.
Tangan dalam cerpen ini menjadi tokoh penting yang mampu mengubah
kondisi tokoh lain, alur dan latar dalam cerpen tersebut. Tangan kanan penderita yang
dianggap telah memiliki ideologi lain sehingga saat menuliskan nama penderita malah
kesleo menjadi menulis “Babi”.
“Setiap kali hendak menulis namanya sendiri, tanganya keseleo dan menulis
kata ‘babi’.Ia jadi dongkol sekali (Wijaya, 2000:11)”.
Sebuah badan manusia (tubuh penderita) dapat ditafsirkan sebagai suatu
organisasi atau suatu wadah perkumpulan orang-orang yang memiliki cara pandang
yang sama terhadap suatu hal (bisa hobbi, tujuan hidup, ideologi, dll). Apa mungkin,
ada tangan yang mampu membelot dan tidak mau kita kendalikan untuk menuliskan
yang kita inginkan? Ini dapat menjadi tanda dan dapat kita tafsirkan. Bahwa yang
terajdi dalam tubuh atau badan Si pendeita adalah sesuatu yang terjadi dalam suatu
badan pemerintahan atau suatu organisasi, yang salah satu anggotanya memiliki
ideologi yang tidak sama dengan kepala/ketua dan anggota lain dari badan atau
organiasi tersebut.

Penderita bisa dianggap sebagai simbol pimpinan yang amat peduli terhadap
anggotanya, akan bertindak bagaimana caranya agar permasalahan perbedaan ideologi
yang ada dalam tubuh organisasinya teratasi. Ia bertanya kesana kemari, namun tak ada
jawaban yang menurutnya sesuai. Sampai ia prustasi dan menetapkan untuk
memutuskan tanganya (mengeluarkan salah satu anggotanya yang daianggap telah
membutanya prustasi).
“Daripada saya bosok dan diganggu terus, lebih baik saya putuskan
sekarang.Saraf saya tak kuat lagi untuk menerima pemberontakanya.Saya minta
dokter sudi memotong tangan ini (Wijaya, 2000:11)”.
Mengapa harus dokter bedah sebagai pilihan akhir penderita untuk
menyelesaikan masalahnya? Dokter bedah dapat kita tafsirkan sebagai hakim
(pengadilan) yang sudah banyak memutuskan suatu perkara. Meski kadang tanpa satu
alasan yang jelas. Bahkan sangat gampang dimasuki oleh unsur-unsur politik. Dan
dapat saja mereka menjalankan politik atas kekuasaan yang mereka miliki.
“Ketahuilah.Tak ada yang sulit untuk dilakukan.Saya sudah memotong ribuan
tangan orang.Saya berani melakukan itu semua (Wijaya, 2000:12)”.
Dari identifikasi diatas dapat disimpulkan bahwa cerpen “Babi” karya Putu
Wijaya memang memiliki nuansa politik yang kental. Sehingga sangat cocok apabila
“kritik politik” dijadikan sebagai pokok masalah dalam tinjaun strukturalis semiotik ini.