Teori Belajar Behavioristik dan Kognitiv (1)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Teori belajar merupakan landasan terjadinya suatu proses belajar yang menuntun
terbentuknya kondisi untuk belajar. Teori belajar dapat didefinisikan sebagai integrasi
prinsip-prinsip yang menuntun di dalam merancang kondisi demi tercapainya tujuan
pendidikan. Dengan adanya teori belajar akan memberikan kemudahan bagi guru dalam
menjalankan model-model pembelajaran yang akan dilaksanakan. Banyak telah ditemukan
teori belajar yang pada dasarnya menitikberatkan ketercapaian perubahan tingkah laku
setelah proses pembelajaran.
Belajar bukan hanya menghafal dan bukan pula mengingat, tetapi belajar adalah suatu
proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri siswa. Perubahan sebagai hasil
proses belajar dapat ditunjukan dalam berbagai bentuk, seperti perubahan pengetahuanya,
sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapannya, kemampuannya, daya reaksinya dan
daya penerimaanya. Jadi belajar adalah suatu proses yang aktif, proses mereaksi terhadap
semua situasi yang ada pada siswa. Belajar merupakan suatu proses yang diarahkan pada
suatu tujuan, proses berbuat melalui situasi yang ada pada siswa. Oleh karena itu, dalam
suatu pembelajaran juga perlu didukung oleh adanya suatu teori belajar.
Secara pragmatis, teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan
prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atau sejumlah fakta dan

penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar.
Dengan berkembangnya psikologi dalam pendidikan, maka bersamaan dengan itu
bermunculan pula berbagai teori tentang belajar. Di dalam masa perkembangan psikologi
pendidikan ini munculah beberapa aliran pasikologi pendidikan, antara lain yaitu:
-

Psikologi behavioristik; dan

-

Psikologi kognitif.
1

Kedua aliran psikologi pendidikan di atas tumbuh dan berkembang secara beruntun, dari
periode ke periode berikutnya. Oleh sebab itu, kami akan membahas lebih lanjut tentang
teori-teori belajar yang telah tersebut di atas pada pembahasan makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah Teori Belajar dan Pembelajaran ini, pembahasan yang akan dibahas adalah :
1) Apa pengertian Teori belajar Behavioristik?

2) Apa pengertian Teori belajar Behavioristik menurut para ahli?
3) Bagaimana penerapan Teori belajar Behavioristik dalam belajar dan pembelajaran?
4) Apa pengertian Teori belajar Kognitivistik?
5) Apa pengertian Teori belajar Kognitivistik menurut para ahli?
6) Bagaimana penerapan Teori belajar Kognitifistik dalam belajar dan pembelajaran?

1.3 Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini bersumber dari metode studi pustaka.
Dengan metode ini penyusun mendapatkan sumber dari buku-buku, makalah dan internet
serta sumber lain yang berhubungan dengan pembahasan yang ada di makalah ini.

1.4 Tujuan Penulisan
Dalam penyusunan Makalah Teori Belajar Behavioristik dan Teori Belajar Kognitivistik ini,
tujuan yang ingin dicapai penyusun antara lain :
1. Mengetahui pengertian mengenai Teori Belajar Behavioristik dan Teori Belajar
Kognitifistik
2. Menjadi salah satu bahan acuan dalam memahami teori belajar
2

3. Menjadi salah satu bahan referensi dalam mata kuliah Teori Belajar dan Pembelajaran

4. Memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah Teori Belajar dan Pembelajaran

1.5 Alasan Pemilihan Sekolah
Kami memilih RA Al Makbul Cipinang Besar Utara sebagai objek untuk observasi kelompok
kami karena salah satu anggota dari kelompok kami memiliki saudara yang bekerja sebagai
kepala Yayasan serta kepala sekolah disekolah itu. Hal ini jelas menjadi alasan kami kenapa
memilih sekolah ini sebagai objek observasi sebagai jalan agar mempermudah perizinan
observasi disekolah tersebut. Karena waktu yang diberikan kepada kami terbilang cukup singkat,
yakni 3 (tiga) minggu.

BAB II
3

KERANGKA TEORI

2.1 Teori Belajar Behavioristik
Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat
diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans)
yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik.
Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal

yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi
fisik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat dan kecenderungan
perilaku S-R (stimulus-Respon).
Teori Behavioristik:
1. Mementingkan faktor lingkungan
2. Menekankan pada faktor bagian
3. Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif.
4. Sifatnya mekanis
5. Mementingkan masa lalu
A. Edward Lee Thorndike (1874-1949): Teori Koneksionisme
Thorndike berprofesi sebagai seorang pendidik dan psikolog yang berkebangsaan
Amerika. Lulus S1 dari Universitas Wesleyen tahun 1895, S2 dari Harvard tahun 1896 dan
meraih gelar doktor di Columbia tahun 1898.
Buku-buku yang ditulisnya antara lain Educational Psychology (1903), Mental and social
Measurements (1904), Animal Intelligence (1911), Ateacher’s Word Book (1921),Your City
(1939), dan Human Nature and The Social Order (1940).
Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara
peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R ). Stimulus adalah suatu
perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk
beraksi atau berbuat sedangkan respon dari adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan

4

karena adanya perangsang. Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar
(puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu
adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha–usaha atau
percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Bentuk paling
dasar dari belajar adalah “trial and error learning atau selecting and connecting learning” dan
berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan
oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi. Adanya
pandangan-pandangan Thorndike yang memberi sumbangan yang cukup besar di dunia
pendidikan tersebut maka ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor dalam psikologi
pendidikan.
Percobaan Thorndike yang terkenal dengan binatang coba kucing yang telah dilaparkan
dan diletakkan di dalam sangkar yang tertutup dan pintunya dapat dibuka secara otomatis apabila
kenop yang terletak di dalam sangkar tersebut tersentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori
“trial and error” atau “selecting and conecting”, yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara
mencoba-coba dan membuat salah. Dalam melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut
cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap
response menimbulkan stimulus yang baru, selanjutnya stimulus baru ini akan menimbulkan
response lagi, demikian selanjutnya.

Dalam percobaan tersebut apabila di luar sangkar diletakkan makanan, maka kucing
berusaha untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian kemari. Dengan tidak disengaja
kucing telah menyentuh kenop, maka terbukalah pintu sangkar tersebut, dan kucing segera lari
ke tempat makan. Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10
sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat dengan sengaja menyentuh kenop tersebut apabila di
luar diletakkan makanan. Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar
sebagai berikut :
1. Hukum Kesiapan (Law of Readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh
suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan
menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat. Prinsip pertama
teori koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan membentuk asosiasi (connection)
antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa
senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung
5

mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan
menghasilkan prestasi memuaskan. Masalah pertama hukum law of readiness adalah jika
kecenderungan bertindak dan orang melakukannya, maka ia akan merasa puas.
Akibatnya, ia tak akan melakukan tindakan lain. Masalah ketiganya adalah bila tidak ada
kecenderungan bertindak padahal ia melakukannya, maka timbullah ketidakpuasan.

Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan
ketidakpuasannya.
2. Hukum Latihan (Law of Exercise), yaitu semakin sering tingkah laku diulang/ dilatih
(digunakan) , maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Prinsip law of exercise adalah
koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi
lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak
dilanjutkan atau dihentikan. Prinsip menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar
adalah ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.
3. Hukum akibat (Law of Effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila
akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan.
Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil
perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan
dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak
menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi. Koneksi antara kesan
panca indera dengan kecenderungan bertindak dapat menguat atau melemah, tergantung
pada “buah” hasil perbuatan yang pernah dilakukan. Misalnya, bila anak mengerjakan
PR, ia mendapatkan muka manis gurunya. Namun, jika sebaliknya, ia akan dihukum.
Kecenderungan mengerjakan PR akan membentuk sikapnya. Thorndike berkeyakinan
bahwa prinsip proses belajar binatang pada dasarnya sama dengan yang berlaku pada
manusia, walaupun hubungan antara situasi dan perbuatan pada binatang tanpa

dipeantarai pengartian. Binatang melakukan respons-respons langsung dari apa yang
diamati dan terjadi secara mekanis(Suryobroto, 1984). Selanjutnya Thorndike
menambahkan hukum tambahan sebagai berikut:
a.

Hukum Reaksi Bervariasi (Multiple Response).

6

Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh proses trial dan error
yang menunjukkan adanya bermacam-macam respon sebelum memperoleh respon
yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
b.

Hukum Sikap ( Set/ Attitude).
Hukum ini menjelaskan bahwa perilakku belajar seseorang tidak hanya ditentukan
oleh hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang ada
dalam diri individu baik kognitif, emosi , sosial , maupun psikomotornya.

c.


Hukum Aktifitas Berat Sebelah ( Prepotency of Element ).
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan respon
pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi
(respon selektif).

d.

Hukum Respon by Analogy.
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi
yang belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan
situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga
terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru.
Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin mudah.

e.

Hukum perpindahan Asosiasi ( Associative Shifting )
Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke
situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan

sedikit demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit unsur lama.
Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyamapaian teorinya
Thorndike mengemukakan revisi Hukum Belajar antara lain :
1.

Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup
untuk memperkuat hubungan stimulus respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun
hubungan stimulus respon belum tentu diperlemah.

2.

Hukum akibat direvisi. Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif
untuk perubahan tingkah laku adalah hadiah, sedangkan hukuman tidak
berakibat apa-apa.

3.

Syarat utama terjadinya hubungan stimulus respon bukan kedekatan, tetapi
adanya saling sesuai antara stimulus dan respon.
7


4.

Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain maupun pada
individu lain.

Teori koneksionsme menyebutkan pula konsep transfer of training, yaitu kecakapan yang
telah diperoleh dalam belajar dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang lain.
Perkembangan teorinya berdasarkan pada percobaan terhadap kucing dengan problem box-nya.
B. Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936)
Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia yaitu desa tempat
ayahnya Peter Dmitrievich Pavlov menjadi seorang pendeta. Ia dididik di sekolah gereja dan
melanjutkan ke Seminari Teologi. Pavlov lulus sebagai sarjan kedokteran dengan bidang dasar
fisiologi. Pada tahun 1884 ia menjadi direktur departemen fisiologi pada institute of
Experimental Medicine dan memulai penelitian mengenai fisiologi pencernaan. Ivan Pavlov
meraih penghargaan nobel pada bidang Physiology or Medicine tahun 1904. Karyanya mengenai
pengkondisian sangat mempengaruhi psikologi behavioristik di Amerika. Karya tulisnya adalah
Work of Digestive Glands (1902) dan Conditioned Reflexes (1927).
Classic conditioning (Pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang
ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral
dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi
yang diinginkan. Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat
terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari
perilakunya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bakker bahwa yang paling sentral dalam hidup
manusia bukan hanya pikiran, peranan maupun bicara, melainkan tingkah lakunya. Pikiran
mengenai tugas atau rencana baru akan mendapatkan arti yang benar jika ia berbuat sesuatu
(Bakker, 1985). Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsanganrangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang diiinginkan.
Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan binatang (anjing)
karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan
segala kelebihannya, secara hakiki manusia berbeda dengan binatang. Ia mengadakan percobaan
dengan cara mengadakan operasi leher pada seekor anjing. Sehingga kelihatan kelenjar air
8

liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan keluarlah air liur anjing
tersebut. Sebelum makanan diperlihatkan, maka yang diperlihatkan adalah sinar merah terlebih
dahulu, baru makanan. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar pula. Apabila perbuatan yang
demikian dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya memperlihatkan sinar
merah saja tanpa makanan maka air liurpun akan keluar pula.
Makanan adalah rangsangan wajar, sedang merah adalah rangsangan buatan. Ternyata
kalau perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan
menimbulkan syarat(kondisi) untuk timbulnys air liur pada anjing tersebut. Peristiwa ini disebut
Reflek Bersyarat atau Conditioned Respons.
Pavlov berpendapat, bahwa kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat dilatih. Bectrev murid
Pavlov menggunakan prinsip-prinsip tersebut dilakukan pada manusia, yang ternyata
diketemukan banyak reflek bersyarat yang timbul tidak disadari manusia. Dari eksperimen
Pavlov setelah pengkondisian atau pembiasaan dapat diketahui bahwa daging yang menjadi
stimulus alami dapat digantikan oleh bunyi lonceng sebagai stimulus yang dikondisikan. Ketika
lonceng dibunyikan ternyata air liur anjing keluar sebagai respon yang dikondisikan. Apakah
situasi ini bisa diterapkan pada manusia? Ternyata dalam kehidupan sehari-sehari ada situasi
yang sama seperti pada anjing. Sebagai contoh, suara lagu dari penjual es krim Walls yang
berkeliling dari rumah ke rumah. Awalnya mungkin suara itu asing, tetapi setelah si pejual es
krim sering lewat, maka nada lagu tersebut bisa menerbitkan air liur apalagi pada siang hari yang
panas.
Bayangkan, bila tidak ada lagu tersebut betapa lelahnya si penjual berteriak-teriak
menjajakan dagangannya. Contoh lain adalah bunyi bel di kelas untuk penanda waktu atau
tombol antrian di bank. Tanpa disadari, terjadi proses menandai sesuatu yaitu membedakan
bunyi-bunyian dari pedagang makanan (rujak, es, nasi goreng, siomay) yang sering lewat di
rumah, bel masuk kelas-istirahat atau usai sekolah dan antri di bank tanpa harus berdiri lama.
Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata
individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat
untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari
bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.

9

C. Burrhus Frederic Skinner (1904-1990)
Seperti halnya kelompok penganut psikologi modern, Skinner mengadakan pendekatan
behavioristik untuk menerangkan tingkah laku. Pada tahun 1938, Skinner menerbitkan bukunya
yang berjudul The Behavior of Organism. Dalam perkembangan psikologi belajar, ia
mengemukakan teori operant conditioning. Buku itu menjadi inspirasi diadakannya konferensi
tahunan yang dimulai tahun 1946 dalam masalah “The Experimental an Analysis of Behavior”.
Hasil konferensi dimuat dalam jurnal berjudul Journal of the Experimental Behaviors yang
disponsori oleh Asosiasi Psikologi di Amerika (Sahakian,1970) B.F. Skinner berkebangsaan
Amerika dikenal sebagai tokoh behavioris dengan pendekatan model instruksi langsung dan
meyakini bahwa perilaku dikontrol melalui proses operant conditioning. Di mana seorang dapat
mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam
lingkungan relatif besar. Dalam beberapa hal, pelaksanaannya jauh lebih fleksibel daripada
conditioning klasik.
Gaya mengajar guru dilakukan dengan beberapa pengantar dari guru secara searah dan
dikontrol guru melalui pengulangan dan latihan. Menajemen Kelas menurut Skinner adalah
berupa usaha untuk memodifikasi perilaku antara lain dengan proses penguatan yaitu memberi
penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku
yanag tidak tepat. Operant Conditioning adalah suatu proses perilaku operant ( penguatan positif
atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau
menghilang sesuai dengan keinginan. Skinner membuat eksperimen sebagai berikut :
Dalam laboratorium Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam kotak yang
disebut “skinner box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan yaitu tombol, alat
pemberi makanan, penampung makanan, lampu yang dapat diatur nyalanya, dan lantai yang
dapat dialir listrik. Karena dorongan lapar tikus beruasah keluar untuk mencari makanan. Selama
tikus bergerak kesana kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol, makanan
keluar. Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang
ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shapping. Berdasarkan berbagai percobaannya pada tikus
dan burung merpati Skinner mengatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah
penguatan. Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan
semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua yaitu
10

penguatan positif dan penguatan negatif. Bentuk bentuk penguatan positif berupa hadiah,
perilaku, atau penghargaan. Bentuk bentuk penguatan negatif antara lain menunda atau tidak
memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang.
Beberapa prinsip Skinner antara lain :
1. Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika benar
diberi penguat.
2. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
3. Materi pelajaran, digunakan sistem modul.
4. Dalam proses pembelajaran, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu
diubah, untuk menghindari adanya hukuman.
5. Dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktivitas sendiri.
6. Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaiknya hadiah diberikan
dengan digunakannya jadwal variabel Rasio rein forcer.
7. Dalam pembelajaran digunakan shapping.

D. Aplikasi Teori Behavioristik terhadap Pembelajaran Siswa
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori behavioristik adalah ciri-ciri
kuat yang mendasarinya yaitu:
a. Mementingkan pengaruh lingkungan
b. Mementingkan bagian-bagian
c. Mementingkan peranan reaksi
d. Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus respon
e. Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya
f. Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan
g. Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Sebagai konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan paradigma behaviorisme
akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran
yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi
ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun
11

melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana sampai pada yang
kompleks. Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian
suatu ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati.
Kesalahan harus segera diperbaiki.Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang
diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini
adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat
penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau
penilaian didasari atas perilaku yang tampak.
Kritik terhadap behavioristik adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru,
bersifat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur. Kritik ini
sangat tidak berdasar karena penggunaan teori behavioristik mempunyai persyaratan tertentu
sesuai dengan ciri yang dimunculkannya. Tidak setiap mata pelajaran bisa memakai metode ini,
sehingga kejelian dan kepekaan guru pada situasi dan kondisi belajar sangat penting untuk
menerapkan kondisi behavioristik. Metode behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan
kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti:
Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya percakapan
bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya.
Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan
dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang
dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian. Penerapan teori
behaviroristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses
pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai central, bersikap
otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus
dipelajari murid. Murid dipandang pasif , perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh
penguatan yang diberikan guru. Murid hanya mendengarkan denga tertib penjelasan guru dan
menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan
hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik justru dianggap metode yang
paling efektif untuk menertibkan siswa.

12

2.2 Teori Belajar Kognitivistik
A. Teori Gestalt
Max Wertheimer, seorang psikolog Jerman, ia penemu psikologi Gestalt. Gerakan
psikologi Gestalt mula- mula dimuat dalam artikel Wertheimer pada 1912. Ia dikenal
dekat dengan Wolfgang Kohler (1887 – 1967) dan Kurt Koffka (1886 – 1941). Kedua
tokoh Gestalt tersebut, melakukan percobaan-percobaan pertama untuk penelitian
Wertheimer.
Sejarah penemuan teori Gestalt, dimulai sebagai akibat insight Wertheimer, ketika
naik kereta api, sambil membaca waktu liburan. Ia melihat sinar matahari berkedip-kedip
( hidup dan mati) dengan jarak tertentu. Sinar itu memberi kesan sebagai suatu sinar yang
bergerak datang dan pergi yang tidak terputus-putus. Selanjutnya ia pergi membeli
permainan untuk digunakan menampilkan rangsangan penglihatan jarak waktu yang
bervariasi. Ia melakukan eksperimen di kamar hotel. Wertheimer mengemukakan bahwa
jika mata melihat perangsang dengan cara tertentu, akan memberikan ilusi gerakan.
Gerakan ini disebut gejala “Phi phenomenon”.
Gestalt, berasal dari bahasa Jerman yang berarti konfigurasi atau organisasi
sehingga muncul keyakinan bahwa pengalaman yang terjadi pada kita di dunia ini akan
mempunyai arti, jika kita melihatnya secara keseluruhan, bukan bagian per bagian.
Misalnya, sewaktu kita melihat seseorang atau teman, maka yang kita lihat adalah
keseluruhan bukan terpisah-pisah, seperti melihat hidung dulu kemudian melihat tangan
dan lain-lain, akan tetapi secara serempak kita amati secara keseluruhan kemudian bagian
per bagian.
Prinsip-prinsip Teori Gestalt:
1.

Interaksi antara individu dan lingkungan disebut sebagai perceptual field. Setiap
perceptual field memiliki organisasi, yang cenderung dipersepsikan oleh manusia
sebagai figure and ground. Oleh karena itu kemampuan persepsi ini merupakan fungsi
bawaan manusia, bukan skill yang dipelajari. Pengorganisasian ini mempengaruhi
makna yang dibentuk.
13

2.

Prinsip-prinsip pengorganisasian:
a.

Principle of Proximity: bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu
maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk
tertentu.

b.

Principle of Similarity: bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam
arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.

c.

Principle of Objective Set: Organisasi berdasarkan mental set yang sudah terbentuk
sebelumnya

d.

Principle of Continuity: Organisasi berdasarkan kesinambungan pola

e.

Principle of Closure/ Principle of Good Form: bahwa orang cenderung akan
mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.

f.

Principle of Figure and Ground: yaitu menganggap bahwa setiap bidang
pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan
suatu obyek seperti ukuran, potongan, warnadan sebagainya membedakan figure
dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, makaakan terjadi
kekaburan penafsiran antara latar dan figure.Contoh: perubahan nada tidak akan
merubah persepsi tentang melodi.

g. Principle of Isomorphism: Organisasi berdasarkan konteks.
Aplikasi Teori Gestalt:
Proses belajar adalah fenomena kognitif. Apabila individu mengalami proses belajar,
terjadi reorganisasi dalam perceptual fieldnya. Setelah proses belajar terjadi, seseorang dapat
memiliki cara pandang baru terhadap suatu problem.
Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :
1. Pengalaman tilikan; bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku.
Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu
kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
2. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang
terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas
makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat
14

penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan
pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya
memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
3. Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku
bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan
dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta
didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya
menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam
memahami tujuannya.
4. Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan
lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki
keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
5. Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran
tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan
melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk
kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat.
Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam
pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi).
Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip
pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan
dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat
membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang
diajarkannya.

B. Jerome Bruner
Berdasarkan Drs. Wasty Soemanto (1997:127) dan Drs. Bambang Warsita (2008:71)
dimana Jarome Bruner mengusulkana teori yang disebutnya free discovery learning. Teori ini
bertitik tolak pada teori kognitif, yang menyatakan belajar adalah perubahan persepsi dan
pemahan. Maksudnya, teori ini menjelaskan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan
kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan termasuk
15

konsep, teori, ide, definisi dan sebagainya melalui contoh-contoh yang menggambarkan atau
mewakili aturan yang menjadi sumbernya.
Keuntungan belajar menemukan :
1. Menimbulkan rasa ingin tahu siswa sehingga dapat memotivasi siswa sehingga dapat
menemukan jawabannya.
2. Menimbulkan keterampilan memecahkan masalahnya secara mandiri dan mengharuskan
siswa untuk menganalisis dan memanipulasi informasi.
Menurut Burner ada tiga tahap perkembangan kognitif seseorang yang ditentukan oleh
cara melihat lingkungan, antara lain: tahap pertama enaktif yaitu peserta didik melakukan
aktivitas dalam usaha memahami lingkungan; tahap kedua, ikonik yaitu peserta didik melihat
dunia melalui gambar dan visualisasi verbal; tahap yang ketiga, simbolik yaitu peserta didik
mempunyai gagasan abstrak dimana komunikasi dibantu sistem simbolik.
Langkah-langkah pembelajaran dalam merancang pembelajaran menurut Bruner antara
lain:
a. Menentukan tujuan pembelajaran
b. Melakukan identifikasi peserta didik
c. Memilih materi pembelajaran
d. Menentukan topik secara induktif
e. Mengembangkan bahan belajar untuk dipelajari peserta didik
f. Mengatur topik pembelajaran dari yang sederhana ke kompleks
g. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar peserta didik.

C. Piaget
Menurut Piaget dalam buku “Teknologi Pembelajaran” dari Drs. Bambang Warsita
(2008:69) yang menjelaskan bahwa perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetika
yaitu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis yaitu perkembangan sistem syaraf. Dalam
buku “Psikologi Pendidikan” karya Wasty Soemanto (1997:123) yang menyatakan teori belajar
piaget disebut Cognitive-Development yang memandang bahwa proses berfikir sebagai aktivitas
gradual dari pada fungsi intelektual dari kongkrit.
16

Belajar terdiri dari tiga tahapan yaitu : asimilasi, akomodasi dan equilibrasi. Piaget juga
mengemukakan bahwa proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif
yang dilalui siswa. Proses belajar yang dialami seorang anak berbeda pada tahap satu dengan
tahap lainnya yang secara umum semakin tinggi tingkat kognitif seseorang maka semakin teratur
dan juga semakin abstrak cara berpikirnya. Oleh karena itu guru seharusnya memahami tahaptahap perkembangan kognitif anak didiknya serta memberikan isi, metode, media pembelajaran
yang sesuai dengan tahapannya.
Langkah-langkah pembelajaran dalam merancang pembelajaran menurut Piaget, antara
lain:
1. Menentukan tujuan pembelajaran
2. Memilih materi pembelajaran
3. Menentukan topik-topik yang dapat dipelajari oleh peserta didik
4. Menentukan dan merancang kegiatan pembelajaran sesuai topik
5. Mengembangkan metode pembelajaran
6. Melakukan penilaian proses dan hasil peserta didik
D. Robert M. Gagne
Sebagaimana tokoh-tokoh lainnya dalam psikologi pembelajaran, Gagne berpendapat
bahwa belajar dipengaruhi oleh pertumbuhan dan lingkungan, namun yang paling besar
pengaruhnya

adalah

lingkungan

individu

seseorang. Lingkungan

indiviu

seseorang

meliputi lingkungan rumah, geografis, sekolah, dan berbagai lingkungan sosial. Berbagai
lingkungan itulah yang akan menentukan apa yang akan dipelajari oleh seseorang dan
selanjutnya akan menentukan akan menjadi apa ia nantinya.
Bagi Gagne, belajar tidak dapat didefinisikan dengan mudah karena belajar itu bersifat
kompleks. Dalam pernyataan tersebut, dinyatakan bahwa hasil belajar akan mengakibatkan
perubahan pada seseorang yang berupa perubahan kemampuan, perubahan sikap, perubahan
minat atau nilai pada seseorang. Perubahan tersebut bersifat menetap meskipun hanya sementara.
Menurut Gagne, ada tiga elemen belajar, yaitu individu yang belajar, situasi stimulus, dan
responden yang melaksanakan aksi sebagai akibat dari stimulasi. Selanjutnya, Gagne juga
mengemukakan tentang sistematika delapan tipe belajar, yaitu :
17

1.

Tipe belajar tanda (Signal learning)
Belajar dengan cara ini dapat dikatakan sama dengan apa yang dikemukakan oleh Pavlov.
Semua jawaban/respons menurut kepada tanda/sinyal.

2.

Tipe belajar rangsang-reaksi (Stimulus-response learning)
Tipe ini hampir serupa dengan tipe satu, namun pada tipe ini, timbulnya respons juga karena
adanya dorongan yang datang dari dalam serta adanya penguatan sehingga seseorang mau
melakukan sesuatu secara berulang-ulang.

3.

Tipe belajar berangkai (Chaining Learning)
Pada tahap ini terjadi serangkaian hubungan stimulus-respons, maksudnya adalah bahwa
suatu respons pada gilirannya akan menjadi stimulus baru dan selanjutnya akan menimbulkan
respons baru.

4.

Tipe belajar asosiasi verbal (Verbal association learning)
Tipe ini berhubungan dengan penggunaan bahasa, dimana hasil belajarnya yaitu memberikan
reaksi verbal pada stimulus/perangsang.

5.

Tipe belajar membedakan (Discrimination learning)
Hasil dari tipe belajar ini adalah kemampuan untuk membeda-bedakan antar objek-objek yang
terdapat dalm lingkungan fisik.

6.

Tipe belajar konsep (Concept Learning)
Belajar pada tipe ini terutama dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman atau pengertian
tentang suatu yang mendasar.

7.

Tipe belajar kaidah (RuleLearning)
Tipe belajar ini menghasilkan suatu kaidah yang terdiri atas penggabungan beberapa konsep.

8.

Tipe belajar pemecahan masalah (Problem solving)
Tipe belajar ini menghasilkan suatu prinsip yang dapat digunakan untuk memecahkan suatu
permasalahan.
Implikasi Teori Gagne dalam Pembelajaran

1.

Mengontrol perhatian siswa.

2.

Memberikan informasi kepada siswa mengenai hasil belajar yang diharapkan guru.

3.

Merangsang dan mengingatkan kembali kemampuan-kemampuan siswa.

4.

Penyajian stimuli yang tak bisa dipisah-pisahkan dari tugas belajar.

5.

Memberikan bimbingan belajar.
18

6.

Memberikan umpan balik.

7.

Memberikan kesempatan pada siswa untuk memeriksa hasil belajar yang telah
dicapainya.

8.

Memberikan kesempatan untuk berlangsungnya transfer of learning.

9.

Memberikan kesempatan untuk melakukahn praktek dan penggunaan kemampuan yang
baru diberikan.
Aplikasi Teori Gagne dalam Pembelajaran. Karakteristik materi matematika yang

berjenjang (hirarkis) memerlukan cara belajar yang berjenjang pula. Untuk memahami
suatu konsep dan atau rumus matematika yang lebih tinggi, diperlukan pemahaman
yang memadai terhadap konsep dan atau rumus yang ada di bawahnya.
E. David Ausubel : Metode Ekspositori

Metode ekspositori sama seperti metode ceramah dalam hal terpusatnya kegiatan pada
guru sebagai pemberi informasi (bahan pelajaran). Tetapi pada metode ekspositori dominasi guru
banyak berkurang, karena tidak terus-menerus bicara. Ia berbicara pada awal pelajaran,
menerangkan materi dan contoh soal, dan pada waktu-waktu yang diperlukan saja. Peserta didik
tidak hanya mendengar dan membuat catatan. Tetapi juga membuat soal latihan dan bertanya
kalau tidak mengerti. Kalau dibandingkan dominasi guru dalam kegiatan belajar mengajar,
metode ceramah lebih terpusat pada guru daripada metode ekspositori. Pada metode ekspositori
peserta didik belajar lebih aktif daripada metode ceramah. Peserta didik mengerjakan latihan soal
sendiri, mungkin juga saling bertanya dan mengerjakannya bersama dengan temannya, atau
disuruh membuatnya di papan tulis.
Beberapa hasil penelitian (di Amerika Serikat) menyatakan metode ekspositori
merupakan cara mengajar yang paling efektif dan efisien. Demikian pula keyakinan sementara
ahli teori belajar-mengajar. David P. Ausubel berpendapat bahwa metode ekspositori yang baik
merupakan cara mengajar yang paling efektif dan efisien dalam menanamkan belajar bermakna.
Ausubel membedakan belajar menjadi:
a.

Belajar dengan menerima (reception learning), dan
19

b.

Belajar melalui penemuan (discovery learning)

Kalau materi yang disajikan kepada peserta didik lengkap sampai bentuk akhir yang berupa
rumus atau pola bilangan, maka cara belajar peserta didik dikatakan belajar menerima. Misalnya
luas segitiga diberikan lengkap sampai rumus . Pada belajar dengan penemuan, bentuk akhir
yang berupa rumus, pola, atau aturan itu harus ditemukan sendiri oleh peserta didik. Proses
penemuannya dapat dilakukan sendiri atau dapat pula dengan bimbingan.
Belajar dibedakan pula menjadi:
a.

Belajar dengan menghafal (rote learning), dan

b.

Belajar dengan pengertian (meaningful learning)

Belajar dengan menerima dan belajar melalui penemuan kedua-duanya bisa menjadi belajar
dengan menghafal atau belajar dengan pengertian. Kalau seorang anak belajar teorema
Phytagoras lengkap hingga rumusnya dengan cara menerima, selanjutnya rumus itu selalu
dikaitkan dengan hubungan antara ukuran sisi siku-siku dan sisi miring segitiga siku-siku, maka
belajar menerima itu menjadi belajar dengan pengertian. Juga, bila seorang peserta didik
memperoleh teorema Phytagoras itu melalui penemuan dan kemudian rumusnya selalu
dikaitkannya dengan hubungan antara ukuran sisi siku-siku dengan sisi miring segitiga siku-siku,
maka belajar dengan penemuan itu menjadi belajar dengan pengertian. Jika dua orang peserta
didik belajar ; seorang belajar dengan menerima dan yang seorang lagi belajar dengan penemuan,
tetapi selanjutnya mereka hanya menghafal bentuk akhir itu sebagai aturan untuk melakukan
pembagian dengan pecahan, maka belajar mereka akhirnya hanya belajar menghafal saja.

20

BAB III
HASIL OBSERVASI

A. Kurikulum
Raudhatul Athfal (RA) Al Makbul merupakan sekolah taman kanak-kanak berbasis Islam
yang dinaungi oleh Kementerisn Agama. Karena dinaungi oleh Kementerian Agama inilah
pelajaran-pelajaran yang diberikan lebih banyak mengandung pelajaran Islam daripada TK pada
umumnya. Kurikulumnya pun berbeda dengan kurikulum biasa seperti di sekolah dasar dan
sekolah lanjutan lainnya. Kurikulum 2013 tidak diterapkan di sekolah ini. Kurikulum yang
digunakan adalah kurikulum khusus yang diberikan langsung oleh Kementerian Agama untuk
Raudhatul Athfal. Kurikulum yang diberikan berupa buku panduan serta CD yang berisi rencana
pembelajaran yang diberikan selama 1 tahun pembelajaran untuk kelas A maupun kelas B.
Kurikulumnya sangat berbeda dengan kurikulum di sekolah lanjutan, yang berisi tema
pelajaran, perilaku/karakter yang diinginkan, kognitif, fisik motorik dan lain-lain. Walaupun
tidak menerapkan kurikulum 2013, namun pendidikan karakter sangat ditekankan disini.
Perilaku/karakter yang diharapkan dituliskan secara jelas di kurikulumnya.
Untuk guru, bila pada sekolah lanjutan biasa guru-guru membuat RPP untuk panduan
pembelajaran, di RA guru-guru membuat Rancangan Kegiatan Harian (RKH) dan Rancangan
Kegiatan Mingguan (RKM). Rancangan Kegiatan Harian berisi indikator pembelajaran, kegiatan
pembelajaran yang dilakukan, alat/sumber belajar dan penilaian perkembangan anak. RKH
ditulis secara deskriptif oleh guru setiap harinya untuk mengetahui perkembangan anak.
Sedangkan RKM disusun oleh guru di awal tahun untuk pembelajaran setiap minggunya. RKM
disusun per tema dan berisi perilaku, bahasa, kognitif, fisik motorik dan seni.
B. Permasalahan dalam Proses Pembelajaran
Untuk guru, tidak ada permasalahan kekurangan tenaga pendidik. Jumlah guru sudah
sesuai dengan jumlah siswanya. Semua guru merupakan S1 lulusan dari. Namun karena semua

21

tenaga pendidiknya adalah wanita dan sudah menikah serta sudah memiliki anak, sehingga
mereka kekurangan waktu untuk menyusun RKH dan RKM atau bisa dikatakan mereka “malas”
untuk menyusun RKH setiap harinya. Namun perkembangan anak setiap harinya tidak lepas dari
perhatian guru. Metode pembelajaran yang digunakan guru dalam RA Al Makbul pada
umumnya adalah dengan mengajari dan memberi contoh langsung kepada peserta didik agar
peserta didik dapat mengikutinya serta dengan membimbing peserta didik satu per satu sampai
mereka dapat benar-benar mengerti dan mengikuti apa yang diinginkan oleh guru. Selain itu
guru-guru di RA lebih banyak mengenalkan ajaran Islam kepada peserta didik seperti dengan
menghapal surat-surat pendek, hadis-hadis, membaca iqra, dan sebagainya.
Untuk sarana dan prasarana di RA Al Makbul, sebenarnya masih jauh dari layak. RA Al
Makbul memiliki tiga ruang kelas yaitu satu kelas untuk Kelas A dan dua kelas untuk Kelas B.
Kurangnya permainan untuk peserta didik serta sarana-sarana lainnya seperti kamar mandi,
ruang kepala sekolah dan ruang kelas yang kurang layak, serta taman bermain yang kurang luas
menjadi hambatan dalam proses pembelajaran. Ruang kelas kurang layak karena kurangnya
pencahayaan dan tata letak yang kurang baik sehingga ruang kelas menjadi gelap dan lembab.
Hal ini tentu saja tidak baik untuk kesehatan peserta didik. Untuk lahan Ra Al Makbul yang
digunakan merupakan tanah wakaf kepemilikan Yayasan Al Makbul sehingga tidak ada masalah
dengan kepemilikan lahan. Namun di lingkungan sekitar kurang penghijauan sehingga taman
terlihat gersang dan tidak nyaman untuk anak bemain.
Untuk siswa, RA Al Makbul memiliki 53 peserta didik yang aktif. Satu kelas maksimal
menampung 20 peserta didik. Permasalahan yang terjadi dalam proses pembelajaran adalah
karena peserta didik yang masih berumur antara 4-6 tahun yang orientasinya masih bermain
sehingga mereka terkadang kurang fokus dalam mengikuti pelajaran dan guru yang mengajar.
Kesabaran guru sangat diperlukan untuk membimbing peserta didik sehingga timbul perilaku
yang diinginkan oleh peserta didik.
C. Analisis Teori
Teori belajar behavioristik adalah teori tentang perubahan tingkah laku, aliran ini
menekankan pada terbentuknya perilaku sebagai hasil belajar yang menghubungkan stimulus
dengan responnya . Berdasarkan teori ini pula kami melakukan observasi di RA Al Makbul.

22

Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon, seseorang
dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukan perubahan perilakunya. Menurut teori
ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.
Stimulus adalah apa saja yang berikan guru kepada siswanya, sedangkan respon berupa reaksi
atau tanggapan pembelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut, teori ini
mengutamakan pengukuran sebab pengukuran merupakan hal penting apakah terjadi atau
tidaknya perubahan tingkah laku tersebut. Sesuai dengan teori behavioristik tenaga pengajar pada
RA Al Makbul mengajarkan berbagai macam kebiasaan – kebiasaan baik dan pengetahuan dasar.
Pada saat mengajarkan doa – doa yang digunakan sehari – hari guru memberikan stimulus dan
pembiasaan sehingga hampir semua murid dapat menghafalkan semua doa - doa dan menerapkan
kebiasaan baik yang telah diajarkan dengan tingkatan yang bervariasi. Setiap kebiasaan baru
yang teratur dilakukan disekolah seperti mencuci tangan dan berdoa sebelum dan sesudah makan
merupakan salah satu perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar dan dikuatkan dengan
pembiasaan yang tertuntun dilakukan. Cara berbicara terhadap guru dan merespon stimulus dari
guru merupakan pelatihan yang diharapkan dapat mengembangkan pribadi murid untuk aktif
menjawab atau merespon guru.
Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran
lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan dan ketidakmampuan dalam
penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan
keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi
hadiah.

Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan

belajar. peserta didik adalah objek yang harus berperilaku sesuai dengan aturan. Hal ini terlihat
pada penerapan kedisiplinan pada RA Al Makbul dijalankan sesuai dengan kharakteristik anak
usia dini yang memberikan teguran pada anak yang melanggar peraturan dan menjelaskan
konsekuensi – konsekuensi yang dapat mereka terima jika melakukan hal – hal yang tidak baik
dan selalu mengarahkan siswa untuk berprilaku positif.
Pada observasi kali ini mengenai penerapan pada murid RA AL Makbul evaluasi yang
dilakukan oleh guru terhadap kemampuan siswanya lebih ditekankan pada perkembangan
karakteristik dan pengetahuan dasar teoritis membaca maupun berhitung untuk kesiapan
menghadapi jenjang sekolah selanjutnya yaitu SD.
23

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil observasi yang kami lakukan di RA Al Makbul Cipinang Besar Utara,
implementasi dari teori pembelajaran yang telah ada baik itu dari belajar, pengajaran, dan
pembelajaran sudah berjalan dengan cukup baik, yaitu dengan lebih cenderung
menggunakan teori behaviorisme dalam pembelajaran. Hal ini dikarenakan usia dari peserta
didik yang masih sangat memerlukan bimbingan dan contoh dari orang dewasa yang
diulang-ulang sehingga timbul perilaku atau sikap yang diinginkan. Hasil dari proses
pembelajarannya pun cukup memuaskan diantaranya adalah peserta didik yang menjadi
terbiasa dalam melakukan perilaku yang baik, serta semua lulusannya dapat menghitung dan
membaca seperti apa yang diharapkan meskipun masih banyak kekurangan dalam proses
pembelajarannya.
4.2 Saran
Masih banyaknya kekurangan dalam proses pembelajaran serta penerapan kurikulum yang
diberikan Departemen Agama di RA Al Makbul, sehingga perlu diadakan kembali perbaikan
dan pengembangan disegala aspek. Terutama pada penambahan sarana dan prasarana serta
media pembelajaran. Follow up yang kurang terkontrol menyebabkan kemampuan pengajar
akan hal- hal baru sulit berkembang.

24

DAFTAR PUSTAKA

Siregar, Eveline dan Hartini Nara. 2010. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta.
Djiwando, Sri Esti Wuryanti. 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT Grasindo
Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.
Islamuddin, Haryu. 2012. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

25

LAMPIRAN-LAMPIRAN
Dokumentasi saat proses pembelajaran

26

Dokumentasi saat wawancara dengan kepala sekolah dan guru

27

Dokumentasi bersama dengan peserta didik

28