Keselamatan Kesehatan Kerja K3 docx

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Ketika sedang melakukan pekerjaan, seorang pekerja kadang dtimpa
bencana yang mengakibatkan cacat, baik sementara maupun seumur hidup.
Kecelakaan di tempat kerja hampir sering terjadi di negara kita. Derajat
kesehatan kerja juga mengalami kondisi yang memprihatinkan. Faktanya,
para pekerja kelas menengah ke bawah umumnya menderita kurang gizi
seperti Kurang Energi Protein (KEP), anemia serta sering menderita penyakit
infeksi. Sedangkan para pekerja kelas menengah ke atas, pada umumnya
terjadi kegemukan

atau obesitas. Masalah gizi pada pekerja merupakan

akibat langsung dari kurangnya makanan yang tidak sesuai dengan beban
kerja atau jenis pekerjaannya.1
Tingginya tingkat kecelakaan kerja dan rendahnya derajat kesehatan
pekerja di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: 2
Pertama, minimnya kesadaran dan keenganan pihak perusahaan
untuk menerapkan K3 dalam lingkungan kerja. Kedua, tidak adanya sanksi
hukum yang berat bagi perusahaan yang melanggar standar K3 yang

ditetapkan oleh pemerintah. Ketiga, sumber daya manusia (SDM) pekerja
yang kurang terampil mengoperasikan peraltan kerja. Keempat, sikap dan
perilaku pekerja yang enggan menggunakan alat keselamatan kerja yang
disediakan oleh perusahaan. Kelima,

kapasitas kerja, beban kerja dan

lingkungan kerja yang tidak kondusif. Keenam, fasilitas K3 yang tidak
memadai. Ketujuh, alat-alat atau fasilitas peralatan kerja yang digunakan
sudah tidak aman lagi dan tidak memenuhi standar K3 nasional. Kedelapan,
faktor kelalaian pengawasan internal perusahaan dan penegakan hukum K3
yang sangat lemah. Kesembilan, pemilik perusahaan masih terjebak pada

1 Pusat Kesehatan Kerja, Departemen Kesehatan RI (Dalam buku Keselamatan dan
Kesehatan Kerja, Konradus Danggur; hal. 2)
2 Ibid, hal 2

1

paradigma berpikir salah, bahwa pencegahan keselamatan kerja dan penyakit

akibat kerja merupakan komponen biaya dan bukan investasi.

Kesehatana dan Keselamatan Kerja (K3) mempunyai tujuan pokok
dalam upaya memajukan dan mengembangkan proses industrialisasi,
terutama dalam mewujudkan kesehatan dan keselamatan pekerja yang pada
akhirnya bermuara pada apa yang disebut sebagai “kesejahteraan kolektif”
yang mencakup kepentingan pengusaha dan buruh/pekerja sekaligus, serta
terwujudnya tujuan negara sebagaimana tersirat dalam Bab IV Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

2

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.

Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah suatu kondisi dalam
pekerjaan yang sehat dan aman baik itu bagi pekerjaannya, perusahaan
maupun bagi masyarakat dan lingkungan sekitar pabrik atau tempat kerja

tersebut. Keselamatan dan kesehatan kerja juga merupakan suatu usaha
untuk mencegah setiap perbuatan atau kondisi tidak selamat, yang dapat
mengakibatkan kecelakaan.

2.2.

Landasan Hukum Keselamatan dan Kesehatan Kerja

2.2.1. UU No. 12 Tahun 1948
a. Menyangkut Pekerjaan Anak dan Orang Muda


Pasal 2 : anak tidak boleh menjalankan pekerjaan.qa



Pasal 4 ayat (1) : orang muda tidak boleh melakukan pekerjaan
pada malam hari, kecuali pekerjaan itu berhubungan dengan
kepentingan dan kesejahteraan umum (ayat 2)




Pasal 6 ayat (1) : orang muda tidak boleh menjalankan pekerjaan
yang berbahaya bagi kesehatan dan keselamatannya.

b. Menyangkut Pekerjaan Orang Wanita


Pasal 7 ayat (1) : orang wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan
pada malam hari.



Pasal 8 ayat (1) : orang wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan
di dalam tambang, lobang di dalam tanah atau tempat lain untuk
mengambil logam dan bahan dari dalam tanah.

3




Pasal 9 ayat (1) : orang wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan
yang berbahaya bagi kesehatan dan keselamtannya.

c. Mengenai waktu kerja dan waktu istirahat


Pasal 10 ayat (1) : buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih
dari 7 jam/hari dan 40 jam/minggu.



Pasal 10 ayat (3) : tiap minggu harus diadakan sedikit-dikitnya satu
hari istirahat



Pasal 11 : buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan pada hari raya
(baca: libur) yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah, kecuali
jika pekerjaan itu menurut sifatnya harus dijalankan terus pada hari

raya.

d. Mengenai tempat kerja dan perumahan buruh
Pasal 16 ayat (1) menyatakan bahwa tempat kerja dan perumahan buruh
yang disediakan oleh majikan harus memenuhi syarat kesehatan

dan

kebersihan.
2.2.2. UU No. 14 Tahun 1969
Secara tersurat perlindungan buruh/ pekerja dapat disimak dalam pasal 9 dan
10 UU No. 14 tahun 1969.


Pasal 9 : setiap buruh/pekerja berhak mendapat perlindungan atas
keselamatan, kesehatan. Pemeliharaan moril kerja, serta perlakuan
sesuai dengan harkat, martabat manusia dan moral agama.




Pasal

10

: pemerintah membina perlindungan

kerja yang

mencakup: norma kesehatan kerja dan higene perusahaan, norma
kerja, pemberian ganti rugi, perawatan dan rehabilitasi dalam hal
kecelakaan kerja.
2.2.3. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
Undang-Undang ini mengatur dengan jelas tentang kewajiban
pimpinan tempat kerja dan pekerja dalam melaksanakan keselamatan kerja.
Undang-undang ini pada dasarnya merupakan payung dari semua peraturan
perundang-undangan K3 di Indonesia. Dalam perspektif UU No. 1 tahun 1970

4

konsep K3 berlaku untuk setiap tempat kerja 3 yang di dalamnya terdapat tiga

unsur, yaitu; pertama, adanya usaha yang bersifat ekonomis maupun sosial.
Kedua, adanya buruh/pekerja yang bekerja secara terus-menerus ataupun
sewaktu-waktu.

Ketiga,

adanya

sumber

bahaya

atau

resiko

yang

berhubungan dengan pekerjaan dan tempat kerja.
Ruang lingkup UU No. 1 tahun 1970 mencakup jaminan keselamatan

kerja dalam segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan
air, di dalam air maupun di udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan
hukum Republik Indonesia.4
2.2.4. Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
Pasal

23

ayat

(1)

menyebutkan

bahwa

kesehatan

kerja


diselenggarakan untuk mewujudkan produktivitas kerja yang optimal.
Kesehatan kerja meliputi pelayanan kerja, pencegahan penyakit akibat kerja
dan syarat kesehatan kerja (ayat 2). Karena itu, setiap tempat kerja harus
melaksanakan upaya kesehatan kerja (ayat 3). 5
Undang- Undang ini menyatakan bahwa secara khusus perusahaan
berkewajiban

memeriksakan

kesehatan

badan,

kondisi

mental

dan

kemampuan fisik pekerja yang baru maupun yang akan dipindahkan ke

tempat kerja baru, sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang diberikan kepada
pekerja, serta pemeriksaan kesehatan secara berkala. Sebaliknya para
pekerja juga berkewajiban memakai Alat Pelindung Diri (APD) dengan tepat
dan benar serta mematuhi semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja
yang diwajibkan. Undang-undang nomor 23 tahun 1992, pasal 23 Tentang
Kesehatan Kerja juga menekankan pentingnya kesehatan kerja agar setiap
pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan diri sendiri dan
masyarakat sekelilingnya hingga diperoleh produktifitas kerja yang optimal.
Karena itu, kesehatan kerja meliputi pelayanan kesehatan kerja, pencegahan
penyakit akibat kerja dan syarat kesehatan kerja.
3 Tempat kerja ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau
tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau sering dimasuki tempat kerja untuk keperluan
suatu usaha dan dimana terdapat sumber-sumber bahaya. Yang termasuk tempat kerja
ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagianbagian atau berhubungan dengan tempat kerja tersebut (pasal 1 ayat 1)
4 Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 tahun 1970
5 Konradus Danggur, Keselamatan dan Kesehatan Kerja.2006. Hal. 51.

5

2.2.5. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang ini mengatur mengenai segala hal yang berhubungan
dengan ketenagakerjaan mulai dari upah kerja, jam kerja, hak material, cuti
sampai dengan keselamatan dan kesehatan kerja.
Sebagai

penjabaran

dan

kelengkapan

Undang-undang

tersebut,

Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan
Presiden terkait penyelenggaraan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3),
diantaranya adalah :


Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 11 Tahun 1979 tentang
Keselamatan Kerja Pada Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi



Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan Atas
Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida



Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan
Pengawasan Keselamatan Kerja di Bidang Pertambangan



Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul
Akibat Hubungan Kerja

2.3.

Kewajiban dan Hak dari tenaga kerja berkaitan dengan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja6
Menurut pasal 12 UU No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan dan
Kesehatan Kerja, kewajiban dan hak tenaga kerja adalah sebagai berikut :


Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai
pengawas atau ahli keselamatan kerja



Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan



Memenuhi

dan

mentaati

semua

syarat-syarat keselamatan

dan

kesehatan yang diwajibkan


Meminta

pada

pengusaha

agar

melaksanakan

semua

syarat

mana

syarat

keselamatan dan kesehatan yang diwajibkan


Menyatakan

keberatan

kerja

pada

pekerjaan

di

keselamatan dan kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang
diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan
6 Pasal 12 dan 14 UU No. 1 tahun 1970

6

lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat
dipertanggung-jawabkan.
2.4.

Tugas pengurus/pengawas dalam hal keselamatan dan kesehatan kerja 7
Pengurus/Pengawas

merupakan

orang

yang

mempunyai

tugas

memimpin langsung sesuatu tempat kerja atau bagiannya yang berdiri
sendiri. Berdasarkan pasal 8, 9, 11 dan 14 Undang - Undang No. 1 tahun
1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pengurus bertanggung
jawab untuk :


Memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan kemampuan fisik
dari tenaga kerja yang akan diterimanya maupun akan dipindahkan
sesuai dengan sifat - sifat pekerjaan yang diberikan padanya.



Memeriksa semua tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya,
secara berkala pada Dokter yang ditunjuk oleh Pengusaha dan
dibenarkan oleh Direktur.



Menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru tentang :
 Kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya serta apa yang dapat timbul
dalam tempat kerjanya.
 Semua pengamanan dan alat - alat perlindungan yang
diharuskan dalam semua tempat kerjanya.
 Alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan.
 Cara-cara

dan

sikap

yang

aman

dalam

melaksanakan

pekerjaannya


Bertanggung
pemberantasan

jawab

dalam

kebakaran

serta

pencegahan
peningkatan

kecelakaan

dan

keselamatan

dan

kesehatan kerja, pula dalam pemberian pertolongan pertama dalam
kecelakaan.


Melaporkan tiap kecelakaan yang terjadi dalam tempat kerja yang
dipimpinnya, pada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja.



Secara tertulis menempatkan dalam tempat kerja yang dipimpinnya,
semua syarat keselamatan kerja yang diwajibkan, sehelai Undang-

7 Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1970

7

undang ini dan semua peraturan pelaksanaannya yang berlaku bagi
tempat kerja yang bersangkutan, pada tempat-tempat yang mudah
dilihat dan terbaca dan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli
kesehatan kerja
2.5.

Syarat-Syarat Keselamatan Kerja

Adapun syarat-syarat keselamatan kerja Menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja Bab III Pasal 3,
antara lain :
a. mencegah dan mengurangi kecelakaan;
b. mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran;
c. mencegah dan mengurangi bahaya peledakan;
d. memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu
kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya;
e. memberi pertolongan pada kecelakaan;
f. memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja;
g. mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu,
kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca,
sinar radiasi, suara dan getaran;
h. mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik
physik maupun psychis, peracunan, infeksi dan penularan.
i. memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai;
j. menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik;
k. menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup;
8

l. memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban;
m. memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan,
cara dan proses kerjanya;
n. mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang,
tanaman atau barang;
o. mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan;
p. mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan
dan penyimpanan barang;
q. mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya;
r. menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan
yang bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.
2.6.

Pelaksanaan K3 di Beberapa Bidang Usaha dan Lingkungan Kerja 8

2.6.1. K3 pada sektor Transportasi
2.6.1.1.

Transportasi Darat
Transportasi darat merupakan unit kerja di lingkungan transportasi yang
paling sering mengalami kecelakaan. Untuk mencegah terjadinya
kecelakaan, pemerintah telah mengeluarkan UU No. 13 tahun 1992
tentang Perkeretaapian dan UU No. 14 tahun 1992 tentang Lalu-lintas
Angkatan Jalan.

2.6.1.2.

Transportasi Laut
Laut merupakan jalur transportasi yang sangat besar selain trasportasi
darat, karena relatif murah dan aman sehingga membuat jalur transportasi
ini semakin ramai. Aturan mengenai keselamatan di dalam transpotasi ini,
misalnya; UU No. 12 tahun 1948, UU No. 21 tahun 1992 Tentang
Pelayaran dan PP No. 21 tahun 2002 tentang Perkapalan.
Pasal 2 UU No. 12 tahun 1948, menyatakan bahwa anak di bawah
umur 12 tahun tidak boleh menjalankan pekerjaan di kapal, kecuali bila ia

8 Konradus Danggur, Keselamatan dan Kesehatan Kerja. 2006, hal. 71-97

9

bekerja di bawah pengawasan ayahnya atau seorang keluarga sampai
dengan derajat ketiga.
2.6.1.3.

Transportasi Udara
Dalam dunia penerbangan, aturan mengenai keselamatan diatur dalam
UU No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan, Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 1992 No. 53, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 3481.

2.6.2. K3 pada Sektor Pertambangan dan Migas


Mijn Politie Reglement (MPR) No. 341 tahun 1930
Misalnya, Pasal 170 ayat (1), orang yang mengemudikan mesin angkat
atau pemberi isyarat pada sumur tambang, tidak boleh dipekerjakan
lebih lama dari delapan jam per hari



UU No. 12 tahun 1948
Misalnya, ayat (5) menyatakan bahwa anak laki-laki yang belum
mencapai umur 16 tahun dan wanita tidak boleh dipekerjakan pada
memuat dan membongkar kurungan/tempat mengangkut galian



UU No. 11 tahun 1967



PP No. 19 tahun 1973

2.6.3. K3 Pada Sektor Industri
Upaya perlindungan buruh di sektor Industri diatur melalui PP No. 18 tahun
1999 jo PP No. 25 tahun 1999 tentang B3 (bahan beracun dan berbahaya)
2.6.4. K3 di Lingkungan Perkantoran
Ada dua hal penting harus mendapatkan perhatian sehubungan dengan
pelaksanaan K3 di lingkungan perkantoran, yaitu kondisi indoor dan outdoor,
yang mencakup konstruksi gedung, kualitas udara, kualitas pencahayaan,
jaringan elektrik dan komunikasi, kontrol terhadap kebisingan, tata ruang dan
letak, hygene dan sanitasi, dan penggunaan komputer.
2.7.

Hubungan K3 Dengan Produktivitas9
Produktivitas

perusahaan sangat ditentukan oleh SDM, selain

karena

kemajuan teknologi. Namun, peningkatan produksi secara langsung maupun

9 Konradus Danggur, Keselamatan dan Kesehatan Kerja; hal. 98-106

10

tidak langsung selalu diikuti dengan permasalahan yang berkaitan dengan
K3. Permasalahan-permasalahan tersebut diantaranya:


Adanya kemungkinan penambahan peralatan, tuntutan kapasitas
peralatan dan satuan kerja yang lebih besar.



Memperluas

lokasi

kerja

sehingga

menambah

sarana

sistem

pengawasan untuk mencegah kecelakaan;


Peningkatan jumlah buruh dan tuntutan untuk mendapatkan buruh
berkualitas, serba cepat, tepat dan selamat.



Perlunya standar baku K3 bagi pekerja, baik pekerja baru maupun
lama.
Faktor-faktor tersebut dapat menimbulkan resiko kecelakaan kerja dan

penyakit akibat kerja, sehingga mengakibatkan menurunnya produktivitas
pekerja.
Produktivitas kerja akan meningkat jika didukung oleh lingkungan kerja
tanpa kecelakaan, pelayanan kesehatan yang baik bagi pekerja (melalui
upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif), dan adanyan
manajemen resiko.
2.8.

Perlindungan Kerja

2.8.1. Perlindungan Sosial atau Kesehatan Kerja
Kesehatan kerja sebagaimana telah dikemukakan di atas termasuk
jenis perlindungan sosial karena ketentuan-ketentuan mengenai kesehatan
kerja ini berkaitan dengan sosial kemasyarakatan, yaitu aturan-aturan yang
bermaksud mengadakan pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan
pengusaha

untuk

memperlakukan

pekerja/buruh

”semaunya”

tanpa

memperhatikan norma-norma yang berlaku, dengan tidak memandang
pekerja/buruh sebagai mahluk Tuhan yang mempunyai hak asasi.
Karena sifatnya yang hendak mengadakan ”pembatasan” ketentuanketentuan perlindungan sosial dalam UU No. 13 Tahun 2003, Bab X Pasal 68
dan seterusnya bersifat ”memaksa”, bukan mengatur. Akibat adanya sifat
memaksa dalam ketentuan perlindunga sosial UU No. 13 Tahun 2003 ini,
pembentuk undang-undang memandang perlu untuk menjelaskan bahwa
ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan sosial ini merupakan ”hukum

11

umum” (Publiek-rechtelijk) dengan sanksi pidana. Hal ini disebabkan
beberapa alasan berikut : Ibid, hal 80


Aturan-aturan yang termuat di dalamnya bukan bermaksud
melindungi kepentingan seorang saja, melainkan bersifat aturan
bermasyarakat.



Pekerja/buruhIndonesia

umumnya

belum

mempunyai

pengertian atau kemampuan untuk melindungi hak-haknya
sendiri.
Jadi, jelasnya kesehatan kerja bermaksud melindungi atau menjaga
pekerja/buruh dari kejadian/keadaan hubungan kerja yang merugikan
kesehatan

dan

pekerjaannya.

kesusilaannya
Adanya

dalam

penekanan

hal

”dalam

pekerja/buruh
suatu

melakukan

hubungan

kerja”

menunjukkan bahwa semua tenaga kerja yang tidak melakukan hubungan
kerja

dengan

pengusaha

tidak

mendapatkan

perlindungan

sosial

sebagaimana ditentukan dalam Bab X UU No 13 Tahun 2003.
2.8.2. Perlindungan Teknis Atau Keselamatan Kerja
Keselamatan kerja termasuk dalam apa yang disebut perlindungan
teknis, yaitu perlindungan terhadap pekerja/buruh agar selamat dari bahaya
yang dapat ditimbulkan oleh alat kerja atau bahan yang dikerjakan.
Berbeda dengan perlindungan kerja lain yang umumnya ditentukan
untuk kepentingan pekerja/buruh saja, keselamatan kerja ini tidak hanya
memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh, tetapi kepada pengusaha
dan pemerintah.


Bagi pekerja/buruh, adanya jaminan perlindungan keselamatan kerja
akan menimbulkan suasana kerja yang tentram sehingga pekerja/buruh
dapat memusatkan perhatian pda pekerjaannya semaksimal mungkin
tanpa khawatir sewaktu-waktu akan tertimpa kecelakaan kerja.



Bagi pengusaha, adanya pengaturan keselamatan kerja di dalam
perusahaannya akan dapat mengurangi terjadinya kecelakaan yang
dapat mengakibatkan pengusaha harus memberikan jaminan sosial.



Bagi pemerintah (dan masyarakat), dengan adanya dan ditaatinya
peraturan keselamatan kerja, maka apa yang direncanakan pemerintah

12

untuk mensejahterakan masyrakat akan tercapai dengan meningkatnya
produksi perusahaan baik kualitas maupun kuantitas. Ibid, hal 84
Dasar pembicaraan masalah keselamatan kerja ini sampai sekarang
adalah UU No 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja. Namun, sebagian
besar peraturan pelaksanaan undang-undang ini belum ada sehingga
beberapa peraturan warisan Hindia Belanda masih dijadikan pedoman dalam
pelaksanaan keselamatan kerja di perusahaan. Peraturan warisan Hindia
Belanda itu dalah sebagai berikut : Ibid, hal 8


Veiligheidsreglement, S 1910 No. 406 yang telah beberapa kali dirubah,
terakhir dengan S. 1931 No. 168 yang kemudian setelah Indonesia
merdeka diberlakukan dengan Peraturan Pemerintah No. 208 Tahun
1974. Peraturan ini menatur tentang keselamatan dan keamanan di
dalam pabrik atau tempat bekerja.



Stoom Ordonantie, S 1931 No. 225, lebih dikenal dengan peraturan Uap
1930.



Loodwit Ordonantie, 1931 No. 509 yaitu peraturan tentang pencegahan
pemakaian timah putih kering.

2.8.3. Perlindungan ekonomis atau Jaminan Sosial
Penyelenggara program jaminan sosial merupakan salah satu tangung
jawab dan kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi
kepada masyarakat. Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan Negara,
Indonesia

seperti

halnya

berbagai

Negara

berkembang

lainnya,

mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan funded social security,
yaitu jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada
masyarakat pekerja di sektor formal.
Jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja
dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian penghasilan
yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau
keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil,
bersalin, hari tua dan meninggal dunia.
BAB III
PENUTUP
13

3.1. Kesimpulan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah salah satu modal utama
kesejahteraan tenaga kerja secara keseluruhan dan kestabilan perusahaan. Karena
itu, setiap pekerja berhak atas keselamatan dan kesehatan kerja sebagai modal
yang asasi untuk dapat menjalankan aktivitasa yang produktif dan perusahaan wajib
melaksanakan program K3 secara konsisten sesuai dengan standar yang berlaku.
Sebab, para pekerja baik di sektor swasta maupun pemerintah, sektor formal
maupun informal pada hakekatnya merupakan jantungnya organisasi dan motornya
produktivitas.
Kesehatana dan Keselamatan Kerja (K3) mempunyai tujuan pokok dalam
upaya memajukan dan mengembangkan proses industrialisasi, terutama dalam
mewujudkan kesehatan dan keselamatan pekerja.
Oleh karena pentingnya Keselamatan dan Kesehatan Kerja diperlukan aturan
khusus mengenai hal itu. Di Indonesia, undang-undang yang mengatur hal ini adalah
UU No. 14 Tahun 1969, Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan
Kerja, Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan Undangundang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU No. 12 Tahun 1948

Daftar Pustaka

14

Danggur, Konradus. 2006. Keselamatan dan Keseahatan Kerja. Jakarta: PT.
Percetakan Penebar Swadaya
UU No. 1 tahun 1970

15