Hukum Pidana Subjek hukum pidana. doc

SATUAN ACARA PERKULIAHAN

UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAYA

LAW121PI

: Hukum Pidana

Jumlah SKS

: 3 SKS

Program Studi

: Ilmu Hukum

Tahun Akademik

: 2014/2015

Deskripsi:

Dalam pemberian Mata Kuliah Hukum Pidana, akan dijelaskan mengenai konsep-konsep dasar di
dalam Hukum Pidana yang diatur dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Tujuan Instruksional Umum:
Sasaran yang ingin dicapai dalam proses belajar mengajar mata kuliah Hukum Pidana ini adalah
untuk memberikan pengetahuan kepada para mahasiswa mengenai proses penetapan suatu
perbuatan dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Proses Belajar Mengajar
1. Uraian
2. Diskusi
3. Latihan soal, contoh

Media
1. Papan tulis
2. Overhead projector
3. LCD projector

Penilaian
1.
2.

3.
4.

UTS
UAS
Tugas
Kehadiran

:30%
:50%
:10%
:10%

Minggu

Tujuan Instruksional Khusus

Pokok Bahasan

Materi


Sumber
Bacaan

1

2

3

4

5

IA

Mahasiswa memahami dan
dapat menjelaskan istilah dan
pengertian dari Hukum Pidana


Pengertian Hukum Pidana
dan merupakan bagian dari
sistem hukum

- Istilah H Pidana
- Pengertian H
Pidana

- Bab I
- Bab II.

IB

Mahasiswa memahami dan
dapat menjelaskan tentang H
Pidana Formil dan Materiil

Hukum Pidana Formil dan
Materiil


- KUHP
- KUHAP

II A

Mahasiswa memahami dan
dapat menjelaskan tentang
makna dan tujuan Hukum
Pidana.

Makna dan tujuan Hukum
Pidana.

- Dasar Pembenar
Pemidanaan
- Tugas utama Ilmu
Hukum Pidana.

II B


Mahasiswa memahami dan
dapat menjelaskan tentang
dasar-daar hukuman.

Dasar-dasar hukuman.

- Teori absolut.
- Teori relatif.
- Teori gabungan.

III A

Mahasiswa memahami dan
menjelaskan tentang Asas-asas
Hukum Pidana.

Asas-asas Hukum Pidana.

- Asas Legalitas.
- Kulpabilitas.


Bab IV

III B

Mahasiswa memahami dan
dapat menjelaskan tentang
berlakunya Hukum Pidana.

Berlakunya Hukum Pidana

- Asas Nasionalitet
Aktif.
- Asas Nasionalitet
Pasif.
- Berlakunya H
Pidana menurut
waktu.
- Berlakunya H
Pidana menurut

kepentingan.

- Bab V.
- Bab VI.
.

Bab III

IV A

Mahasiswa memahami dan
dapat menjelaskan tentang
Subyek Tindak Pidana.

Subyek Tindak Pidana

- Manusia sebagai
Subyek TP
- Korporasi sebagai
Subyek TP


IV B

Mahasiswa memahami dan
dapat menjelaskan tentang
Penafsiran Undang-Undang
Hukum Pidana.

Penafsiran UU Hukum
Pidana.

- Macam Penafsiran
UU.
- Penafsiran yang
dapat diterapkan
pada H Pidana.

Bab III.

VA


Mahasiswa memahami dan
dapat menjelaskan tentang
Tindak Pidana (Strafbaarfeit) dan
Unsur-unsur TP.

Pengertian tentang Tindak
Pidana, jabaran unsur-unsur
tindak pidana.

- Pengertian TP.
- Unsur-Unsur TP.

Bab VII 1-3.

VB

Mahasiswa memahami dan
dapat menjelaskan tentang
Jenis-jenis tindak pidana dan

sebab-akibat terjadinya tindak
pidana.

Pengertian jenis-jenis dan
sebab-akibat terjadinya
tindak pidana.

- Jenis-jenis TP.
- Sebab-akibat.

Bab VII 4-7.

VI A

Mahasiswa memahami dan
dapat menjelaskan tentang
pertanggungjawaban dalam
tindak pidana

Pertanggungjawaban.

- Kesalahan.
- Dulus.
- Culpa.

Bab VIII

VI B

Rangkuman perkuliahan.

Rangkuman.

UTS

VII A

Mahasiswa memahami dan
dapat menjelaskan tentang
alasan-alasan yang
mengecualikan dijatuhkannya
hukuman, yang mengurangi/
menambah beratnya hukuman.

Alasan-alasan yang
mengecualikan dijatuhkan,
mengurangi/menambah
beratnya hukuman.

- Mengecualikan
hukuman.
- Overmacht.
- Noodtoestand.

- Bab X.
- Bab XI.

VII B

Mahasiswa memahami dan
dapat menjelaskan tentang
Pembelaan yang perlu dilakukan
terhadap serangan yang seketika
dan bersifat melawan hukum.

Pembelaan yang perlu
dilakukan dan terhadap
serangan yang seketika.

- Noodweer.
- Serangan
seketika.
- Pembelaan yang
perlu.

- Bab XII

VIII A

Mahasiswa memahami dan
dapat menjelaskan tentang
Percobaan, Penyertaan tindak
pidana.

Percobaan, Penyertaan dan
Pembantuan tindak pidana.

- Percobaan TP.
- Penyertaan TP.
- Pembantuan TP.

- Bab XIV.
- Bab XV.

VIII B

Mahasiswa memahami dan
dapat menjelaskan tentang
Gabungan dan Pengulangan
tindak pidana.

Gabungan dan Pengulangan
tindak pidana.

- Gabungan TP.
- Pengulangan TP.

Bab XVI.

IX A

Mahasiswa memahami dan
dapat tentang Gugurnya hak
menuntut dan hukuman.

Gugurnya hak menuntut dan
hukuman.

- Perkara yang telah
diputus.
- Matinya terdakwa.

Bab 3 buku II.

- Verjaring.
- Penyelesaian di
luar pengadilan.

Bab 3 buku II.

IX B
Lanjutan

Lanjutan

XA

Mahasiswa memahami dan
dapat menjelaskan tentang Delik
Aduan.

Delik Aduan.

- Aduan yang
absolut.
- Aduan yang relatif.

XB

Mahasiswa memahami dan
dapat menjelaskan tentang
Dituntut dengan syarat dan tindak
pidana khusus.

Dituntut dengan syarat dan
tindak pidana khusus.

- Dituntut dengan
syarat.
- Tindak pidana
Khusus.

XI A

Mahasiswa memahami dan
dapat menjelaskan tentang
Kejahatan terhadap tubuh.

Kejahatan terhadap tubuh.

Dilakukan dengan:
- sengaja.
- culpa.

XI B

Mahasiswa memahami dan
dapat menjelaskan tentang
Kejahatan terhadap
Kemerdekaan Pribadi.

Kejahatan terhadap
Kemerdekaan pribadi.

Kejahatan yang
ditujukan terhadap
kemerdekaan:
- pribadi.
- seseorang untuk
bertindak.

XII

Mahasiswa memahami dan
dapat menjelaskan tentang
Kejahatan terhadap
Kemerdekaan untuk bertindak
dan terhadap Kehormatan.

Kejahatan terhadap
Kemerdekaan untuk
bertindak dan terhadap
Kehormatan.

Kejahatan terhadap:
- Kemerdekaan
untuk bertindak.
- Kehormatan.

XIII

Rangkuman perkuliahan.

Rangkuman perkuliahan

UAS

Bab 4.

Daftar Pustaka :
1.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
2.Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Drs. P. A. F. Lamintang, S.H.
3.Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I dan II, Mr. Drs. Utrecht.
4.Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian II, Prof. Satochid Kartanegara, S.H.

B e k a s i,

2015

Dosen yang bersangkutan

Drs. I. P. Silalahi, SH, MHum

HUKUM PIDANA
SIFAT DAN TEMPAT HUKUM PIDANA
Hukum Pidana adalah hukum sanksi istimewa.
Sebagian besar sarjana hukum melihat hukum Pidana sebagai hukum
publik yaitu mengatur hubungan antara negara dan perseorangan
atau mengatur kepentingan umum.
Hukum Pidana ialah bagian dari pada keseluruhan hukum yang
berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar atau aturanaturan untuk :
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi
yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar
larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang
telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau
dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu
dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah
melanggar larangan tersebut.

Van Apeldoorn : melihat dalam peristiwa pidana ( strafbaar feit )
suatu pelanggaran tata tertib hukum umum dan tidak melihat dalam
peristiwa pidana itu suatu pelanggaran kepentingan-kepentingan
khusus dari para individu.
Oleh sebab itu penuntutan peristiwa pidana tersebut tidak dapat
diserahkan kepada individu yang dirugikan oleh peristiwa itu, tetapi
penuntutan tersebut harus dijalankan oleh pemerintah.
Van Hamel : menjalankan hukum pidana itu sepenuh-penuhnya
terletak dalam tangan pemerintah.
Simons : Hukum pidana mengatur hubungan antara para individu
dengan masyarakat sebagai masyarakat.
Hukum pidana dijalankan untuk kepentingan masyarakat, dan juga
hanya dijalankan dalam hal kepentingan masyarakat itu benar-benar
memerlukannya.
Penuntutan suatu peristiwa pidana terletak dalam tangan suatu alat
negara yaitu dalam tangan Kejaksaan.

Pompe : Berlainan halnya dengan ganti kerugian dalam

hukum privat, bagi hukum pidana kepentingan khusus para
individu bukanlah suatu persoalan primer.
Yang dititikberatkan oleh hukum pidana pada waktu
sekarang adalah kepentingan umum. Perhubungan
hukum yang ditimbulkan koordinasi antara yang bersalah
dengan yang dirugikan (seperti dalam hukum privat), tetapi
perhubungan hukum itu bersifat suatu subordinasi dari
yang bersalah pada pemerintah, yang bertugas
memperhatikan kepentingan umum.

Van Kan : Hukum pidana pada pokoknya tidak membuat

kaidah baru. Hukum pidana tidak mengadakan kewajiban
hukum yang baru. Hukum pidana pada hakekatnya hukum
sanksi.

Hukum pidana biasa (umum) (commune strafrecht) seperti yang
tercantum dalam antara lain KUHPidana dan yang berlaku bagi semua
orang yang ada di wilayah Indonesia (terkecuali mereka yang
mempunyai hak diplomat asing).
Hukum pidana khusus (bijzondere strafrecht):
dibuat untuk beberapa subyek khusus atau untuk beberapa
peristiwa pidana tertentu.
memuat ketentuan-ketentuan dan azas-azas yang menyimpang
dari ketentuan-ketentuan dan azas-azas yang tercantum dalam
peraturan-peraturan hukum pidana umum.
1.

Hukum Pidana Fiskal :
Ketentuan-ketentuan pidana yang tercantum dalam UU
mengenai urusan pajak negara termasuk peraturan-peraturan
mengatur keuangan negara.

yang

2.

Hukum Pidana Militer
a. Berlakunya hukum pidana militer disinggung dalam pasal 102 UUDS.
Ketentuan ini membedakan antara hukum pidana sipil dan hukum
pidana militer.
b. Ketentuan-ketentuan dan azas-azas yang menyimpang dari
ketentuan dalam hukum pidana umum.
c. Wetboek van Militer Strafrecht voor Indonesie, LNHB 1934 Nr 167 dan
LNHB 1934 r 168 yang mengatur hukum disiplin tentara.
d. UU No. 3/PNPS/1965 tentang Memperlakukan Hukum Tentara, Hukum
Acara Pidana Tentara.

3.

Hukum Pidana Ekonomi.
Berhubungan dengan perkembangan negara dan dunia ke arah yang lebih
sosialistis, maka turut serta pemerintah dalam lapangan perekonomian
makin lama makin bertambah.
Penyelengaraan peraturan per-UU-an berkaitan dengan ekonomi
dapat menggangu penghidupan ekonomi rakyat (UU o. 7/Drt/1955).
Azas-azas dalam delik ekonomi berbeda dengan azas-azas pidana
umum.
Hukum pidana ekonomi terdapat perbedaan dengan pidana umum.

4. Hukum Pidana Politik.
Kejahatan-kejahatan yang sangat dapat membahayakan
penghidupan rakyat seluruhnya.
- Menghianati rahasia negara kepada luar negeri, merencanakan,
mempersiapkan dan mengusahakan pemberontakan terhadap
pemerintah yang sah, merencanakan, mempersiapkan dan
menjalankan sabotage dll.
- Delik-delik politik disinggung oleh hukum titel I - V Buku II (pasal
104 – 181).
- Diperlukan ukuran-ukuran yang lebih berat dari pada ukuran
biasa dalam mempertimbangkan dijatuhkan hukuman ) lebih
berat), seperti :
- Penpres No. 11/1963 jo UU No. 1/PNPS/1963 tetang
Pemberantasan Kegiatan Subversi.
- Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu
No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan tindak
pidana Terorisme pada peristiwa peledakan bom Bali.

Hukum Pidana Komunal (daerah)
- Dibuat oleh Pemerintah Daerah TK I dan TK II adalah
akibat logis dari kekuasaan membuat peraturan umum
untuk mengurus sendiri rumah tangganya.
- Hukum pidana yang dibuat hanya dipakai sanksi atas
pelanggaran peraturan-peraturan yang dibuat oleh
Pemda sendiri.
- Termasuk hukum pidana sipil, namun hanya dihadapkan
dengan masalah-masalah tersendiri yang ditimbulkan
dalam masyarakat daerah.
- Bukan hukum pidana khusus walaupun dihadapkan
dengan masalah-masalah sendiri dan tidak mengandung
azas-azas pidana yang menyimpang dari azas-azas
pidana umum.
- Terikat oleh ketentuan dalam pasal 103 KUHP.
- Hukuman atas pelanggaran peraturan pemda hanya
bersifat pelanggaran saja.

Hukum Pidana dapat dibagi :
1. Hukum Pidana Obyektif (Ius Punale) ialah semua peraturan yang
mengandung keharusan dan larangan,terhadap pelanggaran mana
diancam dengan hukuman yang bersifat memaksa.
a. Hukum Pidana Materiil ialah peraturan-peraturan yang
menegaskan :
1). Perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum.
2). Siapa yang dapat dihukum.
3). Dengan hukum apa menghukum seseorang.
b. Hukum Pidana Formil (Hukum Acara Pidana).
2. Hukum Pidana Subyektif (Ius Puniendi) ialah hak negara atau
alat-alat untuk menghukum berdasarkan hukum pidana obyektif
yang berarti bahwa tiap orang dilarang untuk mengambil tindakan
sendiri dalam menyelesaikan tindak pidana (perbuatan hukum
delik).
3. Hukum Pidana Umum ialah hukum pidana yang berlaku terhadap
setiap orang kecuali anggota ketentaraan,
4. Hukum Pidana Khusus ialah hukum pidana yang berlaku khusus
untuk orang-orang tertentu.

Menurut Beysens pemerintah diberi Ius Puniendi, ialah :
1. Pada azasnya negaralah yang berhak dan berkewajiban menjatuhkan
hukuman. Sesuai dengan sifat negara dan sesuai dengan kodrat alam
manusia, diberi hak untuk membalas pelaggaran tersebut dengan
menjatuhkan suatu kerugian untuk pelanggar.
2.

Hukuman yang dijatuhkan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan
dengan sukarela dengan sendirinya bersifat pembalasan.

3.

Pada umumnya negara hanya dapat atau harus menghukum perbuatanperbuatan yang :
a. ditinjau dari sudut obyektif (dan menurut hukum publik) adalah
perbuatan yang bertentangan dengan tata tertib negara.
b. ditinjau dari sudut subyektif adalah perbuatan yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada yang melakukan perbuatan itu.

4.

Beberapa azas-azas yang harus menjadi dasar prinsipil perbuatan itu :
a. Negara itu suatu masyarakat.
b. Negara adalah sesuatu yag mempunyai penjelmaan sendiri dengan
sifat sendiri.

Susunan KUHPidana
KUHP terdiri dari atas 569 pasal yang dibagi dalam tiga buku, yaitu :
Buku I : Ketentuan-ketentuan umum (Pasal 1 – 103).
Buku II : Kejahatan (Pasal 104 – 488).
Buku III : Pelanggaran (Pasal 488 -569)
Dalam buku I dimasukkan :
1.
Azas-azas (hukum) pidana yang pada umumnya bagi seluruh
lapangan hukum pidana positif, baik dalam KUHP maupun yang
termuat dalam per-UU-an lainnya.
2.

Pengertian-pengertian, seperti :
- percobaan (poging) pasal 53-54 KUHP.
- turut serta (deelneming) pasal 55-62 KUHP.
- gabungan (samenloop) pasal 63 – 71 KUHP.

3.

Mengatur tentang hukuman pidana.

KEJAHATAN DAN PELANGGARAN
Memorie van Toelichting : pembagian delik dalam “kejahatan” dan
“pelanggaran” itu sebagai suatu pembagian azasi (prinsipil).
Van Andel, Creutzberg :
Kejahatan (crimineel onrecht) adalah perbuatan yang karena
sifatnya bertentangan dengan ketertiban hukum (delik hukum = jika
perbuatan itu bertentangan dengan azas-azas hukum positif yang ada
dalam kesadaran hukum dari rakyat, terlepas pada hal apakah azasazas tersebut dicantumkan atau tidak dalam UU).
Pelanggaran (politie onrecht) adalah perbuatan-perbuatan yang
seharusnya dikenai hukuman tetapi UU pidana tidak menyebutnya
sebagai delik (delik UU = perbuatan yang bertentangan dengan apa
yang secara tegas dicantumkan dalam UU Pidana, terlepas dari pada
hal apakah perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan
dengan kesadaran hukum dari rakyat.

Pelanggaran adalah perbuatan yang hanya formill tidak
halal. Perbuatan tidak halal karena UU mencapnya
sebagai perbuatan yang tidak halal (Von Liszt).
Kejahatan itu sebagai perbuatan yang melanggar
“kulturnormen”, sedangkan peraturan-peraturan
“verwaltungsstrafrecht” (hukum pidana administratif) dapat
dianggap sebagai “kulturell indefferent” (Binding).
Kejahatan itu sebagai perbuatan yang bertentangan
dengan keadilan ke-Tuhanan dan hukum Tuhan.
Pelanggaran boleh dilihat sebagai perbuatan yang
bertentangan dengan ketertiban umum (publik) yang
dibuat manusia (Gewin).

HUKUM PENINTENSIER (Pasal10-43 KUHP)
Hukum Penitensier adalah peraturan-peraturan positif mengenai
sistem hukuman (strafstelsel) dan sistem tindakan (maatregelstelsel).
Hukum Penitensier merupakan bagian dari hukum pidana positif,
yaitu yang menentukan:
Jenis sanksi atas pelanggaran,
Beratnya sanksi itu,
Lamanya sanksi itu dirasai oleh pelanggar, dan
Cara serta tempat sanksi itu dilaksanakan.
Sanksi itu hukuman maupun tindakan merupakan satu sistem, dan
sistem inilah yag dipelajari oleh ilmu (hukum) penitensier.
Sanksi berasal dari bahasa latin ‘sanction” yang berkaitan dengan
kata kerja “sancire” yang artinya hal-hal yang keramat atau suci, atau
yang mengakibatkan sesuatu dilindungi oleh dewa-dewa, sehingga
tidak boleh dicermarkan (sancrosanct).

Sanksi berarti :
Memperkuat atau menyetujui suatu keadaan atau keputusan yang
diambil,
Suatu sarana paksaan untuk melaksanakan suatu ketentuan
tertentu.
Dalam hukum penitensier, sanksi diartikan sebagai suatu sarana
untuk memperkuat suatu aturan, norma, ketentuan, kebiasaan ataupun
perikatan, sehingga tidak boleh dilanggar.
Dengan adanya sanksi tersebut, maka suatu norma akan berlaku
sedemikian rupa, sehingga mereka yang diatur oleh norma tersebut
akan terdorong untuk berperilaku sesuai kaidah yang berlaku baginya
itu.
Dengan perkataan lain bahwa sanksi akan lebih memperkuat suatu
norma.

Dahrendorf mengatakan bahwa secara
sosiologis sanksi ada dua cara untuk
melaksanakan suatu norma yang lazim
dibedakan antara :
- Sanksi positif yaitu apabila orang
berperilaku dapat dikaitkan hal-hal yang
menguntungkan sesuai dengan kaidah tersebut,
- Sanksi negatif yaitu apabila orang
berperilaku tertentu yang melanggar kaidah,
dapat dikaitkan hal-hal yang merugikan
pelaku.

Visualisasi secara sistemetis (garis besar) mengenai sanksi di dalam arti umum, sbb:
1.
Sanksi-sanksi yang tidak mempunyai sifat yuridis,
contoh: sanksi sosial, pedagogis, keagamaan.
2.
Sanksi-sanksi yuridis :
a. Yang tidak bersifat hukum pidana, yang bersifat :
1).
Hukum perdata secara umum,
2).
Hukum kekeluargaan,
3).
Hukum administratif,
4).
Hukum ketatanegaraan,
5).
Hukum acara,
6).
Hukum internasional.
b. Yang bersifat hukum pidana :
1).
Di luar hukum.
a).
Dilaksanakan oleh Polisi,
b).
Dilakukan Penuntut umum.
2).
Bersifat hukum :
a).
Hukuman-hukuman,
b).
Aturan-aturan.

Pemidanaan merupakan suatu sanksi yang bersifat subsider yaitu baru akan
diterapkan, apabila sanksi-sanksi lainnya tidak dapat menanggulangi
keadaan.
Suatu penderitaan mempunyai ciri pemidanaan kalau berhubungan dengan
suatu perbuatan atau kelalaian yang salah. Pemidanaan tak akan mungkin
tanpa kesalahan (tidak ada hukuman tanpa kesalahan).
Pemidanaan merupakan suatu penderitaan yang dijatuhkan terhadap
seseorang sebagai pengesahan terhadap kesalahannya.
Pemidanaan bertujuan untuk :
1. Mencegah agar orang tidak melakukan tindak pidana dengan
menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat,
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadikan orang yang baik dan berguna.
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat,
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Tiga (3) pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai
dengan suatu pemidanaan :
1. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu
sendiri.
2. Untuk membuat orang menjadi jerah untuk
melakukan kejahatan.
3. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi
tidak mampu untuk melakukan kejahatan yang lain.
Simons berpendapat bahwa hingga akhir abad ke-18,
praktek pemidanaan itu berada di bawah pengaruh dari :
Paham pembalasan.
Paham membuat jera.
Hal ini dikuatkan oleh Hamel, bahwa hingga akhir abad ke19, pemidanaan masih dipengaruhi kedua pikiran tersebut.

Dalam konsep klasik ada 3 teori pemidanaan, yaitu :
1. Teori Pembalasan yaitu pemidanaan bertujuan untuk
memberikan pembalasan kepada pelaku tindak pidana.
Masyarakat tidak rela dengan dilanggarnya norma
dalam masyarakat. Oleh sebab itu masyarakat
menghendaki pelaku tindak pidana diberikan sanksi.
2.

Teori Tujuan yaitu mengutamakan tujuan untuk
melakukan pembinaan narapidana, akan tetapi dapat
juga bertujuan untuk mengasingkan terpidana dari
masyarakat.

3.

Teori Gabungan yaitu merupakan pembalasan
terhadap dilanggarnya suatu norma, akan tetapi di
samping itu juga bertujuan untuk melakukan
pembinaan bagi terpidana agar dapat menjadi berguna
di masyarakat.

Teori dari Kant : dasar pembenaran dari suatu
pidana itu terdapat di dalam Kategorische
Imperativ, yaitu yang menghendaki agar setiap
perbuatan melawan hukum itu harus dibalas.
Mengenai berat ringannya suatu pidana dapat
dijatuhkan berdasarkan asas keseimbangan.
Hegel menghendaki adanya dialektische
vergelding (pembalasan yang bersifat dialektis)
yaitu yang mengsyaratkan adanya suatu
keseimbangan antara kejahatan yang telah
dilakukan oleh seseorang dengan pidana yang
harus dijatuhkan bagi orang tersebut.

Agar pemidanaan ditinjau secara tepat maka tinjauan dibedakan
dalam 3 taraf sudut tinjauan, yaitu:
1. Tujuan pemidaaan pada taraf Legeslatif.
- pembentuk UU lazimnya menetapkan adanya fakta tertentu
yang bersifat pidana, yang bertujuan pada :
- Organ-organ tertentu yang diberi wewenang untuk
menerapkan ketentuan pidana.
- Pencari keadilan yang berwujud suatu peringatan kalau
berperilaku tertentu akan dikenakan sanksi pidana.
-

Asas “tidak ada hukuman apabila tidak ada kesalahan” juga
berlaku bagi pembentuk UU. Artinya hanya perilaku tercela
saja yang dapat dikualifikasikan sebagai perilaku pidana.

-

Asas “tidak ada hukuman yang lebih berat dari kesalahan”
juga berlaku pada taraf ini.

-

Sanksi pidana tertuju pada penguatan norma.

2.

Tujuan Pemidanaan pada taraf Yudikatif.
Untuk merealisasikan ancaman hukuman yang ada (“penegakkan
norma”)
Berhubungan dengan taraf kecemasan yang diakibatkan oleh
terjadinya delik.
Penegakkan hukum melakukan pemidanaan dengan tujuan agar
pelaku tidak akan berbuat lagi
Pemidanaan yang berwujud perampasan kemerdekaan pelaku, tidak
dapat didasarkan pada tujuan mengadakan resosialisasi.
Pada taraf Yudikatif, maka yang tercakup dalam prevensi umum,
adalah:
Penegakan norma-norma.
Penanganan keadaan resah.
Ada 4 variabel yang mempunyai dampak dalam prevensi umum, yaitu :
Variabel individu, yaitu faktor-faktor kejiwaan, biologi,
sosiografie, psikologi.
variabel delik,
Variabel sanksi,
Variabel kebudayaan.

Dalam bidang prevensi khusus terdapat 3 hal, yaitu :
- menakut-nakuti pribadi,
- pengamanan,
- penyesuaian kembali.
3.

Tujuan pemidanaan pada taraf eksekutif.
- Mempunyai hak dan kewajiban untuk menerapkan
“malum passionis” sebagaimana telah diputuskan
oleh hakim terhadap terhukum.
-

Cara-cara pelaksanaan hukuman dapat dipilihnya
sepanjang tidak menyimpang dari tujuan yang telah
ditetapkan dalam per-UU-an. Biasanya adalah
mengembalikan terpidana ke masyarakat setelah
masa hukumannya selesai.

Lembaga Pembinaan, antara lain:
1. Lembaga pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana
denda, dan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu,
penyitaan benda-benda tertentu dan pengumuman dari putusan
hakim (Pasal 10 huruf a dan b KUHP).
2. Lembaga pidana tutupan,
3. Lembaga pidana bersyarat (Pasal 14 a ayat (1) s/d (5) KUHP).
4. Lembaga pemberatan pidana kurungan karena adanya suatu
samenloop van strafbaarfeiten, residive dll.
5. Lembaga tempat orang menjalankan pidana.
Lembaga penindakan, antara lain :
1. Lembaga penempatan di bawah pengawasan pemerintah (Pasal
45 KUHP).
2. Lembaga penutupan secara terpisah.

3.

Lembaga penutupan dengan seorang diri di dalam
sebuah kerangkeng dengan jeruju besi.
4. Lembaga pendidikan paksa.
5. Lembaga penempatan di dalam lembaga kerja
negara.
Lembaga kebijaksanaan, yaitu :
1. Lembaga pengembalian terdakwa kepada orang
tuanya atau kepada walinya (Pasal 45 KUHP).
2, Lembaga pembebasan bersyarat (Pasal 15 KUHP).
3. Lembaga izin bagi terpidana untuk hidup secara
bebas di luar Lembaga Pemasyarakatan (Pasal 20
ayat (1) KUHP).
4. Lembaga mengusahakan perbaikan nasib sendiri
bagi orang-orang yang dijatuhi pidana kurungan (Pasal
23 KUHP).

Yang harus diperhatikan seseorang hakim dalam proses
penjatuhan pidana, yaitu :
1. Kesalahan di terdakwa,
2. Motivasi serta tujuan dilakukannya tindak pidana
tersebut,
3. Cara siterdakwa melakukan tindak pidana tersebut,
4. Sikap batin terdakwa,
5. Riwayat hidup & keadaan sosial ekonomi dari
pelaku,
6. Sikap tindak pembuat sesudah melakukan tindak
pidana,
7. Pengaruh pidana tersebut terhadap masa depan
pembuat,
8. Pandangan masyaratkat terhadap tindak pidana
tersebut.

Ada 2 keputusan hakim tetang peristiwa pidana yang merampas
kemerdekaan pembuat dan karena itu biasanya dirasakan sebagai
hukuman, yaitu :
1. Menempatkan seseorang yang tidak dapat dipersalahkan
karena sesuatu peristiwa pidana karena kurang sempurna atau sakit
berubah akalnya dalam rumah sakit gila (Pasal 44 ayat 2).
2. Menempatkan si tersalah di bawah umur 16 tahun dalam rumah
pendidikan paksaan (Pasal 46 ayat 2)

Fungsi Sanksi Pidana
1. Fungsi Preventif
Mencegah agar warga masyarakat mematuhi norma hukum yang
sudah ditentukan dalam ketentuan per-UU-an.
2.

Fungsi Represif
Sanksi berfungsi sebagai akibat hukum dilanggarnya suatu
norma.

Ke-7 jenis hukuman ini dapat mengenai 4 kepentingan
orang yang juga dilindungi oleh hukum pidana, yaitu :
1. Jiwa orang, yang dikenakan oleh hukuman mati.
2. Kemerdekaan orang, yang dikenakan oleh:
- hukuman penjara.
- hukuman kurungan.
3. Milik orang, yang dikenakan oleh:
- hukuman denda.
- hukuman perampasan barang.
4. Kehormatan orang yang dikenakan oleh:
- hukuman pencabutan hak.
- hukuman pegumuman keputusan hakim.

Jenis-jenis Pidana dalam Pasal 10 KUHP, yaitu:
Hukuman Pokok, yang terdiri dari :
1. Pidana Mati,
2. Pidana Penjara,
3. Pidana Kurungan,
4. Pidana Denda.
Hukuman tambahan terdiri dari :
1. Pencabutan hak-hak tertentu,
2. Perampasan barang-barang tertentu,
3. Pengumunan Putusan Hakim.

Penjatuhan Pidana
1.

Atas dasar penemuan hukum.
Hakim diberikan suatu kebebasan untuk menentukan hukuman suatu pidana
antara pidana minimal sampai maximal, sesuai dengan yang tercantum dalam
pasal masing-masing sebagai ancaman pidana perbuatan tersebut tertinggi.
Dilihat semata-mata apa yang terjadi di sidang pengadilan.

2.

Atas dasar preseden.
Melihat putusan-putusan Hakim yang terdahulu terhadap perkara yang dianggap
sama.

3.

Tugas Hakim
Tugas hakim dalam suatu peradilan pidana dikatagorikan menjadi dua tahap yang
besar, yaitu:
a. Tahap pertama terdiri dari beberapa tingkat pemeriksaan:
1). Apakah perbuatan itu dilakukan oleh terdakwa,
2). Apabila benar, apakah perbuatan tersebut melanggar UU,
3). Apakah si terdakwa dapat dipertanggungjawabkan dan dapat
dipersalahkan atas perbuatan tersebut.
b. Tahap kedua yaitu Hakim menentukan hukuman yang akan dijatuhkan kepada
terdakwa tersebut.

Terdapat beberapa tahap pembinaan bagi narapidana penjara sesuai
dengan ketentuan dalam konsep pemasyarakatan, yaitu:
1. Tahap Admisi dan Orietasi (A&O).
- Tahap ini pada hakekatnya merupakan tahap perencanaan.
- Dilakukan penelitian yang seksama dan mendalam terhadap
narapidana, anak didik yang disebut “Penelitian kemasyarakatan
(LITMAS), tentang:
- identitas,
- latar belakang sosial,
- latar belakang perbuatan jahatnya,
- nilai-nilai sifat buruk yang dimiliki.
- Dilakukan oleh pejabat struktural bersama suatu tim dari Dewan
Pembina Pemasyarakatan.
2.

Tahap pemantapan.
Dalam tahap ini ditentukan siapa teman sekamarnya, wali,
pendidikannya, latihan ketrampilan dan pekerjaan, sesuai dengan
program yang dibuat dalam A&O. dalam tahap ini dimungkinkan adanya
pergeseran atau perobahan program.

3. Tahap Asimilasi dan Integrasi.
Tahap ini merupakan uji coba pembauran narapidana ke dalam
masyarakat, yang dilakukan dalam berbagai bentuk, misalnya:
cuti pembianaan,
mengikuti kegiatan keagamaan di masyarakat,
bekerja pada suatu instansi di luar lembaga.
Diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan dengan
perjanjian.
4. Tahap Pembebasan.
Narapidana dianggap sudah menyelesaikann pembinaannya,
sehingga dianggap sudah mampu bergaul dalam masyarakat.
Dalam Pasal 14 a KUHP diatur ketentuan tetang “Pidana
Bersyarat” yaitu seseorang dijatuhi pidana penjara untuk waktu
tertentu, akan tetapi terpidana tidak usah melaksanakan pidana
penjara tersebut dengan syarat tertentu yang ditetukan oleh hakim.

PIDANA MATI
Hukuman mati bagi kejahatan-kejahatan yang paling berat,yaitu:
1. Kejahatan terhadap keamanan negara (Pasal 104, 111 ayat 2, 124 ayat
3 jo 129).
2. Pembunuhan (Pasal130 ayat 3, 140 ayat 3, 340).
3. Pencurian dan pemerasan yang dilakukan dengan dipenuhi syaratsyarat yang disebut dalam pasal 365 ayat (4) dan 368 ayat (2).
4. Pembajakan laut, pembajakan di tepi laut atau pantai dan di sungai yang
dilakukan dengan dipenuhi syarat-syarat yang disebut dalam Pasal 444.
Dalam melaksanakan hukuma mati harus diperhatikan:
1. Tidak boleh dijalankan pada orag yang sesudah di hukum menjadi gila,
dan keadaan itu diakui oleh hakim yang menjatuhkan keputusan itu.
2. Para perempuan yang hamil.
3. Hukuman mati ditangguhkan sehingga orang gila itu sembuh, perempuan
itu beranak.
Dengan Penpres No 2 Tahun 1964, pelaksanaan pidana mati dengan ditembak
oleh satu regu tembak.

PIDANA PENJARA
Dasar pelaksanaan pidana penjara masih
digunakan dasar hukum lama yaitu Surat
Keputusan Menteri Kehakiman R.I No G 89230
Tahun 1946, akan tetapi konsep pidana penjara
sudah jauh berkembang menjadi
“pemasyarakatan” atau resosialisasi”
Minimum penjara adalah 1 hari dan maksimum 15
tahun. Untuk pemberatan pidana penjara adalah
20 tahun dan pidana penjara untuk seumur hidup.

PIDANA KURUNGAN
Hanya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi orang dewasa dan
merupakan satu-satuya jenis pidana pokok berupa pembatasan
kebebasan bergerak yang dapat dijatuhkan bagi orang-orang yang
telah melakukan pelanggaran sebagaimaa yang telah diatur dalam
Buku ke III KUHP.
Dalam Buku ke II dapat dijumpai sejumlah kejahatan yang telah
diancam dengan pidana kurungan, sebagai ancaman secara alternatif
dengan pidana penjara bagi yang telah melakukan culpose delicten.
Pidana kurungan biasaya dijatuhkan sebagai pidana pokok ataupun
sebagai pengganti dari pidana denda (1 hari < > 6 bulan) dan dapat
diperberat > 8 bulan. Lamanya pidana kurungan 1 hari > 1 tahun.
Untuk perbuatan samenloop dan recidive > 1tahun dan 4 bulan.
Custodia honesta ialah delik-delik yang menurut sifatnya tidak
menunjukkan adanya suatu kebobrokan mental ataupun adanya
suatu maksud yang sifatnya jahat pada pelakunnya. Contoh :
pelanggaran-pelanggaran.

KRIMINOLOGI
W.A. Bonger
Kriminologi menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya.
Bersifat teoritis murni yang mencoba memaparkan sebab-sebab
kejahatan menurut berbagai aliran dan melihat berbagai gejala sosial
seperti penyakit masyarakat yang dinilai berpengaruh terhadap
perkembangan kejahatan.
Martin L. Haskel and Lewis Yablonsky
Kriminologi mencakup analisa-analisa tentang :
1.
Sifat dan luas kejahatan.
2.
Sebab-sebab kejahatan.
3.
Perkembangan hukum pidana dan pelaksanaannya.
4.
Ciri-ciri (tipologi) pelaku kejahatan.
5.
Pola-pola kriminalitas dan perubahan sosial.

E. H. Sutherland and Kathrine S Williams
Kriminologi adalah ilmu dari berbagai ilmu
pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai
fenomena yang meliputi study mengenai:
1. Karakteristik hukum pidana.
2. Keberadaan kriminalitas.
3. Pengaruh kejahatan terhadap korbannya dan
terhadap masyarakat.
4. Metoda penanggulangan kejahatan.
5. Atribut penjahat.
6. Karakteristik dan bekerjanya sistem peradilan
pidana.

Jadi obyek studi kriminologi meliputi :
1. Perbuatan yang disebut sebagai kejahatan.
2. Pelaku kejahatan, dan
3. Reaksi masyarakat yang ditujukan baik terhadap perbuatan maupun
terhadap pelakunya.
Kriminologi menaruh perhatian terhadap:
1. Pelaku yang telah diputuskan pengadilan.
2. Dalam white collar crime termasuk yang diselesaikan non penal.
3. Pelaku yang perlu deskriminalisasi,
4. Populasi pelaku yang ditahan,
5. Perbuatan yang melanggar norma,
6. Mendapat reaksi sosial.

SEJARAH HUKUM PIDANA TERTULIS
DI INDONESIA
Zaman VOC
-

Bagi penduduk asli di Indonesia berlaku :
- Hukum Pidana Adat.
- VOC mula-mula diberlakukan Plakat-plakat yang berisi hukum

pidana.

-

Tahun 1642 dirampungkan himpunan plakat-plakat yang diberi nama
Statuten van Batavia. Yang kemudian pada tahun 1650 himpunan ini
disahkan oleh Heeren Zeventen (peraturan-peraturan yang berlaku di daerah
dikuasai VOC adalah :
- Hukum Statuta yang termuat di Statuten van Batavia,
- Hukum Belanda kuno,
- Azas-azas hukum Romawi (berlaku untuk mengatur kedudukan hukum
budak (slaven recht).

-

Campur tangan VOC hanya dalam soal-soal pidana yang berkaitan dengan
kepentingan dagangnya.

-

Di daerah Cirebon berlaku Papakem Cirebon yang mendapat pengaruh
VOC.

-

Tahun 1866 muncul kodifikasi yang sistematis.

-

Tanggal 10 Februari 1866 berlaku dua KUHP di Indonesia.
- Het Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (Stbl 1866 No
55) yang berlaku bagi gol Eropah adalah salinan Code Penal
yang berlaku di Negeri Belanda tetapi berbeda dari sumbernya
tersebut, yang berlaku di Indonesia terdiri hanya atas dua buku,
Sedangkan Code Penal terdiri atas empat buku.
- Dengan Ordonansi tanggal 6 Mei 1872, berlaku KUHP untuk
golongan Bumiputra dan Timur Asing, tetapi diberi sanksi yang
lebih berat sampai pada tahun 1918.

-

Het Wetboek van Strafrecht voor Inlands en daarmede
gelijgestelde (Stbl No 85) mulai berlaku 1 Januari 1873.

Zaman Hindia Belanda
-

Tahun 1611-1814 Indonesia pernah jatuh dari tangan Belanda ke Inggeris.

-

Dengan Regerings Reglement 1815 dengan tambahan, maka hukum dasar
pemerintah kolonial tercipta.

-

Dikeluarkannya Proklamasi 19 Agustus 1816 (Stbl 1816 No 5) yang mengatakan
bahwa untuk semetara waktu semua peraturan-peraturan bekas kolonial Inggeris
tetap dipertahankan, yaitu masih berlaku Statuta van Batavia yang baru, dan untuk
pribumi hukum pidana adat diakui asal tidak bertentangan dengan azas-azas hukum
yang diakui, perintah-perintah dan UU.

-

Berdasarkan Stbl 1828 No 16, kepada bangsa Indonesia diterapkan pidana berupa
kerja paksa di perkebunan yang dibagi atas dua golongan, yaitu yang dipidana:
kerja rantai,
kerja paksa, yang :
diberi upah, dan
tidak diberi upah.
Dalam prakteknya pidana kerja paksa dikenakan dengan tiga cara yaitu:
kerja paksa dengan rantai dan pembuangan,
kerja paksa dengan dirantai tetapi tidak dibuang,
kerja paksa tanpa rantai tetapi dibuang.

-

Pertama kali ada kodefikasi di bidang hukum pidana terjadi dengan
adanya Crimineel Wetboek voor het Koniglijk Holland 1809,
yang menurut ciri modern didalamnya, menurut VOS, yaitu:
1. Pemberian kebebasan yang besar kepada hakim di dalam
pemberian pidana,
2. Ketentuan-ketentuan khusus untuk penjahat remaja,
3. Penghapusan perampasan umum.

-

Belanda terus berusaha mengadakan perubahan-perubahan, juga
usaha menciptakan KUHP Nasional.
- Pidana sistem sel yang berlaku dengan UU tanggal 28 Juni
1851 Stbl 68 dan diperluas dengan UU tanggal 29 Juni 1854
Stbl 102 :
- pidana badan dihapus,
- jumlah pidana mati dikurangi,
- sejumlah kejahatan dijadikan kejahatan ringan,
- pidana terhadap percobaan diperingan dibanding dengan
delik selesai.
- 17 September 1870 Stbl 162, pidana mati dihapus.

- Tanggal 3 Maret 1881 lahirlah KUHP Belanda yang baru
dan diberlakukan tanggal 1 September 1886.
- Berdasarkan azas konkordasi menurut pasal 75
Regerings Reglement,dan pasal 151 Indische
Staatsregelig, KUHP di Belanda harus diberlakukan pula
di daerah jajahan seperti Hindia Belanda dengan
penyesuaian pada situasi dan kondisi setempat.
- Dengan Koninklijk Besluit (K.B) tanggal 15 Oktober 1915
dan diundangkan LNHB 1915 No 752 (KUHP tahun
1915).
- KUHP 1915 masih tetap berlaku dan belum diganti oleh
KUHP Nasional Indonesia.

Zaman pendudukan Jepang
-

Berdasarkan UU (Osamu Serei) No 1 Tahun 1942, yang berlaku
mulai 7 Maret 1942 sebagai peraturan peralihan Jawa dan Madura,
WvSI tetap berlaku pada zaman pendudukan Jepang.
Dalam Osamu Serei No 3 Tahun 1942, Hukum Acara Pidana lebih
banyak berubah, karena terjadi unifikasi acara dua susunan
pengadilan.

Zaman Kemerdekaan R.I.
-

Berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, berlaku pada
tanggal 18 Agustus 1945, keadaan pada zaman pendudukan
Jepang dipertahankan
Berdasarkan UU No 73 Tahun 1958, menyatakan berlakunya UU
No 1 Tahun 1946 untuk seluruh Indonesia. Dengan demikian
hilanglah dualisme berlakunya dua KUHP di Indonesia.

PENAFSIRAN UU PIDANA
Pasal 1 ayat (1) KUHP
“Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas
kekuatan aturan pidana dalam UU, yang terdahulu dari perbuatan
itu”
Azas “nullum delictum, nulla poenasine praevia lege poenali”
(tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang terlebih dahulu
menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai suatu delik dan yang
memuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan atas delik itu) Azas
Legalitas (von Feurbach).
Von Feurbach :Ancaman hukuman itu bersifat preventif (teori
psychologische Zwang) yaitu yang menganjurkan supaya dalam
menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan
bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan
jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang diancamkan.

Motesquieu : Melindungi individu terhadap tindakan hakim yang sewenangwenang yaitu melidungi kemerdekaan dan pribadi individu terhadap suatu
tuntutan yang dilakukan sewenang-wenang (Trias Politica).
Beberapa keberatan terhadap azas nulum delictum :
1. Kurang melindungi kepentingan kelompok.
2. Menghindarkan dijalankannya hukum pidana adat.
Di zaman Romawi dikenal Criminal Extra Ordinaria (kejahatan-kejahatan
yang tidak disebut dalam UU)
Criminal Stellionatus yaitu perbuatan jahat, durjana.
Diadakan kemungkinan untuk menggunakan hukum pidana itu secara
sewenang-wenang menurut kehendaknya dan kebutuhan raja sendiri.
Zaman Ancien Regime adalah zaman dimana memuncaknya reaksi terhadap
kekuasaan yang mutlak dari raja-raja.

Moeljatno mengatakan bahwa azas legalitas
mengandung tiga pengertian, yaitu :
1. Tiada perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu
belum dinyatakan dalam suatu aturan UU.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana
tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku
surut.

PENERAPAN ANALOGI
Analogi (Kamus hukum) ialah kesamaan, suatu metode pengetrapan
suatu UU dengan berpokok pangkal pada suatu azas hukum atau
peraturan yang telah mempunyai pengertian tertentu.
Menurut UU Jerman 28 Juni 1935 menetapkan analogi : seseorang
dapat dipidana kalau suatu perbuatan diancam dengan pidana oleh
UU atau menurut pikiran dasar suatu UU pidana dan menurut
perasaan sehat dari rakyat patut dipidana.
Pompe mengatakan penerapan analogi hanya diizinkan jika
ditemukan adanya kesenjangan di dalam UU yang tidak dipikirkan
(hal-hal yang dilupakan) atau tidak dapat dipikirkan (hal-hal yang baru)
oleh pembuat UU dan karena itu UU tidak merumuskan lebih luas
sehingga meliputi hal-hal itu dalam teksnya.

VOS mengatakan bahwa penerapan analogi tidak dizinkan setidaktidaknya dalam hal yang dengan analogi diciptakan delik-delik baru
dan bertentangan dengan Pasal 1 ayat 1 KUHP.
Dengan penerapan UU secara analogi diartikan penerapan ketentuan
dalam hal pembuat UU belum memikirkan atau tidak dapat memikirkan tetapi alasan penerapan ketentuan pidana sama dengan kejadian
yang diatur dengan ketentuan itu.
Paul Scholten menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara
penerapan analogi dan penafsiran ekstensif, yaitu dicoba untuk
menemukan norma-norma yang lebih tinggi dari norma yang ada lalu
dideduksikan menjadi aturan baru. Perbedaan antara keduanya
hanya bersifat gradual saja.
Vam Hattum, menolak analogi dalam menentukan perbuatan pidana
juga menolak tafsiran ekstensif.

Utrecht menarik garis pemisah antara interpretasi ekstensif
dan penerapan analogi :
I.

Interpretasi : menjalankan UU setelah UU
tersebut dijelaskan.
Analogi
: menjelaskan suatu perkara dengan
tidak menjalankan UU.

II.

Interprestasi : menjalankan kaidah yang oleh UU
tidak dinyatakan dengan tegas.
Analogi
: menjalankan kaidah tsb untuk
menyelesaikan suatu perkara yang
tidak
disinggung oleh kaidah, tetapi
yang mengandung
kesamaan dengan
perkara yang disinggung kaidah
tersebut

Hakim untuk menafsirkan suatu UU pidana adalah
dengan metoda ( cara) :
1.Sejarah pembentukan UU:
penafsiran menurut tata bahasa.
penafsiran menurut sejarah,
penafsiran secara otentik yaitu penafsiran
yang dibuat oleh pembentuk UU itu sendiri.
2.
Teleologis yaitu penafsiran sesuai dengan
maksud, tujuan atau arti dari suatu ketentuan UU.

3 kemungkinan untuk menafsirkan UU Pidana apabila ternyata ada
suatu ruangan kosong dalam UU itu:
1. Berdasarkan perat-UU-an yang ada dibuat suatu
pengertian hukum yang lebih tinggi.
2. Perat-UU-an yang telah ada harus dilihat berhubungan dengan
ciptaan hukum yang ada pada hakekatnya menjadi latar
belakangnya.
3. Dijalankan interpretasi teleologis.
Metode (cara) Analogis itu dilarang untuk dipergunakan di dalam
hukum pidana, adalah agar ketidakpastian hukum bagi masyarakat
itu jangan sampai menjadi terlalu besar
(untuk pertimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan
masyarakat. Yang mana kedua kepentingan itu harus diutamakan).

Dalam UU Peradilan Anak menetapkan bahwa yang disebut “Anak Nakal”
adalah anak yang berumur 8 – 18 tahun. Sedangkan dalam UU Sistem
Peradilan Anak yang disebut “Anak yang bermasalah dengan hukum”
yaitu yang berumur 12 – 18 tahun.
Dengan demikian terdapat sebutan “Anak Nakal” dan “Anak Bermasalah
dengan Hukum”.
Kasus : Telah terjadi pelanggaran lalu lintas yang dilakukan seseorang
yang berumur 14 tahun menyebabkan matinya orang lain.
Pertanyaan :
1.Ada berapa metode (cara) untuk melakukan penafsiran terhadap kasus
tersebut di atas ?
2.Sebutkan metode ( cara ) yang paling cocok untuk kasus tersebut !
Jelaskan alasannya.
3.Mengapa untuk kasus ini tidak dibenarkan menggunakan metode (cara)
Analogi ?

PASAL 1 KUHP
Ayat (1) dan (2) membahas berlakunya UU Pidana berhubung dengan waktu
delik dilakukan.
Ayat (2) tentang waktu delik.
Apabila UU diubah setelah dilakukan, maka terhadap yang bersangkutan
dipakai aturan yang paling ringan.
3 macam teori yang membahas mengenai perubahan dalam per-UU-an, yaitu :
1. Teori Formil.
Simons: baru boleh dikatakan perubahan dalam UU kalau redaksi (teks)
UU Pidana diubah.
2. Teori Materiil terbatas.
Van Geuns : tiap perubahan sesuai dengan suatu perubahan perasaan
(keyakinan) hukum pada pembuat UU. Jadi tidak boleh diperhatikan suatu
perubahan karena waktu.
3. Teori Materiil tidak terbatas.
Tiap perubahan, baik dalam perasaan hukum dari pembuat UU maupun
dalam keadaan karena waktu, boleh diterima sebagai suatu perubahan
dalam UU menurut arti kata Pasal 1 ayat (2).

Aturan yang paling ringan (menguntungkan)
KUHP Belanda (1881) : yaitu tidak hanya mengenai hukuman saja, tetapi
mengenai juga segala sesuatu yang mempunyai pengaruh atas penilaian
sesuatu delik.
Hoge Raad 25 Juni 1906 : Terserah pada praktek dan hanya dapat ditentukan
untuk masing-masing perkara sendiri (inconcreto). Hal itu tidak dapat
ditentukan secara umum (in abstrcto).
Pengadilan tingkatan banding (Verzet) tentang pengecualian dalam pasal 1
ayat (2) :
Tidak dapat dipakai bila dilihat sebagai suatu alat untuk mengoreksi
pekerjaan hakim yang telah membuat suatu keputusan.
Dapat dipakai bila dilihat sebagai suatu proses (acara) baru.
Tempus delicti (waktu delik) berhubungan dengan :
1. Berlakunya KUHP (Pasal 1 ayat (1)).
2. Hukum peralihan (Pasal 1 ayat (2)).
3. Lewat waktu (verjaring) (Pasal 78 dan 79 KUHP).
4. Pasal 45 KUHP.

BERLAKUNYA PER-UU-AN HUKUM PIDANA
MENURUT TEMPAT TERJADINYA PERBUATAN
Azas Teritorialitet
Pasal 2 KUHP : “Aturan pidana dalam UU Indonesia berlaku terhadap
tiap orang yang dalam Indonesia melakukan peristiwa pidana”.
Yang menjadi ukuran : peristiwa pidana yang dilakukan dalam wilayah
Indonesia.
Bukan ukuran : pembuat ada di dalam wilayah Indonesia.
Kesimpulan :
1. Dapat dilakukan suatu delik dalam wilayah Indonesia sedangkan
pembuatnya ada di luar wilayah Indonesia.
2. Azas ini berlandaskan kedaulatan negara diwilayahnya sendiri.

Ada 3 macam teori agar dapat menyelesaikan
persoalan tentang Locus delicti :
1. Teori perbuatan materiil.
Locus delicti ialah tempat di mana perbuatan yang
perlu ada supaya delik dapat terjadi dilakukan oleh
pembuat (tempat dimana perbuatan-perbuatan itu
terjadi disebut perbuatan materiil. Tempat di mana
delik diselesaikan tidak penting).
2.

Teori alat yang dipergunakan.
Delik dilakukan di tempat di mana alat yang
dipergunakan itu menyelesaikannya.
3.

Teori akibat :
Tempat akibat menjadi locus delicti.

Kesimpulan :
1. Teori mana di antara tiga teori yang harus dipilih, tergantung pada
sifat dan corak perkara konkrit yang hendak diselesaikan.
2. Hazenwinkel – Suringa.
Mempergunakan ketiga teori secara teleologis.
a. Dalam hal menentukan hakim yang relatif berkuasa maka
biasanya yang paling cocok ialah teori perbuatan materiil.
- Hakim di tempat dimana pembuat melakukan deliknya.
- Terdapat bukti-bukti yang paling jelas.
b. Dalam hal harus berlakunya UU Pidana Nasional supaya dapat
dicegah bahaya bagi dan ancaman terhadap keamanan
nasional yang datang dari luar negeri (teori alat yang
dipergunakan atau teori akibat).

PASAL 3 KUHP
“Aturan pidana dalam per-UU-an Indonesia berlaku bagi setiap orang
yang di luar Indonesia melakukan perbuatan pidana di dalam kapal
Indonesia”
Pasal ini memperluas azas teritorialitet.
“vaartuig” (alat pelayar) adalah segala sesuatu yang dapat berlayar yakni
segala sesuatu yang dapat bergerak di atas air.
“Schip” (kapal) adalah tiap vaartuig yang berdasarkan peraturan perkapalan
umum diberi surat laut atau pas kapal, atau yang diberi suatu surat pengakuan
lain, yang untuk sementara waktu mengganti surat laut dan pas kapal itu.
Hukum Internasional mengakui sebagai wilayah nasional hanya :
Kapal perang,
Kapal dagang di laut terbuka,
Kapal dalam hal dijalankan ius passage innoxii.
Dengan UU No. 4 Tahun 1976, Pasal 3 KUHP telah ditambah juga dengan kata
pesawat udara.
Azas teritorialitet belum cukup melindungi kepentingan nasional.

Azas Nasionalitet Pasif atau Azas Perlindungan
Pasal 4 KUHP
Azas ini menentukan bahwa:
- Hukum pidana suatu negara berlaku terhadap perbuatan-perbuatan yang
dilakukan di luar negeri.
- Kepentingan tertentu, kepentingan negara dilanggar di luar wilayah
kekuasaan negara itu. (Pasal 4 ayat (1), (2), dan (4) KUHP.
- Azas ini diperluas dengan kejahatan penerbangan dan tindak pidana
ekonomi.
Menurut Hezewinkel-Suringa, azas ini dimaksud :
- Melindungi kepentingan umum yang besar.
- Tidak melindungi kepentingan individual.
Pasal 8 KUHP .
- Termasuk azas perlindungan karena melindungi kepentingan pelayaran.
- Memperluas berlakunya Pasal 3, jika kejahatan-kejahatan itu dilakukan
dalam perahu Indonesia.
- Pompe mengatakan bahwa harus diartikan orang-orang yang biasanya ada
dalam perahu.

Azas Nasionalitet Aktif atau Azas Personalitet
Pasal 5 KUHP
“Aturan pidana dalam per-UU-an Indonesia berlaku bagi warga negara
yang di luar Indonesia melakukan beberapa delik tertentu”.
Delik tersebut dapat dibagi dalam 2 golongan :
1. a. kejahatan melanggar keamanan negara (Pasal 104-129).
b. kejahatan melanggar martabat kepala negara dan wakil
presiden (Pasal 131-139 KUHP).
c. menghasut (Pasal 160 KUHP).
d. menyiarkan tulisan yang bertujuan menghasut (Pasal 161
KUHP).
e. dengan sengaja membuat diri atau membuat orang lain
tidak cakap untuk memenuhi kewajiban militer (Pasal 240 KUHP).
f. melakukan perampokan (pembajakan) laut (Pasal 450-451).
Menurut Jonkers, delik-delik tersebut dicantumkan secara tegas karena
disini ada perbuatan yang mengancam kepentingan-kepentingan yang
khusus bagi Indonesia, dan perbuatan-perbuatan ini tidak dikenai UU Pidana
menurut dari negara dimana perbuatan tersebut dilakukan.

2. Semua kejahatan ini harus memenuhi 2 syarat :
- kejahatan menurut KUHP.
- juga dihukum oleh hukum pidana asing di mana
itu dilakukan.

kejahatan

Dari perkataan “berlaku bagi warga negara Indonesia yang di
luar Indonesia” maka azas yang dikandung adalah azas personal.
Moeljatno berpendapat lebih melihat prinsip melindungi
kepentingan nasional dari pada azas personal,karena:
1. Dalam azas personal pada umumnya harus berlaku seluruh perUU-an hukum pidana, hal mana kemudian dapat diperkecil
karena hal-hal tertentu.
2. Apa yang ditentukan dalam ayat (2), yaitu ketentuan untuk
mencegah agar supaya warga negara asing jangan berbuat
kejahatan.

Pasal 5 ayat (2) :
- Diadakan untuk mencegah, bukan warga negara yang sudah
melakukan perbuatan pidana di negeri asing, melarikan diri ke
Indonesia lalu minta dinaturalisasikan sebagai warga negara
Indonesia, sehingga dengan demikian tidak diserahkan dan terluput
dari penuntutan pidana.
- Jangan dipandang sebagai imbangan dari prinsip bahwa warga
negara tidak diserahkan kepada pemerintah asing.
Ketentuan yang penting dari Peraturan Penyerahan S.1883-188, ialah :
Pasal 1 Penyerahan orang asing hanya mungkin jika memenuhi syarat
–syarat tersebut dalam peraturan ini.
Pasal 2 Penentuan macam-macamnya perbuatan pidana
memungkinkan penyerahan.
Pasal 5 Penyerahan tidak dilakukan selama orang asing itu sedang
dituntut perkaranya, atau sesudahnya diadili atau diadili
dibebaskan atau dilepaskan dari segala tuntutan.
Pasal 8 Penyerahan dimintakan dengan melalui jalan diplomatik.

Beberapa hal di mana orang itu tidak diserahkan, yaitu :
1. Kalau orang yang diminta diserahkan itu warga negara sendiri.
2. Kalau dianggap oleh negara asing itu bahwa perbuatan orang itu
adalah bersifat “kejahatan politik”
Kejahatan politik terdiri atas :
a. Kejahatan politik mutlak yaitu kejahatan ditujukan secara
langsung untuk merobohkan negara.
b. Kejahatan politik relatif yaitu kejahatan secara tidak
langsung hendak mengganggu keamanan negara.
3. Kalau orang itu oleh pengadilan negara asing sudah diputuskan
perkaranya.
4. Kalau permintaan penyerahan dari negara yang dilanggar UU
dianggap terlambat oleh negara asing itu.
5. Kalau orang yang diminta diserahkan itu pejabat suatu negara.

Pasal 6 KUHP : membatasi azas personalitet.
Pasal 7 KUHP : memperluas azas nasionalitet aktif (personalitet)
dengan azas nasionalitet pasif (perlindungan) karena berlaku bagi
setiap orang pegawai negeri yang di luar Indonesia melakukan salah
satu perbuatan pidana tersebut dalam Bab XXVIII Buku ke-2.

Azas Universalitas.
Azas ini melihat hukum pidana :
- Berlaku umum,
- Melampaui ruang wilayah dan ruang orang (Indonesia),
- Jenis kejahatan yang diancam pidana sangat berbahaya bukan
saja dilihat dari kepentingan Indonesia tetapi juga kepentingan dunia.
- Secara universal jenis kejahatan ini perlu dicegah dan diberantas.
- Kekuasaan hakim menjadi mutlak karena yurisdiksi pengadilan
tidak tergantung lagi pada tempat terjadinya delik atau nasionalitas
atau domisili tedakwa.

Azas ini diatur dalam