BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN - Analisis Dampak Fluktuasi Harga Bbm Terhadap Usaha Penangkapan Ikan Dengan Kapal Motor (Kasus : Kecamatan Sarudik, Kabupaten Tapanuli Tengah)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Usaha Penangkapan Ikan

  Dalam buku Statistik Perikanan Tangkap yang dikeluarkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sumatera Utara disebutkan bahwa perikanan merupakan kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau budidaya ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Sedangkan penangkapan itu sendiri didefenisikan sebagai kegiatan penangkapan atau pengumpulan ikan/binatang air/tanaman air yang hidup dilaut/perariran umum secara bebas dan bukan milik perseorangan. Pada umumnya penangkapan ditujukan pada ikan/binatang air/tanaman air yang hidup, termasuk didalamnya kerrang dan rumput laut.

  Usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan (usaha penetasan, pembibitan, pembesaran) ikan, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan dengan tujuan untuk menciptakan nilai tambah ekonomi bagi pelaku usaha (komersial/bisnis) (Undang-undang, 2004). Imron (2003) dalam buku Ekonomi Kelautan mendefinisikan nelayan sebagai suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya. Dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan juga disebutkan bahwa pengertian nelayan adalah orang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Sehingga nelayan ini adalah mereka yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di laut apakan dia sebagai pemilik langsung alat-alat produksi maupun sebaliknya.

  Nelayan dapat dibagi menjadi beberapa kategori menurut kepemilikan kapalnya (Mubyarto, 1984), yaitu : 1.

  Nelayan pemilik, nelayan yang memiliki kapal perahu atau kapal penangkap ikan dan dia sendiri ikut serta atau tidak ikut ke laut untuk memperoleh hasil laut.

  2. Nelayan juragan, nelayan yang membawa kapal orang lain tetapi ia tidak memiliki kapal.

  3. Nelayan buruh, nelayan yang hanya memiliki factor produksi tenaga kerja tanpa memiliki perahu penangkap ikan.

  Penangkapan ikan yang dilakukan nelayan secara kuantitas tergantung pada perahu, peralatan yang digunakan, maupun factor lain seperti musim air pasang.

  Dengan perahu dan peralatan tangkap yang sesuai dan layak dioperasikan maka hasil tangkapan menjadi lebih baik dan dapat memberikan jaminan hidup bagi rumah tangganya (Rangkuti, 1995) Berdasarkan perahu/kapal penangkap ikan, nelayan pemilik dibagi menjadi nelayan tradisional dan nelayan tradisional dan nelayan bermotor. Nelayan tradisional memakai perahu tanpa mesin/motor. Bila perahu mempunyai mesin yang ditempel diluar perahu disebut perahu motor tempel, bila perahu/kapal

  Berdasarkan besarnya mesin yang digunakan, diukur dengan GT (Gross ton), kapal motor dibagi menjadi tiga (Tarigan, 2002), yaitu :

  • Kapal kecil, yaitu < 5 GT – 10 GT
  • Kapal sedang, yaitu 10 GT – 30 GT
  • Kapal besar, yaitu > 30 GT Tonnage adalah suatu besaran volume yang menunjukkan besarnya kapal dan kapasitas muatnya, satuannya adalah satuan volume dimana 1 RT (satuan register) menunjukkan suatu ruangan sebesar 100 Cub feet atau sama dengan 2,831405 m3 (Setianto, 2007). Daerah operasi penangkapan (fishing ground) di laut berkembang dari perairan dekat pantai hingga laut lepas. Terdapat zona penangkapan sesuai dengan kondisi armada penangkapan. Menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian Tahun 1999, yakni jalur I hingga jalur III (Effendi dan Oktariza,2006).

  

Tabel 3. Daerah Operasi Penangkapan Menurut Kondisi Armada

Penangkapan Jalur Penangkapan Jarak Dari Pantai Peruntukan

  Jalur I 0 - 3 mil Kapal nelayan tradisional dan kapal tanpa motor 3 - 6 mil Kapal motor tempel < 12 meter atau < 5 GT

  Jalur II 6 – 12 mil Kapal motor < 60 GT Jalur III 12 – 200 mil Kapal Motor < 200 GT Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat bahwa semakin besar ukuran GT (Gross penangkapannya akan semakin jauh dari pantai. Kapal motor tempel (<5GT) daerah tangkapannya adalah di jalur I dengan jarak 3-6 mil dari garis pantai.

  Sedangkan untuk kapal yang berukuran lebih besar daerah tangkapannya termasuk dalam jalur II dan III hingga mencapai jarak 200 mil dari garis pantai.

  Daerah penangkapan nelayan (fishing ground) tergantung pada besar kecilnya kapal, alat tangkap dan jenis ikan laut yang akan ditangkap. Nelayan yang menggunakan kapal tanpa motor (perahu) umumnya melakukan penangkapan ikan laut di pinggir pantai /sekitar pantai. Sedangkan nelayan yang menggunakan kapal motor tempel < 5 GT melakukan penangkapan setelah kapal berlayar ke arah tengah laut sekitar 100 meter dari pantai dan daerah penangkapan rata-rata sejauh 5.760 meter. Nelayan yang menggunakan kapal motor > 5 GT melakukan penangkapan setelah kapal bergerak ke tengah laut sejauh 500 meter dari pantai dan daerah penangkapan rata-rata sejauh 28.800 meter (Simanjuntak, 2002). Status usaha nelayan dapat dibedakan berdasarkan kepemilikan modal dan keterampilan melaut. Usaha nelayan yang memiliki modal kuat ditempatkan pada nelayan atas yang disebut punggawa. Lapisan berikutnya diteempati oleh nelayan yang memiliki keterampilan tinggi dalam melaut disebut juragan. Sedangkan lapisan paling bawah adalah nelayan yang mempunyai keterampilan rendah dan hanya mengandalkan tenaga dalam penangkapan ikan disebut sawi (Salman, 1995).

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Biaya Produksi

  Biaya produksi merupakan modal yang harus dikeluarkan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan sampai ikan tersebut siap untuk dijual. Biaya produksi dapat dibedakan antara biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap merupakan yang penggunaanya tidak habis dalam suatu masa produksi, antara lain biaya peralatan, biaya penyusutan peralatan (seperti kapal, mesin, fiber, alat tangkap, jangkar, dan lain lain), serta biaya pemeliharaan. Sementara biaya variabel merupakan biaya yang habis dalam satu kali masa produksi antara lain biaya operasional (seperti es, BBM, konsumsi) serta upah tenaga kerja (Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, 2008). Total jumlah dari biaya tetap (FC = Fixed Cost) dan biaya variabel (VC =

  

Variable Cost ) ini berupa biaya total (TC = Total Cost) yang merupakan

keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan biaya produksi.

  

TC = FC + VC

(Nuraini, 2001).

  Ongkos produksi dalam usaha nelayan terdiri dari dua kategori, yaitu ongkos berupa pengeluaran nyata (actual cost) dan ongkos yang tidak merupakan pengeluaran nyata (inputed cost). Dalam hal ini pengeluaran nyata terdiri dari pengeluaran kontan dan tidak kontan. Pengeluaran kontan diantaranya adalah :

1. Bahan bakar dan oli 2.

3. Pengeluaran untuk makanan/konsumsi awak 4.

  Pengeluaran untuk reparasi 5. Pengeluaran retribusi dan pajak.

  Pengeluaran-pengeluaran yang tidak kontan adalah upah awak nelayan, pekerjaan yang umunya bersifat bagi hasil dan dibayar setelah hasil dijual. Pengeluaran- pengeluaran yang tidak nyata adalah penyusutan dari boat/sampan, mesin-mesin, dan alat penangkap (Mulyadi, 2005).

  Persentase pengeluaran terbesar oleh nelayan dalam operasi penangkapan ikan yang menggunakan perahu motor tempel atau kapal motor adalah Bahan Bakar Minyak (BBM). Persentase tersebut mencapai 40-50% dari total biaya operasional melautnya (Satria, 2009).

2.3. Penelitian Terdahulu

  Adapun penelitian terdahulu dilakukan oleh Waridin (2007) yang telah menganalisis tentang analisis efesiensi alat tangkap cantrang serta faktor-faktor yang mempengaruhi produksi tangkapan nelayan cantrang. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa secara serempak bahan bakar, tenaga kerja, perbekalan, ukuran mesin dan pengalaman berpengaruh secara nyata terhadap produksi tangkapan dengan alat tangkap cantrang. Sedangkan secara parsial bahan bakar, tenaga kerja, perbekalan, dan ukuran mesin berpengaruh nyata terhadap jumlah tangkapan, hanya pengalaman yang tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tangkapan.

  Dalam penelitian Pasaribu (2008) tentang dampak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (Solar) terhadap usaha penangkapan ikan dengan pukat cincin di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan, menyatakan bahwa terdapat perbedaan lama nelayan melaut per trip yang dilakukan snelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak jenis solar. Lama nelayan melaut per trip pada saat harga solar Rp 2.100/liter adalah 5,9

  ≈ 6 hari, dan sesudah terjadi kenaikan harga solar pada tanggal 1 Oktober 2005 menjadi Rp 4.300/liter, nelayan semakin memperlama lama melautnya menjadi 7,3 ≈ 7 hari.

2.4. Kerangka Pemikiran

  Dalam melakukan kegiatan penangkapan sarana utama yang paling dibutuhkan oleh nelayan adalah perahu/kapal. Dalam penelitian ini yang akan dibahas adalah nelayan yang menggunakan kapal motor. Untuk mengoperasikan kapalnya nelayan membutuhkan bahan bakar sebagai bahan penggerak mesin. Oleh karena itu bahan bakar merupakan faktor penting bagi nelayan dalam melakukan penangkapan ikan.

  Dalam memperoleh bahan bakar ada biaya yang harus dikorbankan nelayan, yaitu sejumlah harga dikali kuantitas bahan bakar yang dibutuhkan. Sesuai dengan hukum permintaan bahwa semakin tinggi harga suatu barang, maka permintaan atas barang tersebut akan semakin rendah, dan sebaliknya semakin rendah harga suatu barang, semakin tinggi pula permintaan atas barang tersebut. Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak diduga akan menyebabkan permintaan nelayan terhadap minyak menurun dari biasanya (sebelum kenaikan harga BBM),

  Persediaan bahan bakar nelayan yang rendah akan berdampak pada pengurangan frekuensi dan jangkauan daerah operasi penangkapan ikan nelayan, karena nelayan harus menyesuaikan kegiatan penangkapan dengan persediaan bahan bakar.

  Pengurangan lama dan jangkauan daerah penangkapan kemudian akan mempengaruhi jumlah ikan yang mampu di tangkap. Selama proses penangkapan ikan nelayan mengeluarkan biaya produksi yang terdiri dari biaya tetap (Fixed

  

Cost) dan biaya tidak tetap (Variabel Cost). Adapun biaya tidak tetap (Variable

Cost ) antara lain : biaya bahan bakar, biaya es, biaya garam, dan biaya perbekalan.

  Pada tanggal 18 November 2014 terjadi kenaikan harga BBM sebesar Rp 2000/liter atau 29% dari harga semula yaitu Rp 5500/liter menjadi Rp 7500/liter.

  Kemudian penurunan harga BBM terjadi pada tanggal 1 Januari 2015 dimana harga BBM jenis Solar menjadi Rp 7500/liter. Di bulan berikutnya yaitu tanggal

  19 Februari pemerintah kembali menurunkan harga BBM dimana jenis solar mengalami penurunan harga yang lebih besar daripada penurunan sebelumnya.

  Solar mengalami penurunan harga sebesar Rp 850/liter dari harga sebelumnya Rp 7250/liter menjadi Rp 6400//liter. Fluktuasi dan ketidakstabilan harga BBM dalam tempo waktu yang cukup singkat dianggap akan memberikan masalah baru bagi nelayan. Sehingga diharapkan ada upaya-upaya yang mampu dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut.

  Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada kerangka pemikiran berikut ini : Harga Bahan Bakar Minyak

  (BBM) Sesudah

  Sebelum Volume bahan bakar, volume es, volume garam, jumlah awak kapal

  Biaya operasional Biaya operasional (TK).

  • Lama hari melaut

  Usaha penangkapan Usaha penangkapan

  • Jarak daerah ikan ikan penangkapan (fishing ground)

  Masalah Upaya

  

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

  Keterangan: : pengaruh : hubungan

2.5. Hipotesis Penelitian 6.

  Terdapat perbedaan yang nyata lama hari melaut per trip, jarak daerah penangkapan per trip, jumlah penggunaan solar per trip, dan jumlah biaya operasional per trip sebelum dan sesudah kenaikan harga solar 18 November 2014.

  7. Terdapat perbedaan yang nyata lama hari melaut per trip, jarak daerah penangkapan per trip, jumlah penggunaan solar per trip, dan jumlah biaya operasional per trip sebelum dan sesudah penurunan harga solar 1 Januari 2015.

  8. Terdapat perbedaan yang nyata lama hari melaut per trip, jarak daerah penangkapan per trip, jumlah penggunaan solar per trip, dan jumlah biaya operasional per trip sebelum dan sesudah penurunan harga solar 19 Februari 2015.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA PENERBIT DAN PEDAGANG A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukum Perjanjian - Tinjauan Yuridis Perjanjian Kerjasama Electronic Data Capture Antara Bank Dengan Pedagang (Merchant) M

0 1 36

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Perjanjian Kerjasama Electronic Data Capture Antara Bank Dengan Pedagang (Merchant) Menurut Kuh Perdata Dan Pbi Nomor 16/8/Pbi/2014 (Studi Pada Pt. Bank Negara Indonesia, Tbk Medan)

0 0 13

Tinjauan Yuridis Perjanjian Kerjasama Electronic Data Capture Antara Bank Dengan Pedagang (Merchant) Menurut Kuh Perdata Dan Pbi Nomor 16/8/Pbi/2014 (Studi Pada Pt. Bank Negara Indonesia, Tbk Medan)

0 0 13

BAB II PENGATURAN SISTEM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA A. Pengaturan Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah Dalam Hukum Positif Indonesia - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pengguna Ijazah Palsu Dalam Pemilihan Kepala Desa Kabu

0 0 45

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pengguna Ijazah Palsu Dalam Pemilihan Kepala Desa Kabupaten Langkat (Studi Putusan Pn No.197/Pid.B/2011/Pn.Stb, Pt No.431/Pid/2011/Pt.Mdn, Ma-Ri No.579k/Pid/2012)

0 0 31

BAB II PENGELOLAAN YAYASAN OLEH ORGAN YAYASAN A. Keberadaan Yayasan Menurut Undang-Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 - Tinjauan Yuridis Tentang Pembagian Kekayaan Dari Yayasan Kepada Organ Yayasan Ditinjau Dari Undang

0 0 31

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Tentang Pembagian Kekayaan Dari Yayasan Kepada Organ Yayasan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004

0 0 19

Pengaruh Konsentrasi dan Lama Perendaman Asam Sulfat (H2SO4) Terhadap Viabilitas Benih Delima (Punica granatum L.)

0 0 21

Pengaruh Konsentrasi dan Lama Perendaman Asam Sulfat (H2SO4) Terhadap Viabilitas Benih Delima (Punica granatum L.)

0 0 8

Pengaruh Konsentrasi dan Lama Perendaman Asam Sulfat (H2SO4) Terhadap Viabilitas Benih Delima (Punica granatum L.)

0 2 12