IMPLIKASI HUKUM REKLAMASI GUGUSAN PULAU

IMPLIKASI HUKUM REKLAMASI GUGUSAN PULAU DI LAUT CINA SELATAN
DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL

Kadek Wahyu Adi Pratama, Dhiana Puspitawati, S.H, LLM, PhD,
Rika Kuriniaty, S.H, M.A.
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Email: wahyuadipratama2015@gmail.com
Abstrak
Laut Cina Selatan memiliki tensi dan tingkat ketegangan yang tinggi setelah Cina
mereklamasi 7 gugusan pulau di Laut Cina Selatan yang terdiri dari Fiery Cross Reff,
Cuarteron Reff, Subi Reef, Gaven Reef, Mischief Reef, Johnson South Reef, dan Hughes Reef
dan mengubahnya menjadi pulau buatan dan mendirikan fasilitas militer diatasnya. Tindakan
Cina ini merupakan bagian dari klaim sepihak U-Dash Line yang mengklaim hampir
keseluruhan Laut Cina Selatan dan tentunya membawa efek yang buruk teradap stabilitas
perdamaian di Laut Cina Selatan. Reklamasi yang dilakukan oleh Cina atas 7 gugusan pulau,
mengubahnya menjadi pulau buatan dan mendirikan fasilitas militer diatasnya tentu
bertentangan dengan hukum internasional. Selain itu reklamasi atas 7 gugusan pulau ini
menimbulkan implikasi hukum terhadap rights of navigation yang dimiliki oleh setiap kapal.
Implikasi hukum tersebut ialah tidak diperbolehkannya kapal-kapal asing melaksanakan
kebebasan bernavigasi dan munculnya ketidakpastian penerapan rights of navigation di
perairan sekitar gugusan pulau yang direklamasi oleh Cina tersebut.

Kata Kunci : Implikasi Hukum, Rights of Navigation, Laut Cina Selatan, Reklamasi, Gugusan
Pulau, Pulau Buatan, Fiery Cross Reef, Cuarteron Reef, Subi Reef, Gaven Reef, Mischief
Reef, Johnson South Reef, dan Hughes Reef.

Abstract
Tension in the South China Sea has increased significantly since China’s land reclamation
occurs in seven group of islands in the South China Sea i.e Fiery Cross Reff, Cuarteron Reff,
Subi Reef, Gaven Reef, Mischief Reef, Johnson South Reef, and Hughes Reef. China then
turns them into artificial islands and built military facilities there. This unilateral action is
part of the China’s U-Dash Line claim and certainly bring worst effect towards the peace
stability in the South China Sea. This surely contradicts with the international law and
therefore, it’s absolutely illegal. The land reclamation also raise the legal implication
towards the rights of navigation owned by the foreign ships whom sail across the South
China Sea i.e China forbids the foreign ships to exercise the freedom of navigation and raise
the uncertainty of the implementation of the right of navigation in the waters around the
seven group of islands reclaimed by China.
Key Words : Legal Implication, Right of Navigation, South China Sea, Land Reclamation,
Group of Islands, Artificial Islands, Fiery Cross Reef, Cuarteron Reef, Subi Reef, Gaven
Reef, Mischief Reef, Johnson South Reef, and Hughes Reef.
1


A. PENDAHULUAN
Laut Cina Selatan merupakan laut yan membentang dari barat daya hingga timur laut
dengan luas mencapai 3.500.000

1

dengan karakteristik sebagian besar terdiri atas pulau-

pulau kecil, Islets (pulau-pulau yang sangat kecil), rocks (pulau batu karang), dan karangkarang. Laut Cina Selatan terdiri atas banyak pulau kecil, karang, atol, yang kesemuanya
tercakup dalam Macclesfield Bank, Kepulauan Paracels, Scarborough Reef/Shoals,
Kepulauan Spratly, dan Kepulauan Pratas.2 Kawasan Laut Cina Selatan terletak di antara
daratan dan pantai-pantai semenanjung Asia Tenggara di sebelah barat, pantai selatan Cina
dan hingga ke utara Pula Taiwan, hingga sampai gugusan kepulauan Filipina, Kalimantan
(Borneo), dan Indonesia di sebelah timur dan selatan.3
Melihat pada letak dan kondisi geografis Laut Cina Selatan dan pulau-pulau serta karang
dan atol yang terbentang di atasnya bisa dipastikan bahwa Laut Cina Selatan memiliki posisi
geografis yang potensial. Hal ini dikarenakan posisi geografis Laut Cina Selatan itu
dikelilingi Benua Asia dan Kepulauan Nusantara dan Filipina yang mana kawasan ini
merupakan jalur pelayaran dan komunikasi internasional yang tentunya sangat padat.

Adapun Laut Cina Selatan ini sering dilewati oleh kapal-kapal tanker besar baik berupa kapal
tanker minyak maupun kapal tanker untuk tujuan ekspor-impor. Selain itu, Laut Cina Selatan
juga terkandung potensi migas yang besar. Terdapat lebih dari 10 basin yang diketahui
mengandung minyak dan gas di Laut Cina Selatan dengan total luas mencapai 852.400
yang merupakan 48,8% daripada seluruh area landas kontinen yang terdapat di Laut Cina
Selatan.4
Potensi – potensi diatas baik dilihat secara geografis nya maupun dilihat dari kandungan
minyak dan gas bumi yang terdapat di dalamnya tentu menjadikan Laut Cina Selatan menjadi
pusat perhatian dunia, terutama negara-negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan.
Potensi-potensi yang menguntungkan tersebut saat ini menjadi incaran negara-negara yang
berbatasan dengan Laut Cina Selatan hingga negara-negara tersebut kemudian melakukan
klaim atas kawasan-kawasan potensial di Laut Cina Selatan. Adapun karena banyaknya
negara yang melakukan klaim sepihak atas kawasan-kawasan di Laut Cina Selatan ini
1

Dadang Sobar Wirasuta, Keamanan Maritim Laut Cina Selatan : Tantangan dan Harapan, Jurnal
Pertahanan, Volume 3 Nomor 3, Universitas Pertahanan Indonesia, Sentul, 2013, Hal 80.
2
Robert Beckman, The South Cina Sea : the evolving dispute between Cina dan her maritime neighbours,
Volume 21 Nomor 3, National University Singapore, Singapore, 2013, Hal 18.

3
Schofield, Clive, What's at stake in the South Cina Sea? Geographical and geopolitical considerations,
Edward Elgar Publishing, New South Wales, 2013, Hal 16-17.
4
Dr. Su Hao, Maritime Resources in the South Cina Sea and Cina’s Management in the International Legal
Context, makalah disajikan dalam 7th Berlin Conference on Asian Security, Stifung Wissenchaft und Politik
(SWP) dan Konrad-Adenauer-Stiftung (KAS), Berlin, 1-2 Juli 2013, Hal 6.

2

membuat klaim yang saling berbenturan ini menjadi sebuah sengketa yang dikenal dengan
nama Sengketa Laut Cina Selatan.
Sengketa Laut Cina Selatan merupakan salah satu sengketa teritorial yang melibatkan
banyak negara. Adapun negara – negara yang terlibat dalam sengekta laut Cina selatan ini
ialah Cina, Malaysia, Vietnam, Brunei Darusalam, Filipina, dan Taiwan. Vietnam mengklaim
kepemilikan atas Kepulauan Spratly dan Paracels, sedangkan baik Filipina, Malaysia, dan
Brunie Darusalam mengklaim sebagian atas Kepulauan Spratly. Adapun Cina dan Taiwan
mengklaim hampir seluruh Laut Cina Selatan5 dimana Cina khususnya melakukan penarikan
melalui U Dash Line.
Penarikan U Dash Line tersebut kemudian dibarengi dengan melakukan penguasaan fisik

atas sebagian gugusan pulau di Laut Cina Selatan. Adapun penguasaan fisik yang dilakukan
oleh Cina adalah melalui kegiatan reklamasi-reklamasi yang dilakukan atas gugusan pulau di
Laut Cina Selatan tepatnya di Kepulauan Spratly. Adapun gugusan pulau dimana Cina
melakukan reklamasi adalah Subi Reef (Kepulauan Spratly), Fiery Cross Reef (Kepulauan
Spratly), Gaven Reef (Kepulauan Spratly), Johnson South Reef (Kepulauan Spratly),
Cuarteron Reef (Kepulauan Spratly), Mischief Reef (Kepulauan Spratly) & Hughes Reef
(Kepulauan Spratly). Kesemua gugusan pulau tersebut masuk ke dalam U Dash Line yang
diklaim oleh Cina.6
Cina sendiri mengatakan bahwasannya setiap gugusan pulau memegang kedaulatannya
sendiri dan oleh karenanya Cina menganggap reklamasi yang dilakukannya adalah sah.7 Cina
juga berpendapat bahwasannya setiap negara berhak membuat pulau buatan tanpa
memandang bahwa pulau buatan tersebut difungsikan sebagai apa dan untuk tujuan apa.
Pernyataan Cina ini dikemukakan karena Cina berpendapat UNCLOS 1982 tidak
menjelaskan secara detail tentang bangunan apa saja yang diperbolehkan beridiri diatas pulau
buatan tersebut.8 Oleh sebab itu, Cina kemudian menafsirkan bahwa Cina bebas mereklamasi
gugusan pulau tersebut dan mendirikan pulau buatan untuk tujuan dan fungsi apapun.

5

Rizki Roza, dkk, Konflik Laut Cina Selatan Dan Implikasinya Terhadap Kawasan, P3DI Setjen DPR

Republik Indonesia dan Azza Grafika, Jakarta, 2013, Hlm. viii – ix.
6
Ministry of Defense, Cina’s Activities in the South Cina Sea, Tokyo, Ministry of Defense, 2015, Hal 4-5.
7
Congressional Research Service, Chinese Land Reclamation in the South Cina Sea: Implications and Policy
Options., Washington, Federation of American Scientist, 2015, Hal 2.
8
Dr. Su Hao, Op.Cit., Hlm 14.

3

Sampai saat ini Cina masih terus melanjutkan reklamasi membuat pulau buatan yang
berdiri di kawasan Laut Cina Selatan meskipun banyak negara menentang tindakan reklamasi
secara sepihak yang dilakukan oleh Tiongok tersebut. Dalam upaya menghentikan aksi Cina
mereklamasi gugusan pulau untuk membuat pulau buatan, Amerika Serikat mengirimkan
Kapal Perang USS Lassen yang berada di posisi 12 mil dari pulau buatan Tiongok di
Kepulauan Spratly.9 Hal ini dilakukan oleh Amerika Serikat dengan harapan Cina
menghentikan upaya reklamasi untuk kemudian kembali ke meja perundingan bersama
negara-negara yang bersengketa. Upaya Amerika Serikat tersebut juga tidak membuahkan
hasil menghentikan upaya Cina mereklamasi pulau-pulau, atol dan karang di Laut Cina

Selatan. Melihat pada permasalahan tersebut, maka peneliti melakukan penelitian terkait
implikasi hukum reklamasi gugusan pulau yang dilakukan oleh Cina di Laut Cina Selatan
yang akan ditinjau dari hukum internasional.
B. MASALAH / ISU HUKUM
Isu hukum dari penelitian hukum ini ialah Cina melakukan reklamasi atas 7 gugusan pulau
(Fiery Cross Reef, Cuarteron Reef, Subi Reef, Gaven Reef, Mischief Reef, Johnson South
Reef, dan Hughes Reef) dan mendirikan pulau buatan dan fasilitas militer diatasnya. Tindakan
Cina ini menimbulkan implikasi hukum yang berdampak pada Laut Cina Selatan.
Dengan demikian rumusan masalah yang akan dibahas terkait isu hukum diatas ialah :
1. Apakah reklamasi atas gugusan pulau yang dilakukan oleh Cina di Laut Cina Selatan
dapat dibenarkan oleh hukum internasional ?
2. Apa implikasi hukum dari reklamasi atas gugusan pulau tersebut terhadap rights of
navigation ?
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini

menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan

perundang-undangan (statute approach). Bahan-bahan hukum yang berupa bahan hukum
premier, skunder, dan tersier yang kemudian dianalisi dengan teknik analisis gramatikal

yaitu menafsirkan pasal-pasal yang terkandung di dalam UNCLOS 1982.

9

Glaser, Bonnie S. dan Dutton, Petter A., 2015, The U.S Navy’s Freedom of Navigation Operation Around
Subi Reef : Dechipering U.S Signaling (Online), http://nationalinterest.org/feature/the-us-navy%E2%80%99sfreedom-navigation-operation-around-subi-reef-14272 (5 November 2015)

4

D. PEMBAHASAN
D.1 Reklamasi Gugusan Pulau Oleh Cina di Laut Cina Selatan Menurut Hukum
Internasional
Cina mereklamasi sejumlah karang yang terletak di Laut Cina Selatan dimana karangkarang yang membentuk gugusan pulau tersebut ada yang berdiri diatas laut bebas, dan ada
pula yang berdiri diatas zona ekonomi eksklusif milik Filipina. Adapun gugusan pulau yang
terletak di laut bebas ialah : Fiery Cross Reef, Cuarteron Reef, Subi Reef, dan Gaven Reef,
sedangkan yang terletak di ZEE Filipina adalah : Mischief Reef, Johnson South Reef, dan
Hughes Reef.
D.1.1 Reklamasi Gugusan Pulau Oleh Cina di Laut Cina Selatan di Zona Laut Bebas
a. Reklamasi di Fiery Cross Reef, Cuarteron Reef, dan Subi Reef
Fiery Cross Reef, Cuarteron Reef, dan Subi Reef merupakan gugusan pulau yang

terletak di zona laut bebas Laut Cina Selatan. Cina beserta Vietnam, Taiwan, dan
Filipina mengklaim Fiery Cross Reef10, adapun Cuarteron Reef juga diklaim oleh Cina,
Filipina dan Vietnam11 dan demikian halnya dengan Subi Reef yang juga di klaim oleh
Cina, Filipina dan Vietnam.12 Cina baru memulai reklamasi atas ketiga gugusan pulau
tersebut pada tahun 2014 silam dan saat ini telah berdiri pulau buatan beserta instalasiinstalasi militer dan sipil diatasnya. Selain instalasi militer, juga didirikan menara
mercusuar diatasnya13 yang menandakan bahwa pulau buatan tersebut dijadikan base
point untuk menarik garis pangkal.
Padahal pada pasal 60 ayat (8) UNCLOS 1982 menyebutkan bahwa pulau buatan
tersebut tidak memiliki status pulau dan laut teritorialnya serta ZEE-nya sendiri dan
dengan demikian pulau buatan tersebut tidak dapat dijadikan base point untuk
penarikan garis pangkal. Oleh karena Cina menjadikan ketiga gugusan pulau tersebut
sebagai base point untuk penarikan garis pangkal sebagai bagian upaya menegakkan
klaim U-Dash Line melalui pendirian pulau buatan diatasnya, hal ini akan menganggu
10

Sevastopulo, Dimitry dan Harris, Bryan, 2016, US Warship Sails Near Chinese-Claimed Reef in South Cina
Sea (Online), http://www.ft.com/cms/s/0/d4d06d54-1672-11e6-b197-a4af20d5575e.html#axzz4C
2myYUTz (19 Juni 2016)
11
Johnson, Jesse, 2016, Beijing opens new lighthouse on man-made island in South Cina Sea

(Online),http://www.japantimes.co.jp/news/2016/04/06/asia-pacific/beijing-opens-new-lighthouse-man-madeisland-south-Cina-sea/#.VyG_VvmLTIU, (19 Juni 2016)
12
AFP dan Delizo, Michael Joe T., 2016, Cina Expands Presence, Opens Lighthouse in Subi Reef (Online),
http://www.manilatimes.net/Cina-expands-presence-opens-lighthouse-in-subi-reef/254562/ (19 Juni 2016)
13
Watkins, Derek, 2015, What Cina Has Been Building in The South Cina Sea (Online),
http://www.nytimes.com/interactive/2015/07/30/world/asia/what-Cina-has-been-building-in-the-south-Cinasea.html (19 Juni 2016).

5

perdamaian yang nantinya akan berujung pada perang antar negara pengklaim (Cina,
Taiwan, Vietnam, dan Filipina). Sehingga tindakan Cina ini

melanggar pasal 88

UNCLOS 1982 dimana laut bebas ditujukkan untuk maksud damai.
Selain itu pulau-pulau buatan di ketiga gugusan pulau tersebut terletak di zona laut
bebas, maka segala bentuk penegakkan kedaulatan oleh Cina atas ketiga gugusan pulau
tersebut adalah dilarang. Hal ini dikarenakan tidak ada suatu negara pun yang dapat
menegakkan kedaulatannya atas laut bebas, termasuk menegakkan kedaulatannya

dengan mendirikan pulau buatan yang berdiri diatas zona laut bebas sesuai dengan
pasal 89 UNCLOS 1982.
b. Reklamasi di Gaven Reef
Gaven Reefs terletak di Kepulauan Spratly yang berdiri diatas zona laut bebas Laut
Cina Selatan (Berada di luar laut teritorial, landas kontinen maupun ZEE Cina), pada
derajat 10°12’48”N, 114°13’9”E. Gaven Reef sendiri berlokasi pada 205 mil laut
sebelah barat laut Pulau Palawan.14 Perkembangan reklamasi pulau buatan di Gaven
Reef oleh Cina dimulai setelah tanggal 30 Maret 2014. Reklamasi tersebut
menghasilkan sebuah daratan baru seluas 114.000

. Adapun fasilitas yang telah

dibangun oleh Cina adalah selain daratan baru, juga fasilitas militer dan sipil yang
digunakan untuk dukungan operasional pulau buatan tersebut.
Gaven Reef saat ini diklaim oleh Cina, Vietnam dan Filipina15, namun berada dalam
kontrol Cina melalui pulau buatan miliknya yang didirikan diatas Gaven Reef.
Berdirinya instalasi militer membuktikan bahwa Cina secara sepihak berusaha
menegakkan kedaulatannya di Gaven Reef. Tindakan ini tentu ilegal menurut pasal 89
dimana pulau buatan tersebut berdiri diatas laut bebas, seharusnya tidak memiliki
kedaulatan sama sekali karena rezim laut bebas melarang penegakkan kedaulatan
negara manapun atas laut bebas. Akibat dari tindakan Cina ini ialah rusaknya
perdamaian atas perairan sekitar Gaven Reef pada khususnya dan Laut Cina Selatan
pada umumnya, sehingga Cina dengan ini juga melanggar pasal 88 dimana laut bebas
merupakan kawasan damai dan tidak boleh dijadikan kawasan konflik.

14

The Department of Foreign Affairs of Republic of the Philippines, Notification and Statement of Claim on
West Philippine, Manila, Department of Foreign Affairs of Republic of the Philippines, 2013, Hlm Hlm 8.
15
Blanchard, Ben, 2015, Cina: U.S. patrol in South Cina Sea harmed trust (Online),
http://cnnphilippines.com/world/2015/11/06/Cina-united-states-patrols-south-Cina-sea.html, (14 April 2016)

6

D.1.2 Reklamasi Gugusan Pulau Oleh Cina di Laut Cina Selatan di ZEE Filipina
a. Reklamasi di Mischief Reef
Mischief Reef (Meiji Jiao menurut Cina dan da Vanh Khan menurut Vietnam) merupakan
kumpulan karang yang terletak di Kepulauan Spratly dan terletak pada derajat 9o55’N,
115o32’E.16 Mischief Reef terletak di dalam ZEE Filipina yang berjarak 129 nm dari Pulau
Palawan.17 Mischief Reef berada di zona ekonomi eksklusif Filipina, saat ini diklaim oleh
Taiwan, Filipina dan Vietnam namun telah diokupasi dan berada dalam kontrol penuh
Cina.18 Perkembangan reklamasi daratan di Mischief Reef dimulai pada awal tahun 2015.
Reklamasi lahan baru ini kemudian menghasilkan lahan reklamasi seluas 5,580,000

.

Adapun selain lahan reklamasi, fasilitas yang dibangun Cina di Mischief Reef adalah
tembok penahan ombak, fasilitas militer dan sipil sebagai dukungan operasional.19
Tindakan Cina mereklamasi Mischief Reef dan mendirikan pulau buatan beserta instalas
militer diatasnya tentu bertentangan dengan pasal 56 ayat (1) dan pasal 60 ayat (1) serta
pasal 58 ayat (2) juncto pasal 89 UNCLOS 1982. Menurut pasal 56 ayat (1) dan 60 ayat
(1) Cina tidak berhak mendirikan pulau buatan diatas Mischief Reef karena Mischief Reef
berada dalam wilayah ZEE Filipina. Hal ini beararti hanya Filipina saja yang berhak
mendirikan dan mengoperasikan pulau buatan di Mischief Reef dan negara lain tentu tidak
berhak tanpa izin dari Filipina.
Cina (dan juga sebenarnya Filipina) juga tidak berhak menegakkan kedaulatannya atas
Mischief Reef yang berada di wilayah ZEE Filipina karena wilayah ZEE merupakan zona
laut yang negara manapun tidak dapat menegakkan kedaulatan diatasnya. Penegakkan
kedaulatan akan bertentangan dengan pasal 58 (2) juncto pasal 89 UNCLOS 1982.

16

David Hancox dan Victor Prescott, Clive Schofield (Ed), A Geographical Description of the Spratly Islands
and an Account of Hydrographic Surveys Amongst Those Islands, International Boundaries Research Unit,
Department of Geography, University of Durham, Durham, 1995Hlm 29.
17
Asia Maritime Transparency Initiative, 2015, Mischief Reef Tracker (Online), http://amti.csis.org/mischiefreef-tracker/, (18 Maret 2016)
18
Umbao, Ed, 2016, Cina Building Submarine Harbor at Panganiban (Mischief) Reef,
http://philnews.ph/2016/01/07/Cina-building-submarine-harbor-at-panganiban-mischief-reef/ (Online), (14 April
2016)
19
Asia Maritime Transparency Initiative, 2015, Mischief Reef Trackers (Online), http://amti.csis.org/mischiefreef-tracker/, (18 Maret 2016)

7

b. Reklamasi di Johnson South Reef dan Hughes Reef
Johnson South Reef (terletak di derajat 9° 42' N-114°22' E dan diperkerikan berjarak
sekitar 108 nm sebelah barat laut daripada Pulau Palawan20, sedangkan Hughes Reef
terletak pada derajat 9°55’N, 114°30’E, pada posisi 175 nm sebelah timur Pulau
Palawan21. Dari letak koordinat diatas, sudah bisa dipastikan bahwa kedua gugusan pulau
tersebut terletak di dalam ZEE Filipina.
Di kedua gugusan pulau tersebut, Cina mulai melakukan tindakan reklamasi secara
sepihak pada tahun 2014 yang kemudian dibarengi dengan pendirian pulau buatan dan
instalasi militer dan sipil diatasnya. Selain mendirikan pulau buatan, fasilitas militer dan
sipil, juga didirikan menara mercusuar masing-masing di Johnson South Reef22 dan di
Hughes Reef23. Berdirinya menara mercusuar dikedua gugusan pulau tersebut
mengindikasikan bahwa Cina menjadikan pulau buatan yang berdiri diatas kedua gugusan
pulau tersebut sebagai base point untuk menarik garis pangkal.
Tindakan Cina mereklamasi Johnson South Reef dan Hughes Reef lalu mendirikan pulau
buatan beserta fasilitas untuk militer dan sipil diatasnya merupakan upaya untuk
menegakkan kedaulatan Cina atas kedua gugusan pulau tersebut. Selain itu berdirinya
pulau buatan hasil reklamasi tersebut dilakukan secara sepihak dan tanpa izin dari Filipina.
Tindakan sepihak Cina ini tentu bertentangan dengan pasal pasal 56 ayat (1) dan pasal 60
ayat (1) serta pasal 58 ayat (2) juncto pasal 89 UNCLOS 1982
Menurut pasal 56 ayat (1) dan pasal 60 ayat (1), hanya Filipina saja yang berhak
mendirikan, mengoperasikan pulau buatan beserta instalasi dan bangunan diatasnya karena
Johnson South Reef dan Hughes Reef berada di dalam ZEE Filipina dan karena itu
merupakan hak eksklusif Filipina. Menurut pasal 58 ayat (2) juncto pasal 89, Cina (dan
sebenarnya juga Filipina) tidak dapat mendirikan pulau buatan untuk tujuan menegakkan
kedaulatan di atas wilayah ZEE Filipina karena rezim ZEE tidak memperbolehkan negara
manapun menegakkan kedaulatannya atas wilayah ZEE.
Selain ketiga pasal diatas, Cina juga melanggar pasal 60 ayat (8) dimana Cina menjadikan
Johnson South Reef dan Hughes Reef sebagai base point untuk menarik garis pangkal dan
menetapkan zona maritim secara sepihak. Padahal menurut pasal 60 ayat (8), pualu buatan
20

The Department of Foreign Affairs of Republic of the Philippines, Op.Cit., Hlm 9.
David Hancox dan Victor Prescott, Clive Schofield (Ed), Op.Cit,. Hlm 11.
22
Johnson, Jesse, 2016, Beijing Opens New Lighthouse On Man-Made Island in the South Cina Sea (Online),
http://www.japantimes.co.jp/news/2016/04/06/asia-pacific/beijing-opens-new-lighthouse-man-made-islandsouth-Cina-sea/#.VyG_VvmLTIU, (20 Juni 2016).
23
Asia Maritime Transparency Initiative, 2015, Hughes Reef Tracker (Online), http://amti.csis.org/hughes-reeftracker/, (20 Juni 2016).
21

8

tidak memiliki status pulau dan tentunya tidak dapat ditetapkan zona maritim melalui
pulau buatan tersebut.
D.2 Implikasi Hukum Reklamasi Gugusan Pulau Tersebut Terhadap Rights of
Navigation.
Seperti yang sudah dibahas dalam pembahasan untuk rumusan masalah pertama
sebelumnya, Cina telah melakukan reklamasi terhadap 7 gugusan pulau yang kemudian
dijadikan pulau buatan. 7 gugusan pulau yang direklamasi tersebut ialah ada yang terletak di
zona laut bebas dan ada pula yang terletak di ZEE Filipina.24 Reklamasi atas 7 gugusan pulau
tersebut merupakan bagian dari upaya Cina menegakkan klaimnya atas Laut Cina Selatan
melalui U-Dash Line dan saat ini juga, 7 gugusan pulau tersebut selain diklaim oleh Cina,
juga di klaim oleh Vietnam, Taiwan, dan Filipina.
Selain menimbulkan sengketa diantara para negara pengklaim, reklamasi atas gugusan
pulau tersebut juga menimbulkan implikasi hukum terhadap rights of navigation bagi kapalkapal asing yang melintasi perairan di dekat gugusan pulau tersebut. Hal ini dikarenakan
sebagian daripada 7 gugusan pulau yang menjadi pulau buatan tersebut, oleh Cina, dijadikan
base point yang digunakan untuk menarik garis pangkal25.
Dari base point yang terdapat di beberapa gugusan pulau tersebut, Cina kemudian
menarik garis pangkal dan mengklaim zona laut teritorial atas gugusan pulau tersebut yang
mana hal ini bertentangan dengan pasal 60 (8) dimana pulau buatan tidak memiliki status
pulau dan tidak memiliki laut teritorialnya sendiri.26 Selain itu menurut pasal 60 ayat (5),
Cina hanya berhak menetapkan zona keselamatan dengan jarak 500 meter yang diukur
melalui titik-titik terluar dari pulau buatan tersebut. Fungsi dari zona keselamatan itu sendiri
hanya sebatas untuk keselamatan navigasi kapal-kapal yang melintas dan keselamatan pulau
buatan dan instalasi diatasnya.

24

Gugusan pulau yang direklamasi oleh Cina di zona laut bebas ialah Fiery Cross Reef, Cuarteron Reef, Subi
Reef, dan Gaven Reef, sedangkan gugusan pulau yang direklamasi oleh Cina di ZEE Filipina adalah Hughes
Reef, Mischief Reef dan Johnson South Reef.
25
Pulau-pulau buatan yang dijadikan base point untuk menarik garis pangkal guna mengklaim zona – zona
maritim ialah Fiery Cross Reef, Subi Reef, Cuarteron Reef, Hughes Reef dan Johnson South Reef.
26
Pike, John ,2016, South Cina Sea (Online), http://www.globalsecurity.org/military/world/war
/south-Cina-sea.htm, (29 Mei 2016)

9

Adapun implikasi hukum yang timbul ialah kapal-kapal asing tidak diperbolehkan
mealaksanakan kebebasan bernavigasinya di perairan sekitar pulau-pulau buatan tersebut
secara bebas dan harus meminta izin terlebih dahulu.27 Selain itu implikasi hukum lainnya
yang akan muncul ialah ketidakpastian rights of navigation di perairan sekitar gugusan pulau
yang direklamasi tersebut terkait rezim lintas apa yang diperbolehkan melintas.
D.2.1 Kapal-Kapal Asing Tidak Diperbolehkan Melaksanakan Kebebasan Bernavigasi
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, Cina telah menetapkan secara sepihak laut teritorial atas
gugusan pulau yang direklamasinya menjadi pulau-pulau buatan dimana hal ini bertentangan dengan
ketentuan pasal 60 ayat (8). Penetapan rezim laut teritorial atas pulau buatan ini akan berdampak pada
rights of navigation yang dimiliki setiap kapal asing. Hal ini dikarenakan rezim laut teritorial tidak
memperkenankan kapal-kapal asing melaksanakan hak dan kebebasan bernavigasinya, hanya berhak
untuk melakukan lintas damai yang dalam hal ini berbeda dengan prinsip kebebasan bernavigasi.

Pada zona laut teritorial, kapal-kapal asing mempunyai hak lintas damai yang diatur menurut
pasal 17 UNCLOS 1982. Hak lintas damai memungkinkan setiap kapal untuk melintasi laut
teritorial tanpa restriksi atau pembatasan dari negara pantai sepanjang memenuhi pasal 18
ayat 2 dan tidak bertentangan dengan pasal 19 ayat (2) UNCLOS 1982.
Menurut pasal 19 ayat (2) UNCLOS 1982, kapal-kapal asing yang masuk ke dalam laut
teritorial suatu negara bisa saja dianggap mengancam perdamaian, keamanan, dan ketertiban negara
pantai dan dianggap melakukan kegiatan-kegiatan diatas sehingga negara pantai berhak mengusir
kapal asing tersebut. Dengan demikian, Cina juga secara sepihak berhak mengusir kapal-kapal asing
yang masuk ke laut teritorial disekitar pulau-pulau buatan tersebut dengan anggapan kapal asing
tersebut menganggu dan mengancam keamanan, ketertiban, dan kedamaian negara pantai, dan
melakukan kegiatan-kegiatang yang dilarang menurut pasal 19 ayat (2) UNCLOS 1982. Hal ini
pernah terjadi ketika USS Lassen milik Angkatan Laut Amerika Serikat melintasi perairan dekat subi
reef dalam melaksanakan hak kebebasan bernavigasinya.28

27

Hal ini dapat dilihat pada deklarasi/pernyataan yang dikeluarkan Cina pada tanggal 25 Agustus 2006 setelah
melakukan ratifikasi UNCLOS 1982 berdasarkan keputusan bulat dari Standing Committee pada saat kongres
nasional ke-8 Republik Rakyat Cina. Adapun pernyataan tersebut ialah sebagai berikut :
d. Republik Rakyat Cina menegaskan kembali bahwa ketentuan Konvensi PBB tentang Hukum Laut mengenai
lintas damai melalui laut teritorial tidak akan mengurangi hak Negara pantai untuk meminta, sesuai dengan
undang-undang dan peraturan, sebuah asing Negara untuk memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari atau
memberikan pemberitahuan sebelumnya kepada Negara pantai untuk lewatnya kapal perangnya melalui laut
teritorial Negara pantai.
Sumber : United Nations, 2013, Declaration and Statement (Online), http://www.un.org/depts/los/convention
_agreements/convention_declarations.htm, (6 Juni 2016)
28
Glaser, Bonnie S. dan Dutton, Petter A., 2015, The U.S Navy’s Freedom of Navigation Operation Around
Subi Reef : Dechipering U.S Signaling (Online), http://nationalinterest.org/feature/the-us-navy%E2%80%99sfreedom-navigation-operation-around-subi-reef-14272, (29 Mei 2016)

10

USS Lassen yang merupakan kapal perang AL Amerika Serikat berlayar dan memasuki
perairan dekat subi reef yang oleh Cina dianggap sebagai perairan teritorialnya. Cina menuduh
bahwasannya kapal tersebut melakukan tindakan profokatif dengan di dalam 12 nm dari subi reef
yang oleh Cina dianggap sebagai perairan teritorialnya.29 Amerika serikat kemudian merespon melalui
Kepala Militer Amerika Serikat di Pasifik, Admiral Harry B. Harris mengatakan bahwasannya yang
dilakukan oleh USS Lassen merupakan suatu bentuk dan realisasi dari prinsip freedom of navigation
dan bukan merupakan sebuah provokasi terhadap Cina.30
Dari insiden diatas, bisa dilihat bahwasannya Cina menganggap perairan yang dimasuki oleh
USS Lassen tersebut merupakan perairan teritorialnya dan oleh kareanya Cina berhak mengusir (dan
kenyataanya Cina memang mengirimkan kapal perang dan kapal patroli untuk mengusir USS Lassen
keluar dari laut teritorial Cina)3132. Hal lain yang bisa dilihat terkait insiden diatas adalah bahwa
alasan Amerika Serikat terkait USS Lassen melaksanakan kebebasan bernavigasi sebagai haknya
memang dibenarkan menurut hukum internasional.
Hal ini dikarenakan Subi Reef merupakan pulau buatan dan menurut pasal 60 ayat (8) pulau
buatan tidak memiliki status pulau dan tidak mempunyai laut teritorialnya sendiri. Pulau buatan
memiliki zona keselamatan dengan lebar tidak lebih dari 500 meter yang diukur dari setiap titik
terluar. Zona keselamatan selebar 500 meter ini pun bukan merupakan perairan teritorial, hanya
sekedar instrumen yang diterapkan oleh negara pantai pemilik pulau buatan tersebut untuk menjaga
keselamatan pelayaran dan pulau buatan itu sendiri.
Amerika Serikat, selain berpegang pada pasal diatas, juga secara tidak langsung menyatakan
bahwa perairan yang dilewati oleh USS Lassen merupakan perairan internasional. Subi Reef sendiri
berlokasi di zona laut bebas dimana setiap negara berhak melaksanakan kebebasan bernavigasinya
sesuai ketentuan pasal 87 ayat (1) huruf a dan pasal 90 UNCLOS 1982. Tidak ada negara manapun,
meskipun itu negara pemilik pulau buatan yang berlokasi di laut bebas, melarang suatu kapal asing
berhak melaksanakan kebebasan bernavigasinya. Selain itu klaim Cina atas gugusan pulau yang
direklamasi tersebut dan klaim U-Dash Line secara umum belum mendapat pengakuan internasional,
dan yang terpenting, belum adanya keputusan hukum yang tetap yang dikeluarkan pengadilan
internsional atas klaim Cina tersebut. Oleh karena itu, wajar Amerika Serikat berhak melaksanakan
kebebasan bernavigasi melalui USS Lassen yang berlayar di perairan sekitar subi reef yang oleh Cina
dianggap sebagai perairan teritorialnya.
Namun demikian, walaupun klaim Cina atas laut teritorial yang menjadi bagian integral dari
pulau buatannya tidak diakui menurut hukum internasional, Cina tetap menganggap perairan tersebut
29

Ibid.
Ibid.
31
Blanchard, Ben dan Shalal, Andrea, 2015, Angry Cina shadows U.S. warship near man-made islands
(Online), http://www.reuters.com/article/us-southCinasea-usa-idUSKCN0SK2AC20151027, (29 Mei 2016)
32
Pada kenyataanya tindakan pengusiran yang dilakukan oleh Cina tersebut bertentangan dengan pasal 60
karena subi reef merupakan gugusan pulau yang telah direklamasi menjadi pulau buatan dan menurut ketentuan
pasal 60 ayat (8), pulau buatan tidak memiliki laut teritorialnya sendiri.
30

11

sebagai perairan teritorialnya. Oleh karenanya restriksi atas hak melaksanakan kebebasan bernaviasi
terhadap kapal-kapal asing akan tetap berlangsung di setiap perairan di sekitar gugusan pulau yang
direklamasi oleh Cina karena Cina menganggap perairan

di sekitar gugusan pulau tersebut

merupakan perairan teritorialnya. Bukan tidak mungkin Cina akan meminta setiap kapal asing yang
melintas untuk memberikan notifikasi dan harus meminta izin dari otoritas Cina setempat untuk bisa
melintasi dan berlayar melalui perairan yang dianggap Cina sebagai perairan teritorialnya. Apabila
kapal asing tersebut tidak memberikan notifikasi dan meminta izin, kemungkinan Cina akan mengusir
kapal asing tersebut seperti yang terjadi pada USS Lassen yang melaksanakan hak freedom of
navigation-nya di atas perairan tersebut.

D.2.2 Ketidakpastian Penerapan Rights of Navigation Di Perairan Sekitar Gugusan
Pulau Yang Direklamasi
Reklamasi yang dilakukan Cina atas gugusan pulau di Laut Cina Selatan berakibat
pada Cina menetapkan batas-batas maritim secara sepihak dan berujung pada konflik batas
maritim. Batas maritim ini ditetapkan lantaran diantara 7 gugusan pulau yang direklamasi dan
dijadikan pulau buatan oleh Cina, terdapat 5 gugusan pulau yang dijadikan base point.33 Dari
ke-5 gugusan pulau yang dijadikan base point tersebut, Johnson South Reef dan Hughes Reef
merupakan gugusan pulau yang direklamasi oleh Cina yang terletak di zona ekonomi
eksklusif Filipina.
Tentunya melalui kedua gugusan pulau yang dijadikan base point tersebut, Cina dapat
menarik garis pangkal dan menentukan batas maritimnya secara sepihak. Hal ini akan
menimbulkan sengketa antara Cina dan Filipina dikarenakan belum ditetuntakan dan
ditetapkannya batas-batas maritim kedua negara akibat penarikan garis pangkal dan
penentuan batas maritim yang dilakukan oleh Cina secara sepihak. Implikasi yang lebih jauh
yang akan timbul ialah munculnya ketidakpastian penerapan rights of navigation dalam hal
rezim mengenai lintas di zona yang tumpang tindih tersebut.
Ketidakpastian penerapan rights of navigation ini terjadi karena baik Cina maupun
Filipina berusaha untuk mempertahankan batas-batas maritim yang menurut mereka sah. Hal
ini bisa diketahui apabila kita melihat pada sudut pandang masing-masing negara. Filipina
tetap mempertahankan garis ZEE nya yang melingkupi Johnson South Reef dan Hughes Reef
(kedua gugusan pulau ini memang berada di dalam ZEE Filipina). Dengan demikian Filipina
beranggapan setiap kapal berbendera Filipina dan kapal asing dapat melewati dan berlayar di
perairan sekitar kedua gugusan pulau tersebut secara bebas. Rezim ZEE, menurut pasal 58
33

5 Gugusan Pulau yang direklamasi oleh Cina dan dijadikan base point terdiri dari Fiery Cross Reef, Subi Reef,
Hughes Reef, Cuarteron Reef dan Johnson South Reef.

12

ayat (1), memberikan kebebasan kepada setiap kapal negara manapun (termasuk kapal negara
pantai pemilik ZEE) untuk berlayar di zona ekonomi eksklusif negara pantai yang dalam hal
ini Filipina.
Dilain pihak, Cina secara sepihak bisa menetapkan zona laut pedalaman pada Johnson
South Reef dan Hughes Reef yang diikuti dengan penegakkan peraturan perundang-undangan
maritim Cina pada zona laut pedalaman tersebut. Dengan demikian, Cina beranggapan
bahwasannya di zona laut pedalaman disekitar kedua gugusan pulau tersebut, kapal-kapal
asing tidak memiliki rights of navigation sama sekali dan oleh karenanya dilarang untuk
berlayar diatasnya. Zona laut pedalaman merupakan zona laut yang terdiri atas laut disekitar
pelabuhan, sungai-sungai, danau-danau, kanal, dan juga termasuk perairan yang berdekatan
dengan daratan yang digunakan untuk mengukur garis pangkal.34 Pada zona laut pedalaman,
kapal-kapal asing tidak memiliki hak melaksanakan rights of navigation-nya. Hal ini
disebutkan dalam pasal 2 ayat (1) UNCLOS 1982 dimana kedaulatan negara pantai
mencakup, selain wilayah daratnya, juga perairan pedalaman, laut teritorial, dan perairan
kepulauan.35
Selain bisa menetapkan zona laut pedalaman, melalui Johnson South Reef dan Hughes
Reef yang telah direklamasi dan dijadikan pulau buatan dan base point, Cina secara sepihak
bisa menetapkan laut teritorial sejauh 12 nm atas kedua gugusan pulau tersebut. Hal ini
berarti kapal-kapal asing memiliki rights of navigation yang terbatas yaitu hanya bisa
mempergunakan hak lintas damainya, bukan kebebasan bernavigasi layaknya yang terjadi di
ZEE. Selain itu Cina juga bisa secara sepihak melarang kapal-kapal asing memasuki laut
teritorial disekitar kedua gugusan pulau yang direklamasi menjadi pulau buatan tersebut
dengan berbagai alasan.36
Dari kedua sudut pandang seperti yang sudah dijelaskan diatas muncul suatu
ketidakpastian penerapan rights of navigation di perairan sekitar kedua gugusan pulau
tersebut bagi kapal-kapal asing yang melintas. Kapal-kapal asing tersebut tidak pasti apakah
harus mengikuti peraturan yang dikeluarkan Cina atas laut disekitar kedua gugusan pulau
yang oleh Cina dianggap laut pedalaman dan laut teritorialnya ataukah bebas melakukan
pelayaran karena berada di ZEE Filipina.

34

Peter Malanczuk, Akehurst’s Modern Introduction to International Law, Routledge, London, 1997, Hlm
175.
35
J.G. Starke,. Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hlm 345.
36
Rose, Adam, 2015, Cina Warns U.S It Will Not Allow Violations of Its Waters (Online),
http://www.reuters.com/article/us-Cina-usa-southCinasea-idUSKCN0S30ND20151009, (9 Juni 2016)

13

Apabila kapal asing tersebut mengikuti ketentuan rezim ZEE Filipina, otoritas Cina
setempat bisa mencegat dan mengusir kapal asing tersebut untuk berlayar di laut pedalaman
atau laut teritorial sekitar kedua gugusan pulau tersebut. Sebaliknya apabila kapal asing
tersebut mengikuti peraturan maritim yang dikeluarkan Cina, kapal asing tersebut tidak dapat
melaksanakan rights of navigation-nya secara bebas. Cina sewaktu-waktu bisa mengusir
dengan alasan dapat mengancam perdamaian, keamanan dan ketertiban negara pantai.
Namun demikian, dari ketidakpastian rights of navigation diatas terlihat adanya
permasalahan klasik yang sering terjadi dalam hukum internasional yaitu terkait pertentangan
hubungan hukum nasional dan hukum internasional. Permasalahannya disini ialah apakah
harus mengikuti ketentuan hukum nasional Cina atau mengikuti hukum nasional ZEE
Filipina. Perlu diketahui juga bahwasannya Cina dan Filipina merupakan pihak yang
menandatangani UNCLOS 1982.37 Kedua bela pihak juga telah meratifikasi UNCLOS 1982
dimana Filipina meratifikasi pada tahun 1984 dan Cina meratifikasinya pada tahun 2006.38
Ditandatangani dan diratifikasinya UNCLOS 1982 oleh kedua belah pihak mencerminkan
bahwa kedua belah pihak mengikatkan diri pada UNCLOS 1982.
Dalam teori hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional, terdapat salah
satu aliran yang dinamakan aliran monisme primat internasional yang menyatakan bahwa
hukum internasional memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada hukum nasional dan
oleh karenanya hukum nasional tunduk pada hukum internasional.39 Tunduknya hukum
nasional atas hukum internasional didasarkan pada daya mengikatnya berasal dari negara itu
sendiri dimana negara-negara secara sukarela mengikatkan diri pada hukum internasional
yang mereka tandatangani.40
Menurut penjelasan teori diatas dan apabila kita melihat pada permasalahan diatas
terkait ketidakpastian rights of navigation, baik hukum nasional Filipina dan Cina
kedudukannya berada di bawah UNCLOS 1982. Antara hukum nasional kedua negara
tersebut dengan UNCLOS 1982 bisa saja tidak sejalan namun menurut hukum internasional,
hukum nasional tidak boleh dijadikan alasan pembenar dari suatu negara untuk melanggar
UNCLOS 1982. Dengan demikian, Cina bisa saja memiliki hukum nasional yang tidak
sejalan dengan UNCLOS 1982, namun hukum nasional Cina tidaklah bisa dijadikan alasan
pembenar untuk melanggar UNCLOS 1982.
37

Batongbacal, Jay, 2015, Arbitration 101 : Philippines V. Cina (Online), http://amti.csis.org/arbitration-101philippines-v-Cina/, (10 Juni 2016).
38
Ibid.
39
Dr. Boer Mauna, Hukum Internasional : Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Global, PT.
Alumni, Bandung, 2005, Hlm 12.
40
Ibid.

14

Dalam hal ini sudah bisa dipastikan bahwa Cina tidak berhak menerapkan hukumnya
terkait laut teritorial yang mengitari kedua gugusan pulau yang menjadi pulau buatan
tersebut. Hal ini dikarenakan gugusan pulau yang menjadi pulau buatan milik Cina tersebut
belum memiliki status hukum yang tetap yang dikeluarkan pengadilan internasional. Oleh
karenanya penetapan laut teritorial berdasarkan hukum nasional Cina secara sepihak
bertentangan dengan UNCLOS 1982. UNCLOS 1982 sendiri menjelaskan dalam pasal 60
ayat (8) bahwa pulau buatan tersebut tidak memiliki status pulau dan laut teritorialnya
sendiri.
Dengan demikian kapal-kapal asing, termasuk kapal asal Filipina dapat bebas
melintas disekitar perairan Johnson South Reef dan Hughes Reef karena hak mereka dijamin
oleh UNCLOS 1982. Hal ini dikarenakan UNCLOS 1982 mengakui garis ZEE Filipina
sejauh 200 nm yang mana Johnson South Reef dan Hughes Reef masuk di dalamnya dan
rezim ZEE mengakui kebebasan bernavigasi sesuai pasal 58 ayat (1). Oleh karenanya tidak
perlu terjadi suatu ketidakpastian rights of navigation di perairan sekitar Johnson South Reef
dan Hughes Reef.
Namun demikian, untuk saat ini setiap kapal asing perlu untuk mencermati setiap
keadaan di Laut Cina Selatan dan khususnya di perairan sekitar Johnson South Reef dan
Hughes Reef. Walaupun pemaksaan hukum nasional Cina atas penetapan secara sepihak laut
teritorial di sekitar Johnson South Reef dan Hughes Reef

tidak dibenarkan dan diakui

menurut UNCLOS 1982, namun pilihan paling logis dan rasional bagi kapal-kapal asing ialah
mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku di perairan sekitar kedua pulau buatan tersebut,
termasuk peraturan terkait rights of navigation yang dikeluarkan Cina. Cina juga memang
memiliki militer yang agresif dan merupakan big power untuk kawasan Laut Cina Selatan.41
Hal ini perlu dilakukan agar tidak timbul insiden-insiden yang tidak seharusnya terjadi dan
demi keselamatan dan keamanan awak kapal-kapal asing tersebut.

41

Heydarian, Richard Javard, 2016, Cina’s Aggressive Posture in South Cina Sea (Online),
http://www.aljazeera.com/indepth/opinion/2016/02/Cina-aggressive-posture-south-Cina-sea160221074036883.html, (10 Juni 2016)

15

E. PENUTUP
E.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas terkait reklamasi atas gugusan pulau yang dilakukan
Cina di Laut Cina Selatan menurut hukum internasional dan implikasi hukum dari reklamasi
atas gugusan pulau tersebut tehadap rights of navigation, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Cina melakukan reklamasi atas gugusan pulau untuk dijadikan pulau buatan di Laut
Cina Selatan dimana gugusan pulau yang direklamasi tersebut ada yang teletak di
zona laut bebas dan ada yang terletak di zona ekonomi eksklusif Filipina. Adapun
gugusan pulau yang direklamasi oleh Cina yang terletak di zona laut bebas adalah
Fiery Cross Reff, Cuarteron Reff, Subi Reff, dan Gaven Reef. Setelah dilakukan
penelitian melalui pengkajian terhadap pasal-pasal di UNCLOS 1982, diketahui
bahwa reklamasi atas keempat gugusan pulau tersebut dengan mendirikan pulau
buatan dan instalasi militer diatasnya adalah ilegal dan bertentangan dengan pasal 60
ayat (8), pasal 88, dan pasal 89 UNCLOS 1982.
Selain melakukan reklamasi di keempat gugusan pulau tersebut yang terletak di zona
laut bebas, Cina juga mereklamasi 3 gugusan pulau lainnya yang terletak di dalam
ZEE Filipina. Adapun ketiga gugusan pulau itu ialah Mischief Reef, Johnson South
Reef, dan Hughes Reef. Setelah dilakukan penelitian melalui pengkajian terhadap
pasal-pasal di UNCLOS 1982 diketaui reklamasi atas ketiga gugusan pulau tersebut
dengan mendirikan pulau buatan dan instalasi militer diatasnya adalah ilegal.
Reklamasi di ketiga gugusan pulau tersebut bertentangan dengan 56 ayat (1) , 60 ayat
(1), 58 ayat (2) juncto pasal 89 dan pasal 60 ayat (8).
2. Tindakan reklamasi yang dilakukan oleh Cina atas ketujuh gugusan pulau tersebut
menimbulkan implikasi hukum terhadap rights of navigation di perairan sekitar
gugusan-gugusan pulau tersebut. Adapun implikasi hukum terhadap rights of
navigation di perairan sekitar gugusan-gugusan pulau tersebut ialah kapal – kapal
asing tidak diperbolehkan melaksanakan kebebasan bernavigasinya. Hal ini
dikarenakan Cina menetapkan secara sepihak laut teritorial atas gugusan pulau yang
direklamasinya menjadi pulau-pulau buatan.
Tentunya ini bertentangan dengan ketentuan pasal 60 ayat (8) sehingga kapal-kapal asing
yang lewat tidak diperbolehkan melaksanakan kebebasan bernavigasinya oleh Cina. Hal ini
pernah terjadi ketika USS Lassen melaksanakan kebebasan bernavigasinya di perairan sekitar
16

Subi Reef yang oleh Cina diklaim sebagai perairan teritorialnya, padahal Subi Reef terletak di
zona laut bebas dan menurut pasal 87 ayat (1) huruf a, setiap kapal negara manapun bebas
melakukan pelayaran di laut bebas.

Selain kapal – kapal asing tidak diperbolehkan melaksanakan kebebasan
bernavigasinya, adapun implikasi hukum lainnya adalah munculnya ketidakpastian
penerapan rights of navigation di di perairan sekitar gugusan pulau yang direklamasi
tersebut. Munculnya ketidakpastian ini berlaku di gugusan pulau yang direklamasi
Cina yang letaknya di ZEE Filipina, yaitu di Johnson South Reef dan Hughes Reefi.
Di kedua gugusan pulau itu Cina menetapkan laut teritorialnya secara sepihak
sehingga kapal-kapal asing yang melewati tidak pasti apakah harus mengikuti hukum
maritim Cina atau bebas melewati perairan tersebut karena dijamin oleh hukum
nasional ZEE Filipina.

E.2 Saran
1. Bagi Pemerintah Indonesia
Saran bagi pemerintah Indonesia untuk tetap memposisikan diri sebagai pihak yang netral
dalam artian tidak mendukung maupun menolak klaim Cina atas ketujuh gugusan pulau
yang telah direklamasi dan dijadikan pulau buatan tersebut. Indonesia disini memiliki
posisi yang strategis karena merupakan satu-satunya negara besar di kawasan Asia
Tenggara dan juga Indonesia berpengalaman sebagai penengah suatu konflik. Jadi dengan
demikian Indonesia, selain tetap memposisikan diri sebagai pihak yang netral, Indonesia
juga harus tetap memposisikan diri sebagai pihak penengah konflik Laut Cina Selatan dan
melobi pihak-pihak yang bersengketa untuk tidak menimbulkan ketegangan baru dan
memunculkan insiden-insiden yang bisa merusak perdamaian di Laut Cina Selatan.
2. Bagi Perusahaan Pemilik Kapal
Bagi perusahaan pemilik kapal yang kapalnya menggunakan Laut Cina Selatan sebagai
jalur navigasi untuk perdagangan untuk selalu mencermati setiap perkembangan di Laut
Cina Selatan pada umumnya, dan perairan di sekitar tujuh gugusan pulau yang direklamasi
oleh Cina pada khususnya. Selain itu perlu juga untuk mematuhi sementara waktu hukum
maritim nasional Cina yang diterapkan atas perairan disekitar gugusan pulau tersebut. Hal
ini perlu dilakukan untuk menghindari insiden seperti yang pernah dialami oleh USS
Lassen ketika melaksanakan kebebasan bernavigasinya. Walaupun dalam UNCLOS setiap
17

kapal diberik kebebasan berlayar melewati laut bebas dan perairan ZEE, namun karena
Cina merupakan big power dan memiliki kekuatan militer yang kuat, maka pilihan paling
logis dan rasional adalah untuk mematuhi hukum nasional maritim Cina sementara waktu
sampai ditetapkannya keputusan oleh pengadilan internasional atas status Laut Cina
Selatan dan ketujuh gugusan yang direklamasi oleh Cina tersebut.

18

F. DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Hancox, David dan Prescott, Victor, Clive Schofield (Ed), 1995, A Geographical Description
of the Spratly Islands and an Account of Hydrographic Surveys Amongst Those
Islands, International Boundaries Research Unit, Department of Geography,
University of Durham, Durham.
Malanczuk, Peter, 1997, Akehurst’s Modern Introduction to International Law, London,
Routledge.
Mauna, Dr. Boer, 2005, Hukum Internasional : Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam
Era Global, Bandung, PT. Alumni.
Schofield, Clive, 2013, What's at stake in the South Cina Sea? Geographical and
geopolitical considerations, New South Wales, Edward Elgar Publishing.
Starke, J.G., 2010, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta, Sinar Grafika.
Jurnal :
Dadang Sobar Wirasuta, Keamanan Maritim Laut Cina Selatan : Tantangan dan
Harapan, Jurnal Pertahanan, Volume 3 Nomor 3, Universitas Pertahanan Indonesia,
Sentul, 2013
Robert Beckman, The South Cina Sea : the evolving dispute between Cina and her
maritime neighbours, Volume 21 Nomor 3, National University Singapore, Singapore,
2013.
Peraturan – Peraturan Internasional :
Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (United Nation Convention on the Law of the Sea 1982)
Makalah Seminar :
Dr. Su Hao, Maritime Resources in the South Cina Sea and Cina’s Management in the
International Legal Context, makalah disajikan dalam 7th Berlin Conference on Asian
Security, Stifung Wissenchaft und Politik (SWP) dan Konrad-Adenauer-Stiftung
(KAS), Berlin, 1-2 Juli 2013.
Internet :
Asia Maritime Transparency Initiative, Mischief Reef Trackers
http://amti.csis.org/mischief-reef-tracker/, (18 Maret 2016), 2015.
Asia

Maritime
Transparency
Initiative,
Hughes
Reef
http://amti.csis.org/hughes-reef-tracker/, (19 Maret 2016), 2015.

Tracker

(Online),
(Online),

19

AFP dan Delizo, Michael Joe T., Cina Expands Presence, Opens Lighthouse in Subi Reef
(Online),
http://www.manilatimes.net/Cina-expands-presence-opens-lighthouse-insubi-reef/254562/ (18 Maret 2016), 2016.
Batongbacal, Jay, Arbitration 101 : Philippines V. Cina (Online), http://amti.csis.org/arbitration101-philippines-v-Cina/, (10 Juni 2016), 2015.

Blanchard, Ben,
Cina: U.S. patrol in South Cina Sea harmed trust (Online),
http://cnnphilippines.com/world/2015/11/06/Cina-united-states-patrols-south-Cinasea.html, (14 April 2016), 2015.
Blanchard, Ben dan Shalal, Andrea, Angry Cina shadows U.S. warship near man-made
islands
(Online),
http://www.reuters.com/article/us-southCinasea-usaidUSKCN0SK2AC20151027, (29 Mei 2016), 2015.
Heydarian, Richard Javard, Cina’s Aggressive Posture in South Cina Sea (Online),
http://www.aljazeera.com/indepth/opinion/2016/02/Cina-aggressive-posture-southCina-sea-160221074036883.html, (10 Juni 2016), 2016.
Sevastopulo, Dimitry dan Harris, Bryan, US Warship Sails Near Chinese-Claimed Reef in
South Cina Sea (Online), http://www.ft.com/cms/s/0/d4d06d54-1672-11e6-b197a4af20d5575e.html#axzz4C2myYUTz, (19 Juni 2016), 2016.
United Nations, Declaration and Statement (Online),http://www.un.org/depts/los/convention
_agreements/convention_declarations.htm, (6 Juni 2016), 2013.
Watkins, Derek, What Cina Has Been Building in The South Cina Sea (Online),
http://www.nytimes.com/interactive/2015/07/30/world/asia/what-Cina-has-been-build
ing-in-the-south-Cina-sea.html (19 Juni 2016), 2015.

20