BAB II FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PEMBIAYAAN BERMASALAH A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian - Analisis Terhadap Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Pada Perusahaan Pembiayaan Astra Credit Company Di Medan (Studi Pada PT Astra Credit Company Cabang M

  

BAB II

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PEMBIAYAAN

BERMASALAH

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan definisi

  mengenai persetujuan sebagai berikut : “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan nama suatu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Para sarjana hukum perdata umumnya berpendapat bahwa definisi atau rumusan perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu luas. Untuk dapat mencerminkan apa yang dimaksud perjanjian, Rutten dalam Purwahid Patrik

  36

  merumuskan sebagai berikut : “Perjanjian adalah perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada, tergantung dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditunjukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal balik”. Perjanjian berasal dari istilah belanda yaitu “overeenkomst” menurut J. Satrio perjanjian adalah suatu perbuatan atau tindakan hukum seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih kedua belah pihak saling

36 Purwahid Patrik, Perikatan yang lahir dari Perjanjian, (Semarang : Seksi Hukum Perdata FH UNDIP, 1996), hal. 47-49.

  28

  37

  mengikat diri. R. Subekti menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lainnya atau kedua orang itu saling

  38

  berjanji untuk saling melaksanakan suatu hal. Menurut pendapat Sudikno Mertokusumo, perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih

  39

  berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akhibat hukum. Wirjono Projodikoro, memberikan pengertian bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum mengenai harta dan benda antara kedua belah pihak dalam mana satu pihak berjanji untuk melaksanakan suatu hal, sedang pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji

  40 itu. Suatu perjajian adalah semata-mata suatu persetujuan yang diakui oleh hukum.

  Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia usaha dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang, seperti pemberian kredit, asuransi, dan jual

  41

  beli barang. Selanjutnya untuk adanya suatu perjanjian dapat diwujudkan dalam dua bentuk yaitu perjanjian yang dilakukan secara tertulis dan perjanjian yang dilakukan secara lisan, kedua bentuk perjanjian tersebut sama kekuatannya dalam arti sama kedudukannya untuk dapat dilaksanakan oleh para pihak. Hanya saja perjanjian secara tertulis dapat dengan mudah dipakai sebagai alat bukti bila sampai terjadi

  42 persengketaan.

  37 38 J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 20. 39 R. Subekti, Hukum perjanjian, (Jakarta, Cetakan ke XII, Intermasa, 1987), hal. 1.

  Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta, Edisi kelima , Liberty, 1998), hal. 4. 40 Wirjono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan tertentu, (Bandung, Sumber, 1979), Hal. 7. 41 42 R. Subekti, Op.cit., hal. 1.

  Loc.cit.

2. Asas-Asas Perjanjian

  a. Asas Kepribadian (personality) Asas kepribadian ini merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja, hal ini dapat dilihat dalam pasal 1315 dan pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1315 menegaskan : ”Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya”. Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.

  b. Asas Konsensualitas Asas konsensualitas pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul, tidak diperlukan suatu formalitas dan dapat disimpulkan bahwa perjanjian itu cukup secara lisan saja. Pada umumnya perjanjian itu adalah sah dalam arti sudah mengikat, apabila sudah tercapai suatu kesepakatan yang pokok dalam perjanjian. Berdasarkan pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata atau suatu pengertian bahwa untuk membuat suatu perjanjian harus ada kesepakatan antara pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Berdasarkan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup. Sesuai dengan artinya konsensualitas adalah kesepakatan, maka asas ini menetapkan bahwa terjadinya suatu perjanjian setelah terjadi suatu kata sepakat dari kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, dengan kesepakatan maka perjanjian menjadi sah dan mengikat kepada para pihak dan berlaku bagi

  43 undang-undang bagi mereka.

  c. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak adalah setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian apa saja baik perjanjian itu sudah diatur dalam undang-undang ataupun belum diatur dalam undang-undang. Karena hukum perjanjian mengikuti asas kebebasan berkontrak, oleh karena itu disebut juga menganut sistem terbuka. Hal ini tercantum dalam Pasal 1338 ayat 1 KitabUndang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sedangkan menurut sultan remi sjahdeni, asas kebebassan berkontrak dalam perkembangannya ternyata dapat mendatangkan ketidakadilan karena prinsip ini hanya dapat mencapai tujuannya, yaitu mendatangkan kesejahteraan seoptimal mungkin, bila para pihak memiliki bergaining

  power

  yang seimbang dalam kenyataanya tersebut sering tidak terjadi demikian sehingga negara menganggap perlu untuk campur tangan melindungi pihak yang

  44 lemah.

  43 44 Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit, (Jakarta, Rineka Cipta, 2009), hal. 164 Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang dalam Perjanjian Kredit Bank, (jakarta, 1995), hal. 17

  Asas ini menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai kebebasan untuk mengadakan suatu perjanjian yang berisi apa saja dan macam apa saja, perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi, asalkan perjanjian nya tidak bertentangan

  45 dengan kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.

  d. Asas itikad baik Asas itikad baik dapat dibedakan antara itikad baik yang subjektif dan itikad baik yang objektif. Itikad baik yang subjektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum, sedangkan itikad baik dalam pengertian objektif maksudnya bahwa pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Istilah itikad baik dalam pelaksanaan suatu perjanjian terdapat di dalam ketentuan Pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Perdata yang berbunyi : “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Jadi dalam perikatan yang dilahirkan dari perjanjian, para pihak bukan hanya terikat oleh kata-kata perjanjian itu dan oleh kata ketentuan-ketentuan perundang- undangan mengenai perjanjian itu, melainkan juga itikad baik. Asas yang dikutip oleh Purwahid Patrik menyatakan bahwa bona fides adalah merupakan kerangka yuridis dari kepatutan selanjutnya ia mengatakan bahwa kekacauan terjadi karena kepatutan

  in abstracto

  menurut sifatnya adalah sesuatu yang objektif, sedangkan bona fides

  46

  (itikad baik) dalam arti yang sebenarnya terletak pada jiwa manusia. Asas itikad baik tidak hanya ada pada waktu pelaksanaan perjanjian, akan tetapi pada waktu

  45 46 Gatot Supramono, op.cit., hal. 164 Purwahid Patrik, Asas Itikad Baik dan Keputusan dalam perjanjian, (Semarang badan Penerbit UNDIP, 1996), hal. 49. membuat perjanjian juga dilandasi dengan itikad baik, sehingga itikad baik antara

  47 pada waktu membuat perjanjian dengan pelaksanaan menjadi sinkron.

  e. Asas kepercayaan (vertrouwensbeginesl) Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, membutuhkan kepercayaan di antara kedua belah pihak itu bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak, dengan kepercayaan ini, kedua belah pihak mengikat dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat

  48

  sebagai undang-undang. Dalam asas ini para pihak yang melakukan perjanjian masing-masing harus saling percaya satu sama lain, kepercayaan itu menyangkut

  49 saling memenuhi kewajibannya seperti yang diperjanjikan.

  f. Asas kepatutan Suatu perjanjian dibuat bukan hanya semata-mata memperhatikan ketentuan undang-undang, akan tetapi kedua belah pihak harus memperhatikan pula tentang kebiasaan, kesopanan, dan kepantasan yang berlaku di masyarakat sehingga perjanjian itu dibuat secara patut, dan melalui asas ini ukuran tentang hubungan

  50 ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

  g. Asas kekuatan mengikat Suatu perjanjian terkandung asas kekuatan mengikat, terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan

  47 48 Gatot Supramono, op.cit., hal. 165.

  Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang , (Bandung, Alumni, 1983), hal 113-114 Hukum Perikatan Dengan Penjelasan 49 50 Gatot Supramono, op.cit., hal. 165.

  Loc.cit tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan

  51 kepatutan serta moral, yang mengikat para pihak.

  h. Asas persamaan hukum Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua

  52 belah pihak untuk saling menghormati satu sama lain.

  i. Asas keseimbangan Asas ini menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang telah dibuat. Asas ini merupakan merupakan kelanjutan dari asas persamaan, kreditor mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan Jika diperluka dapat menuntut perluasan prestasi melalui kekayaan debitor, namun kreditor memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik, dapat dilihat di sini bahwa kedudukan kreditor yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk

  53 memperhatikan iktikad baik, sehingga kedudukan kreditor dan debitor seimbang.

  j. Asas keadilan Asas keadilan lebih tertuju pada isi dari perjanjian bahwa ini perjanjian harus mencerminkan adanya keadilan pada kedua belah pihak yang berjanji, isi perjanjian harus seimbang antara hak dan kewajiban masing-masing pihak, dan tidak ada

  54 perbuatan penekanan fisik maupun psikis sewaktu membuat perjanjian. 51 52 Mariam Darus Badrulzaman, op.cit., hal. 114. 53 Loc.cit. 54 Loc.cit.

  Gatot Supramono, op.cit., hal. 165.

3. Syarat Sahnya Perjanjian

  Menurut ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu : a. Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya

  Adanya kata sepakat, berarti bahwa subjek (kreditor dan debitor) yang mengadakan perjanjian itu dengan kesepakatan, yaitu setuju atau seiya sekata mengenai hal-hal pokok dari isi perjanjian itu. Artinya apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain, mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Untuk mengetahui kapan terjadinya kata sepakat ternyata kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengaturnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan terdapat sejumlah teori, yaitu

  55

  : 1) Teori kehendak (wilstheorie)

  Dalam teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi manakala para pihak menyatakan kehendaknya untuk mengadakan suatu perjanjian, mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat.

  2) Teori kepercayaan (vetrouwenstheorie) Berdasarkan teori kepercayaan, kata sepakat dalam suatu perjanjian dianggap telah terjadi pada saat pernyataan salah satu pihak dapat dipercaya secara

55 Ibid, hal. 166.

  objektif oleh pihak lainnya. Pada umumnya pernyataan yang dipercaya berasal dari pihak debitor setelah kreditor mengetahui semua informasi yang berhubungan dengan debitor. 3) Teori ucapan (uitinggstheorie)

  Menurut teori ini landasan kata sepakat didasarkan pada ucapan atau jawaban pihak debitor. Kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat debitor mengucapkan persetujuan terhadap penawaran yang dilakukan oleh debitor. Apabila jawaban dilakukan dengan tulisan atau surat maka kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat menulis surat jawaban.

  4) Teori pengiriman (verzendingstheorie) Dalam teori pengiriman , kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat debitor mengirimnya dilakukan melalui pos, maka kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat surat jawaban itu diberi cap atau distempel oleh kantor pos. 5) Teori penerimaan (onvangstheorie)

  Menurut teori penerimaan, kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat kreditor menerima surat jawaban atau menerima jawaban lisan melalui telepon dari debitor. 6) Teori pengetahuan (vernemingstheorie)

  Dalam teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat kreditor mengetahui bahwa debitor telah menyatakan menerima penawarannya. Teori pengetahuan tampak lebih luas dari teori penerimaan karena dalam teori pengetahuan memandang kreditor mengetahui baik secara lisan maupun tulisan.

  b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian Seseorang yang dapat membuat perjanjian harus cakap menurut hukum.

  Hakikatnya setiap orang yang sudah dewasa (sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah menikah walaupun belum mencapai umur 21 tahun) dan sehat akal adalah cakap menurut hukum. Aspek keadilan dilihat dari orang yang membuat perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu harus mempunyai cukup kemampuan untuk menyadari benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya atas perbuatannya itu.

  c. Mengenai suatu hal tertentu Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian atau objek perjanjian serta prestasi yang wajib dipenuhi, kejelasan mengenai pokok perjanjian atau objek perjanjian itu dimaksudkan untuk memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak. Jika pokok perjanjian, objek perjanjian dan prestasi itu tidak dilaksanakan maka perjanjian itu batal. Suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat ketiga ini berakibat batal demi hukum, oleh karena itu perjanjian dianggap tidak pernah ada.

  d. Suatu sebab yang halal Sebab adalah sesuatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian atau yang mendorong orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan dengan

  causa

  yang halal menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang untuk membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Undang-Undang tidak mempedulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian, yang menjadi perhatian dan yang diawasi oleh undang-undang adalah isi dari perjanjian itu sendiri, yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak. Menurut Abdulkadir Muhammad, akibat huum perjanjian yang berisi tidak halal adalah batal (nietig, void). Tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan pejanjian di muka hakim, karena sejak semula dianggap tidak ada perjanjian. Apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa causa (sebab) maka ia

  56 dianggap tidak pernah ada (Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

  Semua perjanjian yang tidak memenuhi sebab yang halal akibatnya perjanjian batal demi hukum, untuk dapat menyatakan demikian diperlukan formalitas tertentu, yaitu dengan putusan pengadilan, hal ini menyangkut kepercayaan, karena perjanjian yang dinyatakan batal demi hukum oleh pengadilan berakibat

  57 semua orang menjadi percaya pada putusan tersebut.

4. Objek dan Subjek Perjanjian

  a. Objek perjanjian Seorang kreditor berhak atas suatu prestasi yang diperjanjikan, dan debitor melaksanakan prestasi, dengan demikian hakikat dari suatu perjanjian adalah 56 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Cetakan ke III, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 227. 57 Gatot Supramono, op.cit., hal. 171.

  pelaksanaan prestasi. Prestasi merupakan objek dari suatu perikatan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, wujud prestasinya ialah : 1) memberikan sesuatu, 2) berbuat sesuatu, 3) tidak berbuat sesuatu.

  Tentang objek/prestasi perjanjian harus dapat ditentukan adalah suatu yang logis dan praktis, takkan ada arti perjanjian jika undang-undang tidak menentukan hal

  58

  demikian. Maka Pasal 1320 ayat (3) menentukan, bahwa objek/prestasi perjanjian harus memenuhi syarat, yaitu objeknya harus tertentu (een bepaalde onderwarp).

  Sekurang-kurangnya objek itu mempunyai “jenis” tertentu seperti yang dirumuskan dalam Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Objek atau jenis objek merupakan persyaratan dalam mengikat perjanjian, dengan sendirinya perjanjian demikian “tidak sah” jika seluruh objek/voorwep-nya tidak tertentu.

  b. Subjek Perjanjian Kreditor dan debitor itulah yang menjadi subjek perjanjian. Kreditor mempunyai hak atas prestasi dan debitor wajib memenuhi pelaksanaan prestasi.

  Sesuai dengan teori dan praktek hukum, kreditor terdiri dari : 1) Individu sebagai persoon yang bersangkutan : natuurlijke persoon atau manusia tertentu, rechts persoon atau badan hukum. 58 M Yahya harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung, Alumni, 1986), hal. 10

  2) Seseorang atas keadaan tertentu mempergunakan kedudukan/hak orang lain tertentu : seorang bezitter atas kapal.

  Beziteer

  3) dapat bertindak sebagai kreditor dalam suatu perjanjian. Kedudukan nya sebagai subjek kreditor bukan atas nama pemilik kapal inpersoon.

  Persoon 4) yang dapat diganti.

  Mengenai persoon kreditor yang “dapat diganti” atau vervangbaar, berarti kreditor yang menjadi subjek pemula, telah ditetapkan dalam perjanjian; sewaktu-waktu dapat diganti kedudukannya dengan kreditor baru. Perjanjian yang dapat diganti ini dapat dijumpai dalam bentuk perjanjian “aan order” atau perjanjian atas order/atas perintah. Demikian juga dalam perjanjian “aan tooder” perjanjian “atas nama” atau “kepada pemegang/pembawa” pada surat-surat tagihan hutang (schuldvordering papier). Tentang siapa yang menjadi debitor, sama keadaannya dengan orang-orang yang dapat menjadi kreditor : 1) Individu sebagai persoon yang bersangkutan : natuurlijke persoon atau manusia tertentu, rechts persoon atau badan hukum.

  2) Seseorang atas kedudukan/keadaan tertentu bertindak atas orang tertentu. 3) Seseorang yang dapat diganti menggantikan kedudukan debitor semula, baik atas dasar bentuk perjanjian maupun izin persetujuan debitor.

  Perjanjian Pembiayaan Konsumen

  Sistem perekonomian yang terus bergerak sesuai dengan perkembangan ekonomi global, khususnya era pasar bebas, perlu dilakukan berbagai terobosan dalam menunjang pertumbuhan perekonomian nasional. Untuk itu sarana penyediaan dana bagi masyarakat perlu diperluas, dimana salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah melalui kegiatan pembiayaan, diantaranya Pembiayaan Konsumen.

  Untuk mendukung maksud tersebut, maka dikeluarkanlah Keputusan Presiden Nomor 61 tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, dan terakhir dikeluarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan untuk melengkapi Keputusan Presiden sebelumnya.

  Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009, menyatakan bahwa Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal. Berdasarkan pengertian lembaga pembiayaan sebagaimana dimaksud di atas, maka dalam lembaga pembiayaan terdapat unsur-unsur sebagai berikut : a. Badan Usaha, yaitu perusahaan pembiayaan yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan.

  b. Kegiatan pembiayaan, yaitu melakukan pekerjaan atau aktivitas dengan cara membiayai pihak-pihak atau sektor usaha yang dibutuhkan.

  c. Penyediaan dana, yaitu perbuatan penyediaan uang untuk suatu keperluan.

  d. Barang Modal, yaitu barang yang dipakai untuk menghasilkan sesuatu atau barang lain, seperti mesin-mesin, peralatan pabrik, dan sebagainya.

  e. Tidak menarik dana secara langsung (non deposit taking), artinya tidak mengambil uang secara langsung baik dalam bentuk giro, deposito, tabungan dan surat sanggup bayar kecuali hanya untuk dipakai sebagai jaminan hutang kepada bank yang menjadi krediturnya.

  f. Masyarakat, yaitu sejumlah orang yang hidup bersama di suatu tempat, yang

  59 59 terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.

  Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan. (Jakarta: Sinar Grafika), 2008, hal.2. Menurut Munir Fuady, lahirnya pemberian kredit dengan sistem pembiayaan konsumen ini sebenarnya sebagai jawaban atas kenyataan-kenyataan berikut:

  60

  1. Bank-bank kurang tertarik/tidak cukup banyak dalam menyediakan kredit kepada konsumen, yang umumnya merupakan kredit-kredit berukuran kecil.

  2. Sumber dana yang formal lainnya banyak keterbatasan atau sistemnya kurang fleksibel atau tidak sesuai kebutuhan.

  3. Sistem pembayaran informal seperti yang dilakukan oleh para lintah darat atau tengkulak dirasakan sangat mencengkeram masyarakat dan sangat usuary

  oriented

  . Sistem pembiayaan formal lewat koperasi, seperti Koperasi Unit Desa ternyata tidak berkembang seperti yang diharapkan. Lembaga Pembiayaan merupakan badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dan atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat. Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 menyatakan bahwa lembaga pembiayaan meliputi: a. Perusahaan pembiayaan

  b. Perusahaan Modal Ventura

  c. Perusahaan pembiayaan infrastruktur Kegiatan-kegiatan usaha lembaga pembiayaan diatur dalam Pasal 3 s/d Pasal 5

  Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009. Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan meliputi: a) Sewa Guna Usaha; b) Anjak Piutang; c) Usaha Kartu Kredit; dan/atau d)Pembiayaan Konsumen.

  Kegiatan usaha Perusahaan Modal Ventura meliputi: a) Penyertaan saham

  (equity participation)

  ; b) Penyertaan melalui pembelian obligasi konversi (quasi 60 Munir Fuady, Hukum Pembiayaan (Dalam Teori dan Praktek), (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti), 2002, hal 163.

  equity participation)

  ; dan /atau c) Pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha (profit/revenue sharing).

  Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur meliputi:

  a. Pemberian pinjaman langsung (direct lending) untuk Pembiayaan Infrastruktur;

b. Refinancing

  atas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain; dan/atau

  c. Pemberian pinjaman subordinasi (subordinated loans) yang berkaitan dengan Pembiayaan Infrastruktur;

  Untuk mendukung kegiatan usaha sebagaimana dimaksud di atas, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dapat pula melakukan:

  a. Pemberian dukungan kredit (credit enhancement), termasuk penjaminan untuk Pembiayaan Infrastruktur;

  b. Pemberian jasa konsultasi (advisory services) ;

  c. Penyertaan modal (equity investment) ;

  swap market

  d. Upaya mencarikan yang berkaitan dengan Pembiayaan Infrastruktur; dan/atau

  e. Kegiatan atau pernberian fasilitas lain yang terkait dengan Pembiayaan Infrastruktur setelah memperoleh persetujuan dari Menteri.

  Kegiatan usaha lembaga pembiayaan dapat dilakukan oleh:

  1. Bank, meliputi Bank Umum, Bank Tabungan dan Bank Pembangunan

  2. Lembaga Keuangan Bukan Bank, yaitu badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang keuangan yang secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana dengan jalan mengeluarkan surat berharga dan menyalurkan ke dalam masyarakat guna membiayai investasi perusahaan-perusahaan.

  3. Perusahaan Pembiayaan, yaitu badan usaha diluar bank dan lembaga keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga keuangan. Perusahaan pembiayaan yang dimaksud di atas harus berbentuk Perseroan

  Terbatas atau Koperasi. Dalam hal perusahaan pembiayaan berbentuk PT, berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan jo Pasal 9 ayat (3) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan jo Pasal 3 ayat (3) Keputusan Presiden Nomor 61 tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan, bahwa saham perusahaan pembiayaan dapat dimiliki oleh : a. Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia.

  b. Badan Hukum Asing dan Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia (usaha patungan).

  Menurut Pasal 10 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1251/KMK.03/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, pengertiannya adalah : Kegiatan Pembiayaan Konsumen dilakukan dalam bentuk penyediaan dana bagi konsumen untuk pembelian barang yang pembayarannya dilakukan secara angsuran atau berkala oleh konsumen.

  Kegiatan pembiayaan dilakukan dalam suatu perjanjian, yaitu perjanjian pembiayaan. Perjanjian Pembiayaan Konsumen adalah pembayaran harga barang tidak dibayar dalam satu kali pembayaran, tetapi dalam beberapa kali angsuran. Maksudnya, bahwa perusahaan pembiayaan berkewajiban utama memberikan sejumlah uang untuk pembelian sesuatu barang konsumen, sementara konsumen berkewajiban utama untuk membayar kembali uang tersebut secara angsuran kepada perusahaan pembiayaan.

  Perjanjian Pembiayaan Konsumen dibuat secara tertulis dan isinya telah ditetapkan secara sepihak oleh perusahaan pembiayaan yang kemudian dituangkan dalam bentuk formulir-formulir, dibuat secara massal dan diberlakukan bagi semua konsumen. Dengan demikian Perjanjian Pembiayaan Konsumen termasuk dalam Perjanjian Standar/Perjanjian Baku karena konsumen tidak dapat mengubah, menambah dan mengganti seluruh atau sebagian isi perjanjian.

B. Klausula Baku Dalam Suatu Perjanjian Pembiayaan

  Klausula baku, atau umumnya dikenal orang sebagai perjanjian dengan syarat- syarat baku, standard contract, termuat dalam Pasal 1 angka 10, adalah: “Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi

  61 oleh konsumen”.

  Dengan ketentuan ini, setiap syarat dalam dokumen (bon pembelian, bon parker, tanda terima pencucian pakaian, tanda penyerahan kiriman barang, kwitansi 61 Kutipan ps. 10 angka 1 UU Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999. pembayaran biaya rumah sakit/dokter dan yang sejenis), atau perjanjian (perjanjian kredit bank, perjanjian pembelian rumah, perjanjian pembelian kendaraan bermotor atau alat-alat elektronik, perjanjian asuransi, dan sejenisnya), dilarang digunakan sepanjang bertentangan dengan ketentuan termasuk Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen. Klausula baku itu batal demi hukum (Pasal 18 ayat 3) terhitung sejak tanggal 20 April 2000. Klausula baku yang dilarang antara lain adalah larangan pengalihan tanggung jawab, penolakan penyerahan barang atau uang kembali, pernyataan tunduknya konsumen pada aturan-aturan baku, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha, letak atau bentuknya sulit terbaca atau dimengerti. Pelaku usaha, siapapun dia, wajib menyesuaikan klausula bakunya dengan ketentuan UU Perlindungan Konsumen (Pasal 18 ayat 4).

  Jenis, Fungsi dan Ciri-ciri Perjanjian Baku

1. Jenis Perjanjian Baku

  Terhadap jenis perjanjian baku ini Mariam Darus membedakan menjadi tiga, yaitu : a. Perjanjian baku sepihak

  Yaitu perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya dalam perjanjian itu.

  b. Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah Yaitu perjanjian yang isinya ditentukan oleh pemerinah terhadap perbuatan hukum tertentu. c. Perjanjian baku yang ditentukan oleh lingkungan notaries atau advokat Yaitu perjanjian yang konsepnya sejak semula disediakan untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan. Dalam perpustakaan Belanda, jenis ini disebut contract

  model .

  Biasanya dalam perjanjian baku sepihak (eenzekelijk standaarcontract) pihak yang kuat disini adalah pihak yang ekonominya lebih kuat dan mempunyai kedudukan posisi dalam keadaan yang dibutuhkan oleh pihak lain. Sementara perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah misalnya dalam bidang agraria, seperti formulir perjanjian yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri no.104/Dja/1977 berupa antara lain akta jual beli, akta hipotik. Selain itu juga termasuk formulir- formulir perjanjian khusus dimana peran pemerintah merupakan hal yang pokok dalam mengatur perjanjian itu untuk ketertiban umum. Sedangkan perjanjian baku di lingkungan notaris atau advokat biasanya dipakai untuk rujukan bentuk formulir atau advokat.

  Dalam prakteknya yang sering menimbulkan masalah adalah perjanjian baku sepihak. Dan biasanya yang dijadikan pokok pembicaraan dalam kajian mengenai perjanjian baku adalah perjanjian baku sepihak, demikian pula penyebutan perjanjian baku juga merujuk pada perjanjian baku sepihak. Oleh karena itu perjanjian baku sepihak ini dapat dimaksudkan sebagaimaan pengertian dari adhesion contract, untuk mempersempit arti dari pengertian yang lebih luas, yaitu standard form contract. Jenis dari perjanjian baku (sepihak) ini dapat bermacam-macam, Remy Sjahdeni

  62

  membedakan dua jenis perjanjian baku (sepihak) ini, yaitu:

  a. Dokumen yang ditandatangani

  Yaitu perjanjian baku atau syarat-syarat baku yang dituangkan ke dalam dokumen yang harus ditandatangani sebagai tanda kesepakatan. Contohnya adalah perjanjian kredit di bank, perjanjian kredit sindikasi polis, asuransi, perjanjian pengangkutan kapal dan lain-lain. Umumnya berbentuk formulir yang sudah baku, dan pihak lain hanya dapat mengisi bagian-bagian umum yang sengaja dikosongkan untuk diisi pihak lainnya, sementara syarat-syarat yang sudah ada tidak dapat diundangkan lagi.

  b. Dokumen yang tidak ditandatangani

  Yaitu perjanjian baku atau syarat-syarat baku yang dituangkan dalam bentuk dokumen yang diberikan kepada pihak lain yang tidak perlu ditandatangani, dan dengan menerima dokumen tersebut telah dianggap menyepakati isi dari perjanjian atau syarat-syarat baku itu. Contohnya adalah tiket parkir, kwitansi tanda pembayaran atau tanda terima dari pembelian barang atau jasa, tiket atau tanda terima pembayaran yang sifatnya massal, dengan mencantumkan klausul-klausul tertentu, dan biasanya kesempatan untuk membaca dan mempelajari dokumen-dokumen itu sangat singkat, bahkan dapat dikatakan tidak diberikan kesempatan waktu.

  2. Fungsi Perjanjian Baku 62 Sjahdeni Sutan Remi, op cit

  Fungsi dari perjanjian baku tidak terlepas dari latar belakang dan faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya perjanjian baku. Disamping masalah yang ditimbulkannya, perjanjian baku pada dasarnya memberikan beberapa kegunaan praktis yang memang dibutuhkan dalam lapangan hukum perjanjian saat ini, seiring dengan kemajuan zaman, teknologi industri dan modernisasi. Beberapa hal penting yang dapat dikatakan sebagai fungsi perjanjian baku antara lain:

  a. Untuk digunakan dalam jenis transaksi tertentu dengan menghindari terjadinya perundingan berulang-ulang. Dalam transaksi tertentu dengan hal yang sama, sulit dilakukan tawar menawar (bargaining) isi dari suatu perjanjian.

  b. Efisiensi, terciptanya kelancaran dalam penyediaan barang dan jasa. Dalam masa globalisasi dan industrialisasi sekarang ini dipengaruhi juga oleh sifat modern dalam masyarakat yang menghendaki pelayanan barang dan jasa yang cepat, maka perjanjian baku berfungsi sangat strategis terutama dalam hal waktu, biaya dan tenaga. Ditambahkan pula adanya produksi massal yang membuat kebutuhan akan perjanjian baku menjadi begitu penting.

  c. Memungkinkan pengusaha memperhitungkan dan mengurangi resiko yang tidak diinginkan. Dengan perjanjian yang sudah baku, maka secara cepat sudah dapat terhitung apa yang didapat dan resiko apa yang muncul dan segalanya akan lebih pasti disebabkan konsumen tinggal menerima saja apa yang diinginkan oleh pihak pengusaha yang membuat perjanjian baku tersebut.

  d. Memberi keuntungan pelaku usaha dalam hal perselisihan yang menyangkut

  63 perjanjian baku tersebut.

3. Ciri-ciri Perjanjian Baku

  Untuk dapat membedakan dan membagi suatu perjanjian menjadi perjanjian baku perlu kiranya diketahui ciri-ciri umum yang biasanya terdapat dalam perjanjian baku. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa penekanan pengertian perjanjian baku oleh Mariam Darus terletak pada isi dan bentuknya yang sudah dibakukan, dan 63 Atiyah, P.S. 2000, www.library.upnvj.ac.id/pdf/bab4 Remy Sjahdeni menekankan klausul-klausul yang dibakukan yang tidak memberikan peluang untuk dirundingkan, maka terdapat ciri-ciri lain yang lebih mempersempit permasalahan dari pengertian perjanjian baku yang lebih luas. Dengan berpedoman pada pengertian perjanjian baku yang diberikan Black’s Law

64 Dictionary

  , dapat disimpulkan ciri-ciri perjanjian baku, antara lain :

  a. Bentuk yang sudah dibakukan

  b. Menyangkut barang dan jasa konvensional

  c. Penjual berada dalam kedudukan yang lebih kuat dalam tawar menawar

  d. Pembeli tidak mempunyai kesempatan nyata untuk mencari perjanjian yang lebih menguntungkan di tempat lain.

  e. Pembeli tidak mempunyai kesempatan yang nyata untuk menawar syarat- syaratnya, perjanjian itu diberikan secara “take it or leave it”. Sedangkan P.S. Atiyah memberikan ciri-ciri perjanjian baku sebagai berikut : “the

  typical was made on a set of fixed or standard terms with a few blanks allowing for the insertion of the names of the parties, the particular subject-matter of the contract 65 the prince, and perhaps one or two other details”.

  Karakteristik Hukum Perjanjian di Indonesia

  Hukum perjanjian di Indonesia sebagaimana dimuat dalam buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata termaksud dalam rumpun civil law system. Berbeda dengan system common law, menurut sistem ini sebuah kontrak merupakan persetujuan yang mengikat secara hukum. Agar sebuah kontrak mengikat secara hukum, proses penawaran serta penerimaan yang mengawali penutupan kontrak harus memenuhi persyaratan tertentu seperti :

  1. Persetujuan sebagai hasil dari perundingan para pihak belum menghasilkan perjanjian, persetujuan hanya menunjukkan persetujuan kehendak para pihak tentang beberapa hal. 64 65 Ibid, Campbell Henry, 1998.

  Atiyah P.S. 2000

  2. Untuk kepentingan hukum, persesuaian kehendak saja tidak cukup, tetap harus dinyatakan melalui pernyataan atau perbuatan.

  3. Agar penawaran sebagai pernyataan atau perbuatan mengikat secara hukum (legally binding), penawaran tersebut harus jelas, tegas dan konkrit.

  4. Apabila persyaratan itu belum terpenuhi, maka penawaran (offer) hanya dipandang sebagai tindakan ajakan saja.

  Persyaratan penawaran (offer) yang mendahului perjanjian atau kontrak sebagaimana yang dibicarakan di atas, menyebabkan penawaran dalan hukum

  common law

  senantiasa dilakukan sedemikian rinci sehingga penawaran tersebut jelas, tegas dan konkrit. Karakteristik tingkat perincian dan penawaran tidak ditemukan dalam konstruksi hukum perjanjian di Indonesia menurut Kitab Undang- undang Hukum Perdata yang merupakan hukum perjanjian yang berasal dari rumpun hukum civil law. Karakteristik tingkat yang tinggi inilah yang menyebabkan secara fisik kontrak di dalam sistem common law memiliki kerincian melebihi kontrak dalam sistem hukum civil law, karena bila di kemudian penawaran yang mensyaratkan tingkat kerincian yang tinggi tersebut akan menjadi ketentuan dan persyaratan (terms and conditions) dalam kontrak yang ditutup.

  Perjanjian Baku Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen

  Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen No. Tahun 1999 mengatur mengenai perjanjian baku khususnya dalam hal klausul-klausul baku dalam perjanjian. Aturan tersebut dicantumkan dalam suatu bab tersendiri yaitu BAB V, yang berjudul “Ketentuan Pencantuman Klausula Baku”. Dalam Pasal 18 ayat (1) nya diatur mengenai larangan pencantuman klausul-klausul yang merugikan konsumen yaitu klausul-klausul yang berisi pengalihan tanggung jawab penolakan pengembalian barang ; penolakan penyerahan pengembalian uang yang telah dibayar ; pemberian kuasa untuk melakukan tindakan sepihak ; pengaturan pembuktian batas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa ; pemberian hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek transaksi ; pernyataan tunduk pada aturan baru, tambahan atau lanjutan yang dibuat sepihak ; dan pemberian kuasa untuk pembebanan hak yang dibeli secara angsuran ; hak gadai ; atau hak jaminan yang dibeli secara angsuran.

  Pelarangan ini dimuat dengan tujuan untuk melindungi konsumen dari klausul-klausul yang tidak adil dan merugikan. Pembatasan atas asas kebebasan berkontrak salah satunya ada dengan undang-undang (wet). Dengan demikian terhadap klausul-klausul baku termasuk klausul eksemsi di perjanjian atau dokumen- dokumen lainnya. Sehingga permasalahan kesepakatan atas klausul-klausul yang tidak wajar tersebut dapat diselesaikan dengan adanya aturan yang melarang klausul- klausul tersebut. Hal ini juga berhubungan dengan konsep unconsnability di atas, bahwasannya klausul yang dilarang pencantumannya itu merupakan klausul yang tidak wajar dan tidak adil. Pelarangan inipun pada akhirnya turut membantu menciptakan peningkatan posisi tawar dari konsumen yang lebih lemah ketika berhadapan dengan perjanjian baku.

  Dalam ayat (2) diatur mengenai letak dan bentuk klausul baku, dimana pelaku usaha dilarang dapat dibaca dengan jelas. Permasalahan yang biasanya timbul dalam sepakat, adalah pihak konsumen sering mengetahui adanya klausul-klausul tersebut. Dengan tidak terbaca, tidak jelas maupun tidak diketahuinya klausul-klausul tersebut dapat dikatakan kekhilafan dari pihak konsumen. Kesulitannya yaitu adanya konsep syarat mengetahui (kenbaarheid) dan dalam aturan hukum common law dikenal

  66

  dengan asas duty to read, dengan pengertian bahwa pihak tersebut akan terikat pada perjanjian itu sekalipun untuk bagian tertentu atau bahkan untuk seluruh perjanjian tersebut ternyata pihak yang bersangkutan tidak pernah membacanya.

  Kesulitan lainnya adalah Pasal 1322 KUH Perdata yang mengatur tentang kekhilafan menyatakan bahwa “kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selainnya apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakekat barang yang

  67 menjadi pokok perjanjian. Namun pengertiannya lebih lanjut dijelaskan oleh Prof.

  Subekti bahwa kekhilafan atau hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat penting dari barang yang menjadi objek perjanjian. Dan kekhilafan itu harus sedemikian rupa hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.

  Dalam perjanjian baku yang dibuat dengan mencantumkan adanya kesengajaan dari pelaku usaha untuk menyesatkan mempergunakan kekhilafan lawan untuk keuntungannya. Ditambahkan oleh Prof. Subekti mengenai adanya syarat kekhilafan bahwa kekhilafan itu harus diketahui oleh lawan, atau sedikitnya sedemikian rupa sehingga pihak lawan mengetahui bahwa ia berhadapan dengan

  66 67 Ibid, Sjahdeni Sutan Remy, 1987 Ibid, Subekti, 1979.

  

68

  seseorang yang berada dalam kekhilafan. Sehubungan dengan hal itu, cara itikad baik dari pelaku usaha, karena adanya kesengajaan, menunjukkan tidak adanya itikad baik dalam perjanjian itu.

  Ayat ketiga (3) dari pasal 18 mengatur mengenai ketentuan bahwa klausul baku yang mencantumkan ketentuan yang dilarang itu dinyatakan batal demi hukum.

  Mengenai hal ini perlu dikritisi bahwasannya dengan adanya aturan-aturan yang mengatur klausul baku ini, permasalahan tidak lagi menjadi permasalahan mengenai kesepakatan. Sebab permasalahan mengenai kesepakatan menyebabkan pembatalan menyangkut syarat subyektif dari sahnya perjanjian.

  Permasalahan ini telah menjadi permasalahan syarat ‘sebab yang halal” yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 1322 ayat (4) jo 1337 KUH Perdata bahwa suatu sebab dilarang oleh undang-undang, oleh karena itu dinyatakan batal demi hukum (null and void).

  Pada ayat (4) diatur mengenai ketentuan yang mewajibkan pelaku usaha menyesuaikan klausul-klausulnya dengan aturan-aturan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. Hal ini mengingat bahwa pencantuman klausul-klausul seperti demikian telah menjadi hal umum dalam perjanjian dan perdagangan.

  Sehingga perlu adanya penyesuaian dari pelaku usaha dan itu pulalah yang menyebabkan baru diberlakukannya undang-undang tersebut pada tanggal 20 April 2000 atau setahun setelah disahkan yaitu tanggal 20 April 1999.

  Kedudukan Para Pihak Dalam Perjanjian Baku 68 Ibid

  Asas kebebasan berkontrak yang didasari oleh liberalisme dan individualisme dengan Laissez Faire-nya, dijadikan dasar pembenaran dan alasan bagi praktek perjanjian baku. Bahwa para pelaku usaha bebas membuat perjanjian yang dikehendaki dan menguntungkan sehingga bebas untuk dibuat secara baku dan pelaksanaannya dikembalikan pada kehendak pasar atau pasar bebas sebagai perwujudan dari teori Adam Smith yang menolak campur tangan pemerintah dalam perekonomian, sebagai akibat selanjutnya adalah situasi sosial ekonomi yang menghendaki adanya perjanjian baku dalam kehidupan sehari-hari. Ternyata hal ini dapat menimbulkan pertentangan-pertentangan prinsip di antara paham-paham tersebut sehubungan dengan perjanjian baku.

  Dari pengertian perjanjian baku yang diberikan Black’s slaw Dictionary bahwa pihak pelaku usaha mempunyai kedudukan yang lebih kuat dalam tawar menawar, dan konsumen tidak mempunyai kesempatan nyata untuk menawar syarat- syarat tersebut, maka dapat terlihat ketiadaan keseimbangan dan kesamaan kedudukan antara para pihak. Demikian pula dari ciri-ciri perjanjian baku yang diberikan Mariam Darus bahwa isi perjanjian ditetapkan secara sepihak oleh yang posisi (ekonomi) nya lebih kuat, dan pihak yang lain tidak menentukan isi perjanjian, mempertegas perbedaan kedudukan kedua belah pihak. Di satu sisi pihak yang menawarkan syarat-syarat perjanjian sangat kuat dan/atau menawarkan syarat-syarat perjanjian sangat kuat dan/atau sangat dibutuhkan pihak lain lebih dirugikan, namun pihak yang lemah tersebut mau tidak mau harus memenuhi syarat itu karena tidak adanya pilihan lain (take it or leave it).

  Praktek yang seperti ini merupakan efek samping dari paham liberalisme. Paham liberalisme dalam perkembangannya telah menghasilkan sistem kapitalis, dimana dalam kapitalisme sistem perekonomian ditekankan pada peranan kapital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya, termasuk barang yang digunakan

  69

  dalam produksi barang lainnya. Dengan sistem kapitalisme muncul pemilik-pemilik modal yang menguasai sistem ekonomi dan menciptakan kesenjangan di antara

  70

  masyarakat. Oleh Karl Marx, hal ini dilihat secara material is dialektis histories, dalam kritik mengenai kapitalisme, dengan manusia hidup dalam masyarakat bahwa memahami manusia berarti memahami masyarakat, memahami masyarakat berarti memahami struktur masyarakat, memahami struktur masyarakat terbagi menjadi dua yaitu (1) suprastruktur dan (2) infrastruktur manusia, dan (1.2) dan sistem politik ; infrastruktur terdiri dari (2.1) sistem sosial dan (2.2) sistem ekonomi. Infrastruktur menentukan suprastruktur, karenanya sistem ekonomi sangat menentukan struktur yang lainnya sehingga orang memperebutkan sistem ekonomi, sementara sistem ekonomi dikuasai oleh kaum pemilik modal atau kapitalis. Akibatnya tidak terjadi suatu keadilan sosial dalam masyarakat.

  Kapitalisme juga dihubungkan dengan laissez Jaire dan teori ekonomi klasik Adam Smith, dengan membiarkan perekonomian termasuk perjanjian-perjanjian dan kontrak-kontrak di dalamnya, berjalan dengan sendirinya tanpa aturan dari negara.

  Akibatnya, karena sistem ekonomi telah dikuasai oleh para pemilik modal maka 69 70 Ibid, Bagus Lorens, 1996.

  Suseno Magnis, 1999. perlindungan bagi yang lemah tidak memadai. Praktek perjanjian baku memanfaatkan keadaan ini sehingga pihak yang kuat tersebut dapat menguasai pihak-pihak yang lemah dalam perjanjian untuk meraih keuntungan yang besar akibat dari perbedaan kedudukan para pihak.

  Hal ini dikatakan merupakan efek samping, karena pada dasarnya paham liberalisme justru menginginkan adanya keadilan bagi tiap individu untuk lepas dari

  Liberte, Egalite, Fratemite

Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Perjanjian Leasing Kenderaan Bermotor (Studi pada PT. Astra Credit Company Medan)

12 106 96

Analisis Terhadap Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Pada Perusahaan Pembiayaan Astra Credit Company Di Medan (Studi Pada PT Astra Credit Company Cabang Medan)

4 75 165

Tinjauan Yuridis Terhadap Nasabah Yang Melakukan Pembiayaan Bermasalah Dalam Perjanjian Murabahah Pada Perbankan Syariah (Studi Pada : BRI Syariah KCI.S.Parman Medan)

4 71 114

Analisa Pengakuan Pendapatan Atas Penjualan Angsuran Mobil Pada PT Astra Credit Company Medan

55 289 79

Proses Kepemilikan Kendaraan Bermotor Secara Kredit Di PT. Astra Credit Companies Medan Sebagai Lembaga Pembiayaan Konsumen (Penelitian Di Astra Credit Companies)

0 28 108

Tinjauan Atas Pembiayaan Bermasalah Dari Produk Pembiayaan Mudharabah Pada Bank Jabar Banten Syariah (BJBS) Kantor Cabang Purwakarta

1 13 54

Analisis Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Pada Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baituttamwil Tamzis Cabang Bandung Periode 2010-2011

0 7 1

BAB II KREDIT PEMBIAYAAN DALAM PERBANKAN A. Tinjauan Umum Tentang Kredit - Aspek Yuridis Pemberian Pembiayaan Modal Kerja pada Perbankan Syariah dengan Menggunakan Akad Mudharabah (Studi pada Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Utama)

0 0 21

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN DAN MODAL VENTURA A. Tinjauan Umum Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Pertanggungjawaban Perusahaan Pasangan Usaha Dalam Perjanjian Pembiayaan Pola Bagi Hasil Pada Perusahaan Modal Ventura (Studi Pada Pt. Sarana Sumut Ve

0 1 42

BAB II PROFIL BANK SYARIAH MANDIRI MEDAN A. Sejarah Perusahaan - Analisis Pembiayaan Pada Bank Syariah Mandiri Medan

0 0 13