Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada Ibu Hamil dan Dampaknya Pada Ibu dan Perkembangan Anak di Timor Tengah Selatan T1 462009016 BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) merupakan
fenomena umum yang terjadi di seluruh dunia (World Health
Organization, 2005), demikian pula di Indonesia. Komisi
Nasional Perempuan Indonesia melaporkan bahwa kasus KTP
cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2007, angka
KTP di Indonesia berjumlah 25.522 kasus dan meningkat
menjadi 199.107 kasus pada tahun 2011.
Pada
tahun
2011,
Komisi
Nasional
Perempuan
mencatat bahwa dari 119.107 kasus, sejumlah 113.878 kasus
(95,61%) adalah kekerasan yang terjadi di ranah domestik.
Sementara 5.187 kasus (4,35%) terjadi di ranah publik dan
sisanya 42 kasus (0,03%) terjadi di ranah negara. Berdasarkan
data
yang dihimpun, perempuan
yang
menjadi korban
kekerasan berada direntang usia 13-40 tahun. Namun,
kelompok usia yang paling rentan adalah usia 25-40 tahun.
Sebanyak 87 kasus dialami oleh perempuan dengan orientasi
seksual sejenis dan transgender. Hampir 3,6% (4.335 kasus)
dari seluruh kasus di tahun 2011 adalah kasus kekerasan
seksual. Sebagian besar kasus kekerasan seksual atau
1
sebanyak 2.937 kasus terjadi di ruang publik, antara lain
pencabulan, perkosaan, percobaan perkosaan, pelecehan
seksual, pemaksaan aborsi, eksploitasi seksual, prostitusi dan
pornografi.
Kekerasan
terhadap
perempuan
dipengaruhi oleh
budaya patriarki, yakni budaya yang menempatkan dominansi
pria
terhadap
wanita
dalam
hal
kehidupan
material,
pengendalian sosial, dan ideologi (Giddens, 2006). Budaya
patriarki yang kuat mengakibatkan masyarakat cenderung tidak
menanggapi atau berempati terhadap tindak kekerasan yang
menimpa perempuan. Di Timor Leste, teman, pengacara, atau
dokter pria tidak memberikan bantuan kepada perempuan
korban kekerasan dalam rumah tangga. Pada survei yang
dilakukan oleh JSMP (Judical System Monitoring Programme)
tahun 2010 di Timor Leste, korban kekerasan yang ditanya
akan berhenti menjawab apabila mereka merasa malu, takut
diadili, takut kehilangan anak atau rumahnya, tidak percaya
dan keinginan untuk melindungi teman atau keluarga. Seorang
bidan yang disurvei oleh JSMP mengatakan bahwa kadangkadang
korban
datang
ke
bidan
tetapi
mereka
tidak
memberitahukan perilaku suami karena mereka takut suami
(Belton, 2011).
2
Berbicara tentang budaya-budaya yang ada di Propinsi
Nusa Tenggara Timur maka salah satu warisan budaya yang
berhubungan
dengan
tatanan
sosial
dan
sistem
kemasyarakatan yaitu budaya patriarki yang sangat kental.
Hampir seluruh wilayah di NTT menganut budaya patriarki.
Budaya patriarki di NTT merupakan suatu sistem budaya yang
didominasi oleh laki-laki sehingga dengan sangat jelas
perempuan selalu
mendapat tempat
di bawah
laki-laki
(Nayoan, 2012).
Di NTT Perempuan yang berperan sebagai kepala
keluarga hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka mengalami
kesulitan dalam mengakses Bantuan Langsung Tunai (BLT),
tidak
dapat
Masyarakat
mengakses
(Jamkesmas),
program
Jaminan
mengalami
Kesehatan
hambatan
dalam
mengajukan perkara hukum ke pengadilan untuk perceraian
karena biaya perkara dan transportasi ke pengadilan yang
tinggi. Selain itu rendahnya tingkat pendidikan seperti buta
huruf juga memengaruhi akses mereka untuk mendapatkan
keadilan. Perceraian yang terjadi pada perempuan yang
berperan sebagai kepala keluarga disebabkan oleh kekerasan
dalam rumah tangga sebagai salah satu faktor penyebab
(Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga dan Australian
Agency of International Development, 2010).
3
Di Kabupaten Timor Tengah Selatan, berbicara tentang
perempuan dalam konteks budaya Timor, tidak dapat dipungkiri
bahwa perempuan dibatasi ruang geraknya. Perempuan
dipandang sebagai masyarakat kelas dua dan posisinya jauh
berada jauh di bawah laki-laki. Dalam budaya Timor,
perempuan tidak memiliki hak suara dalam proses penentuan
pernikahan anak dan tidak dapat mengambil bagian dalam
memimpin ritual-ritual budaya Timor. Perempuan seringkali
tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki baik didalam
keluarga maupun masyarakat (Nayoan, 2012).
Pernyataan ini menunjukkan bahwa dalam budaya
Timor, laki-laki mempunyai posisi diatas perempuan, memiliki
kekuasaan sebagai pemimpin dan memiliki hak yang lebih
tinggi didalam keluarga termasuk hak terhadap perempuan itu
sendiri. Hal ini menjadikan laki-laki dapat melakukan apa saja
terhadap perempuan seperti memerintah untuk dilayani bahkan
melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan.
Laporan
dari
Biro
Pemberdayaan
Perempuan
Sekretariat Daerah Nusa Tenggara Timur menyebutkan bahwa,
pada tahun 2008-2011 terjadi peningkatan jumlah kasus
kekerasan terhadap perempuan yakni dari 474 kasus (2008)
menjadi 1.292 kasus (2011). Dalam hal yang sama, data dari
Bagian
Pemberdayaan
Perempuan
Sekretariat
Daerah
4
Kabupaten Timor Tengah Selatan (Kab. TTS) menyebutkan
bahwa angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kab.
TTS juga mengalami peningkatan. Dari 104 kasus pada tahun
2009, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak
meningkat menjadi 115 kasus pada tahun 2011. Berdasarkan
data
tahun
2009,
daerah
rawan
kekerasan
terhadap
perempuan dan anak di Kabupaten Timor Tengah Selatan
adalah Kecamatan Kota SoE dengan jumlah kasus 34,
sedangkan tahun 2011 daerah rawan kekerasan masih berada
di Kecamatan Kota SoE.
Data dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia
(2005)
menunjukkan
bahwa
prevalensi
wanita
yang
mendapatkan kekerasan berkisar antara 4%-12%. Lebih dari
90% wanita mendapatkan kekerasan dari pasangannya.
Hasil survei yang dilakukan oleh pusat pengendalian
penyakit di Amerika menyebutkan bahwa sekitar 60,6% wanita
hamil berisiko mengalami kekerasan fisik dibandingkan dengan
wanita yang tidak hamil. Selain kekerasan fisik, wanita hamil
juga mengalami kekerasan psikologis, kekerasan seksual atau
ancaman (Anonim, 1998).
Dampak dari kekerasan dalam rumah tangga pada
wanita hamil merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting dan memiliki konsekuensi serius bagi kesehatan fisik
5
dan mental. Kekerasan dalam rumah tangga berhubungan
dengan
penyakit
kejiwaan
seperti
depresi,
gangguan
kecemasan, stres pasca trauma dan bunuh diri (Bacchus, dkk
2001)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa stres yang dialami
oleh ibu hamil mengakibatkan peningkatan hormon kortisol
yang diproduksi oleh HPA (Hipotalamus-hipofisis Adrenal).
Hormon kortisol ini akan masuk ke rahim ibu dan menuju ke
janin. Kondisi ini terjadi karena enzim (11BHSD2) yang
dihasilkan oleh membran plasenta tidak bekerja dengan
sempurna untuk mencegah masuknya hormon kortisol ke janin.
Apabila HPA janin terpapar oleh kortisol lebih awal, maka akan
berdampak besar pada perkembangan selanjutnya. Hal ini
karena
HPA berperan dalam berbagai fungsi fisiologis
termasuk stres, kognisi dan memori, imunologi dan kesehatan
jantung (Kapoor & Matthews, 2008).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa jika
seorang ibu mengalami stres, cemas atau depresi saat hamil,
anaknya berisiko tinggi untuk mengalami berbagai masalah,
seperti
gangguan
emosional,
ADHD
(Atenttion
Deficite
Hyperactive Disorder), gangguan perilaku dan gangguan
perkembangan kognitif. Selain gangguan perkembangan,
beberapa penelitian menemukan pola sidik jari anak yang
6
berubah. Pola sidik jari yang berubah dapat dihubungkan
dengan
perubahan
dalam
perkembangan
otak
seperti
perubahan struktur dan fungsi otak terbukti berhubungan
dengan stres selama kehamilan (Glover, 2011).
Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa
salah satu faktor yang memengaruhi perkembangan anak
adalah stres yang dialami oleh ibu selama kehamilan.
Berdasarkan sensus demografi kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-6 tahun) sebanyak
26,1 juta. Dari jumlah tersebut, 13,5 juta di antaranya berusia
antara 0-3 tahun dan 12,6 juta anak berusia usia 4-5 tahun.
Dari total jumlah anak usia dini tersebut sekitar 14,08% atau
3,67 juta anak mengalami keterlambatan perkembangan.
Gangguan perkembangan juga dialami oleh 29 anak
usia 0-6 tahun di Rumah Sakit Umum Daerah Kota SoE pada
tahun 2009-2011. Gangguan perkembangan yang dialami
yakni gangguan berbahasa sebanyak 12 kasus, gangguan
perkembangan motorik kasar dan halus didapati 9 kasus,
Sindrom Down 3 kasus, dan 5 kasus retardasi ringan (Bagian
Layanan Konseling RSUD Kota SoE, 2012).
Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai kekerasan dalam
7
rumah tangga pada ibu hamil dan dampaknya pada ibu dan
perkembangan anak di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
1.2 Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas,
maka fokus penelitian ini adalah KDRT pada ibu hamil, dampak
KDRT pada
ibu
dan perkembangan
anak. Pertanyaan
penelitian yang akan di dalami yaitu: bagaimana gambaran
KDRT pada ibu hamil dan dampaknya pada ibu dan
perkembangan anak di Kab. TTS?.
1.3 Signifikasi dan Keunikan Penelitian
Dari beberapa hasil penelitian yang dilakukan di luar
negeri menjelaskan bahwa stres yang dihadapi oleh ibu hamil
dapat memengaruhi perkembangan anak, maka peneliti
mencoba untuk melakukan suatu penelitian yang lebih berfokus
pada kekerasan dalam rumah tangga pada ibu hamil dan
dampaknya pada ibu dan perkembangan anak di Indonesia
khususnya di Kab. TTS.
8
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan
KDRT pada ibu hamil dan dampaknya pada ibu dan
perkembangan anak di Kab. TTS.
1.5 Manfaat Penelitian
a. Institusi pendidikan
Bagi institusi pendidikan, hasil penelitian ini diharapkan
dapat menjadi referensi dalam pengembangan konsep dan
teori di bidang ilmu keperawatan khususnya keperawatan
anak dan keperawatan maternitas.
b. Institusi Kesehatan
Bagi lembaga kesehatan, hasil penelitian ini diharapkan
dapat menjadi pengetahuan tentang pentingnya melakukan
perawatan kehamilan pada ibu hamil untuk mengetahui
kondisi kesehatan fisik dan psikologis ibu hamil serta
perkembangan janin.
c. Partisipan
Bagi riset partisipan, hasil penelitian ini diharapkan menjadi
sumber pengetahuan baru tentang pentingnya menjaga
kesehatan fisik maupun psikologis ibu selama masa
kehamilan.
9
d. Peneliti
Bagi
peneliti,
hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
menambah ilmu pengetahuan baru yang dapat diaplikasikan
ke dunia kerja maupun kehidupan sehari-hari.
10
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) merupakan
fenomena umum yang terjadi di seluruh dunia (World Health
Organization, 2005), demikian pula di Indonesia. Komisi
Nasional Perempuan Indonesia melaporkan bahwa kasus KTP
cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2007, angka
KTP di Indonesia berjumlah 25.522 kasus dan meningkat
menjadi 199.107 kasus pada tahun 2011.
Pada
tahun
2011,
Komisi
Nasional
Perempuan
mencatat bahwa dari 119.107 kasus, sejumlah 113.878 kasus
(95,61%) adalah kekerasan yang terjadi di ranah domestik.
Sementara 5.187 kasus (4,35%) terjadi di ranah publik dan
sisanya 42 kasus (0,03%) terjadi di ranah negara. Berdasarkan
data
yang dihimpun, perempuan
yang
menjadi korban
kekerasan berada direntang usia 13-40 tahun. Namun,
kelompok usia yang paling rentan adalah usia 25-40 tahun.
Sebanyak 87 kasus dialami oleh perempuan dengan orientasi
seksual sejenis dan transgender. Hampir 3,6% (4.335 kasus)
dari seluruh kasus di tahun 2011 adalah kasus kekerasan
seksual. Sebagian besar kasus kekerasan seksual atau
1
sebanyak 2.937 kasus terjadi di ruang publik, antara lain
pencabulan, perkosaan, percobaan perkosaan, pelecehan
seksual, pemaksaan aborsi, eksploitasi seksual, prostitusi dan
pornografi.
Kekerasan
terhadap
perempuan
dipengaruhi oleh
budaya patriarki, yakni budaya yang menempatkan dominansi
pria
terhadap
wanita
dalam
hal
kehidupan
material,
pengendalian sosial, dan ideologi (Giddens, 2006). Budaya
patriarki yang kuat mengakibatkan masyarakat cenderung tidak
menanggapi atau berempati terhadap tindak kekerasan yang
menimpa perempuan. Di Timor Leste, teman, pengacara, atau
dokter pria tidak memberikan bantuan kepada perempuan
korban kekerasan dalam rumah tangga. Pada survei yang
dilakukan oleh JSMP (Judical System Monitoring Programme)
tahun 2010 di Timor Leste, korban kekerasan yang ditanya
akan berhenti menjawab apabila mereka merasa malu, takut
diadili, takut kehilangan anak atau rumahnya, tidak percaya
dan keinginan untuk melindungi teman atau keluarga. Seorang
bidan yang disurvei oleh JSMP mengatakan bahwa kadangkadang
korban
datang
ke
bidan
tetapi
mereka
tidak
memberitahukan perilaku suami karena mereka takut suami
(Belton, 2011).
2
Berbicara tentang budaya-budaya yang ada di Propinsi
Nusa Tenggara Timur maka salah satu warisan budaya yang
berhubungan
dengan
tatanan
sosial
dan
sistem
kemasyarakatan yaitu budaya patriarki yang sangat kental.
Hampir seluruh wilayah di NTT menganut budaya patriarki.
Budaya patriarki di NTT merupakan suatu sistem budaya yang
didominasi oleh laki-laki sehingga dengan sangat jelas
perempuan selalu
mendapat tempat
di bawah
laki-laki
(Nayoan, 2012).
Di NTT Perempuan yang berperan sebagai kepala
keluarga hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka mengalami
kesulitan dalam mengakses Bantuan Langsung Tunai (BLT),
tidak
dapat
Masyarakat
mengakses
(Jamkesmas),
program
Jaminan
mengalami
Kesehatan
hambatan
dalam
mengajukan perkara hukum ke pengadilan untuk perceraian
karena biaya perkara dan transportasi ke pengadilan yang
tinggi. Selain itu rendahnya tingkat pendidikan seperti buta
huruf juga memengaruhi akses mereka untuk mendapatkan
keadilan. Perceraian yang terjadi pada perempuan yang
berperan sebagai kepala keluarga disebabkan oleh kekerasan
dalam rumah tangga sebagai salah satu faktor penyebab
(Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga dan Australian
Agency of International Development, 2010).
3
Di Kabupaten Timor Tengah Selatan, berbicara tentang
perempuan dalam konteks budaya Timor, tidak dapat dipungkiri
bahwa perempuan dibatasi ruang geraknya. Perempuan
dipandang sebagai masyarakat kelas dua dan posisinya jauh
berada jauh di bawah laki-laki. Dalam budaya Timor,
perempuan tidak memiliki hak suara dalam proses penentuan
pernikahan anak dan tidak dapat mengambil bagian dalam
memimpin ritual-ritual budaya Timor. Perempuan seringkali
tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki baik didalam
keluarga maupun masyarakat (Nayoan, 2012).
Pernyataan ini menunjukkan bahwa dalam budaya
Timor, laki-laki mempunyai posisi diatas perempuan, memiliki
kekuasaan sebagai pemimpin dan memiliki hak yang lebih
tinggi didalam keluarga termasuk hak terhadap perempuan itu
sendiri. Hal ini menjadikan laki-laki dapat melakukan apa saja
terhadap perempuan seperti memerintah untuk dilayani bahkan
melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan.
Laporan
dari
Biro
Pemberdayaan
Perempuan
Sekretariat Daerah Nusa Tenggara Timur menyebutkan bahwa,
pada tahun 2008-2011 terjadi peningkatan jumlah kasus
kekerasan terhadap perempuan yakni dari 474 kasus (2008)
menjadi 1.292 kasus (2011). Dalam hal yang sama, data dari
Bagian
Pemberdayaan
Perempuan
Sekretariat
Daerah
4
Kabupaten Timor Tengah Selatan (Kab. TTS) menyebutkan
bahwa angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kab.
TTS juga mengalami peningkatan. Dari 104 kasus pada tahun
2009, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak
meningkat menjadi 115 kasus pada tahun 2011. Berdasarkan
data
tahun
2009,
daerah
rawan
kekerasan
terhadap
perempuan dan anak di Kabupaten Timor Tengah Selatan
adalah Kecamatan Kota SoE dengan jumlah kasus 34,
sedangkan tahun 2011 daerah rawan kekerasan masih berada
di Kecamatan Kota SoE.
Data dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia
(2005)
menunjukkan
bahwa
prevalensi
wanita
yang
mendapatkan kekerasan berkisar antara 4%-12%. Lebih dari
90% wanita mendapatkan kekerasan dari pasangannya.
Hasil survei yang dilakukan oleh pusat pengendalian
penyakit di Amerika menyebutkan bahwa sekitar 60,6% wanita
hamil berisiko mengalami kekerasan fisik dibandingkan dengan
wanita yang tidak hamil. Selain kekerasan fisik, wanita hamil
juga mengalami kekerasan psikologis, kekerasan seksual atau
ancaman (Anonim, 1998).
Dampak dari kekerasan dalam rumah tangga pada
wanita hamil merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting dan memiliki konsekuensi serius bagi kesehatan fisik
5
dan mental. Kekerasan dalam rumah tangga berhubungan
dengan
penyakit
kejiwaan
seperti
depresi,
gangguan
kecemasan, stres pasca trauma dan bunuh diri (Bacchus, dkk
2001)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa stres yang dialami
oleh ibu hamil mengakibatkan peningkatan hormon kortisol
yang diproduksi oleh HPA (Hipotalamus-hipofisis Adrenal).
Hormon kortisol ini akan masuk ke rahim ibu dan menuju ke
janin. Kondisi ini terjadi karena enzim (11BHSD2) yang
dihasilkan oleh membran plasenta tidak bekerja dengan
sempurna untuk mencegah masuknya hormon kortisol ke janin.
Apabila HPA janin terpapar oleh kortisol lebih awal, maka akan
berdampak besar pada perkembangan selanjutnya. Hal ini
karena
HPA berperan dalam berbagai fungsi fisiologis
termasuk stres, kognisi dan memori, imunologi dan kesehatan
jantung (Kapoor & Matthews, 2008).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa jika
seorang ibu mengalami stres, cemas atau depresi saat hamil,
anaknya berisiko tinggi untuk mengalami berbagai masalah,
seperti
gangguan
emosional,
ADHD
(Atenttion
Deficite
Hyperactive Disorder), gangguan perilaku dan gangguan
perkembangan kognitif. Selain gangguan perkembangan,
beberapa penelitian menemukan pola sidik jari anak yang
6
berubah. Pola sidik jari yang berubah dapat dihubungkan
dengan
perubahan
dalam
perkembangan
otak
seperti
perubahan struktur dan fungsi otak terbukti berhubungan
dengan stres selama kehamilan (Glover, 2011).
Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa
salah satu faktor yang memengaruhi perkembangan anak
adalah stres yang dialami oleh ibu selama kehamilan.
Berdasarkan sensus demografi kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-6 tahun) sebanyak
26,1 juta. Dari jumlah tersebut, 13,5 juta di antaranya berusia
antara 0-3 tahun dan 12,6 juta anak berusia usia 4-5 tahun.
Dari total jumlah anak usia dini tersebut sekitar 14,08% atau
3,67 juta anak mengalami keterlambatan perkembangan.
Gangguan perkembangan juga dialami oleh 29 anak
usia 0-6 tahun di Rumah Sakit Umum Daerah Kota SoE pada
tahun 2009-2011. Gangguan perkembangan yang dialami
yakni gangguan berbahasa sebanyak 12 kasus, gangguan
perkembangan motorik kasar dan halus didapati 9 kasus,
Sindrom Down 3 kasus, dan 5 kasus retardasi ringan (Bagian
Layanan Konseling RSUD Kota SoE, 2012).
Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai kekerasan dalam
7
rumah tangga pada ibu hamil dan dampaknya pada ibu dan
perkembangan anak di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
1.2 Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas,
maka fokus penelitian ini adalah KDRT pada ibu hamil, dampak
KDRT pada
ibu
dan perkembangan
anak. Pertanyaan
penelitian yang akan di dalami yaitu: bagaimana gambaran
KDRT pada ibu hamil dan dampaknya pada ibu dan
perkembangan anak di Kab. TTS?.
1.3 Signifikasi dan Keunikan Penelitian
Dari beberapa hasil penelitian yang dilakukan di luar
negeri menjelaskan bahwa stres yang dihadapi oleh ibu hamil
dapat memengaruhi perkembangan anak, maka peneliti
mencoba untuk melakukan suatu penelitian yang lebih berfokus
pada kekerasan dalam rumah tangga pada ibu hamil dan
dampaknya pada ibu dan perkembangan anak di Indonesia
khususnya di Kab. TTS.
8
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan
KDRT pada ibu hamil dan dampaknya pada ibu dan
perkembangan anak di Kab. TTS.
1.5 Manfaat Penelitian
a. Institusi pendidikan
Bagi institusi pendidikan, hasil penelitian ini diharapkan
dapat menjadi referensi dalam pengembangan konsep dan
teori di bidang ilmu keperawatan khususnya keperawatan
anak dan keperawatan maternitas.
b. Institusi Kesehatan
Bagi lembaga kesehatan, hasil penelitian ini diharapkan
dapat menjadi pengetahuan tentang pentingnya melakukan
perawatan kehamilan pada ibu hamil untuk mengetahui
kondisi kesehatan fisik dan psikologis ibu hamil serta
perkembangan janin.
c. Partisipan
Bagi riset partisipan, hasil penelitian ini diharapkan menjadi
sumber pengetahuan baru tentang pentingnya menjaga
kesehatan fisik maupun psikologis ibu selama masa
kehamilan.
9
d. Peneliti
Bagi
peneliti,
hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
menambah ilmu pengetahuan baru yang dapat diaplikasikan
ke dunia kerja maupun kehidupan sehari-hari.
10