Contoh Proposal Disertasi KEDUDUKAN KORP

Contoh Proposal Disertasi
KEDUDUKAN KORPORASI
DALAM PENYELENGGARAAN NEGARA
DAN PEMERINTAHAN
DI INDONESIA

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Hak Korporasi[1] dalam rangka turut serta dalam penyelenggaraan Negara
dan Pemerintahan tidak diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan.
Hanya saja dalam tataran praktek korporasi sebagai bagian dari subjek hukum
seringkali turut andil dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan. Hal itu
dapat terlihat dari aspek kebijakan-kebijakan Pemerintah yang memberikan ruang
yang cukup luas dan menguntungkan bagi kalangan korporasi yang sangat dekat
dengan Pemerintahan. Kebijakan-kebijakan Pemerintahan banyak dipengaruhi oleh
kalangan korporasi,[2] hal itu lebih disebabkan oleh adanya sumbangan yang
bersifat tidak mengikat kepada oknum Pejabat Publik pada saat sebelum atau akan
proses rekrutment serta pemilihan dalam jabatan Pemerintahan, sehingga pada
saat terpilih sebagai pejabat yang memegang kendali tugas, wewenang serta

kebijakan-kebijakan yang strategis, maka dengan sendirinya dapat dikendalikan
oleh kalangan swasta atau korporasi.
Dewasa ini korporasi memiliki peranan yang sangat penting terhadap
pertumbuhan ekonomi suatu negara.[3] Bahkan, dalam beberapa aspek peranan
korporasi melebihi peran dan pengaruh suatu negara. Dalam mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi suatu negara korporasi seringkali melakukan tindakantindakan yang mengarah pada pelanggaran hukum bahkan pelanggaran terhadap
hak asasi manusia.[4] Dalam kondisi yang demikian korporasi berusaha semaksimal
mungkin untuk dapat mempertahankan eksistensinya guna mengembangkan bisnis
dan jaringannya, yang tujuannya akhirnya akan mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya yang merupakan tujuan pokok setiap korporasi.
Dengan terjadinya persaingan di era globalisasi yang semakin pesat, peran
korporasi semakin tidak terelakkan lagi, sehingga jangkauan korporasi tidak hanya
masyarakat sebagai objek dari pencari keuntungan dari korporasi, akan tetapi juga
sudah menjalar kepada tingkatan Negara dan pemerintahan untuk dapat

menguasai pasar serta kebijakan-kebijakan strategis yang menguntungkan pribadi
dan golongan.[5] Kondisi yang demikian tentu akan berdampak negative bagi
perkembangan bernegara. Mengingat indepedensi terhadap produk-produk
kebijakan yang dihasilkan cenderung akan memihak sehingga tidak berdasarkan
pada tujuan yang benar, melainkan tujuannya untuk menguntungkan segelintir

oknum yang merupakan bagian dari korporasi.
Keberadaan suatu korporasi sebagai badan hukum tidak lahir begitu saja.
Artinya korporasi sebagai suatu badan hukum bukan ada dengan sendirinya, akan
tetapi harus ada yang mendirikan, yaitu pendiri atau pendiri-pendirinya yang diakui
menurut hukum perdata memiliki kewenangan secara hukum untuk dapat
mendirikan korporasi. Menurut hukum perdata, yang diakui memiliki kewenangan
hukum untuk dapat mendirikan korporasi adalah orang (manusia) atau natural
person dan badan hukum atau legal person.[6] Seperti halnya dalam hal matinya
suatu korporasi. Suatu korporasi hanya dapat dinyatakan mati apabila dinyatakan
mati oleh hukum perdata, yaitu tidak ada lagi keberadaan atau eksistensinya
(berakhir) sehingga karena tidak ada lagi, maka dengan demikian korporasi
tersebut tidak dapat lagi melakukan perbuatan hukum atau dalam istilah hukumnya
dikatakan bahwa korporasi tersebut mati atau bubar.[7] Namun demikian lahir,
bubar atau bahkan berkembangnya korporasi juga erat kaitannya dengan intervensi
negara dan Pemerintahan, mengingat segala sesuatu yang berkaitan dengan
Korporasi segala bentuk perijinannya juga erat hubungannya dengan Pemerintah.
[8]
Dalam hukum pidana Indonesia memberikan pengertian korporasi dalam
arti luas. Korporasi menurut hukum pidana indonesia tidak sama dengan pengertian
korporasi dalam hukum perdata. Pengertian korporasi menurut hukum pidana lebih

luas daripada pengertian menurut hukum perdata. Menurut hukum perdata, subjek
hukum, yaitu yang dapat atau yang berwenang melakukan perbuatan hukum dalam
bidang hukum perdata, misalnya membuat perjanjian, terdiri atas dua jenis, yaitu
orang perseorangan (manusia atau natural person) dan badan hukum (legal
person).[9]
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, yang dimaksud dengan pengertian
korporasi menurut hukum perdata ialah badan hukum (legal person). Namun dalam
hukum pidana pengertian korporasi tidak hanya mencakup badan hukum, seperti
perseroan terbatas, yayasan, koperasi, atau perkumpulan yang telah disahkan
sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi, menurut hukum pidana,
firma, perseroan komanditer atau CV,, dan persekutuan atau maatschap juga
termasuk korporasi. Selain itu yang juga dimaksud sebagai korporasi menurut
hukum pidana adalah sekumpulan orang yang terorganisasi dan memiliki pimpinan
dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum, seperti melakukan perjanjian dalam
rangka kegiatan usaha atau kegiatan sosial yang dilakukan oleh pengurusnya untuk
dan atas nama kumpulan orang tersebut.[10] Bagaimana pengertian korporasi dari
aspek hukum administrasi negara, hal ini yang menjadi cukup menarik untuk
dianalisis dan dijadikan bahan kajian bersama, mengingat pertanyaan yang
mendasar bagaimanakah posisi dan kedudukan korporasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan seperti yang telah diurai diatas.


Untuk mengamankan kebijaksanaan ekonominya, pemerintah antara lain
melakukannya dengan memperluas peraturan yang mengatur kegiatan bisnis, baik
melalui peraturan baru maupun penegkan yang lebih keras terhadap peraturanperaturan yang ada. Dalam menghadapi keadaan yang demikian, korporasi dapat
melakukannya dengan cara melanggar peraturan yang ada, seperti pelanggaran
terhadap peraturan perpajakan, memberikan dana-dana kampanye yang ilegal
kepada para politisi dengan imbalan janji-janji untuk mencaut peraturan yang ada
atau memberikan proyek-proyek tertentu, mengekspor perbuatan ilegal ke negara
lain.[11] Fakta-fakta tersebut sudah tidak dapat terelakkan, sesuai dengan tujuan
korporasi yakni sebagai organisasi bisnis dan aktivitas komersial untuk memperoleh
profit dengan menjalankan suatu aktivitas yang menghasilkan barang atau jasa.
Sehingga tujuan hukum tidak tercapai sebagaimana tertuang dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945.[12]
Berdasarkan uraian diatas, maka kedudukan, peran dan fungsi korporasi
dalam turut andil penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan sangat signifikan,
meskipun secara normatif tidak disebutkan mengenai hak-hak korporasi dalam
upaya ikut serta dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan. Hal demikian
memunculkan banyak pertanyaan mengenai kedudukan Korporasi dalam
Pemerintahan, apakah memang terdapat hubungan kedudukan antara korporasi
dengan penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan, ataukah tidak terdapat

hubungan antara penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan dengan korporasi.
Untuk itulah penulis sangat tertarik untuk menelaah dan meneliti mengenai
kedudukan korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di
Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka
masalah yang akan dirumuskan berkaitan dengan kedudukan korporasi dalam
penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan diantaranya sebagai berikut :
a.
Apakah subjek hukum korporasi dapat ikut serta dalam penyelenggaraan
Negara dan Pemerintahan ?
b.
Mengapa korporasi di Indonesia dapat secara leluasa ikut serta dalam
penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan ?
c.
Bagaimana kedudukan korporasi dalam
penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan ?

rangka


ikut

serta

dalam

1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang diuraikan pada bab sebelumnya
mengenai kedudukan korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan
maka tujuan penelitian diantaranya sebagai berikut :

a.
Menjelaskan apakah subjek hukum korporasi dapat ikut serta dalam
penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan
b.
Mengetahui mengapa korporasi di Indonesia dapat secara leluasa ikut serta
dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan
c.
Memahami kedudukan korporasi

penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan

dalam

rangka

ikut

serta

dalam

1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diperoleh dalam pembahasan mengenai kedudukan
korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan diantaranya adalah :
a. Secara teoritis dapat menambah dan memperdalam keilmuan dalam bidang
Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara serta Hukum Bisnis yang
berkaitan dengan kedudukan korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan
Pemerintahan.
b. Manfaat praktis adalah untuk membangun kesadaran dan pemahaman

kepada publik akan kedudukan korporasi dalam penyelenggaraan Negara
dan Pemerintahan

1.5. Kerangka Teoritis
1.5.1.

Teori Subjek Hukum

Subyek Hukum adalah segala sesuatu yang pada dasarnya memiliki hak dan
kewajiban dalam lalu lintas hukum.[13] Subjek hukum juga merupakan sesuatu
yang menurut hukum berhak/berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atau
siapa yang mempunyai hak dan cakap untuk bertindak dalam hukum. Selain itu
subjek hukum adalah sesuatu pendukung hak yang menurut hukum
berwenang/berkuasa bertindak menjadi pendukung hak. Ada juga yang
berpendapat segala sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajian.
Menurut teori tradisional, subjek hukum adalah orang yang merupakan subjek dari
suatu kewajiban hukum atau suatu hak. Teori tradisional mengidentikkan konsep
"subjek hukum" dengan konsep "person". Definisi Person menurut teori tradisional
adalah manusia sebagai subjek dari hak dan kewajiban. Konsep pemegang hak dan
kewajiban memainkan peran sangat penting dalam teori tradisional yang

membahas tentang konsep "legal person". Jika pemegang hak dan kewajiban
adalah manusia, berarti yang dibicarakan oleh teori tradisional adalah "orang
secara fisik" (physical person), jika pemegang hak dan kewajiban itu merupakan
entitas lain, berarti yang dibicarakan teori tradisional adalah "badan hukum"
(juristic person).[14] Yang termasuk dalam subyek hukum yaitu :
a.

Manusia atau Orang (naturlijke person)

b.
Badan Hukum (vichtperson) adalah suatu badan yang terdiri dari kumpulan
orang yang diberi status "persoon" oleh hukum sehingga mempunyai hak dan
kewajiban. Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa

hak manusia. Seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas
dari para anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan hukum dengan manusia
sebagai pembawa hak adalah badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan,
tidak dapat diberi hukuman penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat
dibubarkan.


a.

Subjek Hukum Manusia

Adalah setiap orang yang mempunyai kedudukan yang sama selaku
pendukung hak dan kewajiban. Pada prinsipnya orang sebagai subjek hukum
dimulai sejak lahir hingga meninggal dunia. Ada juga golongan manusia yang tidak
dapat menjadi subjek hukum, karena tidak cakap dalam melakukan perbuatan
hukum yaitu, Anak yang masih dibawah umur, belum dewasa, dan belum menikah
serta orang yang berada dalam pengampunan yaitu orang yang sakit ingatan,
pemabuk, pemboros.
Secara yuridisnya ada 2 alasan yang menyebutkan manusia sebagai subjek
hukum yaitu manusia mempunyai hak-hak subyektif dan Kewenangan hukum.
Syarat-syarat cakap hukum yakni seseorang yang sudah dewasa berumur 21 tahun
(Undang Perkawinan No.1/1974 dan KUHPerdata)[15], Seseorang yang berusia
dibawah 21 tahun tetapi pernah menikah, Sesorang yang sedang tidak menjalani
hokum dan berjiwa sehat dan berakal sehat. Syarat-syarat tidak cakap hukum
adalah seseorang yang belum dewasa, sakit ingatan, kurang cerdas, orang yang
ditaruh dibawah pengampuan dan seseorang wanita yang bersuami (Pasal 1330
KUH Perdata).[16]

b.

Subjek Hukum Badan Hukum

Badan Hukum adalah badan/kumpulan manusia yang oleh hukum diberi
status sebagai orang yang memiliki hak dan kewajiban. Badan hukum ialah suatu
badan usaha yang berdasarkan hukum yang berlaku serta berdasarkan pada
kenyataan persyaratan yang telah dipenuhinya telah diakui sebagai badan hukum,
yakni badan usaha yang telah dianggap atau digolongkan berkedudukan sebagai
subjek hukum sehingga mempunyai kedudukan yang sama dengan orang,
meskipun dalam menggunakan hak dan melaksanakan kewajibannya harus
dilakukan atau diwakilkan melalui para pengurusnya. CVontoh-contoh badan hukum:
PT (Perseroan Terbatas), Yayasan, PN (Perusahaan Negara), Perjan (Perusahaan
Jawatan), dan sebagainya.
Badan hukum mempunyai syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum
yakni memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggotanya dan Hak dan
kewajiban badan hukum terpisah dari hak dan kewajiban para anggotanya. Badan
hukum dibedakan dalam 2 bentuk, yaitu :[17]
-

Badan Hukum Publik

-

Badan Hukum Privat

Ada bebrapa teori tentang hakikat badan hokum, yaitu:[18]

1.

Teori fiksi dari Freidrich Carl Voon aavign

Hanya manusia lah yang menjadi subjek hokum, sedangkan badan hokum
dikatakan sebagai subjek hokum hanyalah fiksi, yaitu sesuatu yang sebenarnya
tidak ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangannya. Badan hokum itu
ciptaan Negara/pemerintah yang wujudnya tidak nyata, untuk menerangkan
sesuatu hal.
2.

Teori organ dari otto von gierke

Badan hokum adalah organ seperti halnya manusia yang menjelma dalam
pergaulan hokum yang dapat meyatakan kehendak melalui alat-alat yang ada
padanya (pengurus, anggota) seperti halnya manusia. Badan hokum itu nyata
adanya.
3.

Teori harta kek aan bertujuan dari brinz

Badan hokum merupakan kekayaan yang bukan kekayaan perorangan, tapi serikat
tujuan tertentu. Badan hokum itu mempunyai pengurus yang berhak dan
berkehendak.
4.

Teori keka aan bersama dari molengraaft

Apa yang merupakan hak dan kewajiban badan hokum pada hakekatnya
merupakan hak dan kewajiban para anggota bersam-sama. Kekayaan badan hokum
juga merupakan kekayaan bersama seluruh anggotanya.
5.

Teori ken ataan uridis dari paul scholter

Badan hokum itu merupakan kenyataan yuridis. Badan hokum sama dengan
manusia hanya sebatas pada bidang hokum saja

1.5.2.

Teori Kewenangan dan Kekuasaan

Diskusi permasalahan hukum tentunya akan berkaitan erat dengan masalah
kekuasaan dan wewenang. Hubungan hukum dengan kekuasaan dapat di rumuskan
dengan slogan ”hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa
hukum adalah kelaliman”.[19] Dalam artian bahwa dalam penerapan hukum, maka
di perlukan kekuasaan sebagai pendukung, salah satu sebabnya adalah di
karenakan hukum bersifat memaksa, karena tanpa adanya paksaan, maka
pelaksanaan hukum akan mengalami hambatan. Namun semakin tertib
masyarakatnya, maka semakin berkurang kekuasaan sebagai pendukungnya.
Karena begitu eratnya kaitan antara hukum dan kekuasaan, maka seakan
tidak dapat memisahkan antara keduanya. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa
hukum sendiri sebenarnya adalah kekuasaan.[20] Hukum merupakan salah satu
sumber dari kekuasaan, namun juga merupakan pembatas bagi kekuasaan. Oleh
karena itu tidak dapat dibenarkan apabila kekuasaan di gunakan sebagai alat untuk
bertindak sewenang-wenang. Karena dalam tataran praktis dilapangan orang akan
cenderung ingin memiliki kekuasaan yang melebihi dari apa yang telah di gariskan.

Padahal hukum memang membutuhkan kekuasaan, tetapi ia juga tidak bisa
membiarkan kekuasaan itu untuk menunggangi hukum.[21]
Miriam Budiardjo memberikan arti kekuasaan sebagai kemampuan
seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-lakunya
seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah-laku itu menjadi
sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.[22]
Kekuasaan ini yang kemudian oleh sebagian besar di cari atau bahkan menjadi
rebutan dalam setiap kehidupan masyarakat modern seperti sekarang ini. Hal itu di
pengaruhi oleh adanya hasrat dan keinginan manusia yang bermacam-macam
sehingga dirasa perlu untuk memaksakan kemauan dirinya atas orang lain.
Hal yang sama juga di katakan Mac Iver yang merumuskan kekuasaan
sebagai berikut :
The capacity to control the behavior of other either directly by fiat or indirectly by
the manipulation of available means, yang artinya kemampuan untuk
mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan memberi
perintah, maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan
cara yang tersedia. [23]

Lebih lanjut Miriam Budiardjo bahwa kekuasaan dalam masyarakat selalu
berbentuk piramida yang bersumber pada kekerasan fisik, kedudukan dan
kepercayaan.[24] Agar kekuasaan dapat di jalankan maka di butuhkan penguasa
atau organ sehingga negara itu di konsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan itu
diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu
berdasarkan subjek-kewajiban.[25] Dengan demikian, lahirlah teori yang
menyatakan bahwa negara merupakan subjek hukum buatan atau tidak asli atau
yang di sebut teori organ atau organis.[26]
Asal atau sumber kekuasaan dalam suatu negara secara umum dapat di golongkan
menjadi 2 (dua) bagian. Pertama, erat kaitannya dengan teori teokrasi, yang mana
menyatakan bahwa asal mula kekuasaan berasal dari Tuhan. Teori ini berkembang
pada zaman abad pertengahan yakni abad ke , sampai abad ke X,.[27] Sedang
Kedua berhubungan dengan teori hukum alam yang secara umum memberikan
pemahaman bahwa kekuasaan berasal dari rakyat. Kekuasaan dari rakyat tersebut
yang kemudian di serahkan kepada seseorang (raja) untuk menyelenggarakan
kebutuhan masyarakat.
Bila di hadapkan pada persoalan kekuasaan, maka orang berpendapat bahwa
kekuasaan itu sering diartikan hanya dalam bidang politik saja.[28] Padahal
kekuasaan dapat beraspek dua keilmuan, yakni berkaitan dengan hukum dan
politik. Dalam hukum tata negara, wewenang (bevoegdheid) di deskripsikan
sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht), dalam hukum publik, wewenang
berkaitan dengan kekuasaan.[29] Kekuasaan mempunyai makna yang sama
dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh legislatif, ekskutif dan
yudikatif adalah kekuasaan formal.

Kekuasaan dapat berasal dari dua bagian, pertama berasal dari peraturan
perundang-undangan dan yang kedua berasal dari bukan peraturan perundangundangan atau karena jabatan yang dimilikinya. Sedangkan kewenangan hanya
berasal dari peraturan perundang-undangan yang sah dan diakui oleh suatu negara.
Berdasarkan uraian diatas, maka kekuasaan memiliki dua aspek, yakni
aspek politik dan aspek hukum. Sedangkan kewenangan hanya beraspek hukum
saja. Dapat diartikan bahwa kekuasaan bersumber pada peraturan perundangundangan dan di luar peraturan perundang-undangan, sedangkan kewenangan
harus harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa kewenangan merupakan kekuasaan yang sah, yang bersumber
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa kekuasaan belum tentu kewenangan, akan tetapi kewenangan sudah tentu
merupakan kekuasaan.
Kewenangan dan wewenang tentunya memiliki perbedaan yang mendasar.
Dalam bahasa Belanda wewenang di sebut juga ”bevoegheid”. Menurut Philipus M.
Hadjon, ada perbedaan antara kewenangan dengan wewenang, perbedaannya
terletak pada karakter hukumnya. Istilah ”bevoegheid” digunakan baik dalam
konsep hukum publik maupun dalam konsep hukum hukum privat. Dalam hukum
kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya di gunakan dalam konsep
hukum publik.[30]
Dalam konsep hukum tata negara, “bevoegheid” (wewenang) di
deskripsikan sebagai “rechtmacht” (kekuasaan hukum). Jadi dalam hukum publik
wewenang berkaitan dengan kekuasaan.[31] Sedangkan dalam konsep hukum
administrasi Belanda, soal wewenang selalu menjadi bagian penting dan bagian
awal dari hukum administrasi karena objek hukum administrasi adalah
“bestuursbevoegdheid” (wewenang pemerintahan).[32]
Jadi perbedaan antara kewenangan dan wewenang adalah pertama kali
harus membedakan antara (authorit , gezag) dan wewenang (competence,
bevoegdheid). Gezag adalah ciptaan orang-orang yang sebenarnya paling
berkuasa.[33] Kewenangan yang disebut juga “kekuasaan formal” yang berasal
kekuasaan yang di berikan oleh Undang-Undang atau legislatif dari kekuasaan
ekskutif atau administratif yang bersifat utuh atau bulat. Sedangkan wewenang
hanya mengenai suatu bagian tertentu saja dari kewenangan. Di dalam
kewenangan
terdapat
wewenang-wewenang
(rechtsbe
voegdheben).[34]
Wewenang juga merupakan dalam ruang lingkup tindakan hukum publik, lingkup
wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan
pemerintahan (besluit), akan tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan
tugas serta distribusi wewenang utamanya di tetapkan dalam Undang-Undang
Dasar.
Sedangkan kewenangan dapat diperoleh dari konstitusi secara atribusi,
delegasi maupun mandat.[35] Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu
jabatan, sedang delegasi adalah pemindahan/pengalihan suatu kewenangan yang
ada.[36] Secara sederhana dapat diartikan atribusi merupakan kewenangan yang
asli atas dasar konstitusi (Undang-Undang Dasar), sedang kewenangan delegasi

pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain dan mandat
pemberian wewenang untuk bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat.
Ada perbedaan khusus antara delegasi dan mandat. Delegasi merupakan
pemberian, pelimpahan atau pengalihan kewenangan oleh suatu organ
pemerintahan kepada pihak lainuntuk menganmbil keputusan atas tanggung jawab
sendiri, sedangkan mandat bertanggung jawab atas nama atau tanggung jawabnya
sendiri mengmbil kepuusan.[37] Akan tetapi sebenarnya dalam teori
pendelegasian, apabila suatu kewenangan sudah di delegasikan, maka tidak dapat
lagi di tarik kembali oleh lembaga pemberi delegasi.

1.6. Metode Penelitian
Fokus penelitian[38] pada penelitian ini adalah akan mengkaji mengenai Kedudukan
Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia.
Sedangkan Metode yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah metode
penulisan hukum normatif[39], yaitu cara penulisan yang didasarkan pada analisis
terhadap beberapa asas hukum dan teori hukum serta peraturan perundangundangan yang sesuai dan berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.
Penelitian hukum normatif ini adalah suatu prosedur dan cara penelitian ilmiah
untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari segi
normatifnya.[40]
Sedangkan pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan penelitian ini
adalah terdiri dari 3 (tiga) pendekatan yakni pendekatan perundang-undangan
(statute approach), pendekatan konseptual[41](conceptual approach), dan
pendekatan perbandingan (comparative approach).[42] Pendekatan perundangundangan (statute approach) di gunakan untuk meneliti dan mengkritisi[43]
peraturan perundang-undangan yang dalam penormaannya masih terdapat
kekurangan dalam hal Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan
Pemerintahan di Indonesia. Pendekatan konseptual (conceptual approach) dipakai
untuk memahami konsep-konsep dan teori[44] yang berkaitan dengan Kedudukan
Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia, serta
pendekatan perbandingan (comparative approach) di pakai untuk meneliti
perbandingan Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan
Pemerintahan di Indonesia dengan Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan
Negara dan Pemerintahan di beberapa negara di dunia.
Bahan hukum merupakan bahan dasar yang akan dijadikan acuan atau pijakan
dalam penulisan penelitian ini. Adapun yang menjadi bahan hukum dalam penulisan
penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) bagian, yakni bahan hukum primer, skunder dan
tersier. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas.[45] Bahan-bahan hukum primer terdiri dari peraturan
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

Bahan hukum skunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer.[46] Adapun bahan hukum skunder yang digunakan
untuk memberikan penjelasan mengenai materi yang terdapat dalam bahan hukum
primer berasal dari beberapa literatur, buku tesk, jurnal hukum, karangan ilmiah
dan buku-buku lain yang berkaitan langsung dengan tema penulisan penelitian
ini.Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder.[47] Bahan hukum ini
sebagai alat bantu dalam penulisan penelitian ini. Adapun bahan hukum tersier ini
dapat berupa kamus-kamus hukum yang berkaitan langsung dengan penelitian ini.
Dalam penelitian ini di gunakan metode analisis deduksi,[48] yaitu metode analisa
dengan melakukan analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan permasalahan (rumusan masalah) yang terdapat dalam
penelitian ini untuk kemudian di korelasikan dengan beberapa asas dan teori yang
menjadi landasan atau pisau analisa dalam penulisan penelitian ini sebagai langkah
untuk menemukan konklusi, jalan keluar maupun konsepsi ideal tentang hal-hal
yang menjadi pembahasan.

1.7. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini di susun dengan sistematika yang terbagi dalam 4 (empat)
Bab. Masing-masing Bab terdiri dari atas beberapa subbab guna lebih memperjelas
ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata
letak masing-masing Bab serta pokok bahasannya adalah sebagai berikut :
BAB 1

: PENDAHULUAN

Bab ini berisi uraian latar belakang permasalahan munculnya
Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di
Indonesia. Selanjutnya di tetapkan rumusan masalahyang menentukan arah
penelitian dan ruang lingkup pembahasan, sehingga akan secara komprehensif
memberikan gambaran pembahasan yang menjadi titik tekan pembahasan.
Dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penulisan yang memberikan gambaran
mengenai tujuan dan manfaat dari penulisan sesuai tema yang diambil, dan yang
terakhir di jelaskan tentang metode penelitian, dalam metode penelitian diuraikan
tipe penelitian bagaimana sebuah pendekatan masalah dilakukan sekaligus sumber
bahan hukum, prosedur pengumpulan bahan hukum dan dasar analisis yang
dipakai guna mendukung pembahasan. Dalam bab ini diakhiri dengan pertanggung
jawaban sistematika, yakni gambaran dari masing-masing bab atau pembahasan.
BAB 2: LANDASAN TEORITIK KEDUDUKAN KORPORASI
DALAM PENYELENGGARAAN NEGARA
DAN PEMERINTAHAN
Pada Bab II ini akan di uraikan tentang landasan teori Kedudukan Korporasi dalam
penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia, beserta pertimbanganpertimbangan yang dugunakan dalam membahas Kedudukan Korporasi dalam

penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia. Disitu akan disebutkan
mengenai hal-hal yang berhubungan dengan Kedudukan Korporasi dalam
penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia. Pada sub bab berikutnya
akan disinggung mengenai teori yang berkaitan dengan pembahasan, seperti teori
subjek hukum, teori korporasi, teori kewenangan dan kekuasaan. Hal itu diperlukan
untuk memberikan gambaran atau sebagai pisau analisa dalam pembahasan
berikutnya. Sehingga pedoman berfikir dalam pembahasan akan berpedoman pada
teori-teori yang ada pada bab ini.
BAB 3: POLA KEIKUTSERTAAN KORPORASI DALAM
PENYELENYELENGGARAAN NEGARA
DAN PEMERINTAHAN
Dalam bab 3 ini akan diurai mengenai pola dan jenis-jenis
keikutsertaan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara. Dalam bab ini juga akan
dikaji mengenai berbagai macam pola dan jenis-jenis keikutsertaan korporasi dalam
penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan yang ada di berbagai negara yang ada
di dunia. Dalam bab ini juga akan dibandingkan dengan beberapa negara yang
dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahannya mengikutsertakan Korporasi
untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Dengan
demikian akan terjadi perbandingan Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan
Negara dan Pemerintahan di Indonesia dengan berbagai negara yang ada di dunia,
sehingga mampu memberikan gambaran mengenai Kedudukan Korporasi dalam
penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia dan yang ada di berbagai
negara di dunia.
BAB IV : KEDUDUKAN KORPORASI DALAM
PENYELENGGARAAN NEGARA
DAN PEMERINTAHAN DI INDONESIA
Dalam Bab ini pembahasan akan di fokuskan pada jawaban atas perumusan
masalah mengenai Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan
Pemerintahan di Indonesia. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Kedudukan
Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia. Pada bab
ini akan kedudukan korporasi sebagai apa dan sebaliknya negara perannya sebagai
apa. Melalui pembahasan ini akan mengetahui akar pokok persoalan mengenai
Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di
Indonesia. Sehingga dapat memberikan jawaban yang cukup mendasarkan pada
fakta filosofis, yuridis dan sosiologis.
BAB V : PENUTUP
Pada Bab ini akan di bagi menjadi dua bagian. Pertama, berisi kesimpulan yang
merupakan jawaban dari pertanyaan pada rumusan masalah pada Bab I, jawaban
akan di tulis berdasarkan rangkuman analisa pada Bab III dan Bab I, dalam
penelitian ini. Sedangkan yang kedua, saran yang berisi gagasan dan ide-ide

konstruktif yang dapat di jadikan masukan tentunya untuk mengatasi permaslahanpermasalahan yang berkaitan dengan pembahasan.

[1] Hak-hak korporasi dalam hukum tidak banyak disebutkan secara
gamblang, meskipun dalam kenyataannya sebagai subjek hukum korporasi memiliki
hak-hak yang secara nyata dapat dilihat secara kasat mata. Mengenai hak-hak
korporasi baca T. Mulya Lubis, ed. Peranan Hukum dalam Perekonomian di Negara
Berkembang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986. Hal. 72

[2] Hal itu yang menyebabkan adanya ketimpangan pelayanan publik
yang diberikan pemerintah, dikarenakan kurang mampu memberikan pertimbangan
rasional dalam upaya pengabdian kepada masyarakat. W. Riawan Tjandra. dkk,
Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Pela anan Publik, Pembaruan,
Yogyakarta, 2007, Hal 15

[3] Pertumbuhan ekonomi berbanding lurus dengan perkembangan
hukum, hukum harus mempu mengimbangi perkembangan teknologi informasi.
Baca Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi dan Hukum internasional. Jakarta:
Lentera Hati, 2002. Hal. 25

[4] Berkaitan dengan terminologi pengertian Hak Asasi Manusia secara
gamblang dijelaskan melalui buku : Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam
Transisi Politik di Indonesia, Pusat Studi HTNFHUI, Jakarta, 2008, Hal 51-53

[5] Untuk mengetahui bahaya yang diakibatkan oleh adanya intervensi
swasta terhadap Negara, baca Gunarto Suhardi, Peranan Hukum Dalam
Pembangunan Ekonomi. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2002. Hal. 26

[6] R. Shyam Khemani project director, “A framework for the design and
implementation of competition law and polic ,” World Bank, OECVD, 1998. hal.2.

[7] Rudhi Prasetya, Perseroan Terbatas teori dan praktek, Graha Ilmu,
Jakarta, 2009, Hal 37

[8] Hubungan-hubungan antara korporasi dengan Pemerintah terdapat
dalam buku Andi Ayyub Saleh, Tamas a Perenungan Hukum dalam “Law in Book
and Law in Action” Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone,
Jakarta, 2006. Hal. 23

[9] Erman Rajagukguk, “Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat
Persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas
Kesejahteraan aosial,” Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya
Pembangunan Hukum Nasional ke ,III yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18
Juli 2003.

[10] Achmad Ali, “Keterpurukan Hukum di Indonesia: Pen ebab dan
aolusin a,” Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2002. hal. 7-8.
[11] Hikmahanto Juwana, “Politik Hukum UU bidang Ekonomi di
Indonesia.” bahan kuliah ke-2 Aspek Hukum dalam Kebijakan Ekonomi Angkatan X,
PD Program Magister Perencanaan Kebijakan Publik-FEUI. Hal.7.

[12] Liberalisme, Kapitalisme memunculkan banyak pelanggaran hukum,
yang pada akhirnya memunculkan beberapa kerugian bagi keberlangungan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Baca Satjipto Rahardjo, “Liberalisme,
Kapitalisme, dan Hukum Indonesia,” dalam buku “aisi-aisi Lain Dari Hukum Di
Indonesia,” Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003. hal.21.
[13] Pengertian secara umum berpedoman menurut pengertian ini. Untuk
beberapa pengertian subjek hukum lainnya baca Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum,
Sinar Grafika, Jakarta, 2005. Hal 41

[14] Hans Kelsen membagi pengertian badan hukum menurut
keberlakuannya, apakah pada saat zaman modern atau pada saat masa lampau.
Kelsen Hans, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Nusa Media,
Bandung, 2010. Hal. 61
[15] Untuk mengetahui lebih dalam mengenai hal ini, dijelaskan didalam
bukum R. Soebekti, Hukum Perdata, PT. CVitra Aditya Bhakti, Bandung, 1992. Hal. 58

[16] Hal ini masih timbul berdebatan, mengingat seiring perkembangan
zaman wanita juga bagian dar subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan
hukum secara pribadi. Baca Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum
dalam Ekonomi, PT. Grasindo, Jakarta, 2005. Hal. 62

[17] M. Arief Amrullah, Kejahatan Korporasi, Bayu Media, Malang. 2006,
Hal 86

[18] Untuk dapat menelaah teori-teori menganai hakikat badan hukum,
dapat mebaca E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, CVetakan Kesebelas,
Penerbit Buku ichtiar Baru, Jakarta, 1989, Hal. 185. Bandingkan dengan Hartono
Hadisoeprapto, Pengantar Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1999, Hal. 46
[19] Adegium hukum ini yang selalu dijadikan argumentasi dalam setiap
kita mempelajari ilmu hukum, untuk itu istilah ini menjadi populer di kalangan
mahasiswa, dosen dan setiap orang yang secara langsung maupun tidak langsung
mempelajari ilmu hukum. Baca Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan
Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional (Bandung: Alumni, 1994),
Hal. 75

[20] Hukum merupakan bagian dari kekuasaan, dan kekuasaan adalah
hukum. Baca ,an Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Pradnya Paramita, Jakarta,
1976), hal. 68.

[21] Karakteristik hukum membutuhkan kekuasaan yakni untuk
memberikan kepastian hukum. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (PT. CVitra Aditya
Bakti, Bandung, 2000), hal. 146.

[22] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2002), hal.35.

[23] Mac Iver, The Web of Government, dalam Moh.Kusnardi dan Bintan
Siragih, Ilmu Negara, (Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000), hal 116.

[24] Op Cit, hal. 36

[25] Rudasi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, (Makalah Pada
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta), hal. 37-38.

[26] F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Dwiwantara, Bandung), 1964, hal.
127-129

[27] Soetomo, Ilmu Negara, (Usaha Nasional, Surabaya, 1993), hal. 51-69

[28] Moh. Kusnardi dan Bintan Siragih, Ilmu Negara, (Gaya Media
Pratama, Jakarta, 2000), hal. 116.

[29] Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, (Makalah Univ. Airlangga,
Tanpa Tahun), hal. 1

[30] Ibid, hal. 1

[31] Ibid, hal. 1

[32] Ibid, hal. 1

[33] Kranenburg dan Tk. B. Sabaroedin, Ilmu Negara Umum, (PT. Pradnya
Paramita, Jakarta, 1986), Hal. 20

[34] Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan
Implikasin a Dalam aistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (PT. CVitra Aditya
Bakti, Bandung, 2006), hal. 211.

[35] Mustamin DG. Matutu.dkk, Mandat, Delegasi, Atribusi
Implementasin a di Indonesia, (UII Press, Yogyakarta, 2004), hal. 109-159.

dan

[36] Philipus M. Hadjon. dkk, Pengantar Hukum Administrasi Negara
Indonesia, (Gajah Mada University Press, 2002), hal. 130.

[37]Jimly Ashiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta, Konstitusi Press,
2006), hal. 378.

[38] Fokus penelitian merupakan bagian yang sangat penting dalam
upaya penulisan karya tulis ilmiah, mengingat fokus penelitian erat kaitannya

dengan tujuan yang ingin dicapai dari suatu karya tulis. Untuk memahami
mengenai ini, baca John W. CVreswell, Reserch Design, Qualitative & Quantitative
Approaches, (SAGE Publications, International Educational and Professional
Peblisher, Thousand Oaks, London New Delhi, 1994) Hal. 2. Bandingkan S. Nasution,
Metode Research (Penelitian Ilmiah) usulan Penelitian, Desain Penelitian,
Hipopenelitian, Voaliditas, aampling, Populasi, Observasi, Wawancara, Angket, (PT.
Bumi Aksara, Jakarta, CVetakan ke-4, 2011), Hal. 16

[39] Penelitian hukum normatif ini merupakan kegiatan sehari-hari
seorang sarjana hukum, bahkan penelitian hukum yang bersifat normatif hanya
mampu dilakukan oleh seorang sarjana Hukum, sebagai seorang yang sengaja
dididik untuk memahami dan menguasai disiplin Hukum. Sebagaimana pendapat
CV.F.G Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20,
(Bandung : Penerbit Alumni, cetakan ke-2, 2006) 139

[40] Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
(Bayu Media Publishing, Malang, 2006), Hal.57

[41] Unsur pertama dari bahasa keilmuan merupakan konsep. Kegiatan
membangun sebuah teori atau model, mirip dengan membangun rumah atau
tembok, sebelum membangun seorang pengembang (developer) tentu harus
mengetahui struktur tanah, luas lahan, dan alokasi penggunaannya arah dan
kekuatan tiupan angin dan lain sebagainya. Untuk itu konsep dapat diartikan
sebagai symbol yang digunakan untuk memaknai fenomenon. Baca John J.O.I
Ihalalauw, Bangunan Teori, (Salatiga : Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Kristen
Satya Wacana, Edisi Millenium, 2000), hal20-22

[42] Untuk lebih lebih jelasnya tentang macam-macam pendekatan dalam
penelitian hukum normatif bandingkan Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji,
Penelitian Hukum Normatif (auatu Tinjauan aingkat), (Rajawali Pers, Jakarta, 2001),
hal. 14. dengan Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Prenada media, Jakarta,
2006), hal. 93-137 dan Johnny Ibrahim, Op Cit, Hal. 299-321

[43] Dalam studi ini berupaya memberikan masukan kritik dan saran
terhadap peraturan prundang-undangan yang kurang tepat dan baik baik dari segi
penormaan maupun dalam realitas penyelenggaraannya, untuk itu kemudian
dinamakan sebagai teori hukum kritis. Untuk mengetahui hal teori ini silakan baca
Roberto M Unger, Law and Modern aociet : Toward a Criticism of aocial Theor ,
(The Free Press), hal235. Bandingkan Munir Fuady, Filsafat dan Teori Hukum
Postmodern, (Bandung : PT. CVitra Aditya Bakti, cetakan ke-1, 2005), hal.103

[44] Teori hukum berbeda dengan hukum posotif, teori hukum menjadi
landasan dalam pembentukan dan cara pandang terhadap hukum positif. Untuk itu
kemudian terdapat hubungan antara kegiatan berfikir, bahasa hukum dan teori
hukum. Baca J.J.H. Bruggink, Rechts Refecties, Grondbegrippen uit de Rechtstheori,
(England : Kawuler, 1995) hal. 1-2. Bandingkan H.R. Otje Salman dan Anton F.
Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali,
(Bandung : Penerbit Refika Aditama, cetakan ke-2, 2005), hal. 45

[45] Peter Mahmud Marzuki, Op Cit, Hal. 141

[46] Op Cit, Hal.13

[47] Op Cit, Hal. 52

[48] Metode deduksi adalah metode yang merupakan kesimpulankesimpulan umum yang diperoleh berdasarkan proses pemikiran setelah
mempelajari peristiwa-peristiwa khusus atau peristiwa-peristiwa yang konkret.
Untuk lebih jelasnya baca : Sjachran Basah, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan
aejarah Perkembangan, (PT. CVitra Aditya Bakti, Bandung), Hal. 71. Bandingkan
Erliana Hasan, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian Ilmu Pemerintahan, (Ghalia
Indonesia, Jakarta, CVetakan ke 1, 2011), Hal. 174