Makalah Tentang Pendidikan Masa Orde Bar

Makalah Tentang Pendidikan Masa Orde
Baru
By Rokimin | 3:05 AM Leave a Comment
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam
tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai
komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.
Pada awal dekade 1980-an, perkembangan Islam di Indonesia ditandai oleh munculnya
fenomena meningkatnya semangat religiusitas umat yang sering dikenal sebagai lahirnya
kebangkitan Islam (Islamic Revivalism). Kebangkitan Islam ini ditandai oleh munculnya
gerakan Islam baru yang memiliki basis ideologi, pemikiran, dan strategi gerakan yang
berbeda dengan gerakan atau ormas-ormas Islam yang telah ada sebelumnya, seperti NU,
Muhammadiyah, PERSIS, Al-Irsyad, Jamaat Khair dan sebagainya.
Adanya ketegangan-ketegangan politik antara negara dengan umat Islam yang merasa
khawatir dengan kebijakan-kebijakan pemerintah ternyata telah mendorong intensifikasi rasa
identitas keagamaan di sebagian kalangan umat Islam. Menguatnya rasa identitas keagamaan
umat tersebut merupakan pembuka jalan bagi masuknya semangat kebangkitan Islam yang
saat itu sedang berkembang di Timur Tengah
Munculnya semangat kebangkitan Islam di Indonesia merupakan sebuah blessing in disguise

(anugerah terselubung) dari kondisi umat Islam yang sedang terpuruk akibat kebijakan Orde
Baru saat itu.
Kalau kita mau mengamati secara mendalam akan perkembangan islam di indonesia maka
kita harus mengamati mulai dari islam masuk, penyebaran, pengamalan, perkembangan, dan
kondisi yang sekarang kita alami di indonesia. Sebab, peristiwa sejarah merupakan
problematika yang meliputi dimensi waktu masa lampau, sekarang dan masa yang akan
datang. Namun, dalam makalah ini penulis hanya membatasi pembahasan makalah pada
perkembangan Islam di masa pemerintahan orde baru.
BAB II
PEMBAHASAN
Pendidikan Islam Pada Masa Orde Baru
Perkembangan Islam pada masa orde orde baru bisa di lihat dari berbagai dimensi
permasalahan, dalam makalah ini penulis memfokuskan pada tiga aspek kajian, yaitu:
Pendidikan, Hukum dan Politik.
A. Pendidikan Islam Pada Masa Orde Baru
Orde baru adalah masa pemerintahan di Indonesia sejak 11 Maret 1966 hingga terjadinya
peralihan kepresidenan, dari presiden Soeharto ke presiden Habibi pada 21 Mei 1998.
Peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru membawa konsekuensi perubahan strategi politik
dan kebijakan pendidikan nasional. Pada dasarnya Orde Baru adalah suatu korelasi total
terhadap Orde Lama yang didominasi oleh PKI dan dianggap telah menyelewengkan

pancasila.
Orde Baru memberikan corak baru bagi kebijakan pendidikan agama islam, karena
beralihnya pengaruh komunisme ke arah pemurnian pancasila melalui rencana pembangunan
Nasional berkelanjutan. Terjadilah pergeseran kebijakan, dari murid berhak tidak ikut serta
dalam pelajaran agama apabila mereka menyatakan keberatannya, menjadi semua murid

wajib mengikuti pendidkan agama mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Masa Orde Baru disebut juga sebagai Orde Konstitusional dan Orde Pembangunan. Yakni
bertujuan membangun manusia seutuhnya dan menyeimbangkan antara rohani dan jasmani
untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Pada tahun 1973-1978 dan 1983 dalam sidang
MPR yang kemudian menyusun GBHN.
Jadi kesimpulannya adalah bahwa ditinjau dari falsafah Negara Pancasila, dari konstitusi
UUD 1945, dan keputusan MPR tentang GBHN maka kehidupan beragama dan pendidikan
agama islam di Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945 sampai Pelita VI tahun
1983 semakin mantap
1. Keberhasilan-keberhasilan Pendidikan pada Masa Orde Baru
Masa Orde Baru ini mencatat banyak keberhasilan, diantaranya adalah:
1 Pemerintah memberlakukan pendidikan agama dari tingkat SD hingga universitas (TAP
MPRS No.XXVII/MPRS/1966), madrasah mendapat perlakuan dan status yang sejajar
dengan sekolah umum, pesantren mendapat perhatian melalui subsidi dan pembinaan,

berdirinya MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada tahun 1975, pelarangan SDSB (Sumbangan
Dana Sosial Berhadiah) mulai tahun 1993 setelah berjalan sejak awal tahun 1980-an.
2 Pemerintah juga pada akhirnya member izin pada pelajar muslimah untuk memakai rok
panjang dan busana jilbab di sekolah-sekolah Negeri sebagai ganti seragam sekolah yang
biasanya rok pendek dan kepala terbuka.
3 Terbentuknya UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 7 tahun
1989 tentang peradilan agama, Komplikasi Hukum Islam (KHI), dukungan pemerintah
terhadap pendirian Bank Islam, Bank Muamalat Islam, yang telah lama diusulkan, lalu
diteruskan dengan pendirian BAZIS (Badan Amil Zakat Infak dan Sodaqoh) yang idenya
muncul sejak 1968, berdirinya Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, pemberlakuan label
halal atau haram oleh MUI bagi produk makanan dan minuman pada kemasannya, terutama
bagi jenis olahan.
Selanjutnya pemerintah juga memfasilitasi penyebaran da’i ke daerah terpencil dan lahan
transmigrasi, mengadakan MTQ (Musabaqoh Tilawatil Qur’an), peringatan hari besar islam
di Masjid Istiqlal, mencetak dan mengedarkan mushaf Al-qur’an dan buku-buku agama islam
yang kemudian diberikan ke masjid atau perpustakaan Islam, terpusatnya jama’ah haji di
asrama haji, berdirinya MAN PK (Program Khusus) mulai tahun 1986, dan pendidikan
pascasarjana untuk Dosen IAIN baik ke dalam maupun luar negeri, merupakan kebijakan
lainnya. Khusus mengenai kebijakan ini, Departemen Agama telah membuka program
pascasarjana IAIN sejak 1983 dan join cooperation dengan Negara-negara Barat untuk studi

lanjut jenjang Magister maupun Doktor.
Selain itu, penayangan pelajaran Bahasa Arab di TVRI dilakukan sejak 1990, dan
sebagainya. Akibat semua kebijakan tersebut, pembangunan bidang agama islam yang
dilaksanakan Orde Baru mempercepat peningkatan jumlah umat islam terdidik dan kelas
menengah muslim perkotaan.
2. Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Mengenai Pendidikan Islam
Kebijakan pemerintah orde baru mengenai pendidikan islam dalam konteks madrasah di
indonesia bersifat positif dan konstruktif, khususnya dalam dua dekade terakhir 1980- an
sampai dengan 1990-an. Pada pemerintah, lembaga pendidikan di kembangkan dalam rangka
pemerataan kesempatan peningkatan dan peningkatan mutu pendidikan.
Pada awal – awal masa pemerintahan orde baru, kebijakan tentang madrasah bersifat
melanjutkan dan meningkatkan kebijakan orde lama. Pada tahap ini madrasah belum di
pandang sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi baru bersifat lembaga
pendidikan bersifat otonom di bawah pengawasan menteri agama.
Menghadapi kenyataan tersebut di atas, langkah pertama dalam melakukan pembaruan ini
adalah di keluarkannya kebijakan tahun 1967 sebagai respons terhadap TAP MPRS No.

XXVII tahun 1966 dengan melakukan formalisasi dan strukturisasi Madrasah.
Dalam dekade 1970-an madrasah terus dikembangkan untuk memperkuat keberadaannya,
namun di awal –awal tahun 1970 –an, justru kebijakan pemerintah terkesan berupaya untuk

mengisolasi madrasah dari bagian sistem pendidikan nasional. Hal ini terlihat dengan langkah
yang di tempuh pemerintah dengan langkah yang di tempuh pemerintah dengan
mengeluarkan suatu kebijakan berupa keputusan presiden nomor 34 tanggal 18 April tahun
1972 tentang tanggung jawab fungsional pendidikan dan latihan. Isi keputusan ini mencakup
tiga hal :
1.Menteri pendidikan dan kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan
pendidikan umum dan kebijakan
2. Menteri tenaga kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan dan latihan keahlian
dan kejuruan tenaga kerja akan pegawai negeri
3. Ketua lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan
pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negri.
3. Kurikulum Pendidikan Islam Pada Masa Orde Baru
Setelah SKB ( surat keputusan bersama ) tiga menteri, usaha pengembangan madrasah
selanjutnya adalah di keluarkan nya SKB tiga menteri P&K no.299/u/19884 dengan menteri
agama no.45 / 1984, tentang pengaturan pembakuan kurikulum sekolah umum dan kurikulum
Madrasah yang isinya antara lain adalah mengizinkan kepada lulusan madrasah untuk
melanjutkan ke sekolah – sekolah umum yang lebih tinggi. SKB 2 menteri di jiwai oleh TAP
MPR No. II / TAP/MPR/1983 tentang perlunya penyesuaian sistem pendidikan sejalan
dengan daya kebutuhan bidang bersama, antara lain dilakukan melaui perbaikan kurikulum
sebagai salah satu diantara sebagai salah satu diantara berbagai upaya perbaikan

penyelenggaraan pendidikan di sekolah umum dan Madrasah.
Dalam keputusan tersebut terjadi perubahan berupa perbaikan dan penyempurnaan kurikulum
sekolah umum dan madrasah. Perubahan tersebut tertuang dalam KMA No. 99 th 1984 untuk
tingkat MI, ketentuan KMA no 100 untuk tingkat MTS, dan MA no101 untuk tingkat PGAN.
Ke empat KMA tersebut merupakan upaya untuk memperbaiki kurikulum madrasah agar
lebih efektif dan efisien antara lain dalam hal :
1. Mengorganisasikan program pengajaran.
2. Untuk membentuk manusia memiliki ketakwaan kepada Tuhan Yang maha Esa serta
keharmonisan sesama manusia dan lingkungannya.
3. Mengefektifkan proses belajar mengajar.
4. Mengoptimalkan waktu belajar.
Upaya dalam pengaturan dan pembaruan kurikulum bermadrasah di kembangkan dengan
menyusun kurikulum sesuai dengan konsesus yang di tetapkan. Khusus untuk MA, waktu
untuk setiap mata pelajaran berlangsung 45 menit dan memakai semester. Sementara itu,
jenis program pendidikan dalam kurikulum madrasah terdiri dari program inti dan program
pilihan.
Pengembangan kedua program kurikulum ini bagi menjadi dua bagian yaitu: pendidikan
agama, terdiri dari : Al-qur’an Hadits, aqidah Akhlak, fikih, SKI, dan Bahasa Arab, dan
pendidikan umum antara lain: PMP, PSPB, Bahasa dan sastra indonesia, pengetahuan, sains,
olah raga dan kesehatan, Matematika, Pendidikan seni, pendidikan keterampilan, Bahasa

inggris ( MTS dan MA ), kimia ( MA), Geografi ( MA), Biologi (MA), Fisika ( MA) dan
kimia (MA).
4. Jenis-Jenis Pendidikan Serta Pengajaran Islam
Jenis-jenis pendidikan islam pada masa Orde Baru. [8] adalah sebagai berikut:
1. Pesantren klasik, semacam sekolah swasta keagamaan yang menyediakan asrama, yang
sejauh mungkin memberikan pendidikan yang bersifat pribadi, sebelumnya terbatas pada

pengajaran keagamaan serta pelaksanaan ibadah.
2. Madrasah diniyah, yaitu sekolah-sekolah yang memberikan pengajaran tambahan bagi
murid sekolah negeri yang berusia 7 sampai 20 tahun.
3. Madrasah-madrasah swasta, yaitu pesantren yang dikelola secara modern, yang bersamaan
dengan pengajaran agama juga diberikan pelajaran-pelajaran umum.
4. Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), yaitu sekolah dasar negeri enam tahun, di mana
perbandingan umum kira-kira 1:2.
5. Suatu percobaan baru telah ditambahkan pada Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 6 tahun,
dengan menambahkan kursus selama 2 tahun, yang memberikan latihan ketrampilan
sederhana.
6. Pendidikan teologi agama tertinggi. Pada tingkat universitas diberikan sejak tahun 1960
pada IAIN. IAIN ini dimulai dengan dua bagian / dua fakultas di Yogyakarta dan dua fakultas
di Jakarta.

B. Hukum Islam Pada Masa Orde Baru
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu
tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus
dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari
kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat
Islam dengan dukungan kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini
kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga
peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan
lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan
peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya menurut
Hazairin, hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.
Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989
tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif
untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan
hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu,
dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama
.
C. Politik Islam Pada Masa Orde Baru
Pada masa orde baru, umat Islam semakin termajinalkan karena dianggap tidak mendukung
pembaharuanyang digulirkan oleh pemerintah, sehingga pemerintahan di kuasai oleh orangorang Nasionalis, dan partai-partai Islam tidak diberikan kebebasan untuk berkembang.

Bahkan pemerintah hanya mengizinkan adanya tiga partai, yaitu wakil partai Islam, wakil
partai Nasionalis dan Golongan Karya yang berada dibawah kendali pemerintahan orde baru.
Islam mulai memasuki wilayah politik indonesia sejak pertama kali negara indonesia
mengadakan pemilihan umum (pemilu). Dengan cara membuat suatu wadah, yaitu
mendirikan partai politik. Pada waktu itu partai yang berasaskan islam yaitu ada dua pertama,
Partai Masyumi dan Partai NU. Melalui wadah ini umat islam memainkan perannya sebagai
seorang politikus yang ingin menanamkan nilai-nilai islam. Dalam tesis Harun Nasution yang
berjudul The Islamic State in Indonesia. The Rise of the Ideology, the Movement for its
Creation and the Theory of the Masjumi, beliau mengemukakan bahwa ada perbedaan besar
antara NU dan Masyumi. Kaum modernis di dalam Masyumi pada umumnya mereka hendak
membangun suatu masyarakat muslim dan sebagai akibatnya mereka mengharapkan suatu
negara islam. Kelompok yang diwakili NU lebih sering memperjuangkan suatu Negara
sebagai langkah pertama dan melalui negara islam ini mereka hendak mewujudkan suatu
masyarakat islam (hlm. 76-77). Suatu perbedaan lain adalah, bahwa ulama mendapat
kedudukan yang penting dalam organisasi negara konsep NU, sedangkan posisi mereka tidak
begitu menonjol dalam pemikiran kaum Masyumi (92). [9]

Setelah jatuhnya orde lama dan berganti orde baru, peran politik islam dalam negara
Indonesia cenderung mengalami kemunduran. Disebabkan karena adanya usaha represif
terhadap partai politik yang berhaluan islam, yang dilakukan oleh penguasa pada waktu itu

karena ketakutan akan kehilangan kekuasaannya. Selama kekuasaan orde baru hanya ada tiga
partai yang diakui dan boleh ikut dalam pemilu. Dan partai yang berasas islam pada waktu itu
adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Adanya usaha represif yang dilakukan oleh rezim orde baru, yang berkuasa selama 32 tahun,
rupanya menimbulkan kekecewaan pada banyak pihak. Puncak dari keramahan tersebut
adalah dengan turunnya mahasiswa ke jalan dan menduduki gedung DPR-MPR. Yang
dimotori oleh mahasiswa UIN, UGM, dan UI. Dampak dari demonstrasi tersebut membuat
semakin memudarnya legitimasi politik rezim orde baru, sehingga pada tanggal 21 Mei 1998
presiden Soeharto mengundurkan diri dari kursi kepresidenan. [10]
Babak baru dalam dunia perpolitikan di Indonesia dimulai. Pada pemilu yang dilangsungkan
tahun 1999, organisasi islam banyak mendirikan partai politik yang berasaskan islam dan
atau berbasis umat islam. Diantaranya: PPP, PAN, PKB, PNU, PBB, PK sekarang PKS, dll.
Pada masa itu simbol-simbol agama sangat mewarnai kancah perpolitikan indonesia. Simbolsimbol keagamaan yang diekspresikan apparatus birokrasi, tentu memiliki makna sosial. Bisa
jadi ia merupakan representasi dari kesalehan dan kesadaran spiritual apparatus birokrasi,
tetapi juga bukan mustahil ia juga bisa berubah menjadi sumber pengumpulan legitimasi. [11]
Hasil dari pemilu tahun 1999 tersebut membawa Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi
presiden RI ke-4.
Sejak pemilu tahun 1999 sampai dengan sekarang, umat islam mulai kebingungan akan
pilihan yang harus ia pegang. Sebab, semuanya mengaku bernafas islam dan mementingkan
hak rakyat. Dalam tubuh partai politik-pun banyak mengalami perebutan kepemimpinan dan

atau pecah menjadi beberapa partai. Perubahan setting politik pasca-Orde Baru tanpa diduga
memberi ruang bagi berkembangnya wacana penegakkan syariat islam di indonesia. [12]
Seperti yang telah dilakukan oleh Aceh, dan beberapa daerah yang menginginkan
penggunaan syariat islam.
BAB III
PENUTUP
Sebagai Kesimpulan dari makalah ini, sebenarnya pada masa orde baru, kalau dilihat dari
segi fisik, Indonesia sangat berkembang dan maju. Di berbagai tempat, terutama di kota-kota
besar bangunan-bangunan besar dan mewah didirikan. Begitu juga dalam sisi pendidikan,
sebagai contoh: Pemerintah memberi izin pada pelajar muslimah untuk memakai rok panjang
dan busana jilbab di sekolah-sekolah Negeri sebagai ganti seragam sekolah yang biasanya rok
pendek dan kepala terbuka.
Tapi kalau ditinjau dari segi hukum dan politik Islam, semakin menurun. Karena ‘trias
politika’ sebagai lembaga-lembaga tertinggi negara, yang berfungsi hanya lembaga eksekutif
saja, sementara dua lembaga lainnya, baik itu lembaga legistatif dan yudikatif kurang atau
bahkan tidak berfungsi sama sekali. Kedua lembaga ini tunduk di bawah lembaga eksekutif.
Keduanya tak lebih hanyalah sebagai ‘robot’ yang gerak-geriknya diatur oleh lembaga
eksekutif. Demikian juga dari segi ekonomi, selama orde baru berkuasa, kurang berkembang,
bahkan mengalami krisis yang berkepanjangan.
Apalagi politik Islam pada saat itu menjadi musuh besar panguasa, umat Islam semakin
termajinalkan karena dianggap tidak mendukung pembaharuan yang digulirkan oleh
pemerintah, sehingga pemerintahan di kuasai oleh orang-orang Nasionalis, dan partai-partai
Islam tidak diberikan kebebasan untuk berkembang. Bahkan pemerintah hanya mengizinkan
adanya tiga partai. Sistem otoriter pun berjalan pada saat itu sehingga bagi mereka yang

membangkang dan melenceng dari ideology penguasa akan kehilangan nyawa, seperti kasus
tanjung priok.

DAFTAR PUSTAKA
http://tanjungpinangarticle.blogspot.com/2010/06/pendidikan-pada-masa-orde-lama-danorde.html
Sudirman, Pembaharuan Hukum Islam : Mempertimbangkan Harun Nasution, dalam Refleksi
Pembaharuan Pemikiran Islam, Jakarta: LSAF, 1989, Hal. 153
Ikrar Nusa Bhakti, Berbagai Faktor Penyebab Jatuhnya Presiden Soeharto, dalam Pers Dalam
“Revolusi Mei” Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Dedy N. Hidayat, dkk. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2000, Hal. 61
Zainuddin Maliki, Agama Priyayi, Makna di tangan Elite Penguasa, Yogyakarta: Pustaka
Marwa, 2004, Hal. 6
Arskal Salim, Islam di Antara Dua Model Demokrasi, dalam: Wajah Liberal Islam di
Indonesia, Jakarta: TUK, 2002, Hal. 27