270237279 Prinsip Kerja CT Scan Dan Aplikasi Dalam Forensik
TUGAS MATA KULIAH
FISIKA FORENSIK
“Penggunaan Computed Tomography Scanning
Sebagai Alternatif Autopsi”
Oleh :
FAIZAL ARIEF NUROKHMAN
091414653001
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SEKOLAH PASCASARJANA
MAGISTER IMU FORENSIK
SURABAYA
2015
DAFTAR ISI
Halaman Judul..............................................................................................1
Daftar Isi......................................................................................................2
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.............................................................................3
1.2. Permasalahan...............................................................................4
1.3. Tujuan & Manfaat.......................................................................4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian CT-Scan.....................................................................5
2.2. Sejarah CT-Scan..........................................................................6
2.3. Prinsip Kerja Secara Fisika CT-Scan...........................................10
2.3. Kelebihan dan Kekurangan CT-Scan...........................................19
2.4. Aplikasi Dalam Forensik ............................................................19
BAB 3 PENUTUP
- Simpulan..........................................................................................24
Daftar Pustaka
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam beberapa yursidiksi di seluruh dunia, kegiatan patologi forensik
mengalami banyak perubahan. Untuk beberapa tahun angka autopsi di beberapa
rumah sakit mengalami penurunan. Pada beberapa rumah sakit pendidikan besar
kegiatan pemeriksaan autopsi konvensional dengan diseksi pada tiap-tiap sistem
organ dan pemeriksaan neuropatologis otak mulai berkurang. Alasan perubahan
ini masih belum banyak dipahami. Pada sebagian departamen patologi di rumah
sakit tindakan autopsi kurang dianggap penting dibandingkan dengan pelayanan
rutin operasi patologi. Beberapa alasan kenapa autopsi mulai dihindari karena
faktor emosi, beberapa karena alasan agama, dan sebagian lagi dengan alasan
logistical (misal, pada umat muslim setiap jenazah harus segera dimakamkan
menurut aturan agama dan adat).
Alternatif autopsi secara konvensional sudah beberapa kali diajukan
dalam dunia medikolegal. Salah satu teknologi yang diusulkan dan digunakan
adalah penggunaan alat CT-Scan (Computed tomography scanning). CT-Scan
merupakan alat kedokteran yang digunakan untuk menampilkan penampang
tubuh yang dideteksi menggunakan Sinar-X yang hasil pencitraannya diolah
dalam sebuah komputer. Hasil gambar yang didapat memungkinkan seorang ahli
radiologi untuk melihat bagian dalam tubuh pasien tanpa melakukan sayatan
bedah. Organ yang sering dievaluasi menggunakan CT-Scan antara lain otak,
leher, tulang belakang, dada, perut, panggul, dan sinus. Penggunaan CT-Scan
makin lazim dalam dunia kedokteran saat ini.
Post Mortem Computed Tomography (PMCT) telah memberikan peran
dalam proses penyelidikan suatu kematian tidak wajar. Juga sudah diusulkan
dalam penanganan kematian massal. PMCT dapat diaplikasikan pada manusia,
hewan dan material lingkungan. PMCT dapat digunakan sebagai pemeriksaan
tambahan, atau dalam beberapa kasus, sebagai pengganti autopsi. Beberapa
rekomendasi yang dapat menggunakan PMCT antara lain: 1) Mengidentifikasi
penyebab kematian, 2) DVI, 3) Mengidentifikasi material berbahaya yang ada
dalam tubuh dan 4) Membantu mengumpulkan bukti dalam prosedur penegakan
hukum [ CITATION Mor14 \l 1033 ].
Adanya
teknologi
ini
sangat
membantu
bidang
medis
karena
dimungkinkan seorang dokter melihat penyakit di masa lalu, yang seringkali
hanya bisa ditemukan di meja operasi atau dengan autopsi setelah pasien
meninggal. Sifat pemeriksaan CT-Scan yang non-invasif, aman, dan dapat
ditoleransi dengan baik oleh tubuh sangatlah menguntungkan.
Teknologi CT-Scan juga semakin berkembang, generasi terbarunya yaitu
MSCT-Scan 64 Slice (Multi Slice Computed tomography scanning 64 Slice),
mampu menghasilkan gambar lebih rinci dari bagian tubuh manusia seperti
kepala, dada, perut, pembuluh darah dan sebagainya. MSCT-Scan 64 Slice
merupakan peningkatan kecepatan yang secara signifikan dari generasi terdahulu,
sehingga penegakkan diagnosis dapat lebih akurat.
Penggunaan CT-Scan sudah makin marak di dunia kedokteran,
mendorong penulis untuk mengetahui lebih dalam bagaimana prinsip kerja secara
fisika dan pengaplikasian alat tersebut dalam dunia forensik.
1.2. Permasalahan
a)
Apa yang dimaksud dengan CT-Scan?
b)
Bagaimana prinsip kerja secara fisika CT-Scan?
c)
Bagaimana pengaplikasian penggunaan CT-Scan dalam dunia forensik?
1.3. Tujuan dan Manfaat
a)
Mengetahui tentang CT-Scan
b)
Mengetahui prinsip kerja secara fisik CT-Scan
c)
Mengetahui pengaplikasian CT-Scan pada proses pembuktian forensik.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian CT-Scan
CT-Scan (computed tomography scan) adalah proses penggunaan
komputer untuk memperoleh gambaran tiga-dimensional dari ribuan gambar
sinar-X dua-dimensional. CT-Scan dapat menghasilkan gambar-gambar yang
sangat akurat dari objek-objek di dalam tubuh seperti tulang, organ, dan
pembuluh darah. Gambar-gambar ini sangat berguna dalam mendiagnosa
berbagai penyakit, seperti kanker, penyakit jantung, stroke, kelainan organ
reproduktif, dan kelainan gastrointestinal. Citra yang dihasilkan CT-Scan jauh
lebih detail dibanding citra yang diperoleh sinar-X biasa [ CITATION Cor09 \l
1033 ].
Mesin CT-Scan berbentuk pipa dengan tempat pasien berbaring di
tengahnya. Pemroses citra (scanner) sendiri terdapat dalam frame pipa tersebut.
Saat mesin bekerja, pipa pemroses citra itu berputar sambil menembakkan sinar
rontgen ke arah pasien dari berbagai sudut. Untuk setiap putaran, sekitar 1.000
gambar bagian dalam pasien diambil. Gambar-gambar ini kemudian diproses
oleh komputer sehingga menghasilkan gambar cross-sectional bagian dalam
tubuh pasien yang dapat digunakan dalam menganalisa dan mendiagnosa pasien.
Prinsip dasar CT-Scan mirip dengan perangkat radiografi yang sudah
lebih umum dikenal. Kedua perangkat ini sama-sama memanfaatkan intensitas
radiasi terusan setelah melewati suatu obyek untuk membentuk citra/gambar.
Perbedaan antara keduanya adalah pada teknik yang digunakan untuk
memperoleh citra dan pada citra yang dihasilkan. Tidak seperti citra yang
dihasilkan dari teknik radiografi, informasi citra yang ditampilkan oleh CT-Scan
tidak overlap (tumpang tindih) sehingga dapat memperoleh citra yang dapat
diamati tidak hanya pada bidang tegak lurus berkas sinar (seperti pada foto
rontgen), citra CT-Scan dapat menampilkan informasi tampang lintang obyek
yang diinspeksi. Oleh karena itu, citra ini dapat memberikan sebaran kerapatan
struktur internal obyek sehingga citra yang dihasilkan oleh CT-Scan lebih mudah
dianalisis daripada citra yang dihasilkan oleh teknik radiografi konvensional.
CT-Scanner menggunakan penyinaran khusus yang dihubungkan dengan
komputer berdaya tinggi yang berfungsi memproses hasil scan untuk
memperoleh gambaran panampang-lintang dari badan. Pasien dibaringkan diatas
suatu meja khusus yang secara perlahan – lahan dipindahkan ke dalam cincin CTScan. Scanner berputar mengelilingi pasien pada saat pengambilan sinar rontgen.
Waktu yang digunakan sampai seluruh proses scanning ini selesai berkisar dari
45 menit sampai 1 jam, tergantung pada jenis CT-Scan yang digunakan( waktu
ini termasuk waktu check-in nya).
Proses scanning ini tidak menimbulkan rasa sakit . Sebelum dilakukan
scanning pada pasien, pasien disarankan tidak makan atau meminum cairan
tertentu selama 4 jam sebelum proses scanning. Bagaimanapun, tergantung pada
jenis prosedur, adapula prosedur scanning yang mengharuskan pasien untuk
meminum suatu material cairan kontras yang mana digunakan untuk melakukan
proses scanning khususnya untuk daerah perut.
CT-Scan memiliki beberapa kelebihan dibanding sinar-X biasa: citra yang
diperoleh CT-Scan beresolusi lebih tinggi, sinar rontgen dalam CT-Scan dapat
difokuskan pada satu organ atau objek saja, dan citra perolehan CT-Scan
menunjukkan posisi suatu objek relatif terhadap objek-objek di sekitarnya
sehingga dokter dapat mengetahui posisi objek itu secara tepat dan akurat.
Kelebihan-kelebihan tersebut telah membuat CT-Scan menjadi proses radiografis
medis yang paling sering direkomendasikan oleh dokter dan, dalam banyak
kasus, telah menggantikan proses sinar-X biasa secara total [ CITATION Bus12 \l
1033 ].
Gambar 2.1.1 Contoh alat CT-Scan [ CITATION Bus12 \l 1033 ].
2.2. Sejarah CT-Scan
Awal perkembangan CT-Scan bermula dari tanggal 11 Agustus 1895,
yaitu dengan ditemukannya radiasi Sinar-X oleh seorang ahli fisika
berkebangsaan Jerman yang bernama Wilhem Conrad Rontgen (1845-1923)
(Gambar 2.2.1). Gambar Sinar-X tubuh manusia pertama yang pernah diambil
dan paling terkenal yakni gambar tangan istri Roentgen (Gambar 2.2.2).
Meskipun kekuatan Sinar-X bertumpu pada kemampuan mereka untuk
menembus bahan padat dan punya karakteristik redaman tergantung bahan yang
dilewati, tidak mungkin untuk memvisualisasikan struktur tertentu sepanjang
jalur yang dilewati tanpa mempertimbangkan pelemahan yang disebabkan oleh
struktur lain sepanjang jalur tersebut. Tumpang tindih ini diilustrasikan dalam
hasil gambar Tangan Mrs. Roentgen, di mana bayangan cincin kawin tumpang
tindih dengan struktur tulang di dalam cincin. Keinginan untuk menghapus
dampak dari struktur tumpang tindih tersebut menjadi awal perkembangan
tomografi konvensional[ CITATION Hen14 \l 1033 ].
Gambar 2.2.1 Wilhem C. Roentgen [ CITATION Hen14 \l 1033 ].
Gambar 2.2.2 Hasil citra Sinar-X tangan istri Roentgen [ CITATION Hen14 \l 1033 ].
Sinar-X adalah merupakan gelombang electromagnet yang mempunyai
panjang gelombang berkisar antara 10 nm – 100 pm (Gambar 2.2.3). Sinar-X
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut [ CITATION Kar14 \l 1033 ]:
·
Memiliki daya tembus yang besar.
·
Dapat diserap oleh materi (tergantung nomor atomnya).
·
Memiliki efek fotografi (dapat menghitamkan film).
·
Dapat menimbulkan efek fluorosensi (memendarkan fosfor).
·
Dapat dibelokkan / dihamburkan (difraksi Sinar-X)
·
Menimbulkan ionisasi.
Gambar 2.2.3 Spektrum elektromagnetik umumnya dibagi menjadi tujuh area, dalam
proses penurunan panjang gelombang dan peningkatan energi dan
frekuensi: gelombang radio, gelombang mikro, inframerah, cahaya
tampak, ultraviolet, sinar-X dan sinar gamma. [ CITATION Luc15 \l
1033 ]
Oleh karena sinar-X memiliki daya tembus yang besar dan dapat
menghitamkan kertas atau plat foto maka sinar ini banyak diaplikasikan dalam
teknik radiologi konvensional. Sinar-X memungkinkan orang pertama kali untuk
melihat struktur dari tubuh manusia bagian dalam tanpa melakukan operasi /
pembedahan. Namun Sinar-X pada masa ini juga memiliki keterbatasan, yaitu,
gambar yang dihasilkan merupakan superimposisi (overlap) dari obyek yang
diamati dan juga tidak dapat menggambarkan jaringan lunak. Selain itu ada juga
masalah lainnya yaitu, pada teknik radiografi konvensional, jika dua buah obyek
yang memiliki besar yang berbeda, dapat tampak sama besar jika hanya dilhat
dari satu sudut pandang saja. Dan masalah lainnya, jika dua buah obyek yang
berbeda ukuran dan terletak dalam satu garis lurus Sinar-X, maka organ yang
kecil tidak dapat terlihat, karena tertutup obyek yang lebih besar [ CITATION
Kar14 \l 1033 ]. Solusi dari 2 masalah ini adalah dengan teknik pemeriksaan
tomografi. Gambar tomogram yang dihasilkan oleh peralatan sinar-X
konvensional diperoleh dengan tomografi bergerak. Tomogram adalah sebuah
gambar dari bidang atau irisan bagian tubuh.
Salah satu pelopor tomografi konvensional adalah E. M. Bocage (1922).
Pada awal tahun 1921, Bocage melakukan suatu teknik yang berusaha
memisahkan gambaran overlapping dari suatu organ yang diperiksa yang
dinamakan Tomografi. Komponen utama dari penemuannya mencakup tabung
sinar-X, sebuah film sinar-X, dan koneksi mekanik untuk memastikan gerakan
sinkron dari tabung dan film (Gambar 2.2.4). Teknik yang dikembangkan adalah
dengan menggerakkan tabung Sinar-X dan film dalam kaset secara bersamaan,
dan menggunakan fulcrum sebagai titik focus dari organ yang akan diperiksa.
Organ yang ada di bagian atas dan bawah obyek yang diperiksa akan tampak blur
(samar) sedangkan objek yang diperiksa akan tampak lebih jelas. Teknik
Tomografi ini digunakan pertama kali pada tahun 1935.
Namun demikian teknik ini masih mempunyai beberapa kekurangan,
yaitu hanya area tertentu saja yang berada pada bidang focus yang dapat terlihat
jelas, dan bidang-bidang lainnya yang tidak berada pada bidang focus tidak dapat
terlihat dengan jelas. Sedangkan dunia ilmu pengetahuan terus berkembang
dengan pesat. Ilmu kedokteran modern membutuhkan gambaran yang mampu
menampilkan organ dengan lebih jelas tidak hanya pada organ yang diperiksa,
melainkan juga organ lain disekitarnya [ CITATION Hen14 \l 1033 ].
Gambar 2.2.4 Ilustrasi prinsip tomografi konvensional. (a) Pada waktu tertentu, objek A
(terletak pada bidang fokus) dan objek B (terletak di atas bidang fokus)
menghasilkan bayangan A'dan B' masing-masing pada film. (b) Pada
waktu Sesaat kemudian, sumber kedua sinar-X dan film yang bergerak
dalam arah berlawanan dengan kecepatan tertentu sehingga bayangan A"
dipindahkan oleh objek A tumpang tindih dengan bayangan A'. Bayangan
B" dari benda B tidak tumpang tindih dengan B'.
Perkembangan aplikasi medis Sinar-X Computed Tomography pertama
kali dikembangkan pada tahun 1963 oleh Godfrey N. Hounsfield dan A. M.
Cormack (Gambar 2.2.5 a dan b) yang bekerja di Central Research Lab of EMI,
Ltd di Inggris menghasilkan Gambar klinis pertama dengan CT-Scan (Computed
tomography scan). Dan merupakan tanda awal dari dimulainya era baru
perkembangan diagnostic imaging.
Pada tahun 1974, enam puluh unit CT terpasang. Awalnya pemeriksaan
yang dilakukan hanya terbatas pada CT kepala saja. Dan pada tahun 1975
diperkenalkan pertama kali sebuah Whole Body scanner (CT-Scan seluruh tubuh)
yang digunakan untuk penunjang klinis . Pada tahun 1979, Hounsfield dan
Cormack dianugerahi hadiah nobel.
Pada tahun 1989, W.A. Kalender dan P. Vock melakukan pemeriksaan
klinis pertama dengan menggunakan Spiral CT. Dan pada tahun 1998 mulailah
diperkenalkan alat Multi Slice CT (MSCT) dengan 4 slice. Pada tahun 2000
dikembangkan PET/CT sistem, kemudian di tahun 2001 telah dikembangkan CTScan 16 slice. Pada tahun 2004 dikembangkan teknik CT-Scan 64 slice dan telah
lebih dari 40000 instalasi CT untuk aplikasi klinik [CITATION Hsi14 \l 1033 ].
Gambar 2.2.5 Penemu CT Sinar-X pertama; Godfrey N. Hounsfield (a) dan Allan
M. Cormack (b).
Teknik pencitraan CT sama sekali berbeda dengan teknik pencitraan
radiologi biasa (konvensional). Computed Tomography atau CT adalah sebuah
proses radiologi untuk menghasilkan gambaran dari potongan melintang (transaxial) tubuh pasien. Dua buah karakteristik baru yang ada pada gambar yang
dihasilkan pada CT adalah peralatan digital yang menghasilkan gambaran digital
dan gambar irisan mempresentasikan volume / informasi 3 Dimensi.
Namun pencitraan CT-Scan juga masih mengalami kendala terhadap
organ – organ yang mempunyai densitas hampir sama. Misalnya adalah kasus
tumor pada jaringan, dimana gambaran tumor sulit dibedakan dengan jaringan
sekitarnya. Demikian juga pencitraan sistem peredaran darah, sistem urinaria
(saluran kencing), dan masih banyak lagi kasus – kasus pemeriksaan CT-Scan
yang sulit divisualisasikan secara baik dengan pemeriksaan CT-Scan. Untuk
mengatasi hal tersebut, maka mulailah dilakukan penelitian untuk memperoleh
hasil pencitraan CT-Scan yang dapat membedakan suatu organ yang diperiksa
dengan organ lain disekitarnya dengan menambahkan suatu zat yang dianggap
mampu memvisualisasikan organ – organ yang mempunyai densitas hampir
sama.
Zat tersebut dinamakan “Contrast Media” atau Bahan Kontras
[ CITATION Kar14 \l 1033 ].
2.3. Prinsip Kerja Secara Fisika CT-Scan
2.3.1. Teori Atenuasi
Pada prinsipnya, tomografi komputer mengukur distribusi spasial
(ruang) suatu kuantitas fisik yang akan diamati dari arah yang berbedabeda dengan tujuan untuk merekonstruksi gambar yang bebas dari
superimposisi dari data tersebut. Kuantitas fisik yang diukur adalah
koefisien atenuasi (µ) dari obyek yang menyebabkan pelemahan intensitas
sinar-X oleh obyek yang ditembus oleh sinar-X tersebut.
Teori Atenuasi ini adalah prinsip dasar yang membedakan CT-Scan
dengan peralatan radiografi yang konvensional yang juga memanfaatkan
radiasi sinar-X. Berkas sinar-X yang menembus suatu obyek akan
mengalami pelemahan (kehilangan energi) yang diakibatkan oleh:
Penyerapan oleh obyek
Penghamburan oleh obyek
Penyerapan radiasi sinar-X oleh jaringan adalah sebanding dengan
densitas jaringan yang ditembus. Jaringan tubuh dengan kepadatan yang
tinggi akan memberikan perlemahan yang lebih besar. Sedangkan jaringan
tubuh dengan kepadatan yang rendah akan memberikan perlemahan yang
kecil. Berdasarkan ilmu fisika, terjadinya atenuasi lokal dari suatu jaringan
yang disinari sinar-X disebabkan oleh sejumlah proses interaksi antara
sinar-X dengan hal lain, misalnya Efek fotolistrik dan Hamburan Compton.
Masing-masing proses fisika tersebut dapat mempengaruhi fungsi dari
energi radiasi karena sinar-X yang dihasilkan oleh tabung sinar-X tersebut
terdiri atas spektrum-spektrum energi. Dengan demikian jelaslah bahwa
masing-masing karakteristik atenuasi yang dimiliki oleh suatu jaringan,
disebut koefisien atenuasi linier μ, adalah suatu fungsi kompleks yang
memiliki nilai berbeda-beda bergantung pada energi radiasi yang
menyinarinya. Fungsi dari energi radiasi terhadap koefisien atenuasi dapat
dilihat pada gambar di bawah, dimana nilai μ besar untuk energi radiasi
yang kecil dan akan terus berkurang bila energi radiasinya semakin besar.
Pada CT-Scan masing-masing atenuasi sinar-X untuk tiap-tiap bagian dari
suatu jaringan dibuat rekonstruksi gambarnya secara diskrit, sedangkan
pada radiografi konvensional dilakukan proses superposisi terlebih dahulu
terhadap informasi atenuasi tersebut [ CITATION Kar14 \l 1033 ].
2.3.2. Cara Kerja CT-Scan
Tabung sinar-X sebagai sumber radiasi yang akan menghasilkan
radiasi sinar-X yang terkolimasi (terarah) dan diarahkan ke pasien untuk
menembus tubuh pasien (dalam gambar adalah kepala pasien). Kemudian
berkas sinar-X yang telah menembus tubuh pasien tersebut ditangkap oleh
detektor menghasilkan satu proyeksi. Susunan tabung sinar-X dan detektor
ini akan bergerak mengelilingi tubuh pasien dan menghasilkan proyeksi
dari obyek yang ditembus tersebut. Hasil proyeksi ini yang kemudian
diolah oleh komputer sehingga membentuk gambar potongan melintang
dari jaringan tubuh/obyek tersebut.
Gambar 2.3.1 Prinsip kerja CT-Scan [ CITATION Kar14 \l 1033 ].
Berikut ini adalah diagram blok dari keseluruhan kerja sistem CT-Scan,
mulai dari sistem pembangkit radiasi Sinar-X beserta sistem kontrolnya
sampai didapatkan gambar yang diinginkan pada selembar film atau
disimpan dalam cakram magnetik.
Gambar 2.3.2 Diagram Blok sistem CT-Scan secara keseluruhan [ CITATION
Kar14 \l 1033 ].
2.3.3. Akuisisi Data dan Rekonstruksi Gambar pada CT-Scan
Akusisi data berarti kumpulan hasil penghitungan transmisi Sinar-X
setelah melalui tubuh pasien. Sekali Sinar-X menembus pasien, berkas
tersebut diterima oleh detektor khusus yang menghitung nilai transmisi
atau nilai atenuasi (penyerapan).
Penghitungan transmisi yang cukup atau data harus terekam sebagai
syarat proses rekonstruksi. Pada skema kumpulan data yang pertama kali
tabung Sinar-X dan detektor bergerak pada garis lurus atau translasi
melewati kepala pasien, mengumpulkan hasil penghitungan transmisi
selama pergerakan dari kiri ke kanan. Lalu Sinar-X berotasi 1 derajat dan
mulai lagi melewati kepala pasien, kali ini dari kanan ke kiri. Proses gerak
translasi-rotasi-stop-rotasi ini dinamakan scanning yang berulang 180 kali.
Permasalahan dasar yang muncul dengan metode pengambilan data
ini adalah lamanya waktu yang diperlukan untuk mendapat data yang
cukup untuk rekonstruksi gambar. Berikutnya, diperkenalkan skema
scanning pasien yang lebih efisien. Sebagai tambahan, sinyal dari detektor
harus dikonversikan menjadi data yang dapat dipakai oleh komputer untuk
menghasilkan gambar.
Tahap pertama pada akuisisi data adalah proses scanning. Selama
scanning tabung Sinar-X dan detektor berputar mengelilingi pasien untuk
mendapatkan data atenuasi pasien. Detektor menangkap radiasi yang
diteruskan melalui pasien dari beberapa lokasi dan dari beberapa sudut.
Sebagai hasilnya, nilai transmisi relatif atau pengukuran atenuasi dapat
dihitung sebagai berikut:
Transmisi relatif
=
log I0
I
dengan
I0
=
Intensitas Sinar-X pada tabung
I
=
Intensitas Sinar-X pada detektor
Metode akuisisi data CT-Scan ada dua, yaitu :
a. Metode konvensional slice by slice atau metode aksial.
Prinsipnya, tabung sinar–x dan detektor bergerak mengelilingi
pasien dan mengumpulkan data proyeksi pasien. Saat pengambilan
data proyeksi, posisi meja berhenti. Kemudian meja pasien bergerak
untuk menuju posisi kedua dan dilakukan proses scanning
berikutnya. Demikian seterusnya.
b. Metode spiral atau helical.
Pada metode ini tabung sinar–X bergerak mengelilingi pasien yang
juga bergerak. Pada metode ini, berkas Sinar-X membentuk pola
spiral atau helical. Data untuk rekonstruksi citra pada setiap slice
diperoleh dengan interpolasi. Teknik ini memiliki kelebihan dalam
waktu yang relatif cepat.
Gambar 2.3.3 Skema dasar Akuisisi Data pada CT-Scan [ CITATION Kar14 \l
1033 ].
Sinar-X yang mengalami atenuasi setelah menembus objek akan
ditangkap oleh detektor yang berhadapan dengan sumber sinar dan terletak
di belakang objek. Pada saat yang bersamaan detektor menerima berkas
Sinar-X yang langsung berasal dari sumber, berkas radiasi tersebut oleh
detektor diubah dalam bentuk sinyal listrik yang akhirnya oleh analog
digital converter diubah dalam bentuk digital. Selanjutnya data tersebut
dikirim ke komputer dan melalui proses matematis data-data tersebut
direkonstruksi dan ditampilkan kembali pada layar monitor berupa citra
dengan skala keabuan.
Gambar 2.3.4 Prinsip CT-Scan Spiral
Dasar teori matematika yang digunakan untuk rekonstruksi gambar
hasil proyeksi pada CT-Scan adalah Transformasi Radon. Informasi yang
diperoleh dari pengukuran yang dilakukan adalah sekumpulan nilai
proyeksi dari distribusi koefisien atenuasi µ(x,y) yang tidak diketahui, yang
disebut sebagai “transformasi Radon” dari gambar atau obyek. Untuk
mendapatkan
masing-masing
tranformasi balik dari data ini.
nilai
µ(x,y)
maka
harus
dilakukan
Gambar 2.3.5 Proyeksi obyek yang diperoleh dari satu putaran penuh
[ CITATION Kar14 \l 1033 ].
Gambar 2.3.6 Rekonstruksi gambar dari data mentah menjadi gambar CT-Scan
[ CITATION Kar14 \l 1033 ].
Hasil akuisisi seluruh proyeksi dari obyek disebut sebagai data
mentah (raw data). Bila data mentah ini ditampilkan akan membentuk
suatu pola yang disebut sebagai sinogram atau raw data. Sinogram ini
sesungguhnya merupakan transformasi Radon dari obyek.Ada beberapa
prosedur yang dapat digunakan untuk melakukan tranformasi balik dari
data ini, diantaranya adalah:
1) Teknik Rekonstruksi Aljabar atau Algebraic Reconstruction
Techniques (ART)
2) Metode Fourier
3) Proyeksi Balik Tertapis (Filtered Backprojection)
4) Prosedur Proyeksi Balik dengan Konvolusi (ConvolutionBackprojection Procedure).
Metode
back
projection
banyak
digunakan
dalam
bidang
kedokteran. Metode ini menggunakan pembagian pixel-pixel yang kecil
dari suatu
irisan melintang. Pixel didasarkan pada nilai absorbsi linier.
Kemudian pixel-pixel ini disusun menjadi sebuah profil dan terbentuklah
sebuah matrik. Rekonstruksi dilakukan dengan jalan saling menambah
antar elemen matrik.
Untuk mendapatkan gambar rekonstruksi yang lebih baik, maka
digunakan metode konvolusi. Proses rekonstruksi dari konvolusi dapat
dinyatakan dalam bentuk matematik yaitu transformasi Fourier.Dengan
menggunakan konvolusidan transformasi Fourier, maka bayangan radiologi
dapat dimanipulasi dan dikoreksi sehingga dihasilkan gambar yang lebih
baik.
Rekonstruksi matriks adalah deretan baris dan kolom dari picture
element (pixel) dalam proses perekonstruksian gambar. Rekonstruksi
matriks ini merupakan salah satu struktur elemen dalam memori komputer
yang berfungsi untuk merekonstruksi gambar. Jumlah ukuran matriks yang
dapat digunakan yaitu 80 x 80, 128 x 128, 256 x 256, 512 x 512 dan 1024 x
1024. Rekonstruksi matriks ini berpengaruh terhadap resolusi gambar yang
akan dihasilkan. Semakin tinggi matriks yang dipakai, maka semakin tinggi
resolusi yang akan dihasilkan.
Rekonstruksi algorithma adalah prosedur matematis (algorithma)
yang digunakan dalam merekonstruksi gambar. Ada 3 rekonstruksi dasar
algoritma yang digunakan pada CT kepala, cervikal dan tulang belakang.
Yaitu sebagai berikut [ CITATION LiL14 \l 1033 ]:
a. Algoritma standar
Standar algoritma menyediakan resolusi kontras yang baik dan oleh
sebab itu algoritma ini menjadi pilihan untuk pemeriksaan brain.
Selain itu juga berguna untuk soft tissue pada kepala, wajah, dan
tulang belakang.
b. Bone algoritma
Bone algoritma membantu meningkatkan spatial resolusi tetapi
menghasilkan
resolusi
kontras
yang
buruk.
Akibatnya,
jenisalgoritma ini hanya digunakan pada area dengan densitas
jaringan yang tinggi seperti Sinus paranasal atau tulang temporal.
c. Detail algoritma
Detail algoritma memberikan cukup resolusi kontras dengan batas
tepi yang baik. Oleh karena itu dapat digunakan untuk memperoleh
definisi yang lebih baik antar jaringan, terutama pada leher dan
wajah.
2.3.4. Penampilan Gambar
Irisan dari suatu obyek terbagi dalam elemen volume yang kecil
yang disebut dengan “voxel”. Masing-masing voxel memiliki suatu nilai
tertentu yang menyatakan atenuasi rata-rata sinar-X oleh obyek pada posisi
tersebut. Sedangkan, elemen gambar dalam bidang 2 dimensi disebut
“pixel”. Satu bagian volume dari gambar yang direkonstruksi (= voxel)
diwakili oleh ukuran pixel di bidang (x, y) dan ketebalan irisan (s) dalam
sumbu-z. Teknik rekonstruksi gambar CT kemudian dapat dilakukan
dengan membagi-bagi irisan jaringan yang disinari menjadi beberapa
”pixel” dimana masing-masing ”pixel”
mewakili
CT
Number-nya
masing-masing.
Nilai
koefisien
pelemahan radiasi diukur kemudian dikodekan dan ditransfer ke komputer.
Oleh komputer akan ditampilkan dalam gambar 2 dimensi yang disebut
dengan matriks. Kumpulan CT Number dari ”pixel-pixel” tersebut dapat
dinyatakan dalam bentuk matriks untuk keperluan rekonstruksi dan
penampilan gambar.
Nilai-nilai CT Number tersebut akan ditampilkan pada layar
monitor dengan cara mengkonversikannya ke dalam skala dari hitam ke
putih (grey scale). CT Number yang tinggi (jaringan keras, tulang) akan
ditampilkan menjadi putih dan CT Number yang rendah (lemak, udara)
akan ditampilkan hitam. Karena untuk jaringan lunak (Soft tissue) memiliki
range tertentu yang kemudian masih dibagi-bagi lagi menjadi beberapa
jaringan, maka khusus untuk jaringan lunak ini dipakai teknik degradasi
warna dari hitam ke putih sesuai skala grey level agar jaringan-jaringan
lunak dengan skala range kecil dapat ditampilkan dalam warna yang
berbeda satu dan lainnya [ CITATION Kar14 \l 1033 ].
Gambar CT dapat disimpan dalam pita magnetik dan cakram
magnetik. Saat ini, teknologi penyimpanan optik telah menambah dimensi
penyimpanan informasi dari CT-Scan. Pada penyimpanan optik, data yang
terekam dibaca oleh sinar laser. Pada kasus ini penyimpanannya biasa
disebut laser storage. Media penyimpanan optik seperti disket, pita kaset
dan kartu. Pada CT, komunikasi bermakna transmisi elektronik data berupa
tulisan dan gambar dari CT-Scan ke alat lain seperti laser printer, diagnostic
workstation, layar monitor di radiologi, ICU, kamar operasi dan trauma di
RS; dan komputer di luar RS. Komunikasi elektronik pada CT perlu
protokol standar yang memungkinkan koneksitas (networking) antar
modalitas (CT, MRI, digital radiography danfluoroscopy) dan peralatan
multivendor.
2.4. Keunggulan dan Kekurangan CT-Scan
1) Kelebihan CT-Scan
a. Gambar yang dihasilkan memiliki resolusi yang baik dan akurat.
b. Tidak invasive (tindakan non bedah).
c. Waktu perekaman cepat.
d. Gambar yang direkontruksi dapat dimanipulasi dengan komputer
sehingga dapat dilihat dari berbagai sudut pandang.
2) Kekurangan CT-Scan
a. Paparan radiasi akibat sinar X yang digunakan yaitu sekitar 4%
dari radiasi sinar X saat melakukan foto rontgen. Jadi ibu hamil
wajib memberitahu kondisi kehamilannya sebelum pemeriksaan.
b. Munculnya artefak (gambaran yang seharusnya tidak ada tapi
terekam). Hal ini biasanya timbul karena pasien bergerak selama
perekaman, pasien menggunakan tambal gigi amalgam atau sendi
palsu dari logam, atau kondisi jaringan tubuh tertentu.
c. Reaksi alergi pada zat kontras yang digunakan untuk membantu
tampilan gambar.
2.5. Aplikasi Dalam Forensik dan Medikolegal
Pada
tahun
1895,
Wilhelm
Conrad
Roentgen
(1845-1923)
memperkenalkan citra pertama X-ray manusia. Dia menunjukkan gambar
kerangka tangan istrinya. Pada tahun yang sama, pemeriksaan X-ray juga
diperkenalkan sebagai alat bukti di pengadilan, berupa gambar yang
menunjukkan peluru di kaki, yang ditembakan oleh seseorang, tetapi dokter
bedah tidak dapat menemukan proyektilnya. Peluru itu terlokalisasi di kaki
bagian bawah antara tibia dan fibula. Gambar itu dihadirkan di Pengadilan, dan
pelaku dijatuhi hukuman 14 tahun penjara. Tiga tahun kemudian teknik ini
digunakan dalam pemeriksaan mayat. Banyak pemeriksaan X-ray sehubungan
dengan forensik dalam autopsi, telah terbatas pada kasus-kasus tertentu seperti
luka tembak peluru, sindrom battered child dan tenggelam, serta untuk tujuan
identifikasi, dll.
Sejak awal tahun 1970 computed tomography telah dikembangkan, yang
dimungkinkan untuk membuat citra radiologi cross-sectional dari seluruh tubuh.
Pada tahun 1998, CT-Scanner generasi baru diperkenalkan. Alat ini mampu untuk
menghasilkan berbagai citra cross-sectional dari tubuh yang lengkap dalam
waktu kurang dari 1 menit. Teknik ini, bersama-sama dengan multi slice
computed tomography (MSCT), telah diterapkan dalam beberapa kasus-kasus
tertentu dan sukses besar selama beberapa tahun terakhir. Institute of Forensik
Medicine di Copenhagen pada bulan April 2002 memperoleh Spiral CT-Scanner,
dan dari Desember 2002 telah menjadi prosedur rutin di Departemen Patologi
forensik untuk melakukan scanning pada seluruh tubuh dari semua mayat
sebelum dilakukan pemeriksaan post-mortem [ CITATION Pou07 \l 1033 ].
Menurut Thalia, et al. (2003), penggunaan CT-scan dapat menjadi alat
alternatif dalam proses identifikasi selain menggunakan metode baku seperti
DNA, Sidik jari, dan Odontologi. Misalnya pada proses pencarian anak peluru,
benda asing dalam tubuh, dan pencitraan pada mayat yang sudah mengalami
dekomposisi.
(a)
(b)
Gambar 2.5.1 (a) Potongan axial computed tomography menunjukkan citra adanya
fragmen tulang dan otak mengalami kolaps akibat pembusukan dalam. (b)
Penampakan sepert keju Swiss otak akibat adanya gas dekomposisi
(panah) [ CITATION Tha03 \l 1033 ].
Penelitian oleh Kawasumia et al (2013) pada kasus tenggelam yang
dilakukan dengan jumlah sekitar 250 kasus dilakukan post-mortem CT.
Pemeriksaan post-mortem CT menemukan hasil, kurangnya peningkatan
konsentrasi bidang paru, pembekuan darah di jantung, aorta toraks atau paru
arteri, dan urin retensi di kandung kemih ditemukan lebih sering dalam kasus
kematian hipotermia daripada non-hipotermia kasus kematian.
Poulsen & Simonsen (2007) di Copenhagen melakukan penelitian kasuskasus trauma yang dilakukan pemeriksaan CT-Scan sebelum diperiksa postmortem (autopsi). Hasilnya menunjukan bahwa CT-scanner sangat berguna untuk
bukti dan dokumentasi, yang sulit didapatkan sebelumnya. Pemeriksaan CT telah
menunjukkan sangat berguna dalam kasus perdarahan intrakranial, memar otak
dan edema, splenomegali, patah tulang panggul dan ekstremitas fraktur dan
aneurisma, baik intrakranial serta aorta.
Gambar 2.5.2 Topogram menunjukkan fraktur bilateral pada pelvis [ CITATION
Pou07 \l 1033 ].
Korelasi antara pematangan klavikula dan usia individu telah lama
dipelajari dari tulang kering dan spesimen autopsi. Studi terbaru mengungkapkan
penggunaan alat pencitraan seperti radiografi, ultrasonografi, CT, dan magnetic
resonance imaging (MRI) dalam mengevaluasi pematangan klavikularis. Di
antaranya, CT memiliki keuntungan tertentu termasuk resolusi gambar yang
tinggi, akurasi dalam mendeteksi pusat osifikasi, kurangnya jaringan lunak yang
tumpang tindih, dan potensi untuk digunakan baik individu hidup atau post
mortem [ CITATION Pat15 \l 1033 ]. Penelitian oleh Pattamapaspong et al.,
menilai perkembangan klavikularis pada populasi Thailand menggunakan thinslice computed tomography. Status penulangan dari epiphysis klavikularis medial
ditentukan pada 409 pasien yang menggunakan klasifikasi 5 tahap dengan
metode Schmeling et al. Hasil dari penelitian ini dapat membantu hasil penilaian
lebih akurat untuk memperkirakan usia.
Pencitraan menggunakan CT-Scan selain estimasi usia juga dapat menilai
perkiraan tinggi badan (stature) seseorang. Penelitian oleh Torimitsu et al. (2014)
menilai estimasi tinggi badan pada kadaver orang jepang yang diukur tulang
sacral dan coccygeal menggunaak alat Multi-Slice Computed Tomography. Dua
ratus enam belas subyek dari populasi Jepang (110 laki-laki dan 106 perempuan)
yang menjalani postmortem CT dengan autopsi forensik berikutnya antara
Januari 2010 dan Agustus 2013 diukur. Sebuah gambar penampang sagital dari
sakrum dan tulang ekor digunakan. Hasilnya setiap parameter secara signifikan
dan positif berkorelasi dengan estimasi tinggi antara laki-laki dan perempuan.
Disimpulkan bahwa panjang sacrococcygeal atau sakral diukur dengan MSCT
adalah berpotensi berguna sebagai alat untuk estimasi tinggi badan, terutama
dalam kasus di mana prediktor yang lebih baik seperti tulang panjang tidak
tersedia.
Gambar 2.5.3 Pengukuran panjang tulang dari gambar yang sudah
diformat ulang yang terdapat kedua end points; pengukuran ini digunakan untuk
estimasi tinggi badan pada mayat terdekomposisi. (a) Humerus, (b) radius, (c)
femur and (d) tibia [ CITATION Mar07 \l 1033 ].
Pada kasus yang melibatkan hilangnya banyak nyawa (Mass Fatality
Incidents), sangat penting untuk mengidentifikasi para korban dengan cepat dan
akurat, berhubungan dengan urusan hukum dan agar keluarga korban bisa segera
memakamkan dengan layak. Proses identifikasi ini mengacu pada protokol
Interpol Disaster Victim Idenfication Guideline yang membagi dalam beberapa
fase. Metode identifikasinya dibagi menjadi dua bagian yakni primary identifiers
(DNA, Sidik jari dan Rekam Gigi) dan secondary identifiers (Properti, Fotografi,
Rekam Medis, dll.) [ CITATION Mar07 \l 1033 ]. Untuk beberapa waktu ke
belakang, penggunaan metode pencitraan belum banyak digunakan, hal ini
mungkin disebabkan salah satunya terkendala alat yang sulit untuk dibawa ke
wilayah terpencil atau medan terjal dan juga belum banyak fasilitas kesehatan
yang mempunyai alat tersebut.
Sebuah studi awal dilakukan oleh Morgan, et al. (2014), memberikan
pendapat bahwa dalam kondisi darurat bisa digunakan PMCT mobile (lorry
based) yang ditempatkan dalam kamar jenazah atau fasilitas medis sementara.
Bila tidak ada sumber listrik bisa digunakan generator listrik. Protokol pencitraan
bergantung dan ditentukan pada kondisi insiden dan modalitas radiologi yang
tersedia. PMCT bisa dilakukan pada jenazah yang terbungkus dalam kantong
mayat, namun perlu prosedur tambahan untuk mengakses tubuh jenazah. Perlu
dilakukan tindakan penarikan bagian tangan ke samping tubuh, mengurangi rigor
mortis atau membuka jaringan lunak atau bahkan melepas tulang pada kasus
kebakaran, agar tubuh bisa masuk ke dalam pintu masuk alat pemindai. Petugas
yang melakukan prosedur PMCT idealnya seorang ahli forensik atau dokter
spesialis radiologi yang sudah dilatih DVI, atau radiographer yang sudah
menjalani pelatihan. Data-data radiologikal ante-mortem (misal radiograf,
fluoroskopi, CT atau dental radiologi) sangat berguna untuk membantu proses
identifikasi agar bisa dicocokan dengan hasil gambar PMCT.
BAB 3
PENUTUP
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1) CT atau CAT-Scan merupakan alat kedokteran yang digunakan untuk
menampilkan gambar penampang tubuh yang dideteksi menggunakan sinar
X-Ray dengan bantuan komputer.
2) Penerapan prinsip fisika pada CT Scan menggunakan teori Atenuasi dan
mempunyai cara kerja terdiri dari akuisisi data, pengolahan data, rekonstruksi,
representasi dan penyimpanan.
3) Kelebihan CT Scan adalah cepat, akurat, tidak invasive, resolusinya tinggi dan
dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Sedangkan kekurangan CT Scan
adalah dosisnya tinggi, biasanya terjadi movement unsharpness dan resiko
alergi media kontras.
4) Aplikasi penggunaan CT-Scan pada forensic sudah sangat berkembang luas.
Penggunaan yang sudah diteliti antara lain penentuan perkiraan usia,
perkiraan tinggi badan, penentuan penyebab kematian, dan membantu proses
identifikasi pada kematian korban massal dengan prosedur Interpol DVI.
DAFTAR PUSTAKA
Bushong, S. C., 2012. Radiologic Science for Technologists: Physics, Biology, and
Protection. 10th ed. Missouri: Mosby.
Corno, A. & Festa, P., 2009. Congenital Heart Defects: Decision Making for Cardiac
Surgery. 3rd ed. Jerman: Steinkopff Verlag.
Hendee, W. R., 2014. IMAGING IN MEDICAL DIAGNOSIS AND THERAPY. 1st
ed. Florida: Taylor & Francis Group.
Hsieh, J., 2014. History of x-ray computed tomography. In: W. R. Hendee, ed. Cone
Beam Computed Tomography. Florida: CRC Press, p. 1.
Kartawiguna, D., 2014. Pemindai Tomografi Komputer. 1st ed. Jakarta: Binus
University Press.
Kawasumia, Y., Onozuka, N., Kakizakia, A. & Usui, A., 2013. Hypothermic death:
Possibility of diagnosis by post-mortem computed tomography. European
Journal of Radiology, Volume 82, p. 361– 365.
Li, L., Chen, Z. & Wang, G., 2014. Reconstruction algorithms. In: W. R. Hendee, ed.
Cone Beam Computed Tomography. Florida: CRC Press, p. 21.
Lucas, J., 2015. Live Science. [Online]
Available at: http://www.livescience.com/32344-what-are-x-rays.html
[Accessed 12 06 2015].
Morgan, B. et al., 2014. Use of post-mortem computed tomography in Disaster
Victim Identification.. Journal of Forensic Radiology and Imaging, Volume 2,
pp. 114-116.
Pattamapaspong, N., Madla, C., Mekjaidee, K. & Namwongprom, S., 2015. Age
estimation of a Thai population based on maturation of the medial clavicular
epiphysis using computed tomography. Forensic Science International,
Volume 246, pp. 123 e1 - e5.
Poulsen, K. & Simonsen, J., 2007. Computed tomography as routine in connection
with medico-legal autopsies. Forensic Science International, Volume 171, pp.
190-197.
Sidler, M. et al., 2007. Use of multislice computed tomography in disaster victim
identification—Advantages and limitations. Forensic Science International,
Volume 169, pp. 118-128.
Thalia, M. et al., 2003. Into the decomposed body—forensic digital autopsy using
multislice-computed tomography. Forensic Science International, Volume 134,
pp. 109-114.
Torimitsu, S. et al., 2014. Stature estimation in Japanese cadavers using the sacral and
coccygeal length measured with multidetector computed tomography. Legal
Medicine, Volume 16, pp. 14-19
FISIKA FORENSIK
“Penggunaan Computed Tomography Scanning
Sebagai Alternatif Autopsi”
Oleh :
FAIZAL ARIEF NUROKHMAN
091414653001
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SEKOLAH PASCASARJANA
MAGISTER IMU FORENSIK
SURABAYA
2015
DAFTAR ISI
Halaman Judul..............................................................................................1
Daftar Isi......................................................................................................2
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.............................................................................3
1.2. Permasalahan...............................................................................4
1.3. Tujuan & Manfaat.......................................................................4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian CT-Scan.....................................................................5
2.2. Sejarah CT-Scan..........................................................................6
2.3. Prinsip Kerja Secara Fisika CT-Scan...........................................10
2.3. Kelebihan dan Kekurangan CT-Scan...........................................19
2.4. Aplikasi Dalam Forensik ............................................................19
BAB 3 PENUTUP
- Simpulan..........................................................................................24
Daftar Pustaka
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam beberapa yursidiksi di seluruh dunia, kegiatan patologi forensik
mengalami banyak perubahan. Untuk beberapa tahun angka autopsi di beberapa
rumah sakit mengalami penurunan. Pada beberapa rumah sakit pendidikan besar
kegiatan pemeriksaan autopsi konvensional dengan diseksi pada tiap-tiap sistem
organ dan pemeriksaan neuropatologis otak mulai berkurang. Alasan perubahan
ini masih belum banyak dipahami. Pada sebagian departamen patologi di rumah
sakit tindakan autopsi kurang dianggap penting dibandingkan dengan pelayanan
rutin operasi patologi. Beberapa alasan kenapa autopsi mulai dihindari karena
faktor emosi, beberapa karena alasan agama, dan sebagian lagi dengan alasan
logistical (misal, pada umat muslim setiap jenazah harus segera dimakamkan
menurut aturan agama dan adat).
Alternatif autopsi secara konvensional sudah beberapa kali diajukan
dalam dunia medikolegal. Salah satu teknologi yang diusulkan dan digunakan
adalah penggunaan alat CT-Scan (Computed tomography scanning). CT-Scan
merupakan alat kedokteran yang digunakan untuk menampilkan penampang
tubuh yang dideteksi menggunakan Sinar-X yang hasil pencitraannya diolah
dalam sebuah komputer. Hasil gambar yang didapat memungkinkan seorang ahli
radiologi untuk melihat bagian dalam tubuh pasien tanpa melakukan sayatan
bedah. Organ yang sering dievaluasi menggunakan CT-Scan antara lain otak,
leher, tulang belakang, dada, perut, panggul, dan sinus. Penggunaan CT-Scan
makin lazim dalam dunia kedokteran saat ini.
Post Mortem Computed Tomography (PMCT) telah memberikan peran
dalam proses penyelidikan suatu kematian tidak wajar. Juga sudah diusulkan
dalam penanganan kematian massal. PMCT dapat diaplikasikan pada manusia,
hewan dan material lingkungan. PMCT dapat digunakan sebagai pemeriksaan
tambahan, atau dalam beberapa kasus, sebagai pengganti autopsi. Beberapa
rekomendasi yang dapat menggunakan PMCT antara lain: 1) Mengidentifikasi
penyebab kematian, 2) DVI, 3) Mengidentifikasi material berbahaya yang ada
dalam tubuh dan 4) Membantu mengumpulkan bukti dalam prosedur penegakan
hukum [ CITATION Mor14 \l 1033 ].
Adanya
teknologi
ini
sangat
membantu
bidang
medis
karena
dimungkinkan seorang dokter melihat penyakit di masa lalu, yang seringkali
hanya bisa ditemukan di meja operasi atau dengan autopsi setelah pasien
meninggal. Sifat pemeriksaan CT-Scan yang non-invasif, aman, dan dapat
ditoleransi dengan baik oleh tubuh sangatlah menguntungkan.
Teknologi CT-Scan juga semakin berkembang, generasi terbarunya yaitu
MSCT-Scan 64 Slice (Multi Slice Computed tomography scanning 64 Slice),
mampu menghasilkan gambar lebih rinci dari bagian tubuh manusia seperti
kepala, dada, perut, pembuluh darah dan sebagainya. MSCT-Scan 64 Slice
merupakan peningkatan kecepatan yang secara signifikan dari generasi terdahulu,
sehingga penegakkan diagnosis dapat lebih akurat.
Penggunaan CT-Scan sudah makin marak di dunia kedokteran,
mendorong penulis untuk mengetahui lebih dalam bagaimana prinsip kerja secara
fisika dan pengaplikasian alat tersebut dalam dunia forensik.
1.2. Permasalahan
a)
Apa yang dimaksud dengan CT-Scan?
b)
Bagaimana prinsip kerja secara fisika CT-Scan?
c)
Bagaimana pengaplikasian penggunaan CT-Scan dalam dunia forensik?
1.3. Tujuan dan Manfaat
a)
Mengetahui tentang CT-Scan
b)
Mengetahui prinsip kerja secara fisik CT-Scan
c)
Mengetahui pengaplikasian CT-Scan pada proses pembuktian forensik.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian CT-Scan
CT-Scan (computed tomography scan) adalah proses penggunaan
komputer untuk memperoleh gambaran tiga-dimensional dari ribuan gambar
sinar-X dua-dimensional. CT-Scan dapat menghasilkan gambar-gambar yang
sangat akurat dari objek-objek di dalam tubuh seperti tulang, organ, dan
pembuluh darah. Gambar-gambar ini sangat berguna dalam mendiagnosa
berbagai penyakit, seperti kanker, penyakit jantung, stroke, kelainan organ
reproduktif, dan kelainan gastrointestinal. Citra yang dihasilkan CT-Scan jauh
lebih detail dibanding citra yang diperoleh sinar-X biasa [ CITATION Cor09 \l
1033 ].
Mesin CT-Scan berbentuk pipa dengan tempat pasien berbaring di
tengahnya. Pemroses citra (scanner) sendiri terdapat dalam frame pipa tersebut.
Saat mesin bekerja, pipa pemroses citra itu berputar sambil menembakkan sinar
rontgen ke arah pasien dari berbagai sudut. Untuk setiap putaran, sekitar 1.000
gambar bagian dalam pasien diambil. Gambar-gambar ini kemudian diproses
oleh komputer sehingga menghasilkan gambar cross-sectional bagian dalam
tubuh pasien yang dapat digunakan dalam menganalisa dan mendiagnosa pasien.
Prinsip dasar CT-Scan mirip dengan perangkat radiografi yang sudah
lebih umum dikenal. Kedua perangkat ini sama-sama memanfaatkan intensitas
radiasi terusan setelah melewati suatu obyek untuk membentuk citra/gambar.
Perbedaan antara keduanya adalah pada teknik yang digunakan untuk
memperoleh citra dan pada citra yang dihasilkan. Tidak seperti citra yang
dihasilkan dari teknik radiografi, informasi citra yang ditampilkan oleh CT-Scan
tidak overlap (tumpang tindih) sehingga dapat memperoleh citra yang dapat
diamati tidak hanya pada bidang tegak lurus berkas sinar (seperti pada foto
rontgen), citra CT-Scan dapat menampilkan informasi tampang lintang obyek
yang diinspeksi. Oleh karena itu, citra ini dapat memberikan sebaran kerapatan
struktur internal obyek sehingga citra yang dihasilkan oleh CT-Scan lebih mudah
dianalisis daripada citra yang dihasilkan oleh teknik radiografi konvensional.
CT-Scanner menggunakan penyinaran khusus yang dihubungkan dengan
komputer berdaya tinggi yang berfungsi memproses hasil scan untuk
memperoleh gambaran panampang-lintang dari badan. Pasien dibaringkan diatas
suatu meja khusus yang secara perlahan – lahan dipindahkan ke dalam cincin CTScan. Scanner berputar mengelilingi pasien pada saat pengambilan sinar rontgen.
Waktu yang digunakan sampai seluruh proses scanning ini selesai berkisar dari
45 menit sampai 1 jam, tergantung pada jenis CT-Scan yang digunakan( waktu
ini termasuk waktu check-in nya).
Proses scanning ini tidak menimbulkan rasa sakit . Sebelum dilakukan
scanning pada pasien, pasien disarankan tidak makan atau meminum cairan
tertentu selama 4 jam sebelum proses scanning. Bagaimanapun, tergantung pada
jenis prosedur, adapula prosedur scanning yang mengharuskan pasien untuk
meminum suatu material cairan kontras yang mana digunakan untuk melakukan
proses scanning khususnya untuk daerah perut.
CT-Scan memiliki beberapa kelebihan dibanding sinar-X biasa: citra yang
diperoleh CT-Scan beresolusi lebih tinggi, sinar rontgen dalam CT-Scan dapat
difokuskan pada satu organ atau objek saja, dan citra perolehan CT-Scan
menunjukkan posisi suatu objek relatif terhadap objek-objek di sekitarnya
sehingga dokter dapat mengetahui posisi objek itu secara tepat dan akurat.
Kelebihan-kelebihan tersebut telah membuat CT-Scan menjadi proses radiografis
medis yang paling sering direkomendasikan oleh dokter dan, dalam banyak
kasus, telah menggantikan proses sinar-X biasa secara total [ CITATION Bus12 \l
1033 ].
Gambar 2.1.1 Contoh alat CT-Scan [ CITATION Bus12 \l 1033 ].
2.2. Sejarah CT-Scan
Awal perkembangan CT-Scan bermula dari tanggal 11 Agustus 1895,
yaitu dengan ditemukannya radiasi Sinar-X oleh seorang ahli fisika
berkebangsaan Jerman yang bernama Wilhem Conrad Rontgen (1845-1923)
(Gambar 2.2.1). Gambar Sinar-X tubuh manusia pertama yang pernah diambil
dan paling terkenal yakni gambar tangan istri Roentgen (Gambar 2.2.2).
Meskipun kekuatan Sinar-X bertumpu pada kemampuan mereka untuk
menembus bahan padat dan punya karakteristik redaman tergantung bahan yang
dilewati, tidak mungkin untuk memvisualisasikan struktur tertentu sepanjang
jalur yang dilewati tanpa mempertimbangkan pelemahan yang disebabkan oleh
struktur lain sepanjang jalur tersebut. Tumpang tindih ini diilustrasikan dalam
hasil gambar Tangan Mrs. Roentgen, di mana bayangan cincin kawin tumpang
tindih dengan struktur tulang di dalam cincin. Keinginan untuk menghapus
dampak dari struktur tumpang tindih tersebut menjadi awal perkembangan
tomografi konvensional[ CITATION Hen14 \l 1033 ].
Gambar 2.2.1 Wilhem C. Roentgen [ CITATION Hen14 \l 1033 ].
Gambar 2.2.2 Hasil citra Sinar-X tangan istri Roentgen [ CITATION Hen14 \l 1033 ].
Sinar-X adalah merupakan gelombang electromagnet yang mempunyai
panjang gelombang berkisar antara 10 nm – 100 pm (Gambar 2.2.3). Sinar-X
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut [ CITATION Kar14 \l 1033 ]:
·
Memiliki daya tembus yang besar.
·
Dapat diserap oleh materi (tergantung nomor atomnya).
·
Memiliki efek fotografi (dapat menghitamkan film).
·
Dapat menimbulkan efek fluorosensi (memendarkan fosfor).
·
Dapat dibelokkan / dihamburkan (difraksi Sinar-X)
·
Menimbulkan ionisasi.
Gambar 2.2.3 Spektrum elektromagnetik umumnya dibagi menjadi tujuh area, dalam
proses penurunan panjang gelombang dan peningkatan energi dan
frekuensi: gelombang radio, gelombang mikro, inframerah, cahaya
tampak, ultraviolet, sinar-X dan sinar gamma. [ CITATION Luc15 \l
1033 ]
Oleh karena sinar-X memiliki daya tembus yang besar dan dapat
menghitamkan kertas atau plat foto maka sinar ini banyak diaplikasikan dalam
teknik radiologi konvensional. Sinar-X memungkinkan orang pertama kali untuk
melihat struktur dari tubuh manusia bagian dalam tanpa melakukan operasi /
pembedahan. Namun Sinar-X pada masa ini juga memiliki keterbatasan, yaitu,
gambar yang dihasilkan merupakan superimposisi (overlap) dari obyek yang
diamati dan juga tidak dapat menggambarkan jaringan lunak. Selain itu ada juga
masalah lainnya yaitu, pada teknik radiografi konvensional, jika dua buah obyek
yang memiliki besar yang berbeda, dapat tampak sama besar jika hanya dilhat
dari satu sudut pandang saja. Dan masalah lainnya, jika dua buah obyek yang
berbeda ukuran dan terletak dalam satu garis lurus Sinar-X, maka organ yang
kecil tidak dapat terlihat, karena tertutup obyek yang lebih besar [ CITATION
Kar14 \l 1033 ]. Solusi dari 2 masalah ini adalah dengan teknik pemeriksaan
tomografi. Gambar tomogram yang dihasilkan oleh peralatan sinar-X
konvensional diperoleh dengan tomografi bergerak. Tomogram adalah sebuah
gambar dari bidang atau irisan bagian tubuh.
Salah satu pelopor tomografi konvensional adalah E. M. Bocage (1922).
Pada awal tahun 1921, Bocage melakukan suatu teknik yang berusaha
memisahkan gambaran overlapping dari suatu organ yang diperiksa yang
dinamakan Tomografi. Komponen utama dari penemuannya mencakup tabung
sinar-X, sebuah film sinar-X, dan koneksi mekanik untuk memastikan gerakan
sinkron dari tabung dan film (Gambar 2.2.4). Teknik yang dikembangkan adalah
dengan menggerakkan tabung Sinar-X dan film dalam kaset secara bersamaan,
dan menggunakan fulcrum sebagai titik focus dari organ yang akan diperiksa.
Organ yang ada di bagian atas dan bawah obyek yang diperiksa akan tampak blur
(samar) sedangkan objek yang diperiksa akan tampak lebih jelas. Teknik
Tomografi ini digunakan pertama kali pada tahun 1935.
Namun demikian teknik ini masih mempunyai beberapa kekurangan,
yaitu hanya area tertentu saja yang berada pada bidang focus yang dapat terlihat
jelas, dan bidang-bidang lainnya yang tidak berada pada bidang focus tidak dapat
terlihat dengan jelas. Sedangkan dunia ilmu pengetahuan terus berkembang
dengan pesat. Ilmu kedokteran modern membutuhkan gambaran yang mampu
menampilkan organ dengan lebih jelas tidak hanya pada organ yang diperiksa,
melainkan juga organ lain disekitarnya [ CITATION Hen14 \l 1033 ].
Gambar 2.2.4 Ilustrasi prinsip tomografi konvensional. (a) Pada waktu tertentu, objek A
(terletak pada bidang fokus) dan objek B (terletak di atas bidang fokus)
menghasilkan bayangan A'dan B' masing-masing pada film. (b) Pada
waktu Sesaat kemudian, sumber kedua sinar-X dan film yang bergerak
dalam arah berlawanan dengan kecepatan tertentu sehingga bayangan A"
dipindahkan oleh objek A tumpang tindih dengan bayangan A'. Bayangan
B" dari benda B tidak tumpang tindih dengan B'.
Perkembangan aplikasi medis Sinar-X Computed Tomography pertama
kali dikembangkan pada tahun 1963 oleh Godfrey N. Hounsfield dan A. M.
Cormack (Gambar 2.2.5 a dan b) yang bekerja di Central Research Lab of EMI,
Ltd di Inggris menghasilkan Gambar klinis pertama dengan CT-Scan (Computed
tomography scan). Dan merupakan tanda awal dari dimulainya era baru
perkembangan diagnostic imaging.
Pada tahun 1974, enam puluh unit CT terpasang. Awalnya pemeriksaan
yang dilakukan hanya terbatas pada CT kepala saja. Dan pada tahun 1975
diperkenalkan pertama kali sebuah Whole Body scanner (CT-Scan seluruh tubuh)
yang digunakan untuk penunjang klinis . Pada tahun 1979, Hounsfield dan
Cormack dianugerahi hadiah nobel.
Pada tahun 1989, W.A. Kalender dan P. Vock melakukan pemeriksaan
klinis pertama dengan menggunakan Spiral CT. Dan pada tahun 1998 mulailah
diperkenalkan alat Multi Slice CT (MSCT) dengan 4 slice. Pada tahun 2000
dikembangkan PET/CT sistem, kemudian di tahun 2001 telah dikembangkan CTScan 16 slice. Pada tahun 2004 dikembangkan teknik CT-Scan 64 slice dan telah
lebih dari 40000 instalasi CT untuk aplikasi klinik [CITATION Hsi14 \l 1033 ].
Gambar 2.2.5 Penemu CT Sinar-X pertama; Godfrey N. Hounsfield (a) dan Allan
M. Cormack (b).
Teknik pencitraan CT sama sekali berbeda dengan teknik pencitraan
radiologi biasa (konvensional). Computed Tomography atau CT adalah sebuah
proses radiologi untuk menghasilkan gambaran dari potongan melintang (transaxial) tubuh pasien. Dua buah karakteristik baru yang ada pada gambar yang
dihasilkan pada CT adalah peralatan digital yang menghasilkan gambaran digital
dan gambar irisan mempresentasikan volume / informasi 3 Dimensi.
Namun pencitraan CT-Scan juga masih mengalami kendala terhadap
organ – organ yang mempunyai densitas hampir sama. Misalnya adalah kasus
tumor pada jaringan, dimana gambaran tumor sulit dibedakan dengan jaringan
sekitarnya. Demikian juga pencitraan sistem peredaran darah, sistem urinaria
(saluran kencing), dan masih banyak lagi kasus – kasus pemeriksaan CT-Scan
yang sulit divisualisasikan secara baik dengan pemeriksaan CT-Scan. Untuk
mengatasi hal tersebut, maka mulailah dilakukan penelitian untuk memperoleh
hasil pencitraan CT-Scan yang dapat membedakan suatu organ yang diperiksa
dengan organ lain disekitarnya dengan menambahkan suatu zat yang dianggap
mampu memvisualisasikan organ – organ yang mempunyai densitas hampir
sama.
Zat tersebut dinamakan “Contrast Media” atau Bahan Kontras
[ CITATION Kar14 \l 1033 ].
2.3. Prinsip Kerja Secara Fisika CT-Scan
2.3.1. Teori Atenuasi
Pada prinsipnya, tomografi komputer mengukur distribusi spasial
(ruang) suatu kuantitas fisik yang akan diamati dari arah yang berbedabeda dengan tujuan untuk merekonstruksi gambar yang bebas dari
superimposisi dari data tersebut. Kuantitas fisik yang diukur adalah
koefisien atenuasi (µ) dari obyek yang menyebabkan pelemahan intensitas
sinar-X oleh obyek yang ditembus oleh sinar-X tersebut.
Teori Atenuasi ini adalah prinsip dasar yang membedakan CT-Scan
dengan peralatan radiografi yang konvensional yang juga memanfaatkan
radiasi sinar-X. Berkas sinar-X yang menembus suatu obyek akan
mengalami pelemahan (kehilangan energi) yang diakibatkan oleh:
Penyerapan oleh obyek
Penghamburan oleh obyek
Penyerapan radiasi sinar-X oleh jaringan adalah sebanding dengan
densitas jaringan yang ditembus. Jaringan tubuh dengan kepadatan yang
tinggi akan memberikan perlemahan yang lebih besar. Sedangkan jaringan
tubuh dengan kepadatan yang rendah akan memberikan perlemahan yang
kecil. Berdasarkan ilmu fisika, terjadinya atenuasi lokal dari suatu jaringan
yang disinari sinar-X disebabkan oleh sejumlah proses interaksi antara
sinar-X dengan hal lain, misalnya Efek fotolistrik dan Hamburan Compton.
Masing-masing proses fisika tersebut dapat mempengaruhi fungsi dari
energi radiasi karena sinar-X yang dihasilkan oleh tabung sinar-X tersebut
terdiri atas spektrum-spektrum energi. Dengan demikian jelaslah bahwa
masing-masing karakteristik atenuasi yang dimiliki oleh suatu jaringan,
disebut koefisien atenuasi linier μ, adalah suatu fungsi kompleks yang
memiliki nilai berbeda-beda bergantung pada energi radiasi yang
menyinarinya. Fungsi dari energi radiasi terhadap koefisien atenuasi dapat
dilihat pada gambar di bawah, dimana nilai μ besar untuk energi radiasi
yang kecil dan akan terus berkurang bila energi radiasinya semakin besar.
Pada CT-Scan masing-masing atenuasi sinar-X untuk tiap-tiap bagian dari
suatu jaringan dibuat rekonstruksi gambarnya secara diskrit, sedangkan
pada radiografi konvensional dilakukan proses superposisi terlebih dahulu
terhadap informasi atenuasi tersebut [ CITATION Kar14 \l 1033 ].
2.3.2. Cara Kerja CT-Scan
Tabung sinar-X sebagai sumber radiasi yang akan menghasilkan
radiasi sinar-X yang terkolimasi (terarah) dan diarahkan ke pasien untuk
menembus tubuh pasien (dalam gambar adalah kepala pasien). Kemudian
berkas sinar-X yang telah menembus tubuh pasien tersebut ditangkap oleh
detektor menghasilkan satu proyeksi. Susunan tabung sinar-X dan detektor
ini akan bergerak mengelilingi tubuh pasien dan menghasilkan proyeksi
dari obyek yang ditembus tersebut. Hasil proyeksi ini yang kemudian
diolah oleh komputer sehingga membentuk gambar potongan melintang
dari jaringan tubuh/obyek tersebut.
Gambar 2.3.1 Prinsip kerja CT-Scan [ CITATION Kar14 \l 1033 ].
Berikut ini adalah diagram blok dari keseluruhan kerja sistem CT-Scan,
mulai dari sistem pembangkit radiasi Sinar-X beserta sistem kontrolnya
sampai didapatkan gambar yang diinginkan pada selembar film atau
disimpan dalam cakram magnetik.
Gambar 2.3.2 Diagram Blok sistem CT-Scan secara keseluruhan [ CITATION
Kar14 \l 1033 ].
2.3.3. Akuisisi Data dan Rekonstruksi Gambar pada CT-Scan
Akusisi data berarti kumpulan hasil penghitungan transmisi Sinar-X
setelah melalui tubuh pasien. Sekali Sinar-X menembus pasien, berkas
tersebut diterima oleh detektor khusus yang menghitung nilai transmisi
atau nilai atenuasi (penyerapan).
Penghitungan transmisi yang cukup atau data harus terekam sebagai
syarat proses rekonstruksi. Pada skema kumpulan data yang pertama kali
tabung Sinar-X dan detektor bergerak pada garis lurus atau translasi
melewati kepala pasien, mengumpulkan hasil penghitungan transmisi
selama pergerakan dari kiri ke kanan. Lalu Sinar-X berotasi 1 derajat dan
mulai lagi melewati kepala pasien, kali ini dari kanan ke kiri. Proses gerak
translasi-rotasi-stop-rotasi ini dinamakan scanning yang berulang 180 kali.
Permasalahan dasar yang muncul dengan metode pengambilan data
ini adalah lamanya waktu yang diperlukan untuk mendapat data yang
cukup untuk rekonstruksi gambar. Berikutnya, diperkenalkan skema
scanning pasien yang lebih efisien. Sebagai tambahan, sinyal dari detektor
harus dikonversikan menjadi data yang dapat dipakai oleh komputer untuk
menghasilkan gambar.
Tahap pertama pada akuisisi data adalah proses scanning. Selama
scanning tabung Sinar-X dan detektor berputar mengelilingi pasien untuk
mendapatkan data atenuasi pasien. Detektor menangkap radiasi yang
diteruskan melalui pasien dari beberapa lokasi dan dari beberapa sudut.
Sebagai hasilnya, nilai transmisi relatif atau pengukuran atenuasi dapat
dihitung sebagai berikut:
Transmisi relatif
=
log I0
I
dengan
I0
=
Intensitas Sinar-X pada tabung
I
=
Intensitas Sinar-X pada detektor
Metode akuisisi data CT-Scan ada dua, yaitu :
a. Metode konvensional slice by slice atau metode aksial.
Prinsipnya, tabung sinar–x dan detektor bergerak mengelilingi
pasien dan mengumpulkan data proyeksi pasien. Saat pengambilan
data proyeksi, posisi meja berhenti. Kemudian meja pasien bergerak
untuk menuju posisi kedua dan dilakukan proses scanning
berikutnya. Demikian seterusnya.
b. Metode spiral atau helical.
Pada metode ini tabung sinar–X bergerak mengelilingi pasien yang
juga bergerak. Pada metode ini, berkas Sinar-X membentuk pola
spiral atau helical. Data untuk rekonstruksi citra pada setiap slice
diperoleh dengan interpolasi. Teknik ini memiliki kelebihan dalam
waktu yang relatif cepat.
Gambar 2.3.3 Skema dasar Akuisisi Data pada CT-Scan [ CITATION Kar14 \l
1033 ].
Sinar-X yang mengalami atenuasi setelah menembus objek akan
ditangkap oleh detektor yang berhadapan dengan sumber sinar dan terletak
di belakang objek. Pada saat yang bersamaan detektor menerima berkas
Sinar-X yang langsung berasal dari sumber, berkas radiasi tersebut oleh
detektor diubah dalam bentuk sinyal listrik yang akhirnya oleh analog
digital converter diubah dalam bentuk digital. Selanjutnya data tersebut
dikirim ke komputer dan melalui proses matematis data-data tersebut
direkonstruksi dan ditampilkan kembali pada layar monitor berupa citra
dengan skala keabuan.
Gambar 2.3.4 Prinsip CT-Scan Spiral
Dasar teori matematika yang digunakan untuk rekonstruksi gambar
hasil proyeksi pada CT-Scan adalah Transformasi Radon. Informasi yang
diperoleh dari pengukuran yang dilakukan adalah sekumpulan nilai
proyeksi dari distribusi koefisien atenuasi µ(x,y) yang tidak diketahui, yang
disebut sebagai “transformasi Radon” dari gambar atau obyek. Untuk
mendapatkan
masing-masing
tranformasi balik dari data ini.
nilai
µ(x,y)
maka
harus
dilakukan
Gambar 2.3.5 Proyeksi obyek yang diperoleh dari satu putaran penuh
[ CITATION Kar14 \l 1033 ].
Gambar 2.3.6 Rekonstruksi gambar dari data mentah menjadi gambar CT-Scan
[ CITATION Kar14 \l 1033 ].
Hasil akuisisi seluruh proyeksi dari obyek disebut sebagai data
mentah (raw data). Bila data mentah ini ditampilkan akan membentuk
suatu pola yang disebut sebagai sinogram atau raw data. Sinogram ini
sesungguhnya merupakan transformasi Radon dari obyek.Ada beberapa
prosedur yang dapat digunakan untuk melakukan tranformasi balik dari
data ini, diantaranya adalah:
1) Teknik Rekonstruksi Aljabar atau Algebraic Reconstruction
Techniques (ART)
2) Metode Fourier
3) Proyeksi Balik Tertapis (Filtered Backprojection)
4) Prosedur Proyeksi Balik dengan Konvolusi (ConvolutionBackprojection Procedure).
Metode
back
projection
banyak
digunakan
dalam
bidang
kedokteran. Metode ini menggunakan pembagian pixel-pixel yang kecil
dari suatu
irisan melintang. Pixel didasarkan pada nilai absorbsi linier.
Kemudian pixel-pixel ini disusun menjadi sebuah profil dan terbentuklah
sebuah matrik. Rekonstruksi dilakukan dengan jalan saling menambah
antar elemen matrik.
Untuk mendapatkan gambar rekonstruksi yang lebih baik, maka
digunakan metode konvolusi. Proses rekonstruksi dari konvolusi dapat
dinyatakan dalam bentuk matematik yaitu transformasi Fourier.Dengan
menggunakan konvolusidan transformasi Fourier, maka bayangan radiologi
dapat dimanipulasi dan dikoreksi sehingga dihasilkan gambar yang lebih
baik.
Rekonstruksi matriks adalah deretan baris dan kolom dari picture
element (pixel) dalam proses perekonstruksian gambar. Rekonstruksi
matriks ini merupakan salah satu struktur elemen dalam memori komputer
yang berfungsi untuk merekonstruksi gambar. Jumlah ukuran matriks yang
dapat digunakan yaitu 80 x 80, 128 x 128, 256 x 256, 512 x 512 dan 1024 x
1024. Rekonstruksi matriks ini berpengaruh terhadap resolusi gambar yang
akan dihasilkan. Semakin tinggi matriks yang dipakai, maka semakin tinggi
resolusi yang akan dihasilkan.
Rekonstruksi algorithma adalah prosedur matematis (algorithma)
yang digunakan dalam merekonstruksi gambar. Ada 3 rekonstruksi dasar
algoritma yang digunakan pada CT kepala, cervikal dan tulang belakang.
Yaitu sebagai berikut [ CITATION LiL14 \l 1033 ]:
a. Algoritma standar
Standar algoritma menyediakan resolusi kontras yang baik dan oleh
sebab itu algoritma ini menjadi pilihan untuk pemeriksaan brain.
Selain itu juga berguna untuk soft tissue pada kepala, wajah, dan
tulang belakang.
b. Bone algoritma
Bone algoritma membantu meningkatkan spatial resolusi tetapi
menghasilkan
resolusi
kontras
yang
buruk.
Akibatnya,
jenisalgoritma ini hanya digunakan pada area dengan densitas
jaringan yang tinggi seperti Sinus paranasal atau tulang temporal.
c. Detail algoritma
Detail algoritma memberikan cukup resolusi kontras dengan batas
tepi yang baik. Oleh karena itu dapat digunakan untuk memperoleh
definisi yang lebih baik antar jaringan, terutama pada leher dan
wajah.
2.3.4. Penampilan Gambar
Irisan dari suatu obyek terbagi dalam elemen volume yang kecil
yang disebut dengan “voxel”. Masing-masing voxel memiliki suatu nilai
tertentu yang menyatakan atenuasi rata-rata sinar-X oleh obyek pada posisi
tersebut. Sedangkan, elemen gambar dalam bidang 2 dimensi disebut
“pixel”. Satu bagian volume dari gambar yang direkonstruksi (= voxel)
diwakili oleh ukuran pixel di bidang (x, y) dan ketebalan irisan (s) dalam
sumbu-z. Teknik rekonstruksi gambar CT kemudian dapat dilakukan
dengan membagi-bagi irisan jaringan yang disinari menjadi beberapa
”pixel” dimana masing-masing ”pixel”
mewakili
CT
Number-nya
masing-masing.
Nilai
koefisien
pelemahan radiasi diukur kemudian dikodekan dan ditransfer ke komputer.
Oleh komputer akan ditampilkan dalam gambar 2 dimensi yang disebut
dengan matriks. Kumpulan CT Number dari ”pixel-pixel” tersebut dapat
dinyatakan dalam bentuk matriks untuk keperluan rekonstruksi dan
penampilan gambar.
Nilai-nilai CT Number tersebut akan ditampilkan pada layar
monitor dengan cara mengkonversikannya ke dalam skala dari hitam ke
putih (grey scale). CT Number yang tinggi (jaringan keras, tulang) akan
ditampilkan menjadi putih dan CT Number yang rendah (lemak, udara)
akan ditampilkan hitam. Karena untuk jaringan lunak (Soft tissue) memiliki
range tertentu yang kemudian masih dibagi-bagi lagi menjadi beberapa
jaringan, maka khusus untuk jaringan lunak ini dipakai teknik degradasi
warna dari hitam ke putih sesuai skala grey level agar jaringan-jaringan
lunak dengan skala range kecil dapat ditampilkan dalam warna yang
berbeda satu dan lainnya [ CITATION Kar14 \l 1033 ].
Gambar CT dapat disimpan dalam pita magnetik dan cakram
magnetik. Saat ini, teknologi penyimpanan optik telah menambah dimensi
penyimpanan informasi dari CT-Scan. Pada penyimpanan optik, data yang
terekam dibaca oleh sinar laser. Pada kasus ini penyimpanannya biasa
disebut laser storage. Media penyimpanan optik seperti disket, pita kaset
dan kartu. Pada CT, komunikasi bermakna transmisi elektronik data berupa
tulisan dan gambar dari CT-Scan ke alat lain seperti laser printer, diagnostic
workstation, layar monitor di radiologi, ICU, kamar operasi dan trauma di
RS; dan komputer di luar RS. Komunikasi elektronik pada CT perlu
protokol standar yang memungkinkan koneksitas (networking) antar
modalitas (CT, MRI, digital radiography danfluoroscopy) dan peralatan
multivendor.
2.4. Keunggulan dan Kekurangan CT-Scan
1) Kelebihan CT-Scan
a. Gambar yang dihasilkan memiliki resolusi yang baik dan akurat.
b. Tidak invasive (tindakan non bedah).
c. Waktu perekaman cepat.
d. Gambar yang direkontruksi dapat dimanipulasi dengan komputer
sehingga dapat dilihat dari berbagai sudut pandang.
2) Kekurangan CT-Scan
a. Paparan radiasi akibat sinar X yang digunakan yaitu sekitar 4%
dari radiasi sinar X saat melakukan foto rontgen. Jadi ibu hamil
wajib memberitahu kondisi kehamilannya sebelum pemeriksaan.
b. Munculnya artefak (gambaran yang seharusnya tidak ada tapi
terekam). Hal ini biasanya timbul karena pasien bergerak selama
perekaman, pasien menggunakan tambal gigi amalgam atau sendi
palsu dari logam, atau kondisi jaringan tubuh tertentu.
c. Reaksi alergi pada zat kontras yang digunakan untuk membantu
tampilan gambar.
2.5. Aplikasi Dalam Forensik dan Medikolegal
Pada
tahun
1895,
Wilhelm
Conrad
Roentgen
(1845-1923)
memperkenalkan citra pertama X-ray manusia. Dia menunjukkan gambar
kerangka tangan istrinya. Pada tahun yang sama, pemeriksaan X-ray juga
diperkenalkan sebagai alat bukti di pengadilan, berupa gambar yang
menunjukkan peluru di kaki, yang ditembakan oleh seseorang, tetapi dokter
bedah tidak dapat menemukan proyektilnya. Peluru itu terlokalisasi di kaki
bagian bawah antara tibia dan fibula. Gambar itu dihadirkan di Pengadilan, dan
pelaku dijatuhi hukuman 14 tahun penjara. Tiga tahun kemudian teknik ini
digunakan dalam pemeriksaan mayat. Banyak pemeriksaan X-ray sehubungan
dengan forensik dalam autopsi, telah terbatas pada kasus-kasus tertentu seperti
luka tembak peluru, sindrom battered child dan tenggelam, serta untuk tujuan
identifikasi, dll.
Sejak awal tahun 1970 computed tomography telah dikembangkan, yang
dimungkinkan untuk membuat citra radiologi cross-sectional dari seluruh tubuh.
Pada tahun 1998, CT-Scanner generasi baru diperkenalkan. Alat ini mampu untuk
menghasilkan berbagai citra cross-sectional dari tubuh yang lengkap dalam
waktu kurang dari 1 menit. Teknik ini, bersama-sama dengan multi slice
computed tomography (MSCT), telah diterapkan dalam beberapa kasus-kasus
tertentu dan sukses besar selama beberapa tahun terakhir. Institute of Forensik
Medicine di Copenhagen pada bulan April 2002 memperoleh Spiral CT-Scanner,
dan dari Desember 2002 telah menjadi prosedur rutin di Departemen Patologi
forensik untuk melakukan scanning pada seluruh tubuh dari semua mayat
sebelum dilakukan pemeriksaan post-mortem [ CITATION Pou07 \l 1033 ].
Menurut Thalia, et al. (2003), penggunaan CT-scan dapat menjadi alat
alternatif dalam proses identifikasi selain menggunakan metode baku seperti
DNA, Sidik jari, dan Odontologi. Misalnya pada proses pencarian anak peluru,
benda asing dalam tubuh, dan pencitraan pada mayat yang sudah mengalami
dekomposisi.
(a)
(b)
Gambar 2.5.1 (a) Potongan axial computed tomography menunjukkan citra adanya
fragmen tulang dan otak mengalami kolaps akibat pembusukan dalam. (b)
Penampakan sepert keju Swiss otak akibat adanya gas dekomposisi
(panah) [ CITATION Tha03 \l 1033 ].
Penelitian oleh Kawasumia et al (2013) pada kasus tenggelam yang
dilakukan dengan jumlah sekitar 250 kasus dilakukan post-mortem CT.
Pemeriksaan post-mortem CT menemukan hasil, kurangnya peningkatan
konsentrasi bidang paru, pembekuan darah di jantung, aorta toraks atau paru
arteri, dan urin retensi di kandung kemih ditemukan lebih sering dalam kasus
kematian hipotermia daripada non-hipotermia kasus kematian.
Poulsen & Simonsen (2007) di Copenhagen melakukan penelitian kasuskasus trauma yang dilakukan pemeriksaan CT-Scan sebelum diperiksa postmortem (autopsi). Hasilnya menunjukan bahwa CT-scanner sangat berguna untuk
bukti dan dokumentasi, yang sulit didapatkan sebelumnya. Pemeriksaan CT telah
menunjukkan sangat berguna dalam kasus perdarahan intrakranial, memar otak
dan edema, splenomegali, patah tulang panggul dan ekstremitas fraktur dan
aneurisma, baik intrakranial serta aorta.
Gambar 2.5.2 Topogram menunjukkan fraktur bilateral pada pelvis [ CITATION
Pou07 \l 1033 ].
Korelasi antara pematangan klavikula dan usia individu telah lama
dipelajari dari tulang kering dan spesimen autopsi. Studi terbaru mengungkapkan
penggunaan alat pencitraan seperti radiografi, ultrasonografi, CT, dan magnetic
resonance imaging (MRI) dalam mengevaluasi pematangan klavikularis. Di
antaranya, CT memiliki keuntungan tertentu termasuk resolusi gambar yang
tinggi, akurasi dalam mendeteksi pusat osifikasi, kurangnya jaringan lunak yang
tumpang tindih, dan potensi untuk digunakan baik individu hidup atau post
mortem [ CITATION Pat15 \l 1033 ]. Penelitian oleh Pattamapaspong et al.,
menilai perkembangan klavikularis pada populasi Thailand menggunakan thinslice computed tomography. Status penulangan dari epiphysis klavikularis medial
ditentukan pada 409 pasien yang menggunakan klasifikasi 5 tahap dengan
metode Schmeling et al. Hasil dari penelitian ini dapat membantu hasil penilaian
lebih akurat untuk memperkirakan usia.
Pencitraan menggunakan CT-Scan selain estimasi usia juga dapat menilai
perkiraan tinggi badan (stature) seseorang. Penelitian oleh Torimitsu et al. (2014)
menilai estimasi tinggi badan pada kadaver orang jepang yang diukur tulang
sacral dan coccygeal menggunaak alat Multi-Slice Computed Tomography. Dua
ratus enam belas subyek dari populasi Jepang (110 laki-laki dan 106 perempuan)
yang menjalani postmortem CT dengan autopsi forensik berikutnya antara
Januari 2010 dan Agustus 2013 diukur. Sebuah gambar penampang sagital dari
sakrum dan tulang ekor digunakan. Hasilnya setiap parameter secara signifikan
dan positif berkorelasi dengan estimasi tinggi antara laki-laki dan perempuan.
Disimpulkan bahwa panjang sacrococcygeal atau sakral diukur dengan MSCT
adalah berpotensi berguna sebagai alat untuk estimasi tinggi badan, terutama
dalam kasus di mana prediktor yang lebih baik seperti tulang panjang tidak
tersedia.
Gambar 2.5.3 Pengukuran panjang tulang dari gambar yang sudah
diformat ulang yang terdapat kedua end points; pengukuran ini digunakan untuk
estimasi tinggi badan pada mayat terdekomposisi. (a) Humerus, (b) radius, (c)
femur and (d) tibia [ CITATION Mar07 \l 1033 ].
Pada kasus yang melibatkan hilangnya banyak nyawa (Mass Fatality
Incidents), sangat penting untuk mengidentifikasi para korban dengan cepat dan
akurat, berhubungan dengan urusan hukum dan agar keluarga korban bisa segera
memakamkan dengan layak. Proses identifikasi ini mengacu pada protokol
Interpol Disaster Victim Idenfication Guideline yang membagi dalam beberapa
fase. Metode identifikasinya dibagi menjadi dua bagian yakni primary identifiers
(DNA, Sidik jari dan Rekam Gigi) dan secondary identifiers (Properti, Fotografi,
Rekam Medis, dll.) [ CITATION Mar07 \l 1033 ]. Untuk beberapa waktu ke
belakang, penggunaan metode pencitraan belum banyak digunakan, hal ini
mungkin disebabkan salah satunya terkendala alat yang sulit untuk dibawa ke
wilayah terpencil atau medan terjal dan juga belum banyak fasilitas kesehatan
yang mempunyai alat tersebut.
Sebuah studi awal dilakukan oleh Morgan, et al. (2014), memberikan
pendapat bahwa dalam kondisi darurat bisa digunakan PMCT mobile (lorry
based) yang ditempatkan dalam kamar jenazah atau fasilitas medis sementara.
Bila tidak ada sumber listrik bisa digunakan generator listrik. Protokol pencitraan
bergantung dan ditentukan pada kondisi insiden dan modalitas radiologi yang
tersedia. PMCT bisa dilakukan pada jenazah yang terbungkus dalam kantong
mayat, namun perlu prosedur tambahan untuk mengakses tubuh jenazah. Perlu
dilakukan tindakan penarikan bagian tangan ke samping tubuh, mengurangi rigor
mortis atau membuka jaringan lunak atau bahkan melepas tulang pada kasus
kebakaran, agar tubuh bisa masuk ke dalam pintu masuk alat pemindai. Petugas
yang melakukan prosedur PMCT idealnya seorang ahli forensik atau dokter
spesialis radiologi yang sudah dilatih DVI, atau radiographer yang sudah
menjalani pelatihan. Data-data radiologikal ante-mortem (misal radiograf,
fluoroskopi, CT atau dental radiologi) sangat berguna untuk membantu proses
identifikasi agar bisa dicocokan dengan hasil gambar PMCT.
BAB 3
PENUTUP
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1) CT atau CAT-Scan merupakan alat kedokteran yang digunakan untuk
menampilkan gambar penampang tubuh yang dideteksi menggunakan sinar
X-Ray dengan bantuan komputer.
2) Penerapan prinsip fisika pada CT Scan menggunakan teori Atenuasi dan
mempunyai cara kerja terdiri dari akuisisi data, pengolahan data, rekonstruksi,
representasi dan penyimpanan.
3) Kelebihan CT Scan adalah cepat, akurat, tidak invasive, resolusinya tinggi dan
dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Sedangkan kekurangan CT Scan
adalah dosisnya tinggi, biasanya terjadi movement unsharpness dan resiko
alergi media kontras.
4) Aplikasi penggunaan CT-Scan pada forensic sudah sangat berkembang luas.
Penggunaan yang sudah diteliti antara lain penentuan perkiraan usia,
perkiraan tinggi badan, penentuan penyebab kematian, dan membantu proses
identifikasi pada kematian korban massal dengan prosedur Interpol DVI.
DAFTAR PUSTAKA
Bushong, S. C., 2012. Radiologic Science for Technologists: Physics, Biology, and
Protection. 10th ed. Missouri: Mosby.
Corno, A. & Festa, P., 2009. Congenital Heart Defects: Decision Making for Cardiac
Surgery. 3rd ed. Jerman: Steinkopff Verlag.
Hendee, W. R., 2014. IMAGING IN MEDICAL DIAGNOSIS AND THERAPY. 1st
ed. Florida: Taylor & Francis Group.
Hsieh, J., 2014. History of x-ray computed tomography. In: W. R. Hendee, ed. Cone
Beam Computed Tomography. Florida: CRC Press, p. 1.
Kartawiguna, D., 2014. Pemindai Tomografi Komputer. 1st ed. Jakarta: Binus
University Press.
Kawasumia, Y., Onozuka, N., Kakizakia, A. & Usui, A., 2013. Hypothermic death:
Possibility of diagnosis by post-mortem computed tomography. European
Journal of Radiology, Volume 82, p. 361– 365.
Li, L., Chen, Z. & Wang, G., 2014. Reconstruction algorithms. In: W. R. Hendee, ed.
Cone Beam Computed Tomography. Florida: CRC Press, p. 21.
Lucas, J., 2015. Live Science. [Online]
Available at: http://www.livescience.com/32344-what-are-x-rays.html
[Accessed 12 06 2015].
Morgan, B. et al., 2014. Use of post-mortem computed tomography in Disaster
Victim Identification.. Journal of Forensic Radiology and Imaging, Volume 2,
pp. 114-116.
Pattamapaspong, N., Madla, C., Mekjaidee, K. & Namwongprom, S., 2015. Age
estimation of a Thai population based on maturation of the medial clavicular
epiphysis using computed tomography. Forensic Science International,
Volume 246, pp. 123 e1 - e5.
Poulsen, K. & Simonsen, J., 2007. Computed tomography as routine in connection
with medico-legal autopsies. Forensic Science International, Volume 171, pp.
190-197.
Sidler, M. et al., 2007. Use of multislice computed tomography in disaster victim
identification—Advantages and limitations. Forensic Science International,
Volume 169, pp. 118-128.
Thalia, M. et al., 2003. Into the decomposed body—forensic digital autopsy using
multislice-computed tomography. Forensic Science International, Volume 134,
pp. 109-114.
Torimitsu, S. et al., 2014. Stature estimation in Japanese cadavers using the sacral and
coccygeal length measured with multidetector computed tomography. Legal
Medicine, Volume 16, pp. 14-19