Negara Tanpa Warga Politik Kewarganegara

TUJUAN

Kajian ini bukan kajian akademik semata tapi merupakan action research untuk aktivitas research based advocacy yang nantinya akan digunakan bagi perumusan strategi advokasi dan pembuatan rekomendasi kebijakan dalam proses advokasi kebijakan yang ada. Secara umum, kajian ini berusaha untuk melihat dinamika politik kewarganegaraan sosial komunitas buruh di era demokratisasi serta desentralisasi &otonomi daerah.

Secara khusus, kajian ini akan mengeksplorasi politik kewarganegaraan

negara dan warganegara, tanpa menafikan urgensi pemiliki modal, dalam proses pemenuhan hak-hak ekonomi dan sosial dengan fokus pada memetakan orientasi dan desain kelembagaan (anggaran, desain kelembagaan, dan implementasi) negara -sebagai duty holder- di tingkat lokal dalam memenuhi hak-hak ekonomi dan sosial buruh.

sosial

dalam

hubungan

KERANGKA ANALISA KEWARGANEGARAAN SOSIAL

Hak asasi manusia (HAM) pada dasarnya merupakan yang bersifat kodrati dan universal. Setiap manusia, dari berbagai ras, etnis, agama, warna kulit memiliki hak yang sama karena dasar eksistensinya sebagai manusia yang diyakini berada dalam posisi yang setara.

Namun dalam praktiknya, aktualisasi HAM tidak cukup dengan basis moral tersebut tapi membutuhkan “infrastruktur” politik. Dengan kata lain, fondasi dan instrumen politik dibutuhkan untuk memastikan dan mengafirmasi hak-hak dasar tersebut bisa dilekatkan pada setiap manusia. Meminjam penjelasan Hannah Arendt (dalam Hardiman, 2007:6), pada praktik nyata, HAM bukanlah sesuatu yang bersifat pra-politik karena HAM dan cakupannya hanya hadir, didefinisikan, dirumuskan dan dipraktikkan secara konkrit justru dalam praktik politik dan kebijakan.

Infrastruktur politik ini lah yang kemudian kita sebut sebagai kewarganegaraan ( citizenship). Kewarganegaraan mencerminkan sebuah pola relasi antara sebuah institusi politik -yang menjadi Infrastruktur politik ini lah yang kemudian kita sebut sebagai kewarganegaraan ( citizenship). Kewarganegaraan mencerminkan sebuah pola relasi antara sebuah institusi politik -yang menjadi

Singkat kata, kewarganegaraan di sini kemudian lebih dimaknai sebagai hak untuk mendapatkan hak ( right to have rights) (Jones & Gaventa, 2002). Titik tekannya pada bagaimana hak-hak dasar tersebut dirumuskan dan diklaim melalui berbagai pola hubungan negara dan masyarakat serta aksi-aksi kolektif. Kewarganegaraan bukan sekedar fokus pada hak-hak dasar itu sendiri secara per se.

Gagasan kewarganegaraan sosial ( social citizenship) muncul karena ada keyakinan mendasar bahwa hak asasi manusia tidak Gagasan kewarganegaraan sosial ( social citizenship) muncul karena ada keyakinan mendasar bahwa hak asasi manusia tidak

Dengan kata lain, gagasan kewarganegaraan sosial menegaskan akan urgensi aspek “sosial” dari gagasan kewarganegaraan itu sendiri. Penekanan aspek sosial ini penting dikemukakan karena gagasan kewarganegaraan sosial sejak awal meyakini bahwa sesuatu yang paling asasi dalam kehidupan manusia adalah tidakadanya kesenjangan material di dalam masyarakat yang terejawantahkan mulai dari hak atas Dengan kata lain, gagasan kewarganegaraan sosial menegaskan akan urgensi aspek “sosial” dari gagasan kewarganegaraan itu sendiri. Penekanan aspek sosial ini penting dikemukakan karena gagasan kewarganegaraan sosial sejak awal meyakini bahwa sesuatu yang paling asasi dalam kehidupan manusia adalah tidakadanya kesenjangan material di dalam masyarakat yang terejawantahkan mulai dari hak atas

Hak-hak sosial ( social rights) tersebut hanya akan bisa terwujud apabila ada dua hal yang paling dasar dalam sebuah tatanan politik, yaitu:Pertama, de-komodifikasi. Tatanan politik yag ada seyogyanya memastikan barang sosial ( social goods) betul- betul menjadi hak ( rights) bukan komoditas yang dikelola melalui mekanisme public goods: tidak ada proses kompetisi (non-rivalry) dan tidak ada ekslusi ( non-excludable) untuk mengaksesnya. Berbagai kebutuhan dasar tersebut tidak bisa diserahkan atau tunduk pada mekanisme pasar. Kedua, de-stratifikasi struktur sosial. Tatanan politik yang ada harus mampu mendorong proses redistribusi sosial untuk meminimalisasi adanya kesenjangan sosial di dalam masyarakat (bandingkan dengan Esping-Andersen, 2006).

Setiap gagasan kewarganegaraan, termasuk gagasan kewarganegaraan sosial, memiliki beberapa dimensi dasar

(Bandingkan dengan Isin & Turner, 2002). Pertama, jangkauan ( extent). Meskipun secara normatif, gagasan kewarganegaraan merupakan gagasan yang universal namun dalam praktiknya selalu ada proses identifikasi siapa yang dianggap sebagai bagian dari anggota ( membership) atau bukan bagian (the other). Dalam praktek, ada tata aturan dan norma inklusi dan ekslusi yang mendefinisikan bagaimana batas-batas keanggotaan dalam sebuah polity dan antar polity semestinya. Dengan kata lain, proses ini akan mendefinisikan siapa yang mendapatkan hak-hak nya dan siapa yang bukan.

Kedua, isi ( content). Praktek kewarganegaraan menekankan tentang apa saja yang kemudian diyakini sebagai hak ( rights) – bukan komoditas- sekaligus bagaimana tanggung jawab ( responsibilities) dilekatkan dan diletakkan. Pada saat bersamaan, dimensi ini menekankan aspek bagaimana keuntungan ( benefits) dan beban ( burdens) dialokasikan.

Ketiga, kedalaman ( depth). Praktek kewarganegaraan juga akan sangat tergantung sejauh mana anggota komunitas yang disebut warganegara turut secara aktif mendefinisikan dan Ketiga, kedalaman ( depth). Praktek kewarganegaraan juga akan sangat tergantung sejauh mana anggota komunitas yang disebut warganegara turut secara aktif mendefinisikan dan

adalah bagaimana warganegara berusaha untuk memastikan potensi statusnya tersebut. Kewarganegaraan merupakan cerminan dari bagaimana gagasan tentang hakasasi manusia ditafsirkan dan dimediasi melalui perjuangan yang disituasikan dan proses “pengklaiman”.

dalam

praktiknya

Al hasil, sekali lagi, dalam prakteknya, proses pemenuhan hak-hak ekonomi & sosial akan sangat dipengaruhi oleh karakter ideologi dan mode of governance sebuah rejim politik dalam mengelola kesejahteraan sosial serta aksi-aksi kolektif dalam memperjuangkan hak. Pendefinisian dan pemaknaan hak-hak ekonomi & sosial, dalam prakteknya akan sangat tergantung bagaimana konsepsi

dan kesejahteraan didefinisikan, dirumuskan dan dipraktekkan dalam sebuah proses politik, termasuk juga kepada siapa hak-hak tersebut akan dilekatkan.

hak-hak

dasar

Dalam hal hubungan negara dan masyarakat, proses politik ini lah yang akan lebih menentukan sejauh mana negara akan memainkan perannya sebagai pemangku kewajiban dan apa saja yang dianggap sebagai hak-hak dasar. Proses politik ini pulalah yang menentukan sejauh mana warga sebagai pemangku hak bisa merumuskan dan melakukan politics of claim atas hak-hak mereka.

Praktek kewarganegaraan akan memberikan gambaran lebih konkrit tentang hubungan negara & warganegara dalam pengejawantahan

sosial. Praktek kewarganegaraan akan memberikan gambaran gamblang tentang seperti apa dan sejauh mana negara melaksanakan kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak ekonomi

hak-hak

ekonomi

& sosial secara konkrit. 3

3 Sebagaimana kita ketahui, seperti diatur lebih jauh dalam “The Limburg Principles On The Imp lementation Of The International Covenant On Economic Social and Cultural Rights” dan

“Masstricht Guidelines on Violations of Economic, Social and Cultural Rights”, ada beberapa kewajiban yang dilekatkan pada negara, yaitu (Fatimah & Hanif, 2011: 41-44): Pertama, kewajiban untuk menghormati (obligation to respect). Kewajiban ini mensyaratkan negara untuk menghindari tindakan-tindakan yang akan menghalangi pemenuhan hak-hak ekonomi & sosial. Pelanggaran terhadap kewajiban ini akan terjadi apabila ada produk hukum, tindakan atau kebijakan-kebijakan negara tidak mentaati standar-standar atau ketentuan yang sudah disebutkan.

METODE

Kajian ini dilakukan sejak bulan Januari 2011 sampai dengan September 2011 di wilayah Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Kajian ini merupakan riset kualitatif dengan metode case

Kedua, kewajiban untuk melindungi ( obligation to protect). Negara berkewajiban untuk mencegah adanya pelanggaran terhadap hak ekonomi & sosial oleh pihak ketiga. Negara akan dianggap melakukan pelanggaran apabila negara dalam gagal mengembangkan ukuran-ukuran dasar untuk melindungi individu yang ada di wilayah mereka dari tindakan-tindakan yang melanggar hak ekonomi & sosial oleh pihak ketiga. Termasuk juga pelanggaran apabila negara sengaja melakukan pengabaian dan ekslusi.

Ketiga, Kewajiban untuk memenuhi ( obligation to fullfil). Kewajiban ini mendorong negara untuk merumuskan produk legislasi, mengembangkan sistem administrasi,sistem yudisial,anggaran dan berbagai instrumen lainnya untuk merealisasikan secara penuh hak ekonomi & sosial.

Dalam setiap masing-masing kewajiban tersebut terkandung dimensi kewajiban atas hasil (obligation of results) dan kewajiban tindakan (obligation of conducts). Yang dimaksud dengan kewajiban atas hasil adalah kewajiban untuk mencapai dampak (outcome) tertentu melalui implementasi program dan kebijakan yang aktif. Dengan kata lain, negara berkewajiban untuk mencapai target khusus untuk memenuhi standar-standar subtansi secara detail. Sedangkan kewajiban tindakan lebih merupakan kewajiban negara untuk melakukan tindakan-tindakan atau langkah-langkah tertentu (tindakan aktif atau membiarkan) yang seyogyanya bisa merealisasikan pemenuhan hak-hak ekonomi & sosial. Semua proses tersebut mengharuskan negara mampu memobilisasi segala sumberdaya yang ada untuk digunakan secara maksimal dalam rangka memenuhi hak ekonomi& sosial (maximum of available resources). Dalam konteks ini, sumberdaya yang digunakan bukan sekedar sumberdaya yang dimiliki oleh negara semata. Negara pada saat yang bersamaan harus mampu memobilisasi potensi sumberdaya yang ada di dalam masyarakat dan komunitas internasional secara maksimal untuk memastikan hak ekonomi & sosial terpenuhi. Andaikata, proses legislasi yang ada dengan sengaja membatasi penggunaan sumberdaya yang ada di negara untuk memenuhi hak ekonomi & sosial meskipun sumberdaya di dalam masyarakat tersedia dengan memadai maka kondisi tersebut mengindikasikan adanya pelanggaran hak ekonomi & sosial oleh legislatif.

study untuk memahami lebih jauh realitas sosial dan bagaimana antar subyek memahami dan menafsir realitas tersebut.

Proses penelusuran data menggunakan metode trianggulasi dalam melakukan penelusuran data, yaitu: desk study, observasi, FGD yang diperoleh melalui pertemuan-pertemuan komunitas, in- depth interview dengan narasumber penting sembari melakukan thick description terhadap beberapa tipologi komunitas buruh yang ada. Bahkan penelitian juga memanfaatkan catatan-catatan dari anggota komunitas buruh sendiri

Riset dilakukan dengan beberapa tahapan berikut ini: # tahap awal atau prelimenary research dilakukan dengan desk study terhadap dokumen-dokumen yang ada sekaligus melakukan need assessment untuk menemukan pemetaan profil wilayah, buruh, dan gerakan buruh.

# tahap lanjut berupa field work dilakukan dengan depth interview, survei persepsi, observasi dan thick description dan FGD.

# Tahap akhir berupa penulisan laporan dan diseminasi.

SISTEMATIKA ARGUMENTASI

Laporan penelitian ini akan diawali oleh Bab 1 sebagai bab pengantar. Bab pengantar berisi tentang latar belakang dan tujuan dari penelitian ini. Selanjutnya dalam bab ini akan dibahas kerangka analisa yang digunakan untuk mengkaji serta metode untuk mengkaji dan sistematika penulisan.

Selanjutnya, Bab 2 akan menguraikan profil Kabupaten Semarang sebagai daerah growth pole. Bab ini akan menguraikan saujana ( landscape) sosial-politik dan ekonomi di daerah tersebut. Bab ini juga akan menjelaskan bagaimana masalah dan tantangan yang ada di Kabupaten Semarang sebagai daerah growth pole.

Penjelasan tentang konsepsi kewarganegaraan serta orientasi kebijakan negara dalam mengejawantahkan hak-hak ekonomi dan sosial warganegara akan diuraikan pada Bab 3 dan Bab 4. Bab 3 akan diawali dengan penjelasan tentang bagaimana orientasi dan desain kelembagaan negara dalam mengejawantahkan hak-hak ekonomi & sosial, secara khusus hak-hak ekonomi & sosial komunitas buruh. Penjelasan ini mencakup orientasi dan desain kelembagaan di level nasional maupun lokal. Selanjutnya pada

Bab 4 akan lebih banyak menguraikan kapasitas pembiayaan hak- hak ekonomi & sosial. Bab ini akan menguraikan aspek penerimaan ( revenue) dan pembiayaan (expenditure) dalam struktur APBD Kabupaten Semarang.

Sejauh mana hak-hak ekonomi & sosial benar-benar terpenuhi akan dibahas pada Bab 5. Dengan diawali dengan uraian berabagai tipologi buruh, Bab 5 akan menguraikan bagaimana efek dari proses politik dan kebijakan praktik terhadap proses penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak ekonomi & sosial di komunitas buruh secara konkrit.

Bab 6 akan menjadi bab penutup. Bab ini akan mendetailkan berbagai rekomendasi penting agar proses pengejawantahan hak- hak ekonomi dan sosial di Kabupaten Semarang benar-benar menunjukkan adanya kemajuan yang berarti di masa yang akan datang. Rekomendasi tersebut bukan hanya untuk para pembuat kebijakan tapi juga bagi aktivis perburuhan dan komunitas buruh itu sendiri .[ ] Bab 6 akan menjadi bab penutup. Bab ini akan mendetailkan berbagai rekomendasi penting agar proses pengejawantahan hak- hak ekonomi dan sosial di Kabupaten Semarang benar-benar menunjukkan adanya kemajuan yang berarti di masa yang akan datang. Rekomendasi tersebut bukan hanya untuk para pembuat kebijakan tapi juga bagi aktivis perburuhan dan komunitas buruh itu sendiri .[ ]

ini dikarenakan konteks, baik ekonomi, sosial maupun politik, sedikit banyak akan sangat mempengaruhi dinamika politik kewarganegaraan sosial, baik dalam relasi antar aktor hingga isu yang dikedepankan.

Oleh karena itu, bab 2 ini akan menguraikan profil Kabupaten Semarang sebagai daerah yang pelan-pelan menjadi sebuah daerah growth pole penting di wilayah Jawa Tengah. Dalam bab ini akan dibahas saujana ( landscape)sosial, ekonomi dan politik Kabupaten Semarang. Bab 2 akan diawali dengan penjelasan tentang konfigurasi demograsi dan struktur sosial. Selanjutnya akan dijelaskan konfigurasi pemerintahan lokal serta Oleh karena itu, bab 2 ini akan menguraikan profil Kabupaten Semarang sebagai daerah yang pelan-pelan menjadi sebuah daerah growth pole penting di wilayah Jawa Tengah. Dalam bab ini akan dibahas saujana ( landscape)sosial, ekonomi dan politik Kabupaten Semarang. Bab 2 akan diawali dengan penjelasan tentang konfigurasi demograsi dan struktur sosial. Selanjutnya akan dijelaskan konfigurasi pemerintahan lokal serta

Singkatnya, sebagai daerah growth pole, 4 profil Kabupaten Semarang tidak hanya mencerminkan struktur sosial yang tidak

lagi tunggal. Lebih jauh, daerah ini juga mencerminkan struktur politik yang plural dan struktur ekonomi yang tidak monolitik.

MASYARAKAT BERSTRUKTUR GANDA ( DUAL SOCIETY)

Data resmi pemerintah Kabupaten Semarang pada tahun 2009 menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang mendiami

wilayah daerah otonom ini sebanyak 1.061.870 jiwa. 5 Laju pertumbuhan penduduk rata-rata 1,89% per tahun ( rentang

4 Istilah “growth pole” –yang pertama kali diperkenalkan oleh ekonom Francois Ferroux (1955)- digunakan untuk menunjuk pada keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi tidaklah tersebar di

seluruh wilayah dan tidak terjadi secara bersamaan melainkan akan terpusat pada daerah-daerah tertentu karena adanya keunggulan dan kondisi- kondisi tertentu yang memicunya. Para “arsitek” industrialisasi di Indonesia,semenjak rejim Orde Baru, masih sangat kuat dipengaruhi oleh cara berpikir “growth pole” ini dan mengidentikkannya dengan kota-kota utama dalam pola yang hirarkis daripada serius mengembangkan pembangunan ekonomi lokal berbasis keunggulan kluster yang berimbang. Akibatnya, banyak potensi ekonomi lokal yang “mati‟ dan justru tersedot dalam arus “pusat‟ tersebut (bandingkan Munir & Fitanto, 2005).

5 Kajian ini sejak awal menyadari kemungkinan adanya ketidakakuratan data-data statistika. Hal ini ini disebabkan oleh perbedaan deskripsi data-data statistika yang dimiliki oleh pemerintah daerah

Kabupaten Semarang dalam dokumen-dokumen resminya.

tahun 2005-2009) dan rata-rata kepadatan penduduk 1.118 jiwa/km 2 . Adapun komposisi penduduk laki-laki dan perempuan

relatif berimbang atau tidak ada perbedaan yang signifikan. Sebagian besar penduduk Kabupaten Semarang yang merupakan usia produktif. Penduduk yang berada dalam rentang usia produktif (15-64 tahun) sebanyak 73%, sedangkan penduduk yang berada di usia pasca produktif (>65) sebanyak 7%. Terakhir penduduk dengan usia pra produktif (0-14 tahun) sebanyak 20% pada tahun 2009.

Komposisi piramida penduduk seperti di atas sebenarnya akan menguntungkan Kabupaten Semarang sebagai daerah growth pole. Bila komposisi usia produktif -yang menanggung beban ekonomi dan sosial-jauh lebih besar dibandingkan dengan usia pasca produktif dan pra-produktifsebenarnya menjadi modal yang kuat untuk mendorong pembangunan ekonomi dan sosial di Kabupaten Semarang. Selain itu, Kabupaten Semarang bisa terhindar dari fenomena „aging society‟ –ditandai oleh semakin besarnya usia pasca produktif dan stagnannya pertumbuhan usia Komposisi piramida penduduk seperti di atas sebenarnya akan menguntungkan Kabupaten Semarang sebagai daerah growth pole. Bila komposisi usia produktif -yang menanggung beban ekonomi dan sosial-jauh lebih besar dibandingkan dengan usia pasca produktif dan pra-produktifsebenarnya menjadi modal yang kuat untuk mendorong pembangunan ekonomi dan sosial di Kabupaten Semarang. Selain itu, Kabupaten Semarang bisa terhindar dari fenomena „aging society‟ –ditandai oleh semakin besarnya usia pasca produktif dan stagnannya pertumbuhan usia

Hal yang menarik adalah struktur sosial Kabupaten Semarang pelan-pelan menunjukkan tipologi sosial ganda ( dual society) seiring dengan menguatnya proses industrialisasi di daerah growth pole ini. Hal ini ditandai oleh adanya kecenderungan beberapa wilayah kecamatan yang menjadi wilayah industrialisasi mengalami proses transisi menuju karakter masyarakat urban. Sedangkan sebagian besar kecamatan lainnya berkarakter rural. Hal ini bisa dikonfirmasi dari indikator- indikator seperti (1) densitas sosio-demografi, dengan sub- indikator: (a) kepadatan penduduk, (a) Pluralitas latarbelakang sosial, (2) densitas ekonomi, dengan sub-indikator: (a) industrialisasi, (b) aktivitas non-agrikultur, dan (3) pemanfaatan teknologi, dengan sub-indikator: (a) ketersediaan & akses, (b) melek teknologi (Lihat tabel 1)

Tabel 1. Densitas Sosio-Demografi per Kecamatan KECAMATAN

Densitas Sosio-demografi (org/km 2) Bergas

1.239 Bawen

1.083 Ungaran Timur

Ungaran Barat 1.860 Pringapus

513 Sumber: Semarang dalam Angka 2009

Selain itu, sebagai daerah growth pole, Kabupaten Semarang tampaknya menjadi wilayah yang sangat menarik bagi penduduk- penduduk kabupaten/kota yang ada di sekitarnya. Tidak semua yang mendiami atau yang bekerja di Kabupaten Semarang merupakan penduduk “asli” atau tetap.Hal ini bisa diidentifikasi dari data mobilitas antar daerah yang relatif tinggi. Mereka yang bukan penduduk tetap biasanya merupakan migran lokal (penduduk yang berasal dari daerah lain namun bekerja di Kabupaten Semarang) atau komuter (penduduk yang berasal dan Selain itu, sebagai daerah growth pole, Kabupaten Semarang tampaknya menjadi wilayah yang sangat menarik bagi penduduk- penduduk kabupaten/kota yang ada di sekitarnya. Tidak semua yang mendiami atau yang bekerja di Kabupaten Semarang merupakan penduduk “asli” atau tetap.Hal ini bisa diidentifikasi dari data mobilitas antar daerah yang relatif tinggi. Mereka yang bukan penduduk tetap biasanya merupakan migran lokal (penduduk yang berasal dari daerah lain namun bekerja di Kabupaten Semarang) atau komuter (penduduk yang berasal dan

pindah dari dan 5.686 orang datang ke Kabupaten Semarang. 6

KONFIGURASI POLITIK LOKAL YANG PLURAL

Kabupaten Semarang menunjukkan watak yang tidak monolitik dengan ditandai tidakadanya kekuatan politik yang mendominasi politik formal yang ada. Pada PEMILU 2009, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) memang menjadi partai yang meraih kursi terbanyak di DPRD Kabupaten Semarang untuk periode 2009-2014 namun bukanlah partai dominan di parlemen lokal yang menguasai lebih 50% lebih kursi. Sebab Partai Demokrat menyusul di urutan kedua (6 kursi). Sedangkan GOLKAR, PKB, PAN, dan

6 Data pemerintah kabupaten Semarang hanya menunjukkan data mobilitas penduduk datang dan pergi sedangkan data komuter tidak ada. Namun hal ini bisa dilihat dari proxy indicator berupa

wilayah yang memiliki penduduk sangat padat adalah wilayah yang berbatasan langsung dengan Kota Semarang dan Kota Salatiga, seperti Bawen, Ungaran Barat dan Ungaran Timur. Sedangkan daerah yang memilik tingkat kedapatan penduduk paling rendah adalah kecamatan Bancak yang berada jauh dari garis yang menghubungkan Kabupaten Semarang dengan Kota Semarang dan Kota Salatiga.

PPP menyusul di urutan ketiga dengan jumlah kursi masing 5 kursi. Total anggota parlemen di DPRD Kabupaten Semarang sebanyak 45 orang (lihat tabel 2).

Tabel 2. Komposisi Perolehan Kursi di DPRD Kab. Semarang Periode 2009-2014

8 17.78 Partai Demokrat

6 13.33 Partai Golkar

4 8.89 Partai Gerindra

3 6.67 Partai Hanura

3 6.67 PKPI

45 100,0 Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Semarang

Total

Karakter pemerintahan daerah juga lebih dinamis. Dalam satu tahun terakhir ini, pemerintahan daerah Kabupaten Semarang dipimpin oleh pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah baru yang terpilih melalui Pemilihan Umum Kepala Daerah (PEMILUKADA) tanggal 31 Juli 2010. PEMILUKADA tersebut dimenangkan oleh pasangan dokter. H. Mundjirin ES, Sp.OG dan Ir. Warnadi, MM yang diusung oleh PDIP, PAN, Demokrat dan

Hanura. Mereka mengalahkan pasangan (1) Hj. Siti Ambar Fatonah dan Wuwuh Beno Nugroho, SH yang diusung oleh Golkar, PPP, PKS dan PKPI, (2) Dr. Subroto, SE, MM dan Atika Arisanti, S.Sos yang diusung oleh PKB dan Gerindra, dan (3) Hadi Putratno, SE, MM dan Dra.Hj. Fadhilah dari perseorangan.

Menurut hasil penilaian Kementrian Dalam Negeri tahun 2011 tentang Peringkat Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Kabupaten Semarang dalam kategori kabupaten dengan kinerja tinggi. Meskipun demikian bila dibandingkan dengan 344 kabupaten yang ada di wilayah Indonesia, Kabupaten Semarang berada dalam posisi ke-113. Dengan kata lain, belum ada prestasi yang luar biasa bila dikaitkan dengan kinerja pemerintahan daerah.

TRANSFORMASI EKONOMI AREA GROWTH POLE

Sebagaimana sudah ditegaskan sejak awal, Kabupaten Semarang merupakan salah satu daerah di Jawa Tengah yang pelan-pelan bertransformasi menjadi kawasan growth pole.Proses transformasi ini bukan hanya terkait dengan basis ekonomi Sebagaimana sudah ditegaskan sejak awal, Kabupaten Semarang merupakan salah satu daerah di Jawa Tengah yang pelan-pelan bertransformasi menjadi kawasan growth pole.Proses transformasi ini bukan hanya terkait dengan basis ekonomi

1. Pilar Utama Ekonomi

Kabupaten Semarang merupakan salah satu kabupaten yang memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang baik dan positif (lihat tabel 3). Hasil survei Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) tahun 2006, berdasarkan indikator kondisi existing (berupa angka pertumbuhan, rasio pekerja dan angkatan kerja, nilai investasi dan rasio PAD dan APBD), survei publik dan tingkat inovasi, menunjukkan bahwa kabupaten Semarang berada dalam urutan ke-7 diantara 40 kabupaten yang ada di Jateng dan DIY dalam hal pertumbuhan ekonomi di bawah Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Pekalongan, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Magelang.

Tabel 3. Pertumbuhan Ekonomi dan Laju Inflasi Kab. Semarang 2005-2009 Tahun

03,17 Sumber: ILPPD Kab. Semarang 2009

Aktivitas ekonomi Kabupaten Semarang selama ini mengandalkan tiga sektor utama yang menjadi penyumbang PDRB terbesar bagi daerah. Tiga sektor utama tersebut adalah industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sektor pertanian (lihat tabel 4).

Tabel 4. Distribusi PDRB Kab. Semarang Tahun 2009

NO

SEKTOR

Distribusi (%) ADHB

ADHK

1. Industri pengolahan 43,08 46,62 2. Perdagangan, hotel dan restoran

20,36 21,49 3. Pertanian

15,04 13,02 4. Jasa-Jasa

9,22 8,55 5. Lembaga Keuangan, Persewaan, dan Jasa

4,16 3,53 Perusahaan 6. Konstruksi/Bangunan

4,04 3,60 7. Pengangkutan dan Komunikasi

2,69 2,21 8. Listrik, gas dan air minum

1,29 0,87 9. Pertambangan dan penggalian

0,12 0,12 Sumber: modifikasi ILPPD Kab. Semarang 2009

Kabupaten Semarang tampaknya juga masih menarik bagi tujuan investasi. Hal ini bisa dilihat dari geliat investasi yang tersebar di kawasan-kawasan industri Semarang, khususnya di wilayah kecamatan Ungaran, Pringapus, Bawen dan Tengaran. Menurut data ILPPD Kabupaten Semarang 2009, ada 6 proyek

PMA dan 848 Investasi non fasilitas dengan nilai total Rp. 306.452.000.000 di tahun 2008. Sedangkan di tahun 2009, ada

10 proyek PMA dan 471 investasi non fasilitas dengan nilai total Rp. 379.056.080.000.

2. Sketsa Ketenagakerjaan

Menurut data mutakhir dari BPS PropinsiJawa Tengah, Kabupaten Semarang memiliki angkatan kerja (penduduk usia kerja) 7 mencapai lebih dari 510. 942 orang (atau 55,67% dari total jumlah penduduk) .

Dari total angkatan kerja tersebut, sebanyak 470.675 orang ( 51,29% dari total jumlah penduduk) dikategorikan sedangkan bekerja sedangkan 40.267 orang lainnya dikatagorikan sebagai penganggur ( 4,39%dari total jumlah penduduk ).

Ironisnya, angkatan kerja yang telah bekerja ternyata banyak yang berstatus bukan pekerja tetap. Mereka berstatus sebagai

7 Menurut definisi Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk usia kerja adalah penduduk yang berumur 15 tahun ke atas (angkatan kerja). Berdasarkan hasil Susenas, angkatan kerja di Jawa

Tengah tahun 2009 mencapai 17,09 juta orang atau naik sebesar 2,38 persen dibanding tahun sebelumnya. Penduduk yang tergolong angkatan kerja adalah kelompok orang yang bekerja maupun yang sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan usaha, merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan dan sudah diterima kerja tapi belum mulai bekerja (BPS Prop. Jawa Tengah, 2010).

pekerja tak dibayar, pekerja bebas sektor pertanian dan pekerja bebas non pertanian, serta buruh tidak tetap. Sedang penduduk yang berstatus sebagai pekerja tetap hanya berkisar 17%, yakni terdiri

(1,75%) dan karyawan/pegawai sebanyak 141.032 (15,37%) (lihat tabel 5)

Tabel 5. Status Pekerjaan Utama Penduduk Usia Kerja di Kabupaten Semarang Tahun 2009

% dengan STATUS PEKERJAAN UTAMA

JUMLAH jumlah penduduk

Berusaha Sendiri 8.448 0,92% Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap

107.902 11,76% Berusaha Dibantu Buruh Tetap

Buruh / Karyawan / Pegawai 141.032 15,37% Pekerja Bebas di Pertanian

15.278 1,66% Pekerja Bebas Non Pertanian

23.038 2,51% Pekerja Tidak Dibayar

82.884 9,03% Total jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang

470.675 Bekerja Selama Seminggu

51,29% Total Jumlah penduduk

917.745 100,00% Sumber: Modifikasi BPS Jateng [ http://jateng.bps.go.id/2006/web06bab103/web06_103030105.htm ]

Ironi yang lain adalah meskipun sektor industri merupakan penyumbang PDRB terbesar di Kabupaten Semarang namun, dari Ironi yang lain adalah meskipun sektor industri merupakan penyumbang PDRB terbesar di Kabupaten Semarang namun, dari

Tabel 6. Penduduk Usia Kerja yang Bekerja Per Sektor 2009

PEKERJAAN PER SEKTOR % dengan JUMLAH

jumlah penduduk

Pertanian 171.444 18,68% Pertambangan, Listrik, Gas dan Air Bersih

55.484 6,05% Jumlah Usia Kerja yang Bekerja

470.675 51,29% Total Penduduk

917.745 100,00% Sumber: Modifikasi BPS Jateng [ http://jateng.bps.go.id/2006/web06bab103/web06_103030105.htm ]

Meskipun demikian, bukan berarti tidak signifikan untuk membahas keterkaitan antara pekerja/buruh di Kabupaten

Semarang dan sektor industri karena sektor ini memiliki daya serap tenaga kerja paling tinggi. Data peningkatan industri dan penyerapan tenga kerja itu setidaknya dapat dilihat dalam Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Akhir Masa Jabatan (LKPJ-AMJ) Bupati Semarang 2005-2010 (lihat tabel 7).

Tabel 7. Perkembangan Industri Kabupaten Semarang Tahun 2005 – 2009

JENIS DATA

Industri Kecil Formal Jml Industri Kecil

1.313 1.341 Formal Jumlah Tenaga Kerja

10.706 10.918 Industri Kecil Non Formal Jml Industri Kecil Non

9.257 9.405 Formal Jumlah Tenaga Kerja

15.762 16.019 16.279 16.539 16.804 Industri Menengah Besar Jumlah Industri

Orang

161 166 Jumlah Tenaga Kerja

63.763 64.805 68.461 69.009 71.506 Sumber: Dinas Perindag. Kab. Semarang Tahun 2009 dalam LKPJ-AMJ Bupati Semarang 2010

Orang

Dari tabel di atas terlihat jelas bahwa, antara tahun 2005- 2009, penyerapan tenaga kerja industri kecil (formal dan non formal) mengalami peningkatan dari 24.091 orang (pada tahun 2005) menjadi 27.722 orang (pada tahun 2009) atau peningkatan Dari tabel di atas terlihat jelas bahwa, antara tahun 2005- 2009, penyerapan tenaga kerja industri kecil (formal dan non formal) mengalami peningkatan dari 24.091 orang (pada tahun 2005) menjadi 27.722 orang (pada tahun 2009) atau peningkatan

Sedang data dari Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Semarang menyebutkan, penyerapan tenaga kerja pada Kelompok Lapangan Usaha Industri (KLUI) sebesar rata-rata 3 (tiga) kali lipat atau 215% per tahun. Hal ini disebabkan pada pada tahun 2009 di Kelompok Lapangan Usaha Industri (KLUI) III banyak didirikan pabrik konveksi mencapai puluhan perusahaan (lihat tabel 8).

Tabel 8. Tabel Penyerapan Tenaga Pada Kelompok Lapangan Usaha Industri (KLUI)

KLUI Satuan

2008 2009 I Orang

3.445 4.723 II Orang

3.264 132.619 IV Orang

238 419 V Orang

415 774 VI Orang

1.069 1.419 IX Orang

12.519 144.279 Sumber: Dinsosnakertrans Kab. Semarang dalam LKPJ-AMJ Bupati Semarang 2010

Orang

3. Masalah dan Tantangan EkonomiArea Growth Pole

Seiring dengan menguatnya pertumbuhan ekonomi di daerah Kabupaten Semarang berbagai masalah dan tantangan juga tumbuh dan turut mengiringi transformasi ekonomi yang ada. Permasalahan dan tantangan tersebut terkait dengan pemerataan, daya serap tenaga kerja dsb sebagaimana yang akan diuraikan secara detail di bawah ini.

a) Pertumbuhan tanpa Pemerataan

Pertumbuhan ekonomi dan pemberdayaan ekonomi yang relatif berhasil didorong di kabupaten Semarang tidak dibarengin dengan kemampuan mendorong pemerataan ekonomi yang sangat kuat. Hasil Survei JPIP 2006 menempatkan Kabupaten Semarang dalam posisi ke-9 dalam hal pemerataan ekonomi diantara kabupaten/kota yang ada di Jateng & DIY.

Hal ini juga bisa dilihat dari beberapa indikasi. Pertama, tidakadanya redistribusi pengelolaan aset di sektor agrikultur. Kalau dilihat aspek penggunaan lahan, sebagai besar lahan lebih banyak digunakan untuk aktivitas agrikultur, yaitu kebun (36%) Hal ini juga bisa dilihat dari beberapa indikasi. Pertama, tidakadanya redistribusi pengelolaan aset di sektor agrikultur. Kalau dilihat aspek penggunaan lahan, sebagai besar lahan lebih banyak digunakan untuk aktivitas agrikultur, yaitu kebun (36%)

Ironisnya justru daerah-daerah yang menjadi kantong industri menjadi kantong-kantong utama kemiskinan. Peta kemiskinan dan pengangguran yang dimiliki oleh pemerintah Kabupaten Semarang menunjukkan bahwa kecamatan ungaran, Bawen Pringapus dan Tengaran, dengan derajat yang berbeda-beda masih dihadapkan dengan masalah kemiskinan dan pengangguran yang relatif akut (lihat lampiran).

b) Arus Migrasi Lokal di tengah Keterbatasan Daya

Serap Tenaga Kerja

Di tengah masih terbatasnya daya serap tenaga kerja terutama bagi angkatan kerja produktif yang berasal dari daerah tersebut, arus migrasi lokal tampaknya tetap mengalir di wilayah

Kabupaten semarang. 8 Penduduk luar daerah yang datang ke Kabupaten Semarang untuk bekerja di sektor formal maupun non- formal, terbilang tidak sedikit. Sayangnya, pendataan migrasi pekerja lintas daerah ini tampaknya belum berjalan optimal. Yang pasti, migrasi penduduk di Kabupaten Semarang terbilang cukup dinamis (lihat tabel 9).

8 Migrasi lokal atau urbanisasi ini merupakan efek lanjut dari strategi industrialisasi berbasis growth pole yang bersifat urban biased dan juga efek Revolusi Hijau di wilayah pedesaan yang justru

mendorong kesenjangan sosial lebih kuat adalah sehingga pelan-pelan arus urbanisasi menjadi pilihan sosial (Yustika, 2000). Yang menarik adalah, menurut temuan Nicolaas Warrouw (2004, 2005), urbanisasi di kantong-kantong industri kota, dalam tahap lanjut, tidak lagi semata-mata disebabkan oleh efek-efek struktural. Strategi modernisasi, pendidikan, di pedesaan sebenarnya juga mendorong lahirnya generasi-generasi muda yang lebh terdidik dan sekaligus melek informasi. Akibatnya, banyak diantara mereka yang datang ke kota (urbanisasi) dengan alasan yang tidak hanya bermotif ekonomi semata melainkan ada alasan yang lebih bersifat “kultural”: menuntaskan hasrat “modernitas” mereka di kota yang merupakan dunia yang benar-benar modern.

Tabel 9. Jumlah Penduduk dan Migrasi Penduduk

7.226 -490 Sumber: Kabupaten Semarang Dalam Angka Tahun 2010

Arus migrasi lokal para buruh ini memunculkan dampak hadirnya buruh “undercover”. Istilah ini muncul di kalangan aktivis buruh ketika Kabupaten Semarang kebanjiran para buruh migran lokal yang menopang di sektor industri. Mereka berasal dari berbagai daerah-daerah sekitar Kabupaten Semarang seperti Purwodadi, Boyolali, Salatiga, Wonogiri, Pacitan dll. Dalam kesehariannya, pekerja under cover ini juga menjalankan aktivitas kerja layaknya karyawan pabrik namun, sebagaimana ditegaskan oleh salah seorang aktivis perburuhan “. status mereka bukan karyawan tetap, tapi hanya berstatus sebagai buruh kontrak atau Arus migrasi lokal para buruh ini memunculkan dampak hadirnya buruh “undercover”. Istilah ini muncul di kalangan aktivis buruh ketika Kabupaten Semarang kebanjiran para buruh migran lokal yang menopang di sektor industri. Mereka berasal dari berbagai daerah-daerah sekitar Kabupaten Semarang seperti Purwodadi, Boyolali, Salatiga, Wonogiri, Pacitan dll. Dalam kesehariannya, pekerja under cover ini juga menjalankan aktivitas kerja layaknya karyawan pabrik namun, sebagaimana ditegaskan oleh salah seorang aktivis perburuhan “. status mereka bukan karyawan tetap, tapi hanya berstatus sebagai buruh kontrak atau

Sebagaimana diakui oleh Jati Tri Mulyanto, SH, MM, camat Bawen, 10 semenjak kawasan industri tumbuh di Kabupaten Semarang, banyak para pendatang mencari kerja di Kabupaten Semarang yang kemudian menimbulkan dilema tersendiri. Dilema tersebut muncul karena arus migrasi lokal ini menguat justru di saat kesempatan kerja bagi para pencari kerja penduduk tetap Kabupaten Semarang sendiri tidak selalu ada karena kualitas SDM kurang

Menurutnya, penduduk lokal berpendidikan rendah hanya bisa menjadi buruh rumahan ( home-based worker). Mereka bekerja di rumah sendiri- sendiri dengan menerima pesanan dari sejumlah industri

memenuhi

kualifikasi/kompetensi.

pengolahan seperti produksi sepatu atau industri tekstil. 11

9 Wawancara tim peneliti. 10 Wawancara tim peneliti dengan Jati Tri Mulyanto, SH,MM, camat Bawen kab Semarang,4 Maret

2011Semarang 11 Keberadaan home-based worker ini sebenarnya sudah cukup lama. Hal ini dimulai oleh industri

tekstil sejak bertahun-tahun lalu. Belakangan muncul pula home-based worker di industri-industri yang bergerak dalam memproduksi sepatu, terutama untuk tujuan ekspor. Wawancara tim peneliti dengan Jati Tri Mulyanto, SH, MM, camat Bawen, 4 Maret 2011.Semarang.

c) Dominasi Buruh Non-Formal

Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, sektor industri di Kabupaten Semarang banyak menyerap tenaga kerja dan selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya baik pada sektor formal maupun non-formal. Namun para pekerja tidak semuanya memiliki tipe yang seragam, melainkan memiliki tipologi beragam berdasar latar belakang status hukum pekerja dan jenis perusahaannya.

Data resmi industri dan tenaga kerja dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Semarang – sebagaimana termatub dalam LKPJ-AMJ Bupati Semarang 2005- 2010-, menyebutkan jumlah pekerja pada sektor formal lebih besar (lihat tabel 10). Namun demikian, beberapa aktivis buruh menengarai bahwa data pekerja non formal di Kabupaten

Semarang jauh lebih besar. 12 Sebagaimana ditegaskan oleh Siagawati:

12 Wawancara tim peneliti dengan Kholid,ativis buruh 31 Januari 2011 Semarang. Wawancara tim peneliti dengan Siagawati, aktivis buruh, 25 Juni 2011 Semarang.

“Saya yakin, jumlah pekerja non-formal di sektor

industri jau h lebih banyak. Mungkin hanya datanya saja

yang belum jelas. Sebab, terkait tumbuhnya kawasan industri tumbuh di Kabupaten Semarang juga banyak bermunculan pekerja bebas yang melakukan aktivitas produksi di rumah masing-masing,”

Tabel. 10 Pekerja Industri Firmal dan Non-Formal Kabupaten Semarang Tahun 2005 – 2009

2008 2009 Industri Formal Skala Menengah Besar Jumlah Industri

JENIS DATA

161 166 Jumlah Tenaga Kerja

63.763 64.805 68.461 69.009 71.506 Industri Formal Skala Kecil Jml Industri Kecil

Orang

1.313 1.341 Formal Jumlah Tenaga Kerja

9.812 10.706 10.918 Industri Kecil Non Formal Jml Industri Kecil

9.257 9.405 Non Formal Jumlah Tenaga Kerja

15.762 16.019 16.279 16.539 16.804 Sumber: LKPJ-AMJ Bupati Semarang 2010

Orang

Dugaan aktivis buruh tersebut tampaknya tidak sepenuhnya salah bila kita mencoba mengkonfirmasi atau cross-check dengan data resmi lainnya. Bila melihat data status pekerjaan utama nampak terlihat para buruh yang memiliki pekerjaan tetap atau Dugaan aktivis buruh tersebut tampaknya tidak sepenuhnya salah bila kita mencoba mengkonfirmasi atau cross-check dengan data resmi lainnya. Bila melihat data status pekerjaan utama nampak terlihat para buruh yang memiliki pekerjaan tetap atau

d) Dominasi Tenaga Kerja perempuan

Sebagaimana ditegaskan oleh Wityastuningsih, Ka.bid Pelatihan dan Penempatan, Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kab. Semarang, 13 salah satu tantangan atau pekerjaan rumah

yang harus juga diselesaikan oleh pemerintah daerah adalah kenyataan bahwa tenaga kerja yang terserap di berbagai perusahaan sebagian besar perempuan. Data dari Disnerktrans Prop. Jawa Tengah tahun 2010 menunjukkan bahwa dari 144.279 pekerja di Kabupaten Semarang sebagian besar adalah perempuan –yaitu 100.376 orang-, sedang laki-laki hanya 43.903 orang.

13 Wawancara tim peneliti dengan Wityastuningsih,Kab. Pelatihan & penempatan, Disnakertransos Kab. Semarang,5 Maret 2011 Semarang.

Lebih khusus, pekerja perempuan juga relatif menonjol dalam dunia hiburan malam. Misalnya, wilayah Sukosari, Kelurahan Bawen terdapat 38 wisma karaoke yang dikelola oleh 33 bapak/ibu pengasuh. Sedangkan jumlah pekerja perempuan di karaoke

mencapai 118 orang. 14 [ ]

14 Wawancara tim peneliti dengan Prayitno, SSTP, MM, Lurah Sukosari, kecamatan Bawen,28 Februari 2011 Semarang

ƒ Hasrul Hanif

ab ini akan menguraikan secara lebih mendalam bagaimana negara, baik di aras nasional mapun aras lokal,

mendefinisikan warga atau subyek politik yang dilekatkan pelbagai hak-hak dasar dan tanggungjawab. Tentu saja, hal tersebut akan dilihat dari orientasi dan praktik nyata kebijakan negara dan bukan semata-mata dari sesuatu yang bersifat normatif.

Oleh karena itu, bab ini akan membahas orientasi dan derajat kapasitas kelembagaan negara, khususnya di Kabupaten Semarang, dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak- hak ekonomi & sosial warga, khususnya komunitas buruh. Identifikasi atas orientasi atau paradigmatik kebijakan negara merupakan hal yang tidak bisa diabaikan. Sebab orientasi ini lah yang akan menggambarkan sejauh mana kesadaran akan Oleh karena itu, bab ini akan membahas orientasi dan derajat kapasitas kelembagaan negara, khususnya di Kabupaten Semarang, dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak- hak ekonomi & sosial warga, khususnya komunitas buruh. Identifikasi atas orientasi atau paradigmatik kebijakan negara merupakan hal yang tidak bisa diabaikan. Sebab orientasi ini lah yang akan menggambarkan sejauh mana kesadaran akan

PENEGASAN FORMAL YANG MENYISAKAN EKSLUSI

Proses amandemen konstitusi yang berlangsung pasca 1998 sebanyak 4 kali telah memberikan ruang bagi adanya upaya penegasan secara formal atas kewarganegaraan. Sebelumnya, UUD 1945 sebagai konstitusi tidak menyebutkan secara detail dan terpisah tentang pengakuan negara atas hak-hak dasar warganegara. Namun dalam UUD 1945 pasca amandemen kemudian diatur tentang secara terperinci hak-hak konstitusional warga sebagaimana diatur dalam Bab X dan XA (mulai dari pasal

26 hingga pasa 29). Perubahan ini menandai adanya pengakuan formal secara eksplisit bahwa setiap subyek yang mendiami wilayah republik Indonesia diakui sebagai warga atau subyek yang memiliki hak-hak dasar.

Perubahan tersebut kemudian diikuti dengan adanya Perubahan tersebut kemudian diikuti dengan adanya

Namun sayangnya, masih ada juga upaya ekslusi terhadap kelompok-kelompok sosial tertentu dalam produk regulasi yang ada. Misalnya, UU No. 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan Sosial menyebutkan bahwa pada dasarnya skema penyelenggaraan kesejahteraan sosial ditujukan kepada kelompok-kelompok sosial yang dianggap sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMS) karena diakibatkan oleh kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan, ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku, korban bencana serta korban tindak kekerasan, Namun sayangnya, masih ada juga upaya ekslusi terhadap kelompok-kelompok sosial tertentu dalam produk regulasi yang ada. Misalnya, UU No. 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan Sosial menyebutkan bahwa pada dasarnya skema penyelenggaraan kesejahteraan sosial ditujukan kepada kelompok-kelompok sosial yang dianggap sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMS) karena diakibatkan oleh kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan, ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku, korban bencana serta korban tindak kekerasan,

11 tahun 2009). Kelompok-kelompok

dianggap sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial dalam praktik kebijakan lebih dilihat sebagai deviasi sosial yang mesti dinormalkan atau didisplinkan dibandingkan sebagai warga yang dilekatkan hak-hak dasarnya. Dalam prakteknya, kelompok- kelompok sosial kemudian ini seringkali mengalami praktik- praktik kekerasan atau kebijakan koersif karena lebih dianggap sebagai “sampah sosial” daripada sebagai subyek politik yang

sosial

yang

memiliki hak-hak dasar. 15

TUNDUK PADA SUPREMASI PASAR

Sejarah mencatat bahwa kehadiran tuntutan atas pemenuhan

15 Kondisi tersebut diperparah dengan berbagai regulasi yang terkait dengan hak-hak dasar warga masih “terkotak-kotak” secara sektoral. Hal ini bisa dilihat dari dari implementasi UU No. 11/2009

tentang Kesejahteraan Sosial, UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No.36/2009 tentang Kesehatan, UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tampak tidak ada upaya serius untuk mensinkronisasi regulasi-regulasi tersebut berikut implementasinya terlebih lagi setelah Indonesia meratifikasi Kovenan EKOSOB melalui UU NO.11/2005. Lebih jauh, berbagai regulasi tersebut terkesan tidak selalu mencerminkan sebuah komitmen yang kuat untuk memastikan terjaminannya hak-hak dasar warga di dalam berbagai proses kebijakan dan pelayanan publik dasar (rights-based public services).

hak-hak ekonomi & sosial sebagai hak dasar warga – yang mendasari hadirnya gagasan kewarganegaraan sosial- muncul di saat revolusi industrialisasi di Eropa telah memakan “anak”nya sendiri dan menghadirkan kesenjangan sosial, ketidakpastian, dsb di tengah laju pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, gagasan kewarganegaraan sosial justru lahir atas kesadaran bahwa mekanisme pasar tidak lah sempurna dan bisa menimbulkan resiko sosial dan efek destruktif secara struktural. Kehadiran negara yang berusaha untuk melindungi warga dari efek tersebut menjadi sebuah kebutuhan (lihat Esping-Andersen, 1985).

Namun sayangnya, praktik di Indonesia menunjukkan bahwa orientasi kewarganegaraan dalam nalar negara saat ini justru menunjukkan ada kecenderungan sebaliknya. Hal ini bisa ditandai oleh keseriusan negara untuk menempatkan instrumen pasar sebagai instrumen satu-satunya –tanpa koreksi- dalam mengelola urusan publik, termasuk “pemenuhan” hak dasar. Bila kita tilik lebih mendalam UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan kesan tersebut tidak berlebihan atau mengada- ada. Membayangkan sebuah orientasi yang serius untuk Namun sayangnya, praktik di Indonesia menunjukkan bahwa orientasi kewarganegaraan dalam nalar negara saat ini justru menunjukkan ada kecenderungan sebaliknya. Hal ini bisa ditandai oleh keseriusan negara untuk menempatkan instrumen pasar sebagai instrumen satu-satunya –tanpa koreksi- dalam mengelola urusan publik, termasuk “pemenuhan” hak dasar. Bila kita tilik lebih mendalam UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan kesan tersebut tidak berlebihan atau mengada- ada. Membayangkan sebuah orientasi yang serius untuk

Kebijakan perburuhan lebih merupakan akomodasi negara terhadap menguatnya adaptasi mekanisme pasar dalam pengelolaan sektor publik daripada sebagai upaya proteksi yang dilakukan oleh negara –sebagai duty holder- terhadap buruh di tengah fleksibilitas pasar kerja ( labour market) yang semakin tidak pasti dan tidak stabil karena proses globalisasi dan transformasi teknologi.

Tampak jelas negara meyakini bahwa pasar kerja adalah komoditas –bukan hak dasar- yang proses pengelolaannya sangat mungkin dikelola melalui mekanisme pasar. Oleh karena itu, tata kelola dan kebijakan perburuhan kemudian lebih merupakan upaya penciptaan iklim investasi yang kondusif atau memastikan mekanisme pasar berjalan secara optimal. Dalihnya adalah investasi yang kuat akan membuka pasar kerja dan menggerakkan ekonomi sehingga kemakmuran bisa dicapai.

Kecenderungan tersebut bisa dilihat dari beberapa indikator Kecenderungan tersebut bisa dilihat dari beberapa indikator