BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Hubungan Internal Audit dan Good Corporate Governance (GCG) - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Hasil Pemeriksaan Satuan Pengawasan Intern Dengan Good Corporate Governance (GCG) Sebagai Variabel Mo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

  2.1.1. Hubungan Internal Audit dan Good Corporate Governance (GCG)

  Peranan internal audit dalam good corporate governance (GCG) yang dikeluarkan oleh KPMG dalam Purwaningsih (2008) berjudul Internal Audit’s

  

Role in Corporate Governance disebutkan bahwa peranan kunci internal audit

  adalah membantu Dewan Pengawas / Komite Audit dalam peranan internal memastikan adanya pengawasan yang memadai atas internal control dan dengan melakukan hal tersebut akan membentuk komponen yang integral dalam kerangka kerja corporate governance perusahaan. Dalam hal ini, internal audit membantu dewan pengawas dan atau komite audit dalam pemenuhan tanggung jawab atas

  Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perwujudan good corporate

  

governance (GCG) membutuhkan peran pihak intern perusahaan, salah satunya

  yaitu peran internal audit. Internal auditor merupakan dukungan penting bagi komisaris, komite audit, direksi dan manajemen senior dalam membentuk fondasi bagi pengembangan good corporate governance (GCG)”

  2.1.2. Standar Audit Intern

  Dalam melakukan audit ada standar-standar yang harus dipatuhi oleh setiap personil auditor termasuk auditor internal, dalam menjalankan tugasnya ada aturan dan etika yang harus dijalankan dan tidak boleh diabaikan serta menjadi pedoman bagi auditor sebagai tanggung jawab profesionalnya. Standar-standar ini meliputi pertimbangan mengenai kualitas profesional mereka, seperti keahlian dan independensi, persyaratan pelaporan dan bahan bukti.

  Pemeriksa intern memerlukan pedoman atau standar dalam menjalankan fungsinya. Institute of Internal Auditors (IIA) telah menetapkan standar praktek bagi pemeriksa intern yang mengikat para anggotanya. Standar itu menetapkan ukuran bagi operasi suatu audit intern yang memberi pengukuran konsisten tentang kinerja audit (Sawyer, 1991:39). Kriteria yang ditetapkan dalam standar itu dapat diterapkan pada semua perusahaan dan bagian audit intern merupakan kekuatan yang dapat menyatukan pemeriksa intern seluruh dunia; mendorong peningkatan praktek audit intern; mengenal segala sesuatu yang berkenaan dengan peran baru, objektivitas, ruang lingkup dan kinerja audit intern; dan mempromosikan pengakuan terhadap audit intern sebagai suatu profesi.

  Kerangka lengkap standar audit intern adalah sebagai berikut : (Miller, critied by Kell and Boynton, 1992:810) dalam Nasution (2008) dapat dilihat pada

tabel 2.1 sebagai berikut:Tabel 2.1. Kerangka Lengkap Standar Audit Intern

  NAMA DOKUMEN PENGESAH KETERANGAN

  Statement of Responsibilities of Internal Auditing Code of Ethnic

  IIA Board of Directors

  IIA Board of Directors Membicarakan Peran dan tanggung jawab audit intern Menetapkan standar perilaku professional untuk anggota IIA dan/atau pemeriksa intern berijazah

  Standards for the Professional Practice of Internal Auditing (Standards) General Standards Spesific Standards

  IIA Board of Directors Proffesional standards committee (PSC) Menetapkan 5 standar umum audit intern yang harus diikuti untuk memenuhi standar itu Menetapkan 25 standar khusus yang harus diikuti untuk memenuhi standar umum Guidelines PSC Menetapkan pedoman yang paling berterima umum untuk memenuhi standar umum dan standar khusus. Statement in Internal Auditing Standards (SIAS) PSC Memberi interpretasi tentang standar umum, standar khusus dan pedoman yang telah ditetapkan. Sebagai tambahan SIAS digunakan untuk manambah atau merubah pedoman yang ada Practice Directives (PD) PSC Menentukan kebijakan dan prosedur lembaga IIA menyusul pengelolaan standar professional

  Proffesional standards Bulletins (PSB) PSC Chairpersons Membicarakan permasalahan yang dihasilkan dari aplikasi pernyataan standar IIA PSB bukan merupakan pernyataan resmi dari IIA. Untuk pedoman resmi, pemeriksa intern harus merujuk pada standar IIA tersebut diatas.

  Di Indonesia, standar audit intern belum ditetapkan secara resmi yang berlaku bagi seluruh perusahaan. Kalaupun ada, yaitu acuan yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) berupa standar audit SPI BUMN/D yang meliputi standar umum, standar audit, standar pelaporan dan standar tindak lanjut. (Forum Komunikasi Satuan Pengawasan Intern (FK-SPI) BUMN/D, 1996:57). Sepertinya Standar Audit SPI BUMN/D tersebut mengadaptasi Standards for professional practice of internal Auditing yang di keluarkan oleh institute of internal Auditors (IIA).

2.1.3. Tanggung Jawab dan Peranan Auditor Internal

  Menurut Sawyer et al. (2006:6-8) menyatakan tanggung jawab auditor internal adalah memberikan informasi yang diperlukan manajemen dalam menjalankan tanggung jawab mereka secara efektif. Audit internal bertindak sebagai penilai independen untuk menelaah operasional perusahaan dengan mengukur dan mengevaluasi kecukupan kontrol serta efisiensi dan efektivitas kinerja perusahaan. Auditor internal memiliki peranan yang penting dalam semua hal yang berkaitan dengan pengelolaan perusahaan dan risiko-risiko terkait menjalankan usaha.

  Audit internal di seluruh dunia melakukan pekerjaan yang sama yaitu sangat memperhatikan pemborosan dan kecurangan, dari manapun sumbernya dan sekecil apapun jumlahnya karena penyimpangan kecil bisa menjadi besar sehingga dapat menggoyahkan pilar-pilar perusahaan. melaksanakan audit agar memperoleh keyakinan memadai bahwa manajemen menjalankan operasional perusahan dengan baik dan memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan mendeteksi penipuan atau kecurangan dan memelihara pengendalian intern. Sistem pengendalian internal terdiri atas kebijakan dan prosedur yang dirancang untuk memberikan manajemen kepastian yang layak bahwa perusahaan telah mencapai tujuan dan sasarannya.

  Kebijakan dan prosedur ini sering disebut pengendalian dan secara kolektif membentuk pengendalian internal. Biasanya manajemen memiliki tiga tujuan umum dalam merancang sistem pengendalian internal yang efektif: 1.

  Reliabilitas pelaporan keuangan. Manajemen bertanggung jawab untuk menyiapkan laporan keuangan bagi para investor, kreditor dan pemakai lainnya. Manajemen memikul tanggung jawab hukum maupun profesional untuk memastikan bahwa informasi telah disajikan secara wajar sesuai dengan persyaratan pelaporan seperti prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum.

  Tujuan pengendalian internal yang efektif atas pelaporan keuangan adalah memenuhi tanggung jawab pelaporan keuangan tersebut.

  2. Efisiensi dan efektivitas operasi. Pengendalian dalam perusahaan akan mendorong pemakaian sumber daya secara efisien dan efektif untuk mengoptimalkan sasaran-sasaran perusahaan. Tujuan yang penting dari pengendalian ini adalah memperoleh informasi keuangan dan non keuangan yang akurat tentang operasi perusahaan untuk keperluan pengambilan keputusan.

  3. Ketaatan pada hukum dan peraturan. Section 404 mengharuskan semua perusahaan publik mengeluarkan laporan tentang keefektifan pelaksanaan pengendalian internal perusahaan atas pelaporan keuangan.

  Peran pengawasan internal sangat strategis, paradigma baru peran pengawasan internal adalah dalam rangka menciptakan nilai tambah bagi perusahaan dengan fungsi pengawasan atas risiko perusahaan. Pengawasan internal sebagai suatu aktivitas penilaian independen yang dibentuk dalam suatu organisasi yang melaksanakan kegiatannya bagi organisasi.

  1. Lebih lanjut lagi bahwa tujuan pengawasan internal menurut (Gil, 1996:16) adalah untuk membantu para anggota organisasi agar dapat menyelesaikan tanggung jawabnya secara efektif, untuk tujuan tersebut pengawasan internal menyediakan bagi mereka berbagai analisis, penilaian, rekomendasi, nasihat dan informasi sehubungan dengan aktivitas yang diperiksa.

  Untuk tujuan tersebut ruang lingkup pengawasan internal yaitu: Cukup tidaknya pengendalian internal;

  2. Kualitas pelaksanaan dalam menjalankan tanggungjawab yang diberikan;

  3. Reliabilitas dan integritas informasi keuangan dan operasional yaitu : untuk membantu para anggota organisasi agar dapat menyelesaikan tanggung jawabnya secara efektif, untuk tujuan tersebut pengawasan internal menyediakan bagi mereka berbagai analisis, penilaian, rekomendasi, nasihat dan informasi sehubungan dengan aktivitas yang diperiksa;

  4. Kesesuaian dengan kebijakan, rencana, prosedur, hukum dan pengaturan;

  5. Verifikasi dan perlindungan harta; 6. Keekonomian dan efisiensi dalam penggunaan berbagai sumber daya.

  Hal-hal yang dilakukan dalam pengawasan internal dapat dirangkum dalam tiga kata kunci yaitu:

  1. Memastikan (menentukan, memverifikasi)

  2. Menilai (mengevaluasi, menaksir) dan Adapun audit internal, sebagaimana yang dinyatakan Dewan Direksi IIA dalam Sawyer et al. (2006:9) menyebutkan audit internal adalah sebuah aktivitas independen, keyakinan objektif dan konsultasi yang dirancang untuk memberi nilai tambah dan meningkatkan operasi organisasi. Audit tersebut membantu organisasi mencapai tujuannya dengan menerapkan pendekatan yang sistematis dan berdisiplin untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas proses pengelolaan risiko, kecukupan kontrol dan pengelolaan organisasi.

  Uraian di atas bermakna bahwa tujuan audit intern adalah untuk membantu anggota organisasi dalam melaksanakan tanggung jawab yang dibebankan kepada mereka agar efektif. Bantuan tersebut diwujudkan dalam bentuk analisis, penilaian, rekomendasi, konseling dan informasi yang berhubungan dengan kegiatan yang diperiksa.

2.1.5. Jenis – Jenis Audit Intern

  Sebagian pendapat mengatakan bahwa audit operasional identik dengan audit manajemen dan beranggapan bahwa audit intern yang berada di luar lingkup bidang audit keuangan disebut dengan audit operasional. Sementara pendapat lain mengatakan bahwa tidak semua audit yang berada diluar audit keuangan merupakan audit operasional dan ada bagian tertentu yang bukan audit operasional tapi adalah audit manajemen. Audit intern dibagi atas audit keuangan, audit operasional dan audit manajemen.

  Perbedaan audit operasional dengan audit manajemen berbeda dalam hal luas auditnya. Audit manajemen sebenarnya merupakan perluasan dari audit operasional, sehingga meskipun teknik audit yang dipergunakan keduanya adalah sama, namun penilaian lebih banyak dilakukan dalam audit manajemen dibandingkan dengan audit operasional. Jadi perbedaannya yaitu bahwa audit operasional itu penilaian yang dilakukan untuk manajemen (evaluation for

  

management), sedangkan audit manajemen itu penilaian terhadap kegiatan

manajemen (evaluation of management).

  Penulis lain yang juga memberi konstribusi tentang jenis audit intern tersaji berikut ini. Cook dan Winkle (1976:262) menyebutkan ada dua jenis audit intern, yaitu Internal Financial Auditing dan Internal Operational Auditing. Audit keuangan intern terutama berhubungan dengan audit dan penilaian kegiatan akuntansi atau keuangan suatu perusahaan sedangkan audit operasional intern merupakan pengujian dan penelitian terhadap operasi perusahaan terhadap tujuan menginformasikan pada manajemen apakah operasi telah terselenggara sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan. Termasuk dalam audit operasional adalah penilaian terhadap efisiensi penggunaan sumber daya manusia dan fisik sebagaimana juga penilaian terhadap berbagai prosedur operasi dan harus juga termasuk rekomendasi terhadap solusi masalah dan tentang metode meningkatkan efisiensi dan laba.

  Ramadhan (1990:298) dalam Nasution (2008) mengemukakan tidak sepakat dengan pendapat yang mengatakan bahwa audit operasional identik dengan audit manajemen. Dengan tegas dia mengatakan bahwa audit operasional berbeda cakupannya dengan audit manajeman. Audit operasional hannya penilaian terhadap manajemen tingkat menengah dan bawah (Middle and

  Supervisory). Apabila audit tersebut dilakukan terhadap manajemen puncak, maka

  hal ini tidak dapat disebut lagi sebagai audit operasional. Oleh karena itu audit operasional dapat disebut dengan audit manajemen, tetapi seluruh audit manajemen bukanlah audit operasional.

2.1.6. Posisi Audit Intern dalam Perusahaan

  Independensi bagian audit intern harus ditunjukkan dalam struktur formal tingkat dalam hirarki organisasi tempat bagian audit intern itu berada. Bagian audit intern hendaklah dapat memperoleh cakupan daerah audit yang luas, dapat mengeluarkan informasi yang memadai, tindakan yang efektif atas temuan audit serta rekomendasi audit. Dengan kata lain pimpinan bagian audit intern hendaklah bertanggung jawab pada pejabat yang memiliki pengaruh dan posisi yang cukup kuat sehingga kegiatan audit intern dapat mencapai ruang lingkup yang luas dan pertimbangan, tindakan maupun rekomendasi hasil audit dapat dilakukan dengan baik.

  Status organisasi dan dukungan manajemen merupakan faktor penentu atas penilaian jasa yang diberikan oleh bagian audit intern. Idealnya, makin tinggi pada siapa pemeriksa intern harus bertanggung jawab maka akan semakin baik, namun ini tidak seluruhnya benar tergantung dari macam dan kegiatan itu sendiri. Ada yang bertanggung jawab pada dewan komisaris, presiden direktur (direktur utama) atau kontroller dan sebagainya.

  Menurut PPA-STAN (1984:1) ada pendapat bahwa keadaan paling baik adalah organisasi internal auditor bertanggung jawab pada direktur utama.

  Walaupun ini juga mempunyai kelemahan, minimal hendaknya organisasi pemeriksa intern bertanggung jawab atau melaporkan pekerjaannya kepada pejabat yang berdasarkan wewenangnya dapat segera memerintahkan perbaikan secara tepat atau mengambil langkah-langkah berdasarkan pendapat atau saran pemeriksa intern.

  Apabila dihubungkan dengan perkembangan konsep audit intern, pada awalnya kedudukan pemeriksa intern adalah sebagai staf direktur keuangan.

  Kemudian berkembang menjadi staf presiden direktur atau direktur utama, namun akhir-akhir ini pemeriksa intern juga berperan sebagai staf dewan komisaris. besarnya pemeriksa intern bertanggung jawab pada salah satu dari tiga fungsionaris dibawah ini:

  1. Langsung bertanggung jawab pada dewan komisaris. Hal ini banyak dilakukan dalam perusahaan perusahaan bank dan asuransi. Dalam perusahaan ini internal auditor merupakan penjaga bagi dewan komisaris. Secara teoritis maka seluruh organisasi termasuk direktur utama dapat diteliti oleh internal auditor. Namun seperti yang dikatakan diatas, cara ini terbatas pada perusahaan perusahaan bank dan asuransi.

  2. Bertanggung jawab pada direktur utama. Cara ini agak jarang dipakai mengingat bahwa direkur utama dengan tugas tugasnya yang berat biasanya tidak mempunyai waktu untuk mempelajari laporan internal auditor dan kemudian melakukan tindakan koreksi berdasarkan laporan tersebut. (lihat gambar 2.1) Sumber : KD No.: Kep-225/DS200/08/2004 Keterangan : ______________ = tanggung jawab primer

Gambar 2.1. Struktur organisasi perusahaan dengan bagian satuan pengawasan intern memiliki tanggung jawab primer kepada direktur utama.

  3. Yang paling sering dilaksanakan adalah bahwa internal auditor bertanggung jawab pada fungsionaris keuangan tertinggi. Fungsionaris tersebut mungkin berfungsi sebagai direktur bidang keuangan, bendahara ataupun kontroler yang penting adalah bahwa fungsionaris tersebut adalah yang bertanggung jawab atas kordinasi pada persoalan persoalan keuangan dan akuntansi.

  DIRUT SPI SUBBAG TU

  BID WAS OPERASI BID WAS SDM&UMUM

  BID WAS KEUANGANI BID WAS BANG & IT

  PENGAWAS PENGAWAS PENGAWAS PENGAWAS

BID WAS

DIVRE

PENGAWAS

  Masing-masing alternatif diatas tentunya berpengaruh terhadap fungsi audit intern, hal ini disebabkan karena antara manajemen dan dewan komisaris memiliki kepentingan yang berbeda dengan kedudukan masing-masing di dalam perusahaan. Apabila bagian audit intern berada sepenuhnya dibawah wewenang manajemen tentu saja fungsi audit intern akan diarahkan sesuai dengan kepentingan manajemen semata. Begitu pula sebaliknya, andai kata bagian audit intern sepenuhnya berada dibawah wewenang dewan komisaris. Mengingat kondisi tersebut, mungkin alternatif yang baik adalah alternatif yang terakhir.

  Pemilihan alternatif terakhir ini mengundang masalah tentang seberapa jauh tanggung jawab bagian audit intern kepada manajemen dan seberapa jauh pula kepada dewan komisaris. Untuk itu terdapat tiga susunan yang dapat dilaksanakan. Pertama, bagian audit intern memiliki tanggung jawab primer kepada manajemen dan tanggung jawab sekunder kepada dewan komisaris. kepada dewan komisaris dan tanggung jawab skunder kepada manajemen. Ketiga, tanggung jawab primer diberikan baik kepada manajemen maupun dewan komisaris.

  Masing-masing susunan diatas tentu saja memiliki beberapa keuntungan dan kelemahannya akan tetapi yang jelas susunan yang dikemukakan terakhir terlihat kurang realistis, karena disini bagian audit intern bertanggung jawab secara penuh kepada dua administrator sekaligus. Menurut Brink et al. (1982:28) menyatakan kecendrungannya untuk menyetujui menempatkan bagian audit intern berada dibawah wewenang manajemen perusahaan dan memiliki tanggung jawab sekunder kepada dewan komisaris. Dalam hal ini sebaiknya bagian audit intern menyampaikan laporannya langsung kepada presiden direktur atau direktur utama, apabila presdir atau dirut tidak punya cukup waktu untuk meneliti laporan tersebut maka dapat disampaikan kepada direktur yang mempunyai hubungan langsung dengan presdir atau dirut. (lihat gambar 2.2) Board of

  Directors

  

Chief

Executive

Offi

  Senior Vice (Staff vice president)

  President, Finance Controller

  Treasure

  Internal Audit

  Subsidiaries and Division Sumber : Brink and Witt (1982) Keterangan : ______________ = tanggung jawab primer

  • = tanggung jawab sekunder

Gambar 2.2. Struktur organisasi perusahaan dengan bagian audit intern memiliki tanggung jawab primer kepada manajemen dan

  tanggung jawab sekunder kepada dewan komisaris.

2.1.7. Satuan Pengawasan Intern (SPI)

  Tujuan, kewenangan dan tanggungjawab dari fungsi pengawasan intern harus dinyatakan secara formal dalan Charter Audit Internal, konsisten dengan standar profesi audit internal dan mendapat persetujuan dari pimpinan dan dewan yaitu tidak memihak dalam melaksanakan tugasnya yang memungkinkan fungsi tersebut dapat memenuhi tanggungjawabnya. Penanggung jawab fungsi pengawasan harus mengelola fungsinya secara efektif untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut memberikan nilai tambah bagi perusahaan.

  Penanggungjawab fungsi pengawasan intern harus menyusun perencanaan yang berbasis risiko (risk-based plan) untuk menetapkan prioritas kegiatan pengawasan intern, konsisten dengan tujuan perusahaan. Rencana penugasan harus berdasarkan penilaian risiko yang dilakukan paling sedikit setahun sekali, rencana penugasan harus mempertimbangkan potensi untuk meningkatkan pengelolaan risiko, memberikan nilai tambah dan meningkatkan kegiatan perusahaan. Penanggung jawab fungsi pengawasan harus mengkomunikasikan rencana kegiatan dan kebutuhan sumber daya kepada pimpinan dan dewan pengawas perusahaan untuk mendapat persetujuan dan harus juga sumber daya. Sumber daya fungsi pengawasan intern harus sesuai, memadai dan dapat digunakan secara efektif untuk mencapai rencana-rencana yang telah disetujui.

2.1.7.1. Independensi

  Menurut Tugiman (2000) yang dimaksud dengan independensi adalah : “Auditor internal harus mandiri dan terpisah dari berbagai kegiatan yang diperiksa. Auditor internal dianggap mandiri apabila dapat melaksanakan pekerjaannya secara bebas dan objektif. Kemandirian auditor internal sangat penting terutama dalam memberikan penilaian yang tidak memihak (netral)”.

  Sedangkan pengertian independensi menurut Sukrisno (2009:146) adalah : “Independensi mencerminkan sikap tidak memihak serta tidak dibawah pengaruh atau tekanan pihak tertentu dalam mengambil keputusan dan tindakan.”

  Pengertian Independensi menurut Rahayu dkk. (2009:51) dalam Nasution (2008) adalah sebagai berikut : “Independensi dalam audit berarti cara pandang yang tidak memihak didalam pelaksanaan pengujian, evaluasi hasil pemeriksaan dan penyusunan laporan audit.

  Sikap mental independen tersebut harus meliputi Independence in fact dan

  

independence in appearance ”. Independence in fact (independen dalam

  kenyataan) akan ada apabila pada kenyataan auditor mampu mempertahankan sikap yang tidak memihak sepanjang pelaksanaan auditnya. Artinya sebagai suatu kejujuran yang tidak memihak dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya, hal ini berarti bahwa dalam mempertimbangkan fakta-fakta yang dipakai sebagai dasar pemberiaan pendapat, auditor harus objektif dan tidak berprasangka.

  Independence in appearance (independen dalam penampilan) adalah hasil

  interpretasi pihak lain mengenai independensi ini. Auditor akan dianggap tidak hubungan keluarga) dengan kliennya yang dapat menimbulkan kecurigaan bahwa auditor tersebut akan memihak kliennya atau tidak independen.

  Mempertahankan perilaku independen bagi auditor dalam memenuhi tanggung jawab mereka adalah sangat penting, namun yang lebih penting lagi adalah bahwa pemakai laporan keuangan memiliki kepercayaan atas independensi itu sendiri. Independensi memiliki penilaian apabila auditor mengamati hasil audit, sehingga klien dapat menilai apakah auditor tersebut bersifat independen atau justru sebaliknya terhadap kualitas audit yang diperiksanya.

  Menurut Peraturan BPK RI Nomor 01 tahun 2007 tentang standar Pemeriksaan Keuangan Negara, Lampiran II pada Standar Pemeriksaan Pernyataan Nomor 01 Standar Umum menyebutkan, independensi dan obyektifitas pelaksanaan suatu pemeriksaan dapat dipengaruhi gangguan ekstern, apabila terdapat : a.

  Campur tangan atau pengaruh pihak ekstern yang membatasi atau mengubah lingkup pemeriksaan secara tidak semestinya.

  b.

  Campur tangan pihak ekstern terhadap pemilihan dan penerapan prosedur pemeriksaan atau pemilihan sampel pemeriksaan.

  c.

  Pembatasan waktu yang tidak wajar untuk penyelesaian suatu pemeriksaan.

  d.

  Campur tangan pihak ekstern mengenai penugasan, penunjukan dan promosi pemeriksa.

  e.

  Pembatasan terhadap sumber daya yang disediakan bagi organisasi pemeriksa yang dapat berdampak negatif terhadap kemampuan organisasi pemeriksa tersebut dalam pelaksanaan pemeriksaan. Wewenang untuk menolak atau mempengaruhi pertimbangan pemeriksa terhadap isi suatu laporan terhadap hasil pemeriksaan.

  g.

  Ancaman penggantian petugas pemeriksa atas ketidaksetujuan dengan isi laporan hasil pemeriksaan, simpulan pemeriksa atau penerapan suatu prinsip akuntansi.

  h.

  Pengaruh yang membahayakan kelangsungan pemeriksa sebagai pegawai, selain sebab-sebab yang berkaitan dengan kecakapan pemeriksa atau kebutuhan pemeriksa. Pemeriksa/auditor yang kompeten adalah pemeriksa yang mempunyai hak atau kewenangan untuk melakukan audit menurut hukum dan memiliki keterampilan yang cukup untuk melakukan tugas audit. Pemeriksa sebagai institusi mempunyai hak atau kewenangan melakukan audit berdasarkan dasar hukum pendirian organisasi atau penugasan.

  Dalam semua hal yang berkaitan dengan pemeriksaan, pemeriksa harus independen dan para auditornya harus objektif dalam pelaksanaan tugasnya.

  Independensi serta objektivitas pemeriksa diperlukan agar kredibel dan hasil pekerjaannya berkualitas. Posisi pemeriksa ditempatkan secara tepat sehingga bebas dari intervensi dan memperoleh dukungan yang memadai dari pimpinan tertinggi organisasi sehingga dapat bekerjasama dengan auditee dan melaksanakan pekerjaan dengan leluasa (PER/05/M.PAN/03/2008).

  Independensi merupakan standar umum nomor dua dari tiga standar auditing yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang menyatakan bahwa dalam semua yang berhubungan dengan perikatan, independensi dan sikap mental harus dipertahankan oleh auditor. Kode etik Pejabat Pengawas Pemerintah mengatur tentang independensi auditor internal. Kode etik dimaksudkan untuk memberikan pengertian dan penjabaran mengenai aturan perilaku sebagai pejabat pengawas dalam berhubungan dengan lembaga organisasinya, sesama pejabat pengawas pemerintah, pihak yang diawasi, pihak lain yang terkait dan masyarakat, agar terpenuhi prinsip-prinsip kerja yang sehat dan terlaksananya pengendalian pengawasan. Dengan demikian dapat terwujud kinerja yang tinggi dalam mempertahankan profesionalisme, integritas, objektivitas dan independensi serta memelihara citra organisasi dan masyarakat. Dalam norma pelaksanaan pemeriksaan pejabat pengawas pemerintah diwajibkan mengungkapkan permasalahan yang terjadi di daerah secara kronologis, obyektif, cermat dan independen maksudnya: 1.

  Pengungkapan permasalahan secara kronologis yaitu menguraikan latar belakang permasalahan, penanggungjawab kegiatan, pelaku/pelaksana kegiatan yang terlibat, permasalahan yang terjadi dan dibuktikan dengan fakta/data secara akurat, lengkap dan sah sampai dengan kondisi nyata pada saat dilakukan pemeriksaan;

  2. Pengungkapan permasalahan secara obyektif menempatkan pejabat pengawas pemerintah untuk bersikap dan bertindak berdasarkan alat bukti yang ditemukan; 3. Pengungkapan permasalahan secara cermat mengharuskan pejabat pengawas pemerintah harus selalu waspada menghadapi suatu kondisi, situasi, transaksi, kegiatan yang mengandung indikasi penyimpangan, penyelewengan, ketidakwajaran, pemborosan atau ketidakhematan dalam penggunaan sumber daya yang ada; dan 4. Pengungkapan permasalahan secara independen mengharuskan pejabat pengawas pemerintah dan/atau pejabat yang diawasi untuk mempertahankan independensinya sehingga tidak memihak kepada suatu kepentingan tertentu. yang penting karena opini akuntan independen bertujuan untuk menambah kredibilitas laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen. Jika akuntan tersebut tidak independen terhadap kliennya, maka opininya tidak akan memberikan tambahan apapun (Mautz dan Sharaf, 1993).

  Kode Etik Akuntan tahun 1994 dalam Tarigan (2010) menyebutkan bahwa independensi adalah sikap yang diharapkan dari seorang akuntan publik untuk tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam pelaksanaan tugasnya, yang bertentangan dengan prinsip integritas dan objektivitas.

  Hasil penelitian Pany dan Reckers (1980) ini menunjukkan bahwa hadiah meskipun jumlahnya sedikit berpengaruh signifikan terhadap independensi auditor, sedangkan ukuran klien tidak berpengaruh secara signifikan. Penelitian oleh Knapp (1985) menunjukkan bahwa subjektivitas terbesar dalam teknik standar mengurangi kemampuan auditor untuk bertahan dalam tekanan klien dan posisi keuangan yang sehat mempunyai kemampuan untuk menghasilkan konflik audit.

  Mayangsari (2003) menemukan bahwa auditor yang memiliki keahlian dan independensi memberikan pendapat tentang kelangsungan hidup perusahaan yang cenderung benar dibandingkan auditor yang hanya memiliki salah satu karakteristik atau sama sekali tidak memiliki keduanya.

  Menurut Taylor (1997) dalam Tarigan (2010) ada dua aspek independensi, yaitu:

  1. Independensi sikap mental (independence of mind/independence of mental

  

attitude ), independensi sikap mental ditentukan oleh pikiran akuntan publik

untuk bertindak dan bersikap independen.

  2. Independensi penampilan (image projected to the public/appearance of terhadap independensi akuntan publik.

  Dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara dinyatakan dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa dan pemeriksa harus bebas dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi, ekstern, dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya.

  Menurut Harahap (1991) auditor harus bebas dari segala kepentingan terhadap perusahaan dan laporan yang dibuatnya. Kebebasan itu mencakup : Bebas secara nyata (Independent infact) yaitu ia benar-benar tidak mempunyai kepentingan ekonomis dalam perusahaan yang dilihat dari keadaan yang sebenarnya dan Bebas secara penampilan (Independent in appearance) yaitu kebebasan yang dituntut bukan secara fakta, tetapi juga harus bebas dari kepentingan yang kelihatannya cenderung dimilikinya dalam perusahaan tersebut.

  Auditor independen tidak hanya memberikan jasa untuk menguji laporan keuangan (audit), tetapi juga melakukan jasa lain selain audit. Pemberian jasa selain audit ini merupakan ancaman potensial bagi independensi auditor, karena manajemen dapat meningkatkan tekanan agar auditor bersedia untuk mengeluarkan laporan yang dikehendaki oleh manajemen, yaitu wajar tanpa syarat (Knapp, 1985). Pemberian jasa selain audit berarti auditor telah terlibat dalam aktivitas manajemen klien. Jika pada saat dilakukan pengujian pelaporan keuangan klien ditemukan kesalahan yang terkait dengan jasa yang diberikan auditor tersebut, maka auditor sukar untuk melaporkan kesalahan tersebut. Auditor tidak mau reputasinya buruk karena dianggap memberikan alternatif yang tidak baik bagi kliennya.

  Hendro dan Aida (2006) di Kota Malang, Jawa Timur dengan judul pengaruh profesionalisme auditor terhadap tingkat materialitas dalam pemeriksaan bagi seorang auditor, baik auditor intern maupun ekstern. Sebab dengan profesionalisme yang tinggi maka kebebasan auditor akan semakin terjamin. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pengabdian pada profesi, kemandirian, kepercayaan pada profesi, hubungan dengan sesama rekan seprofesi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat materialitas sedangkan kewajiban sosial tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat materialitas.

  Susiana dan Arleen (2003) menganalisis pengaruh independensi, mekanisme corporate governance dan kualitas audit terhadap integritas laporan keuangan. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa independensi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap integritas laporan keuangan sedangkan mekanisme corporate governance dan kualitas audit tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap integritas laporan keuangan.

2.1.7.2. Integritas

  Integritas mengharuskan seorang auditor untuk bersikap jujur dan transparan, berani, bijaksana dan bertanggung jawab dalam melaksanakan audit.

  Keempat unsur itu diperlukan untuk membangun kepercayaan dan memberikan dasar bagi pengambilan keputusan yang andal. Dengan integritas yang tinggi, maka auditor dapat meningkatkan kualitas hasil pemeriksaannya (Pusdiklatwas BPKP, 2005).

  Integritas adalah unsur karakter yang mendasar bagi pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang menjadikan timbulnya kepercayaan masyarakat dan tatanan nilai tertinggi bagi anggota profesi dalam menguji semua keputusannya. Integritas mengharuskan auditor dalam berbagai hal jujur dan terus terang dalam batasan kerahasiaan obyek pemeriksaan. Pelayanan dan kepercayaan masyarakat tidak dapat dikalahkan demi kepentingan

  Sunarto (2003) dalam Tarigan (2010) menyatakan bahwa integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak dapat menerima kecurangan prinsip. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan bagi anggota dalam menguji semua keputusannya.

  Alim dkk. (2007) menyatakan bahwa kualitas audit dapat dicapai jika auditor memiliki kompetensi yang baik dan hasil penelitiannya menemukan bahwa kompetensi berpengaruh terhadap kualitas audit. Auditor sebagai ujung tombak pelaksanaan tugas audit harus senantiasa meningkatkan pengetahuan yang telah dimiliki agar penerapan pengetahuan dapat maksimal dalam praktiknya.

2.1.7.3. Kompetensi

  Kompetensi didefinisikan sebagai aspek-aspek pribadi dari seorang pekerja yang memungkinkan dia untuk mencapai kinerja superior. Aspek-aspek pribadi ini mencakup sifat, motif-motif, sistem nilai, sikap, pengetahuan dan ketrampilan di mana kompetensi akan mengarahkan tingkah laku, sedangkan tingkah laku akan menghasilkan kinerja.

  Berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : PER/05/M.PAN/03/2008 tentang Standar Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah menyatakan kompetensi teknis yang harus dimiliki oleh pemeriksa adalah auditing, akuntansi, administrasi dan komunikasi. Disamping wajib memiliki keahlian tentang standar audit, kebijakan, prosedur dan praktik-praktik audit, auditor harus memiliki keahlian yang memadai tentang lingkungan pemerintahan sesuai dengan tupoksi unit yang dilayani oleh APIP.

  Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan dinyatakan bahwa dalam pelaksanaan pemeriksaan serta penyusunan laporan hasil pemeriksaan, pemeriksa wajib menggunakan kemahiran profesionalnya secara cermat dan seksama. Selanjutnya dalam Standar Profesi Audit Internal (1200;9) dinyatakan bahwa auditor internal harus memiliki pengetahuan, keterampilan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan tanggung jawab perorangan. Guna melaksanakan fungsinya, audit internal secara kolektif harus memiliki atau memperoleh pengetahuan, keterampilan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan tanggung jawabnya.

  Susanto (2000) menyatakan bahwa definisi tentang kompetensi yang sering dipakai adalah karakteristik-karakteristik yang mendasari individu untuk mencapai kinerja superior. Kompetensi juga merupakan pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan yang berhubungan dengan pekerjaan, serta kemampuan yang dibutuhkan untuk pekerjaan-pekerjaan non-rutin. Definisi kompetensi dalam bidang auditing juga sering diukur dengan pengalaman (Mayangsari, 2003).

  Ashton (1991) dalam Tarigan (2010) menunjukkan bahwa pengetahuan spesifik dan lama pengalaman bekerja sebagai faktor penting untuk meningkatkan kompetensi. Ia juga menjelaskan bahwa ukuran kompetensi tidak cukup hanya pengalaman tetapi diperlukan pertimbangan-pertimbangan lain dalam pembuatan keputusan yang baik karena pada dasarnya manusia memiliki sejumlah unsur lain selain pengalaman. Pendapat ini didukung oleh Schmidt (1988) yang memberikan bukti empiris bahwa terdapat hubungan antara pengalaman bekerja dengan kinerja yang dimoderasi dengan lama pengalaman dan kompleksitas tugas.

  Selain itu, penelitian yang dilakukan Bonner (1990) dalam Tarigan (2010) kinerja auditor berpengalaman, walaupun hanya dalam penetapan risiko analitis.

  Hal ini menunjukkan bahwa pendapat auditor yang baik akan tergantung pada kompetensi dan prosedur audit yang dilakukan oleh auditor (Hogarth, 1991).

  Hasil penelitian yang dilakukan oleh Murtanto (1998) dalam Mayangsari (2003) menunjukkan bahwa komponen kompetensi untuk auditor di Indonesia terdiri atas:

  1. Komponen pengetahuan, yang merupakan komponen penting dalam suatu kompetensi. Komponen ini meliputi pengetahuan terhadap fakta-fakta, prosedur-prosedur dan pengalaman. Kanfer dan Ackerman (1989) juga mengatakan bahwa pengalaman akan memberikan hasil dalam menghimpun dan memberikan kemajuan bagi pengetahuan.

  2. Ciri-ciri psikologi, seperti kemampuan berkomunikasi, kreativitas, kemampuan bekerja sama dengan orang lain. Gibbin’s dan Larocque’s (1990) dalam Tarigan (2010) juga menunjukkan bahwa kepercayaan, komunikasi dan kemampuan untuk bekerja sama adalah unsur penting bagi kompetensi audit.

2.1.7.4. Objektivitas

   Pengertian objektivitas menurut Sawyer et al. (2006:103) adalah : “Objektivitas adalah suatu hal yang langka dan hendaknya tidak dikompromikan.

  Seorang audior hendaknya tidak pernah menempatkan diri atau ditempatkan dalam posisi di mana objektivitas mereka dapat dipertanyakan. Kode etik dan standar auditor internal telah menetapkan aturan-aturan tertentu yang harus diikuti agar terhindar dari kemungkinan pandangan akan kurangnya objektivitas atau munculnya bias. Pelanggaran atas aturan-aturan ini akan menyebabkan munculnya kritikan dan pertanyaan mengenai kurangnya objektivitas yang dimiliki oleh audit

  Laporan hasil pemeriksaan yang memiliki kriteria objektivitas menurut Tugiman (2006:191) adalah : “Suatu laporan pemeriksaan yang objektif membicarakan pokok persoalan dalam pemeriksaan, bukan perincian prosedural atau hal-hal lain yang diperlukan dalam proses pemeriksaan. Objektivitas juga harus dapat memberikan uraian mengenai dunia auditee dengan tidak menunjuk pada pribadi tertentu dan tidak menyinggung perasaan orang lain.”

  Untuk memperoleh sikap seorang auditor yang objektif menurut Sawyer et al. (2006:11) adalah : “Objektivitas dipastikan melalui struktur organisasi, pelatihan, dan penugasan personel dengan pertimbangan yang seksama.”

  Dalam Standar Profesi Audit Internal standar 1120 digariskan bahwa auditor internal harus memiliki sikap yang tidak memihak, tidak bias dan menghindari konflik kepentingan. Lebih lanjut IIA memberikan panduan sebagai berikut:

  1. Dengan objektivitas individual dimaksudkan auditor internal melakukan penugasan dengan keyakinan yang jujur dan tidak membuat kompromi dalam hal kualitas yang signifikan. Auditor internal tidak boleh ditempatkan dalam situasi-situasi yang dapat mengganggu kemampuan mereka dalam membuat penilaian secara objektif profesional.

  2. Objektivitas individual melibatkan kepala eksekutif audit (CAE) untuk memberikan penugasan staf sedemikian rupa sehingga mencegah konflik kepentingan dan bias, baik yang potensial maupun aktual. CAE juga perlu secara berkala mendapatkan informasi dari staf audit internal mengenai memberlakukan rotasi tugas.

  3. Reviu terhadap hasil pekerjaan audit internal sebelum laporan penugasan diterbitkan, akan membantu memberikan keyakinan yang memadai bahwa pekerjaan auditor internal yang bersangkutan telah dilakukan secara objektif.

  4. Objektivitas auditor internal tidak terpengaruh secara negatif ketika auditor merekomendasikan standar pengendalian untuk sistem tertentu atau melakukan reviu terhadap prosedur tertentu sebelum dilaksanakan. Objektivitas auditor dianggap terganggu jika auditor membuat desain, menerapkan, mendrafkan prosedur atau mengoperasikan sistem tersebut.

  5. Pelaksanaan tugas sesekali di luar audit oleh auditor internal, bila dilakukan pengungkapan penuh dalam pelaporan tugas itu, tidak serta merta mengganggu objektivitas. Namun hal tersebut membutuhkan pertimbangan cermat, baik oleh manajemen maupun auditor internal untuk menghindari dampak negatif terhadap objektivitas auditor internal.

  Dalam Standar Profesi Audit Internal standar 1100 digariskan bahwa aktivitas auditor internal harus bersikap independen dan auditor internal harus bersikap objektif dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Objektivitas dalam standar 1100 adalah : “Sikap mental yang tidak bias yang memungkinkan auditor internal untuk melakukan penugasan dengan sedemikian rupa sehingga mereka meyakini hasil pekerjaan mereka dan meyakini tidak ada kompromi. Objektivitas mensyaratkan bahwa auditor internal tidak menundukkan penilaian mereka dalam masalah- masalah audit terhadap orang lain. Ancaman terhadap objektivitas harus dikelola pada masing-masing tingkat auditor, penugasan, fungsional dan tingkat organisasi.”

  Choo dan Trotman (1991) memberikan bukti empiris bahwa pemeriksa/ auditor berpengalaman lebih banyak menemukan item-item yang tidak umum

  

(atypical) dibandingkan auditor yang kurang berpengalaman tetapi antara

  pemeriksa yang berpengalaman dengan yang kurang berpengalaman tidak berbeda dalam menemukan item-item yang umum (typical). Penelitian serupa dilakukan oleh Tubbs (1992) yang menunjukkan bahwa subyek yang mempunyai pengalaman audit lebih banyak maka akan menemukan kesalahan yang lebih banyak dan item-item kesalahannya lebih besar dibandingkan auditor yang pengalaman auditnya lebih sedikit.

  Yudhi dan Meifida (2006) meneliti pengaruh pengalaman auditor terhadap penggunaan bukti tidak relevan dalam auditor judgment. Penelitian ini mengungkapkan bahwa auditor berpengalaman tidak terpengaruh oleh adanya informasi tidak relevan dalam membuat going concern judgment.

2.1.8. Prinsip-prinsip Tata Kelola Pemerintahan yang Baik ( Good Corporate

  Governance ) Good Corporate Governance (GCG) berdasarkan Peraturan Menteri

  BUMN No. Per-09/MBU/2012 tanggal 6 Juli 2012 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) pada BUMN digunakan untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika.

  Menurut Sedarmayanti (2012:54) stakeholders adalah pihak-pihak yang memiliki kepentingan dengan BUMN, baik berkepentingan secara langsung pengawas, direksi dan karyawan serta pemerintah, kreditur dan pihak berkepentingan lainnya.

  Prinsip keterbukaan dilaksanakan dalam berbagai proses pengambilan keputusan dan mengemukakan informasi materil dan relevan mengenai perusahaan. Prinsip akuntabilitas dilaksanakan dalam kaitannya dengan kejelasan fungsi, pelaksanaan, pengelolaan dan pertanggungjawaban organ perusahaan secara efektif. Prinsip tanggung jawab dilaksanakan dalam hubungannya dengan kesesuaian pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan dan prinsip korporasi yang sehat. Prinsip kemandirian merupakan suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip korporasi yang sehat, sedangkan prinsip kewajaran mencakup keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak pemangku kepentingan berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kelima prinsip diatas saling mendukung dan berkaitan satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya dalam membangun korporasi yang sehat.

2.1.9. Perancangan dan Pengembangan Penerapan Good Corporate

  Governance yang Baik

1. Isu Krusial Tata Korporasi

  Kondisi lingkungan bisnis yang memberikan ruang bagi pembelajaran dan tidak semata penegakan hukum lewat penjatuhan sanksi sangatlah relevan dengan kondisi sekarang mengingat di satu sisi perbincangan tentang tata kelola korporasi tidak akan berhenti malah akan semakin intens dan menentukan keberhasilan serta reputasi perusahaan. Sementara di sisi lain perusahaan yang ingin membangun membutuhkan strategi, struktur dan proses dalam mengelola dan berkomunikasi dengan stakeholder.

  Dalam dua kondisi yang bersisian itu terdapat dua isu krusial sehubungan dengan tata kelola korporasi yaitu keputusan investasi mengingat Indonesia harus bekerja keras memulihkan diri dari krisis ekonomi dan corporate control market.

  Keputusan investasi yang benar yang didasarkan pada informasi yang dapat dipercaya pada suatu pasar modal, efisiensi diharapkan menjadi salah satu penggerak ekonomi nasional. Memang investasi langsung di sektor riel akan memiliki efek ekonomi yang lebih terasa. Namun bukankah pasar modal merupakan etalase dan juga indikator kepercayaan investor dan masalah perekonomian Indonesia adalah karena merosotnya kepercayaan investor.

  Kita memerlukan upaya yang sangat besar dan waktu yang panjang untuk memulihkan kepercayaan investor jika strategi yang diambil adalah mengundang langsung berinvestasi di sektor riel. Kita juga tahu bahwa pasar modal selalu memberikan sinyal paling dini sebelum sektor-sektor lain menggeliat karena peluang ekonomi yang muncul dari kebijakan pemerintah.

  Di samping itu, pasar modal yang sehat akan mendorong penyehatan ekonomi nasional. Karena bergeraknya pasar modal dengan kapitalisasi dan volume penjualan yang besar maka hal ini akan menambah dana bagi emiten yang melakukan ekspansi usaha di sektor riel. Ekspansi dengan sendirinya akan meningkatkan kinerja dan nilai maka ekonomi nasional akan berdenyut. Tenaga kerja akan terserap, ekspor akan meningkat, pajak bisa dioptimalkan, pemasok industri bisa beraktivitas, perdagangan dan pembiayaan konsumen juga bisa berjalan dan semua aktor ekonomi bisa menjalankan fungsinya. menerapkan perencanaan untuk membiayai perusahaan dan mengelola risiko finansialnya. Keputusan pembiayaan (financing) mencakup kapan akan menghimpun modal dan pertimbangan apakah akan menggunakan utang atau ekuitas. Keputusan manajemen risiko mencakup pilihan-pilihan melakukan

  

hedging nilai tukar, prediksi suku bunga dan antisipasi perubahan lainnya adalah

  menstabilkan arus kas dan melindungi perusahaan dari perubahan lainnya (misalnya harga komoditi) melalui strategi manajemen risiko.

  Isu kunci yang berhubungan langsung dengan tata kelola korporasi adalah kepentingan investor publik. Proses yang transparan dan kontrol pasar yang kompetitif dapat melindungi kepentingan investor publik. Pada setting dalam banyak hal merupakan hal baru bagi bisnis Indonesia itulah perusahaan-perusahan yang mempertahankan kelangsungan hidup. Dari sini dapat diserap semangat perusahaan untuk terus memperbaiki diri dalam hal tata kelola korporasi. Pelajaran pahit dari krisis ekonomi dan meningkatkan persaingan bisnis berperan dalam membangun semangat ini.

  Dalam perkembangannya menegaskan betapa luas spectrum penerapan tata kelola korporasi mulai dari kepatuhan terhadap hukum dan perundang- undangan, struktur tata kelola yang berhubungan dengan akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas pengelolaan usaha, citra perusahaan hingga tanggung jawab sosial.

2. Konsepsi dan Definisi GCG

  Konsepsi Corporate Governace sesungguhnya sejak lama dikenal di negara-negara maju (Eropa dan Amerika) dengan adanya konsep pemisahaan antara kepemilikan pemilik modal dengan para manajemen dalam perusahaan. Perdebatan muncul pada saat terjadinya masalah yang dihadapi oleh beberapa perusahaan publik di UK (United Kingdom-Inggris) pada akhir tahun 1980-an, peran auditor dan lain sebagainya. Laporan Cadbury Committee (1992) merupakan suatu tanggapan atas masalah-masalah tersebut (Keasy and Wright,1997).

  Diskusi mengenai Corporate Governance telah berkembang sampai saat ini sejak krisis ekonomi yang melanda negara-negara di Asia Tenggara, terutama Indonesia yang merasakan paling parah akibat krisis tersebut. Salah satu alasan kegagalan perusahaan akibat krisis tersebut adalah buruknya praktek Corporate

  

Governance . Prowse seperti yang dikutip oleh pangestu Harianto menyimpulkan

  bahwa karakteristik lemahnya Corporate Governance di Asia Tenggara adalah: 1.

Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Hasil Pemeriksaan Satuan Pengawasan Intern Dengan Good Corporate Governance (GCG) Sebagai Variabel Moderating Di Perusahaan Umum Bulog Kantor Pusat Dan Divre-Divre Area Sumatera Bagian Utara (SUMBAGUT)

0 48 147

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Hasil Pemeriksaan Satuan Pengawasan Intern Dengan Good Corporate Governance (GCG) Sebagai Variabel Moderating Di Perusahaan Umum Bulog Kantor Pusat Dan Divre-Divre Area Sumatera Bagian Utara (SUMBAGUT)

2 45 149

Pengaruh Audit Intern Dan Pengendalian Intern Terhadap Penerapan Good Corporate Governance (GCG)

1 4 88

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Good Corporate Governance (GCG) 2.1.1 Pengertian Good Corporate Governance (GCG) - Analisis Pengaruh Good Corporate Governance Terhadap Profitabilitas pada Perusahaan Pertambangan Terbuka di Bursa Efek Indonesia

1 3 19

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Hasil Pemeriksaan Satuan Pengawasan Intern Dengan Good Corporate Governance (GCG) Sebagai Variabel Moderating Di Perusahaan Umum Bulog Kantor Pusat Dan Divre-Divre Area Sumatera Bagian Utara (SUMBAGUT)

0 0 24

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Hasil Pemeriksaan Satuan Pengawasan Intern Dengan Good Corporate Governance (GCG) Sebagai Variabel Moderating Di Perusahaan Umum Bulog Kantor Pusat Dan Divre-Divre Area Sumatera Bagian Utara (SUMBAGUT)

0 0 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Hubungan Internal Audit dan Good Corporate Governance (GCG) - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Hasil Pemeriksaan Satuan Pengawasan Intern Dengan Good Corporate Governance (GCG) Sebagai Variabel Mo

0 0 47

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Hasil Pemeriksaan Satuan Pengawasan Intern Dengan Good Corporate Governance (GCG) Sebagai Variabel Moderating Di Perusahaan Umum Bulog Kantor Pusat Dan Divre-Divre Area Sumatera Bagian Utara (SUMBAGUT)

0 1 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Good Corporate Governance (GCG) 2.1.1. Pengertian Good Corporate Governance (GCG) - Pengeruh Peranan Audit Internal, Komite Audit dan Dewan Direksi Terhadapa Penerapan Good Corporate Governance Pada PT Tolan Tiga Indonesia

0 1 31

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Hasil Pemeriksaan Satuan Pengawasan Intern Dengan Good Corporate Governance (GCG) Sebagai Variabel Moderating Di Perusahaan Umum Bulog Kantor Pusat Dan Divre-Divre Area Sumatera Bagian Utara (SUMBAGUT)

0 0 5