Karakteristik Penderita Thalassemia di RSU Sari Mutiara Medan Tahun 2012-2014

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi Thalassemia

  Thalassemia diartikan sebagai sekumpulan gangguan genetik yang mengakibatkan berkurang atau tidak ada sama sekali sintesis satu atau lebih rantai globin (Ganie, 2004). Menurut Potts dan Mandleco, Thalassemia adalah gangguan genetik autosom resesif yang diturunkan, dengan karakteristik adanya gangguan

  k

  sintesis rantai hemoglobin. Thalassemia merupakan elainan darah yang diturunkan dari orang tua kepada anak-anak melalui gen yang menyebabkan tubuh membuat sel darah merah sehat dan hemoglobin dalam jumlah yang lebih sedikit daripada jumlah normal (NHLBI, 2012).

  Penyakit kelainan darah ini menyebabkan sel darah merah di dalam pembuluh darah cepat hancur sehingga usia sel-sel darah merah menjadi lebih mampu bertahan hingga 120 hari, pada penderita thalassemia sel darah merah hanya mampu bertahan kurang dari 120 hari (sekitar 20-30 hari) (Wijayaningsih, 2013).

  Nama Thalassemia berasal dari gabungan dua kata Yunani yaitu thalassa yang berarti lautan dan anaemia

  (‘weak blood”). Kata thalassa digunakan karena

  gangguan darah ini pertama kali ditemui pada pasien yang berasal dari Negara- negara sekitar Mediterranean. Thalassemia ditandai oleh kurangnya sintesis rantai globin atau penurunan jumlah rantai globin. Thalassemia pertama kali ditemukan oleh seorang dokter di Detroit USA yang bernama Thomas B. Cooley pada tahun 1925 (Ganie, 2004).

  Mayoritas Thalassemia melib atkan rantai α ataupun β globin. Thalassemia diturunkan oleh orang tua yang carrier kepada anaknya. Sebagai contoh, jika ayah dan ibu memiliki gen pembawa sifat Thalassemia (Thalassemia trait), maka kemungkinan anaknya untuk menjadi carrier Thalassemia adalah sebesar 50%, kemungkinan menjadi penderita Thalassemia mayor 25% dan kemungkinan menjadi anak normal yang bebas Thalassemia hanya 25 % (Mambo, 2009). Keadaan tersebut dapat dilihat melalui gambar di bawah ini:

Gambar 2.1 Siklus Penurunan Penyakit Thalassemia (www.detak-unsyiah.com)

2.2 Klasifikasi Thalassemia

  Thalassemia diklasifikasikan dalam dua kelompok utama sesuai rantai globin yang terlibat, yaitu Thalassemia alfa dan Thalassemia beta (Muttaqin, 2009).

2.2.1 Thalassemia Alfa

  Terdapat dua gen α globin pada tiap pasang kromosom 16. Genotip normal α globulin digambarkan αα/αα (Permono, dkk, 2010). Kelainan ini terjadi akibat adanya penurunan sintesis rantai alfa. Pada kebanyakan penderita di Asia dengan sindrom Thalassemia-

  α, defek biokimia primernya adalah berupa penghapusan dari satu, du a, tiga, atau keempat gen globin α (Jones, 1995). Dikenal empat macam Thalassemia alfa berdasarkan banyaknya gen yang terganggu : a. Silent Carrier (Pembawa Tersembunyi)

  Merupakan delesi 1 rantai globin α. Kelainan hemoglobin sangat dilihat dari pemeriksaan laboratorium secara molekuler (CAF, 2013).

  b. Thalassemia Alfa Trait Merupakan delesi 2 rantai globin α. Pada kelainan ini terjadi anemia ringan dan eritrosit hipokromik, dapat menjadi carrier (Ganie, 2004). c. Hemoglobin H Disease Merupakan delesi 3 rantai globin α. Seseorang yang mengalami kondisi ini akan menderita anemia sedang sampai berat, disertai dengan pembesaran limpa (CAF, 2013).

  d. Thalassemia Alfa Mayor atau Hydrops Fetalis Merupakan delesi 4 rantai globin α. Terjadi anemia yang parah dan kematian janin dalam kandungan. Selain itu, beberapa komplikasi maternal termasuk preeklamsia, ante partum perdarahan, dll sering terjadi pada wanita hamil dengan kondisi ini (TIF, 2014). Biasanya bayi akan meninggal dalam kandungan atau setelah dilahirkan karena kadar hemoglobin normal tidak mungkin terbentuk (CAF, 2013).

2.2.2 Thalassemia Beta

  dan gejala bervariasi. Thalassemia Beta dibagi atas :

  a. Thalassemia Beta Minor atau Trait Pada jenis ini, penderita memiliki satu gen normal dan satu gen yang bermutasi. Penderita mungkin mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel darah merah yang mengecil (mikrositer) (Kiswari, 2014). Namun, kebanyakan penderitanya bersifat asimtomatik (sering tanpa gejala) (Tartowo, dkk, 2008). b. Thalassemia Intermedia Pada kondisi ini, kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa memproduksi sedikit rantai beta globin. Penderita biasanya mengalami anemia yang derajatnya tergantung dari mutasi gen yang terjadi (Kiswari, 2014).

  c.

  Thalassemia Mayor (Cooley‟s Anemia) Pada kondisi ini, kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat memproduksi rantai beta globin. Biasanya gejalanya muncul pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa anemia yang berat (Kiswari, 2014). Penderita Thalassemia mayor memerlukan transfusi darah yang rutin yang perawatan medis demi kelangsungan hidupnya. Jika dilakukan transfusi darah yang terus menerus akan terjadi penumpukan zat besi yang berisiko terhadap kegagalan fungsi jantung, ginjal, hati, gonad ciri anemia yang khas (CAF, 2013) diantaranya : a.1 Pucat, anemia, kurus, hepatosplenomegali, dan icterus ringan, mulai nampak pada bayi berumur 3-6 bulan. a.2 Pertumbuhan lambat (kerdil) a.3 Hidung pesek tanpa pangkal hidung, jarak antara kedua mata lebar dan tulang dahi lebar. a.4 Kulit pucat kekuning-kuningan, jika sering dilakukan transfusi warna kulit menjadi kelabu karena penimbunan besi pada jaringan kulit (Tartowo, dkk, 2008). Keadaan tersebut dapat dilihat melalui gambar di bawah ini:

Gambar 2.2 KondisiAnak yang Menderita Thalassemia

  (dentosca.wordpress.com)

2.3 Patogenesis Thalassemia

  Hemoglobin dewasa atau HbA mengandung dua rantai α dan dua rantai β, ditandai oleh dua gen globin β yang bertempat pada masing-masing dari dua kromosom nomor 11. Sebaliknya, dua pasang gen α globin yang fungsional berada pada setiap kromosom nomor 16 (Robbins, 1995).

  Pada pasien dengan Thalassemia terjadi penurunan sintesis rantai globin (alfa dan beta) sehingga menyebabkan anemia karena hemoglobinisasi eritrosit yang tidak efektif. Eritrosit yang normalnya dapat hidup sampai dengan 120 hari, menjadi mudah rusak dan umur sel darah merah menjadi kurang dari 100 hari.

  Pasien dengan Thalassemia alfa disebabkan karena penurunan sintesis globin α. Setiap orang normal dewasa mempunyai 4 kopi rantai hemoglobin, semuanya mengandung unsur rantai alfa. Jika seseorang terdapat tiga gen globin alfa, maka disebut sebagai pembawa yang tersembunyi (Silent Carrier), jika hanya terdapat 2 gen globin alfa disebut Trait Thalassemia Alfa (Thalassemia Minor), jika hanya terdapat 1 gen globin alfa dinyatakan mempunyai penyakit hemoglobin H, dan jika tidak memiliki sama sekali gen globin alfa maka dapat berakibat fatal pada bayi, yang dapat menyebabkan kematian.

  Thalassemia beta terjadi akibat penurunan atau tidak adanya rantai globin β, hal ini disebabkan karena adanya mutasi. Penurunan rantai beta menyebabkan rantai alfa tidak stabil sehingga berakibat pada kerusakan membrane eritrosit.

  Eritrosit mudah rusak sebelum waktunya sehingga dapat menyebabkan anemia berat. Di sisi lain pemecahan hemoglobin akan menghasilkan zat besi yang kemudian akan terjadi penimbunan pada hati, kulit, dan limpa dan pada jangka waktu yang lama menimbulkan komplikasi yaitu kegagalan fungsi organ seperti hati, endokrin, dan jantung (Tartowo, dkk, 2008).

  Kurangnya oksigen dalam aliran darah menyebabkan tanda-tanda dan gejala Thalassemia. Kekurangan oksigen terjadi karena tubuh tidak membuat seldarah merah dan hemoglobin yang sehat dalam jumlah yang cukup. Tingkat keparahan gejala tergantung pada tingkat keparahan kelainan yang terjadi.

  Rantai α terdapat pada Hb F (fetal haemoglobin) dan Hb A (adult haemoglobin), maka penyakit ini dapat terjadi pada masa janin dan usia dewasa (HTA Indonesia, 2010). Thalassemia alfa silent carrier umumnya tidak memiliki tanda-tanda atau gejala gangguan. Hal ini dikarenakan kekurangan protein alfa globin hanya dalam jumlah yang sangat kecil, sehingga hemoglobin dalam darah masih dapat bekerja secara normal.

  Penderita Thalassemia alfa trait dan Thalassemia beta trait dapat mengalami anemia ringan. Namun, sebagian besar dari penderita Thalassemia jenis ini tidak memiliki tanda-tanda atau gejala. Anemia ringan dapat membuat penderitanya mudah merasa lelah.

  Hampir semua anak dengan Thalassemia β homozigot dan heterozigot memperlihatkan gejala klinis sejak lahir, seperti gagal tumbuh, kesulitan makan, infeksi berulang, dan badan yang lemah. Bayi nampak lebih pucat dan didapatkan splenomegaly (Permono, dkk, 2010).

  Seseorang yang menderita Thalassemia beta intermedia mengalami anemia ringan sampai sedang. Penderita Thalassemia jenis ini juga mungkin memiliki masalah kesehatan lainnya, seperti:

  Pertumbuhan dan perkembangan yang terhambat. Anemia dapat memperlambat pertumbuhan dan perkembangan anak.

  b.

  Permasalahan pada tulang. Thalassemia dapat menyebabkan permasalahan pada perkembangan sumsum tulang. Sumsum tulang adalah zat spons dalam tulang yang berfungsi untuk membuat sel-sel darah. Ketika sumsum tulang mengembang, ukuran tulang menjadi lebih luas dari biasanya. Hal tersebut memungkinkan tulang menjadi rapuh dan mudah patah.

  c.

  Pembesaran limpa. Limpa adalah organ yang membantu tubuh melawan infeksi dan menghilangkan materi yang tidak diinginkan. Ketika seseorang menderita Thalassemia, limpa harus bekerja sangat keras. Akibatnya, ukuran limpa menjadi lebih besar dari biasanya. Hal ini menyebabkan anemia berat. Jika ukuran limpa menjadi terlalu besar, maka harus dilakukan tindakan operasi pengangkatan limpa tersebut.

  Penderita hemoglobin H disease dan Thalassemia beta mayor (Cooley ‟s Anemia) dapat mengalami anemia dengan tingkat yang berat. Tanda dan gejala biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama kehidupan. Penderita akan mengalami anemia berat dan masalah kesehatan lainnya, seperti: a.

  Wajah pucat b. Lemas c. nafsu makan menurun d. Urin berwarna lebih pekat (tanda bahwa sel-sel darah merah yang rusak) e. Pertumbuhan dan perkembangan yang terhambat

  Warna kekuningan pada kulit atau putih mata g.

  Pembesaran limpa, hati, atau jantung h. Masalah tulang (terutama dengan tulang di wajah) (NHLBI, 2012).

  Keadaan tersebut dapat dilihat melalui gambar di bawah ini:

Gambar 2.3 Bentuk Wajah Penderita Thalassemia (thalassemiainfo.blogspot.com)

2.5 Komplikasi Thalassemia

  Pengobatan yang semakin maju sekarang ini memungkinkan para penderita Thalassemia untuk hidup lebih lama lagi. Namun, pengobatan dan perawatan tersebut juga mengakibatkan efek samping yang membuat para penderita Thalassemia mengalami komplikasi. Komplikasi yang dialami penderita Thalassemia tersebut yakni : a.

  Jantung dan Liver Transfusi darah secara teratur merupakan perawatan standar untuk penderita Thalassemia. Namun, transfusi darah tersebut dapat menyebabkan peningkatan jumlah zat besi dalam darah.. Hal ini dapat merusak organ dan jaringan, terutama jantung dan hati.

  Penyakit jantung yang disebabkan oleh kelebihan zat besi adalah penyebab utama kematian pada seseorang yang menderita Thalassemia. jantung tidak teratur), dan serangan jantung (NHLBI, 2012).

  b.

  Infeksi Di antara para penderitaThalassemia, infeksi merupakan penyebab utama penyakit dan penyebab paling umum kedua kematian dari para penderita Thalassemia. Para penderita Thalassemia yang telah menjalani operasi pengangkatan limpa memiliki risiko lebih tinggi, karena mereka tidak lagi memiliki organ untuk melawan infeksi ini (NHLBI, 2012).

  Infeksi dapat terjadi karena berbagai alasan. Pada usia bayi, tanpa transfusi adekuat, anak dengan anemia rentan terhadap infeksi bakteri.

  Infeksi pneumokokus, Haemophilus, dan meningokokus mungkin terjadi jika sudah dilakukan splenektomi dan penisilin profilaktik tidak diberikan.Transfusi virus melalui transfusi darah dapat terjadi. Penyakit hati pada Thalassemia tersering disebabkan oleh hepatitis C, tetapi hepatitis B juga sering ditemukan. Virus imunodefisiensi manusia (HIV) telah ditularkan kepada beberapa pasien melalui transfusi darah (Hoffbrand & Moss, 2013).

  c.

  Osteoporosis Banyak dari para penderita Thalassemia yang memiliki masalah pada tulang, termasuk osteoporosis. Osteoporosis merupakan suatu kondisi dimana tulang lemah, rapuh dan mudah patah (NHLBI, 2012).

2.6.1 Distribusi dan Frekuensi Thalassemia Berdasarkan Orang

  Berdasarkan penelitian Dwi Sarwani S.S., dkk, di Yayasan Talasemia Indonesia Cabang Banyumas tahun 2012, terdapat 51,6% penderita Thalassemia berjenis kelamin laki-laki dan 48,4% berjeniskelamin perempuan. Menurut penelitian Anggraini di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung melaporkan bahwa penderita Thalassemia berjenis kelamin laki-laki sebanyak 32 orang dan berjenis kelamin perempuan sebanyak 25 orang (Rejeki, dkk, 2012).

  Pada penelitian yang dilakukan Sandra Bulan yang melibatkan 55 penderita Thalassemia beta mayor yang mendapat transfusi di UTD PMI dan RS dr. Kariadi Semarang, menunjukkan bahwa sebagian besar penderita Thalassemiabeta mayor yang menjadi subyek penelitian berjenis kelamin wanita 30 (54,5%). Rerata umur subyek penelitian 9,8 ± 3,40 tahun. Sebaran umur merata di semua kelompok umur. Rerata umur subyek penelitian saat didiagnosis menderita Thalassemia beta mayor adalah 2,7±2,47 tahun. Umur pertama didiagnosa sebagian besar berumur 0-1 tahun sebesar 29 (52,7%) (Bulan, 2009). Proporsi penderita Thalassemia Beta terting gi adalah pada kelompok umur ≤ 15 tahun sebesar 84,5% (Lazuana, 2014).

  Menurut penelitian Humris-Pleyte tahun 2001 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusuomo Jakarta, ditemukan bahwa dari 192 kasus Thalassemia yang diteliti terdapat sebanyak 59,4% kasus diagnosanya sudah dapat ditegakkan sebelum anak berusia 1 tahun, 33,3% kasus pada saat anak berusia 1-2 tahun, dan 7,3% kasus diagnosisnya ditegakkan sebelum anak berusia 2 tahun (Suprianto, Thalassemia yang menjalani terapi di RSCM tahun 2011 terdapat 719 penderita (47,93%) berada pada rentang usia 6-15 tahun dan mendapatkan transfusi satu kali setiap bulan (Rahayu, 2012).

2.6.2 Distribusi dan Frekuensi Thalassemia Berdasarkan Tempat

  Penyakit Thalassemia tersebar luas di daerah Mediterania seperti Italia, Yunani, Afrika bagian utara, kawasan Timur Tengah, India Selatan, Sri Lanka sampai kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia, daerah ini dikenal sebagai kawasan Thalassemia. Frekuensi Thalassemia di Asia Tenggara antara 3-9% (Yunanda, 2008). Perpindahan penduduk dan pernikahan antar suku bangsa menjadikan Thalassemia menyebar luas di seluruh belahan dunia, termasuk Eropa Utara, dimana Thalassemia yang sebelumnya tidak ditemukan hingga menjadi masalah kesehatan serius bagi penduduknya (Eleftheriou, 2007).

  Thalassemia Alfa dijumpai dalam jumlah yang besar di Asia Tenggara (Thailand, Semenanjung Melayu, dan Indonesia), daerah Mediterania, Timur Tengah dan Afrika Barat. Thalassemia beta mempunyai distribusi yang luas di dunia ini. Sering dijumpai di daerah sekitar Mediterania dan beberapa bagian dari Timur Tengah, India, Pakistan, dan Asia Tenggara. Di daerah-daerah ini frekuensi pembawa gen Thalassemia beta bervariasi antara 2 dan 30% (Jones, 1995).

  Secara umum, prevalensi penyakit keturunan di Kalimantan Timur adalah 8,3%, untuk penyakit Thalassemia sendiri sebesar 0,2% (Balitbangkes Depkes RI, 2009). Menurut data dari RS Hasan Sadikin Bandung, jumlah penderita Thalassemia di seluruh Jawa Barat mencapai sekitar 2000 orang (RSHS Bandung, populasi di kota Medan mempunyai prevalensi carrier Thalassemia 7,69%, dimana prevalensi carrier

  Thalassemia α sebesar 3,35%, selebihnya adalah

  carrier Thalassemia β dan Hb-E (Ganie, 2004).

2.6.3 Distribusi dan Frekuensi Thalassemia Berdasarkan Waktu

  Lie-Injo Luan Eng dan Yo Kian Tjai tahun 1955 melaporkan adanya 3orang anak yang menderita Thalassemia mayor dan 4 tahun kemudian ditemukan 23 orang anak yang menderita Thalassemia di Indonesia. Dalam kurun waktu 17 tahun, yaitu dari tahun 1961 hingga tahun 1978 telah ditemukan tidak kurang dari

  300 penderita Thalassemia.Manurung (1978) dari bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Sumatera Utara Medan telah melaporkan 13 kasus (Ganie, 2005).

  Data yang diperoleh dari Perhimpunan Yayasan Talasemia Indonesia menunjukkan bahwa hingga Juni 2008, di RSCM telah merawat 1.433 pasien.

  Sejak 2006 sampai 2008 rata-rata pasien baru Thalassemia meningkat sekitar 8%.Data sampai bulan Juli 2011 tercatat 1.500 pasien di Unit Thalassemia RSCM.

  Data dari klinik Thalassemia menyatakan, di RS Hasan Sadikin Bandung, pada 2013 tercatat 600-700 penderita thalassemia yang menjalani transfusi darah, dan sekira 450 dari pasien tersebut adalah anak ( RSHS Bandung, 2014).

  Jumlah penderita Thalassemia di Yayasan Talasemia Indonesia cabang Banyumas terus meningkat, pada tahun 2008 terdapat 44 penderita, pada tahun 2009 meningkat 32,3% menjadi 65 penderita. Pada tahun 2010, penderita Thalassemia meningkat lagi 53,85% menjadi 100 penderita dan tahun 2011

2.6.4 Determinan Thalassemia Genetik

  Thalassemia merupakan penyakit yang diturunkan dari orang tua kepada anak-anak melalui gen. Thalassaemia adalah gangguan gen tunggal yang menurun dari orang tua kepada anaknya secara autosomal resesif. Penyakit 'autosomal' dapat menyerang laki-laki maupun perempuan. 'Resesif' berarti bahwa anak dapat memperoleh kelainan gen dari ayah maupun ibunya, yang apabila diturunkan dari keduanya dapat berakibat berat, yakni menderita Thalassemia mayor (Eleftheriou, 2007).

  Penyakit ini diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen alfa globin dan gen beta globin yang terletak pada kromosom 16 dan kromosom 11. Pada manusia, kromosom selalu ditemukan berpasangan. Kelainan sebelah gen globin disebut carrier Thalassemia. Seorang carrier Thalassemia tampak sehat, sebab masih ada sebelah gen globin yang normal dan dapat berfungsi dengan baik. Seorang carrier Thalassemia biasanya tidak memerlukan pengobatan. Kelainan gen globin yang terjadi pada kedua kromosom disebut Thalassemia mayor (homozigot). Kedua belah gen yang mengalami kelainan berasal dari kedua orang tua yang masing-masing carrier Thalassemia.

  Pada proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen globin dari ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya. Bila kedua orang tuanya masing-masing carrier Thalasemia, maka pada setiap pembuahan akan mendapatkan gen globin yang berubah (gen Thalassemia) dari ayah dan ibunya, sehingga anak akan menderita Thalassemia. Sedangkan bila anak hanya mendapat sebelah gen Thalassemia dari ibu atau ayahnya, maka anak akan menjadi carrier Thalassemia. Kemungkinan lainnya adalah anak mendapatkan gen globin normal dari kedua orang tuanya, sehingga anak tersebut tidak menderita Thalassemia ataupun membawa sifat Thalassemia (Eijkman, 2005).

2.7 Pencegahan Thalassemia

2.7.1 Pencegahan Primer a.

  Edukasi Edukasi masyarakat tentang Thalassemia memegang peranan yang sangat penting dalam program pencegahan. Masyarakat harus diberi pengetahuan tentang penyakit yang bersifat genetik dan diturunkan, terutama tentang Thalassemia yang frekuensi carriernya cukup tinggi di masyarakat.

  Pendidikan genetika harus diajarkan di sekolah, demikian pula pengetahuan tentang gejala awal Thalassemia. Media massa harus dapat berperan lebih aktif dalam menyebarluaskan informasi tentang Thalassemia, meliputi gejala awal, cara penyakit diturunkan, dan cara pencegahannya (HTA Indonesia, 2010).

  Skrining carrier Skrining Thalassemia ditujukan untuk menjaring individu carrier

  Thalassemia pada suatu populasi, idealnya dilakukan sebelum memiliki anak. Skrining ini bertujuan untuk mengidentifikasi individu dan pasangan

  carrier , dan menginformasikan kemungkinan mendapat anak dengan Thalassemia dan pilihan yang dapat dilakukan untuk menghindarinya.

  Skrining dapat dilakukan di sekolah, klinik dokter keluarga, klinik keluarga berencana, klinik antenatal, saat pranikah, atau pada saat bayi baru lahir. Pendekatan genetik klasik dalam mendeteksi carrier berdasarkan penelusuran silsilah keluarga dianggap kurang efektif dibanding dengan skrining populasi. Bila ada individu yang teridentifikasi sebagai carrier, maka skrining pada anggota keluarga yang lain dapat dilakukan (HTA Indonesia, 2010).

  c.

  Konseling Genetik Pra-Nikah Konseling genetik pra-nikah ditujukan untuk pasangan pra-nikah terutama pada populasi yang berisiko tinggi agar memeriksakan diri apakah mereka mengemban sifat genetik tersebut atau tidak. Konseling ini juga ditujukan kepada mereka yang memiliki kerabat penderita Thalassemia.

  Tujuan utama dari konseling pra-nikah adalah untuk mencegah terjadinya perkawinan antar carrier. Hal ini mengingat bahwa mereka berpeluang 25% untuk mendapatkan anak dengan Thalassemia mayor. Jika pasangan antar carrier tetap memutuskan untuk menikah, mereka diagnosis pada awal kehamilan (Ganie, 2004).

  d.

  Pre-Natal Diagnosis Tujuan dari pre-natal diagnosis adalah untuk mengetahui sedini mungkin apakah janin yang dikandung menderita Thalassemia atau tidak.

  Diagnosis pre-natal pada Thalassemia dapat dilakukan pada usia 8-10 minggu kehamilan dengan sampel villi chorialis sehingga masih memungkinkan untuk melakukan terminasi jika dibutuhkan (Ganie, 2004).

2.7.2 Pencegahan Sekunder a.

  Transfusi Darah (NHLBI, 2012) Transfusi darah adalah perawatan utama bagi orang-orang yang menderita

  Thalassemia. Perawatan ini bertujuan untuk memberikan sel-sel darah merah yang sehat bagi penderita. Penderita beta Thalassemia mayor (anemia Cooley) membutuhkan transfusi darah secara teratur (setiap 2 minggu sekali ataupun 1 bulan sekali). Transfusi ini membantu para penderita Thalassemia untuk mempertahankan hemoglobin normal dan kadar sel darah merah. Transfusi darah membuat para penderita Thalassemia merasa lebih sehat, sehingga dapat menikmati kegiatan normal, dan hidup sampai dewasa.

  Transfusi darah yang teratur perlu dilakukan untuk mempertahankan hemoglobin penderita di atas 10 g/dL.

  b.

  Medikamentosa (Permono, dkk, 2006) darah. Kondisi ini disebut kelebihan zat besi. Kondisi tersebut dapat merusak hati, jantung, dan bagian lain dari tubuh. Untuk mencegah kerusakan ini, maka dilakukan suatu bentuk terapi khelasi zat besi untuk membuang kelebihan zat besi dari tubuh. Pemberian terapi khelasi zat besi (deferoxamine) diberikan setelah kadar ferritin serum sudah mencapai 1000 mg/l atau sekitar 10-20 kali transfusi darah. b.2 Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian khelasi besi, untuk mengikatkan efek khelasi besi. b.3 SuplemenAsam Folat Asam folat adalah vitamin B yang membantu membangun sel-sel darah merah yang sehat. Pemberian asam folat 2-5 mg/hari dapat memenuhi kebutuhan tubuh. b.4 Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel darah merah.

  c.

  Splenektomi Ketika limpa menjadi terlalu aktif dan mulai menghancurkan sel-sel darah merah, transfusi menjadi semakin dan terus semakin kurang efektif. Kemudian menjadi perlu suatu pembedahan untuk mengangkat limpa tersebut. Operasi ini disebut splenektomi (Vullo, dkk, 1995).

  Splenektomi dapat menurunkan kebutuhan sel darah merah sampai 30% pada pasien yang indeks transfusinya (dihitung dari penambahan PRC yang melebihi 200 ml/kg/tahun. Karena adanya risiko infeksi, splenektomi sebaiknya ditunda hingga penderita mencapai usia 5 tahun. Sedikitnya 2-3 minggu sebelum dilakukan splenektomi, penderita Thalassemia sebaiknya di vaksinasi dengan vaksin pneumococcal dan Haemophlus influenzae type B dan sehari setelah operasi diberi penisilin profilaksis. Bila terjadi reaksi alergi, penisilin dapat diganti dengan eritromisin (Permono, dkk, 2010).

  Splenektomi dilakukan dengan indikasi : 1.

  Limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan peningkatan tekanan intra abdominal dan bahaya terjadinya ruptur.

  2. Hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau kebutuhan suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu tahun (Permono, B, dkk, 2006).

2.7.3 Pencegahan Tersier

  Pencegahan tersier adalah suatu usaha untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi bagi penderita Thalassemia. Pencegahan tersier bagi penderita Thalassemia adalah dengan mendirikan suatu organisasi atau perhimpunan orang tua penderita Thalassemia tersebut. Para penderita Thalassemia membutuhkan dana yang cukup besar untuk tetap dapat bertahan agen pengkhelat besi yang memadai. Oleh karena itu keberadaan suatu organisasi maupun LSM yang berkaitan dengan penyakit Thalassemia ini sangat dibutuhkan kehadirannya untuk memudahkan penghimpunan dana dan sebagai sarana untuk saling bertukar informasi tentang Thalassemia.

  Perhimpunan Thalassemia Indonesia saat ini telah ada di Jakarta dengan nama Yayasan Thalassemia Indonesia Pusat, dan sudah memiliki cabang di beberapa kota, yakni Bandung, Yogyakarta, Semarang, Purwokerto, dan Cianjur. Organisasi serupa juga perlu dikembangkan di daerah lainnya. Partisipasi orang tua penderita dan masyarakat sangat diharapkan untuk menghimpun dana bagi penderita yang kurang mampu. Selain itu, memlalui wadah ini para orang tua penderita diharapkan dapat sering bertemu untuk bertukar, informasi, pikiran, serta pengalaman dalam mengatasi masalah kesehatan dan psikologis putra-putri mereka.

  Perkumpulan seperti ini jika dikelola dengan baik dapat memberikan dukungan moral kepada orang tua, agar mereka tidak merasa frustasi dan sendiri dalam menghadapi masalah berat berkaitan dengan penyakit Thalassemia yang diderita anaknya (Ganie, 2005).

2.8 Kerangka Konsep

  Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka di atas, maka kerangka konsep dari penelitian ini digambarkan sebagai berikut :

KARAKTERISTIK PENDERITA THALASSEMIA 1.

  Sosiodemografi Umur Jenis Kelamin Suku Agama Pendidikan Daerah Asal 2. Keluhan Utama 3. Jenis Thalassemia 4. Penatalaksanaan Medis 5. Jumlah kunjungan dalam satu bulan 6. Sumber Biaya

Dokumen yang terkait

BAB 1 PENDAHULUAN - Sikap dan Keterampilan Perawat dalam Penerapan Tindakan Triage di IGD RSUD Dr. Pirngadi Medan

0 3 7

ANGKET Hubungan Pengetahuan Remaja Putri Tentang Dismenore dengan Motivasi untuk Periksa ke Pelayanan Kesehatan di SMU YPSA- Medan

0 0 11

Studi Kualitatif Pemenuhan Gizi Ibu Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Mencirim Kecamatan Sunggal Kabupaten Deliserdang Tahun 2013

0 0 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Studi Kualitatif Pemenuhan Gizi Ibu Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Mencirim Kecamatan Sunggal Kabupaten Deliserdang Tahun 2013

0 0 30

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 - Studi Kualitatif Pemenuhan Gizi Ibu Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Mencirim Kecamatan Sunggal Kabupaten Deliserdang Tahun 2013

0 1 11

Analisis Perbedaan Return Saham , Trading Volume Activity Dan Variance Sebelum dan Sesudah Stock Split (Studi Kasus Pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2013)

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Pasar Modal - Analisis Perbedaan Return Saham , Trading Volume Activity Dan Variance Sebelum dan Sesudah Stock Split (Studi Kasus Pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2013)

0 0 24

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Analisis Perbedaan Return Saham , Trading Volume Activity Dan Variance Sebelum dan Sesudah Stock Split (Studi Kasus Pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2013)

0 1 10

Analisis Perbedaan Return Saham , Trading Volume Activity Dan Variance Sebelum dan Sesudah Stock Split (Studi Kasus Pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2013)

0 0 10

An Error Analysis In Using Tenses Made By The Third Year Students Of SMK 7 Medan

0 1 18