Strategi Public Relations Politik Pks Dalam Reformulasi Citra Partai Jelang Pemilu 2014

(1)

Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh:

SADAM HUSEN FALAHUDDIN NIM: 1110051000186

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1434 H/2014 M


(2)

(3)

(4)

Assalamu’alaikum wr wb.

Saya yang bertanda tangan di bawah ini adalah penulis skripsi dengan judul “Strategi Public Relations Politik PKS dalam Mereformulasi Citra Partai Jelang Pemilu 2014 ” dengan ini menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil saya atau merupakan hasil orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Demikianlah pernyataan ini dibuat, diharapkan dapat dipergunakan dengan semestinya. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum wr wb

Jakarta, 14 Agustus 2014 Penulis

Sadam Husen Falahuddin NIM 1110051000186


(5)

i

Dalam partai politik Public Relations sangat dibutuhkan untuk mendapatkan dukungan baik secara internal maupun eksternal. Dukungan merupakan hal yang sangat di inginkan untuk mecapai sebuah tujuan yakni kekuasaan, jika dukungan tidak diperoleh maka kekuasaan pun tidak akan di dapatkan. Kasus korupsi mantan presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq telah menodai kepercayaan publik. Tentu hal ini akan berdampak terhadap perolehan suara atau dukungan PKS pada pemilu 2014. Dalam penelitian ini, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut; bagaimana cara Public Relations PKS dalam reformulasi citra partai ? seperti apa strategi Public Relations PKS dalam meningkatkan elektabilitas PKS jelang pemilu 2014?

Metode yang digunakan adalah metode kualitatif melalui pendekatan analisis deskriptif, dimana kegiatan penelitian yang akan dilakukan menjelaskan suatu peristiwa yang terjadi berdasarkan pengumpulan data. Teknik pengumpulan data ini berdasarkan observasi, wawancara, dan dokumentasi

Adapun teori yang digunakan adalah gagasan Erving Goffman mengenai Impression Management, yaitu teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Goffman menjelaskan bahwa dalam dunia performa, perlu dibedakan dalam dua panggung, yaitu panggung depan (Front Stage) dan panggung belakang (back Stage). Selain itu, ada pula teori Performa komunikatif yang menggambarkan proses simbolik dari pemahaman akan perilaku manusia dalam sebuah organisasi. Performa organisasi sering kali memiliki unsur teatrikal, dimana baik supervisor maupun karyawan (kader partai dalam hal ini) memilih untuk mengambil peranan atau bagian tertentu dalam organisasi (partai politik).

Setelah peneliti menganalisis beberapa hal terkait dengan berbagai macam manuver politik yang dilakukan PKS, serta strategi PR PKS dalam meningkatkan elektabilitas citra partai menjelang pemilu 2014 adalah sebagai berikut; membuat isu publik seolah-olah PKS bersama dengan aspirasi masyakat dan peduli terhadap masyarakat dalam menolak kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM, mengelola isu-isu kemanusiaan sebagai bentuk simpati terhadap sosial dan penindasan yang terjadi baik di luar maun di dalam negeri, seperti kasus agresi militer di palestina, pembantaian etnis muslim di Rohingnya Myanmar, Pembantaian demonstran di Mesir. Selain itu, PKS sebagai partai kader selalu mengonslidasikan kader-kadernya untuk terus semangat dalam beraktifitas. Rebranding tagline PKS juga merupakan strateginya untuk memulihkan citra partainya yang sempat tercoreng

oleh LHI dari “Bersih, Peduli, Profesional” menjadi “Cinta, Kerja, Harmoni”.

.jadi, PKS sangat pintar dalam melakukan pengelolaan kesan atau impression of management. Isu-isu publik seperti kenaikan BBM, dan isu-isu HAM selalu menjadi perhatian besar untuk mendapatkan simpati publik dan mendapatkan dukungan dari publik agar citra yang ada di masyarakat tetap baik. Citra merupakan modal yang sangat besar bagi partai politik dalam menentukan bagaimana dukungan untuk meraih kekuasaan dapat terealisasikan.


(6)

ii

dari-Nya penulis bisa menyelesaikan pendidikan sampai tingkat Strata satu (S1). Shalawat dan salam tak lupa penulis haturkan kepada baginda suri tauladan Nabi Muhammad SAW, para keluarganya, para sahabatnya dan pengikutnya hingga akhir zaman. Atas do’a dan usaha, serta perjalanan panjang, akhirnya penulis dapat menyelesaikan salah satu tugas penting yang mempertaruhkan segenap keilmuan yang penulis pelajari selama menuntut ilmu di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, walaupun jauh dari kesempurnaan.

“The personal is political” bermula dari sebuah kata sederhana bahwa setiap orang memiliki kepentingan politik di dalamnya untuk mencapai sebuah tujuan hidup. Di era demokrasi saat ini, kita di hadapkan dengan persoalan pergantian kepemimpinan dalam mengemban dan menjalankan estapeta kekuasaan untuk mencapai bangsa yang sejahtera adil dan makmur.

Oleh karena itu penulis sangat tertarik untuk meneliti politik sebagai alat untuk mencapai sebuah tujuan. Tentu saat ini kita sering menjumpai fenomena

politik di Indonesia yang jauh dari “ideal”. Masih tetap ada praktek-peraktek korupsi dan berbagai macam kecurangan dalam pemilu di era demokrasi saat ini. Tentu ini bukan pekerjaan yang mudah dalam meluruskan makna dan tujuan politik yang sesungguhnya. Hal inilah yang menjadi alasan, kenapa kita harus bersatu dan bersama-sama membangun politik yang baik untuk mencapai negara yang adil, makmur, dan sejahtera.


(7)

iii

1. Orang tua tercinta, Bapak H.Madholik, dan Ibunda Hj. Momoy Sutiamah (alm) dan umi Yuyun yang senantiasa memberikan segala kasih sayangnya untuk perjuangan anaknya dalam menimba ilmu pengetahuan. Mereka yang tak henti-hetinya bersujud dan berdoa untuk kesuksesan putra-putrinya. Serta adik dan kakaku yang senantiasa mensupport dan menjadi inspirasi dalam menyelesaikan penelitian ini.

2. Bapak Prof. DR. Komarudin Hidayat, sebagai Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak DR. H. Arief Subhan, MA. Sebagai Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Yang telah memberikan nasihat serta arahan kepada penulis. 4. Drs. Rahmat Baihaky, MA. Dan Fita Fathurakhmah, M.Si selaku Ketua dan

Sekretaris Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi.

5. Bapak DR. Gun Gun Heryanto, M.Si., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktunya, tenaga dan pikiran untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis. Dan sebagai Dosen Komunikasi Politik yang merupakan ruang lingkup dari skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Segenap Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah memberikan begitu banyak wawasan, ilmu dan pengetahuan kepada penulis.


(8)

iv

8. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Banten (HMB) Jakarta yang tak henti hentinya mengajarkan sebuah aktifitas dalam berorganisasi serta mendorong untuk berpikir kritis terhadap fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Serta tak lupa senior-senior HMB jakarta yang sering memberikan nasehat-nasehatnya ketika saya menjabat Sekjend di HMB Jakarta, Prof. Amin Suma, dan Saiful Mujani, Ph.D

9. Rekan-rekan mahasiswa KPI (F) angkatan 2010, yang telah bersama-sama berbagi ilmu, berdiskusi, bercanda, jalan-jalan dan saling berbagi rasa, serta saling memberi dukungan untuk mendapatkan Ilmu di Kampus peradaban UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Akhirnya hanya kepada Allah penulis kembalikan semoga semua yang teah diberikan kepada penulis akan menjadi amal ibadah dan bermanfaat bagi penulis maupun yang lain.

Jakarta, 2 Juli 2014


(9)

v

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

D. Tinjauan Pustaka ... 12

E. Metodologi Penelitian ... 14

F. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II KAJIAN TEORI A. Impression Management Theory ... 21

B. Teori Performa Komunikatif ... 24

a. Definisi Performa Komunikatif ... 24

b. Macam-macam performa komunikatif ... 25

1. Performa Ritual ... 26

2. Performa Hasrat ... 27

3. Performa Sosial ... 27

4. Performa Politis ... 27

5. Performa Enkulutrasi ... 28

C. Konseptualisasi Politik ... 29

1. Definisi Politik... 29

2. Klasifikasi Partai Politik ... 33

3. Sisitem Partai Politik ... 35

D. Konseptualisasi Pemilu ... 38

1. Definisi Pemilu ... 38


(10)

vi

2. Tujuan Public Relations Politik ... 45

3. Public Relations Politik sebagai Aktivitas Persuasi... 46

F. Konseptualisasi Citra ... 49

1. Pengertian Citra ... 49

2. Citra personal tentang Politik ... 50

3. Strategi pembuatan Citra ... 51

4. Macam – macam Citra ... 53

BAB III GAMBARAN UMUM PKS A. Profil PKS ... 55

1. Sejarah Berdirinya PKS ... 55

2. Nama, dan Lambang PKS ... 65

B. Visi dan Misi PKS ... 67

1. Visi PKS ... 67

2. Misi PKS ... 69

BAB IV ANALISIS DAN HASIL TEMUAN A. Strategi PR Politik PKS dalam Reformulasi Citra ... 72

1. Managemen Kesan PKS terhadap Isu kanaikan BBM. 73 2. Perlawanan PKS terhadap KPK ... 79

3. Rebranding PKS ... 84

B. Strategi PR PKS dalam Meningkatkan elektabilitas jelang pemilu2014 ... 88

1. Performa Ritual PKS ... 90

2. Performa Hasrat PKS ... 93

3. Performa Sosial PKS ... 97

4. Performa Politis PKS ... 99

5. Performa Enkulturasi PKS ... 100

C. Strategi PR PKS terhadap Aktifitas Persuasif Pemilih .. 102


(11)

vii

5. Hubungan Publik Politik PKS ... 111

6. Pembangunan Komunitas Politik PKS... 115

D. Interpretasi ... 117

1. Strategi PR PKS Jelang Pemilu 2014 ... 117

2. Dramaturgi dan Performa Komunikatif PKS ... 119

3. Perolehan Suara PKS pada Pemilu 2014 ... 121

4. Kritik ... 125

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 127

B. Saran ... 129

DAFTAR PUSTAKA ... 131


(12)

viii

1. Tabel 1 Perolehan Suara Pada Pemilu Legislatif 2014 ... 2

2. Gambar 1 Grafik Perolehan Partai Islam dari masa ke masa ... 5

BAB II 1. Tabel 1 Kesimpulan Pengertian Performa Komunikatif ... 28

2. Tabel 2 Bagan perbedaan sistem distrik dan proporsional ... 43

3. Gambar 1 Model Pembentukan Citra ... 53

BAB III 1. Tabel 1 Nama-nama Founding Fathers PKS ... 58

2. Gambar 1 Lambang PKS ... 66

3. Tabel 2 Makna Lambang PKS... 67

4. Gambar 2 Irisan Tiga bidang Platform PKS ... 71

BAB IV 1. Gambar 1 Statement Andi Rahmat dari Fraksi PKS ... 75

2. Gambar 2 Tifatul mendukung kenaikan BBM ... 76

3. Gambar 3 Bantahan Terhadap Statement Tifatul ... 77

4. Gambar 4 Terpilihnya Anis Matta sebagai Presiden PKS ... 80

5. Gambar 5 Penangkapan LHI oleh KPK ... 82

6. Gambar 6 Strategi Perlawanan terhadap KPK ... 83

7. Gambar 7 Tagline PKS Pada Pemilu 2009 ... 85

8. Gambar 8 Tagline PKS pada Pemilu 2014 ... 86

9. Gambar 9 Suasana halaqah Ikhwan (laki-laki) ... 91

10. Gambar 10 Suasana halaqah Akhwat (Perempuan)... 92

11. Tabel 1 Performa Ritual PKS ... 93

12. Gambar 11 Kader PKS melakukan Dirrect Selling ... 94

13. Gambar 12 Kader Akhwat PKS sedang Dirrect Selling ... 96

14. Gambar 13 PKS melakukan election update jelang Pemilu 2014 . 97 15. Gambar 14 Kader PKS menggelar Baksos ... 98

16. Gambar 15 Manuver Politik PKS terhadap Isu Reshuffle ... 99


(13)

ix

21. Gambar 20 Grafik kerugian Negara ... 110

22. Gambar 21 Aksi Penistaan terhadap agama... 113

23. Gambar 22 Irwan Prayitno menggelar Aksi Solidaritas Mesir ... 114

24. Gambar 23 Komunitas Mantan Caleg PKS di Sumsel ... 116

25. Gambar 24 Komunitas Humas DPP PKS ... 116

26. Gambar 25 Hasil Survei Indikator menjelang pemilu 2014 ... 122

27. Tabel 2 Perolehan suara pemilu 2009 & pemilu 2014 ... 124


(14)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Sebagaimana kita ketahui, bahwa momentum 2014 merupakan momentum pesta rakyat dalam menentukan pemimpin baik di tingkatan legislatif maupun Eksekutif. Berbagai macam upaya Partai Politik di Indonesia semakin giat untuk meraih suara dalam Pemilihan umum baik di tingkat Kabupaten/kota hingga DPR RI dalam hal ini Legislatif, maupun di Eksekutif yang menduduki kursi RI sebagai Kepala Negara.

Di negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolak ukur, dari demokrasi itu. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi masyarakat. Sekalipun demikian, disadari bahwa pemilihan umum tidak merupakan satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang bersifat kesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan partai, lobbying, dan sebagainya.1

Dalam sistem demokrasi tentu harus ada Partai Politik sebagai salah satu bentuk wadah dalam kontestasi politik di negara yang menganut paham demokrasi. Partai politik bagi warga negara untuk turut serta atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara.2

1

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2008), Edisi Revisi cet. Ke-3 h.461

2


(15)

Menurut Carl Frederich, partai politik adalah kelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan bagi pemimpin partainya dan berdasarkan kekuasaan itu akan memberikan kegunaan materiil dan idill kepada anggotanya3.

Pada Pemilu 2009 di ikuti oleh 44 partai politik, namun yang lolos ke parlemen hanya berjumlah 9 partai politik dengan hasil suara sebagai berikut:

Tabel 1.1

9 Partai Politik yang Berhasil Lolos dari Parliamentary Threshold dan Perolehan Kursi dalam DPR Pemilu Legislatif 2009

No Partai Politik

Perolehan Suara

Kursi Parlemen Perhitungan I Revisi

Demokrat 20,85% 148 150

Golkar 14,45% 108 107

PDIP 14,03% 93 95

PKS 7,88% 59 57

PAN 6,01% 42 43

PPP 5,32% 39 37

PKB 4,94% 26 27

Gerindra 4,46% 30 26

Hanura 3,77% 15 18

3


(16)

Jumlah 100% 560 560

Sumber : KPU tgl 9 Mei 2009

Posisi pertama yang besar di duduki oleh Partai Demokrat, yang saat ini mengalami kemerosotan citra dikarenakan beberapa kader tersandung kasus korupsi, dimulai dari Nazaruddin, Angelina Sondakh, Andi Malarangeng, hingga mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.

Selain partai Demokrat, PKS pun tak jauh berbeda. Luthfi Hasan Ishaq mantan Presiden PKS terjerat Kasus Suap Korupsi daging Import pada akhir bulan Januari 2013. Kejadian itu memukul telak Partai yang pada saat terbentuknya tak ada yang terkena kasus korupsi, namun akhirnya Presiden PKS yang tertangkap oleh KPK.

Namun saat ini banyak sekali Partai Politik di Indonesia yang dililit hukum karena oknum anggota partainya melakukan tindak pidana korupsi, sehingga mayoritas publik tidak percaya atas segala komitmen yang dilakukan oleh para elit politik. LSI (Lingkar Survei Indonesia) Hanya sebesar 37.5 % publik yang menyatakan bahwa mereka percaya dengan komitmen moralitas publik para elite politik. Sedangkan mayoritasnya yaitu sebesar 51.5 % tidak percaya bahwa para elite memiliki komitmen yang kuat untuk melakukan hal-hal yang baik dalam kebijakan atau perilakunya. Sisanya menyatakan tidak tahu/tidak jawab. (lihat hasil quick poll LSI pada tanggal 3-5 Juli 2013)

LSI melihat ada tiga faktor penyebab. Pertama, publik menilai tidak banyak elit atau politisi yang bisa dijadikan teladan bagi masyarakat. Kedua, kuatnya persepsi di publik bahwa banyak politisi yang hipokrit artinya


(17)

bertindak tidak sesuai dengan ucapannya. Dan Ketiga, publik melihat semakin lebarnya jarak antara klaim keyakinan dan ajaran agama dengan perilaku para elite.4

Salahsatunya disinggung terkait dengan partai yang mengklaim diri sebagai partai berbasis agama (dakwah) justru mantan pucuk pimpinannya terlibat kasus korupsi. Kasus korupsi impor sapi yang diduga dilakukan oleh mantan Presiden PKS, Lutfi Hasan Ishaq juga menganggu logika dan nurani publik. Kesalehan pribadi yang dilandasi oleh keyakinan dan ketaatan menjalankan ajaran pribadi ternyata tak mampu membendung “syahwat” pribadi yang koruptif.5

Sejak PKS berdiri, memang tidak ada satu pun anggotanya yang masuk bui karena kasus korupsi. Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq merupakan orang pertama yang menorehkan catatan baru ini. Penetapan tersangka terhadap Luthfi pun membuat kaget Ketua DPP PKS Bidang Kebijakan Publik Hidayat Nur Wahid yang sejak kemarin sore mengikuti rapat dengan pimpinan PKS, termasuk bersama Luthfi, tentang pemenangan pemilu6.

Melihat kasus yang terjadi diatas, berbagai hasil survei terkait dengan suara yang akan di dapat oleh Partai Politik pada pemilu 2014. Seperti yang dirilis oleh Indonesia Research Center (IRC), elektabilitas parpol tertinggi untuk pemillu 2014 ditempati oleh PDIP (14,7 persen). Urutan selanjutnya Partai Golkar (12,2 persen), Partai Gerindra (11,1 persen), dan Partai Demokrat (7,5 persen). Sedangkan kontestan baru Partai NasDem (4,5 persen) berada diperingkat lima

4

http://www.lsi.co.id/konpers-moralitas-publik-elite-juli-2013-11.html,diakses hari sabtu, 24 Nopember 2013, pukul 23.47 WIB

5

Ibid

6

http://nasional.kompas.com/read/2013/01/31/09280349/Citra.Partai.Bersih.PKS.Terco rengdiakses pada hari selasa, 03 Desember 2013, pkul. 22.39


(18)

dan diikuti oleh Partai Hanura (4 persen). Tiga partai menengah berasaskan agama seperti PAN, PKB dan PKS hanya mendapatkan 2,8 persen. selanjutnya PPP (2,4 persen), PBB (0,4 persen), dan PKPI (0,3 persen) hanya menempati posisi tiga terbawah.7

Dari data diatas sangat jelas kemerosotan elektabilitas PKS semakin melorot dari 7, 88% pada pemilu 2009 menjadi 2,8 %. Disusul dengan partai-partai islam lainnya. Jika kita melihat dari masa ke masa, partai-partai Islam mulai ditinggalkan para pemilihnya, padahal penduduk di Indonesia mayoritas beragama Islam. Lingkaran Survei Indonesia memaparkan hasil suara partai politik Islam dari 1955 hingga 2009 sebagai berikut:

Gambar 1.18

sumber: Lingkaran Survei Indonesia

7

http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/06/27/1/164435/Kasus-Korupsi-Goyang-Elektabilitas-PKS diakses pada hari Selasa, 10 Desember 2013 pkul. 21.43

8

http://lsi.co.id/lsi/category/survei/ di akses pada hari selasa, 10 Desember 2013, Pukul 21.55 WIB


(19)

Berbagai macam manuver Politik telah dilakukan oleh setiap Partai dalam mengawal kebijakan pemerintah untuk senantiasa meraih simpati dari konstituent. Mulai keberpihakan terhadap rakyat dalam ini melawan kebijakan yang kontra terhadap Rakyat hingga saling serang melalui media masa sebagai perantara eksistensi dalam melakukan komunikasi politik baik dengan Partai politik lain, maupun dengan Masayarakat.

Berbagai peristiwa Politik semakin terungkap, semakin banyak konflik yang dilakukan oleh masing-masing Partai Politik dalam menjalankan aktivitasnya, termasuk kasus korupsi yang melilit Politisi dari berbagai Partai Politik. Momentum ini kemudian dimanfaatkan oleh lawan politik untuk meraih suara dari konstituante pada saat citra partai lawannya terindikasi kasus korupsi.

Tentu kita masih ingat bagaimana Politisi dari berbagai macam partai terjerat kasus skandal korupsi. Partai Demokrat yang kemudian memakan korban Nazaruddin yang menjadi terdakwa kasus “Hambalang” yang mengakibatkan Partai Demokrat terjun bebas hasil suara melalui survei LSI sementara. Selain Nazaruddin, Ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum terseret dalam kasus Pembangunan “Hambalang” tersebut.

Tidak berbeda dengan Partai Demokrat, pada Februari 2013, Partai PKS mengalami kemerosotan akibat Mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishak (LHI) yang menjadi tersangka atas Kasus Suap Daging Import. Alhasil, elektabilitas PKS semakin menurun. Hingga pada saat itu, Partai Politik yang terkena kasus Korupsi mendapatkan stereotip negatif yang sangat berpengaruh terhadap Citra partai.


(20)

Citra partai terdiri atas apa yang dipercaya dan diharapkan rakyat tentang apa yang dilakukan oleh partai. Dengan kata lain citra partai secara efektif memainkan peran penengah yang menerjemahkan apa yang berlangsung dalam lingkungan politik ke dalam istilah yang bermakna bagi pemberi suara.9

Sebelum Partai Keadilan Sejahtea (PKS) terlilit kasus korupsi yang melibatkan mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq, citra partai tersebut sangat baik di mata publik, sebagai parta yang bersih. Namun pasca tertangkapnya LHI oleh KPK membuat citra partai semakin terpuruk sehingga akan memengaruhi pemberi suara pada pemilu 2014 nanti.

Peranan public relation menjadi sangat penting dalam menangani polemik atau permasalahan yang terjadi di suatu organisasi baik government maupun non government organization. Dalam kasus berbagai macam yang menyangkut dengan pengaruh terhadap citra suatu organisasi, maka peran public relation untuk me-rerekonstruksi citra partai sangatlah penting.

Keberadaan peran public relation dalam suatu organisasi atau lembaga adalah sebuah indikasi bahwa public relation mempunyai perang yang sangat penting dalam perputaran sistem yang ada pada manajemen dan lembaga atau organisasi. Public relation merupakan metode ilmu komunikasi sebagai salah satu kegiatan yang mempunyai kaitan kepentingan dengan suatu organisasi.10

Kebutuhan akan definisi istilah “Public relation‟ (PR) menduduki peringkat nomor dua setelah pengukuran dan evaluasi public relations dalam

9

Dan Nimmo, Komunikasi Politik khalayak dan efek, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), cet. Ke-V, h.184

10

Onong Uchjana Effendi, Ilmu komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999), cet. Ke-XII, h. 131.


(21)

hierarki persyaratan penelitian seperti yang dinyatakan oleh para anggota institute, baik para akademisi maupun praktisi. Namun bagaimanapun pendapat dari para ahli PR, peranan PR dalam sebuah oraganisasi sangatlah penting.

Opini publik sangat berkaitan dengan citra. opini publik merupakan proses yang menggabungkan pikiran, perasaan, dan usul yang diungkapkan oleh warga negara secara pribadi terhadap pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas dicapainya ketertiban sosial dalam situasi yang mengandung konflik, perbantahan, dan perselisihan pendapat tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya.11

Dalam hal ini, Opini publik sebagai proses yang menggabungkan pikiran, perasaan, dan usul yang diungkapkan oleh warga negara secara pribadi terhadap pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas dicapainya ketertiban sosial dalam situasi yang mengandung konflik, perbantahan, dan perselisihan pendapat tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya.12

Opini Publik yang terkait dengan penangkapan yang dilakukan KPK terhadap presiden PKS membuat partai dakwah (PKS) bereaksi Preventif, mencoba untuk melindungi dan menyerang KPK karena penangkapannya tidak sesuai prosedur (SOP) dan lain sebagainya. Namun dalam hal ini KPK menegaskan bahwa KPK memiliki dua alat bukti yang kuat sehingga mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq ditangkap.

11

Dan Nimmo, Komunikasi Politik khalayak dan efek, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), cet. Ke-V, h.3.

12


(22)

Kejadian tersebut membuat citra partai PKS semakin terpuruk, setelah tertangkapnya Luthfi Hasan Ishaq oleh KPK, tindakan PKS untuk menyerang balik, membuat publik semakin tidak suka atas tindakan Anggota PKS yang kemudian melindungi “Koruptor”, citra Publik terhadap PKS semakin tidak percaya, karena citra KPK lebih tinggi ketimbang citra Partai Keadailan Sejahtera. Citra adalah segala sesuatu yang telah dipelajari seseorang yang relevan dengan situasi dan dengan tindakan yang bisa terjadi di dalamnya. Ke dalam citra tercangkup seluruh pengetahuan seseorang (kognisi), baik benar ataupun keliru, semua preferensi (afeksi) yang melekat kepada tahap tertentu peristiwa yang menarik atau menolak orang tersebut dalam situasi itu, dan semua pengharapan (konasi)yang dimiliki orang tentang apa yang mungkin terjadi jika ia berperilaku dengan cara yang berganti-ganti terhadap objek di dalam situasi itu. Ringkasnya, citra adalah kecendrungan yang tersusun dari pikiran, perasaan, dan kesudian. Citra selalu berubah seiring dengan berubahnya pengalaman.

Berdasarkan pertimbangan kasus tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap Public Relation PKS dalam merekonstuksi citra partai dalam menangani permasalahan tertangkapnya mantan Presiden PKS (PKS) menjelang Pemilu 2014 yang akan dilaksanakan pada bulan April 2014.

Penelitian ini sangat penting guna mengetahui bagaimana proses kinerja PR dalam merenkonstruksi citra partai, dengan berbagai macam strategi yang dilakukannya untuk mendulang suara pada pemilu 2014. Disamping itu juga guna memberikan masukan dan solusi terhadap kasus yang meliliit PKS yang dapat menjadi referensi PR dalam melakukan komunikasi politik dengan khalayaknya.


(23)

Menurut Gun Gun Heryanto dan Shulhan Rumaru dalam bukunya komunikasi politik ada tiga faktor yang menjadi kajian penting dan menarik dalam Public Relations politik. Pertama, munculnya fenomena politik modern yang kian banyak memanfaatkan media massa, jasa konsultan serta taktik dan strategi komunikasi politik. Misalnya di Amerika, terpilihnya Barack Obama sebagai presiden, menunjukkan peran komunikasi politik yang sangat menentukan. Kemenangan Obama tidak terlepas dari berbagai strategi komunikasi politik yang dijalankan untuk memengaruhi dan mengalihkan perhatian pemilih Amerika untuk memilih Obama.

Kedua, kian majunya teknologi yang memungkinkan berbagai tindakan politik dilakukan tidak harus bertemu secara fisik, misalnya pendekatan new media (media online) dalam pelaksanaan komunikasi politik. Pendekatan komunikasi menjadi lebih dinamis, interaktif dan serba cepat.

Ketiga, munculnya era demokrasi yang memungkinkan semua warga negara untuk memperoleh kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat, baik lisan maupun tulisan. Demokratisasi memungkinkan semua kalangan untuk berkompetensi seperti tergambar dalam fenomena pemilu legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) juga dalam pemilu calon presiden dan wakil presiden serta pemilu kepala daerah (pemilukada). Demokrasi juga menuntut berbagai organisasi politik untuk mampu menjelaskan banyak hal kepada publik internal maupun publik eksternalnya, sehingga kebutuhan akan public relations politik menjadi sebuah kebutuhan.


(24)

Pada hakikatnya public relations dikembangkan dalam suatu organisasi dan merupakan salah satu fungsi manajemen. Anwar Arifin (2007) menulis bahwa public relations adalah suatu usaha atau suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar dan sistematis oleh suatu badan atau organisasi dalam mengadakan hubungan dengan masyarakat. Kegiatan itu bertugas memberikan penerangan yang secukupnya dan selengkap-lengkapnya kepada publik (masyarakat), dan meneliti serta menghargai pendapat-pendapat, saran-saran, dan sikap-sikap dan landasan kebijakan dan tindakan yang akan diambil. Tujuannya agar organisasi yang diembannya memperoleh pengertian, citra, penerimaan, dan dukungan dari publik (masyarakat).13

B. Batasan Masalah dan Rumusan Masalah

Sebagaimana mestinya, penulis mengarahkan penelitian ini agar terfokus pada permasalahan yang diteliti, maka penulis membatasi masalah terhadap Peran PR PKS (PKS) dalam merekonstruksi Citra Partai, pasca tertangkapnya LHI oleh KPK menjelang Pemilu 2014.

Sedangkan rumusalah masalahnya adalah:

1. Bagaimana peran PR PKS (PKS) dalam merekonstruksi Citra Partai, pasca tertangkapnya LHI oleh KPK ?

2. Strategi apa yang dilakukan oleh PR PKS dalam meningkatkan elektabilitas Partai menjelang Pemilu 2014 ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas maka tujuan penelitian ini adalah:

13


(25)

1. Mendeskripsikan dan menganalisis strategi PR Partai Keadailan Sejahtera (PKS) dalam merenkonstruksi Citrai Partai, pasca tertangkapnya LHI oleh KPK.

2. Mengetahui Program PR PKS dalam meningkatkan elektabilitas partai, menjelang pemilu 2014.

Adapun manfaat yang penulis harapkan dari adanya penelitian ini antara lain sebagai berikut:

a. Penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan pengetahan ilmiah di bidang komunikasi, khususnya dalam Peranan PR Politik di suatu partai, agar dapat menjalankan peran dan fungsinya sebagai jembatan penghubung antara baik sifatnya Internal (hubungan dengan struktur partai) maupun eksternal (hubungan dengan Publik) serta dapat meningkatkan citra partai yang mengalami keterpurukan.

b. Manfaat praktis dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan ataupun solusi pada divisi humas atau PR PKS, partai politik, praktisi, dan Public Relation Politik da dalam merekonstruksi citra partai dan meningkatkan elektabilitas pada pemilu 2014.

D. Tinjauan Pustaka

Ada beberapa penelitian yang pernah dilakukan mengenai Strategi PR dalam mengkonstruksi Citra, di antaranya :

1. Strategi Komunikasi Humas Pemerintah Kota Tangerang Selatan dalam membentuk citra kota cerdas, modern dan Religius yang disusun oleh Zaldy Handi Aditia, NIM : 108051000057, mahasiswa Komunikasi dan


(26)

Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Strategi Pelayanan Public Relation dalam membangung citra pelayanan pada masyarakat (Studi kasus pada kepolisian resort Metro jakarta Barat) yang disusun oleh Muhamad Iqbal, NIM : 107051002581, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Pendekatan Public Relation politik dalam persuasi pemilih muslim jelang pemilu 2014 (Studi komparatif PKS dan PPP) yang disusun oleh Bayu Noer Cahyo, NIM : 109051000143, mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komuniksi.

Persamaan Penelitian ini dengan penelitian yang diatas terletak pada pembahasan mengenai konsep atau strategi pencitraan yang digunakan oleh divisi Public Relation/Hubungan Masyarakat (Humas) suatu lembaga untuk memperbaiki dan meningkatkan citra dalam sebuah lembaga. Perbedaannya adalah penelitian ini adalah strategi komunikasi apa saja untuk meningkatkan citra dan lembaga yang diteliti. Penelitian sebelumnya membahas mengenai strategi komunikasi yang dilakukan oleh lembaga Birokrat, sedangkan pada pembahasan ini penelitian terletak pada lembaga Partai Politik.

Sedangkan Persmaan dengan penelitian skirpsi Bayu Noer Cahyo adalah subyek penelitian yaitu DPP PKS akan tetapi perbedaannya terletak pada Public Relation politik serta adanya pembentukan kembali atau reformulasi citra partai PKS menjelang pemilu 2014, sehingga peneliti yang akan saya teliti lebih fokus


(27)

pada reformulasi citra PKS setelah kasus LHI yang sedang menghancurkan citra PKS sebagai partai dakwah.

E. Metodologi Penelitian 1. Metode penelitian

Penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. melalui pendekatan deskriptif analisis, dimana kegiatan penelitian yang akan dilakukan menggambarkan apa adanya peristiwa yang terjadi. Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau pelaku yang diamati.

2. Paradigma Penelitian

Paradigma adalah kerangka berpikir14, Menurut Robert A. Friedrichs dalam Sociology of Sociology (1970) Paradigma dapat di definisikan sebagai suatu gambaran yang mendasar mengenai pokok permasalahan yang dipelajari dalam suatu disiplin. Paradigma dapat diartikan sebagai pandangan dunia (world view) yang dimiliki seorang peneliti yang dengan itu memiliki kerangka berpikir (Frame), asumsi, teori, atau proposisi dan konsep terhadap suatu permasalah penelitian yang dikaji15.

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme yaitu paradigma yang hampir merupakan antitesis dari paham

14

Tim Penyusun Kamus Pusat Besar Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 2003), h. 828.

15

Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), cet.2, h.91


(28)

yang meletakkan pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan atau lebih tepatnya paradigma konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik terhadap paradigma positivis. Paradigma konstruktivime memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaning action melalui pengamatan langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara atau mengelola dunia sosial mereka.16

Paradigma konstruktivisme merupakan paradigma dalam ilmu sosial yang tergolong dalam paradigma post-positivisme, yang menunjukkan bahwa kebenaran suatu realitas sosial adalah hasil konstruksi sosial dengan kebenaran yang bersifat relatif (kontekstual). Konstruktivisme menolak paradigma positivisme yang memisahkan subjek dan objek komunikasi.17

Menurut Patton, para peneliti konstruktivis memperlajari beragam realita yang terkonstruk oleh individu dan implikasi dari konstruksi tersebut bagi kehidupan mereka dengan yang lain. Dalam konstruktivis, setiap individu memiliki pengalaman yang unik. Dengan demikian, penelitian dengan paradigma seperti ini menyarankan bahwa setiap cara yang diambil individu dalam memandang dunia adalah valid, dan perlu adanya rasa menghargai atas pandangan tersebut.18

3. Teknik Pengumpulan Data

16

Deddy N. Hidayat, Paradigma dan metodologi penelitian sosial empirik klasik, (Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, 2003), h. 3.

17

Elvinaro Ardianto dan Bambang Q-Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2009), Cet. Ke-2, h. 151.

18

Michael Quinn Patton, Qualitative Research and Evaluation Methods, 3rdEdition, (Thaousand Oaks, California: Sage Publications, Inc., 2002), P. 96-97.


(29)

Teknik pengumpulan dari penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data-data tambahan seperti dokumen dan lain-lainnya.

1. Wawancara

Yakni mengadakan wawancara mendalam atau depth interview. Dimana mendapatkan data atau informasi yang dibutuhkan dengan cara melakukan wawancara langsung kepada orang-orang yang berhubungan dengan penelitian dalam hal ini penulis wawancara langsung dengan pengurus DPP PKS yaitu Bapak Dedi Supriadi selaku Sekertaris bidang Humas PKS (Direktur Operasional). Wawancara ini digunakan guna melengkapi data-data yang dibutuhkan penelitian. Pada penelitian ini penulis menggunakan wawancara tak terstruktur atau bersifat fleksibel19

2. Unstruktur Observation (Observasi Tidak Berstruktur)

Observasi tidak berstruktur (non partisipatoris) adalah observasi yang dalam pelaksanaanya tidak melibatkan penelitian sebgai partisipasi atau kelompok yang diteliti. Unstructure observation merupakan salah satu metode dalam penelitian yang berarti pengamatan, dalam hal ini kegiatan dilakukan penulis guna menggali data serta informasi dari sumber data yakni berupa peristiwa, tempat dan dokumen yang ada berkaitan dengan apa yang telah menjadi dasar penelitian.

3. Dokumentasi

19


(30)

Yakni dengan mencari data berupa buku, catatan, arsip, dan sebagainya yang berkaitan dengan public relation politik, terutama mengenai proses ataupun program kerja yang sangat dibutuhkan sebagai pendukung hasil wawancara.

4. Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKS yang beralamat MD Building, Jl. TB. Simatupang No. 82 Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520. Sedangkan waktu penelitian selama lima bulan terhitung mulai bulan Januari 2013 – Juli 2013.

5. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek Penelitian ini DPP PKS. Sedangkan Objek penelitian ini adalah Strategi Public Relation politik dalam merekonstruksi citra partai, serta meningkatkan elektabilitas partai menjelang pemilu 2014.

6. Teknik Analisis Data.

Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, katergori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data20. Analisis yang digunakan adalah analisis deskripsi dengan pendekatan kualitatif, dengan menggambarkan hasil temuan di laporang mengenai Peranan Public relation politik dalam merekonstruksi citra partai dan meningkatkan elektabilitas partai menjelang pemilu 2014.

20


(31)

Peneliti menggunakan langkah-langkah seperti yang dikemukakan oleh Tesch yang dikutip oleh Craswell, langkah-langkah tersebut akan peneliti uraikan sebagai berikut:

a. Memahami catatan secara keseluruhan dengan teliti.

b. Memilih satu dokumen menarik, yang singkat, memperlajari dokumen tersebut dan memikirkan makna pokoknya.

c. Membuat daftar seluruh topik, mengelompokkan topik-topik yang sejenis, selanjutnya peneliti memasukan topik-topik tersebut dalam kolom-kolom topik penting, topik unik dan sisanya.

d. Menyingkat topik-topik tersebut dalam menjadi kode dan menulis kode tersebut. Skema awal ini untuk melihat apakah muncul kategori dan kode baru.

e. Mencari kata yang paling deskriptif untuk topik-topik tersebut lalu mengubah topik tersebut ke dalam katergori-kategori. f. Membuat keputusan akhir tentang singkatan setiap kategori dan

mengurutkan kode-kode tersebut menurut abjad.

g. Mengummpulkan materi data setiap kategori dalam satu tempat dan melakukan anilisis awal.

h. Yang terkahir jika perlu, peneliti akan mengkodekan kembali data yang sudah ada.21

21

John W. Creswell, research Design Qualitative & Quantitative Approach, (Jakarta: KIK Press, 2003) h. 148-149.


(32)

Dalam penelitian ini, penulis akan menyusun secara sistematis data yang telah diperoleh dari dokumentasi, hasil wawancara, data catatan lapangan dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori yang sesuai dengan kerangka konsep pendekatan Public Relation Politik. Kemudian, penulis menyusun secara sistematis, data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang lain.22

F. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan skripsi ini merujuk pada pedoman umum karya ilmiah civitas akademika UIN Syarif Hidayatulllah Jakarta23. Agar penulisan skripsi ini bersifat sistematis dan mempermudah tahap demi tahap pembahasan dalam penulisan karya ilmiah ini, maka penulis membaginya menjadi lima bab, dimana setiap babnya terdiri dari beberapa sub bab, adapun sistematikanya adalah sebagai berikut:

BAB I. Pendahuluan

Dalam bab pertama membahas tentang pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

22

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2011), cet. Ke-13, h. 244

23

Oman Fathurahman, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis dan Disertasi, (Jakarta: CEQDA (Center fir Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007).


(33)

BAB II Kajian Teoritis

Dalam bab kedua akan membahas landasan teori yang menguraikan tentang beberapa hal yang menyangkut pembahasan dalam skripsi ini tentang: Penjelasan Impression Management Theory, Penjelasana Teori Performa komunikatif, Konseptualisasi Politik, Konseptualisasi Pemilu, Konseptualisasi Public Relations Politik, dan Konseptualisasi Citra.

BAB III. Gambaran Umum

Pada bab ini membahas tentang sejarah singkat PKS (PKS) yang meliputi terkait: Profil, Sejarah, Platform, visi dan misi serta struktur kepengurusan DPP PKS (PKS)

BAB IV. Temuan dan Hasil Penelitian.

Pada Bab ke empat ini akan membahas terkait dengan analisis hasil temuan, menjelaskan Strategi public relation politik dalam merekonstruksi citra partai pasca tertangkapnya LHI oleh KPK, dan Program PR dalam meningkatkan elektabilitas partai di pemilu 2014

BAB V. Penutup

Pada bab kelima, penulis memberikan suatu kesimpulan dan saran berdasarkan hasil penelitian yang diteliti dan memberikan saran-saran dan beberapa lampiran sebagai pelengkap penelitian.


(34)

BAB II

KAJIAN TEORITIS A. Impression Management Theory

Berbagai peristiwa yang terjadi dalam peristiwa politik, terkadang tidak menampilkan sesuatu yang sebenarnya ada pada dirinya sendiri. Terkadang ada upaya untuk memanipulasi peran, ataupun sebuah wajah yang ditampilkan untuk meraih kesan positif di depan khalayak publik, seolah-olah hal ini merupakan sebuah drama yang biasa terjadi dalam suatu pementasan.

“A region may be defined as any place that is bounded to some degree by barriers to perception. Regions vary, of course, in the degree to which they are bounded and according to the media of communication in which the barriers to perception occur.”24

Wilayah dapat didefinisikan sebagai tempat yang dibatasi untuk beberapa tingkat oleh hambatan persepsi. Wilayah bervariasi, Tentu saja, dalam tingkatan sejauh mana mereka dibatasi dan menurut media komunikasi di mana hambatan persepsi itu terjadi.

“The performance of an individual in a front region may be seen as an effort to give the appearance that his activity in the region maintains and embodies certain standards.”25

Artinya Kinerja individu di panggung depan mungkin dapat dilihat sebagai upaya untuk memberikan penampilan yang kegiatannya di wilayah menjaga dan mewujudkan standar tertentu. Disinilah kemudian karakter yang ada dalam dirinya secara alamiah akan tertutup, karena individu itu sadar bahwa ia sedang bereda di panggung depan, dan diperhatikan oleh banyak orang (penonton).

24

Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life, (Garden City: Dobleday, 1959), hal. 66

25

Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life, (Garden City: Dobleday, 1959), hal. 67


(35)

A back region or backstage may be defined as a place, relative to a given performance, where the impression fostered by the performance is knowingly contradicted as a matter of course. There are, of course, many characteristic functions of such places. It is here that the capacity of a performance to express something beyond itself may be painstakingly fabricated; it is here that illusions and impressions are openly constructed.26

Sebuah wilayah belakang atau di belakang panggung dapat didefinisikan sebagai tempat, relatif untuk memberikan kinerja, di mana kesan berkembang dari kinerja yang sengaja bertentangan sebagai hal yang biasa. tentu saja ada banyak fungsi karakteristik tempat tersebut. Di sinilah kapasitas kinerja untuk mengungkapkan sesuatu di luar dirinya dapat dengan susah payah dibuat; di sinilah ilusi dan kesan secara terbuka dibangun.

Menurut Erving Goffman, Impression Management atau pengelolaan Kesan, yaitu teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Untuk menimbulkan kesan tertentu, seseorang akan mempersentasikan dirinya melalui atribut, atau tindakan tertentu, termasuk pakaian, tempat tinggal, perabotan rumah tangga, cara berjalan, gaya berbicara, dan sebagainya. Ketika berkomunikasi, seseorang akan mengelola dirinya agar tampak seperti apa yang dikehendakinya, sebaliknya juga orang lain yang menjadi lawannya melakukan hal yang sama. Oleh karena itu setiap orang melakukan pertunjukan bagi orang lain, sehingga ia menjadi aktor yang menunjukkan penampilannya untuk membuat kesan bagi lawannya.27

26

Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life, (Garden City: Dobleday, 1959), hal. 69

27

Deddy Mulyana & Solatun, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), cet. 2, hal. 103


(36)

Selain itu, Goffman menjelaskan bahwa seluruh kegiatan individu dalam suatu situasi sosial tersebut sebagai performa (Performance) dan dalam dunia performa, perlu dibedakan dalam dua panggung, yaitu panggung depan (Front region atau frons stage) dan panggung belakang (back region atau back stage).

Goffman menjelaskan kehidupan sosial yang ia bagi menjadi dua wilayah yaitu:28

a. Wilayah depan (Front Region), yaitu tempat atau peristiwa sosial yang memungkinkan individu menampilkan peran formal atau gaya layaknya aktor yang berperan. Wilayah ini disebut juga sebagai “panggung depan” (front stage) yang ditonton khalayak.

b. wilayah belakang(back region), yaitu tempat untuk mempersiapkan peranannya di wilayah depan, disebut juga “panggung belakang (back stage) atau kamar rias tempat pemain sandirwara bersantai mempersiapkan diri atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan.

Panggung depan merupakan bagian dari performa seseorang yang secara teratur berfungsi dalam aturan umum dan tetap untuk dapat mendefinisikan oleh mereka yang menyaksikannya. Di panggung depan ini terdapat pengaturan (setting), misalnya berupa dekorasi, furnitur, tata letak, fisik dan latar belakang “panggung”. Selain itu, setting yang bersifat individual sangat mendukung, diantaranya adalah penampilan (appearance) dan gaya (manner).29

28

Ibid, hal.38

29


(37)

Sedangkan panggung belakang biasanya ia sudah berada pada posisi yang aman dari pandangan orang-orang, artinya ia sudah menjadi dirinya sendri tanpa harus menampilkan sesuatu yang berlebihan. Inilah dia yang sebenarnya dengan kebiasaan atau tampilan yang sesungguhnya.

Terkait dengan partai, meminjam istilah dari Goffman bahwa partai merupakan sebuah team, sebagai sejumlah individu yang bekerjasama mementaskan suatu routine. Beberapa elemen dasar dari pertunjukan tim ini dikemukakan oleh Goffman antara lain:

Pertama, saat suatu tim pertunjukkan sedang berjalan sesuatu dapat menggangu atau menyimpang dari setiap anggota tim pertunjukkan itu. setiap peserta tim harus bergantung pada tindakan dan perilaku mitranya, sedangkan temannya harus bersikap demikian juga kepadanya.

Kedua, bila para anggota tim itu harus bekerja sama untuk mempertahankan suatu definisi atas situasi tertentu di hadapan penonton, para anggota tim harus mengalami kesulitan untuk mempertahankan kesan tersebut. Oleh karena itu, para peserta tim sesuai dengan frekuensi masalah yang berkaitan dengan upaya mempertahankan kesan, cendrung di arahkan oleh ketentuan yang dinamakan dengan kebiasaan.

B. Teori Performa Komunikatif a. Definisi Performa Komunikatif

Setiap individu pasti memiliki performa dalam berkomunikasi ketika sedang berada pada suatu organisasi. Dalam teori budaya organisasi terdapat salah satu konsep penting yang dibahas yaitu performa komunikatif. Performa


(38)

komunikatif pertama kali diperkenalkan oleh Pacanowsky dan O‟Donnel Trujillo (1982) yang menyatakan bahwa anggota organisasi melakukan performa komunikasi tertentu yang berakibat pada munculnya budaya organisasi yang unik.30

Partai Politik merupakan organisasi yang memiliki struktur dan tujuan yang jelas yang menjadikan organisasi itu berjalan pada ranah yang benar. Dalam hal ini, partai politik yang akan di bahas pada penelitian ini adalah PKS (PKS) dalam rangka pendekatan Public Relation politik, untuk membuat strategi mereformulasi citra partai pasca tertangkapnya LHI oleh KPK. Selain itu, tentu tahun 2014 merupakan ajang kontestasi politik yang akan merebutkan kursi di parlemen maupun di eksekutif dalam hal ini Presiden. Semua upaya akan dilakukan demi merebut kekuasaan.

Performa (Performance) adalah metafora yang menggambarkan proses simbolik dari pemahaman akan perilaku manusia dalam sebuah organisasi. Performa organisasi sering kali memiliki unsur teatrikal, dimana baik supervisor maupun karyawan (kader partai dalam hal ini) memilih untuk mengambil peranan atau bagian tertentu dalam organisasi mereka.31

b. Macam-macam performa komunikatif

Walaupun sistem kategori tidak selamanya ekslusif, setidaknya kita mendapatkan gambaran, sejauh mana organisasi dapat bervariasi dalam perlilaku manusia yang dapat dipahami. Para teoritikus menjabarkan ada lima performa

30

Richard West dan Lynn H. Turner, Pengantar Teori Komunikasi, Edisi 3: Analisis dan Aplikasi, (Jakarta: PT Salemba Humanika, 2008), h. 325

31


(39)

budaya yaitu: ritual, hasrat, sosial, politik, dan enkulturasi.32 Berikut ini penjelasan kelima macam performa yang dapat kita pelajari.

1. Performa Ritual

Semua performa komunikasi yang terjadi secara teratur dan berulang disebut performa ritual (ritual performance). Ritual terdiri atas empat jenis: personal, tugas, sosial, dan organisasi. Ritual personal (personal ritual) mencakup semua hal yang anda lakukan secara rutin di tempat kerja. Misalnya, banyaknya karyawan dalam suatu perusahaan yang menyalakan dan mengerjakan tugas kantor di komputer kerjanya masing-masing setiap hari.

Ritual tugas (tugas ritual) adalah perilaku rutin yang dikaitkan dengan pekerjaan seseorang. Ritual tugas membantu menyelesaikan pekerjaan. Misalnya, tugas seorang akuntan yang kemudian melakukan audit keuangan baik yang masuk maupun keluar sebagai pencatatan arus kas dalam setiap transaksi di sebuah perusahaan tersebut.

Ritual Sosial (sosial trust) adalah rutinitas verbal dan nonverbal yang biasanya mempertimbangkan interaksi dengan orang lain. Misalnya, ada beberapa komunitas pencinta alam yang berkumpul setiap hari ahad di alam terbuka untuk menanam pohon dan menghijaukan alam di sekitarnya. Ritual organisasi (organizational ritual) adalah kegiatan perusahaan yang sring dilakukan seperti rapat divisi, rapat BEM, dan yang

32


(40)

lainnya yang berkaitan langsung dengan sebuah interaksi dalam suatu organisasi.

2. Performa Hasrat.

Performa hasrat (passion performance) adalah kisah-kisah mengenai organisasi yang sering kali diceritakan secara antusias oleh para anggota organisasi dengan orang lain. Biasanya, performa hasrat ini, sering kali orang dalam organisasi itu begitu menggebu-gebu dalam bercerita, sehingga apapun yang terjadi pada suatu organisasi itu, akan selalu diceritakan.

3. Performa Sosial

Performa sosial (social performance) merupakan perpanjangan sikap santun dan kesopanan untuk mendorong kerja sama di antara anggota organisasi. Sebagimana yang dikatakan oleh pepatah bahwa “hal kecil memulai hal yang besar” artinya seberapa kecilnya nilai-nilai dari sikap santun dan sopan merupakan hal terpenting ketika kita berinteraksi dengan orang lain.

4. Performa Politis

Ketika budaya organisasi mengomunisasikan performa politis (political performance), budaya ini sedang menjalankan kekuasaan atau kontrol. Mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan dan kontrol merupakan ciri dari kehidupan korporat di Amerika serikat. Mereka akan melakukan apapun untuk dapat mempertahankan kekuasaannya sertu mengontrol


(41)

apapun yang terjadi di setiap negara, demi menjaga stabilitas kekuasaannya.

5. Performa Enkulutrasi

Performa enkulutrasi (Enculturationa performance) merujuk pada bagaimana anggota mendapatkan pengetahuan dan keahlian untuk dapat menjadi anggota organisasi yang mampu berkontribusi. Performa-performa ini dapat berupa suatu yang berani maupun hati-hati, dan performa ini mendemonstrasikan kompetensi seorang anggota dalam sebuah organisasi.

Secara singkat, performa komunikatif adalah sebuah metafora yang menampilkan bahwa sesungguhnya di dalam organisasi merupakan sebuah teatrikal. Berikut ini bentuk ringkasan performa komunikatif.

Tabel 2.1 Performa Budaya dalam Organisasi

No Macam-macam performa Pengertian / contoh

1. Performa Ritual Ritual personal – mengecek pesan suara dan e-mail; ritual tugas mengeluarkan tiket, menerima pembayaran; ritual sosial – acara kumpul karyawan; ritual organisasi – rapat departemen, pikni perusahaan

2. Performa Hasrat Penceritaan kisah, metafora, dan pembicaraan yang berlebihan – “ini adalah perusahaan yang paling tidak menghargai karyawan” “ikut mata rantai perintah yang diberikan, jika tidak perintah itu akan memberlit lehermu”

3. Performa sosial Tindakan santun dan sopan; perpanjang etiket – mengucapkan terima kasih pada pelanggan, obrolan di dekat pendingin air, menjaga “muka” orang lain.

4. Performa politis Menjalankan kontrol, kekuasaan, dan pengaruh – bos yang galak, ritual intimidasi, penggunaan informan, tawar menawar


(42)

5. Performa Enkulturasi Kompetensi yang didapat dari karier dalam organisasi – peranan belajar/mengajar, orientasi, wawancara.

C. Konseptualisasi Politik 1. Definisi Politik

Kelahiran partai politik sedianya adalah buah dari pertarungan ideologi antarkekuatan yang ada dalam masyarakat. Ia muncul sebagai representasi kepentingan warga negara. Di barat, partai politik pertama-tama lahir mewakili setidaknya ada tiga golongan masyarakat. Partai politik di barat terutama muncul setelah adanya peralawanan yang begitu kuat kepada dominasi agama (gereja). Yang pertama, adalah kekuatan liberal yang melawan kekuatan gereja untuk selanjutnya lahirlah partai-partai konvensional. Ketiga aktor politik yang akhirnya bermuara kepada pengelompokan politik dalam bentuk partai politik saat itu adalah gereja, politisi konservatif, dan politisi liberal. Ketiga kelompok politik ini mewakili semangat zaman yang ada pada saat itu.33

Bagi suatu negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi maupun yang sedang membangun proses demokratisasi, partai politik menjadi sarana demokrasi yang bisa berperan sebagai penghubung antara rakyat dan pemerintah. pembentukan

Partai politik memang bukan nama asing bagi kita sebagai warga negara, fungsi dan peranannya sangat penting bagi kepentingan bangsa dan negara. Dalam bukunya yang berjudul Economic et Societte (1959) Max Weber menekankan menekankan aspek profesionalisme dalam dunia politik modern. Partai politik

33


(43)

kemudian mendefinisikan sebagai organisasi publik yang bertujuan untuk membawa pemimpinnya berkuasa dan memungkinkan para pendukungnya (politisi) untuk mendapatkan keuntungan dari dukungan tersebut. Partai politik menurut Max Weber sangat berkembang pesat di abad ke-19 karena dukungan oleh legitimasi legal-rasional. Partai politik adalah organisasi yang bertujuan untuk membentuk opini publik (Seilere, 1993).34

Menurut La Palombara dan Weiner (1966) yang dikutip oleh Firmanzah dalam bukunya Mengelola Partai Politik, mengidentifikasi empat karakteristik dasar yang menjadi ciri khas organisasi yang dikatergorikan sebagai partai politik. Kriteria ini sangat populer untuk melakukan studi komparasi politis. Keempat karakteristik dasar dari partai politik adalah sebagai berikut :

1. Organisasi jangka panjang. Organisasi partai politik harus bersifat jangka panjang, diharapkan dapat terus hadir meskipun pendirinya sudah tidak ada lagi. Partai politik bukan sekedar gabungan dari para pendukung yang setia dengan pemimpin yang kharismatik. Partai politik hanya akan berfungsi dengan baik sebagai organisasi ketika ada sistem dan prosedur yang mengatur aktivitas organisasi, dan ada mekanisme suksesi yang dapat menjamin keberlangsungan partai politik untuk jangka waktu yang lama. 2. Struktur organisasi. Partai politik hanya akan dapat menjalankan fungsi

politiknya apabila didukung oleh struktur organisasi, mulai dari tingkat lokal sampai nasional, dan ada pola interaksi yang teratur di antara keduanya. Partai politik kemudian dilihat sebagai organisasi yang meliputi

34


(44)

suatu wilayah teritorial serta dikelola secara prosedural dan sistematis. Struktur organisasi partai politik yang sistematis dapat menjamin aliran informasi ke bawah ke atas maupun dari atas ke bawah, sehingga nantinya akan meningkatkan efisiensi serta efektivitas fungsi kontrol dan koordinasi.

3. Tujuan berkuasa. Partai politik didirikan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan, baik di level lokal maupun nasional. Siapa yang memimpin negara, propinsi atau kabupaten? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang melatarbelakangi hadirnya partai politik. Ini pula yang membedakan partai politik dengan bentuk kelompok dan grup lain yang terdapat dalam masyarakat seperti perserikatan, asosiasi, dan ikatan. 4. Dukungan publik luas adalah cara untuk mendapatkan kekuasaan. Partai

politik perlu mendapatkan dukungan luas dari masyarakat. Dukungan inilah yang menjadi sumber legitimasi untuk berkuasa. Karakteristik ini menunjukkan bahwa partai politik harus mampu diterima oleh mayoritas masyarakat dan sanggup mobilisasi sebanyak mungkin elemen masyarakat. Semakin besar dukungan publik yang didapatkan oleh suatu partai politik, semakin besar juga legitimasi yang diperolehnya.

Menurut Hafid Cangara, ada tiga prinsip dasar dari partai politik yakni sebagai berikut35:

1. Partai sebagai koalisi, yakni membentuk koalisi dari berbagai kepentingan untuk membangun kekuatan mayoritas. Partai yang

35


(45)

dibentuk atas dasar koalisi di dalamnya terdapat faksi-faksi. Dalam tubuh partai Golkar misalnya ada faksi Kosgoro, MKGR, dan Korpri (sebelum tahun 1999), demikian pula dalam tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terdapat faksi NU, Parmusi, Perti, dan PSII. Kehadiran faksi-faksi dalam partai besar sering mengacaukan kesatuan partai karena satu sama lain berusaha menjadi dominan dalam partai. Ketidakcocokan dalam partai terutama muncul dalam hal penetapan asas perjuangan, program, kepengurusan organisasi, dan pencalonan kandidat.

2. Partai sebagai organisasi, untuk menjadi institusi yang eksis, dinamis, dan berkelanjutan partai politik harus dikelola. Partai harus dibina dan dibesarkan sehingga mampu menarik dan menjadi wadah perjuangan, sekaligus representasi dari sejumlah orang atau kelompok. Tugasnya adalah mencalonkan anggota untuk pemilu dengan label partai, mengambil bagian dalam pemilu, mengajukan calon yang disepakati, mengumpulkan dana, dan membuat isu propaganda dalam kampanye. Untuk itu, partai politik melakukan mobilisasi kepada anggota-anggotanya untuk loyal kepada partai.

3. Partai sebagai pembuat kebijakan (policy making). Partai politik juga berbeda dengan kelompok sosial lainnya dalam hal pengambilan kebijakan. Partai politik mendukung secara konkret para calon yang mereka ajukan untuk menduduki jabatan-jabatan publik. Dari posisi ini mereka memiliki kekuasaan untuk memengaruhi atau mengangkat


(46)

petugas atau karyawan dalam lingkup kekuasaannya, bahkan turut memberi pengaruh dalam pengambilan kebijakan di kementrian di mana kader partai menduduki posisi yang sama melalui kolegitas partai.

Dari tiga prinsip inilah kita dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan partai politik seperti apa peranannya dan bagaimana mereka bekerja untuk bangsa dan negeri ini. Berbagai upaya akan mereka lakukan untuk mencapai sebuah tujuan dalam rangka menduduki kekuasaan dan memimpin bangsa dan negeri ini. Sangat jelas definisi partai politik diatas.

2. Klasifikasi Partai Politik

Ada beberapa macam partai yang terdapat di negara yang menganut sistem demokrasi. Menurut Miriam Budiardjo klasifikasi partai dapat dilakukan dengan pelbagai cara. Bila dilihat dari segi komposisi dan fungsi keanggotaanya, secara umum dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu partai massa dan partai kader.

Partai massa mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat bernaung di bawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang biasanya luas dan agak kabur. Kelemahan dari partai massa ialah bahwa masing-masing aliran atau kelompok yang bernaung di bawah partai massa cendrung untuk memaksakan kepentingan masing-masing, terutama pada saat-saat krisis, sehingga persatuan dalam partai dapat menjadi lemah atau hilang sama sekali sehingga salah satu golongan


(47)

memisahkan diri dan mendirikan partai baru.36 Selain itu, partai massa mengandalkan jumlah anggota yang besar, dan biasanya terdiri dari banyak golongan yang bergabung di bawah payung partai, misalnya Golkar.37

Berbeda halnya dengan partai kader yang mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja dari anggota-anggotanya. Pimpinan partai biasanya menjaga kemurnian doktrin politik yang dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadap calon anggotanya dan memecat anggota yang menyeleweng dari garis partai yang telah ditetapkan.38 Misalnya PKS (PKS).

Klasifikasi lainnya dapat kita ketahui dari segi sifat dan orientasi, dalam hal mana partai-partai dapat dibagi dalam dua jenis yaitu partai lindungan (patronage party) dan partai ideologi atau partai azas (Weltanschauungs partei atau Programmatic party).39

Partai lindungan umumnya memiliki organisasi nasional yang kendor (sekalipun organisasinya di tingkat lokal sering cukup ketat), disiplin yang lemah dan biasanya tidak terlalu mementingkan pemungutan iuran secara teratur. Maksud utama ialah memenangkan pemilihan umum untuk anggota-anggota yang dicalonkannya; karena itu hanya giat menjelang masa-masa pemilihan. Partai Demokrat dan Partai Republik di Amerika Serikat merupakan contoh dari partai semacam ini.

36

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar ilmu politik, (Jakarta: PT Gramedia, 1986), cet. X, hal. 166

37

Hafied Cangara, Komunikasi Politik, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hal. 219

38

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar ilmu politik, (Jakarta: PT Gramedia, 1986), cet. X, hal. 166

39


(48)

Partai ideologi atau partai azas (Sosialisme, fasisme, komunisme, Kristen-Demokrat) biasanya mempunyai pandangan hidup yang digariskan dalam kebijaksanaan pimpinan dan berpedoman pada disiplin partai yang kuat dan mengikat. Terhadap calon anggota diadakan saringan, sedangkan untuk menjadi anggota pimpinan diisyaratkan lulus melalui beberapa beberapa tahap percobaan. Untuk memperkuat ikatan batin dan kemurnian ideologi, maka pungut iuran secara teratur dan disebarkan organ-organ partai yang memuat ajaran-ajaran serta keputusan-keputusan yang telah dicapai oleh pimpinan.

3. Sistem Partai

Selain pambagian diatas, Maurice Duverger dalam bukunya yang terkenal Political Parties, yaitu sistem partai-tunggal (one party system), sistem dwi-partai (two-party system) dan sistem multi-partai (multi-party system).40

a. Sistem Partai Tunggal (One-Party System)

Sistem ini merupakan model lama dalam bidang pemerintahan, yakni sistem authoritarian (otoriter) yang digerakkan oleh satu partai tunggal yang berkuasa. Sistem partai tunggal hanya mengakui satu partai yang diperkenankan dalam suatu negara.41

Pola partai-tunggal terdapat di beberapa negara Afrika (Ghana di masa Nkrumah, Guinea, Mali, Pantai Gading). Eropa Timur dan RRC. Suasana kepartaian dinamakan non-kompetitif oleh karena itu, partai-partai

40

Ibid, 167

41


(49)

yang ada harus menerima pimpinan dari partai yang dominan dan tidak dibenarkan bersaing secara merdekan melawan partai itu.42

b. Sistem Dwi Partai

Ada beberapa negara yang saat ini menganut sistem dwi partai, yaitu Amerika Serikat dan Filipina, yang dinamakan oleh Maurice Dauverger sebagai khas Anglo Saxon. Dalam sistem ini, partai-partai jelas dibagi dalam partai yang berkuasa (karena menang dalam pemilihan umum) dan partai oposisi (karena kalah dalam pemilihan umum).

Dari gambaran di atas sangatlah jelas dimana letak peranan dan tanggung jawab mengenai pelaksanaan fungsi-fungsinya dalam suatu negara. Dalam sistem ini, partai yang kalah akan berperan sebagai partai pengecam utama (oposisi) sedangkan partai yang menang akan setia terhadap kebijaksanaan dalam pemerintahan. Akan tetapi hal ini bisa saja terbalik atau berpindah tangan, tergantung partai mana yang menang dalam pemilu itu sendiri.

Sistem dwi partai umumnya diperkuat dengan digunakannya sistem pemilihan single-member constituency (Sistem Distrik) di mana dalam setiap daerah pemilihan hanya dapat dipilih satu wakil saja. Sistem pemilihan ini mempunyai kecendrungan untukk menghambat pertumbuhan dan perkembangan partai kecil, sehingga dengan demikian memperkokoh sistem dwi-partai yang ada.43

c. Sistem Multi Partai

42

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar ilmu politik, (Jakarta: PT Gramedia, 1986), cet. X, hal. 167-168.

43

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar ilmu politik, (Jakarta: PT Gramedia, 1986), cet. X, hal. 169


(50)

Model sistem multi partai ini banyak sekali di anut oleh banyak negara, diantaranya, negara Indonesia. Pada umumnya keanekaragaman dalam komposisi masyarakat merujuk pada perkembangan sistem multi-partai. Di mana perbedaan ras, agama, atau suku bangsa adalah kuat, golongan-golongan masyarakat lebih cendrung untuk menyalurkan ikatan-ikatan terbatas (primordial) dalam satu wadah saja.44

Dalam hal ini, tentu sistem multi partai merupakan cerminan dalam berbagai macam ras, agama, atau suku bangsa yang terdapat pada suatu negara. Tentu hal ini merupakan suatu keniscayaan bilamana kedekatan primordial dapat mempengaruhi afiliasi pada suatu partai yang dekat dengannya atau memiliki ikatan tersendiri.

Sistem multi partai, apalagi kalau digandengkan dengan sistem pemerintahan parlementer, mempunyai kecendrungan untuk menitik beratkan kekuasaan pada badan legislatif sehingga peranan badan eksekutif sering lemah dan ragu-ragu.45Hal ini disebabkan karena tidak ada satu partai yang kuat dalam membentuk suatu pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa membentuk koalisi dengan partai-partai lain.

Dalam keadaan seperti ini, partai yang berkoalisi harus selalu mengadakan musyawarah dan kompromi dengan partai-partai lainnya dan menghadapi kemungkinan bahwa sewaktu-waktu dukungan dari partai koalisi lainnya dapat di tarik kembali. Jadi artinya koalisi atau oposisi tidak permanen selama masa jabatan suatu pemerintahan berlangsung dalam satu periode.

44

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar ilmu politik, (Jakarta: PT Gramedia, 1986), cet. X, hal. 169

45


(51)

Contohnya Indonesia, sistem presidensil namun masih bercita rasa parlemen, sehingga kekuatan pemerintahan akan tidak stabil bilamana partai itu, tidak menemui titik terang dalam sebuah keputusan atau kebijakan yang diberlakukan oleh partai pemerintah. Adanya setgab (sekertariat gabungan) dibentuk dari inisiatif partai Demokrat, sebagai wadah musyarawarah dengan partai-partai koalisi (pendukung pemerintah) untuk menentukan konsesus bersama sebelum berjejak di parlemen.

D. Konseptualisasi Pemilu 1. Definisi Pemilu

Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi. Saat ini, pemilu merupakan sebuah wujud nyata dari sistem demokrasi elektoral. Pemilu (Pemilihan Umum) menjadi ajang kontestasi partai politik dalam merebut kekuasaan. Itulah yang akan melatar belakangi bagaimana komunikasi politik sangat penting untuk dapat merebut kekuasaan dari suara rakyat.

Pemilihan umum yang diselenggarakan harus dalam keadaan keterbuakaan serta kebebasan dalam menyalurkan aspirasinya sebagai masyarakat. Selain itu, kebebasan dalam berpendap serta berserikat, dianggap mencerminkan dengan akurasi partisipasi serta aspirasi masyarakat. Disisi lain, kita harus sadari bahwa pemilihan umum tidak merupakan satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan partai, Lobbying, dan sebagainya yang menunjang dalam menyukseskan pemilu.


(52)

Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum dengan berbagai variasinya, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu:

a. Single-member constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil; biasanya disebut sistem distrik.

b. Multi-member Constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan sistem perwakilan berimbang atau sistem proposional).46

Dalam sistem distrik, satu wilayah kecil (yaitu distrik pemilihan) memilih satu wakil tunggal (Single-member constituency) atas dasar pluralitas (suara terbanyak). Dalam sistem proporsional, satu wilayah besar (yaituu daerah pemilihan) memilih beberapa wakil (multi-member constituency). Perbedaan pokok antara dua sistem ini ialah bahwa cara mengitung perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai politik.47

1. Sistem Distrik

Dalam pemilihan umum, sistem distrik merupakan sistem tertua, menunjuk kepada pertarungan antara kandidat yang dicalonkan oleh partai-partai politik dalam sebuah wilayah yang kecil (daerah pemilihan) untuk mecari satu wakil (single-member constituency). Kandidat dicalonkan oleh partai politik, rakyat yang sudah dewasa memilih nama dan gambar (foto) kandidat tersebut dan bukan memilih tanda gambar partai politik. Kandidat yang memperoleh suara terbanyak

46

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar ilmu politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2008), cet. 3. , hal. 461-462

47


(53)

menjadi pemenang tunggal (the first past post) dan akan mewakili daerah itu dalam parlemen. Suara kandidat yang kalah tidak lagi diperhitungkan, sehingga suaranya hilang. Namun kandidat yang menang tidak lagi mewakili sebagai partainya, namun mewakili sebagai perwakilan dari daerah asal pemilihannya.48

Sistem distrik sering dipakai di negara yang memiliki sistem dwi partai seperti inggris serta negara-negara bekas jajahannya seperti India, Malaysia, dan Amerika. Dalam sistem distrik karena hanya diperlukan pluralitas suara (suara terbanyak) untuk membentuk suatu pemerintaha, dan bukan mayoritas (50% plus satu) dapat terjadi bahwa partai yang menang dengan hanya memperoleh pluralitas suara dapat membentuk kabinet. Pemerintahan semacam ini dinamakan monority government.49

Selain itu, ciri khas yang terdapat pada sistem distrik, adalah pelaksanaan sistem disrik kerap kali memunculkan “distorsi” atau kesenjangan jumlah suara yang diperoleh suatu partai secara nasional dan jumlah kursi yang diperoleh partai tersebut. Akibat dari distorsi (distortion effect) menguntungkan partai besar melalui over-representation, dan merugikan partai kecil karena under representation. Hal ini disebabkan karena banyak suara dari partai kecil bisa dinyatakan hilang atau wasted, yaitu lantaran tidak berhasil menjadi juara pertama di suatu distrik. Keadaan seperti ini sangat berpengaruh dalam masyarakat yang pluralis, dengan banyaknya kelompok minoritas, baik agama maupun etnis.

48

Anwar Arifin, Komunikasi politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), cet. 2, hal. 222

49

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar ilmu politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2008), cet. 3. , hal. 465


(54)

2. Sistem Proporsional

Dalam sistem proporsional, satu wilayah besar (yaitu daerah pemilihan) memilih beberapa wakil (multi-member constituency). Perbedaan dengan sistem distrik terletak pada cara menghitung perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai politik.

Selain itu, dalam sistem proporsional, satu wilayah dianggap sebagai satu kesatuan, dan dalam wilayah itu jumlah kursi dibagi sesuai jumlah suara yang diperoleh oleh para kontestan, secara nasiona, tanpa menghiraukan distribusi suara. Secara umum dapat disebutkan bahwa pemilihan umum sistem proporsional menunjuk kepada pertarungan antara partai politik dalam sebuah daerah pemilihan yang luas unttuk mencari beberapa wakil.

Dalam hal ini, partai politik mencalonkan banyak kandidat dalam sebuha daftar dengan nomor urut dan rakyat tidak perlu memilih nama orangnya, tetapi cukup dengan memilih tanda gambar partai politik yang terdaftar sebagai kontestan. Dari situlah suara yang diperoleh oleh setiap kontestan dalam hal ini partai politik dihitung, kemudian setiap kontestan akan memperoleh jumlah kursi secara proporsional dengan hasil suara yang diperoleh. Biasanya kandidat yang terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut dari atas ke bawah. Oleh karenanya, suara yang masuk tidak ada yang terbuang atau hilang.

Pertarungan dalam sistem distrik dan sistem proporsional memiliki strategi yang berbeda. Jika sistem distrik yang harus di jual adalah kandidat perorangan yang masuk dalam partai di masing-masing daerah, namun beda halnya dengan


(55)

sistem proporsional, yang harus ditonjolkan adalah ideologi, visi, misi, dan program partai serta ketokohan para kandidat, karena yang dipilih oleh rakyat adalah tanda gambar partai. Oleh karena itu, partai politik harus menampilkan ideologi partai serta visi, misi dan program serta tokoh-tokoh (kandidat) yang menarik, disukai, dan didukung oleh rakyat.

Namun demikian sistem proporsional memiliki juga kelebihan antara lain karena dianggap representatif dari jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai dengan jumlah suara rakyat yang diperoleh dalam pemilihan umum. Sistem ini juga dipandang lebih egaliter, karena relatif tidak ada suara hilang.

Di balik kelebihannya yang egaliter, sistem proporsional pun memiliki kekurangan yaitu memperrmudah fragmentasi partai. Jika timbul konflik dalam suatu partai, anggotanya cendrung memisahkan diri dan mendirikan partai baru, dengan perhitungan bahwa ada peluang bagi partai baru itu untuk memperoleh beberapa kursi dalam parlemen melalui pemilihan umum. Jadi, kurangnya kekompakan dalam tubuh partai, dapat menimbulkan perpecahan dan mendirikan partai baru.


(56)

Tabel. 2.2

Berikut ini adalah bagan contoh perhitungan perbedaan antara sistem distrik dan sistem proporsional

Contoh hipotesis :

1. Wilayah yang sama : (1 Provinsi, terdiri dari 10 distrik) 2. jumlah kursi : 10 kursi

3. jumlah penduduk : 100.000 kursi

4. hasil pemilihan umum : A. Dapat 60% Suara

B. Dapat 30% Suara

C. Dapat 10% Suara

1. Sistem Distrik

Wilayah yang terdiri dari 10 distrik, memperebutkan 10 kursi kesatuan. Setiap distrik memperebutkan 1 kursi

A. Menang 5 Distrik ke atas, dapat 10 Kursi.

B. Tidak dapat kursi C. Suara hilang (wasted)

2. Sistem Proporsional

Wilayah yang dianggap sebagai kesatuan, merebutkan 10 kursi

A. Menang 60% suara, dapat 6 Kursi

B. Menang 30% suara, dapat 3 Kursi

C. Menang 10% Suara, dapat 1 Kursi

Tidak ada suara hilang Sumber: Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia (Gramedia 1994), hal 246

1 K 1 K

1 K

1 K

1 K 1 K

1 K 1 K 1 K

1 K


(1)

Tanya : Bagaimana cara PKS untuk mendapatkan “tiga besar” yang sering digaungkan oleh para kadernya pada pemilu 2014 ?

Jawab : kalau berdasarkan hasil keputusan rapat pimpinan di tingkat DPP itu bersamaan dengan masa pencalegan, kalau jumlah caleg itu lebih besar, mungkin bisa mencapai 5.000 totalnya. Nah itu, kita memberikan tambahan ke PR-an kepada para Caleg, untuk turun ke Masyarakat, pertama untuk menjelaskan kerja-kerja partai, terus menjelaskan target-target partai jika menang pemilu, untuk mengklarifikasi poisis pks dalam kasus yang ditimpahkan kepada presiden pks saat itu, itu tiga tugas utama para caleg, karena kan, para caleg ini sudah mulai berkerja mensosialisakan diri dari partai, kemudian jelajah paling tinggi dari struktur partai, selain itu ditambah lagi dengan ke PR-an para Caleg. Pelatihan khusus, ada pelatihan khsusus ke PR-an dalam bentuk election update, selalu diselipkan materi-materi mereka bagaimana berkomunikasi dengan masyarakat tetapi yang lebih intens lagi di tingkat kabupaten atau provinsi, jadi mereka mengadakan pelatihan sendiri untuk para caleg, selain memberikan muatan untuk konten, deliverynya sebelum kampanye.

Tanya : Menyikapi program kerja dikabinet Indonesia Bersatu jilid 2, seringkali PKS bersebrangan dengan Kebijakan pemerintah, tapi di sisi lain kader PKS Tifatul sembiring justru mendukung Pemerintah untuk menaikkan harga BBM, apakah ini bagian dari “pencitraan” sebagai contoh, PKS menolak kenaikan harga BBM, dimana hal itu berdekatan setelah LHI ditangkap?


(2)

Jawab : kalau sebenarnya kan kita sudah biasa, kalau ada kader Pks menjabat sebagai bagian dari eksekutif, ketika menjabat dia harus melepaskan jabatannya di partai, seperti Nur Mahmudi saat diangkat sebagai mentri pada saat presiden gus dur, beliau mengundurkan diri dari presiden partai, kemudian pa Hidayat, ketika menjabat ketua MPR beliau juga melepaskan jabatannya dari presiden PKS, kemudian pa Tifatul saat menjabat sebagai Menkominfo, beliau juga melepaskan jabatannya dari presiden PKS. Dan tradisi itu terus menerus, smpai pak anis matta saat menjadi presiden menjadi sebaliknya, jadi tidak akan memanfaatkan jabatan publik. Jadi ketika seseorang sudah tidak menjadi pejabat tinggi di partai, memang dia sudah profesional di tempatnya, jadi dia tidak mengurus lagi partai. Jadi sikap pa tifatul pada saat itulah, adalah sikap seorang menteri dlam aturan kabinet saat itu menjadi pembantu presiden sperti di UUD yang menyebutkan presiden dibantu oleh menteri-mentrinya. Nah itu beliau sebagai pembantu presiden dan itulah sikap profesional,kader pks di eksekutif, jadi tidak masalah jika berbeda pendapat. Ketika ada di dewan berarti mewakili aspirasi rakyat, kita memiliki hitung-hitungan, jika BBM naik, rakyat akan makin sengsara, dan setelah kami hitung, ternyata tanpa naikpun itu bisa. Makanya kita memilih untuk tidak menaikkan BBM.urusan pemerintah ya pemerintah, urusan rakyat ya rakyat

Tanya : Apakah Isu Pemira yang dilakukan PKS merupakan langkah awal untuk meningkatkan “pencitraan”?


(3)

Jawab : kalau dari kajian kita bahwa memang pks harus mengajukan calon untuk kontestasi pilpres, tetapi kita kan sudah terbiasa bahwa kader itu dilibatkan dalam menilai tokoh-tokoh partai yang layak untuk itu, itu sebabnya pemira sangat penting buat PKS misalnya memilih majlis syuro melalui pemira, memilih majelis syuro tingkat wilayah itu juga pemira, memlih calon anggota legislatif itu lewat pemira, ya makanya bukan sesuatu yang aneh jika memilih calon presiden dnegna pemira.

Tanya : Dengan perolehan Suara di kisaran 7% yang menurun dibandingkan pemilu 2009 lalu, apa yang akan dilakukan oleh Bapak untuk menaikkan elektabilitas partai ?

Jawab : kayaknya sih, yang patut dilihat juga ini merupakan era baru di dalam politik indonesia, dimana partai itu semakin ramping, tahun 2009 kan 34 partai, 2004 pada kisaran 24 partai, nah ini udah lebih ramping 12 partai, maka kita akan memperkirakan suara kita akn lbh flat, dengan partai-partai yang ada, terlepas partai pks itu dikerjain, terkhir dikerjainnya itu sangat sistematis sekali melalui media, tetapi kita ada faktor lain juga dari hasil pemilu kali ini sangat mengganggu kerja-kerja kader pks selama lima tahun, melalui pendidikan politik, melakukan advokasi, untuk masyarakat dan juga melakukan pembelaan untuk masyarakat untuk mencapai hasil yang panjang dan akhirnya dihancurkan dengan secara moral dengan money politik, dan itu kelemahannya terlihat dari pelaksana pemilu, maupun panwaslu atau panitia pemilu, karena ketidak kompetena petugas-petugas lapangan, di bukannya celah-celah manipulasi suara, hal hal yang


(4)

sangat –sangat signifikan selama pemilu 2014 ini, buat kita sih besaran ini agak semu yak, karena penggelembungan suara itu membuat sepeti yang tidak sebenarnya.

Tanya : Apakah perolehan suara saat ini membuat bapak dan partai kecewa dengan hasil ini ?

Jawab : . kita belum menemui kasus-kasus kekecewaan kader, yang ada memang kesadaran bahwa perjuangan politik itu tidak mudah dan tidak dapat diperoleh dengan waktu yang singkat di indonesia. saya kira trendnya naik yak, dari beberapa lembaga survei yang ada, PKS itu menempatkan perolehan suara pks pada kisaran 2% 3% itu, dan pada kenyataannya kita pada kisaran 7, 2% itu sebenarnya keruntuhan dunia para peneliti yang tidak mau diakui. Menurut kita sih itu sebuah pencapaian di tengah deraan dan serangan terhadap pks, dan pks bisa survive di kisaran 7% dan yang lain pun berbeda dikit dan belum tentu di atas pks, yang suaranya lebih besar, belum tentu jumlah kursinya lebih besar, karena kita belum tau hitungan perolehan kursi di KPU.

Tanya : Bagaimana sikap PKS terkait dengan menerima kader PKS yang Non Islam, apakah ini menjadi sebuah pencitraan bahwa PKS menerima kader dari agama manapun ??

Jawab : kalau di internal tak jadi msalah, karena kita berdiri berasaskan islam dan partai politik pertama berasaskan islam. Keislaman partai kita tidak mengabaikan keindonesaan partai kita, kenyataan bahwa indonesia merupakan negara yang majemuk dan tersebar yang tidak merata, aturan


(5)

partai politik setiap partai harus memliki perwakilan di setiap provinsi 100% kemudian sekian persen di tingkat kabupatn, kecamata, itu yang harus dipenuhi, justru adanya caleg itu menunjukkan bahwa kita memahami benar keindonesiaan ini sebagai partai islam. Sangat tidak menyampingkan ideolgi, karena saat rasul berkuasa itu tetap menaungi non muslim, justru itu merupakan pemehaman islam yang sebenarnya

Tanya : Apa saja sih yang dilakukan oleh para kader PKS untuk menyolidkan kader ??

Jawab : kita kan merupakan partai kader, dengan memperhatikan kader dengan kapasitas dan selalu meng-upgrade keilmuan dan keislaman melalui agenda-agenda rutin, seperti Liqo, mabit, Rihlah, Daurah, dan yang lainnya yang dapat menunjang persatuan dan kesatuan kader PKS.

Informan


(6)

Foto Penulis dengan Informan Bapak Dedi Supriadi di Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKS yang beralamat MD Building, Jl. TB. Simatupang No. 82 Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520. Jum’at, 25 April