Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada Ibu Hamil dan Dampaknya Pada Ibu dan Perkembangan Anak di Timor Tengah Selatan T1 462009016 BAB IV

(1)

54 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Setting Penelitian

4.1.1 Gambaran Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Propinsi Nusa Tenggara Timur

Angka kejadian tindak kriminalitas yang terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun 2007-2011 mengalami peningkatan. Gambar 4.1 menunjukkan bahwa jumlah kejadian tindak kriminalitas, meningkat dua kali lipat dari 5.407 kasus (2007) menjadi 9.077 kasus (2011). Peningkatan kasus kriminalitas ini disebabkan karena meningkatnya jumlah laporan masyarakat terkait dengan kasus kriminalitas yang terjadi di NTT (Kupang Metro, Rabu 31 Desember 2008).


(2)

55

Sumber: Polda Nusa Tenggara Timur (2012).

Gambar 4.1 Kejadian Tindak Kriminal di Wilayah NTT Periode 2007-2011

Tindak kriminalitas yang terjadi di wilayah NTT sangat beragam baik jenis maupun kuantitasnya. Tabel 4.1 menunjukkan sepuluh jenis tindak kriminalitas yang tergolong sebagai tindak kriminalitas yang menonjol di NTT.

Tabel 4.1 Jenis Tindak Kriminal Yang Terjadi Di Wilayah NTT Periode 2007-2011

No. Jenis Tindakan

Tahun Kejadian

2007 2008 2009 2010 2011 1. Pelanggaran

Terhadap Ketertiban Umum

266 118 133 140 363

2. Pembakaran 35 44 17 91 8

3. Kesusilaan 297 179 266 260 219

4. Perjudian 59 27 44 49 91

5. Penculikan 21 14 16 11 31

6. Pembunuhan 442 381 378 286 263


(3)

56 8. Pencurian 355 236 362 450 221

9. Perampokan 91 45 66 53 86

10. Penadahan 15 26 24 26 17

JUMLAH 1.913 1.226 1.574 1.723 1.695

Sumber: Badan Pusat Statistik Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa jenis tindak kriminalitas yaitu kesusilaan, perjudian, pembunuhan, penganiayaan dan pencurian selama periode 2007-2011 cenderung meningkat. Selama periode ini, tindak kriminalitas didominasi oleh jenis tindak kriminalitas terhadap fisik manusia yaitu pembunuhan (1.750 kasus) penganiayaan (1.529 kasus), kesusilaan (1.221 kasus), dan penculikan (93 kasus) (Polda NTT, 2012).

Sementara itu, jika dilihat dari pelaku tindak kriminalitas pada sepuluh jenis tindak kriminalitas yang menonjol di NTT, selama periode 2007-2011 pelaku tindak kriminalitas didominasi oleh laki-laki (Tabel 4.2). Selama periode 2007-2011, pelaku kriminalitas berjumlah 8.131 orang dengan pelaku laki-laki 7.952 orang (97,7%) dan perempuan 179 orang (2,3%). Selama periode ini, persentase perempuan pelaku tindak kriminalitas masih berkisar di bawah tiga persen.


(4)

57 Tabel 4.2 Pola Sebaran Jender Untuk Pelaku Kriminalitas Di

Wilayah NTT Periode 2007-2011

No. Jenis Tindakan

Tahun Kejadian

2007 2008 2009 2010 2011

L P L P L P L P L P

1. Pelanggaran Terhadap Ketertiban Umum

260 6 115 3 127 6 135 5 355 8

2. Pembakaran 34 1 42 2 17 - 90 1 8 - 3. Kesusilaan 297 - 175 4 264 2 259 1 219 - 4. Perjudian 53 6 27 - 44 - 48 1 91 - 5. Penculikan 21 - 14 - 16 - 11 - 30 1 6. Pembunuhan 422 20 371 10 365 13 279 7 255 8 7. Penganiayaan 322 10 149 7 263 5 351 6 386 10 8. Pencurian 350 5 233 3 360 2 435 15 220 1 9. Perampokan 91 - 45 - 66 - 52 1 86 - 10. Penadahan 15 - 26 - 23 1 18 8 17 - JUMLAH 1.865 48 1.197 29 1.545 29 1.678 45 1.667 28

Sumber: Badan Pusat Statistik Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Selain tindak kriminalitas, Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) juga terjadi di NTT. Pada tahun 2007-2011 jumlah kasus KTP yang dilaporkan mengalami peningkatan. Gambar 4.2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah kasus KTP yaitu dari 1.613 kasus (2007) menjadi 1.988 kasus (2011).

Kasus kekerasan terhadap perempuan berhubungan dengan tindak kriminalitas yang terjadi di NTT. Kriminalitas yang terjadi pada kaum perempuan ini disebabkan oleh berbagai faktor misalnya karena tekanan ekonomi pria cenderung melampiaskan stres


(5)

58 yang ia alami kepada perempuan. Itu sebabnya kasus kekerasan terhadap perempuan seperti kesusilaan, pembunuhan, dan penganiayaan masih tinggi.

Sumber: Badan Pusat Statistik Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Gambar 4.2 Angka Kekerasan Terhadap Perempuan Di Wilayah NTT Periode 2007-2011

Kekerasan terhadap perempuan berkaitan erat dengan kasus KDRT yang terjadi di NTT. Laporan Biro Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Daerah Propinsi NTT menyebutkan bahwa pada tahun 2008-2011 terjadi peningkatan jumlah kasus KDRT pada perempuan. Gambar 4.3 menunjukkan adanya peningkatan kasus KDRT dari 474 kasus (2008) menjadi 1.292 kasus (2011). Pada tahun 2011, jumlah kasus KDRT meningkat sepuluh kali lipat dari tahun sebelumnya.


(6)

59 Peningkatan jumlah kasus ini disebabkan karena meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus KDRT kepada pihak yang berwajib (Biro Pemberdayaan Perempuan, 2012).

Sumber: Biro Pemberdayaan Perempuan Sekretarian Daerah Nusa Tenggara Timur

Gambar 4.3 Angka KDRT Di Wilayah NTT Periode 2008-2011

Berdasarkan laporan Biro Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Daerah NTT, pada tahun 2011 kasus kekerasan tertinggi terjadi di wilayah Kota Kupang dengan 619 kasus, disusul Kab. TTU dengan 212 kasus, kemudian Kab. Manggarai dengan 84 Kasus.

Korban kekerasan rata-rata berpendidikan SMA dengan jumlah 390 orang, pendidikan sarjana 86 orang, SMP 269 orang, SD 317 orang dan 70 orang lainnya


(7)

60 tidak bersekolah. Sedangkan untuk jumlah pelaku dan tingkat pendidikannya, pelaku KDRT untuk SI berjumlah 118 orang, SMA 347 orang, SMP 210 orang dan SD 142 orang dan 76 orang pelaku tidak bersekolah (Biro Pemberdayaan Perempuan, 2012).

Data lain yang diekspos oleh Rumah Perempuan yaitu suatu organisasi yang memberikan pelayanan dan pendampingan langsung terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan, kasus KDRT yang dilaporkan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang signifikan. Dalam tiga tahun terakhir yakni di tahun 2010 sebanyak 67 kasus, tahun 2011 naik menjadi 79 kasus, dan di tahun 2012 Rumah Perempuan melakukan pendampingan terhadap 114 orang isteri yang mengalami KDRT oleh suami mereka masing-masing.

Menurut data pendampingan yang dilakukan oleh Lembaga Rumah Perempuan, pada tahun 2012 angka KDRT tertinggi terjadi di wilayah Kota Kupang dengan 77 kasus (70%), sedang sisanya 37 kasus terjadi merata di 20 kabupaten.

Korban kekerasan rata-rata berpendidikan SMA berjumlah 61 orang, pendidikan sarjana 25 orang, SMP


(8)

61 13 orang dan yang berpendidikan SD 15 orang. Untuk jumlah pelaku dan tingkat pendidikan, pelaku KDRT untuk SI berjumlah 22 orang, SMA berjumlah 73 orang, SMP berjumlah 7 orang dan SD berjumlah 12 orang.

Sementara itu, jika dilihat dari pekerjaan pelaku, pekerjaan mereka bervariasi, antara lain PNS berjumlah 35 orang, anggota Polri empat orang, wiraswasta 47 orang, petani 11 orang, ibu rumah tangga empat orang dan yang tidak memiliki pekerjaan 13 orang pelaku (Rumah Perempuan Kupang, 2012).

Untuk jenis kekerasan, baik yang dilaporkan oleh Biro Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Daerah NTT maupun Lembaga Rumah Perempuan, jenis kekerasan yang terjadi di NTT meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, penelantaran, perzinahan dan pembunuhan.

Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di NTT didasarkan pada beberapa alasan seperti adanya persoalan ekonomi di dalam keluarga, adanya orang ketiga baik wanita idaman lain maupun pria idaman lain, dan konsumsi minuman keras (Pos Kupang, 25 November 2012).


(9)

62 Selain persoalan ekonomi, orang ketiga, dan konsumsi minuman keras, dalam kultur masyarakat NTT, budaya patriarki, budaya mahar atau belis, dan persoalan keturunan dapat menjadi penyebab KDRT (Rumah Perempuan, 2012).

4.1.2 Gambaran Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kab. TTS

Permasalahan kekerasan di Kab. TTS telah menjadi permasalahan yang dihadapi dalam kurun waktu yang lama. Kekerasan terhadap perempuan dan anak cenderung meningkat setiap tahunnya. Indikasinya, banyak korban melaporkan kasus kekerasan yang dialami kepada Unit Perlindungan Perempuan Dan Anak (PPA) Polres, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A), Rumah Aman Pemerintah (Shelter) Kab. TTS, serta kepada SSP Kab. TTS.

Jumlah kasus kekerasan yang dilaporkan sejak tahun 2009-2011 mengalami peningkatan. Dalam hal yang sama, jumlah pendampingan yang dilakukan oleh SSP terhadap kasus kekerasan di Kab. TTS sejak tahun 2007-2011 juga mengalami peningkatan (Gambar 4.4).


(10)

63 Walaupun demikian, jumlah kasus yang dilaporkan ke lembaga pemerintahan lebih sedikit dibanding dengan jumlah pendampingan yang dilakukan oleh SSP. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat lebih memilih untuk melaporkan masalah kekerasan yang dialami kepada SSP untuk mendapatkan pendampingan dibanding melapor ke lembaga pemerintah. Pendampingan yang dilakukan oleh SSP berupa pemberian pelayanan kepada korban secara terpadu dan prima yang didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai sesuai dengan kebutuhan korban.

Sumber data: Bagian Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Daerah Kab. TTS dan SSP Kab. TTS

Gambar 4.4 Jumlah Kasus Kekerasan Di Kab. TTS Di Kab. TTS, menurut data dari Bagian Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Kab. TTS, ciri-ciri pelaku kekerasan pada tahun 2011 yakni pelaku


(11)

64 paling banyak berjenis kelamin laki-laki, usia pelaku 25 tahun ke atas, pendidikan terakhir SLTA, memiliki pekerjaan dan hubungan dengan korban yaitu suami/istri. Sedangkan ciri-ciri korban kekerasan di Kab. TTS didominasi oleh wanita dengan kisaran umur 0-25 tahun ke atas, pendidikan terakhir SD, tidak memiliki pekerjaan dan status perkawinan belum kawin. Ciri-ciri pelaku dan korban korban kekerasan di Kab. TTS secara jelas dapat dilihat pada lampiran 7.

Jenis kekerasan yang terjadi di Kab. TTS pada tahun 2011 sesuai dengan data dari Bagian Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Daerah Kab. TTS meliputi kekerasan fisik sebanyak 49 kasus, kekerasan psikis 6 kasus, kekerasan seksual 45 kasus, eksploitasi 2 kasus, penelantaran 6 kasus dan kasus-kasus lainnya sebanyak 7 kasus-kasus sehingga total kekerasan yang terjadi di tahun 2011 sebanyak 115 kasus. Gambar 4.5 menunjukkan bahwa pada tahun 2011, dua kekerasan yang menonjol di Kab. TTS yakni kekerasan fisik dan kekerasan seksual.


(12)

65 Sumber data: Polres, Shelter dan P2TP2A, diolah oleh Bagian Pemberdayaan Perempuan Setda Kab. TTS

Gambar 4.5 Jenis Kasus Kekerasan Tahun 2011 di Kab. TTS

Sementara itu, jenis kasus kekerasan yang mendapatkan pendampingan dan pelayanan dari SSP Kab. TTS yaitu KDRT sebanyak 41 kasus, penganiyaan 23 kasus, ingkar janji menikah 18 kasus, percabulan 13 kasus, trafficking/perdagangan orang 10 kasus, perkosaan 4 kasus, perbuatan tidak menyenangkan 3 kasus, pencemaran nama baik 2 kasus, orang hilang 2 kasus, percobaan perkosaan 1 kasus dan pelecehan seksual 1 kasus. Gambar 4.6 menunjukkan bahwa pada tahun 2011, dua jenis kekerasan yang paling banyak dilaporkan dan mendapatkan pendampingan dari SSP yaitu KDRT (44 %) dan penganiayaan (29 %).


(13)

66 Sumber data: Sanggar Suara Perempuan Kab. TTS

Gambar 4.6 Data Kasus Dampingan Langsung Sanggar Suara Perempuan Periode Januari

-Desember 2011

Berdasarkan hasil wawancara dengan Sarci Maukari staf SSP, faktor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan di Kab TTS yakni faktor ekonomi (pengangguran, peningkatan kebutuhan keluarga), perselingkuhan, konsumsi minuman keras, kurangnya komunikasi antar anggota keluarga dan faktor budaya masyarakat seperti mahar atau belis dan budaya patriarki.

Masyarakat Kab. TTS yang didominasi oleh suku Timor sebagai penduduk asli, memiliki corak patriakal dalam kehidupan sehari-hari. Ada pembagian peran yang jelas antara laki-laki dan perempuan. Budaya Timor mengenal istilah “lasi nak atoni” yang secara harafiah mempunyai arti laki-laki adalah kepala semua urusan. Laki-laki mempunyai wewenang untuk


(14)

67 berbicara dalam suatu pertemuan, sedangkan perempuan harus “tahu diri” untuk tidak berbicara dan tugasnya ialah menyediakan makanan dan minuman bagi kaum laki-laki.

Berbicara tentang tentang perempuan dalam budaya Timor, tidak dapat dipungkiri bahwa perempuan dibatasi ruang geraknya. Ia hanya diberi peran dalam sektor domestik yakni urusan anak, rumah dan dapur. Perempuan dipandang sebagai masyarakat kelas dua yang posisinya jauh di dibawah laki-laki.

Dalam budaya Timor, perempuan tidak memiliki hak suara dalam proses penentuan pernikahan anak, perempuan Timor tidak dapat ambil bagian dalam memimpin ritual-ritual budaya di Timor. Hal ini terlihat jelas dalam sebutan untuk perempuan (bife) dan laki-laki (atoni). Secara harafiah bife berasal dari kata bi = sapaan untuk dia perempuan dan fe = memberi, hal ini berarti perempuan memberi semua. Sementara itu, atoni berasal dari kata a = dia yang dan toni = menjawab, hal ini berarti laki-laki adalah orang yang memberi jawab. Penyebutan atoni dan bife dimaksudkan agar perempuan hanya memberi dan laki-laki memiliki andil dalam kepemimpinan.

Perempuan sering kali tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki baik dalam keluarga, masyarakat dan juga gereja. Hal ini mengakibatkan kesetaraan jender yaitu tatanan nilai sosial budaya masyarakat yang pada umumnya mengutamakan laki-laki yang memiliki kekuasaan daripada perempuan. Perbedaan biologis atau seks memposisikan perempuan sebagai


(15)

68 kaum yang lemah secara jasmani dan laki-laki sebagai yang kuat. Budaya ini membuat perempuan selalu dinomorduakan, berada dibawah laki-laki, tidak memiliki hak seperti laki-laki, dan lain-lain (Nayoan, 2012).

Pernyataan ini menunjukkan bahwa dalam budaya Timor, laki-laki mempunyai posisi yang lebih tinggi dari perempuan, memiliki kekuasaan sebagai pemimpin dan berhak atas segalanya termasuk berhak atas perempuan. Hal ini menjadikan laki-laki dapat melakukan apa saja terhadap perempuan seperti memerintah untuk dilayani bahkan melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan.

4.1.3 Gambaran Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada Ibu Hamil di Kab. TTS

Kasus wanita hamil yang mengalami kekerasan dan melapor di Rumah Aman Pemerintah Kab. TTS (Shelter) setiap tahunnya mengalami peningkatan. Walaupun jumlah kasusnya terbilang kecil, namun terjadi peningkatan kasus yang cukup signifikan. Pada tahun 2009 terdapat 2 wanita hamil yang melaporkan kasusnya ke Shelter. Tahun 2010 jumlah wanita hamil yang melapor meningkat menjadi 4 orang. Kemudian pada tahun 2011 jumlah wanita hamil yang melapor meningkat menjadi 7 orang dari tahun sebelumnya. Sedangkan data dari SSP Kab. TTS, sejak tahun 2007


(16)

69 sampai tahun 2009, wanita hamil yang melaporkan kasus kekerasan untuk di dampingi oleh SSP sebanyak 3 orang sebagaimana tergambar dalam Gambar 4.7.

Sumber data: Rumah Aman Pemerintah (Shelter) Kab. TTS

Gambar 4.7 Peningkatan Jumlah Kasus Wanita Hamil Yang Melapor di Rumah Aman Pemerintah Kab. TTS

4.1.4 Profil Partisipan Penelitian

Untuk memahami profil kelima partisipan maka perlu diketahui identitas partisipan mengenai umur, alamat, pendidikan, pekerjaan, usia perkawinan dan jumlah anak. Data dari kelima partisipan yang telah dikumpulkan kemudian dimasukan ke dalam tabel menurut karakteristiknya.


(17)

70 Tabel 4.3 Profil Riset Partisipan

No Inisial Partisipan

Usia Jenis Kelamin

(L/P)

Alamat Pendidikan Terakhir

Agama Usia Perkawinan Jumlah Anak Kehamilan saat terjadinya KDRT Usia kehamilan saat terjadi KDRT Lamanya masa kehamilan

1. Ibu. SL 36 th P Desa Oinlasi

SLTA Kristen Protestan

8 tahun 2 anak II Usia 2-4 bulan

7 bulan 2. Ibu. NN 34 th P Desa Nobi

Nobi

SMKK Kristen Protestan

13 tahun 3 anak II Usia 2-7 bulan

9 bulan 10 hr 3. Ibu. YA 16 th P Kelurahan

Nonohonis

Tidak bersekolah

Kristen Protestan

- 1 anak I Usia satu bulan

9 bulan 4. Ibu. SS 36 th P Desa

Oepliki

SD Kristen Protestan

8 tahun 6 anak V Usia 3 bulan ke atas

9 bulan 5. Ibu. HT 40 th P Desa

Oepliki

SD Kristen Protestan

8 tahun 4 anak IV Usia 1-5 bulan


(18)

71 Dari hasil wawancara, kelima riset partisipan merupakan warga Kabupaten TTS. Empat orang diantaranya berasal dari suku Timor dan satu orang ibu berasal dari suku Sumba. Kelima ibu merupakan warga tetap di Kab. TTS. Hal ini membantu peneliti dalam melakukan wawancara dan observasi karena bertempat tinggal di daerah yang dapat dijangkau oleh peneliti.

Pekerjaan dari kelima riset partisipan adalah sebagai ibu rumah tangga. Meskipun bekerja sebagai ibu rumah tangga, ada ibu yang bekerja sebagai petani ataupun penjahit untuk membantu suami dalam mencukupi kebutuhan keluarga. Pekerjaan yang merangkap ini tidak menyebabkan waktu untuk bersama-sama dengan keluarga berkurang. Kesibukan tersebut tidak mengurangi si ibu dalam memperhatikan kebutuhan rumah tangga seperti menyiapkan makanan ataupun membersihkan rumah.

Usia riset partisipan bervariasi. Semua riset partisipan berada pada kategori usia produktif yaitu 15-49 tahun (Depkes, 1993) dan berpotensi menghasilkan keturunan. Walapun berpotensi untuk menghasilkan keturunan, umur ibu dapat memengaruhi kondisi fisik dan mental saat hamil dan ketika melahirkan karena


(19)

72 berhubungan dengan pengalaman ibu. Hal ini akan berpengaruh pada perkembangan anak yang dikandung.

Tingkat pendidikan riset partisipan yaitu SD 2 orang, SMA 2 orang dan 1 orang lainnya tidak bersekolah. Bagi ibu yang tidak bersekolah atau hanya menamatkan pendidikan di tingkat SD, mereka menganggap bahwa perempuan hanya bekerja di dapur saja sehingga tidak perlu bersekolah di jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sedangkan bagi mereka yang menamatkan pendidikan di sekolah menangah atas, mereka menganggap bahwa pendidikan penting bagi kehidupan di masa mendatang. Bagi ibu yang menamatkan pendidikan di sekolah menengah ini, selain karena faktor tempat tinggal di kota yang merubah persepsi mereka, penghasilan keluarga yang mencukupi merupakan faktor yang membuat mereka dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Rendahnya pendidikan ibu juga berpengaruh pada persepsi mereka tentang kedudukan suami dalam rumah tangga. Hal ini mengakibatkan suami lebih mendominasi seluruh aspek kehidupan rumah tangga


(20)

73 seperti pengambilan keputusan dan pengelolaan penghasilan keluarga.

Jumlah anak dari kelima riset partisipan bervariasi. Ibu I memiliki 2 orang anak, ibu II memiliki 3 orang anak, ibu III memiliki 1 orang anak Sedangkan ibu IV dan ibu V masing-masing memiliki 6 orang anak dan 4 orang anak. Jumlah anak yang banyak akan memengaruhi pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan. Selain itu, anak yang banyak juga merupakan salah satu faktor terjadinya kekerasan dalam rumah tangga karena beban suami yang semakin banyak. Ditambah lagi kelima ibu tergolong dalam keluarga dengan status ekonomi menegah ke bawah dengan pendapatan berkisar antara Rp. 50.000 - Rp. 800.000 per bulan.

Untuk kehamilan ibu saat terjadinya KDRT sangat bervariasi. Ibu I mengalami KDRT pada kehamilan kedua, Ibu II mengalami KDRT pada kehamilan ketiga, Ibu III mengalami KDRT pada kehamilan pertama sedangkan Ibu IV dan Ibu V mengalami KDRT masing-masing pada kehamilan kelima dan keempat. Rata-rata usia kehamilan saat terjadinya KDRT berkisar antara 2-7 bulan dengan lama


(21)

74 masa kehamilan untuk ibu I yaitu 7 bulan (permatur) sedangkan kehamilan keempat ibu lainnya adalah 9 bulan (matur).

4.2 Studi Kasus: Lima Ibu Hamil Yang Mengalami KDRT dan Perkembangan Mereka

Pada penelitian ini, untuk mengetahui gambaran KDRT pada ibu hamil, peneliti melakukan studi kasus dengan teknik wawancara mendalam terhadap lima orang ibu yang selama kehamilannya pernah mengalami KDRT. Lima orang ibu tersebut yakni ibu SL, ibu NN, ibu YA, ibu SS dan ibu HT. Selain itu, untuk mengetahui dampak dari tindak kekerasan pada ibu hamil terhadap perkembangan anak dari kehamilan tersebut, maka dilakukan pengukuran perkembangan personal sosial, motorik halus, bahasa dan motorik kasar dengan menggunakan Denver Development Screening Test (DDST ) II pada anak yang ketika masih janin, ibunya mendapatkan KDRT. Berikut adalah hasil wawancara terhadap lima orang ibu yang mengalami KDRT selama kehamilan dan hasil pemeriksaan DDST II terhadap anaknya.

Riset partisipan pertama adalah ibu SL (36 tahun). Ibu SL bertempat tinggal di desa Oenlasi, Kecamatan Mollo Tengah. Ibu SL mengalami KDRT ketika ia sedang


(22)

75 mengandung anak keduanya. Selama kehamilannya, ibu SL mengalami kekerasan dalam rumah tangga berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan finansial dan penelantaran rumah tangga. Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga pada ibu SL yaitu suami yang memiliki masalah di tempat kerja atau dalam keadaan mabuk melampiaskan emosinya kepada ibu SL. Dari hasil pemeriksaan DDST II pada anak keduanya, didapati anak V mengalami keterlambatan perkembangan di sektor personal sosial, motorik halus dan bahasa.

Riset partisipan kedua adalah ibu NN (38 tahun). Ibu NN bertempat tinggal desa Nobi Nobi, Kecamatan Amanuban Selatan. Ibu NN mengalami KDRT sejak kelahiran anak pertamanya dan berlangsung sampai ia melahirkan anak ketiganya. Selama kehamilan ketiga, ibu NN mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, kekerasan finansial, dan penelantaran rumah tangga dari suaminya. Faktor penyebab terjadinya KDRT pada ibu NN yaitu suami yang berselingkuh melakukan kekerasan untuk menutupi perbuatannya, kehamilan anak ketiga yang tidak direncanakan dan alasan suami yang mengatakan umur anak kedua dan ketiga yang terlalu dekat. Dari hasil pemeriksaan DDST II pada anak


(23)

76 ketiganya, didapati anak DS tidak mengalami keterlambatan perkembangan.

Riset partisipan ketiga yaitu ibu YA (16 tahun). Ibu YA bertempat tinggal di Kelurahan Nonohonis, Kecamatan Kota SoE. Ibu YA mengalami KDRT oleh kakak iparnya sendiri. Ibu YA dipaksa oleh bapak PM untuk berhubungan intim sehingga ibu YA hamil di luar nikah. Saat bulan pertama kehamilannya, ibu YA yang tidak mengetahui perihal kehamilannya mendapatkan kekerasan dari kakak perempuannya karena perasaan cemburu. Ibu YA mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekrasan seksual dan penelantaran dalam rumah tangga. Dari hasil pemeriksaan DDST II pada anak pertamanya, didapati anak MA mengalami keterlambatan perkembangan di sektor personal sosial, motorik halus dan bahasa.

Riset partisipan keempat adalah ibu SS (36 tahun). Ibu SS bertempat tinggal di desa Oepliki, Kecamatan Noebeba. Ibu SS mengalami KDRT ketika mengandung anak kelimanya. Selama hamil, ibu SS mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan finansial dan penelantaran rumah tangga. Ibu SS mengalami kekerasan ini karena ia belum memberikan anak laki-laki kepada suaminya. Dari hasil pemeriksaan DDST II pada anak


(24)

77 kelimannya, didapati anak MT tidak mengalami keterlambatan perkembangan.

Riset partisipan kelima adalah ibu HT (40) tahun. Ibu HT bertempat tinggal di Desa Oepliki, Kecamatan Noebeba. Ibu HT mengalami KDRT ketika ia sedang mengandung anak bungsunya. Selama hamil, ibu HT mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan finansial dan penelantaran rumah tangga. Ibu HT mengalami kekerasan ini karena suami merasa ibu HT memiliki pria idaman lain. Dari hasil pemeriksaan DDST II pada anak keempatnya, didapati anak AN mengalami keterlambatan perkembangan di sektor personal sosial, motorik halus, bahasa dan motorik kasar.

4.2.1 Kasus I: KDRT Pada Kehamilan Kedua 1. Identitas Umum Ibu SL

Ibu SL berusia 36 tahun dan beragama Kristen Protestan. Ia berasal dari suku Amanatun dan saat ini tinggal di Desa Oenlasi, Kecamatan Mollo Selatan. Ibu SL merupakan anak pertama dari 6 orang bersaudara. Ia memiliki tiga orang saudara laki-laki dan dua orang saudara perempuan. Sejak lahir, ia dan kelima orang saudaranya di besarkan di Desa Oenlasi oleh kedua orang tua mereka.


(25)

78 Ayah kandung dari ibu SL adalah seorang mantan PNS dan mantan ketua RT di desa Oenlasi sedangkan ibu kandungnya adalah seorang ibu rumah tangga yang juga bekerja sebagai kader posyandu di desa Oenlasi. Ibu SL mengatakan bahwa almarhum ayahnya adalah seorang pekerja keras, penyayang dan sangat melindungi anak-anaknya. Sedangkan ibunya adalah sosok ibu yang baik dan sangat menyayangi suami dan anak-anaknya.

Ibu SL dan adik-adiknya dididik dengan keras oleh ayah dan ibu mereka. Walaupun ayah dan ibu sangat menyayangi dan melindungi mereka, jika mereka melakukan kesalahan, tidak peduli sekecil apapun kesalahan itu, mereka akan dimarahi bahkan dipukuli.

Keluarga ibu SL sendiri merupakan keluarga mampu dan berpendidikan. Hal ini karena semua anggota keluarga berhasil menamatkan diri dari sekolah menengah atas dan tiga diantara saudaranya berhasil meraih gelar sarjana.

Ibu SL menamatkan pendidkan sekolah dasarnya di SD Inpres Oenasi. Selanjutnya ia melanjutkan pendidikannya di SMP Kristen 2 SoE. Setelah menamatkan diri dari sekolah menengah tingkat pertama, ia kemudian melanjutkan pendidikannya di SMA Kristen 1 SoE. Selama


(26)

79 hidupnya, ia tidak pernah mengikuti kursus ataupun pendidikan di luar sekolah.

Pada saat menjalani pendidikan dari SD sampai SMA, ibu SL tidak pernah mengalami kejadian traumatis. Ibu SL mengatakan bahwa kehidupan pendidikannya berjalan layaknya anak remaja pada umumnya.

Ibu SL menikah ketika ia berusia 28 tahun. Ia menikah dengan bapak RH yang berasal dari Amanuban Timur. Saat ini bapak RH berusia 44 tahun dan bekerja sebagai pegawai hotel. Ibu SL menikah dengan bapak RH karena ia hamil di luar nikah. Ia dan suaminya telah menikah selama 8 tahun dan dikarunia dua orang anak. Anak pertamanya adalah anak laki-laki berusia 5 tahun sedangkan anak yang bungsu adalah anak perempuan yang berusia 2 tahun.

Ibu SL dan suaminya tergolong keluarga kurang mampu. Sebagai pegawai hotel, suaminya menerima upah sebesar Rp. 800.000,- per bulan. Sedangkan ibu SL, selama bekerja sebagai koki, ia menerima upah sebesar Rp. 800.000,- per bulan. Pemenuhan kebutuhan keluarga sehari-hari kerap kali dibantu oleh ibu dan saudaranya. Sejak berpisah dari bapak RH, kebutuhan ibu SL dan


(27)

anak-80 anak sepenuhnya menjadi tangguang jawab dari keluarganya.

Saat ini ibu SL tidak lagi tinggal bersama suaminya. Saat ini ia tinggal bersama anak-anak, ibu dan tiga orang saudaranya. Ibu SL tinggal bersama ibunya selama kurang lebih 2 tahun. Ia mengambil keputusan ini karena merasa sangat menderita akibat perilaku kasar dari suaminya.

2. Riwayat Kehamilan dan Persalinan Ibu SL

Ibu SL mengandung anak V ketika berusia 34 tahun. Anak V merupakan anak kedua karena sebelumnya ibu SL pernah melahirkan seorang anak laki-laki yaitu anak S. Selama mengandung anak V, ibu SL teratur melakukan kontrol kehamilan di bidan K. Pada saat kontrol kehamilan pertama saat usia kehamilan 12 minggu, berat badan ibu SL adalah 42 kg sedangkan berat badan ideal ibu SL saat hamil adalah 53,5 kg. Ini berarti ibu SL memiliki berat badan yang kurang pada awal kehamilannya. Selanjutnya ketika ibu SL melakukan kontrol kehamilan kedua pada saat usia kehamilannya 16 minggu, berat badan ibu SL adalah 44 kg sedangkan berat badan ideal ibu SL saat hamil adalah 54,6 kg. Hal ini berarti ibu SL memiliki berat badan yang kurang pada trimester ke-2 kehamilannya. Pada saat kontrol


(28)

81 kehamilan ketiga saat usia kehamilan 27 minggu, berat badan ibu SL adalah 46 kg sedangkan berat badan ideal ibu SL saat hamil adalah 59,5 kg. Hal ini berarti ibu SL memiliki berat badan yang kurang pada trimester terakhir kehamilannya. Jika dilihat dari pola makan, ibu SL mengatakan bahwa setiap harinya dia makan sebanyak tiga kali yaitu makan pada pagi hari, siang dan malam hari. Pola makan ibu SL dapat dilihat pada tabel berikut di bawah ini.

Tabel 4.4 Konsumsi bahan pangan ibu SL dalam 24 jam terakhir:

Waktu Jenis Makanan URT (Ukuran Rumah Tangga) Jumlah Yang Dikonsumsi (g)

Pagi Nasi

Telur ceplok

1 prg 1 btr

100 g 60 g Siang Nasi

Sawi hijau Tempe 1 prg 7 lbr 2 ptg 100 g 100 g 25 g Malam Nasi

Kangkung Tempe 1 prg 10 btg 2 ptg 100 g 50 g 25 g Ket : Prg = piring, btr = butir, lbr = lembar, ptg = potong, btg = batang, g = gram

Tabel 4.4 menunjukkan jenis makanan yang dikonsumsi oleh ibu SL dalam 24 jam terakhir. Dalam satu hari, jenis makanan yang paling sering dikonsumsi yaitu nasi untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat. Pemenuhan kebutuhan vitamin dan serat diberikan dalam bentuk sayur-sayuran. Sedangkan untuk kebutuhan protein, dipenuhi


(29)

82 dengan cara mengkonsumsi telur dan tempe. Walaupun demikian, diasumsikan bahwa selama kehamilan, pola makan ibu SL dapat mengalami perubahan frekuensi maupun adanya konsumsi makanan tambahan seperti susu, biskuit ataupun suplemen.

Sementara itu, angka kecukupan gizi energi yang dikonsumsi oleh ibu SL yakni 1.374 Kkal dengan tingkat kecukupan gizi energi sebesar 76%, sedangkan untuk angka kecukupan gizi protein yaitu 38 mg dan tingkat kecukupan energi protein adalah 76%. Hal ini menunjukkan bahwa untuk tingkat konsumsi gizi energi dan protein, ibu SL berada dalam rentang konsumsi kurang.

Status kesehatan dilihat dari jenis keluhan sakit yang diderita oleh ibu SL selama kehamilannya. Ibu SL mengungkapkan bahwa selama hamil, dirinya mengalami demam, batuk dan pilek. Sakit yang dialami yaitu satu kali dalam dua minggu dan hanya terjadi ketika cuaca dingin. Untuk mengatasi sakit yang ia derita, ibu SL mengunjungi bidan untuk mendapatkan pengobatan. Obat yang diberikan oleh bidan yaitu Paracetamol, Vitamin C serta obat penambah darah. Ibu SL mengatakan bahwa, obat akan dikonsumsi sampai ia benar-benar sembuh.


(30)

83 Untuk riwayat persalinan, ibu SL melahirkan di rumah dan ditolong oleh bidan K. Ibu SL melahirkan secara normal, dengan durasi persalinan dua jam. Anak yang dilahirkan prematur karena usia kehamilan baru 7 bulan atau 28 minggu. Saat lahir, anak V memiliki berat 1000 gr dengan panjang 49 cm dan terdapat cairan bening yang melekat pada kulitnya. Anak V dirawat di rumah selama 40 hari barulah dibawa keluar rumah oleh ibu SL.

3. Deskripsi Kasus KDRT Pada Ibu SL

a. Kejadian KDRT Yang Sangat Membekas Di Hati Ibu SL

Kejadian kekerasan dalam rumah tangga yang sangat membekas di hati ibu SL yaitu ia mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya saat sedang hamil besar. Kejadian itu terjadi ketika kehamilan ibu SL menginjak usia tujuh bulan.

Siang itu, saat bapak RH pulang dari tempat kerja, ia dalam keadaan mabuk berat. Ibu SL mengetahui keadaan suaminya karena bau minuman keras yang terhirup sampai ke hidung ibu SL. Selain itu, cara berjalan bapak RH yang sempoyongan membuat ibu SL semakin yakin bahwa suaminya sedang mabuk.


(31)

84 Ibu SL tidak ambil pusing dengan keadaan suaminya. Ia kemudian menyuruh suaminya untuk makan siang namun bapak RH malah menyuruh ibu SL untuk diam. Ibu SL pun langsung menjawab “Ko orang suruh lu makan na lu mangamok” (Saya menyuruh kamu makan malah kamu marah). Karena dalam keadaan tidak sadar, bapak RH kemudian berjalan ke arah ibu SL dan mencoba memukul ibu SL namun ibu SL langsung menghindar karena tangan bapak RH mengarah ke perut ibu SL. Ibu SL yang tidak menerima perlakuan dari suaminya kemudian menegur dan memarahi bapak RH. Saat itu ibu SL berkata “Kalo Bapak pukul ko kena perut ko keguguran na bagaimana?”, Bapak ni sonde kasian liat beta yang hamil besar bagini ko Bapak?. (Kalau Bapak memukul saya mengenai perut dan keguguran bagaimana?, Bapak tidak merasa kasihan dengan kondisi saya yang sedang hamil besar?). Bapak RH tidak menjawab pertanyaan dari ibu SL. Ia kemudian mengeluarkan kata kotor dan langsung menampari ibu SL saat itu juga. Setelah menampar ibu SL, bapak RH pergi meninggalkan ibu SL yang sedang menangis. Ibu SL mengatakan bahwa ia hanya bisa menangis dan berdiam diri. Ia tidak berani berbuat banyak karena takut


(32)

85 bapak RH bertindak lebih kasar dan apabila hal itu terjadi maka akan sangat berbahaya bagi kandungannya.

Ibu SL mengatakan bahwa ia tidak mengetahui secara jelas alasan mengapa suaminya mabuk dan berlaku kasar kepadannya. Dugaan kuat ibu SL, suaminya mabuk-mabukan dan sering berbuat kasar karena ada masalah di tempat kerja atau bapak RH sengaja berbuat kasar karena disuruh oleh kakak perempuannya agar ibu SL meninggalkan bapak RH. Kejadian ini mengakibatkan ibu SL lebih memilih untuk berpisah dari suaminya dan tinggal di rumah ibunya agar mendapatkan perlindungan dari ibu dan saudara-saudaranya.

b. KDRT Yang Dialami Ibu SL Selama Kehamilan Kedua Selama hamil, ibu SL mengalami kekerasan dalam rumah tangga berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan finansial dan penelantaran rumah tangga. Ibu SL mengalami kekerasan setelah pernikahannya dengan bapak RH. Kekerasan fisik yang diterima oleh ibu SL yaitu ia dipukul, ditendang dan ditampar oleh suaminya.


(33)

86 Saat melakukan kekerasan fisik, bapak RH langsung naik tangan atau langsung memukul ibu SL di wajah dan badan sampai lebam. Terkadang, suaminya menggunakan ikat pinggang yang dilipat untuk memukul ibu SL. Kekerasan fisik yang terjadi pada ibu SL tidak berlangsung setiap hari. Kekerasan terjadi apabila suami merasa ingin memukul ibu SL, pada saat itupun dia langsung memukul ibu SL. Ibu SL mendapatkan kekerasan ketika suaminya sedang ada masalah di tempat kerja atau dalam keadaan mabuk. Berikut pernyataan yang mendukung informasi tersebut:

“Ia Kak beta pernah dapat bakalai dari beta pung suami.” (02 RP01)

(Iya, Kakak. Saya pernah berkelahi dengan suami saya.)

Biasa te beta dapat tumbuk, dapat tendang kalo sonde na beta dapat tampeleng”.(03 RP01)

(Saya ditinju, ditendang dan ditampar.) “Ehh, dia sonde pake apa-apa, dia langsung naik tangan san beta ang. Dia tumbuk beta di muka deng badan dong ni sampe babiru. Kadang ju dia pake ika pinggang ni kaka, dia lipat dobel itu ikat pinggang baru dia lapis sang beta.” (05 RP01)

(Ehh, suami saya tidak menggunakan alat bantu saat memukul. Ia langsung menggunakan tangan kosong. Dia meninju wajah saya sampe lebam. Kadang-kadang ia menggunakan ikat pinggang.)

Son setiap hari juga Kaka. Kalo dia rasa ko mo pukul na dia su habok sam saya. Biasa ju kalo dia ada mabok na kalo pulang begitu dia langsung firuk sam beta ni.” (07 RP01)


(34)

87 (Tidak setiap hari Kak. Setiap ia merasa

ingin memukul, ia langsung saja memukul setelah ia pulang ke rumah.)

Dari hasil wawancara dengan ibu SL, kekerasan fisik terjadi pada kehamilan pertama dan kehamilan keduanya. Kekerasan dalam rumah tangga terjadi pada saat kehamilan ibu SL berusia dua bulan. Ibu SL mengatakan bahwa dalam satu bulan, kekerasan terjadi sebanyak ± 4 kali. Kejadian tidak berlangsung pada bulan berikutnya dan akan ada dua bulan kemudian.

Itu pas bulan kedua Kaka.” (08 RP01) (Saat bulan kedua Kakak.)

Aihh kaka, beta ju su lupa ni Kak. Biasa satu bulan begitu 4 kali kak. Itu ju bulan berikut sonde, ais itu dua bulan kemudian baru dia foe ulang lai. Terserah dia, mau pukul kapan sa dia su habok sam beta.” (10 RP01)

(Saya lupa Kak. Biasanya dalam satu bulan terjadi 4 kali. Itu juga tidak terjadi pada bulan berikutnya, namun dua bulan kemudian barulah dia melakukannya lagi. Terserah dia, mau pukulnya kapan saja.)

Kekerasan psikis yang dialami oleh ibu SL selama kehamilanya yaitu ia dicaci maki dan diolok oleh suaminya namun ibu SL hanya mendiamkan hal tersebut karena ia sedang hamil besar. Berikut pernyataan yang mendukung informasi tersebut:

Ia Kak. Dapat maki, dapat olok. Beta ju tenang sa. Saat itu beta hamil besar ko beta diam-diam sa demi beta pung kandung dong ini.” (25 RP01)


(35)

88 (Ia kakak. Saya dimaki, diejek. Saya hanya diam saja. Saat itu saya sedang hamil besar sehingga saya hanya diam saja demi kandungan saya ini.)

Penelantaran rumah tangga juga dialami oleh ibu SL. Hal ini disebabkan karena kakak perempuan dari bapak RH menyuruhnya untuk meninggalkan ibu SL tanpa alasan yang jelas, seperti yang diungkapkan oleh ibu dari ibu SL berikut:

Nona pung suami pung kaka perempuan suruh kas tinggal nona ko mungkin mau cari istri lain.” (77 UK01)

(Kakak ipar anak saya meminta adiknya untuk meninggalkan anak saya. Mungkin mereka sedang mencarikan istri baru baginya.)

Setelah berpisah dari suaminya, ibu SL mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Ditambah lagi ia harus mempersiapkan kelahiran anak keduanya. Uang yang diperoleh dari pekerjaannya sebagai koki hotel tidak mencukupi kebutuhan tersebut. Suaminya pun tidak memedulikan keadaan rumah tangganya. Satu-satunya jalan keluar bagi ibu SL adalah membongkar tabungannya sehingga ia dapat memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Berikut pernyataan ibu SL yang mendukung informasi tersebut:


(36)

89 “Sonde pernah. apalai setelah kami pisah, dia

sonde urus kami lai.” (42 RP01)

(Tidak pernah. Apalagi setelah kami berpisah, dia (suami ibu SL) tidak lagi mengurusi kami.) “Adihh, tambah kaka. Mau beli susu buat beta na, mau beli loyor dong, beli baju-baju buat dong. Siap-siap memang to Kak. Trus mau bayar ibu bidan dong. Ma beta su siap-siap memang.” (44 RP01)

(Bertambah Kak. Membeli susu untuk saya, untuk membeli gurita, membeli baju untuk anak-anak. Sudah disiapkan sebelumnya. Untuk membayar bidan. Tapi saya sudah persiapkan sebelumnya.)

Cukup Kak karna di Hotel makanan dong enak-enak trus bergizi ko beta yang masak sandiri jadi beta tau. Mau makan daging, sayur, buah-buahan ju ada Kak. Lengkap.” (63 RP01)

(Mencukupi Kak karena di Hotel makanannya enak dan bergizi karena saya yang masak sendiri sehingga saya tau. Makan daging, sayur, buah-buahan juga ada Kak. Lengkap.)

Apabila suami dari ibu SL memiliki masalah ditempat kerja ataupun suaminya mabuk, maka ibu SL menjadi tempat pelampiasan amarah suaminya. Selain itu, ibu SL yang mulai emosi karena ulah suami akan melakukan perlawanan. Hal ini yang menjadi penyebab kekerasan yang dialami oleh ibu SL seperti pernyataan yang diungkapkan oleh ibu SL berikut ini:

Itu biasa kalo su mabok ato ada masalah di tempat kerja, baru dia foe.” (14 RP01)

(Biasanya kalau dia mabuk atau ada masalah ditempat kerja, barulah dia bereaksi.)

Awalnya itu beta diam-diam sa Kak. Ma lam-lama ju beta naek darah e, sapa yang sonde emosi kalo orang ada hamil na lu maen puku-puku sang beta. Kalo dia puku-puku beta bagitu, beta ju balas puku na. Beta pung mama-deng


(37)

90

bapa sa jarang puku beta ma lu mau naek tangan sang beta.” (18 RP01)

(Awalnya saya hanya diam-diam saja Kak. Tapi lama-kelamaan saya juga emosi. Siapa yang tidak emosi kalau orang sedang hamil besar terus kamu memukul saya. Kalau dia memukul saya, saya juga membalas. Mama dan Papa saya saja jarang sekali memukul saya tapi kamu mau memukuli saya.)

Dampak kekerasan dalam rumah tangga yang dialami ibu SL saat ia hamil yaitu stres dan tertekan. Selain itu pola tidur juga terganggu karena memikirkan masalah yang ia hadapi di tambah lagi beban pekerjaan yang diterimanya karena harus bangun lebih awal untuk bekerja seperti yang diungkapkan pada pernyataan berikut ini:

Beta stres Kaka, sangat tertekan, ma beta coba kuat sa demi ini anak dong. Dia kalo pukul ni beta pung perasaan sonde enak. Sangat tapukul. Kenapa ko dia harus pukul beta saat beta ada hamil, dia sadar ko sonde deng apa yang dia buat. Beta selalu sa pikir bagitu. Sonde di rumah, sonde di Hotel beta pikiran Kak.” (57 RP01)

(Saya stres Kak, sangat tertekan tetapi saya mencoba untuk tetap kuat demi anak-anak. Apabila dia memukuli saya, perasaan saya tidak enak. Sangat terpukul. Kenapa dia harus memukul saya saat saya sedang hamil, dia sadar atau tidak dengan perbuatannya. Saya selalu berpikir begitu, di rumah atau di hotel saya kepikiran.)

Beta sonde bisa tidur memang apalagi di Hotel yang ampi-ampir siang dong su kas bangun. Itu yang malah bikin beta tambah stres lai.” (58 RP01)

(Saya tidak bisa tidur. Apalagi di Hotel, saya dibangunkan pagi-pagi buta. Hal itu yang malah membuat saya makin stres.)


(38)

91 Respon yang diberikan oleh ibu SL apabila mendapatkan kekerasan yaitu, ia hanya menangis karena ditinggal pergi oleh suaminya. Selain itu ibu SL juga akan berlaku kasar terhadap suami apabila emosinya sedang naik sebagai bentuk perlindungan diri terhadap perilaku kasar yang dilakukan oleh suami.

...Beta langsung bilang, ko orang omong bae-bae ju lu marah ni. Trus dia langsung sambung beta, dia bamaki beta ni Kak. Karna beta su mulai emosi ni Kak beta langsung maki balek sang dia su ma. Langsung dia jalan dari sana, langsung papoko sang beta ni. Langsung dia bangun jalan. Beta langsung manangis su ma Kak.” (12 RP01)

(Saya langsung menjawab, saya bicara baik-baik tapi kamu marah. Terus dia langsung menyambung perkataan saya, dia juga memaki saya. Karena saya mulai emosi, saya langsung memaki dia. Setelah itu dia berjalan ke arah saya dan memukuli saya. Kemudian dia pergi. Saya pun langsung menangis.) “...Kalo dia puku beta bagitu, beta ju balas puku na... (18 RP03)

(Kalau dia memukuli saya, saya juga membalas.)

Berbagai solusi telah dilakukan oleh ibu SL diantaranya ibu SL pernah menegur suami untuk tidak berbuat kasar terhadapnya. Selain itu, ibu SL juga melaporkan masalah ini kepada orang tua atau keluarga agar mereka memberikan nasehat kepada suaminya namun nasehat yang diberikan oleh keluarga selalu


(39)

92 diabaikan oleh suaminya, bahkan suami mengancam untuk melakukan pembunuhan apabila ibu SL melaporkan masalah tersebut kepada keluarga atau orang lain. Solusi terakhir yang diambil yaitu ibu SL kembali ke rumah orang tuanya agar mendapat perlindungan dari keluarga dan bertahan hidup dengan bantuan orang tua dan keluarga. Berikut pernyataan yang mendukung informasi tersebut:

Su ulang-ulang Kak, ma dia son sadar-sadar ju. Beta su kasih tau katong pung mama deng bapa ko togor dia ma sama sa, pulang sampe rumah dia malah pukul sam beta. Dia bilang lu talalu balapor mau mati. Dia bilang kalo lu lapor ulang lai artinya lu salamat su dar beta.” (15 RP01)

(Sudah berulang kali tapi dia tidak pernah sadar. Saya pernah memberitahukan masalah ini ke ayah dan ibu supaya dia ditegur tapi sama saja, sesampainya di rumah, dia malah memukul saya. Dia bilang, apabila saya melaporkan masalah ini lagi, dia tidak segan-segan untuk membunuh saya.

Itu artinya dia mau puku kas mati sang beta.” (16 RP01)

(Itu artinya dia akan membunuh saya)

Beta su bilang to Kak, kalo dia sonde akan dengar memang, sampe beta su talalu jengkel ko ini beta pulang pi mama dong pung rumah.” (26 RP01)

(Saya kan sudah bilang kalau dia tidak akan mendengarkan teguran saya, sampai saya terlalu jengkel sehingga saya kembali ke rumah mama.)


(40)

93 4. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak V

Anak V merupakan anak kedua dari ibu SL. Anak V berjenis kelamin perempuan dan saat ini berusia 2 tahun. Menurut informasi yang diberikan oleh ibu SL ketika peneliti melakukan pengkajian, anak V dapat menggerakan kepala dengan mandiri, memalingkan wajah secara perlahan ke kiri atau ke kanan, serta dapat menundukkan kepala ketika berusia 1 bulan. Anak V duduk tanpa dukungan ketika berusia 5 bulan. Hal ini dibuktikan dengan anak mampu duduk tanpa dipegang ataupun tanpa bantal untuk bersandar. Ibu SL mengatakan bahwa ketika bermain, anak V lebih memilih untuk duduk sendiri sambil memainkan alat permainannya. Anak V dapat berjalan secara mandiri pada usia 11 bulan. Ia berjalan sendiri tanpa ada bantuan dari orang tua ataupun berpegang pada kursi dan meja untuk berjalan.

Pada usia 1 tahun 2 bulan, anak V mengeluarkan kata-kata pertama seperti memanggil “ma-ma”, “pa-pa” dan “o-ma”. Anak V dapat berbicara karena rangsangan yang diberikan oleh orang tuanya. Saat ini, anak V sudah dapat melakukan interaksi dengan teman sebayannya. Interaksi yang dilakukan oleh anak V seperti memanggil nama temannya, merespon ucapan dari teman sepermainannya


(41)

94 seperti mengambilkan alat permainan maupun meminta temannya untuk mengambilakan alat permainan.

Secara umum, anak V mampu berkomunikasi dengan orang dewasa yang sudah akrab dengannya. Interaksi yang dilakukan seperti mengikuti perintah orang tua, menjawab pertanyaan yang diberikan ataupun meminta bantuan untuk memenuhi kebutuhannya. Namun anak V menarik diri ketika berbicara dengan orang yang baru dikenalnya. Bentuk penarikan yang dilakukan seperti bersembunyi di belakang ibunya ketika peneliti hendak berkenalan dengannya. Anak V tidak merespon perkenalan yang peneliti lakukan seperti tidak menyalami peneliti ataupun menyebutkan namanya. Untuk mendekati anak V, peneliti harus datang ke rumah riset partisipan sebanyak 3 kali barulah anak V dapat berkomunikasi dengan peneliti walaupun awalnya anak V malu-malu. Menurut Ny. SL, anaknya tidak dapat berkomunikasi dengan orang yang baru dikenalnya karena orang tua membatasi anak V dalam bergaul atau berkenalan dengan orang baru.

Dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti selama kurang lebih 30 menit terhadap aktivitas bermain yang dilakukan oleh anak V, didapati anak V dan teman-temannya sedang bermain masak-masak. Anak V


(42)

95 merapikan peralatan masak yang suasananya mereka buat seperti dapur. Ia dan temannya yang bernama Y mengiris dedaunan dengan menggunakan pisau mainan. Setelah itu anak V menghidupkan kompor mainan tersebut dan memasak daun-daun yang telah mereka iris. Anak V dan temannya Y berbicara seolah-olah mereka berdua sedang memasak di dapur sungguhan. Anak V mengatakan “Y, tolong ambil kasih beta garam dolo...” anak V menyuruh temannya sambil mengaduk sayur yang ada di dalam wajan mainan. Setelah keduanya selesai masak, sayur yang mereka buat kemudian dihidangkan di piring mainanan. Anak V dan Y kemudian berjalan ke ruang tengah yang mereka anggap sebagai ruang tidur untuk menyuapi boneka. Anak V menyuapi boneka yang dia anggap sebagai adik perempuannya. Anak V berkata “Lala makan banyak e... biar cepat besar”. Y pun melakukan hal yang sama.

Anak V bermain secara berkelompok dengan teman-temannya. Biasanya Anak V melakukan kegiatan bermain bersama S, P, Y & E. Mereka melakukan aktivitas bermain dengan pengawasan dari orang tua untuk mencegah mereka agar tidak melakukan hal-hal yang tidak diinginkan seperti berkelahi ataupun bermain di luar rumah.


(43)

96 5. Status Gizi dan Status Kesehatan Anak V

Dalam menilai status gizi, peneliti menggunakan pengukuran antropometri yakni umur, berat badan, dan tinggi badan untuk menentukan status gizi anak. Hasil penimbangan ditemukan bahwa anak V memiliki berat badan 12,5 kg dan tinggi badan 58,5 cm. Peneliti kemudian menentukan status gizi menggunakan standar WHO 2005.

Tabel. 4.5 Status Gizi Anak V Berdasarkan Standar WHO 2005

Indeks Z-Score Kategori Status

Gizi BB/U - 2 SD s/d 2 SD Gizi baik TB/U - 2 SD s/d 2 SD Normal BB/TB - 2 SD s/d 2 SD Normal

Tabel 4.5 menunjukkan kategori status gizi berdasarkan indeks berat badan menurut umur (BB/U), anak V berada pada status baik dengan nilai Z-Score -2 SD s/d 2 SD. Sementara itu, nilai Z-Score untuk indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) menunjukkan bahwa anak V berada pada status tinggi badan normal sedangkan untuk indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) menunjukkan bahwa anak V berada pada status berat badan normal.

Sementara itu, jumlah angka kecukupan gizi yang dikonsumsi oleh anak V yakni 1.302 Kkal dan tingkat


(44)

97 kecukupan energi sebesar 104% sedangkan untuk angka kecukupan gizi protein yaitu 24 mg dan tingkat kecukupan protein adalah 104 %. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat konsumsi energi dan protein anak V berada dalam rentang tingkat konsumsi baik.

Status kesehatan anak V dilihat dari jenis keluhan sakit, upaya pencarian layanan kesehatan, imunisasi dan perilaku kebersihan. Untuk jenis keluhan sakit, ibu SL mengatakan bahwa anak V jarang menderita sakit. Terakhir kali anak V terkena sakit yaitu ketika ia berusia 1 tahun 6 bulan. Pada saat itu anak V menderita demam, batuk dan pilek. Frekuensi kejadian sakit yang ia alami yaitu 2 minggu sekali. Hal ini diakibatkan karena anak V terinfeksi dari keluarga yang menderita penyakit tersebut. Ibu SL mengatakan bahwa anak V mudah terinfeksi karena lahir prematur sehingga tubuhnya masih harus menyesuaikan dengan lingkungan sekitar.

Tindakan yang pertama kali dilakukan apabila anak V sakit yaitu memanfaatkan layanan kesehatan. Layanan kesehatan yang dimaksudkan adalah mengunjungi ibu bidan untuk mengambil obat sesuai dengan jenis penyakit yang diderita.


(45)

98 Ibu SL mengatakan bahwa anak V telah mendapatkan 5 imunisasi dasar yaitu Hepatitis-B, BCG, DPT, Polio dan Campak dari Posyandu di wilayah setempat. Dalam hal menjaga kebersihan, ibu SL mengatakan bahwa anak V mandi dua kali sehari. Apabila suhu udara terlalu dingin, maka ibu SL hanya memandikan anak V pada pagi hari dan pada sore harinya anak V hanya dilap dengan menggunakan handuk basah. Selain itu ibu SL mengatakan bahwa anak V diharuskan untuk mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, ataupun mencuci tangan setelah bermain di luar rumah.

6. Hasil Pemeriksaan DDST II Pada Anak V

Dari hasil pengamatan yang peneliti lakukan sebelum melakukan pemeriksaan DDST II pada anak V, peneliti melihat bahwa terjadi interaksi yang dilakukan oleh anak V dan keluarganya. Interaksi yang dilakukan yaitu anak V bertanya pada ibunya menggunakan kalimat yang jelas dan dapat dimengerti oleh lawan bicara Seperti “Mama, nenek pergi kemana?”. Ketika ibunya menjawab pertanyaan yang anak V berikan maka anak V tersenyum dan mengangguk dalam merespon jawaban atau pernyataan yang diberikan oleh ibunya. Apabila jawaban


(46)

99 atau pernyataan yang diberikan oleh ibunya kurang dimengerti maka anak V akan menanyakan kembali maksud dari perkataan ibunya tersebut. Pada saat peneliti hendak melakukan komunikasi, terjadi penolakan karena anak V memilki sifat yang pemalu. Hal ini dibuktikan ketika peneliti menanyakan nama dan hendak berjabatan tangan dengan anak V, dia hanya diam kemudian berlari dan bersembunyi di belakang ibunya. Ibu SL mengatakan bahwa anak V sulit untuk dekat dengan orang yang baru dia kenal hal ini diakibatkan karena setiap harinya anak V hanya bermain di dalam rumah ataupun di teras depan rumah. Selain itu, orang tua mengatakan bahwa anak V jarang dibawa keluar untuk sekedar jalan-jalan di lingkungan tempat mereka tinggal. Dalam melakukan pemeriksaan DDST II, peneliti harus mengunjungi tempat tinggal responden sekitar 3 kali untuk menyapa anak V. Setiap harinya peneliti datang ke rumah responden untuk sekedar menyapa namanya, menanyakan aktivitas yang dia lakukan, membawakan alat permainan ataupun mengikuti kegiatan bermain yang ia lakukan sampai anak V berbicara dengan peneliti.

Hasil pemeriksaan DDST II menunjukkan bahwa anak V mengalami keterlambatan perkembangan karena


(47)

100 terdapat 2 item peringatan dan 2 item terlambat dari 36 item yang diperiksa. Hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.6 Pemeriksaan DDST II Pada Anak V

SEKTOR RESPON ANAK HASIL TES

Personal sosial  Anak belum bisa memakai T-Shirt

 Anak dapat menyebutkan nama teman  Anak dapat

mencuci dan mengeringkan tangan

 Anak dapat mengosok gigi dengan bantuan  Anak belum

bisa memakai baju

 Anak dapat menyuapi boneka  Anak dapat

Membuka pakaian dengan bantuan orang tua  Anak dapat

menggunakan sendok atau garpu

Terdapat 5 item yang lulus dan 3 item yang gagal dari 8 item yang diperiksa pada sektor personal sosial.

Hasil penilaian per item:

1. Lebih: 0 2. OK/normal: 1 3. Peringatan: 1 4. Terlambat: 1 5. NO/ tidak ada

kesempatan: 0 (Selengkapanya dapat dilihat pada lampiran)

Motorik halus  Anak dapat menyusun menara dari kubus (2 kubus, 4 kubus, dan 6 kubus)

 Anak tidak

Terdapat 1 item yang gagal dan 5 item yang lulus dari 6 item yang diperiksa.

Hasil penilaian per item:


(48)

101 dapat meniru

garis vertikal  Anak dapat

mengambil manik-manik yang

ditunjukkan

1. Lebih: 0 2. OK/normal: 1 3. Peringatan: 0 4. Terlambat: 0 5. NO/ tidak ada

kesempatan: 0 Bahasa  Bicara semua

dimengerti  Anak dapat

mengetahui 2 kegiatan yang dilakukan  Anak dapat

menyebut 4 gambar

 Bicara dengan dimengerti  Anak tidak

dapat

menunjuk 4 gambar

 Anak dapat menyebutkan 6 bagian tubuh dengan bantuan orang tua  Anak tidak

dapat

menyebut 1 gambar

 Anak dapat melakukan kombinasi kata

Terdapat 3 item yang gagal, 5 item yang lulus dari 8 item yang diperiksa pada sektor bahasa.

Hasil penilaian per item:

1. Lebih: 0 2. OK/normal: 1 3. Peringatan: 1 4. Terlambat: 1 5. NO/ tidak ada


(49)

102 Motorik kasar  Anak mampu

berdiri

dengan 1 kaki dalam waktu 1 detik

 Anak dapat melakukan loncat jauh  Anak dapat

melempar bola ke atas  Anak dapat

melompat  Anak dapat

menendang bola ke depan  Anak dapat

melakukan aktivitas naik tangga

Anak mampu

melakukan 6 yang diperiksa pada sektor motorik kasar.

Hasil penilaian per item:

1. Lebih: 0 2. OK/normal: 0 3. Peringatan: 0 4. Terlambat: 0 5. NO/ tidak ada

kesempatan: 0

Hasil pemeriksaan pada sektor personal sosial menunjukkan anak V belum mampu melakukan beberapa item seperti memakai T-shirt, memakai baju, ataupun membuka pakaian. Hal ini menunjukkan bahwa anak V belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya secara mandiri. Informasi dari orang tua menyebutkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, anak V meminta ibu, nenek atau tantenya untuk memakaikan T-shirt, memakaikan baju, membuka pakaian, memandikan anak V ataupun menggosok giginya padahal orang tua sudah mengajarkannya. Kegagalan anak V dalam memakai T-shirt


(50)

103 dianggap normal karena masih ada rentang usia untuk belajar.

Untuk sektor motorik halus, anak V belum mampu melakukan kegiatan menggambar ataupun menulis hal ini dibuktikan dengan anak V gagal melakukan satu item pemeriksaan yaitu meniru garis vertikal. Anak V hanya mencoret-coret kertas yang diberikan oleh peneliti walaupun peneliti sudah memberikan instruksi untuk meniru garis vertikal tersebut. Salah satu penyebab kegagalan ini yaitu orang tua belum mengajarkan kepada anak untuk menggambar ataupun menulis. Orang tua mengangap bahwa saat ini, anak V masih dalam tahap bermain dan belum waktunya untuk belajar. Kegagalan pada item ini dianggap normal karena masih ada rentang usia untuk belajar. Di sektor ini, anak V berhasil melakukan item membuat menara dari 2, 4, dan 6 kubus serta anak V mampu mengambil manik-manik yang ditunjukkan oleh peneliti.

Dari percakapan yang dilakukan antara peneliti dan anak V didapati bahwa anak V mengalami kesulitan berbicara dengan orang yang baru ia kenal. Anak V mengeluarkan kalimat yang sering membuat peneliti tidak mengerti maksud dari ucapan tersebut. Apabila ia


(51)

104 berkomunikasi dengan orang yang sudah ia kenal maka setiap kata yang dia ucapkan jelas dan dapat dimengerti oleh lawan bicara. Ketika peneliti memberikan instruksi untuk melakukan suatu tindakan, maka anak V mengerti dan memahami maksud dari instruksi tersebut sehingga anak V melakukan apa yang diinstruksikan oleh peneliti seperti menyebutkan gambar, menyusun kubus ataupun melempar bola. Kegagalan anak V dalam berbicara dengan kalimat yang dapat dimengerti merupakan hal yang normal karena masih ada rentang usia untuk belajar. Selain mengalami kegagalan dalam berbicara, anak V juga mengalami kegagalan dalam menunjuk 4 gambar dan menyebutkan 6 bagian badan. Pada sektor bahasa, anak V mampu mengetahui kegiatan yang ia lakukan, menyebutkan 4 gambar dan menggunakan kombinasi kata dalam berbicara.

Anak V mampu melakukan gerakan motorik kasar dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan anak V mampu melakukan semua item yang diujikan pada sektor motorik kasar seperti berjalan naik tangga, menendang bola ke depan, melompat, melempar bola ke atas, loncat jauh dan berdiri dengan satu kaki.


(52)

105 7. Kajian Faktor-Faktor Lain yang Memengaruhi

Perkembangan Anak V a. Faktor Fisik

Faktor fisik yang memengaruhi perkembangan anak dilihat dari cuaca, musim, keadaan geografis dan sanitasi lingkungan tempat tinggal.

Berkaitan dengan cuaca, musim dan keadaan geografis, ibu SL mengatakan bahwa walaupun cuaca dan musim yang selalu berubah namun anak V dapat melakukan aktivitasnya dengan baik. Kota SoE yang memiliki cuaca dingin antara bulan Juni-September tidak mengganggu kesehatan anak V. Dari keterangan yang diberikan oleh orang tua walaupun dingin, pada malam hari anak V dapat tidur dengan baik.

Untuk sanitasi lingkungan tempat tinggal, rumah ibu SL adalah rumah permanen berdinding tembok beratapkan seng dan lantai terbuat dari semen. Terdapat pintu dan beberapa jendela sehingga udara dan cahaya dapat masuk ke dalam rumah dengan baik. Rumah dihuni oleh 6 orang anggota keluarga sehingga aktivitas di dalam rumah dapat dilakukan dengan baik. Lingkungan rumah ibu SL tampak bersih. Tidak ada sampah di halaman rumah, terdapat selokan disamping rumah yang membantu agar tidak terjadi


(53)

106 genangan air saat musim hujan. Bagian dalam rumah tampak bersih dan rapi. Tidak ada debu atau pun sampah yang mengotori bagian dalam rumah.

Walaupun keadaan lingkungan yang bersih namun jalanan yang berdebu mengakibatkan banyak debu yang berterbangan di depan rumah apabila ada kendaraan roda empat yang melewati jalan di depan rumah ibu SL. Informasi yang diberikan oleh ibu SL bahwa keadaan tersebut tidak menggangu aktivitas keluarga dalam hal ini tidak menganggu kesehatan keluarga. Mereka mensiasati hal tersebut dengan menyiram bagian jalan yang berdebu setiap pagi dan siang. Hal tersebut sangat membantu mengatasi masalah debu yang berterbangan di depan rumah ibu SL.

b. Faktor Psikososial

Faktor psikososial yang memengaruhi anak dilihat dari stimulasi yang diberikan orang tua, motivasi belajar, pujian atau hukuman, cinta dan kasih sayang dari orang tua, serta hubungan interpersonal anak dengan keluarga.

Faktor stimulasi dilihat dari penyediaan alat bermain, sosialisasi anak dan keterlibatan anggota keluarga. Untuk penyediaan alat bermain, anak V diberikan alat permainan sesuai dengan umur dan tahap perkembangannya. Anak V


(54)

107 diberikan mainan berupa boneka dan alat permainan masak-memasak. Orang tua tidak memberikan alat permainan yang dapat membantu anak V dalam usia prasekolahnya seperti tidak tersedianya gambar-gambar binatang, bunga, untuk membantu anak V dalam mengenali lingkungannya. Tidak tersedianya alat permainan seperti angka dan aljabar mengakibatkan anak V sulit mengenali huruf dan angka. Ibu SL mengatakan bahwa ia tidak menyediakan alat permainan tersebut karena anak V masih ingin bermain dan belum berkeinginan untuk belajar.

Anak V mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang yang baru ia kenal. Anak V merasa malu apabila didekati oleh orang baru sehingga untuk berkomunikasi dengan anak V diperlukan pendekatan yang cukup lama. Ibu SL mengatakan bahwa hal ini diakibatkan karena keluarga tidak memberikan kesempatan untuk anak V dalam bersosialisasi dengan tetangga sehingga anak V hanya akrab dengan orang-orang yang sudah ia kenal. Interaksi yang dilakukan oleh anak V dengan teman sebaya sangat baik dibuktikan dengan anak V mampu berkomunikasi dengan teman-temannya seperti memanggil nama teman, meminta bantuan kepada teman untuk mengambilkan sesuatu atau mendengarkan perkataan yang


(55)

108 diucapkan oleh teman-temannya, hal terjadi ini karena anak V sudah akrab dengan teman sepermainannya.

Anggota keluarga seperti ibu, nenek dan tante berperan baik dalam kelangsungan hidup anak V. Orang tua berperan dalam membantu memenuhi kebutuhan dasar anak V seperti mandi dan makan, hal ini dikarenakan anak V masih belum mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Selain memberikan bantuan, Ibu SL mengatakan bahwa keluarga juga mengajarkan anak V untuk berpakaian, mandi dan makan agar anak V terbiasa memenuhi kebutuhannya secara mandiri.

Motivasi belajar dilihat dari lingkungan belajar dan penyediaan alat permainan edukatif. Lingkungan belajar anak V tenang, aman dan nyaman. Selain itu, kehadiran kakak sulungnya dapat menjadi teman belajar yang baik, namun karena faktor usia, orang tua belum memberikan waktu untuk belajar bersama-sama dengan anak V. Selain itu, orang tua tidak menyediakan alat permainan edukatif seperti gambar-gambar hewan, puzzle sehingga anak V mengalami kesulitan dalam menyebutkan nama hewan, warna, menyusun kubus, dan berhitung.

Untuk pujian atau hukuman dari orang tua, ibu SL mengatakan bahwa seperti anak pada umumnya, apabila


(56)

109 anak V melakukan sesuatu yang dianggap baik seperti menyikat gigi sebelum makan, mencuci tangan sebelum makan, menghabiskan makanan satu piring, ataupun berpakaian rapi maka anak V mendapat pujian dan ciuman dari keluarganya. Selain itu, anak V juga mendapatkan hadiah berupa baju baru, alat permainan ataupun makanan ringan apabila anak V mengikuti perintah orang tuanya. Sedangkan apabila anak V berbuat salah seperti tidak mendengarkan perintah oarng tua maka hukuman yang didapat oleh anak V yaitu dimarahi bahkan tidak jarang mendapatkan pukulan dari ibunya.

Untuk cinta dan kasih sayang, anak V mendapatkan cinta dan kasih serta perlakuan adil dari ibu, nenek, om dan tantenya. Perlakuan adil yang diberikan oleh orang tua yaitu tidak membeda-bedakan anak V dengan kakaknya ataupun menyediakan kebutuhan yang sama antara anak V dengan kakaknya. Di dalam anggota keluarga, anak V dekat dengan seluruh anggota keluarga namun ia lebih dekat dengan ibu kandung dan neneknya.


(57)

110 4.2.2. Kasus II : KDRT Pada Kehamilan Ketiga

1. Identitas Umum Ibu NN

Ibu NN berusia 34 tahun dan beragama Kristen Protestan. Ia berasal dari suku Amanatun dan saat ini tinggal di Desa Nobi Nobi, Kecamatan Amanuban Tengah. Ibu NN merupakan anak keempat dari lima orang bersaudara. Ia memiliki dua orang saudara laki-laki dan dua orang saudara perempuan. Sejak lahir, ia dan keempat orang saudaranya dibesarkan di Desa Nobi Nobi oleh kedua orang tua mereka.

Ayah dari ibu NN merupakan pensiunan PNS sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Ibu NN mengatakan bahwa sebagian besar dari keluarganya berprofesi sebagai PNS dan salah satu diantaranya merupakan dosen disalah satu universitas negeri di Kota Kupang.

Ibu NN mengatakan bahwa ia dan saudara-saudaranya dididik dengan keras oleh ayah dan ibu mereka. Walaupun ayah dan ibu sangat menyayangi mereka, jika mereka melakukan kesalahan, tidak peduli sekecil apapun keselahan itu, mereka akan dimarahi bahkan dipukuli.

Keluarga ibu NN merupakan keluarga mampu dan berpendidikan. Semua anggota keluarga berhasil


(58)

111 menamatkan diri dari sekolah menengah atas dan tiga diantara saudaranya berhasil meraih gelar sarjana.

Ibu NN sendiri menamatkan pendidikan sekolah dasarnya di SD Inpres Ekpulen. Selanjutnya ia melanjutkan pendidikan di SMP Nobi Nobi. Setelah menamatkan diri dari sekolah menengah tingkat pertama, ia kemudian melanjutkan pendidikannya di salah satu sekolah menengah kejuruan (SMKK) di Kota Kupang. Ibu NN mengatakan bahwa selama hidupnya, ia tidak pernah mengikuti kursus ataupun pendidikan di luar sekolah.

Setelah menamatkan diri di sekolah menengah kejuruan, ibu NN kemudian bekerja sebagai penjahit. Pada awalnya, ia bekerja pada seorang penjahit senior di Pasar Inpres SoE. Setelah mendapatkan pengalaman yang cukup, ibu NN kemudian memutuskan untuk membuka usaha jahit secara mandiri di rumahnya.

Ibu NN menikah ketika ia berusia 22 tahun. Ia menikah dengan bapak YS yang berasal dari suku Amanuban. Saat ini bapak YS berusia 37 tahun dan bekerja sebagai supir bus. Ibu NN dan bapak YS sudah menikah selama 13 tahun dan dikaruniai tiga orang anak. Anak sulungnya adalah seorang anak perempuan berusia 12 tahun. Anak keduanya adalah anak laki-laki berusia 8 tahun


(59)

112 sedangkan anak yang bungsunya adalah anak perempuan berusia 6 tahun.

Ibu NN dan suaminya tergolong dalam keluarga dengan status ekonomi menengah ke atas. Sebagai supir bus, bapak YS berpenghasilan ± Rp. 500.000–Rp. 1.000.000 per bulan. Sedangkan sebagai seorang penjahit, setiap bulannya ibu NN berpenghasilan ± Rp. 250.000–Rp. 500.000.

Pemenuhan kebutuhan keluarga kerap kali dibantu oleh ibu dan saudara-saudaranya. Apalagi setelah berpisah dari bapak YS, kebutuhan ibu NN dan anak-anak sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya.

Saat ini, ibu NN tidak lagi tinggal bersama suaminya. Ia tinggal bersama ibu, saudara perempuan dan ketiga orang anaknya. Ibu NN sudah tinggal bersama ibu kandungnya kurang lebih selama dua tahun. Ia mengambil keputusan ini karena merasa sangat menderita akibat perbuatan kasar dari suami ditambah lagi dengan masalah perselingkuhan yang dilakukan oleh suaminya.


(60)

113 2. Riwayat Kehamilan dan Persalinan

Ibu NN mengandung anak DS ketika berusia 27 tahun. Sebelumnya ibu NN pernah melahirkan dua orang anak. Selama kehamilan, ibu NN rutin melakukan kontrol kehamilan sebanyak tiga kali di bidan NWO. Pada saat kontrol kehamilan pertama, saat usia kehamilan 4 minggu, berat badan ibu NN adalah 34 Kg sedangkan berat badan ideal ibu NN pada trimester pertama adalah 40,6 kg. Hal ini berarti ibu NN memiliki berat badan yang kurang pada awal kehamilan. Selanjutnya pada kontrol kehamilan yang kedua, saat usia kehamilan 16 minggu, berat badan ibu NN adalah 40 kg sedangkan berat badan ideal ibu NN pada trimester kedua adalah 47,6 kg. Hal ini berarti ibu memiliki berat badan yang kurang pada trimester ke-2 kehamilannya. Pada saat kontrol kehamilan yang ketiga, saat usia kehamilan 30 minggu, berat badan ibu NN adalah 46 kg sedangkan berat badan ideal ibu NN pada trimester ketiga adalah 52 kg. Hal ini berarti ibu NN memiliki berat badan yang kurang pada trimester terakhir kehamilannya. Jika dilihat dari pola makan, ibu SL mengatakan bahwa setiap setiap harinya, dia makan sebanyak tiga kali yaitu makan pada pagi hari, siang dan malam hari. Pola makan ibu NN dapat dilihat pada tabel 4.7.


(61)

114 Tabel 4.7 Konsumsi Bahan Pangan Ibu NN Dalam

24 Jam Terakhir: Waktu Jenis Makanan URT

(Ukuran Rumah Tangga)

Jumlah Yang Dikonsumsi (g)

Pagi Bubur 1 gls 100 g

Siang Nasi

Daging sapi Acar: ₋ Kacang panjang ₋ Wortel ₋ Ketimun ₋ Labu siam ₋ Kacang tanah kupas 1 prg 4 ptg 5 btg ¼ bh sdg ¼ bh sdg ¼ ptg 2 sdm 100 g 100 g 100 g 25 g 25 g 25 g 20 g

Malam Nasi Kangkung

1 prg 10 btg

100 g 50 g

Ket : Prg = piring, btr = butir, lbr = lembar, ptg = potong, btg = batang, g = gram

Tabel 4.7 menunjukkan jenis bahan makanan yang dikonsumsi oleh ibu NN dalam 24 jam terakhir. Dalam satu hari, jenis makanan yang paling sering dikonsumsi yaitu nasi untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat. Pemenuhan kebutuhan vitamin dan serat diberikan dalam bentuk sayur-sayuran. Sedangkan untuk kebutuhan protein, dipenuhi dengan cara mengkonsumsi daging dan kacang-kacangan. Walaupun demikian, diasumsikan bahwa selama kehamilan, pola makan ibu NN dapat mengalami perubahan frekuensi maupun adanya konsumsi makanan tambahan seperti susu, biskuit ataupun suplemen.


(62)

115 Sementara itu, angka kecukupan gizi energi yang dikonsumsi oleh ibu NN yakni 1.047 Kkal dengan tingkat kecukupan gizi energi sebesar 58%, sedangkan untuk angka kecukupan gizi protein yaitu 58 mg dengan tingkat kecukupan gizi protein adalah 116%. Hal ini menunjukkan bahwa untuk tingkat konsumsi gizi energi, ibu NN berada dalam rentang konsumsi buruk, sedangkan untuk tingkat konsumsi gizi protein, ibu NN berada dalam rentang tingkat konsumsi baik.

Status kesehatan, dilihat dari jenis keluhan sakit yang dirasakan oleh ibu NN selama hamil. Pada saat mengandung anak DS, saat kehamilannya mencapai usia 7 bulan, setiap bangun dari tidur, ibu NN mengalami kesulitan dalam menggerakan anggota tubuh. Ibu NN tidak mengetahui penyebab pasti dari penyakit yang ia derita. Ibu NN menduga hal ini terjadi karena proses fisiologis tubuh yang mengalami perubahan selama masa kehamilannya. Ibu NN juga mengatakan bahwa selama kehamilan pertama dan keduanya, ia juga merasakan hal yang sama. Tindakan yang pertama kali ia lakukan untuk mengurangi sakit yaitu melakukan pijatan di daerah anggota gerak yang sakit agar otot-otot rileks sehingga ibu NN bisa bangun dari tidurnya. Ibu NN mengatakan bahwa ia tidak pernah mengunjungi


(63)

116 fasilitas kesehatan untuk memeriksakan penyakit yang ia derita karena sakit yang ia rasakan dapat teratasi setelah dilakukan pemijatan.

Ibu NN melahirkan di rumah dan ditolong oleh bidan NWO. Ibu NN melahirkan secara normal dengan durasi persalinan kurang lebih 30 menit. Anak yang dilahirkan normal karena usia kehamilan 9 bulan 10 hari. Saat lahir, anak DS memiliki berat 3000 gr dengan panjang badan 50 cm. Anak DS lahir dalam keadaan sehat, dengan skor apgar 10 dan tidak ada anomali kongenital saat kelahiran. Anak DS dirawat selama 40 hari di dalam rumah sebelum ia dibawa keluar oleh ibunya.

3. Deskripsi Kasus KDRT pada Ibu NN

a. Kejadian KDRT Yang Membekas Di Hati Ibu NN

Kejadian kekerasan dalam rumah tangga yang sangat membekas di hati ibu NN yaitu ketika ia dipaksa oleh suami menggugurkan kehamilan ketiganya. Kejadian itu terjadi ketika kehamilan ibu NN menginjak usia dua bulan.

Saat itu, bapak YS yang awalnya tidak mengetahui perihal kehamilan istrinya, akhirnya mengetahui bahwa ibu NN sedang mengandung anak


(64)

117 ketiga mereka. Karena merasa anak yang dikandung oleh istrinya tidak direncanakan, maka bapak YS berniat untuk menggugurkan kandungan ibu NN dengan alasan jarak anak yang terlalu dekat. Bapak YS pun mencari obat untuk menggugurkan kandungan istrinya tersebut. Obat atau ramuan yang bapak YS dapat merupakan sari nenas muda yang oleh masyarakat setempat dipercaya dapat menggugurkan kandungan yang usianya masih muda.

Pada saat itu, ibu NN dipaksa oleh bapak YS untuk meminum ramuan tersebut. Ibu NN awalnya sempat menolak namun pada akhirnya ia hanya bisa menuruti perintah dari suaminya karena takut suaminya akan berlaku kasar. Setelah meminum ramuan tersebut, ibu NN tidak mengalami keguguran, namun janin yang ia kandung berkembang dengan baik sehingga ia rajin memeriksakan diri ke posyandu untuk mengetahui perkembangan janinnya.

Ketika anak tersebut lahir dan menginjak usia dua bulan, bapak YS tidak menerima kelahiran anak tersebut. Bapak YS mengatakan bahwa anak tersebut bukan darah dagingnya. Hal ini membuat ibu NN hanya bisa menangis dan pasrah menerima perlakuan dari suaminya. Ia tidak berani berbuat banyak karena takut bapak YS akan


(65)

118 bertindak kasar sehingga membahayakan keselamatan ibu, saudara dan anak-anaknya.

b. KDRT Yang Dialami Ibu NN Selama Kehamilan Ketiga Kekerasan dalam rumah tangga dialami oleh ibu NN sejak kelahiran anak pertamanya. Kekerasan ini berlangsung sampai kehamilan ketiga. Pada saat mengandung anak ketiganya, ibu NN mendapatkan kekerasan dari suami berupa kekerasan fisik, psikis, seksual, finansial dan penelantaran rumah tangga. Kekerasan tersebut dialaminya mulai dari usia kehamilan dua bulan sampai usia tujuh bulan barulah suami berhenti melakukan tindakan kekerasan kepadanya. Kekerasan fisik yang dialami ibu NN yaitu ia dipukul, ditendang, dan dipotong menggunakan parang dilengan kanannya. Hal ini sesuai dengan ungkapan ibu NN dalam pernyataan berikut:

Ia memang dari saya pung anak yang pertama ini dia su lahir umur pokonya dia su mau dua tahun yang kelihatan dia pung ini jadi dia biasa pukul, ini...” (04 RP02)

(Ia memang, dari anak pertama saya lahir sampai umur dua tahun, dia sudah menunjukkan perilaku kasar jadi saya biasa dipukul.)

Ia memang waktu hamil sang D.... ni saya dapat kekerasan. Sering dapa marah deng dapa pukul ju.” (05 RP02)


(66)

119 (Ia memang saat hamil anak DS, saya

mendapat kekerasan. Saya sering dimarahi dan dipukul.)

Itu sudah umur... Dari dua bulan tu dia ini su mulai pukul saya. Sampai umur enam atau tujuh bulan baru dia mau berhenti. Dia barenti ju karna dia sond deng kami lai.” (08 RP02) (Itu sudah mencapai umur... dari umur dua bulan, dia mulai memukuli saya. Sampai umur enam atau tujuh bulan baru dia berhenti. Dia berhenti karena tidak tinggal bersama kami lagi.)

Pokonya dia pukul, tendang, kadang dia pakai parang pokoknya parang-parang tajam untuk mau kasih mati saya begitu...” (06 RP02) (Pokoknya dia pukul, tendang, terkadang menggunakan parang, pokonya parang yang tajam untuk mencoba membunuh saya.)

Kekerasan psikis yang dialami ibu NN yaitu ia dipaksa untuk menggugurkan kandungannya yang berusia dua bulan. Selain mendapatkan ancaman, kekerasan psikis lain yang dialami yaitu ia dicaci maki oleh suaminya namun ibu NN hanya mendiamkan hal tersebut karena sifat ibu NN yang pendiam seperti pada pernyataan berikut:

Pokonya dia su suruh ko yang dua bulan itu, dia paksa ko, sempat dia suruh ko minum itu ramuan, saya minum juga tapi ini kandung dia tidak gugur, tambah berkembang jadi saya juga ke posyandu.” (77 RP02)

(Pokoknya pada saat umur kandungan mencapai dua bulan, dia memaksa saya untuk meminum ramuan tersebut. saya sempat meminumnya tapi kandungan saya tidak gugur malah lebih berkembang jadi saya pergi ke posyandu untuk memeriksakan diri.)

Pokonya yang nama binatang tu selalu saja...” (29 RP02)


(1)

273 b. Status Kesehatan Anak

Status kesehatan pada anak yang ketika masih dalam kandungan ibunya mengalami KDRT di Kab. TTS berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa jenis keluhan sakit yang paling sering dialami oleh kelima anak tersebut yakni demam, batuk dan pilek dengan rata-rata frekuensi sakit yaitu 1-2 kali/bulan. Perubahan cuaca yang tidak menentu, infeksi dari keluarga terdekat dan efek imunisasi merupakan faktor yang memengaruhi jenis keluhan sakit yang dialami. Selain ketiga faktor tersebut, kebersihan lingkungan serta perilaku kebersihan juga memengaruhi status kesehatan dari anak yang ketika masih dalam kandungan ibunya mengalami KDRT.

Hasil penelitian mengenai jenis keluhan sakit ditemukan bahwa anak DS, anak MA, dan anak MT mengalami sakit karena suhu udara yang dingin. Suhu udara yang dingin langsung membuat ketiga anak tersebut menderita influenza. Pada kasus yang lain, anak V mengalami demam, batuk dan pilek karena terinfeksi dari keluarga. Anak V mudah terinfeksi virus influenza karena kondisi imun yang menurun akibat kelahiran prematur. Sedangkan anak AN menderita demam karena imunisasi yang ia dapat setiap bulannya. Hal-hal di atas


(2)

274 memberikan indikasi bahwa kelima anak tersebut memiliki sistem imun yang kurang baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan dari Bacchus, Mezeya, Bewleyb dan Haowrth (2004) bahwa kecemasan pada ibu hamil berhubungan dengan berat bayi lahir rendah (BBLR) dan persalinan prematur. Persalinan prematur dan BBLR mengakibatkan sistem imun anak menurun sehingga anak mudah terinfeksi oleh suatu agen penyebab penyakit (Surasmi dkk, 2003; Hartati, 2010).

Hasil penelitian mengenai kebersihan lingkungan menunjukkan bahwa riset partisipan yang tinggal di kota memiliki rumah dengan tipe permanen, atap dari seng, lantai dari keramik ataupun semen serta dinding tebuat dari beton. Rumah tersebut memiliki jendela yang dapat dibuka lengkap dengan ventilasinya yang menunjukkan bahwa penerangan serta pertukaran udara di dalam rumah sangat baik. Untuk rumah riset partisipan yang berada di desa, bertipe semi permanen, atap dari daun gewang, lantai dari tanah dan berdinding bebak. Rumah tersebut hanya memiliki dua jendela berukuran kecil di depan rumah tanpa ventilasi. Jendela tersebut akan dibuka apabila ada tamu yang mengunjungi rumah mereka. Hal ini menunjukkan buruknya penerangan serta


(3)

275 pertukaran udara di dalam rumah karena dapat menyebabkan berkembangnya bakteri maupun virus penyebab infeksi, terutama pada musim penghujan. Buruknya penerangan dan ventilasi udara di dalam rumah, perubahan cuaca yang ekstrim serta daya tahan tubuh yang kurang baik dapat menyebabkan anak mudah terinfeksi virus influnza.

Hasil penelitian mengenai perilaku kebersihan ditemukan bahwa anak mandi satu kali sehari pada pagi atau sore hari. Apabila suhu udara dingin maka anak hanya mencuci ataupun membasuh wajah, tangan dan kaki dengan menggunakan handuk basah. Untuk perilaku memotong kuku seta mencuci tangan, dua orang anak yakni anak V dan anak DS dipotong kukunya oleh orang tua serta mencuci tangan sebelum makan ataupun setelah bermain di luar rumah, sementara itu, tiga anak lainnya yakni anak YA, anak MT dan anak AN jarang dipotong kukunya oleh orang tua dengan alasan mereka menolak ataupun usia yang masih terlalu muda. Mereka juga jarang mencuci tangan sebelum makan ataupun setelah bermain di luar rumah. Perilaku tidak memotong kuku ataupun mencuci tangan dapat menyebabkan anak mengalami berbagai penyakit seperti cacingan ataupun


(4)

276 diare. Perilaku mencuci tangan harus diajarkan oleh orang tua sebagai bentuk dalam menjaga kebersihan diri anak untuk mencegah berbagai macam penyakit (Bahar, 2000).

Untuk upaya pengobatan yang dilakukan oleh kelima ibu yang mengalami KDRT saat hamil, tindakan yang pertama kali dilakukan apabila anak mereka sakit yaitu memanfaatkan layanan kesehatan seperti mengunjungi puskesmas, posyandu ataupun mengunjungi tenaga kesehatan terdekat untuk memeriksakan kondisi fisik anak serta mendapatkan pengobatan yang tepat sesuai dengan jenis penyakit yang diderita.

Sementara itu, untuk upaya pencegahan dan pengendalian penyakit, kelima ibu yang mengalami KDRT, mematuhi aturan yang berlaku untuk memberikan imunisasi kepada anak-anak mereka. Kelima anak tersebut telah mendapatkan lima imunisasi dasar yakni Hepatitis-B, BCG, DPT, Polio dan campak dari puskesmas ataupun posyandu di wilayah setempat. Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang mengalami KDRT sadar akan pemanfaatan layanan kesehatan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak mereka.


(5)

277 4.4.8 Respon Ibu Hamil Saat Mendapat KDRT

Respon ibu hamil pada saat mendapatkan kekerasan dari suami/pelaku berbeda untuk setiap kasus yang diteliti. Pada umumnya reaksi yang didapati berupa perlawanan dari ibu, mengikuti perintah suami/pelaku, berdiam, menangis, pulang ke rumah orang tua, atau sampai melaporkan masalah ini kepada orang tua, ketua RT, SSP, dan polisi untuk ditindak lanjuti.

Dari hasil penelitian didapati bahwa ibu yang melakukan perlawanan terhadap tindak kekerasan yang dilakukan oleh pelaku karena ibu memiliki sifat yang tidak mau mengalah. Seperti yang dikatakan oleh ibu SL bahwa ia akan memukul balik suaminya apabila suaminya melakukan kekerasan kepadanya. Biasanya ibu SL melawan karena kesal tidak diperlakukan dengan baik saat hamil dan karena sifat temperamen yang dimilikinya sehingga ia tidak dapat mengendalikan emosinya. Sedangkan ibu yang mengikut perintah suami seperti ibu NN dan ibu SS biasanya hanya berdiam diri dan menangis karena sifat ibu yang pendiam dan pemalu sehingga mereka mengikuti semua yang dilakukan oleh suaminya. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Komisi Nasional Perempuan dalam Sagala (2010) bahwa isteri yang dipukul adalah mereka yang penurut dan suka mengalah.


(6)

278 Selain itu, alasan mengapa istri mengalah terhadap perlakuan suami yakni mencegah perceraian atupun mencegah pengabaian dari suami atau pihak keluarga suami terhadapnya. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa, ibu melapor kepada orang tua, ketua RT, SSP dan polisi karena sikap suami atau pelaku KDRT yang berlebihan. Hal ini dilakukan istri atau korban KDRT agar mendapatkan pemecahan masalah yang ia hadapi. Selain itu, kelima riset partisipan memilih pulang ke rumah orang tua agar terhindar dari perlakuan kasar pelaku ataupun mendapatkan bantuan sosial dan ekonomi dari keluarga. Sagala (2010) dalam penelitiannya juga mengungkapkan hal yang sama yakni wanita hamil yang mengalami kekerasan membutuhkan dukungan dari orang lain (social support). Dukungan sosial dapat mengurangi rasa putus asa dan kecemasan, memberi atau memfasilitasi solusi yang positif untuk memecahkan masalah dan menyediakan sarana dan bantuan untuk kesehatan (Charles, 2007).

4.5 Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini, tidak semua faktor yang memengaruhi perkembangan anak seperti faktor genetik dan faktor lingkungan diteliti sehingga perkembangan anak bisa saja dipengaruhi oleh faktor lain.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Keterkaitan Keaktifan Ibu Hamil dalam Kelas Ibu Hamil dan Kesiapan Menghadapi Persalinan di Puskesmas Jetak T1 462008040 BAB IV

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada Ibu Hamil dan Dampaknya Pada Ibu dan Perkembangan Anak di Timor Tengah Selatan T1 462009016 BAB I

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada Ibu Hamil dan Dampaknya Pada Ibu dan Perkembangan Anak di Timor Tengah Selatan T1 462009016 BAB II

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada Ibu Hamil dan Dampaknya Pada Ibu dan Perkembangan Anak di Timor Tengah Selatan T1 462009016 BAB V

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada Ibu Hamil dan Dampaknya Pada Ibu dan Perkembangan Anak di Timor Tengah Selatan

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Rentenir dan Ibu Rumah Tangga Pedagang di Pancuran Salatiga T1 222010026 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Rentenir dan Ibu Rumah Tangga Pedagang di Pancuran Salatiga T1 222010026 BAB II

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Rentenir dan Ibu Rumah Tangga Pedagang di Pancuran Salatiga T1 222010026 BAB IV

0 0 28

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Rentenir dan Ibu Rumah Tangga Pedagang di Pancuran Salatiga T1 222010026 BAB V

0 0 3

T1__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Konsumsi dan Status Gizi pada Ibu Hamil di Kecamatan Mollo Tengah Kabupaten TTS T1 BAB IV

0 0 36