HAKIKAT MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK PEDAGOGI (1)

HAKIKAT MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK PEDAGOGIK
Oleh: Muhammad Alqadri Burga
Program Studi Dirasah Islamiyah, Konsentrasi Pendidikan dan Keguruan,
UIN Alauddin Makassar
Email: qadriburga@gmail.com

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu karakteristik pendidikan Islam adalah memiliki paradigma yang
tidak hanya memandang manusia sebagai objek pendidikan, melainkan juga sebagai
pelaku pendidikan. Manusia merupakan makhluk pedagogik yang diciptakan oleh
Allah swt. dengan membawa potensi dapat dididik dan mendidik. Potensi ini pulalah
yang kemudian mengantar manusia mendapat kepercayaan atau amanah sebagai

khali>fah.
Potensi yang dimiliki setiap manusia untuk mencari atau menemukan
kebenaran melalui proses pembelajaran menunjukkan bahwa manusia memerlukan
pendidikan. Hal ini juga berarti bahwa setiap orang berpotensi untuk dididik dan
mendidik. Teori nativisme dan empirisme yang digabungkan oleh William Stern
dengan teori konvergensinya telah membuktikan bahwa manusia adalah makhluk
yang dapat didik dan mendidik.1


1

Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam (Cet. VI; Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 17.

1

2
Manusia sebagai makhluk yang dapat dididik dan mendidik (homo educan-

dum) diimplementasikan pada kegiatan pendidikan yang di dalamnya terdapat
pendidik dan peserta didik sebagai objek utama pendidikan. Peserta didik dalam
perspektif pendidikan sering disebut sebagai manusia yang belum dewasa, maka ia
memerlukan pertolongan dari orang lain yang dianggap dewasa. Proses pertolongan
inilah yang disebut dengan pendidikan.
Pendidikan berfungsi membantu perkembangan manusia menuju ke arah yang
secara normatif lebih baik. Hal ini tidak mungkin tercapai tanpa mengetahui hakikat
manusia. Pendidikan yang didasarkan atas pemahaman yang salah mengenai hakikat
manusia akan berakibat fatal. Misalnya, menganggap manusia hanya sebagai makhluk
biologis. Hal ini tidak beda dengan para filsuf2 yang mengidentikkan manusia dengan

hewan yang memiliki kekhususan serta kelebihan tertentu, seperti manusia adalah
hewan yang berbicara, berpikir dan berbudaya. Berdasarkan pendapat tersebut
kemudian berkembang konsep bahwa manusia adalah binatang yang dapat mendidik
dan dididik (animal educandum).3
Lain halnya dengan al-Qur’an yang memandang bahwa manusia itu bukanlah
binatang.4 Manusia diberi kemuliaan (potensi) berupa fit}rah, indra, akal, dan hati.
Sebagaimana firman Allah dalam QS al-Ru>m/30: 30.

Diungkapkan oleh Aristoteles dalam Munzir Hitami, Mengonsep Kembali Pendidikan Islam
(Pekanbaru Riau: Infinite Press, 2004), h. 10.
2

3
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), h. 39.

Munzir Hitami, Mengonsep Kembali Pendidikan Islam, h. 11. Lihat juga Sadulloh
Uyoh, Pedagogik: Ilmu Mendidik (Bandung: Alfabeta, 2014), h. 80.
4


3

َۡ َ َۡ َ ََۡ َ َ ‫َ ٗ ۡ َ َ ه ه َ َ َ ه‬
َ َٰ َ ‫ه‬
َ َ ۡ َ ۡ ََ
‫د‬
ِ
‫ِين حن ِيفا ۚ ف ِطرت ٱَّلل ِ ٱل ِِت فطر ٱنلاس عليها ۚ َل تبدِيل ِلل ِق ٱَّللِۚ ذل ِك‬
ِ ‫فأق ِم وجهك ل ِل‬
َ
َ ََُۡ َ
ۡ ‫د ُ ۡ َ د ُ َ َ َٰ ه‬
ََ‫ك‬
ِ ‫َث ٱنله‬
)٠٣) .‫اس َل يعلمون‬
‫كن أ‬
ِ ‫ٱلِين ٱلقيِم ول‬

Terjemahnya:


Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.5
Dipertegas dalam QS Al-Ḥajj/22: 46.

َ ۡ ْ ُ َ ۡ َََ
َ َ َ ‫ َ ۡ َ ُ َ َ َ ه‬ٞ َ َ َۡ ٓ َ َ ُ ۡ َ ٞ ُ ُ ۡ َُ َ ُ َ َ
ۡ
َ
ِ ‫أفلم يسِريوا ِِف ٱۡل‬
َ‫ۡرض فتكون لهم قلوب يعقِلون بِها أو ءاذان يسمعون بِهاۖ فإِنها َل تع‬
‫ََۡ ُۡ ُ ُ ه‬
َ َ ُ َٰ َ ۡ َ ۡ
ُّ
ُ
َٰ
)٦٤( .ِ‫كن تعَ ٱلقلوب ٱل ِِت ِِف ٱلصدور‬
ِ ‫ٱۡلبصر ول‬


Terjemahnya:

Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati
yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan
itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang
buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.6
Kedua ayat tersebut menjelaskan kemuliaan manusia tampak dalam tujuan
penciptaannya dan diberikan berbagai sumber daya insani (fit}rah, pendengaran,
penglihatan, akal, dan hati) sebagai kelengkapan hidupnya. Namun semua itu masih
bersifat potensial yang harus dikembangkan dan diarahkan untuk mencapai tujuan
penciptaan manusia. Allah swt. pada akhir ayat sangat mewanti-wanti upaya
pengembangan tersebut, sebab tidak sedikit manusia gagal mencapai insa>n ka>mil
karena tidak mampu menggunakan potensi yang diberikan sebagaimana mestinya.

5

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Pustaka As-Salam, 2010), h.

6


Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 470

574.

4
Fenomena korupsi, pembunuhan, penipuan, dan tindak kejahatan lainnya
merupakan gambaran dari ketidakmampuan manusia dalam memanfaatkan berbagai
potensi yang ada pada dirinya atau kegagalan pendidikan mengembangkan berbagai
potensi tersebut. Realitanya pelaku kejahatan tidak menafikan orang-orang yang
telah menyelesaikan tingkat pendidikan formal tertinggi. Realitas ini merupakan hasil
dari praktik pendidikan yang lebih mengutamakan kognisi ketimbang afeksi. Meski
ada upaya pengembangan kepribadian melalui pendidikan karakter yang wajib
disisipkan pendidik dalam setiap pembelajarannya, namun pembelajaran di Indonesia
didesain sedemikian rupa untuk mengembangkan kognisi. Di sinilah pentingnya
pengetahuan akan hakikat manusia dalam proses pendidikan, agar pendidikan
menjadi jalan untuk mewujudkan manusia yang menyadari dirinya sebagai makhluk
individu, sosial, beragama, dan berbudaya (insa>n ka>mil).
Berdasarkan uraian tersebut, maka makalah ini akan membahas mengenai
hakikat manusia sebagai makhluk pedagogik dengan memfokuskan pada fit}rah,
pendengaran, penglihatan, dan hati sebagai potensi dasar manusia, serta implikasi

berbagai potensi tersebut terhadap pendidikan Islam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang diuraikan pada latar belakang masalah, maka
dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana optimalisasi fit}rah sebagai potensi dasar manusia?

5
2. Bagaimana optimalisasi pendengaran, penglihatan, dan hati sebagai potensi
dasar manusia?
3. Bagaimana implikasi hakikat manusia sebagai makhluk pedagogik terhadap
pendidikan Islam?
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka makalah ini
bertujuan untuk:
a. Menjelaskan optimalisasi fit}rah sebagai potensi dasar manusia.
b. Menjelaskan optimalisasi pendengaran, penglihatan, dan hati sebagai potensi dasar
manusia
c. Menemukan implikasi hakikat manusia sebagai makhluk pedagogik terhadap
pendidikan Islam.

2. Kegunaan Penulisan
a. Memberi sumbangsih pemikiran dalam teori belajar dan pembelajaran, khususnya
mengenai hakikat manusia sebagai makhluk pedagogik.
b. Memenuhi tugas mata kuliah Teori Belajar dan Pembelajaran pada Program
Doktor (S3) Konsentrasi Pendidikan dan Keguruan, Pascasarjana UIN Alauddin
Makassar.

6
II. PEMBAHASAN
A. Optimalisasi Fit}rah sebagai Potensi Dasar Manusia
1. Pengertian Fit}rah
Sebelum lebih lanjut membahas fit}rah sebagai potensi dasar manusia, terlebih
dahulu penulis memaparkan pengertian fit}rah. Hal ini dilakukan sebagai langkah awal
untuk mengantar pembaca dalam memahami makna dan upaya optimalisasinya dalam
pendidikan Islam.
Secara etimologi, kata “fit}rah” berasal dari bahasa Arab “fat}ara” yang berarti
merobek, membelah, menciptakan, terbit, tumbuh, memerah, berbuka, sarapan, sifat
pembawaan (yang ada sejak lahir).7 Ibnu Manz}u>r menambahkan, arti fit}rah adalah
“ketetapan Allah kepada makhluk-Nya ketika masih dalam rahim ibunya”.8
Al-Qur’an sendiri menyebut fit}rah dengan segala bentuk derivasinya sebanyak

20 kali.9 Berdasarkan hasil pelacakan dan penghimpunan ayat-ayat tersebut,
diperoleh makna fit}rah berarti ciptaan, perangai, tabiat, kejadian, asli, agama, ikhlas,
dan tauhid.10

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), h. 1063.
7

Jama>l al-Di>n Muh}ammad bin Mukarram bin Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, Jilid III (Beirut: Dār alSadr, 1992), h. 55-56.
8

9
Muh}ammad Fu‘a>d ‘Abd al-Ba>qi>, al-Mu’jam Mufahras li Alfa>z al-Qur’a>n al-Kari>m (Bairut:
Da>r al-Fikr, 1991), h. 522-523.

Muhammad Alqadri Burga, “Fit}rah Manusia dalam Al-Qur’an: Studi Tafsir Maud}u>‘i> ”
(Makalah yang disajikan pada Seminar Kelas Program Doktor Pascasarjana UIN Alauddin, Makassar,
8 April 2017), h. 17.
10


7
Achmad Mubarok menjelaskan, bahwa
Dalam bahasa Arab, fit}rah mempunyai arti belahan, muncul, kejadian, dan
penciptaan. Jika fit}rah dihubungkan dengan manusia, maka yang dimaksud
dengan fit}rah manusia adalah apa yang menjadi kejadian atau bawaannya sejak
lahir, atau oleh bahasa Melayu disebut dengan keadaan semula jadi.11
Menurut Waryono Abdul Ghafur,

Fit}rah adalah potensi untuk berevolusi menuju ketinggian, keluhuran dan
kesempurnaan. Oleh karena itu, fit}rah hanya dimiliki oleh manusia yang bisa
dikembangkan sebaik-baiknya atau menurun serendah-rendahnya, sehingga
manusia bisa hidup berdasarkan fit}rah-nya atau sebaliknya, malah meninggalkannya.12
Hasan Langgulung memberikan interpretasi fit}rah dengan berdasar pada hadis
Nabi saw.

َِ َ‫ م‬:َ‫صلَّىَاللَعَلي ِهَوَسَلَّم‬
َ َ‫الل‬
َِ َ‫َقَالَََرسَ َو َل‬,‫عَنَََأِبََََُريََرَة‬
َ‫َفََأبََو َاهَيَ َه َودَ َانَِِه‬,َِ‫اَمنََ َم َوَل َوَدَ َّإّلََيَ َوَلدََعََليَالَ َِفطََرة‬
13.)‫م‬

َ َِ‫سل‬
َ َ‫جسَ َانَِِه (َرَو َاهَم‬
َ ‫صَرَانِِهََ َوَ َي‬
َ ‫وََيََن‬
Artinya:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah seorang anak dilahirkan melainkan dalam keadaan fit}rah, maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR Muslim).
Berdasarkan hadis tersebut, Hasan Langgulung memahami bahwa yang
dimaksud dengan fit}rah adalah potensi yang baik, sebab pengertian menjadi Yahudi,
Nasrani dan Majusi itu bermakna menyesatkan. Ibu bapaknyalah (lingkungan) yang
merusak dan menyesatkan fit}rah yang asalnya suci dan sepatutnya berkembang ke

Achmad Mubarok, Sunnatullah dalam Jiwa Manusia: Sebuah Pendekatan Psikologi Islam
(Jakarta: The International Institute Of Islamic Thought, 2003), h. 24.
11

12
Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks dengan Konteks (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2005), h. 226.

Ima>m Abi> Husain Muslim al-Hajja>j al-Qusyairi> al-Naisabu>ri>, S}ahi>h Muslim, Juz IV (Beirut
Libanon: Da>r al-Ihya>’ al-Turat} al-‘Arabi>, 1997), h. 2047.
13

8
arah yang baik itu. Selain itu, ia menambahkan bahwa dalam bahasa Arab, fit}rah itu
bermakna tabiat yang suci atau baik.14
Hal senada diungkapkan Ahmad Tafsir mengenai makna fit}rah. Berdasarkan
hadis Nabi di atas, fit}rah diartikan potensi berupa kemampuan sebagai pembawaan.
Ayah dan ibu dalam hadis tersebut adalah lingkungan, yang mana keduanya dapat
menentukan perkembangan seseorang.15
Ibn An al-Isla>m)
3. Fit}rah berarti mengakui ke-Esa-an Allah (al-tauh}i>d)
4. Fit}rah berarti murni (al-ikhla>s)}
5. Fit}rah berarti kondisi penciptaan manusia yang mempunyai kecenderungan
untuk menerima kebenaran

Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam: Suatu Analisa Sosio-Psikologi
(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2005), h. 214-215.
14

15
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: PT. Remaja Rosda-karya,
2012), h. 35.

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 11 (Cet.
XI; Jakarta: Lentera Hati, 2004), h. 54.
16

9

6. Fit}rah berarti potensi dasar manusia sebagai alat untuk mengabdi dan
ma‘rifatulla>h
7. Fit}rah berarti ketetapan atau kejadian asal manusia mengenai kebahagiaan dan
kesengsaraan
8. Fit}rah berarti tabiat alami yang dimiliki manusia (human nature)
9. Fit}rah berarti al-gari>zah (insting) dan al-munazzalah (Wahyu dari Allah).17
Berdasarkan uraian tersebut, penulis memahami bahwa fit}rah merupakan
seperangkat alat atau potensi manusia yang tidak terbatas pada peng-Esa-an Tuhan
dan kebenaran menerima agama saja, akan tetapi lebih kompleks dari pada itu. Bahwa

fit}rah merupakan segenap potensi atau kemampuan yang melekat pada diri manusia
yang Allah berikan sebagai bekal kekhalifahannya untuk memakmurkan kehidupan di
dunia dan sebagai alat untuk ma‘rifatulla>h.
Berdasarkan berbagai penjelasan mengenai makna fit}rah dan pengertian para
pakar mengenai fit}rah manusia, dapat dipahami bahwa fit}rah merupakan default

factory setting manusia. Di mana perangkat kerasnya (tubuh z}ahiriyyah) dibuat
sedemikian rupa sebagai bekal kekhalifahan dan untuk melakukan rutinitas ibadah
kepada Allah. Begitu pun perangkat lunaknya (bat}iniyyah) telah disetting dengan
iman kepada Allah, kesiapan untuk menerima dan melaksanakan agama Allah, serta
kemurnian dan kesucian jiwa dari hal-hal kuasa selain Allah (tauhi>d).

Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka
Dasar Operasionalnya (Bandung: Trigenda Karya, 2003), h. 13-21.
17

10
2. Optimalisasi Fit}rah
Berdasarkan QS al-Rūm/30: 30 dan hadis dari Abū Hurairah yang diriwayatkan oleh Muslim yang dikemukakan sebelumnya, maka optimalisasi fit}rah sebagai
potensi dasar manusia dapat dilakukan dengan pendidikan dan penciptaan lingkungan
yang kondusif.
a. Pendidikan sebagai Pengembangan Fit}rah
Sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya, bahwa manusia
diciptakan oleh Allah di dunia ini sebagai penerima dan pelaksana ajaran-Nya. Dia
mempunyai tugas pokok, yaitu di samping untuk li ta‘abbudi ila>lla>h juga bertugas
selaku khali>fah fi> al-ard}. Oleh karena itu, Allah tidak membiarkan manusia begitu saja
tanpa bekal yang memadai, tetapi Dia dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya
memberikan anugerah yang sangat tinggi nilainya, yaitu berbagai kemampuan atau
potensi yang memungkinkan manusia mampu memikul tanggung jawab tersebut.
Sejak lahir manusia telah dibekali dengan berbagai alat dan potensi yang akan
menjadi kekuatan, baik untuk bertahan hidup di dunia, maupun untuk mencapai
kebahagiaan yang kekal di akhirat. Potensi berupa fit}rah itu merupakan bekal yang
harus dikembangkan dan diarahkan. Oleh karena itu, fit}rah harus berinteraksi dan
berdialog dengan lingkungan eksternal. Untuk mampu berdialog, manusia
memerlukan suatu lembaga yang lebih kondusif guna mengaktualisasikan serta
menumbuh kembangkan fit}rah-nya. Pendidikan merupakan lembaga yang paling
strategis untuk mengarahkan fit}rah itu secara optimal sepanjang hayatnya. Konsep

11

fit}rah juga menuntut agar pendidikan Islam harus bertujuan mengarahkan pendidikan
kepada terjalinnya ikatan kuat seorang manusia dengan Allah.18
Pendidikan dipandang sebagai suatu ikhtiar yang sangat menentukan dalam
menjaga manusia tetap berada pada fit}rah-nya, baik fit}rah pengakuan terhadap
Tuhannya, fit}rah agama yang hani>f, maupun segenap potensi lain yang ada pada
dirinya. Diharapkan manusia tidak menyimpang dari garis kodrat yang telah
ditentukan, mengingat ia berada pada kehidupan yang serba dinamis19 dan dalam
pertumbuhannya sering mendapat pengaruh positif maupun negatif.
b. Penciptaan Lingkungan yang Kondusif

Fit}rah manusia pada dasarnya tidak mengalami perubahan, tetapi hanya
mengalami penyimpangan.20 Penyimpangan itu bisa terjadi kapan pun dan di mana
pun serta dipengaruhi oleh faktor apa pun. Muchotob Hamzah menginformasikan ada
dua faktor (ekstern) pokok yang menyebabkan terjadinya penyimpangan, yaitu oleh
kedua orang tuanya dan oleh setan yang dianggap sebagai musuh yang nyata.21

Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka
Dasar Operasionalnya (Bandung: Trigenda Karya, 2003), h. 141.
18

19
Dewasa ini, pengaruh kebudayaan Barat yang negatif berkembang sedemikian kuat lewat
berbagai saluran, sehingga tidak menutup kemungkinan perkembangan anak dapat mengarah kepada
yang negatif dan anak mudah terbawa oleh arus globalisasi modern yang keluar dari garis-garis Islam.
Di sinilah pentingnya pendidikan terutama pendidikan Islam untuk memelihara dan menumbuh
kembangkan potensi atau pembawaan manusia agar tetap berada pada posisi yang semestinya,
sehingga dalam kehidupannya memiliki iman yang kuat dan kokoh. Lihat Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa
Agama (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2001), h. 86-87.

Muchotob Hamzah, dkk., Tafsir Maudhu‘i al-Muntaha, Jilid 1 (Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2004), h. 50.
20

21

Muchotob Hamzah, dkk., Tafsir Maudhu‘i al-Muntaha, h. 51.

12
Kedua orang tua dipandang sebagai gambaran lingkungan22 dan merupakan
salah satu faktor yang bisa berpengaruh baik dan buruk. Sebagaimana hadis dari Abu>
Hurairah yang diriwayatkan Muslim, bahwa orang tualah yang mempengaruhi anak
untuk menyalahi atau menyimpang dari fit}rah-nya. Oleh karena lingkungan sangat
berpengaruh pada diri manusia, sehingga dalam proses pendidikannya harus
senantiasa menciptakan keadaan atau kondisi lingkungan yang kondusif, agar fit}rah
itu tetap berada pada keadaan awal, bahkan bisa berkembang ke arah yang lebih baik
seiring dengan pertumbuhan biologis dan jiwa seseorang.
Pertumbuhan jiwa sosial seseorang terjadi sejak lahir sampai dewasa.
Kesadaran sosial itu mulai dari kesadaran diri sendiri mengenai pengalamanpengalaman bergaul sejak kecil, berkembanglah kesadaran sosial anak-anak dan
memuncak pada umur remaja. Para remaja sangat memperhatikan penerimaan sosial
dari teman-teman sebayanya. Mereka merasa sangat sedih apabila dalam pergaulan
tidak mendapat tempat, atau kurang dipedulikan oleh teman-temannya. Ingin
diperhatikan dan mendapat tempat dalam kelompok teman-teman itulah yang
mendorong remaja meniru apa yang dibuat, dipakai, atau dilakukan oleh temantemannya. Mulai dari mode pakaian, lagak lagu, cara bicara, sampai pada cara bergaul
sering kali yang diambil ukuran oleh remaja adalah teman-temannya.23

Fuad Nashori, Potensi-potensi Manusia: Seri Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003), h. 44.
22

23

Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, h. 88.

13
Biasanya remaja dalam menjalankan aktivitas-aktivitas keagamaan sangat
dipengaruhi oleh teman-temannya. Misalnya, remaja yang ikut dalam kelompok yang
tidak salat, atau tidak peduli akan ajaran agama, akan mau mengorbankan sebagian
dari keyakinannya, demi untuk mengikuti kebiasaan teman sebayanya. Hal ini
menunjukkan bahwa lingkungan mempunyai peranan yang sangat penting terhadap
keberhasilan

pendidikan,

khususnya

pendidikan

Islam.

Lingkungan

dapat

memberikan pengaruh yang positif dan negatif terhadap pertumbuhan dan
perkembangan jiwa anak, sikap, akhlak, serta perasaan keberagamaannya.
Jadi lingkungan yang positif adalah lingkungan yang kondusif dan mendukung
untuk menumbuh kembangkan potensi atau fit}rah manusia agar selalu berada pada
garisnya. Sedangkan lingkungan negatif merupakan lingkungan yang bisa
berpengaruh buruk terhadap keberlangsungan perkembangan potensi manusia.
Lingkungan pendidikan pada dasarnya dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
1) Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan situasi sosial terkecil dalam kehidupan umat manusia
sebagai makhluk sosial dan merupakan unit pertama dalam masyarakat. Dalam
keluarga inilah terbentuk tahap awal proses sosialisasi dan perkembangan individu.
Selain itu, keluarga merupakan mikro kosmos tempat manusia baru diciptakan dan
sumber yang banyak memberikan dasar-dasar pengajaran bagi seseorang, serta faktor
yang penting dalam pembinaan mental seseorang.
Pendidikan dalam keluarga merupakan dasar bagi pendidikan berikutnya.
Jaudah Muh}ammad Awwa>d mengatakan bahwa keluarga merupakan lingkungan yang

14
paling banyak mempengaruhi kondisi psikologi dan spiritual anak.24 Oleh karena itu,
cara, bentuk, dan isi pendidikan dalam keluarga pasti mempengaruhi perkembangan
watak, budi pekerti, dan kepribadian anak sebagai modal interaksi pada lembaga
pendidikan selanjutnya.
Sebelum anak berinteraksi di luar rumah, perlu adanya penerimaan
pengalaman-pengalaman dari keluarga di rumah terutama dari ayah dan ibunya, agar
dalam interaksi sosialnya dapat berjalan dengan lancar dan harmonis, maka perlu
adanya landasan moral yang kuat, sehingga anak tetap berada pada garis-garis fit}rah
yang telah dianugerahkan Allah.
Dalam konteks inilah orang tua sebagai pemegang amanah dituntut untuk
dapat menciptakan keluarga dalam suasana yang benar-benar dapat mengantar anakanak menuju pencapaian kepribadian yang berakhlak mulia dan tertanam nilai-nilai
keimanan yang kokoh sesuai dengan apa yang telah difit}rah-kan Allah swt. Sebagai
pemegang amanat dari Allah, orang tua mempunyai kewajiban menyelamatkan
keluarganya dari siksa api neraka. Hal ini dijelaskan dalam QS al-Tahri>m/66: 6.

َ ۡ ُ
ۡ َ َ ۡ ُ َ ُ َ ْ ٓ ُ ْ ُ َ َ َ ‫َ َٰٓ َ ُّ َ ه‬
ٗ
)٤( .…‫يأيها ٱَّلِين ءامنوا قوا أنفسكم وأهل ِيكم نارا‬

Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka….25

Jaudah Muh}ammad Awwa>d, Minha>j al-Isla>m fi> Tarbiyyah al-At}fa>l, terj. Sihabuddin,
Mendidik Anak Secara Islami (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 29.
24

25

Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 820.

15
Hal ini bisa dilakukan melalui peneladanan dan pembiasaan. Orang tua adalah
orang yang menjadi panutan anaknya. Setiap anak pada awalnya mengagumi kedua
orang tuanya. Semua tingkah laku orang tuanya ditiru oleh anak. Oleh karena itu,
peneladanan sangat diperlukan dalam kehidupan keluarga. Ketika akan makan
misalnya, ayah membaca basmalah, anak-anak menirukan itu. Tatkala orang tua salat,
hendaknya anak pun diajak salat,26 sekalipun mereka belum mengetahui cara dan
bacaannya.
2) Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan follow up dari pendidikan keluarga, karena sekolah
memberikan pendidikan kepada anak yang tidak didapatkan dalam keluarga. Sekolah
sebagai lembaga pendidikan formal, terdiri dari guru (pendidik) dan siswa (peserta
didik). Tentu antara mereka sudah pasti terjadi saling interaksi, baik antara guru
sebagai pendidik dengan siswanya maupun antara sesama peserta didik sebagai teman
belajarnya.
Pendidik hendaknya dapat menciptakan lingkungan yang mendukung untuk
berkembangnya potensi diri peserta didik. Tidak kalah pentingnya adalah seorang
peserta didik akan selalu mengikuti apa yang sudah diajarkan dan bahkan mengikuti

26

Adalah hal yang sia-sia jika orang tua hanya sekedar memerintah kepadanya dengan ucapan
(atau ditambah dengan ancaman) perihal salat. Sementara sang anak jarang atau bahkan tidak pernah
menyaksikan langsung bagaimana orang tuanya melaksanakan salat. Oleh karena itu, agar anak gemar
melaksanakan salat, terlebih dahulu hendaknya orang tua menjadi sosok teladan dalam masalah salat.
Rasulullah saw. bersabda: “Perintahlah anak-anak kalian untuk mengerjakan salat pada usia tujuh
tahun, dan pukullah mereka (ketika meninggalkan salat) pada usia sepuluh tahun, serta pisahkanlah
tempat tidur mereka”. Lebih lanjut lihat A. Choiran Marzuki, Anak Saleh dalam Asuhan Ibu Muslimah
(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), h. 40.

16
apapun yang dilakukan oleh pendidik. Peserta didik dengan mudah bisa menirukan
apa yang dilakukan seorang pendidik, hal ini menuntut adanya sifat keteladanan yang
baik dan itu ditemukan pada figur seorang pendidik.27
Keteladanan itu bisa dimulai dari hal-hal kecil, seperti seorang pendidik
hendaknya menjauhkan diri dari sikap dusta agar peserta didik tidak belajar berdusta,
tidak mengeluarkan kata-kata kotor dan umpatan agar peserta didik tidak meniru.
Semua itu dibarengi dengan memberikan pengertian yang cukup kepada mereka
perihal kebenaran, kebaikan dan keburukan yang harus dihindari. Lebih penting
adalah hendaknya di lingkungan sekolah diciptakan suasana religius untuk lebih
memotivasi anak agar selalu bersikap dan berprilaku sesuai fit}rah-nya.
3) Lingkungan Masyarakat
Masyarakat merupakan tempat pergaulan sesama manusia dan lapangan
pendidikan yang luas, yaitu adanya hubungan antara dua orang atau lebih tak terbatas.
Dengan demikian, dalam pergaulan sehari-hari antara seseorang dengan tokoh agama,
tokoh masyarakat, atau anggota masyarakat yang lain mengandung gejala-gejala
pendidikan. Para tokoh tersebut mestinya dalam pergaulannya mengarah pada
pengaruh yang positif, menuju kepada tujuan yang mencakup nilai-nilai yang tinggi
atau luhur.
Masyarakat merupakan tempat berkumpul dan bersatunya individu-individu
yang beraneka ragam prilakunya. Mulai dari yang baik sampai pada yang paling buruk

27

Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, h. 89.

17
sekalipun terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, agar peserta didik dalam
pergaulannya tidak mengalami penyimpangan ke arah yang negatif hendaknya dalam
pergaulan masyarakat diciptakan situasi harmonis yang dapat menumbuhkan sikap
kreativitas seorang anak.
Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan wahana kepada anak dalam bentuk
perkumpulan-perkumpulan yang positif seperti karang taruna, kelompok pengajian,
atau bentuk kegiatan lain yang mendorong dan mendukung perkembangan psikologis
serta spiritualitas anak. Melalui cara ini, anak-anak dilatih untuk mengembangkan
jiwa sosial, kepemimpinan, kerja sama, dan kompetisi. Ini menjadi wahana untuk
mengekspresikan kepribadian yang sebenarnya.28
Orang tua beserta tokoh masyarakat dalam hal ini dituntut untuk bersamasama memasilitasi dan mendampingi kegiatan-kegiatan tersebut agar tidak melenceng dari tujuan yang diharapkan dengan cara memantau dan mengarahkan pada halhal khusus yang perlu untuk diarahkan.
B. Optimalisasi Pendengaran, Penglihatan, dan Hati sebagai Potensi Dasar Manusia
Manusia pada dasarnya dilahirkan di dunia masih bersifat suci, dalam keadaan
kosong29 belum mengetahui suatu apapun, dalam arti bahwa ia belum mumayyiz

28

Lihat Ibid., h. 89-90.

Fuad Nashori, Potensi-potensi Manusia: Seri Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003), h. 57.
29

18
(membedakan yang baik dan buruk). Sebagaimana firman Allah dalam QS al-Nah}l/16:
78.

َ
ۡ َ ُ‫َ ه‬
ُ
ُ َ َ َ َ َ ۡ َ َ ُ َ ۡ َ َ ۡ ُ َٰ َ ‫ُ ه‬
‫د‬
َ
‫ك ُم ه‬
ُ
ُ
َ
َ‫ٱلس ۡم َ َو ۡٱۡلبۡ َصَٰر‬
ۢ
‫ون أمهتِكم َل تعلمون شيا وجعل ل‬
ِ ‫وٱَّلل أخرجكم ِمن بط‬
َ ُ ُ َۡ ۡ ُ ‫َ َۡۡ ََ ََه‬
)٨٧( .‫وٱۡلفد لعلكم شككرون‬
Terjemahnya:
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
agar kamu bersyukur.30
Ayat tersebut mengindikasikan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan
tidak mengetahui, kemudian Allah swt. memberikan potensi pendengaran, penglihatan, dan hati (fu’a>d) kepadanya sebagai bekal untuk memperoleh pengetahuan.
Penggunaan kata sam‘a dan abs}a>r, bukan uzun (telinga) dan ‘ain (mata) juga
menunjukkan bahwa yang terpenting dari potensi yang diberikan Allah bukanlah
bentuknya (jasadnya), tetapi bagaimana fungsinya dapat mengantarkan kita kepadaNya.
1. Optimalisasi Pendengaran
Pendengaran berasal dari kata “dengar” yang berarti dapat menangkap suara
(bunyi) dengan telinga; menurut; mengindahkan.31 Arti tersebut mengindikasikan
bahwa orang yang mendengar tidak hanya menjadikan indra pendengarannya sebagai
alat untuk menanggapi stimulus bunyi, namun juga ada upaya menuruti dan
melaksanakannya dengan baik dan benar. Berarti ada upaya memahami berbagai

30

Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 375.

31

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, https://kbbi.web.id (30 Oktober 2017).

19
pesan yang diterimanya melalui suara (bunyi). Kebenaran pemahaman akan suara
yang didengarnya terlihat dari pelaksanaan dari apa yang dikehendaki oleh pemberi
pesan suara (komunikator).
Berdasarkan pengertian tersebut, penulis memaknai kata mendengar dalam
arti luas, yakni mengakomodasi informasi dan ilmu pengetahuan, baik yang sifatnya
wahyu maupun penemuan-penemuan manusia yang sudah menjadi teori dan berusaha
mengaplikasikannya dengan baik dan benar.
Allah menyebutkan kata sam‘a lebih awal ketimbang potensi lainnya dalam
QS al-Nah}l/16: 78. Hal ini sesuai dengan teori perkembangan manusia bahwa pendengaran bayilah yang paling pertama berfungsi sejak dilahirkan oleh ibunya. Oleh
karena itu, yang pertama harus dilakukan dalam pendidikan Islam adalah
memperdengarkan azan pada sang bayi. Sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah
dalam hadis dari Ra>fi‘.

َ‫ رأيتَرسولَاللَّ ِهَصلَّىَاللَّهَعلَي ِهَوسلَّمَأَََّّ ََِِأَّ ََِاحلس ِنَب ِن‬:َ‫ عنَأبِ ِيهَقال‬،َ‫عنَعب ي ِدَاللَّ ِهَب ِنَأِبَرافِع‬
32
ِ ‫َحنيَولدتهَف‬
ِ ‫علِي‬
.)‫اطمةَ (رواهَالرتمذيَو أبوَداود‬
ٍّ
Artinya:

Dari Abdulla>h bin Abi> Ra>fi‘, dari ayahnya berkata: “Saya melihat Rasulullah
saw. mengazani telinga Hasan bin Ali> ketika dilahirkan oleh Fa>t}imah” (HR alTirmizi> dan Abu> Da>wud).
Hadis tersebut menunjukkan bahwa pendidikan Islam berupaya mengoptimalkan potensi pendengaran anak dengan memperdengarkan kalimat-kalimat tauhid

32

Sunan al-Tirmizi> (no. 1514) dan Sunan Abi> Da>wud (no. 5105)

20
pada awal kelahiran dan merupakan upaya pembiasaan terhadap anak mendengarkan
kalimat-kalimat yang baik.
2. Optimalisasi Penglihatan
Penglihatan berasal dari kata “lihat” yang berarti “menggunakan mata untuk
memandang; memperhatikan; mengamati”.33 Arti tersebut mengindikasikan bahwa
melihat tidak hanya sebuah proses jatuhnya cahaya ke kornea mata dan diterjemahkan
dalam warna dan bentuk, akan tetapi dapat dimaknai sebagai upaya pengamatan dan
penelitian. Melihat berarti meneliti, memperhatikan segala fenomena yang terjadi
baik pada diri manusia ataupun alam semesta yang lebih luas.
Allah swt. menerangkan dalam QS An/3: 190.

َۡ َ َ َ ‫ه‬
‫ه‬
َۡ ۡ ْ ُ ‫َ د‬
ۡ َ
َ ۡ َ
‫ه‬
َ
َ
َ
‫ه‬
ۡ
َٰ
َٰ
َٰ
ِ ‫ت وٱۡل‬
)٠٩٣(.‫ب‬
ِ َٰ ‫إِن ِِف خل ِق ٱلسمَٰو‬
ٖ ‫ۡرض وٱختِل ِف ٱَّل ِل وٱنلهارِ ٓأَلي‬
ِ ‫ت ِۡلو ِِل ٱۡللب‬

Terjemahnya:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.34
Ayat tersebut dapat dimaknai bahwa alam semesta dengan berbagai
fenomenanya merupakan sesuatu yang harus dipelajari, diamati, atau diteliti oleh
manusia untuk membuatnya semakin yakin akan kekuasaan Allah swt.. Sehingga ilmu
yang baik adalah ilmu yang semakin mendekatkan kepada Allah swt.. Oleh karena
itu, perlu integrasi dan interkoneksi sains dan teknologi dalam kajian keislaman.

33
34

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, https://kbbi.web.id (30 Oktober 2017).
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 96.

21
Begitu pun sebaliknya, perlu integrasi dan interkoneksi Wahyu dalam pembelajaran
sains dan teknologi.
Bila pendengaran dan penglihatan dimaknai dengan potensi yang sifatnya
sekedar memahami yang empiris, maka cukup dengan menciptakan media
pembelajaran yang mengstimulus keduanya agar dapat menerima/memahami materi
pembelajaran sebagai bekal dalam mengelola bumi dalam kapasitasnya sebagai

khali>fah. Namun lebih dari sekedar itu, mestinya kedua potensi tersebut
mengantarkan kepada semakin yakinnya manusia kepada Sang Maha Pencipta dan
membawanya kepada tujuan penciptaan yaitu ‘abd. Betapa banyak orang yang pada
zahirnya mendengar dan melihat, namun pada hakikatnya dia tuli dan buta.
Sebagaimana disebutkan dalam QS al-Baqarah/2: 7.

ٞ ِ ‫اب َع‬
ٌ ‫ۖ َول َ ُه ۡم َع َذ‬ٞ
(٨) .‫ظيم‬

Terjemahnya:

َ ََ َ ۡ ۡ َ ََ َ ۡ ُُ ََ ُ‫َ َ َ ه‬
َ‫ِشو‬
َٰ ‫لَع قلوب ِهم و‬
َٰ ‫ختم ٱَّلل‬
َٰٓ ‫لَع سمعِ ِهمۖ و‬
َٰ َ ‫لَع أبۡ َص َٰ ِره ِۡم غ‬
ِ

Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan
mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.35
Ayat tersebut menerangkan bahwa orang kafir (yang jauh dari rahmat Allah)
tidak mau lagi melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, tidak mau lagi mendengar
nasihat, yang demikian itu pada hakikatnya adalah orang yang tuli lagi buta. Oleh
karena itu, pendidikan Islam mestinya mengarahkan potensi ini kepada semakin
dekatnya manusia kepada Allah.

35

Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 3.

22
3. Optimalisasi Hati
Istilah “hati” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Online diartikan sebagai
Organ badan yang berwarna kemerah-merahan di bagian kanan atas rongga
perut, gunanya untuk mengambil sari-sari makanan di dalam darah dan
menghasilkan empedu; sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap
sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian
(perasaan dan sebagainya).36
Pengertian kata hati tersebut mengindikasikan bahwa manusia merupakan
makhluk biologis dan rohis. Apalagi bila dikaitkan dengan Hadis Rasulullah saw. dari
Nu‘ma>n bin Ba>syir rad}iyalla>h ‘an huma>.

َِ ‫أّلََوإِ ََََّ ِفََاْلس‬
.َ‫ أّلََوُِىََالقلب‬،َ‫ وإَِّاَفسدتََفسَدََاْلسدََكلُّه‬،َ‫دَمضغةََإَِّاَصلحتََصلحََاْلسدَََكلُّه‬
Artinya:
Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik
pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ingatlah bahwa
ia adalah hati. (HR Bukha>ri no. 52 dan Muslim no. 1599).
Penulis memaknai hati semakna dengan heart, bukan liver dalam bahasa
Inggris atau semakna qalb bukan kibd dalam bahasa Arab. Dia lebih rohani, dalam
artian menjadi alat utama dalam melakukan kontemplasi.
Berdasarkan arti hati tersebut, dapat dipahami bahwa hati merupakan alat
yang digunakan dalam proses perenungan dan berpikir untuk memahami segala
sesuatu dan menjawab setiap pertanyaan yang muncul (terutama mengenai metafisik

36

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, https://kbbi.web.id (30 Oktober 2017).

23
dan transmetafisik), di mana proses tersebut membuatnya semakin yakin dan semakin
dekat dengan Allah.
Kaitannya dengan potensi hati (qalb), al-Zamakhsyari> dalam Ramayulis
menjelaskan bahwa

Qalb itu diciptakan oleh Allah sesuai dengan fit}rah asalnya dan kecenderungan
menerima kebenaran darinya. Dari sisi ini, qalb merupakan bagian esensi dari
nafs. Qalb berfungsi sebagai pemandu, pengontrol, pengendali struktur nafs
yang lain sehingga membentuk karakter. Bila qalb berfungsi secara normal,
maka karakter manusia akan baik dan sesuai dengan fit}rah asalnya, karena
manusia memiliki natur ila>hiyyah/rabba>niyyah. Natur ila>hiyyah merupakan
natur suprakesadaran yang terpancarkan dari Tuhan. Dengan natur ini manusia
tidak hanya mengenal lingkungan fisik, melainkan juga mampu mengenal
lingkungan spiritual, ketuhanan, dan keagamaan.37
Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa qalb (hati) bukanlah
otentisitas manusia. Namun qalb hanya alat atau potensi yang diberikan oleh Allah
yang perlu diarahkan dan dikembangkan. Karena posisinya lebih ke rohani, maka
pengembangannya pun harus melalui pendekatan spiritual dalam pendidikan Islam.
C. Implikasi Konsep Hakikat Manusia sebagai Makhluk Pedagogik terhadap

Pendidikan Islam
Teori dan praktik pendidikan Islam harus didasarkan pada konsep dasar
tentang manusia. Tanpa kejelasan mengenai konsep ini, pendidikan akan merabaraba. Bahkan menurut Ali Ashraf dalam Ramayulis, pendidikan Islam tidak akan

Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam (Jakarta:
Kalam Mulia, 2015), h. 292.
37

24
dapat dipahami secara jelas tanpa terlebih dahulu memahami tentang pengembangan
manusia seutuhnya.38
Pada pembahasan sebelumnya telah dibahas mengenai berbagai potensi yang
diberikan kepada manusia sebagai alat untuk menjalankan tujuan dan fungsi
penciptaannya dalam alam semesta. Berdasarkan uraian tersebut, paling tidak ada dua
implikasi terpenting dalam hubungannya dengan pendidikan Islam, yaitu:
1. Sistem Pendidikan Islam Harus Dibangun Atas Integrasi antara Pendidikan

Qalbiyyah dan ‘Aqliyyah
Manusia merupakan makhluk resultan dari dua komponen (materi dan
immateri), sehingga konsepsi pendidikan Islam menghendaki proses pembinaan yang
mengacu ke arah realisasi dan pengembangan kedua komponen tersebut. Dengan
demikian, out put dari pendidikan Islam adalah manusia muslim yang cerdas secara
intelektual, terpuji secara emosional, dan mulia secara spiritual. Jika kedua komponen
itu terpisah atau dipisahkan dalam proses kependidikan Islam, maka manusia akan
kehilangan keseimbangannya dan tidak akan pernah menjadi pribadi-pribadi
sempurna (insa>n ka>mil).
2. Pendidikan Islam Diarahkan untuk Mampu Melaksanakan Fungsi dan Tujuan
Penciptaan Manusia (Khali>fah dan ‘Abd)
Al-Qur’an menjelaskan bahwa fungsi penciptaan manusia di dunia adalah
sebagai khali>fah, sementara tujuan penciptaannya sebagai ‘abd. Oleh karena itu,

38

Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam, h. 89.

25
untuk melaksanakan fungsinya, manusia dibekali oleh Allah dengan berbagai potensi.
Dalam konteks ini, pendidikan Islam harus merupakan upaya yang ditujukan ke arah
pengembangan potensi manusia secara optimal, sehingga dapat terwujud dalam
bentuk konkret di kehidupan.
Praktik ‘ubu>diyyah merupakan kewajiban manusia sebagai tujuan penciptaan
memerlukan motivasi untuk dapat melaksanakannya dengan baik dan benar. Selain
itu, diperlukan juga pengetahuan akan cara melaksanakan kewajiban tersebut.
Diharapkan praktik-praktik ‘ubu>diyyah dan upaya pengelolaan bumi sebagai fungsi

khali>fah tidak hanya membuat posisi manusia menjadi stagnan, tetapi semakin tinggi
dengan berbagai kemuliaan di sisi Khalik-nya.
Kedua hal tersebut harus menjadi acuan dasar dalam menciptakan dan
mengembangkan sistem pendidikan Islam masa kini dan masa depan. Menurut
Ramayulis, fungsionalisasi pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya sangat
bergantung pada sejauh mana kemampuan umat Islam menerjemahkan dan
merealisasikan konsep hakikat manusia sebagai makhluk pedagogik di alam semesta
ini.39
Berdasarkan pernyataan tersebut, pendidikan Islam harus dijadikan sebagai
sarana yang kondusif bagi proses transformasi ilmu pengetahuan dan budaya Islami
dari generasi ke generasi. Dalam konteks ini dipahami bahwa posisi manusia sebagai

39

Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam , h. 90.

26

khali>fah dan ‘abd menghendaki program pendidikan yang mengarahkan dan mengembangkan sepenuhnya penguasaan ilmu pengetahuan secara totalitas. Tidak ada
lagi dikotomi ilmu, agar manusia tegar sebagai khali>fah dan takwa sebagai ‘abd.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat
disimpulkan, bahwa:
1. Optimalisasi fit}rah sebagai potensi dasar manusia mesti dengan pendidikan dan
penciptaan lingkungan yang kondusif.
2. Optimalisasi pendengaran, penglihatan, dan hati sebagai potensi dasar manusia
dengan senantiasa mengarahkannya untuk merespon stimulus empiris tidak
hanya kepada sesuatu yang sifatnya materi, tetapi juga kepada sesuatu yang
semakin mendekatkannya kepada Allah.
3. Implikasi hakikat manusia sebagai makhluk pedagogik terhadap pendidikan
Islam ada dua, yaitu: (1) Sistem pendidikan Islam harus dibangun atas integrasi
antara pendidikan qalbiyyah dan‘aqliyyah. (2) Pendidikan Islam harus
diarahkan untuk mampu melaksanakan fungsi dan tujuan penciptaan manusia

(khali>fah dan ‘abd).

27
B. Saran
1. Orang tua dan pendidik agar mengondisikan peserta didik pada situasi atau
lingkungan belajar yang kondusif. Dalam artian, lingkungan belajar peserta
didik harus mengarahkannya pada pengembangan potensi yang dimiliki.
2. Pemerintah atau penentu kebijakan pendidikan agar sepenuhnya mengakomodasi konsep hakikat manusia ke dalam sistem pendidikan di Indonesia,
khususnya sistem pendidikan Islam. Pendidikan di Indonesia realitanya kering
akan nilai-nilai spiritual, hal ini terlihat dari desain pembelajaran yang
dikembangkan secara nasional termasuk di lembaga pendidikan Islam lebih
mengutamakan kognisi ketimbang afeksi. Mestinya ada kesesuaian antara
seluruh kompetensi mengingat kesemuanya merupakan potensi dasar manusia
yang perlu untuk dikembangkan.

DAFTAR PUSTAKA
Achmadi. Ideologi Pendidikan Islam:
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Paradigma Humanisme Teosentris.

Awwa>d, Jaudah Muh}ammad. Minha>j al-Isla>m fi> Tarbiyyah al-At}fa>l, terj. Sihabuddin,
Mendidik Anak Secara Islami. Jakarta: Gema Insani Press, 2005.
Al-Ba>qi>, Muh}ammad Fu‘a>d ‘Abd. al-Mu’jam Mufahras li Alfa>z al-Qur’a>n al-Kari>m.
Bairut: Da>r al-Fikr, 1991.
Burga, Muhammad Alqadri. “Fit}rah Manusia dalam Al-Qur’an: Studi Tafsir Maud}u>‘i>
”. Makalah yang disajikan pada Seminar Kelas Program Doktor Pascasarjana
UIN Alauddin, Makassar, 8 April 2017.
Darajat, Zakiah, dkk.. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. VI; Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
_________. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2001.
Departemen Agama RI.. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Pustaka As-Salam,
2010.
Ghafur, Waryono Abdul. Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks dengan Konteks.
Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005.
Hamzah, Muchotob, dkk.. Tafsir Maudhu‘i al-Muntaha, Jilid 1. Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2004.
Hitami, Munzir. Mengonsep Kembali Pendidikan Islam. Pekanbaru Riau: Infinite
Press, 2004.
Ibnu Manz}u>r, Jama>l al-Di>n Muh}ammad bin Mukarram. Lisa>n al-‘Arab, Jilid III.
Beirut: Dār al-Sadr, 1992.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, https://kbbi.web.id (30 Oktober 2017).
Langgulung, Hasan. Pendidikan dan Peradaban Islam: Suatu Analisa Sosio-Psikologi.
Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2005.
Marzuki, A. Choiran. Anak Saleh dalam Asuhan Ibu Muslimah. Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2000.

27

28
Mubarok, Achmad. Sunnatullah dalam Jiwa Manusia: Sebuah Pendekatan Psikologi
Islam. Jakarta: The International Institute Of Islamic Thought, 2003.
Muhaimin dan Abdul Mujib. Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalnya. Bandung: Trigenda Karya, 2003.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997.
Al-Naisabu>ri>, Ima>m Abi> Husain Muslim al-Hajja>j al-Qusyairi>. S}ahi>h Muslim, Juz IV.
Beirut Libanon: Da>r al-Ihya>’ al-Turat} al-‘Arabi>, 1997.
Nashori, Fuad. Potensi-potensi Manusia: Seri Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003.
Ramayulis. Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam.
Jakarta: Kalam Mulia, 2015.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol.
11. Cet. XI; Jakarta: Lentera Hati, 2004.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Cet. IXX; Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 201o.
Uyoh, Sadulloh. Pedagogik: Ilmu Mendidik. Bandung: Alfabeta, 2014.

Dokumen yang terkait

ANALISIS KARAKTERISTIK MARSHALL CAMPURAN AC-BC MENGGUNAKAN BUTON GRANULAR ASPHALT (BGA) 15/20 SEBAGAI BAHAN KOMPOSISI CAMPURAN AGREGAT HALUS

14 283 23

TEPUNG LIDAH BUAYA (Aloe vera) SEBAGAI IMMUNOSTIMULANT DALAM PAKAN TERHADAP LEVEL HEMATOKRIT DAN LEUKOKRIT IKAN MAS (Cyprinus carpio)

27 208 2

PENGARUH KONSENTRASI TETES TEBU SEBAGAI PENYUSUN BOKASHI TERHADAP KEBERHASILAN PERTUMBUHAN SEMAI JATI (Tectona grandis Linn f) BERASAL DARI APB DAN JPP

6 162 1

OPTIMASI SEDIAAN KRIM SERBUK DAUN KELOR (Moringa oleifera Lam.) SEBAGAI ANTIOKSIDAN DENGAN BASIS VANISHING CREAM

57 260 22

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) SEBAGAI ADJUVAN TERAPI CAPTOPRIL TERHADAP KADAR RENIN PADA MENCIT JANTAN (Mus musculus) YANG DIINDUKSI HIPERTENSI

37 251 30

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

INTENSIFIKASI PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH ( DI KABUPATEN BANYUWANGI

16 118 18

PERAN PT. FREEPORT INDONESIA SEBAGAI FOREIGN DIRECT INVESTMENT (FDI) DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA

12 85 1

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59