BAB II PENGATURAN SISTEM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA A. Pengaturan Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah Dalam Hukum Positif Indonesia - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pengguna Ijazah Palsu Dalam Pemilihan Kepala Desa Kabu

  

BAB II

PENGATURAN SISTEM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA DALAM

HUKUM POSITIF INDONESIA

A. Pengaturan Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah Dalam Hukum Positif Indonesia 1. Pengertian Ijazah Palsu Berdasarkan Pasal 61 Undang-ndang No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem

  bahwa ijzah adalah salah satu bentuk sertifikat selain sertifikat kompetensi yang

  

  diberikan kepada perserta didik. Sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar

  

  dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan Setelah ujian yang

  

   diselengarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.

  Pendidikan Nasional, dapat disimpulkaDalam Kamus standar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pengertian ijazah adalah sertifikat tanda lulus atau surat tanda tamat belajar. Sedangkan pengertian palsu adalah tidak asli lagi,tiruan atau lancung.

  R.Soesilo dalam penjelasan Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak menyebutkan secara eksplisit pengertian ijazah palsu, akan tetoi”surat palsu” yang artinya surat yang isinya bukan semesti (tidak benar) atau surat yang 29 sedemikian rupa sehingga menunjukan asal surat itu yang tidak benar.

  

Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi dari melalui

proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu (Pasal 1 angka

4 UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas)

  30 Jenjang pendidikan adalah tahap pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan

peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang dikembangkan (Pasal 1 angka 8 UU

31 No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas)

Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan

pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan (Pasal 1

32 angka 10 UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas)

Akreditas adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan

  Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sostem Pendidikan Nasional juga tidak menyebutkan secara ekplisit pengertian ijazah palsu. Hanya pada Pasal

  61 Berpedoman pada ketentuan Pasal 61 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 Tahnu 2003 dan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 087/U/2002 tersebut maka pengertian ijazah palsu adalah ijazah yang diberikan kepada orang yang tidak terdaftar sebagai peserta didik, tidak lulu ujian kelulusan, ujian diselenggrakan oleh satuan pendidikan yang tidak terakreditas, atau ijazah yang

   dikeluarkan/diterbitkan oleh satuan pendidikan yang tidak terakreditasi.

  Dari uraian di ats maka menurut penulis pengertian ijazah palsu adalah sertifikat tanda lulus atau surat tanda tamat belajar yang tidak asli,tiruan, yang isinya bukan semestinya (tidak benar), yang sedemikian rupa sehingga menunjukan asal surat tanda tamat belajar itu yang tidak benar, atau proses terbitnya surat tanda tamat belajar itu yang tidak benar atau iajzah yang diterbitkan oleh satuan pendidikan yang tidak terakreditasi

  33

) Undang-undang Nomor 20 Tahnu 2003 dan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Pasal

  2. Jenis-Jenis Ijazah Palsu

   Ijazah Palsu dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, yakni : a.

  Blanko ijazah yang palsu Yang termasuk dalam jenis ini adalah : karakteristik, bahan, kualitas, nomor seri, pencetakan blanko dan lain-lain tidak dikeluarkan oleh instansi atau lembaga yang berwenang dan atau tidak sesuai dengan tahun penerbitannnya.

  b.

  Isi Ijazah yang palsu Yang termasuk dalam jenis ini adalah :

  1) Ijazah yang bersangkuatan tidak diterbitkan oleh instansi/lembaga atau pejabat yang berwenang. Misalnya : Ijazah tersebut dikeluarkan oleh

  Sekolah yang suda tutup (tidak aktif lagi), atau ijazah tersebut ditandaytangani oleh orang yang tidak menjabat Kepala Sekolah lagi pada watu penandatanganan. 2) Ijazah tersebut dikeluarkan tidak sesuai dengan tahun penerbitannya.

  Misalnya nomor seri ijazah tersebut adalah untuk tahun 1979, tetapi ternyata dikeluarkan Tahun 1980 , jadi sangat tidak lazim dengan satu tahun memperoleh ijzah

  3) Ijzah tersebut tidak terdaftar pada pada Perguruan Tinggi/Lembaga Pendidikan yang tercatat sebagai yang mengeluarkannnya.

  4) Yang bersangkutan terdaftar sebagai siswa/mahasiswa pada Perguruan

  Tinggi/Lembaga Pendidiklan akan tetapi tidak pernah kuliah/sekolah maupun ujian tetapi memperoleh. 5)

  Yang bersangkutan mempunyai kartu peserta ujian dan ikut ujian tetapi tidak terdaftar sebagai peserta ujian. Misalnya si A ingin memperoleh ijzah persamaan, lalu mendaftar ke Dinas Pendidikan untuk mengikuti ujian persamaan, ternyata pendaftaran sudah tutup, lalu si A bekerjasama denganoknum tertentu, sehingga sia A tetap diberikan kartu peserta ujian

34 Wawancara dengan pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Karo, tanggal 20 Maret 2005 dikuti dari

  dan ikud walaupun tidak gterdaftar sebagai peserta ujian tetap, dan ijazah dikeluarkan atas nama si A tersebut. 6)

  Nomor Induk yang tercantum dalam ijazah bukan atas nama yang bersangkutan akan tetapi atas nama orang lain. Misalnya nomor induk 1406, keluar 2 (dua) ijazah yakni atas nama si A dan si B. Ternyata setelah diteliti memberik imbalan sejumlah uang/materi tertentu, dimana yang bersangkutan tercatat secara administartif dengan lengkap dan sempurna di Perguruan Tinggi/Lembaga Pendidikan tersebut sepert halnya yang dilakukan terhadap mahasiwa/siswa yang masuk ke Perguruan Tinggi/Lembaga Pendidikan itu secara normal. Walaupun catatan tersebut sebagian/keseluruhan adalah fiktif, tetapi karena dibuat dengan lengkap maka jauh kemungkinannya dicurigai. Untuk ijazah jenis ini memamng sulit untuk dibuktikan saebagai ijzah palsu,karena bahan-bahan sebagai alat bukti nyaris tidak mungkin di dapat. Hanya pada Perguruan Tinggi/Lembaga Pendidikan yang system administrasi cukup baik, kemungkinan melacak kepalsuan ijzah yang system admisntrasinya cukup baik, kemungkian melacak kepalsuan ijzah ini masih dimungkinkan. Misalnya dengan mengkonflik pemilik ijzah tersebut dengan dosen- dosen/guru-guru dari setiap mata kuliah/mata pelajaran dari tingkat/kelas permulaan sampai tingkat/kelas akhir atau mengkonfrontir dengan catatan- catatan tertulis yang sah dari dosen-dosen/guru-guru tersebut mengenai hasil ujiannya dan lain-lain yang disimpan dalam admistrasi Perguruan Tinggi/Lembaga Pendidikan tersebut..

  c.

  Ijazah yang dimilik seseorang ytang telah mengikuti kuliah/sekolah di Perguruan Tinggi/Lembaga Pendidikan dengan betul-betul dan wajar, serta setiap tingkat/kelas pun dilalui dengan betul dan wajar sampai dia mendapatkan ijzah. Hanya dalam proses yang wajar itu sehingga dia disebutkan ijzah aspal sebagian karena memang cara untuk mendapatkan ijazah itu hnaya sebagian saja yang dilakukan dengan tidak wajar atau dengan cara kemudahan.

3. Unsur-unsur Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah Dalam Putusan PN

  REG.No.197/Pid.B/2011/PN.Stb, PT REG. No.431/Pid/2011/PT.Mdn, MA-RI REG. No.579K/Pid/2012

  Berdasarkan Fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan pengadilan sebagaimana diuraikan diatas, maka pembuktian Unsur-sunsur tindak pidana yang yaitu melanggar Pasal 263 ayat(2) KUHPidana, dengan unsur-unsur :

  Pasal 263 ayat (2) : Dipidana dengan pidana yang sma, barangsiapa dengan

  sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan dapat menimbulkan kerugian

  Unsur-unsur sebagai berikut :

  a) Unsur-Unsur Obyektif :

  a) Perbuatan : Memakai

  b) Obyeknya : Surat Palsu ; Surat Yang di Palsukan

  c) Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian;

b) Unsur Subyektif : dengan sengaja.

   a.

  Barang siapa; Unsur barang siapa dalam perkara ini menunjukan kepada sunjek atau pelaku tindak pidana, dari fakta-fakta yang terungkap dipetrsidangan yaitu dari keretangan saksi-saksi keterangan terdakwa, keterangan ahli petunjuk dan barang bukti bahwa pelaku tindak pidana adalah terdakwa SUPRIADI,yang identitasnya sesuai dengan identitas terdakwa dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, dan terdakwa mengerti akan Surat Dakwaan yang telah dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum dan tidak ada mengajukan keberatan atas Surat Dakwaan tersebut, dan selama dalam proses persidangan berlasung tidak dijumpai dalam diri terdakwa adanya alasan pemaaf atau pembenar atas perbuatan terdakwa sehingga ats diriu terdakwa dapat diminta pertanggungjawabannya.

35 Putusan PN REG.No.197/Pid.B/2011/PN.Stb, PT REG. No.431/Pid/2011/PT.Mdn, dan MA-RI

  Untuk dapat menyatakan pelaku terbukti telah memenuhi unsur “dengan sengaja” yang terdapat di dalam rumusan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP itu, hakim tidak perlu menggantungkan diri pada adanya pengakuan dari pelaku yang dalam praktek memang sulit diharapkan, melainkan hakim dapat menarik kesimpulan dari keterangan-keterangan yang diberikan oleh pelaku sendiri atau dari keterangan-keterangan yang diberikan oleh para saksi atau dari bukti-bukti lain.

  Dengan demikian unsur ini telah terbukti.

  b.

  Memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli; Bahwa pada tanggal 5 s/d 9 November 2009 terdakwa te;lah mendaftarkan doiri sebagai Bakal Calon Kepala Desa Kebun Balok Keacamatan Wampu

  LKabupaten Langkat dengan menggunakan STT/Ijazah yang dikeluarkan Sekolah Menengah Pertama Insani Medan Medan Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 8 Juni 1980 yang menurut saksi Ahli dari Dinas P & P Provinsi Sumatera Utara FDrs.H.Irsyad Tanjung,M.Si, setelah menelito STTB/Ijazah atas nama SUPRIADI (terdakwa) menyatakan terdapat kejanggalan, yang mana seharusnya bertulisan Surat Tanda Taman Belajar akan tetapi Surat Tanda Taman Belajar dan STTB/Ijazah atas anam terdakwa tidak Terdakwa tidak mempunyai nomor seri Ijazah dan tidak berlogo burung garuda dan izin Kanwil P & K Sumatera Utara : 361/05.I/A-P2D/79 tidak ada terdaftar di Dinas P & P Provinsi Sumatera Utara dan Sekolah Insani Medan juga tidak ada sama sekali dan STTB/Ijazah atas nama SUPRIADI (terdakwa) diduga illegal/tidak sah menutut hukum.

  Dengan demikian unsur ini telah terpenuhi. c.

  Jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian ; Dalam unsur ini yang perlu dibuktikan adalah penggunaan surat (ijazah) tersebut harus dapat mendatangkan kerugian.Kata ”dapat” maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul sudah terjadi, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian itu sudah cukup membuktikan unsur ini. Jika ternyata penggunaan surat (ijazah) tersebut oleh pelaku tidak dapat mendatangklan kerugian, maka pelaku tidak terbukti memenuhi unsur ini, sehingga tidak ada alasan untuk menghukum, oleh karenanya harus dibebaskan.

  Yang menjadi pertanyaan, kerugian yang bagaimana dan kerugian siapa yang dimkasud disni? Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak Menyebutkan secara tegas kerugian yang bagaimana yang dapat dihukum. Menurut R.Soesilo : yang di artikan dengan Kerugian materil (kerugian berbentuk uang), akan tetapi juga kerugian dilapangan kemasyarakatan, kesusilaan, kehormatan dan sebagainya.

  Bahwa terdakwa menggunakan STTB/Ijazah untuk mencalonkan diri sebagai Kepala Desa Kebun Balok Kecamatan Wampu Kabupaten Langkat dan terpilih sebagai pemenangnya, telah mengakibatkan kerugian bagi Bakal Calon Kepala Desa Kebun Balok Kecamatan Wampu Kabupaten :Langkat periode 2009-2014 yang lainnya antara lain menimbulkan kerugian bagi saksi Legimin dan saksi Nuriadi.

  Dengan demikian unsur ini telah terbukti

4. Pengaturan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah Dalam Hukum Positif

  Indonesia a. Ketentuan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

  Perbuatan pemalsuan dapat digolongkan pertama – tama dalam kelompok kejatahan ”Penipuan” ; hingga tidak semua perbuatan adalah pemalsuan.

  Perbuatan pemalsuan tergolong kelompok kejahatan penipuan apabila seseorang memberikan gambaran tentang sesuatu gambaran atas barang seakan – akan asli atau benar, sedangkan sesungguhnya atau kebenaran tersebut tidak dimilikinya. Karena gambaran data ini orang lain terpedaya dan mempercaya bahwa keadaan yang digambarkan atas barang / surat / data tersebut adalah benar atau asli.

  Pemalsuan terhadap tulisan / data terjadi apabila isinya atau datanya , Dalam berbagai jenis perbuatan pemalsuan yang terdapat dalam KUHP

  

  dianut: 1)

  Di samping pengakuan terhadap azaz hak atas jaminan kebenaran/keaslian sesuatu data/surat/tulisan, perbuatan pemalsuan terhadap data/surat/tulisan tersebut harus “dilakukan dengan tujuan jahat”. 2)

  Berhubungan tujuan jahat dianggap terlalu luas harus mempunyai “niat/maksud” untuk menciptakan anggapan atas sesuatu yang dipaslukan sebagai yang asli atau benar.

  Suatu perbuatan pemalsuan dapat dihukum apabila terhadap

  

  jaminan/kepercayann dalam hal mana :

  36

  1) Pelaku mempunyai niat/maksud dengan menggambarkan keadaan yang tidak benar itu seolah-olah benar mempergunakan sesuatu data yang tidak asli seolah-olah asli, hingga orang lain terpedaya.

  1) Unsur niat/maksud tidak perlu meliput unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain (sebaliknya dari bebagai jenis perbuatan penipuan)

  2) Tetapi perbuatan tersebut harus menimbulkan sesuatu bahaya umum yang khusus dalam pemalsuan data/surat dan sebagainya,dirumuskan dengan masyarakat “kemungkian kerugian”dihubungkan dengan sifat daripada data/surat tersebut.

  Tindak pidana penggunaan ijazah palsu dalam Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di atas, maka yang menjadi unsur-unsurnya adalah :

  Dipidana dengan pidana yang sma, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan dapat menimbulkan kerugian

  Unsur-Unsur Pasal 263 ayat (2): a.

  Subjektif : Dengan sengaja.

  b.

  Objektif : Perbuatan : Memakai Obyeknya : Surat Palsu ; Surat Yang di Palsukan Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian;

  a) Unsur dengan sengaja

  Kata “sengaja” yang berarti pula “opzet”(doulus) maksudnya tahu dan dimaksud. Jadi unsur “dengan sengaja” maksudnya disini bahwa orang yang melakukan (menggunakan surat/ijazah) itu harus mengetahui benar-benar bahwa surat (ijazah) yang ia gunakan itu palsu atau menggunakan surat palsu tersebut dimaksud atau termasuk dalam niatnya sipelaku. Jika ia tidak tahu akan hal itu

   atau tidak dimaksud ia tidak dapat dihukum.

  Menggunakan artinya memakai atau menyerahkan kepada orang lain atau ditempat dimana serta tersebut dibutuhkan. Sudah dianggap sebagai mempergunakan dalam rancangan KUHP Belanda mula-mula disebutkan bahwa surat adalah “surat-surat yang dapat membuktikan sesuatu”. Sehubungan dengan

  

  hal ini menurut Wirjono Prodjodikoro perumusan ini dianggap terlalu luas, oleh karena setiap surat dapat membuktikan sesuatu. Jadi sifat demikian berarti bahwa surat-surat itu harus memiliki kekuatan pembuktian, dan mengenai kekuatan pembuktian ada peraturan, baik dalam hukum acara pidana.

  b) Unsur jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian

  Menurut R.Soesilo : yang di artikan dengan Kerugian materil (kerugian berbentuk uang), akan tetapi juga kerugian dilapangan kemasyarakatan, kesusilaan, kehormatan dan sebagainya

38 Soesilo,R. 1983. Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus.

  39 Bogor: Politeia. hal 28

Proddikoro, Wirjono . 1967. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Jakarta-Bandung: PT b.

  Ketentuan Dalam UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas

  Pasal 1 butir 2 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional juga merumuskan definisi mengenai Pendidikan Nasional, yaitu pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

  Demi mewujudkan ketertiban, keadilan dan kepastian hukum sebagaimana dijelaskan di atas, maka pengaturan pemidanaan terhadap penggunaan ijazah palsu telah diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bab XX tentang Ketentuan Pidana Pasal 68 dan 69).

  Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman, melalui Sistem pendidikan nasional terdiri dari komponen-komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

  Tindak pidana penggunaan ijazah palsu diatur dalam Pasal 68 ayat (2), dan Psal 69 ayat (1) dan (2) Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

  Pasal 68 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 menyebutkan : Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik,

profesi dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak

  

memenuhi persyaratan dipidana dengan piadan penjara paling lama lima tahun

   dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,(lima ratus juta rupiah).

  Dari Ketentuan pasal 68 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tersebut, maka yang menjadi unsur-unsurnya adalah : a.

  Setiap Orang b. Menggunakan ijzah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan.

41 Ad.a. Unsur : Setiap Orang

  Unsur “setiap orang” disini adalah sama dengan dengan yang diatur dalam

  pasal 137 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, dan Dalam Pasal 263 KUHP, yakni menunjukan pada subyek hukum pidana (kasus penggunaan ijazah palsu) yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ad.b Unsur Menggunakan ijzah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan

  Pada unsur ini “mempergunakan” artinya sama dengan yang dimkasud dalam

  Pasal 137 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 dan dalam Pasal 263 KUHP. Dan dalam unsur ini yang dipergunakan oleh sipelaku harus berupa ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan. Apabila ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi diperoleh 40 dari satuan pendidikan yang memenuhi persyaratan, maka si pelaku tidak terbukti 41 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 68 ayat (2)

Dikutip dari Tarima Saragih , aspek Hukum Pidana Dalam kasus Penggunaan Ijazah Palsu Pada memenuhi unsur ini, oleh karenanya terhadap sipelaku tidak dapat diterapkan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 .

  Berpedoman pada ketentuan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 62 ayat (1),(2) dan (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, yaitu:

  (1) Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin Pemerintah atau pemerintah daerah. (2) Syarat-syarat untuk memperoleh izin meliputi isi pendidikan, jumlah dan

kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan,

pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan

proses pendidikan.

  (3) Pemerintah atau pemerintah daerah memberi atau mencabut izin pendirian satuan

  Terakreditas dibuktikan dengan sertifikat akreditas yakni surat yang menyatakan pengakuan dan penghargaan atas status dan kelayakan suatu sekolah atau perguruan tinggi melalui proses pengukuran dan penilaian kinerja sekolah atau perguruan tinggi mencakup seluruh komponen berdasarkan standar yang diterapkan Badan Akreditas Nasional untuk jenjang pendidikan tertentu, dan dapat dipergunakan dalam penentuan jenjang akreditas sekolah.

  Dalam Pasal 69 ayat (1) yaitu : Setiap orang yang menggunakan ijazah,

  

sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti

palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana

denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah.

  Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 69 ayat 1 adalah

  a. : menggunakan Perbuatannya

  b. : Ijazah palsu, sertifikat kompetensi palsu, gelar Obyeknya akademik palsu, profesi palsu, vokasi palsu.

  Lima obyek tindak pidana Pasal 69 ayat (1) : ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, vokasi yang kesemuanya palsu. Sesungguhnya dalam ayat (1) unsur sengaja dan melawan hukum disebabkan (melekat) karena isi kelima obyek tersebut palsu, sedangkan subyek hukum yang melakukan perbuatan 42 (menggunakan) yang menjadikan objek-objek tersebut palsu.

  

Chazawi, Adami dan Ferdian, Ardi. 2014. Tindak Pidana Pemalsuan ( Tindak Pidana yang

Menyerang Kepentingan Hukum Terhadap Kepercayaan Mengenai Kebenaran Isi Tulisan dan

B. Ruang Lingkup Pembuktian I.

  Sistem pembuktian II. Bukti, Barang Bukti dan Alat Bukti III. Prinsip-Prinsip Pembuktian Pidana

  Andi Hamzah mendefinisakan pembuktian sebagai upaya mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta

   dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa.

  Lain lagi dengan M. Yahya Harahap, S.H., dia beranggapan bahwa yang dimaksud dengan pembuktian adalaha ketentuan yang membatasi sidang

  

  pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran. Proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebanran

   peristiwa tersebut.

  “ Kebenaran biasanya hanya

  mengenai keadaan-keadaan yang tertentu yang sudah lampau. Makin lama waktu lampau itu,makin sukar bagi Hakim untuk menyatakan atas keadaan-keadaan itu. Oleh karena roda pengalaman di dunia tidak mungkin diputarbalikan lagi, maka kepastian seratus persen, bahwa apa yang akan diyakini oleh Hakim tentang suatu keadaan, betul-betul sesuai dengan kebenarannya,tidak mungkin dicapai. Maka acara pidana sebetulnya hanya dapat menunjukan jalan untuk berusaha guna mendekati sebanyak mungkin persesuaian antara keyakinan Hakim dan kebenaran sejati. Untuk mendapat keyakinan ini, Hakim membutuhkan alat-alat guna menggambarkan lagi keadaan-keadaan yang sudah lampau itu.” I.

  Adapun jenis- jenis sistem pembuktian menurut KUHP adalah: Sistem pembuktian terdiri dari dua kata, yaitu kata “sistem” dan

  “pembuktian”. Secara etimologis, kata “sistem” merupakan hasil adopsi dari kata asing “system” (Bahasa Inggris) atau “systemata” (Bahasa Yunani) dengan arti 43 “suatu kesatuan yang tersusun secara terpadu antara bagian-bagian

  

Hamzah, Andi. 1987. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. hal

44 77.

  Harahap, Yahya. 1993. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Pustaka 45 Kartini. hal 22.

  

Prodjohamidjojo, Martiman. 1983.Jakarta: Ghalia 46 Indonesia. hal 1

Prodjodikoro, R.Wirjono dalam buku Mulyadi, Lilik. S.H.2007 Hukum Acara Pidana Normatif, kelengkapannya dengan memiliki tujuan secara pasti” atau “seperangkat

   komponen yang bekerja sama guna mencapai suatu tujuan tertentu”.

  Didalam hukum acara pidana terdapat pihak-pihak yang terlibat dalam rangka membuktikan kebenaran terhadap perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa.

  Sebagai contoh kita lihat didalam Undang-Undang No.08 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Didalam Pasal 1 Undang-Undang No.08 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem pembuktian terdapat elemen-elemen yang menjadi bagian dalam usaha pencarian

  

  kebenaran materiil, yaitu :

  1. Penyidik

  2. Penuntut Umum

  3. Penasihat Hukum

  4. Majelis Hakim

  5. Terdakwa 6. Alat Bukti.

  Elemen-elemen inilah yang menjadi bagian-bagian dalam sistem 47 pembuktian. Artinya elemen-elemen inilah yang membentuk suatu kesatuan yang 48 Diambil dari http://www.karyatulisilmiah.com/pengertian-sistem.html Undang-Undang No.08 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 ayat :

1. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

  

6. a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai

penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap.

b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

  

8. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk

mengadili.

  

13. Penasihat hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasar

undang-undang untuk memberi bantuan hukum.

  15. Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang tersusun secara terpadu untuk mencari kebenaran terhadap perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa.

  Selanjutnya, dalam rangka menerapan “pembuktian“ atau “hukum pembuktian” Hakim lalu bertitik tolak kepada “sistem pembuktian” dengan tujuan mengetahui bagaimna cara meletakan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diadilinya. Untuk itu, secara teoritik guna penerapan sistem pembuktian, pada asanya dikenal 3(tiga) teori tentang sistem pembuktian, yaitu berupa : a.

  Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif atau (Positief

49 Wettelijke Bewijs Theorie )

  Sistem pembuktian positif bergantung keapada alat-alat bukti sebagaimana Hakim dapat mempergunakan kekuatan alat-alat bukti tersebut atau tidaknya perkara yang sedang diadili, karena sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa didasarkan kepada ada tiadanya alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang dapat dipakai membuktikan kesalahan terdakwa. Teori positif wetteljik sangat mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan hakim.

  Jadi sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan dipersidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus dibebaskan.

  Menurut M.Yahya Harahap yaitu “ Pembuktian menurut undang-undang secara positif keyakianahakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikud berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata bergantung kepada alat- alat bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah. Pokoknya apabila sudah dipenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa. Dalam sistem ini, hakim seolah-olah robot pelaksana undang-undang yang tidak memiliki hati nurani. Hati nuraninya seolah-olah tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Meskipun demikian, dari satu segi si9stem ini mempunyai kebaikan. Sistem ini benar-benar menurut hakim,suatu nkewajiban mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknyaterdakwa sesuai dengan tatacara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang. Hakim semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian obyektif tanapa mencampuradukan hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan dengan unsur subyektif keyakinan. Sekali hakim majelis menemukan hasil pembuktian yang obyektifsesuai dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang- undang, mereka tidak perlu lagi menanya dan menguji hasil pembuktian tersebut

  

  dengan keyakinan hati nuraninya.” Kemudian dalam perkembangannya dengan titik tolak aspek negatif dan positif mana baik secara teoritik dan praktik sistem pembuktian menurut undang- undang secara positif (Positief Wettelijke Bewijs Theorie) sudah tidak pernah diterapkan lagi.

  b.

  Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka atau(Conviction

51 Intime/ conviction Raisonce)

  Pada sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim, hakim dapat menjatuhkan putusan perdasarkan “ keyakinan” belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan. Teori ini menyatakan bahwa mengambil keputusan semata-mata berdasarkan keyakinan pribadinyan. Walaupun tidak ada alat bukti, Hakim dapat 50 menjatuhkan pidana dan hakim tidap perlu menyebutkan alasan-alasan

  M.Yahya Harapan dikutip dari buku Mulyadi, Lilik. S.H.2007. Op cit. hal 194 putusannya. Dalam sistem ini hakim mempunyai kebebasan penuh untuk

   menjatuhkan putusan. Subyektifitas hakim sangat menonjol dalam sistem ini.

  Keyakinan hakim mempunyai 2 (dua) bentuk polarisasi, yaitu : “Conviction Intime“ dan “conviction Raisonce” .

  Sistem pembuktian “Conviction Intime“ kesalahan terdakwa bergantung kepada “keyakinan” belaka, sehingga hakim tidak terikat oleh suatu peraturan.

  Sistem pembuktian Conviction In Ralsone masih juga mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim

   yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat.

  Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, Meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang. Yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis dan masuk akal. Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian convition in raisone harus dilandasi oleh "reasoning" atau alasan-alasan dan alasan itu sendiri harus 'reasonable" yakni berdasarkan alasan- alasan yang dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut dengan system

   pembuktian bebas.

52 Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi),(Jakarta: Sinar Grafika.

  53 hal 252 54 Harahap, Yahya. 1993. Op cit. hal 256

Munir Fuady,2006, Teori Hukum Pembuktian : Pidana dan Perdata, Citra aditya, Bandung, hal

  Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan kepada hakim, kepada ken-kesan perseorangan sehingga sulit untuk melakukan pengawasan. Hal ini terjadi di praktik Peradilan Prancis yang membuat pertimbangan berdasarkan metode ini, dan banyak mengakibatkan putusan bebas yang aneh.

  Akan tetapi, penerapan keyakinan hakim tersebut dilakukan secara selektif dalam arti keyakinan hakim ”dibatasi” denan harus didukung oleh “alasan-alasan

   jelas dan rasional” dalam mengambil keputusan.

  c.

  Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negatif

  Wettelijke Bewijs Theorie )

  Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit- dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-undang didukung pula oleh

   adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut.

  Teori pembuktian menurut undang-undang negative tersebut dapat disebut dengan negative wettelijk istilah ini berarti : wettelijk berdasarkan undang-undang sedangkan negative, maksudnya adalah bahwa walaupun dalam suatu perkara terdapat cukup bukti sesuai dengan undang-undang secara terbatas atau disebut juga dengan system undang-undang secara negative sebagai intinya yang

  

  dirumuskan dalam Pasal 183, dapat disimpulkan sebagai berikut :

  55 56 Mulyadi, Lilik. S.H.2007. Op cit. hal 196 57 Ibid. hal 197

Harahap, Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali . Edisi Kedua, Jakarta: Sinar

Grafika. hal 319

  a) Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana; b) Standar tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana. Kelebihan sistem pembuktian negatif (negative wettelijk) adalah dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini harus berdasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari gat bukti yang ditentukan dalam undang-undang.

  Sehingga dalam pembuktian benar-benar mencari kebenaran yang hakiki bukti itu sehingga akan memperlambat waktu dalam membuktikan bahkan memutuskan suatu perkara, karena di lain pihak pembuktian harus melalui penelitian. Tetapi dengan mencari kebenaran melalui penelitian tersebut, maka kebenaran yang terungkap benar-benar dapat dipertanggung jawabkan, dan merupakan kebenaran yang hakiki.

II. Bukti, Barang Bukti dan Alat Bukti

  Asas minimum pembuktian merupakan prinsip yang mengatur batas yang harus dipenuhi untuk membutikan kesalahan terdakwa yaitu :Dengan sekurang- kurangnya dua alat bukti sah (dengan hanya satu alat bukti belum cukup). Kecuali dalam pemeriksaan perkara dengan cara pemeriksaan ”cepat”, dengan satu alat bukti sah saja sudah cupuk mendukung keyakinan hakim.

  1) Bukti KUHAP tidak menjelaskan apa itu bukti. Menurut Kamus Umum Bahasa

  Indonesia, bukti ialah suatu hal atau peristiwa yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal atau peristiwa. Tindakan penyidik membuat BAP Saksi, BAP Tersangka, BAP Ahli atau memperoleh Laporan Ahli, menyita surat dan barang

  

  bukti adalah dalam rangka mengumpulkan bukti. Dengan perkataan lain bahwa :

  a. Berita Acara Pemeriksaan Saksi;

  b. Berita Acara Pemeriksaan Tersangka;

  c. Berita Acara Pemeriksaan Ahli/Laporan Ahli;

  d. Surat dan Barang bukti yang disita, kesemuanya mempunyai nilai sebagai bukti.

  2) Barang Bukti Barang bukti ialah benda baik yang bergerak atau tidak bergerak, yang berwujud maupun yang tidak berwujud yang mempunyai hubungan dengan tindak

  

  pidana yang terjadi. Agar dapat dijadikan sebagai bukti maka benda-benda ini harus dikenakan penyitaan terlebih dahulu oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya benda yang dikenakan penyitaan berada..

   Adapun benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah : a.

  Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruhnya atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari 58 tindak pidana.

   b.

  Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.

  c.

  Benda yang dipergunakan menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.

  d.

  Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana.

  e.

  Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

  3) Alat Bukti KUHAP juga tidak memberikan pengertian mengenai apa itu alat bukti. Akan tetapi pada Pasal 183 KUHAP disebutkan ”Hakim tidak boleh menjatuhkan

  

pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat

bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar

terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

  Rumusan pasal ini memberikan kita garis hukum, bahwa : a.

  Alat bukti diperoleh dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan b. Hakim mengambil putusan berdasarkan keyakinannya.

  c.

  Keyakinan hakim diperoleh dari minimal dua alat bukti yang sah.

   Adapun alat bukti yang sah sebagaimana Pasal 184 KUHAP ialah : i.

  Keterangan saksi ii. Keterangan ahli iii. Surat iv. Petunjuk v. Keterangan terdakwa. i.

  Keterangan Saksi

   Menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP , keterangan saksi adalah salah satu alat

bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu

peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri

61 dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. 62 Pasal 184 KUHAP

Pasal 1 butir 27 KUHAP Undang-Undang Republik Indonesia No.8 Tahun 1981 Tentang

  Mengenai hal yang berhubungan dengan tata cara pemeriksaan, bahkan mengenai ruang lingkup pemeriksaan saksi sudah banyak dibicarakan. Syarat- syarat menjadi seorang saksi menurut Andi Hamzah adalah bahwa, ”Pada

  

  umumnya semua orang dapat menjadi saksi”. Akan tetapi ada kekecualian

   menjadi seorang saksi, sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 168 KUHAP.

  Saksi wajib disumpah sebelum memberikan kesaksiannya di sidang pengadilan. Dalam hal saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji tersebut, KUHAP masih mengikuti peraturan lama (HIR), dimana ditentukan bahwa pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak suatu kesaksian sebagai alat bukti.

  dikatakan bahwa sebelum memberikan

  keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa seorang saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Dan pengucapan sumpah itu

   merupakan syarat mutlak suatu kesaksian, Pasal 161 Ayat (1) dan (2) KUHAP. .

  Penjelasan Pasal 161 Ayat (2), menunjukkan bahwa pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak seorang saksi sebagaimana yang dikatakan oleh Andi

  63 64 Hamzah, Andi. 2008., Op. cit. hal. 268.

  

Kekecualian ditentukan lain dalam undang-undang, maka tidak dapat didengar keterangannya

dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga

dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara

bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara

terdakwa sampai derajat ketiga; 65 c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

  

Ibid, hal. 78, berbunyi: Sebelum memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah

atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang

sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.

67 Hamzah sebagai berikut: ”Keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau

  mengucapkan janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.” Berdasarkan pemaparan tersebut di atas mengenai keterangan saksi, maka dapat dikatakan syarat-syarat sahnya keterangan saksi menurut M. Yahya Harahap adalah:

  a. Harus mengucapkan sumpah atau janji;

  b. Keterangan saksi tersebut harus bernilai sebagai bukti;

  c. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan;

  d. Keterangan saksi saja dianggap tidak cukup;

  e. Keterangan saksi harus terdiri dari beberapa orang saksi dan apa yang dipersaksikan itu harus saling berhubungan satu sama yang lainnya.

  Jadi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi, artinya agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian harus dipenuhi syarat- syarat keterangan saksi seperti yang dijelaskan di atas.

  Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi. Yang memenuhi syarat sah keterangan saksi (4 syarat) :

1) Diterima sebagai alat bukti sah.

  2) Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas (bersifat tidak sempurna dan tidak mengikat).

  3) Tergantung penilaian hakim (hakim bebas namun bertanggung jawab menilai kekuatan pembuktian keterangan saksi untuk mewujudkan kebenaran hakiki).

  4) Sebagai alat bukti yang berkekuatan pembuktian bebas, dapat dilumpuhkan terdakwa dengan keterangan saksi a de charge atau alat bukti lain. ii.

  Keterangan Ahli

   Menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP , keterangan ahli adalah keterangan yang

diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang

diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan

pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

  Dalam terjemahan yang dikemukakan oleh Andi Hamzah, seseorang dapat memberikan keterangan sebagai ahli jika ia mempunyai pengetahuan, keahlian, pengalaman, latihan, atau pendidikan khusus yang memadai untuk memenuhi

   syarat sebagai seorang ahli tentang hal yang berkaitan dengan keterangannya.

  Keterangan yang diberikan oleh orang memiliki keahlian tentang hal yang diperlukan membuat terang suatu perkara pidana untuk kepentingan pemeriksaan Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyelidik atau penuntu umum yang dituangkan dalam bentuk suatu laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu menerima jabatan atau pekerjaan.

  Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli :

  a) Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas

  b) Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat atau 68 menentukan

Pasal 1 butir 28 KUHAP

  c) Penilaian sepenuhnya terserah pada hakim iii.

  Surat Menurut Pasal 187 KUHAP, Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat

   (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: a.

   Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.

  c.

   Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya; d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

  Surat Keterangan dari seorang ahli : 1.

  Memuat pendapat berdasarkan keahliannya.

  2. Mengenai suatu hal atau suatu keadaan 3.

  Yang diminta secara resmi dari padanya 4. Dibuat atas sumpah jabatan, atau dikuatkan dengan sumpah

  Contoh : Visum et Repertum Ada 2 bentuk surat : 1.

  Surat Authentik/ Surat Resmi a. Dibuat oleh pejabat yang berwenang, atau oleh seorang ahli atau dibuat menurut ketentuan perundang-undangan, b.

  Dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah.

  2. Surat Biasa/Surat Di Bawah Tangan Hanya berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

  Contoh : Izin Bangunan, Akte Kelahiran, Paspor, Kartu Tanda Penduduk, Ijazah, Surat Izin Mengemudi, dll.

  Nilai Kekuatan Pembuktian Surat: a.

  Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas b. Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat atau menentukan (lain halnya dalam acara perdata) c.

  Penilaian sepenuhnya terserah keyakinan hakim iv. Petunjuk

   Menurut Pasal 188 KUHAP ayat (1), Petunjuk adalah perbuatan, kejadian

atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang

Dokumen yang terkait

Pengaruh Promosi Jabatan dan Pemberian Insentif Terhadap Kinerja Karyawan (Studi Pada Bank Sumut Kantor Cabang Utama Medan)

0 1 13

Analisis Pengaruh Ekuitas Merek Terhadap Keputusan Pembelian Mobil Toyota New Avanza (Studi Kasus Pada Auto 2000 Sm. Raja Medan)

1 1 15

Analisis Pengaruh Ekuitas Merek Terhadap Keputusan Pembelian Mobil Toyota New Avanza (Studi Kasus Pada Auto 2000 Sm. Raja Medan)

0 0 13

BAB II PENGATURAN INDUK PERUSAHAAN DAN ANAK PERUSAHAAN DI INDONESIA E. Sejarah Singkat Perusahaan Grup - Hubungan Induk Perusahaan Dan Anak Perusahaan Dalam Kaitannya Dengan Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Indonesia Menurut U

0 0 32

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Hubungan Induk Perusahaan Dan Anak Perusahaan Dalam Kaitannya Dengan Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Indonesia Menurut Uu No. 5 Tahun 1999

0 0 18

Hubungan Induk Perusahaan Dan Anak Perusahaan Dalam Kaitannya Dengan Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Indonesia Menurut Uu No. 5 Tahun 1999

0 0 11

BAB II PERKEMBANGAN GRATIFIKASI MENURUT UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA A. Perkembangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia - Perkembangan Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut

0 0 29

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perkembangan Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

0 0 26

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA PENERBIT DAN PEDAGANG A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukum Perjanjian - Tinjauan Yuridis Perjanjian Kerjasama Electronic Data Capture Antara Bank Dengan Pedagang (Merchant) M

0 1 36

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Perjanjian Kerjasama Electronic Data Capture Antara Bank Dengan Pedagang (Merchant) Menurut Kuh Perdata Dan Pbi Nomor 16/8/Pbi/2014 (Studi Pada Pt. Bank Negara Indonesia, Tbk Medan)

0 0 13