Resistensi dan Dualitas Struktur Radio

Resistensi dan Dualitas Struktur Radio Komunitas1
Gilang Desti Parahita, SIP
November 2012
MAKALAH ini berupaya mengikuti jejak Howley (2005) yang mengisi kurangnya perhatian
para pemikir ekonomi politik terhadap media partisipatoris yang berorientasi kepada
kepentingan level mikro seperti komunitas. Menurut Howley (2005:38), analisis terhadap
situs lokal seperti media komunitas dapat menerangkan proses pertukaran pesan dan
pengaruh (yang tidak setara) antara media komunitas dan media arus utama serta
korporasi media transnasional. Eksistensi media komunitas menjadi lensa untuk melihat
proses dialektika antara struktur-struktur media nasional dan global serta pengalaman
keseharian komunitas lokal.
Pendekatan Howley (2005) tersebut memberi inspirasi baru pada cara pandang atas
media komunitas. Alih-alih memandang media komunitas seperti radio komunitas sematamata sebagai teknologi komunikasi yang berdampak pada kehidupan masyarakat, media
komunitas merupakan struktur yang membentuk dan dikontruksi oleh komunitas. Artinya,
kehidupan keseharian komunitas yang dimaksud merupakan titik masuk untuk melihat
dialektika struktur media komunitasdan kehidupan komunitas. Bagaimana suatu
masyarakat

akhirnya

memilih


suatu

jenis

media

untuk

sarana

komunikasi

komunitasnyamerupakan bukti awal bahwa komunitas melakukan konstruksi atas
teknologi. Terbitan cetak, radio, televisi dan portal komunitas tidak serta merta muncul di
tengah komunitas melainkan didahului dengan proses dialektika yang membentuk suatu
keputusan mengapa suatu bentuk media dipilih.
Di Indonesia, radio komunitas menjadi salah satu media yang dimanfaatkan banyak
komunitas. Banyak penelitian mengenai radio komunitas di Indonesia membahas
bagaimana program siaran radio ituberimplikasi pada pembentukan identitasdan ekspresi

budaya (Suryadi, 2005; Sujoko, 2011), perubahan di masyarakat (Nugroho, 2011; Maryani,
2011), penguatan transparansi pemerintahan desa (Hollander, 2008) dan demokratisasi

1

Sedang dikembangkan. Mohon untuk tidak mengutip tanpa seizin penulis. Penulis dapat dihubungi di
parahita.gilang@gmail.com

1|Page

akar rumput (Birowo, 2006). Penelitian-penelitian tersebut telah menangkap kuatnya
upaya komunitas lokal untuk menghadirkan informasi yang relevan bagi dan representasi
yang adil atas komunitas lokal di luar arus utama informasi.
Tanpa mengurangi nilai pentingnya, penelitian-penelitian tersebut kurang memberi
bobot pada proses dialektika yang terjadi antara komunitas (maksud, tujuan, kebutuhan,
kuasa) dengan struktur radio komunitas (yang mewujud dalam bentuk sistem seperti
teknologi, sistem pengelolaan, sistem regulasi dan sistem media arus utama secara umum).
Padahal dengan melihat proses dialektika tersebut, ekonom politik dapat melihat
hambatan-hambatan maupun peluang-peluang yang secara nyata dihadapi komunitas
dalam meningkatkan kualitas hidup komunitas tersebut maupun dalam memperbaiki

struktur radio komunitas. Selain itu, subjek penelitian umumnya adalah komunitaskomunitas yang identitas dan kepentingannya terbentuk secara geografis padahal banyak
radio komunitas yang terbentuk karena faktor-faktor kesamaan kepentingan, praktek dan
kultural (Carpentier, et.al., 2008:10) sehingga proses dialektika yang terjadi terbatas antara
radio komunitas dan masyarakat yang terikat geografis tertentu.
Makalah ini bermaksud untuk menawarkan cara lain dalam memandang media
komunitas dengan menyusun basis untuk melihat bagaimana anggota komunitas
mengkomunikasikan kepentingannya melalui radio komunitas dan mengkonstruksi radio
komunitas; serta bagaimana radio komunitas membentuk aksi dan interaksi komunitas
tersebut. Pendekatan ekonomi politik dengan titik masuk strukturasi akan dijabarkan
untuk membangun basis tersebut. Sekali lagi, alih-alih membahas strukturasi media pada
arus utama, pendekatan ekonomi politik akan diarahkan untuk menempatkan radio
komunitas pada strukturasi yang terjadi di komunitasberupa resistensi.
Secara khusus, makalah ini akan mengangkat komunitas buruh perempuan yang
diikat oleh kesamaan kepentingan alih-alih geografis sebagai subjek, yaitu kepentingan
melawan struktur pengupahan dan relasi gender, dalam menggunakan radio komunitas
Marsinah FM yang terletak di Cakung, Jakarta Utara. Dengan demikian, makalah ini
berupaya untuk menyusun basis-basis pemahaman dalam mencermati bagaimana dualitas
struktur radio komunitas dan buruh perempuan, dengan kata lain, bagaimana radio
komunitas membentuk dan dibentuk agensi dan kuasa kaum buruh perempuan. Sehingga,
tulisan ini tidak akan menjawab bagaimana sesungguhnya dualitas struktur radio

2|Page

komunitas dan buruh perempuan, melainkan hanya meramalkannya melalui pendalaman
pustaka dan wawancara terhadap aktivis Radio Komunitas (Rakom) Marsinah FM.
Pendekatan Ekonomi Politik dan Strukturasi
Sistem media merupakan cerminan struktur ekonomi dan politik suatu
masyarakat. Bertolak dari asumsi tersebut, pendekatan ekonomi politik terhadap media
dan komunikasi dibutuhkan untuk: menghubungkan bagaimana sistem dan konten media
dan komunikasi dibentuk oleh kepemilikan, struktur pasar, dukungan komersial, teknologi,
praktek-praktek perburuhan, kebijakan pemerintah, relasi-relasi dalam masyarakat dan
seterusnya. Dalam hal ini, Mosco (2009:4) menegaskan:
...the political economist asks: How are power and wealth related and how are these
in turn connected to cultural and social life? The political economist of
communication wants to know how all of these(kuasa dan kapital, -pen) influence
and are influenced by our systems of mass media, information, and entertainment.

Bermula dari asumsi tersebut, Mosco (2009) menawarkan strukturasi (selain
komodifikasi dan spasialisasi) sebagai salah satu pintu masuk untuk memaham ekonomi
politik media.
Strukturasi adalah proses di mana struktur dibentuk oleh agensi atau keagenan

(agency) manusia, bahkan ketika struktur merupakan medium dari pembentukan itu
(Mosco, 2009:186). Sistem dalam masyarakat dan individu saling membentuk satu sama
lain. Mosco menggunakan sebagian pemikiran strukturasi dari Giddens (1984) untuk
menjelaskan strukturasi. Mosco bersepakat pada Giddens dalam hal:

a. Struktur sebagai dualitas;
Strutur dan agen bukanlah dualisme, dua entitas yang hadir bersamaan namun
independen, melainkan dualitas, yaitu dua entitas yang membentuk satu sama lain
(recursive). Giddens (1984:25) menyebut dualitas struktur sebagai propertiproperti struktural dari suatu sistem sosial yang menjadi medium dan sekaligus
hasil dari praktek-praktek (agensi). Struktur tidak selalu mengekang melainkan juga
memberi peluangberlangsungnya keagenan. Dengan kata lain, membaca praktekpraktek sosial tidak bisa tanpa merujuk pada struktur karena keduanya memiliki
3|Page

hubungan dialektis. Mosco (2004:186) melihat rules and resources dalam struktur
Giddens dengan: rules sebagai penghambat dan resources sebagai pelicin keagenan.
Agensi dimaknai Mosco (ibid) sebagai individu-individu atau aktor-aktor sosial yang
mana tingkah lakunya dibentuk oleh nexus relasi-relasi dan posisi-posisi sosial
seperti kelas, ras, dan gender.

b. Perubahan sosial;

Gagasan Giddens (1984:xxvii) membuka peluang bagi berlangsungnya perubahan
sosial di dalam dualitas struktur karena menurutnya ilmu-ilmu sosial tidak bisa
memberlakukan hukum universal atas tingkah laku manusia. Tingkah laku manusia
memiliki sejarah yang berbeda satu sama lain dan sejarah itu sendiri merupakan
hasil maupun pengaruh dari aksi manusia. Perubahan sosial, oleh Giddens (ibid)
kemudian dimaknai sebagai proses skala besar di mana reorganisasi institusional
terjadi. Mosco (2004:186) menyetujui gagasan itu dengan menyatakan kita perlu
memeriksa

hubungan

antara

kecenderungan

agen

memelihara

struktur


(terpeliharanya struktur) dan perubahan sosial yang tak terelakkan (transmutasi
struktur).

c. Refleksivitas agen ataua ktor.
Menurut Giddens (1984:5), aktor memilki kemampuan untuk mengawasi aktivitas
mereka sendiri dan yang lainnya, juga secara rutin memonitor aspek-aspek sosial
dan fisik dari konteks di mana mereka bergerak. Melalui rasionalisasi aksi, aktoraktor dapat menjaga‘pemahaman-pemahaman teoritis’ atas aktivitas-aktivitas

mereka (ibid). Rasionalisasi aksi tidak sama dengan kemampuan memberikan

alasan bagi setiaptindakan, tetapi aktor dapat menjelaskan apa yang mereka
lakukan, hanya jika ditanya (Giddens, 1984:6). Pemikiran Giddens tersebut
dipahami Mosco (2004:186) bahwa dengan adanya kemampuan manusia untuk
merefleksikan tindakannya, struktur tidaklah selalu dapat mengatur dan
mengungkungtiap tindakan manusia.

4|Page

Meski pada poin-poin disebut di atas Mosco sepakat dengan Giddens, Mosco

mengkritik konsepsi strukturasi Giddens yang tidak konsisten dan dari kacamata ekonomi
politik, strukturasi Giddens terputus dari pemahaman atas kuasa dan pendekatan kritis
atas masyarakat (2009:187). Dengan kata lain, dualitas struktur Giddens hanya mampu
melihat bagaimana struktur bekerja melalui agensi dan tindakan sehari-hari (how) namun
tidak mempertanyakan mengapa tercipta struktur dan agensi yang demikian (why), atau
lebih spesifiknya kuasa tidak dilihat sebagai faktor yang berperan dalam pembentukan
sirkuit reproduksi sosial. Selain itu, karena penekanan Giddens adalah pada agensi
individual, banyak yang tak mengerti pandangan Giddens mengenai struktur selain
seperangkat operating rules dan store of resources yang digunakan agen untuk meraih
kebutuhannya (ibid).
Terlepas dari kekurangan pendekatan strukturasi, pendekatan strukturasi
dipadukan dengan ekonomi politik untuk menganalisis fenomena media dan komunikasi.
Ekonomi politik, menurut Mosco (ibid) memberikan perhatian lebih pada relasi kuasa
sehingga jika pemahaman (makro) tersebut diinkorporasi dengan strukturasi, sehingga
strukturasi dalam ekonomi politik akan mampu melihat bagaimana kuasa (makro)
beroperasi pada tataran pembentukan (constitutive) dan interaksi (interactive) atau mikro.
Pendalaman ketidaksetaraan relasi pada fenomena komunikasi dan media perlu
dilakukan dari titik yang berbeda. Alih-alih melihat strukturasi pada media-media arus
utama, dalam makalah ini penulis mengambil jalan memutar (perspektif subordinat) untuk
memotret dualitas struktur media dan struktur sosial melalui pencermatan atas agensi dan

kuasa buruh perempuan dalam radio komunitas.
‘Resistensi’ dan Dialektika Kontrol
Pada bagian ini, penulis memaparkan konsep resistensi dan dialektika kontrol.
Pemaparan ini dimaksudkan untuk menelusuri di manakah konsep tersebut berada pada
Teori Strukturasi.
Bagi Mosco (2009), resistensi dan oposisi merupakan bagian penting dari agensi
aktor pada dualitas struktur kelas, ras, gender, dan hegemoni. Menurutnya, resistensi
merupakan kemungkinan yang tak terelakkan dalam strukturasi selain aksi sosial karena
struktur seperti kelas tidak hanya bersifat kategorikal, melainkan formasional dan
relasional sehingga selalu terjadi perubahan (Mosco, 2009:191). Melalui apakah perubahan
5|Page

itu? Salah satunya adalah resistensi. Struktur-struktur seperti kelas, ras, dan gender
berpotongan satu sama lain dalam proses strukturasi, riilnya pada suatu gerakan sosial
yang mengorganisasi energi mereka untuk melakukan resistensi terhadap struktur kelas
termasuk hegemoni). Misalnya, gender dan kelas menjadi basis oposisi dan resistensi pada
kaukus perempuan operator telepon yang berupaya untuk mendapatkan upah dan
lingkungan kerja lebih baik (Mosco, 2009:198).
Istilah “resistensi” itu memiliki beragam makna namun secara umum istilah itu


menggambarkan suatu bentuk kuasa dari individu atau sekelompok orang yang dilakukan

secara diskursif, memiliki moda, skala, level koordinasi, target, dan tujuan tertentu, serta
berbasis politik ataupun identitas untuk menjadi oposisi (Hollander dan Einwohner, 2004)
namun makna dari istilah resistensi itu tidak sepenuhnya secara utuh disepakati. Hollander
dan Einwohner (2004) melakukan studi pustaka atas penggunaan istilah resistensi pada
berbagai disiplin untuk melihat konsistensi dan inkonsistensi pembentuk elemen
resistensi. Menurut mereka, aksi dan oposisi merupakan elemen inti dari resistensi.
Resistensi tidak hanya dipahami secara kualitatif melainkan dengan pembuktian yaitu
adanya aksi yang beroposisi dengan sesuatu hal (ibid) .Elemen lain resistensi adalah
rekognisi dan intensi yang mana banyak pemikir memiliki beragam pandangan atas kedua
hal itu (ibid).Dalam hal rekognisi dan intensi, Hollander dan Einwhoner (2004:539-544)
mencatat perdebatan utama para akademisi dalam mendefinisikan resistensi yaitu
haruskah sesuatu hal untuk disebut resistensi, hal itu disadari aktor dan direkognisi oleh
target atau observer?
Pentingnya intensi dan rekognisi dalam pertimbangan sejumlah akademisi atas
definisi resistensi mengindikasikan adanya derajat kesadaran atas tindakan (resistensi
atau tidak) yang dilakukan aktor, sementara rekognisi adalah derajat kesadaran target atau
pengamat bahwa tindakan aktor merupakan resistensi. Dengan demikian, adanya derajat
kesadaran aktor, target maupun pihak lain menunjukkan bahwa suatu tindakan aktor bisa

berarti resistensi terlepas aktor menyadarinya atau tidak selama tindakan itu
‘mengganggu’ sesuatu hal yang lebih diterima di arus utama. Elemen intensi dan rekognisi

pada resistensi tersebut mengingatkan pada konsep ketidaksadaran, kesadaran diskursif
dan kesadaran praktek menurut Giddens.

6|Page

Gagasan

kesadaran praktek merupakan titik sentral dalam memahami agensi.

Kesadaran praktis adalah pengetahuan praktek sosial sehari-hari yang ada di kepala aktor
(1984:xxii). Kesadaran praktek ini mencakup hal-hal sehari-hari yang diterima aktor apa
adanya (taken for granted) yang mengarahkannya untuk bertindak. Kesadaran yang
digunakan untuk ‘go on’ sehari-hari itu memiliki tatanan yang berbeda dari kesadaran

diskursif sedangkan kesadaran diskursif adalah pengetahuan yang dapat diartikulasikan
oleh aktor (1984:45). Tatanan sosial, merupakan konsekuensi dari kesadaran praktek dari
aktor sebab tindakan sehari-hari yang repetitif dan rutin inilah yang membentuk institusi
sosial tanpa harus diintensi (intentional act) untuk menjadi institusi sosial. Sementara itu,

ketidaksadaran (unconscious motives) merupakan sumber dari dorongan-dorongan yang
harus dikendalikan. Kesadaran diskursif dan praktek memiliki batas yang tipis, bisa
ditembus, membentuk aliran informasi; sementara ketidaksadaran dengan kesadaran
praktek dibatasi dengan garis represif. Giddens menggambarkannya sebagai berikut:

discursive consciousness

practical consciousness

unconscious motives/cognition

Gambar 1. Hubungan kesadaran

Konsep-konsep Giddens tersebut tentu saja tidak lantas kompatibel, cocok hingga ke
tiap sudut, dengan multimakna resistensi yang dirangkum oleh Hollander dan Einwohner
(2004). Dalam konsep resistensi Hollander dan Einwohner (2004) tersebut, suatu tindakan
bisa disebut resistensi oleh target atau pengamat meski aktor tidak menyadarinya atau
tidak bermaksud melakukan intensi. Sedangkan Teori Strukturasi Giddens mengesankan
suatu tindakan “untuk menjadi berbeda”, atau “keluar dari alur rutinitas yang dikondisikan

oleh struktur”, aktor perlu mengakses kesadaran prakteknya menjadi kesadaran diskursif.

Minimal, aktor harus tahu tindakan yang ia lakukan itu “berbeda dari yang seharusnya”.

Aktor yang kompeten bahkan bisa mengakses ketidaksadarannya dengan merefleksikan
7|Page

rutinitas sebelumnya lalu mentranformasi kesadaran prakteknya (dengan berupaya
mengubah aktivitas sehari-hari dan dirutinkan) serta mengartikulasikannya. Di sinilahagen
membentuk struktur melalui agensi yang pada derajat tertentu dipandang sebagai
resistensi. Derajat di sini termasuk besaran konflik yang terjadi antara agen individual atau
kolektif yang menginginkan –meminjam istilah Orlikowski (2000)— “transformasi” dengan

agen lain yang menginginkan “penguatan” (reinforcement) strukur atau sistem, atau

sebaliknya, mempertahankan struktur dan melawan upaya arus utama perubahan yang
sedang terjadi.
Dualitas Marsinah FM dan Buruh Perempuan
Pada bagian ini, penulis akan menunjukkan penerapan Teori Strukturasi Giddens
pada fenomena komunikasi buruh perempuan melalui radio komunitas untuk
menunjukkan bagaimana agensi buruh perempuan

mampu mengkonstruksi sekaligus

dibentuk Marsinah FM.
Pada diskursus akademik radio

maupun media komunitas internasional, para

akademisi media dan aktivis media komunitas telah menyepakati pentingnya kehadiran
media komunitas pada suatu sistem komunikasi di suatu masyarakat. Secara umum peran
media komunitas bagi masyarakat adalah untuk (Howley, 2005; Fuller, 2007; Bailey,
et.al.:2008; AMARC Afrika 2008):
Membuka peluang bagi komunitas untuk mengkomunikasikan, mengekspresikan,
dan menginformasikan diri mereka, serta mendapat informasi, berdialog dengan
komunitas yang lain, dan membentuk jaringan komunitas;
Mendukung perjuangan masyarakat dalam mengurangi ketidaksetaraan dan
memperluas partisipasi komunitas dalam produksi dan diseminasi informasi baik
pada level lokal, nasional, dan transnasional;
Melakukan peran-peran tersebut di atas dengan membebaskan diri dari
kepentingan maupun intervensi politik dan komersial sehingga memperkecil
peluang terjadinya misrepresentasi, stigmatisasi, represi, keseragaman aspirasi dan
identitas, dominasi, bias politik, dan bias komersial.

8|Page

Fungsi media komunitas secara umumyaitu untuk membuka sebesar-besarnya
peluang pemerataan sumber daya termasuk komunikasi menunjukkan bahwa sumber daya
komunikasi selama ini banyak dikuasai oleh kepentingan-kepentingan kelompok
masyarakat arus utama, sebagaimana juga yang terjadi di Indonesia (Rianto, 2012). Ketika
sumber daya komunikasi dikuasai oleh kelompok dominan, upaya kaum tertindas untuk
mendobrak struktur-struktur sosial yang tidak adil akan sulit diwujudkan. Affirmative
action dengan menyediakan frekuensi-frekuensi khusus untuk komunitas merupakan salah
satu upaya untuk memperkecil ketimpangan akses komunikasi.
Di Indonesia, radio komunitas diakui dalam sistem penyiaran nasional. Melalui UU
Penyiaran RI No. 32 Tahun 2002, Indonesia mengenali empat jenis lembaga jasa penyiaran,
yaitu lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas,
dan lembaga penyiaran berlangganan. Undang-undang Penyiaran RI No.32 Tahun 2002
memang masih memaknai radio komunitas sebagai radio yang terikat secara geografis,
yaitu radio yang ditujukan untuk komunitas yang berada dalam jangkauan siaran 2,5 km.
Oleh karena itu, radio-radio komunitas yang berkembang di Indonesia masih berbasis
komunitas geografis. Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP) dengan Marsinah FM semula
bermaksud mengadvokasi kesejahteraan buruh perempuan dan kesetaraan gender melalui
Rakom Marsinah FM, namun ketentuan tersebut membuat mereka hanya bisa bersiaran
pada lingkungan terbatas meski pegiat-pegiat Marsinah FM maupun target sasaran
pendengarnya banyak yang berdomisili di luar jangkauan.
Radio Marsinah FM merupakan radio komunitas berlokasi di Cakung, didirikan oleh
salah beberapa orang aktivis Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP) yaitu Jumisih (ketua),
Dian Septi (sekretaris) dan Atin (bendahara)2. Populasi buruh perempuan yang bekerja
pada pabrik-pabrik garmen dan tekstil di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) di Cakung
adalah sebanyak 90 % sehingga berdirinya FBLP pada 2010 dengan pengurus perempuan
dan anggota kebanyakan perempuan dirasakan oleh Dian sebagai konsekuensi yang
alamiah.

2

Dari ketiga pengurus tersebut, Dian satu-satunya aktivis yang mengenyam pendidikan sarjana, bukan
buruh, namun cukup ‘senior’ dalam gerakan dan advokasi buruh di Indonesia. Sementara Jumisih dan
Atin adalah buruh pada salah satu pabrik di KBN Cakung.
9|Page

Semenjak berdirinya FBLP, ketiga pengurus FBLP yang telah melek gender tersebut
berencana mendirikan radio komunitas. Dari titik ini saja kita dapat melihat bahwa radio
tersebut telah diniatkan sebagai arah radio aktivisme. Menurut Dian, media radio
dirasakan lebih efektif dalam menyebarluaskan pesan kesetaraan kepada komunitas buruh
perempuan di Cakung daripada media newsletter. Pernyataan Dian menunjukkan adanya
kesadaran aktivis FBLP untuk menggunakan media sebagai alat untuk mengajak lebih
banyak lagi warga untuk ikut aktif dalam perubahan sosial (Waltz, 2005) dan radio
komunitas tersebut mereka harapkan mampu menyuarakan resistensi mereka terhadap
ketidakadilan yang mereka alami (Bailey, et.al., 2007). Selain itu, Dian menegaskan selama
ini media-media arus utama tidak membuat peliputan yang berimbang terhadap aksi dan
gerakan buruh sehingga radio tersebut diharapkan bisa menjadi informasi alternatif atau
informasi tandingan, suatu kecenderungan khas media gerakan (Porta dan Diani, 2006).
Dalam proses perizinan pendirian rakom, alih-alih mengakui sebagai sebuah
organisasi, Dian dan tim menyampaikan bahwa mereka adalah komunitas buruh
perempuan di Cakung dalam proposalnya. Pendanaan inisial berasal dari hibah yayasan
Cipta Media Bersama yang segera tandas untuk mengongkosi pembelian perlengkapan dan
peralatan siaran dan mengontrak rumah sebagai stasiun radio. Pada tengah 2012, Marsinah
FM mulai mengudara. Saat ini radio tersebut digawangi oleh 23 orang penyiar yang
semuanya adalah buruh perempuan. Bagaimana buruh perempuan yang tak memiliki latar
belakang broadcasting mampu mengoperasikan peralatan penyiaran dan melakukan
siaran? Komunitas tersebut meniadakan segala bentuk formalitas pembelajaran. Menurut
Dian, teknologi tersebut diperkenalkan dan dimanfaatkan laiknya mainan baru oleh rekanrekannya. “Jika mereka beajar dengan gembira dan tanpa tekanan, teman-teman akan
cepat belajar,” tutur Dian. Hanya saja, ia membuat aturan bahwa jika peralatan itu rusak,

mereka diharuskan memperbaiki atau mengganti. Perlahan tapi pasti, para buruh penyiar
itu mulai menguasai peralatan penyiaran. Lebih dari itu, para buruh perempuan tersebut
mulai mempelajari public speaking dan teknik jurnalistik secara lebih terstruktur melalui
pelatihan-pelatihan yang diberikan oleh para penyiar Kantor Berita Radio 68 H.
Gambar 1 menerapkan strukturasi Giddens dengan mengadaptasi pemahaman
Orlikowski (2000) atas Giddens. Bagian-bagian dalam bagan tersebut seperti pada
Fasilitas, Norma, dan Skema Interpretasi bersifat hipotetis. Orlikowski (2000)
10 | P a g e

mengadaptasi pemikiran Giddens tentang dualitas struktur tersebut dalam model
“technology in practice” yang ia kreasi (tidak ditampakkan di sini). Teknologi hanyalah

artefak, ia menjadi struktur yang mencakup rules and resources ketika agen
menggunakannya secara rutin dan repetitif sehari-hari (Orlikowski, 2000:4). Pada gambar
1, fasilitas, norma, dan skema interpretif ditempatkan sebagai tiga dimensi struktur yang
membentuk dan dibentuk agensi (ibid) yaitu fasilitas, norma dan skema intepretif. Ketiga

dimensi tersebut sesungguhnya berlangsung simultan. Akan tetapi, untuk memudahkan
narasi, berdasarkan wawancara dengan pegiat Marsinah FM, penulis menemukan pola tiga
dimensi struktur tersebut sebagai berikut:

Fasilitas adalah wujud material struktur, misalnya lokasi, tanah, bangunan,
teknologi. Dalam konteks ini, fasilitas mencakup bangunan stasiun siaran, studio
siaran, peralatan dan perlengkapan siaran, tower, dan pesawat radio. Fasilitas
tersebut memungkinkan timbulnya kuasa komunitas dalam bentuk partisipasi
komunitas. Corten dan d’Haenens (forthcoming) menunjukkan empat spektrum

partisipasi radio komunitas, yaitu pajanan pesan, kehadiran dalam pesan, produksi

pesan, dan kepemilikan media. Fasilitas-fasilitas pada Marsinah FM dan yang
dimiliki oleh komunitas lebih luas mampu memenuhi semua bentuk partisipasi
tersebut. Salah satu saja fasilitas tersebut tidak ada atau tidak berfungsi, komunitas
buruh perempuan tak memiliki kuasa atas diri mereka sendiri. Bangunan kantor
mereka, misalnya, yang saat ini masih dalam status mengontrak tidak lagi bisa
dipakai sejak awal Januari 2013 sehingga sejak Januari 2013 ini mereka terpaksa
berhenti siaran terlebih dahulu untuk mencari kontrakan yang baru.
Teknologi siaran radio memiliki struktur yang berbeda dengan teknologi
media cetak atau moda komunikasi lain sehingga para pegiat radio itu mau tidak
mauharus mempelajari struktur tersebut agar dapat berfungsi.Teknologi memiliki
normanya

sendiri.

Ketika

mereka

telah

menguasainya,

mereka

mampu

menunjukkan salah satu fungsi rakom tersebut yaitu memobilisasi massa buruh
perempuan pada aksi demontrasi buruh pada 3 Oktober 2012. Jauh sebelum hari-H,
Marsinah FM telah sering mengadakan talkshow terkait dengan rencana aksi

11 | P a g e

demonstrasi tersebut. Jangkauan siaran memang terbatas, namun bagaimana
mereka mewacanakan visi dan misi mereka mampu melebihi batasan tersebut.
Fasilitas tidak terpisah dari dimensi norma. Adanya program dan
programming adalah norma struktur fasilitas tersebut. Para pegiat semula tidak
memiliki kemampuan menggunakan teknologi tersebut. Namun, keingintahuan, dan
tiadanya pilihan lain selain mereka sendiri yang belajar membentuk tindakan yang
mampu menaklukkan fasilitas tersebut. Suara yang menjadi basis inheren radio
membuka peluang bagi mereka untuk mengasah keterampilan wicara. Akan tetapi,
penguasaan para pegiat atas teknik penyiapan materi hanya sejauh mencari
informasi melalui google. Penulisan naskah dan teknik jurnalistik baru hanya
dikuasai oleh para pengurus utama (Dian, Jumisih, Atin) sehingga ada kemungkinan
para pegiat yang lain tak memahami bagaimana menyusun materi siaran dengan
teknik jurnalistik yang pada akhirnya bisa menjadi materi siaran alternatif dari
media arus utama.

Norma-norma: aturan yang mengarahkan praktek-praktek agen sehari-hari, dan
yang dibentuk oleh agen melalui praktek sehari-hari. Pada Marsinah FM, norma
untuk ‘menjadi alternatif’ nampak pada tindakan-tindakan para pegiat yang
mendobrak stereotip dan nilai-nilai yang sudah mapan. Misalnya, para penyiar
Marsinah FM ketika wawancara dilakukan (9 November) baru saja melakukan
gerakan ‘cukur rambut kepala’. Dian menyampaikan bahwa tindakan tersebut
adalah upaya mereka untuk menunjukkan bahwa perempuan tak harus berambut

panjang. Mereka ingin menguasai tubuh mereka, membuat segala keputusan atas
tubuh mereka sendiri. Selain itu, dalam berkomunikasi sehari-hari mereka tidak
menyebut pihak lain yang lebih tua usianya sekalipun dengan sebutan ‘mas’ atau
‘mbak’. Menurut Dian untuk menghormati orang lain tidak perlu dengan

‘menuakan’, dan untuk dihormati tidak perlu menempatkan diri sebagai ‘yang lebih
tua’. Ungkapan tersebut mencerminkan upaya mereka untuk tidak menerima

sesuatu yang telah berlangsung di luar aktor sebagai hal yang tidak perlu dikritisi,
bahwa usia adalah struktur kuasa dalam masyarakat kita. Apabila struktur kuasa
usia dalam kultur masyarakat kita dapat didobrak, tak lagi dianggap tabu
12 | P a g e

membantah orang yang lebih tua, apalagi struktur lain yang jelas-jelas menunjukkan
ketidakadilan misalnya hubungan antara majikan dan buruh tentu bisa dibongkar.
Bagaimana mereka membentuk ulang norma dan dibentuk norma yang telah
mereka bentuk melalui praktek sehari-hari hingga akhirnya menjadi bagian dari
institusi Marsinah FMmerupakan agensi yang melibatkan skema interpretif.
Dalam hal siaran, norma yang berlaku adalah pembiayaan mandiri dari
komunitas. Sejauh ini, pembiayaan operasional sehari-hari berasal dari iuran
keanggotaan FBLP, induk organisasi yang dikaburkan ketika mereka mengajukan
izin siaran. Marsinah FM akan mengalami kesulitan pembiayaan jika tidak dinaungi
oleh FBLP sebab lingkungan di mana lokasi stasiun mereka adalah lingkungan
penduduk yang bukan menjadi target utama pendengar dan sejauh ini Marsinah FM
belum melihat kebutuhan untuk meminta dukungan pembiayaan dari masyarakat
sekitar.
Gambar 1. Adaptasi dari Orlikowski (2000) yang mengadaptasi Giddens (1984)
STRUKTUR

Radio Komunitas
(rules dan resources)

AGENSI

Fasilitas
Bangunan
stasiun siaran,
studio siaran,
peralatan dan
perlengkapan
siaran, tower,
pesawat
radio.

Norma
Izin siaran dan frekuensi,
akses dan partisipasi
komunitas; biaya mandiri;
jangkauan siaran 2,5 km;
tidak untuk mencari profit;
iklan komersial dilarang;
tata kelola , program dan
programming, kultur
komunitas .

Skema Interpretasi
Rakom untuk
membangun
resistensi ;Rakom
untuk pertukaran
informasi; Rakom
untuk edukasi;Rakom
untuk sosialisasi
gerakan perlawanan;
Rakom untuk
identitas.

Aktivitas rutin buruh perempuan pegiat radio

Skema interpretif adalah kemampuan refleksi dan rasionalisasi agen. Agen
menggunakan keterampilan, kuasa, pengetahuan, asumsi dan harapan mengenai
radio komunitas dan fungsinya, yang kesemua hal itu dihasilkan melalui pelatihan,
komunikasi,
13 | P a g e

pengalaman

sebelumnya

(memory).

Pada

titik inilah agensi

mengkonstruksi radio komunitas sebagai sarana resistensi, dan ketika agen
menentang struktur radio komunitas pada sistem penyiaran dan struktur lain
(pengupahan

dan

relasi

gender,

dalam

makalah

ini

yang

menjadi

background),struktur Marsinah FM terbentuk.

Rakom Marsinah FM rupanya bukan hanyalah seperangkat teknologi penyiaran,
studio

siaran,

dan

bangunan,

melainkan

sarana

komunikasi

yang

membantu

membangunidentitas komunitas perlawanan, mengkomunikasikan resistensi terhadap
kelas majikan dan ketidaksetaraan relasi gender, memfasilitasi pertukaran informasi, dan
memberikan edukasi gerakan perlawanan. Fungsi-fungsi tersebut tidak hanya berlangsung
secara on air, melainkan juga secara off air. Mereka menginterpretasikan kehadiran rakom
tidak semata-mata dalam siarannya, namun juga dalam “tidak siarannya”. Rakom tersebut
berubah menjadi situs di mana buruh perempuan yang membutuhkan bantuan advokasi

bisa datang langsung membicarakan masalahnya dengan para pegiat radio tersebut. Dian
menyebut telah beberapa kali para pegiat membantu memediasi permasalahan hubungan
buruh perempuan dengan pasangannya (suami atau kekasih) karena buruh perempuan
tersebut menjadi pendengar rakom itu. Beberapa program seperti Cermin memang
mengarahkan pendengarnya untuk lebih asertif menyampaikan keberatan-keberatan atas
beban sosial yang ditimpakan hanya karena stereotip gender yang tidak setara.
Singkat kata, radio komunitas telah menjadi peluang bagi kelompok-kelompok
sosial untuk menyuarakan ketertindasannya. Radio tidak hanya menjadi penyampai suara
buruh perempuan, melainkan juga menjadi sarana merefleksikan tindakan sehari-hari
buruh perempuan yang menjadi pegiat maupun pendengar.

***
Daftar Pustaka

AMARC Africa and Panos Southern Africa, 1998. What is Community Radio?
Armando, A.(2011),Televisi Jakarta di Atas Indonesia, Yogyakarta: Bentang.
Bailey, O.G. et.al.(2007), Understanding Alternative Media, New York: Open University Press.
Birowo, M.A.(2006), “Community Radio Movement in Indonesia: a case study of Jaringan Radio
Komunitas Yogyakarta (Yogyakarta Community Radio Networks)”,Atma Jaya Yogyakarta
University/Media Asia Research Group-Curtin University of Technology.

14 | P a g e

Corten, M. Dan d’Haenens, L. (forthcoming), “Towards an integrated framework measuring
community engagement, the case of publicradio in Flanders”, Working Paper yang intisarinya
dipresentasikan di IICC, Indonesia: 6-7 November 2012 dan naskah asli dikirim ke penulis.
Fuller, L.K. (2007), “Introduction” pada Fuller, L.K. (ed.), Community Media: International
Perspectives, New York: Palgrave.
Howley, K. (2005), Community Media: People Places, and Communication Technologies, Cambridge:
Cambridge University Press.
Hollander, E., et.al. (2008). “Community Radio in Indonesia: a Re-Invention of Democratic
Communication.” Javnost-the public Vol. 15, pp. 59-74.
Hollander, J.A . dan Einwohner, R.L. (2004), “Conceptualizing resistance”, Sociological Forum, Vol.
19(4), 533-554.
Maryani, E. (2011), Media dan Perubahan Sosial: Suara Perlawanan Melalui Radio Komunitas,
Bandung: Rosdakarya.
Masduki, (2007), Regulasi Penyiaran: Dari Otoriter ke Liberal, Yogyakarta: LkiS.
McChesney, R., (2004), “Making a Molehill out of a Mountain: the Sad State of Political Economy in
U.S. Media Studies”, dalam Calabrase,A. Dan Sparks, C, Toward Political Economy of Culture,
Oxford: Rowman & Littlefield Publishers,Inc.
Mosco, V.,(2009), The Political Economy of Communication:2nd Edition, London: Sage Pubs.
Nugroho, Y., et.al. (2012), “Mapping the Landscape of the Media Industry in Contemporary
Indonesia,” Jakarta: Creative Commons.
Orlikowski, W.J. (2000), “Using technology and constituting structures: a practice lens for studying
technology in organizations,” Organization Science, Vol. 11 (4), 404-428.
Porta, D.D. dan Diani, M.,(2006), “Introduction”, dalam Porta dan Diani (eds.), Social Movements: an
Introduction, Second Edition, Victoria: Blackwell Publishing.
Rianto,P., et.al.,(2012), Dominasi TV Swasta (Nasional): Tergerusnya Keberagaman Isi dan
Kepemilikan, Yogyakarta:PR2Media-Yayasan Tifa.
Sujoko, A.(2011). “Talking Culture: Indonesian community radio and the active audience,” Social
Alternatives:, Vol.30, p. 16.
Suryadi, (2005), “Identity, Media, and the Margins: Radio in Pekanbaru, Riau”, Journal of Southeast
Asian Studies, Vol.36, No.1, pp.131-151.
Waltz, M., (2005), Alternative and Activist Media, Edinburgh: Edinburgh University Press.
UU Penyiaran RI No. 32 Tahun 2002.
Seluruh paparan Dian merupakan hasil wawancara dengan yang bersangkutan di Kantor Marsinah
FM, pada 9 November 2012.

15 | P a g e