BAB I PENDAHULUAN - Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah Indonesia dan Jepang tentang Joint Crediting Mechanism 2013 untuk Kemitraan Pertumbuhan Rendah Karbon

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan salah satu hal pokok yang dilakukan oleh setiap

  negara. Tiap-tiap negara melakukan pembangunan dalam berbagai bidang di daerah yuridiksinya masing-masing. Seiring majunya perkembangan zaman dan adanya tekanan kebutuhan, kerap kali suatu pembangunan menimbulkan masalah bagi kelestarian lingkungan sekitarnya. Pembangunan yang dilakukan sering kali kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup yang ada dan lebih mementingkan aspek-aspek lainnya, seperti aspek ekonomi. Contohnya adalah pengambilalihan lahan-lahan, seperti lahan hutan, lahan daerah resapan air, dan lahan-lahan lainnya untuk dibangun menjadi berbagai macam bangunan, tanpa memperhatikan aspek lingkungan hidupnya. Tidak hanya itu, hasil dari pembangunan yang dilakukan terkadang juga menimbulkan kerusakan bagi lingkungan hidup, contohnya adalah pembangunan di bidang perindustrian, yang mana hasil sisa industri tersebut dapat menimbulkan polutan bagi lingkungan hidup, baik di darat, laut, maupun di udara.

  Pembangunan yang dilakukan oleh tiap-tiap negara pada dasarnya memiliki aspek positif dan negatif, dimana di satu sisi, pembangunan diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakatnya serta memajukan kondisi dan kualitas negara di berbagai bidang, namun di sisi lain, terkadang pembangunan yang dilakukan mengesampingkan aspek lingkungan hidup, dan mendahulukan aspek-aspek lainnya, sehingga pembangunan yang dilakukan tidak berwawasan lingkungan dan merusak kondisi alam sekitarnya.

  Kerusakan lingkungan akibat dari adanya pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan pada umumnya dapat mencemari atau merusak kondisi di wilayah darat, air, maupun udara. Kerusakan di wilayah darat, misalnya reklamasi daerah pantai untuk pembangunan daerah parawisata yang memiliki sisi negatif, yaitu dapat merusak kondisi lingkungan hidup, baik biotik maupun abiotik, di sekitar daerah pantai tersebut, kemudian pada wilayah perairan, sering kali terdapat perusahaan-perusahaan yang membuang limbah industrinya di daerah perairan, sehingga mencemari daerah perairan tersebut, dan tidak hanya itu kerusakan yang paling sering dan terjadi setiap hari adalah pada wilayah udara, yaitu adanya polutan yang muncul akibat limbah pembuangan proses industri ke udara, asap buangan kendaraan, dan polutan-polutan udara lainnya, yang perlahan merusak kondisi lingkungan udara yang ada dan mendorong terjadinya pemanasan global (Global Warming). Kondisi-kondisi lingkungan yang tidak sehat dari waktu ke waktu, dapat sangat membahayakan bagi kehidupan dan kelangsungan mahluk hidup yang ada, tidak hanya untuk masa sekarang, namun juga untuk keberlangsungan mahluk hidup di masa yang akan datang. Untuk menghindari hal-hal di atas, maka diperlukanlah suatu pembangunan yang memiliki konsep berwawasan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development).

  Pembangunan yang dilakukan di tiap-tiap negara sekarang ini hendaknya memiliki konsep lingkungan hidup dan konsep pembangunan berkelanjutan.

  Kedua konsep tersebut sangatlah penting untuk diterapkan dalam banyak aspek pembangunan, sehingga faktor lingkungan hidup tidak terlupakan di dalam setiap proses pembangunan yang dilakukan. Lebih khususnya lagi, kedua konsep ini sangat berperan dalam rangka mengurangi tingkat polusi yang ada, khususnya untuk polusi udara, yang mendorong terjadinya pemanasan global (Global Warming). Melihat pentingnya hal ini, maka negara-negara pun mulai membuat perjanjian tentang penggunaan konsep pembangunan ramah lingkungan itu dan juga saling bekerjasama satu sama lain dalam menerapkan kedua konsep pembanguan tersebut. Kerjasama negara-negara dalam memerangi pencemaran lingkungan memang dari sejak dulu sudah mulai dilakukan secara perlahan, baik melalui perjanjian multilateral maupun juga bilateral. Konsep pembangunan berkelanjutan sebagai salah satu upaya memerangi pencemaran yang ada pun berkembang pengaturannya dalam skala global secara perlahan-lahan. Tiga puluh tahun sesudah konferensi PBB tentang lingkungan hidup manusia di Stockholm, Swedia, Juni 1972, disepakati mengendalikan pencemaran sehingga kata polusi masuk dalam perbendaharaan kamus internasional. Sepuluh tahun kemudian, Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Nairobi-Kenya, Juni 1982 menyepakati untuk mengikat negara-negara anggota PBB bekerjasama melalui konvensi internasional di bidang pencemaran udara, keanekaragaman hayati, disertifikasi, dan kelautan dan konvensi lain untuk dinegosiasikan secara terbuka dan bersama-sama. Kemudian, pada tahun 1992 berlangsung konferensi tingkat tinggi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan yang dikenal dengan Earth

  

Summit (KTT Bumi) di Rio de Jeneiro, Brasil, Juni 1992. Dalam Konferensi

  inilah ditandatangani Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati dan Konvensi tentang Pemanasan Bumi oleh negara-negara, termasuk Indonesia. Disamping itu disepakati pula prinsip-prinsip pengelolaan hutan dan beberapa prinsip pembangunan berkelanjutan yang disepakati sebagai Rio Principle yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dan ekosistemnya sebagai dasar kerjasama 2 global, regional, dan nasional.

  Salah satu isu permasalahan lingkungan hidup yang terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu seiring berjalannya pembangunan, hingga sampai pada tahap yang dianggap sangat membahayakan jika terus dibiarkan adalah masalah pemanasan global atau yang lebih dikenal dengan istilah Global

  

Warming. Pemanasan Global tidak terjadi secara seketika, tetapi berangsur-

  angsur. Namun demikian, dampaknya sudah mulai kita rasakan di sini dan sekarang. Ketika revolusi industri baru dimulai sekitar tahun 1850, konsentrasi

  2

  salah satu Gas Rumah Kaca (GRK) penting yaitu CO di atmosfer baru 290 ppmv (part per million by volume), saat ini (150 tahun kemudian) telah mencapai sekitar 350 ppmv. Jika pola konsumsi, gaya hidup, dan pertumbuhan penduduk tidak

  2

  berubah, 100 tahun yang akan datang konsentrasi CO diperkirakan akan meningkat menjadi 580 ppmv atau dua kali lipat dari zaman pra-industri.

  Akibatnya, dalam kurun waktu 100 tahun yang akan datang suhu rata-rata Bumi akan meningkat 4,5 C dengan dampak terhadap berbagai sektor kehidupan manusia yang luar biasa besarnya. Menurunnya produksi pangan, terganggunya fluktuasi dan distribusi ketersediaan air, penyebaran hama dan penyakit tanaman, dan manusia adalah diantara dampak sosial ekonomi yang dapat ditimbulkan. 2 Tidak semua negara industri penyebab masalah ini siap mengatasinya karena

  

Aca Sugandhy, Instrumentasi dan Standardisasi Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Universitas Trisakti, Jakarta, 2009, hal.35 masalah mitigasi yang menangani penyebabnya memerlukan biaya yang tinggi. Pada saat yang bersamaan hampir semua negara yang tidak menimbulkan masalah perubahan iklim, yaitu negara berkembang, sangat merasakan dampaknya, namun tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan adaptasi terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.

  Memandang pentingnya masalah ini, maka pada KTT Bumi 1992 di Rio de Jeneiro disepakati suatu perjanjian internasional antar negara-negara peserta yang khusus mengatur tentang masalah ini yang dikenal dengan nama Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United

  

Nation Framework Convention on Climate Change , UNFCCC). Ketika

  pemerintah berbagai negara mengadopsi konvensi ini, mereka menyadari bahwa konvensi tersebut dapat merupakan suatu landasan peluncuran yang lebih kuat untuk tindakan di masa depan. Melalui konvensi ini juga dapat dilakukan proses peninjauan, diskusi, dan pertukaran informasi untuk mengadopsi komitmen tambahan untuk memberikan tanggapan terhadap perubahan dalam pemahaman ilmiah dan kemauan politik. Dalam tahapan selanjutnya, untuk menindaklanjuti konvensi tersebut, diadakanlah tiga kali konferensi para pihak (Confrence of Parties (CoP)) dan persidangan oleh kelompok yang ditunjuk dalam konferensi tersebut (Ad-hoc Group on Berlin Mandate (ABGM)) untuk menyusun suatu perjanjian terkait perubahan iklim ini. Setelah delapan kali bersidang, ABGM menghasilkan sebuah teks yang diajukan kepada CoP3 untuk negosiasi terakhir yang diselenggarakan di Kyoto pada tahun 1977. Dalam CoP3 ini kemudian dihasilkan konsensus berupa keputusan-keputusan, yang salah satunya menyatakan untuk mengadopsi suatu protokol yang merupakan dasar bagi negara- negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca gabungan mereka paling sedikit 5 persen dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang periode 2008-2012.

  Komitmen yang mengikat secara hukum ini akan mengembalikan tendensi peningkatan emisi yang secara historis dimulai di negara-negara tersebut 150 tahun yang lalu. Protokol Kyoto, demikian selanjutnya protokol ini disebut, disusun untuk mengatur target kuantitatif penurunan emisi dan target waktu penurunan emisi bagi negara maju. Sementara, negara berkembang tidak memiliki 3 kewajiban atau komitmen untuk menurunkan emisinya.

  Dalam kegiatan UNFCCC, dikenal prinsip Common but Differentiated

  

Responsibility atau tanggung jawab yang berlaku umum namun tetap berbeda

  kadarnya. Prinsip ini mengacu pada kenyataan bahwa negara-negara majulah yang terlebih dahulu melepaskan gas rumah kaca secara masif ke atmosfer ketika melakukan pembangunan di negaranya masing-masing. Maka setelah manfaat pembangunan tersebut diperoleh, mereka mempunyai kadar tanggung jawab yang lebih besar untuk menurunkan emisi gas rumah kaca serta membantu negara 4 berkembang dalam melakukan mitigasi dan adaptasi.

  Memandang prinsip di atas, Indonesia, layaknya negara berkembang lainnya, sebenarnya tidak memiliki kewajiban yang besar dalam menurunkan tingkat emisinya, namun dalam kenyataannya Pemerintah Indonesia telah ikut serta di dalam Protokol Kyoto dan juga meratifikasinya, sehingga secara teknis 3 Indonesia dapat ikut berpartisipasi dalam satu-satunya pelaksanaan mekanisme

  

Daniel Muniyarso, Protokol Kyoto (Implikasinya bagi Negara Berkembang), Kompas Media 4 Nusantara, Jakarta, 2007, hal.2-4

Tim Penulis Dewan Nasional Perubahan Iklim, MARI BERDAGANG KARBON! (Pengantar kyoto yang dapat diikutinya, yaitu Mekanisme Pembangunan Bersih atau Clean Development Mechanism (CDM), disamping mekanisme Implementasi Bersama (Joint Implementation (JI)) dan Perdagangan Emisi atau Emission Trading (TE).

  Mekanisme Pembangunan Bersih yang dapat diikuti oleh Indonesia sendiri merupakan suatu bentuk mekanisme yang memperbolehkan negara-negara yang dibebani target pengurangan emisi di bawah komitmen Protokol Kyoto untuk mengimplementasikan target pengurangan emisi tersebut dalam suatu kegiatan penurunan emisi yang berlokasi di negara berkembang. Pelaksanaan Mekanisme Pembangunan Bersih ini dilakukan dengan adanya kerjasama antara negara maju dan negara berkembang, dimana negara maju berperan dalam mendanai/membeli hasil penurunan emisi gas rumah kaca dari proyek yang berlokasi di negara berkembang. Jumlah atau kuota karbon yang diperoleh dari kegiatan proyek pengurangan emisi ini kemudian akan disertifikatkan dan mendapat Certified

  (CER), dimana 1 CER setara dengan 1 ton CO2. Kuota

  Emmission Reduction karbon yang telah mendapatkan CER ini kemudian dapat dijual kepada pihak lain.

  Hal inilah yang membentuk adanya bentuk perdagangan karbon di dalam 5 Mekanisme Pembangunan Bersih.

  Mekanisme yang terdapat di dalam Protokol Kyoto memang mengarah kepada pelaksanaan perdagangan karbon yang akan dilaksanakan negara-negara dalam rangka pemenuhan target penurunan emisi setiap negara maupun tujuan- tujuan lainnya, termasuk juga mekanisme pembangunan bersih yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Namun, dalam hal ini upaya pemenuhan target 5 penurunan emisi yang dilakukan oleh negara-negara melalui perdagangan karbon tidak terpaku hanya pada mekanisme yang terdapat pada Protokol Kyoto saja. Upaya pencapaian target penurunan emisi juga dilaksanakan melalui berbagai mekanisme lainnya di luar mekanisme yang terdapat di dalam Protokol Kyoto.

  Salah satu contoh mekanisme alternatif, di luar mekanisme Kyoto, yang dilaksanakan Pemerintah Indonesia secara nyata adalah Mekanisme Kredit Bersama atau yang dikenal dengan istilah Joint Crediting Mechanism (JCM). Mekanisme Kredit Bersama atau JCM ini merupakan mekanisme perdagangan karbon alternatif yang dilakukan secara bilateral antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang. Mekanisme ini disepakati oleh kedua negara melalui perjanjian kerjasama pada tahun 2013, dimana kedua negara sepakat untuk menjalin kemitraan dalam pelaksanaan mekanisme ini. Secara garis besar pendekatan yang dilakukan dalam pelaksanaan mekanisme JCM ini hampir sama atau serupa dengan mekanisme pembangunan bersih, dalam hal pembiayaan dan perhitungan pengurangan emisi yang terverifikasi, namun dalam pelaksanaannya prosedur yang digunakan dalam mekanisme JCM dibuat lebih mudah atau tidak ketat, seperti mekanisme CDM.

  Kerjasama dalam bentuk kemitraan yang disepakati oleh Pemerintah Indonesia dan Jepang ini sebenarnya menguntungkan kedua belah pihak, dimana dalam kerjasama ini Pemerintah Jepang akan membantu pembangunan di Indonesia, baik dalam bentuk dana maupun teknologi ramah lingkungan, sehingga pembangunan dan hasil pembangunan dilakukan di Indonesia akan menjadi ramah lingkungan dan rendah karbon. Sedangkan, bagi pihak Pemerintah Jepang, hal ini akan bermanfaat bagi penambahan kuota karbon yang dimiliki Jepang, meskipun pada dasarnya pembangunan tersebut dilakukan di Indonesia.

  Bentuk kerjasama seperti ini sedang berkembang di banyak negara, karena adanya tuntutan pengurangan jumlah emisi GRK dan mekanisme kuota karbon, sehingga negara-negara saling bekerjasama satu sama lain dengan menjalin perjanjian yang saling menguntungkan. Hal ini juga dapat dipandang sebagai pendekatan lingkungan dari segi ekonomi, karena negara-negara, khusunya negara maju, menggunakan kekuatan perekonomian dan teknologinya dalam membantu investasi pembangunan rendah karbon di negara lainnya (biasanya negara berkembang), dengan tujuan untuk menambah jatah kuota karbon yang dimilikinya. Dalam kesepakatan perjanjian seperti ini kedua belah sebenarnya saling diuntungkan dan mendapatkan manfaatnya masing-masing dan di sisi lain kelestarian lingkungan sekitar ikut terjaga.

  Sesuai dengan uraian diatas, dimana Mekanisme Kredit Bersama sebagai mekanisme alternatif yang diikuti oleh Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan pembangunan rendah karbon, maka Penulis merasa tertarik untuk mengangkat contoh bentuk kemitraan rendah karbon yang ada dan telah disepakati di Indonesia ini, sebagai bahan pembahasan skripsi. dapat dilakukan melalui suatu kesepakatan di dalam perjanjian yang dibuat antar negara, yang biasanya merupakan perjanjian antara negara maju dan negara berkembang. Dalam hal ini, perjanjaian yang akan Penulis angkat sebagai inti pembahasan skripsi ini adalah suatu perjanjian bilateral, yaitu perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Jepang tentang Joint Crediting Implementation 2013 dalam rangka mendorong kemitraan pertumbuhan rendah karbon.

  B. Rumusan Masalah

  Sehubungan dengan hal-hal yang telah disebutkan di atas, maka rumusan permasalahan yang akan dibahas di dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

  1. Bagaimana pengaturan tentang lingkungan hidup dalam masyarakat internasional

  2. Bagaimana pengaturan perdagangan karbon dunia dalam mengurangi pemanasan global

  3. Bagaimana perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Jepang dalam Kemitraan Pertumbuhan Rendah Karbon

  C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

  Berdasarkan hal-hal yang telah sebutkan di atas, penulisan skripsi ini juga bertujuan untuk :

  1. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pengaturan hukum lingkungan dalam masyarakat internasional

  2. Untuk lebih memahami pengertian, ruang lingkup, dan pembentukan perjanjian internasional sebagai sumber hukum di bidang lingkungan hidup.

  3. Untuk mengetahui dan memahami hal-hal terkait perdagangan karbon, terutama dari pengaturan dan implementasinya.

  4. Untuk mengetahui tata cara pelaksanaan perjanjian Mekanisme Kredit Bersama (Joint Crediting Mechanism) 2013 antara Pemerintah Indonesia dan Jepang

  5. Untuk mengetahi peranan yang dijalankan oleh para pihak yang ikut serta di dalam perjanjian internasional (Perjanjian Joint Crediting Mechanism 2013 antara Pemerintah Indonesia dan Jepang ).

  Dengan adanya pembahasan terkait materi skripsi ini, penulis berharap bahwa hasil penelitian skripsi ini dapat memberikan masukan dan manfaat untuk:

  1. Memberikan masukan dan juga pengetahuan kepada masyarakat tentang perkembangan dan pengaturan lingkungan hidup dalam masyarakat internasional.

  2. Memberikan masukan dan juga pengetahuan kepada masyarakat tentang adanya mekanisme perdagangan karbon, sehingga masyarakat dapat ikut terlibat dan mengambil bagian dalam perdagangan karbon tersebut.

  3. Memberikan masukan dan juga pengetahuan kepada masyarakat tentang adanya Perjanjian Joint Crediting Mechanism 2013 antara Pemerintah Indonesia dan Jepang, sehingga masyarakat dapat ikut mengambil bagian dalam pelaksanaan perjanjian ini dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan rendah karbon, baik di Indonesia maupun di Jepang.

  4. Memberikan masukan dan manfaat dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan dimana dalam penulisan skripsi ini penulis memberikan analisa-analisa yang bersifat objektif.

  5. Memberikan masukan sekaligus pengetahuan kepada para pihak dalam kaitannya dengan perkembangan kerjasama internasional di bidang lingkugan hidup.

  D. Keaslian Penulisan

  Karya Ilmiah dengan judul “Perjanjian Bilateral antara Pemerintah

  Indonesia dan Jepang tentang Joint Crediting Mechanism 2013 untuk Mendorong Kemitraan Pertumbuhan Rendah Karbon” sebenarnya merupakan judul yang cukup baru, karena perjanjian Joint Crediting Mechanism antara Pemerintah Indonesia dan Jepang itu sendiri masih tergolong perjanjian yang cukup baru, karena baru disepakati oleh kedua belah pihak pada tahun 2013, namun dalam pembahasan skripsi ini penulis secara khusus membahas mengenai tata cara pelaksanaan isi perjanjian mekanisme kredit bersama, hak dan kewajiban para pihak, maupun penyelesaian sengketa dalam perjajian tersebut. Judul ini merupakan hasil pemikiran murni penulis dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Apabila di kemudian hari terdapat kesamaan judul dan isi dengan skripsi ini, maka penulis sepenuhnya akan bertanggung jawab terhadap hal tersebut.

  E. Tinjauan Pustaka

1. Pemanasan Global (Global Warming)

A. Pengertian Pemanasan Global

  Pemanasan Global atau Global Warming adalah naiknya suhu rata-rata di permukaan bumi yang disebabkan meningkatnya jumlah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Molekul Gas Rumah Kaca (GRK) yang meningkat jumlahnya akan menyerap panas matahari yang masuk ke bumi, sehingga tidak dapat inilah yang mengakibatkan naiknya suhu di permukaan bumi, baik di darat, laut, dan udara. Gas-gas yang termasuk ke dalam golongan Gas Rumah Kaca (GRK) ini menurut Protokol Kyoto adalah Karbon Dioksida (CO

  2 ), Metan (CH 4 ), Nitrous

  Oksida (N O), Hydroflurokarbon (HFCs), Perflurokarbon (PFCs), dan Sulfur

  2 ).

  heksaflorida (SF6

  B. Dampak Pemanasan Global

  Adapun dampak yang ditimbulkan akibat pemanasan global tersebut sangat merugikan bagi lingkungan dan segala mahluk hidup yang tinggal di dalamnya. Pemanasan Global mengakibatkan terjadinya Perubahan Iklim, seperti meningkatnya curah hujan di beberapa belahan dunia sehingga dapat menimbulkan banjir dan erosi. Sedangkan, di belahan bumi lainnya akan mengalami musim kering yang berkepanjangan disebabkan kenaikan suhu. Selain itu pemanasan global juga menyebabkan dampak yang sangat luas bagi lingkungan hidup, seperti mencairnya es yang ada di kutub, kenaikan permukaan air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan intensitas hujan dan banjir, perubahan iklim, kelangkaan hingga punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb. Tidak hanya itu, fenomena ini juga dapat mempengaruhi kondisi sosial, politik, maupun ekonomi di berbagai belahan dunia.

  C. Pengendalian Pemanasan Global

  Ada beberapa cara yang dapat dilakukan sebagai langkah pengendalian pemanasan global, baik dalam lingkup nasional maupun global. Secara sederhana, mekanisme pengendalian pemanasan global dapat dilakukan dengan cara menghemat pemakaian bahan bakar fosil. Penghematan bahan bakar fosil ini berkaitan dengan energi yang dihasilkan dari bahan bakar fosil itu sendiri, seperti Bahan Bakar Minyak (BBM). Upaya penghematan terhadap pemakaian energi bahan bakar, seperti BBM, didasarkan pada kesadaran masyarakat dalam pemakaian bahan bakar tersebut, dimana dibutuhkan adanya kesadaran yang tinggi dari masyarakat untuk dapat menghemat pemakaian bahan bakar, baik dari segi penggunaan transportasi dan penggunaan kendaraan bermotor, yang hendaknya tidak boros.

  Selain itu, pengendalian pemanasan global dapat juga dilakukan dengan cara pelestarian hutan atau reboisasi. Secara ilmiah, tanaman atau pohon menyerap gas-gas karbon, yang merupakan penyebab pemanasan global dalam jumlah yang berlebihan (seperti karbon dioksida, karbon monoksida, dan gas-gas karbon lainnya), di dalam proses fotosintesisnya. Selain itu, hasil fotosintesis itu sendiri menghasilkan gas oksigen, yang merupakan gas pernapasan bagi mahluk hidup.

  Cara lain dalam pengendalian pemanasan global dapat dilakukan dengan cara beralih menggunakan sumber energi dan produk-produk yang ramah lingkungan. Pemakaian sumber pembangkit energi dengan menggunakan tenaga air, tata surya, dan nuklir merupakan beberapa pilihan yang dapat digunakan sebagai langkah untuk menghasilkan energi yang ramah lingkungan. Dengan menggunakan sumber energi ramah lingkungan ini, maka pemenuhan kebutuhan masyarakat akan energi dapat terpenuhi, tanpa harus membawa kerusakan atau menyebabkan polusi bagi lingkungan sekitar. Disamping itu, penggunaan produk- produk ramah lingkungan juga mendukung pengendalian pemanasan global. Dengan menggunakan produk-produk yang ramah lingkungan, maka secara otomatis kita telah ikut serta membantu mengurangi pemanasan global, karena produk-produk ramah lingkungan tersebut telah dibuat dan diciptakan dengan konsep yang sedemikian rupa bersifat menjaga kelestarian lingkungan, sehingga dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari, tanpa membawa dampak buruk bagi lingkungan atau mengurangi dampak buruk bagi lingkungan. Beberapa contoh produk ramah lingkungan adalah kendaraan berbahan bakar gas atau listrik.

  Secara global, upaya pengendalian pemanasan global dapat dilakukan melalui mekanisme-mekanisme kerjasama antar-negara dalam rangka melawan pemanasan global yang terjadi. Salah satu caranya adalah pengurangan jumlah emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh negara-negara per tahunnya, khususnya bagi negara maju, yang tinggi tingkat industrinya, sehingga tingkat emisi gas rumah kaca yang dihasilkan pun juga tinggi. Salah satu instrument internasional yang bertujuan menstabilkan tingkat emisi gas rumah kaca, sehingga tidak membahayakan iklim di bumi adalah Konvensi Perubahan Iklim, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam Protokol Kyoto. Melalui Protokol Kyoto ini, target penurunan emisi oleh negara-negara industri telah dijadwalkan dan akan dilaksanakan melalui mekanisme yang transparan. Selain itu juga dilakukan pengawasan dan pelaporan terhadapr pelaksanaan mekanisme penurunan emisi tersebut, dan adanya tindakan-tindakan tertentu yang dilakukan dalam rangka menjaga kestabilan emisi gas rumah kaca. Untuk mencapai target penurunan emisi, dikenal mekanisme fleksibel atau mekanisme Kyoto yang terdiri dari tiga kegiatan, yaitu:

  1) Joint Implementation (JI) diuraikan dalam Pasal 6, 2) Clean Development Mechanism, CDM (Mekanisme Pembangunan Besih), diuraikan dalam pasal 12, 6 3) Perdagangan Emisi (Emission Trading, ET),diuraikan dalam Pasal 17.

2. Konsep Pembangunan Berkelanjutan dan Pembangunan Rendah Karbon

  A. Konsep Pembangunan Berkelanjutan

  Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang beorientasi pada pemenuhan kebutuhan manusia melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana, efisien, dan juga memperhatikan keberlangsungan pemanfaatannya baik untuk generasi masa kini maupun generasi yang akan datang. Di dalamnya terkandung dua gagasan penting, yaitu: (a) Gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan pokok manusia untuk menopang hidup, di sini yang diprioritaskan adalah kebutuhan kaum miskin.

  (b) Gagasan keterbatasan, yakni keterbatasan kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan baik masa kini maupun masa yang akan datang.

  B. Konsep Pembangunan Rendah Karbon

  Konsep Pembangunan Rendah Karbon merupakan suatu konsep pembangunan yang berusaha menurunkan penggunaan emisi gas karbon di dalam proses pelaksanaan pembangunan. Terdapat beberapa tindakan atau upaya yang dapat dilakukan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat dalam rangka 6 mendorong pertumbuhan rendah karbon. Salah satu contoh konkrit dari potensi

  

Prof. H.Syamsul Arifin, S.H., M.H., Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang ada dalam mendukung terlaksananya pembangunan rendah karbon ini adalah dengan mengganti penggunaan sumber tenaga fosil ke non-fosil, seperti tenaga angin, air, maupun panas bumi. Dengan jalur peralihan sumber tenaga ini menjadi sumber tenaga non-fosil, maka secara otomatis akan mengurangi penggunaan fosil yang dapat menghasilkan gas karbon. Selain itu, dalam pelaksanaan konsep pembangunan rendah karbon ini akan diusahakan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan, sehingga hasil dari proses pembangunan tersebut dapat bekerja dengan baik, tanpa menghasilkan suatu emisi atau hanya menghasilkan sedikit emisi karbon saja. Hal ini kerap dilakukan pada masa sekarang ini yang dapat dilihat dari banyaknya proyek-proyek pembangunan yang dilakukan pada masa sekarang, yang ikut serta dalam tujuan penurunan tingkat emisi karbon, sebagai upaya pembangunan rendah karbon. Di Indonesia sendiri, dalam upaya menuju pembangunan rendah karbon, kegiatan pembangunan bukan semata kegiatan penurunan emisi gas rumah kaca sebaagi upaya mitigasi perubahan iklim. Akan tetapi perlu juga memperhatikan ketersediaan sumber daya dan biaya. Untuk itu, Dewan Nasional Perubahan Iklim menyusun Skema Karbon Nusantara (SKN) yang bertujuan untuk memfasilitasi tumbuhnya pasar karbon di Indonesia dalam 7 membantu kegiatan penurunan emisi gas rumah kaca. Disamping peranan pemerintah, peranan masyarakat dalam prlaksanaan pembangunan rendah karbon juga merupakan hal yang amat penting. Di dalam mencapai tujuan pembangunan rendah karbon dibutuhkan kerja sama dari masyarakat untuk mewujudkannya. Masyarakat dapat membantu pelaksanaan pembangunan rendah karbon dengan 7 cara mengehemat penggunaan energi, seperti energi listrik, yang tidak diperlukan,

penggunaan transportasi sesuai kebutuhan, penggunaan produk-produk yang ramah lingkungan, dan lain sebagainya. Dalam pembangunan rendah karbon dibutuhkan kerjasama yang erat antara pemerintah dan masyarakat. Di satu sisi, pemerintah bertugas mengupayakan penurunan tingkat emisi karbon dengan berbagai upaya yang dapat dilakukannya di tiap-tiap tahapan pembangunan, disamping tugasnya dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pembangunan rendah karbon. Di sisi lain, peranan masyarakat untuk secara aktif dan sadar ikut serta dalam penurunan emisi amatlah dibutuhkan, melalui tindakan- tindakan nyatanya, seperti contoh-contoh yang telah disebutkan di atas.

C. Perdagangan Karbon

  Perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar yang memungkinkan terjadinya negosiasi dan pertukaran hak emisi gas rumah kaca.

  Mekanisme pasar yang diatur dalam Protokol Kyoto 1997 ini dapat terjadi pada skala nasional maupun internasional sejauh hak-hak negosiasi dan pertukaran yang sama dapat dialokasikan kepada semua pelaku pasar yang terlibat. Dalam perdagangan karbon ini, pembeli merupakan pemilik industri yang menghasilkan

2 CO maupun gas rumah kaca lainnya ke atmosfer, yang memiliki ketertarikan

  atau diwajibkan oleh hukum untuk menyeimbangkan emisi yang mereka keluarkan melalui mekanisme sekuestrasi karbon (penyimpanan karbon). Salah satu contohnya adalah fasilitas pembangkit listrik. Sedangkan, penjual merupakan pemilik yang mengelola hutan atau lahan pertanian, yang bisa menjual kredit karbon berdasarkan akumulasi karbon yang terkandung dalam pepohonan di hutan mereka. Penjual juga dapat merupakan pengelola industri yang mengurangi emisi karbon mereka, yang kemudian menjual emisi mereka yang telah dikurangi 8 kepada emitor lain.

  Gagasan perdagangan karbon (Carbon Trade) pada awalnya merupakan implementasi kesepakatan yang dicetuskan dalam Protokol Kyoto (Kyoto

  

Protocol For United Nation Framework Convention On Climate Change ), yaitu

  penurunan gas rumah kaca (GRK), yang sampai saat ini telah 161 negara yang 9 meratifikasi kesepakata itu, kecuali Amerika Serikat dan Australia. Protokol Kyoto mengharuskan negara-negara untuk mengurang emisinya sebesar 5 persen dibandingkan tahun1990 melalui mekanisme Implementasi Bersama (Joint

  

Implementation ), Perdagangan Emisi (Emission Trading), dan Mekanisme

10 Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism). Dibawah UNFCCC

  (United Nations Framework Convention on Climate Change), negara-negara yang meratifikasi, dapat mengurangi tingkat emisinya dengan memperdagangkan emisi atau karbon. Negara-negara maju yang timgkat emisinya tinggi diperbolehkan untuk membeli emisi kepada negara-negara lainnya yang tingkat emisinya lebih

  11 rendah.

  Perdagangan karbon ini pada prinsipnya menganut asas “polluter must pay”. Konsep utama dari perdagangan karbon ini adalah apabila perusahaan- perusahaan dari negara industrials (Annex I Country) tak mampu mengurangi 8 tingkat emisi Gas Rumah Kaca (GRK) akibat kegiatan industrinya, mereka dapat 9 Perdagangan Karbon, diakses dari id.m.wikipedia.org

Abdul Razak, Makalah Manajemen Hutan Lanjutan yang berjudul KELAYAKAN KOMPENSASI

  

YANG DITAWARKAN DALAM PERDAGANGAN KARBON , diakses dari 10 11 mekanisme-perdagangan-karbon/ membayar kepada perusahaan ataupun kepada negara non industry (non Annex I) yang tingkat emisinya masih dibawah standard untuk mengurangi emisi atau

  2

  menyerap CO dari atmosfer. Ada dua skema perdagangan karbon. Cara yang pertama adalah apa yang disebut dengan skema perdagangan karbon terbatas dan berjenjang dimana negara-negara yang meratifikasi Protokol Kyoto dapat saling memperdagangkan emisi satu sama lain, akan tetapi emisi yang diperdagangkan dibatasi agar negara-negara maju tetap memenuhi komitmennya untuk 12 mengurangi emisi yang dihasilkan akibat kegiatan industry.

  Cara yang kedua adalah melalui kredit dari proyek-proyek yang mengkompensasi atau “offset” emisi. Protokol Kyoto mengenai Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM), misalnya, memungkinkan negara-negara maju untuk memperoleh kredit emisi untuk membiayai proyrk-proyek yang berbasis di negara-negara berkembang. Negara-negara maju membiayai proyek-proyek CDM di negara-negara berkembang seperti revitalisasi hutan, ,

  agroforestry

  13 perlindungan hutan dari bahaya kebakaran, dan lain sebagainya.

F. Metode Penelitian

  1. Sifat/Bentuk Penelitian Bentuk penelitian ini adalah hukum normatif yaitu penelitian yang didasarkan pada bahan hukum sekunder berupa inventarisasi peraturan-peraturan dan pedoman-pedoman dasar yang berkaitan dengan perjanjian internasional di 12 bidang lingkungan hidup, yakni perjanjian terkait pembangunan rendah karbon,

  

Anonim, Q&A: The Carbon Trade, diakses dari dan juga pelasanaan perdagangan karbon. Selain itu dipergunakan juga bahan- bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan materi penelitian ini. Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam pelaksanaan perjanjian pembangunan rendah karbon antara Pemerintah Indonesia dan Jepang.

  2. Data Data yang diteliti untuk penulisan skripsi ini merupakan data sekunder yang terdiri dari : a. Bahan/sumber primer, yaitu berupa peraturan perundang-undangan, buku- buku terkait,,dan juga kertas kerja.

  b. Bahan/sumber sekunder, yaitu berupa bahan acuan lainnya yang memberikan informasi-informasi terkait materi penelitian dan dapat mendukung penulisan skripsi ini, seperti media internet, tulisan-tulisan, artikel-artikel, surat kabar, dan lain sebagainya.

  3. Teknik Pengumpulan Data Dalam rangka memperoleh suatu kebenaran ilmiah di dalam penulisan skripsi ini, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, yaitu metode pengumpulan data dengan mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, artikel-artikel, surat kabar, peraturan perundang

  • –undangan, dan juga bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan pokok materi yang dibahas di dalam skripsi ini.Dalam penulisan skripsi ini, penulis melakukan analisis data yang bersifat analisis kualitatif, yaitu data yang
telah diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.

G. Sistematika Penulisan .

  Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini, maka penulis akan membuat sistematika secara teratur dalam bagian -bagian yang semuanya saling berhubungan satu dengan yang lain. Sistematika atau gambaran isi tersebut dibagi dalam beberapa bab dan diantara bab- bab ini terdiri pula atas sub bab.

  Adapun gambaran isi atau sistematika tersebut adalah sebagai berikut :

  BAB I PENDAHULUAN Bab ini merupakan bagian pembuka yang berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan yang merupakan gambaran singkat tentang skripsi ini.

  BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP DALAM MASYARAKAT INTERNASIOANAL Pada bab ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan sejarah perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup, sifat-sifat perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup, jenis-jenis perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup, dan ketentuan penting perjanjian internasional perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup.

  BAB III PENGATURAN PERDAGANGAN KARBON DUNIA DALAM RANGKA MENGURANGI PEMANASAN GLOBAL Pada bab ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan pengertian dan ruang lingkup perdagangan karbon, hal-hal yang melatarbelakangi perdagangan karbon, pengaturan hukum internasional tentang perdagangan karbon, serta subjek dan objek hukum di dalam perdagangan karbon.

  BAB IV PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA PEMERINTAH INDONESIA DAN JEPANG TENTANG JOINT CREDITING MECHANISM 2013 UNTUK KEMITRAAN PERTUMBUHAN RENDAH KARBON Pada bab ini akan dibahas hal -hal yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan Mekanisme Kredit Bersama antara Pemerintah Indonesia dan Jepang dalam rangka mendorong pertumbuhan rendah karbon, hak dan kewajiban para pihak di dalam pelaksanaan Mekanisme Kredit Bersama, dan penyelesaian sengketa diantara para pihak dalam pelaksanaan Mekanisme Kredit Bersama.

  BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan penulis berdasarkan pembahasan terhadap pokok permasalahan serta saran-saran yang dapat diberikan oleh penulis tentang bagaimana langkah- langkah yang sebaiknya diambil di dalam mengatasi permasalahan tersebut

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karies - Perbandingan Hasil Radiografi Periapikal Dan Bitewing Dalam Mendeteksi Karies Proksimal

0 0 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Penambahan Silica Fume dan Superplasticizer terhadap Kuat Tekan Beton Mutu Tinggi dengan Metode ACI (American Concrete Institute)

0 0 53

BAB 1 PENDAHULUAN - Pengaruh Penambahan Silica Fume dan Superplasticizer terhadap Kuat Tekan Beton Mutu Tinggi dengan Metode ACI (American Concrete Institute)

0 0 10

Pengaruh Penambahan Silica Fume dan Superplasticizer terhadap Kuat Tekan Beton Mutu Tinggi dengan Metode ACI (American Concrete Institute)

0 2 13

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori Antrian - Pendekatan Teori Antrian Pada Bank Mandiri Cabang Iskandar Muda Medan

0 1 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA - Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/Pojk.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Terhadap Perlindungan Konsumen Perbankan Di Ind

0 0 27

BAB 1 PENDAHULUAN - Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/Pojk.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Terhadap Perlindungan Konsumen Perbankan Di Indonesia

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Transportasi 2.1.1 Pengertian Transportasi - Analisis Ability to Pay dan Willingness to Pay Pengguna Jasa Kereta Api Bandara Kuala Namu (Airport Railink Service)

0 0 21

Analisis Ability to Pay dan Willingness to Pay Pengguna Jasa Kereta Api Bandara Kuala Namu (Airport Railink Service)

1 1 15

Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah Indonesia dan Jepang tentang Joint Crediting Mechanism 2013 untuk Kemitraan Pertumbuhan Rendah Karbon

0 1 33