rpp limbah b3 des 2012
RANCANGAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN, PENGELOLAAN
LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN, DAN DUMPING LIMBAH
BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 58 ayat (2),
Pasal 59 ayat (7), dan Pasal 61 ayat (3) UndangUndang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun,
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, dan
Dumping Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
Mengingat
: 1. Pasal 5 ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5059);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN
BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN, PENGELOLAAN
LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN, DAN
DUMPING LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Bahan Berbahaya dan Beracun, yang selanjutnya disingkat B3, adalah
zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi
dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung,
dapat mencemarkan, merusak lingkungan hidup, dan/atau dapat
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup
manusia serta makhluk hidup lainnya.
1
2. Registrasi B3 adalah pendaftaran dan pemberian nomor terhadap B3
yang dihasilkan di dalam negeri atau diimpor ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang didasarkan pada kajian atau evaluasi
terhadap manfaat, kesehatan dan lingkungan hidup.
3. Penyimpanan B3 adalah kegiatan penempatan B3 untuk menjaga
kualitas, kuantitas, mencegah kontaminasi dan/atau bereaksi dengan
bahan kimia lain, dan/atau dampak negatif B3 terhadap kesehatan
manusia dan lingkungan hidup.
4. Pengemasan B3 adalah kegiatan mengemas, mengisi, atau memasukkan
B3 ke dalam suatu wadah dan/atau kemasan, menutup dan/atau
menyegelnya.
5. Kemasan B3 adalah bahan atau benda yang bersentuhan secara
langsung maupun tidak langsung yang digunakan untuk membungkus
B3.
6. Simbol B3 adalah gambar yang menunjukkan karakteristik B3.
7. Label B3 adalah setiap keterangan mengenai B3 yang berbentuk simbol
atau piktogram, tulisan atau kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang
berisi informasi karakteristik B3.
8. Simbol limbah B3 adalah gambar yang menunjukkan karakteristik
limbah B3.
9. Label limbah B3 adalah setiap keterangan mengenai limbah B3 yang
berbentuk simbol atau piktogram, tulisan atau kombinasi keduanya, atau
bentuk lain yang berisi informasi karakteristik limbah B3.
10. Pelabelan B3 adalah proses penandaan atau pemberian label yang
dilekatkan atau dibubuhkan ke kemasan langsung dan pada kemasan
luar dari suatu B3.
11. Pelabelan limbah B3 adalah proses penandaan atau pemberian label yang
dilekatkan atau dibubuhkan ke kemasan langsung dari suatu limbah B3.
12. Lembaran Data Keselamatan, yang selanjutnya disingkat LDK, adalah
lembaran petunjuk yang berisi informasi B3 tentang sifat fisika, kimia,
jenis bahaya dan racun yang ditimbulkan, cara penanganan, tindakan
khusus dalam keadaan darurat dan informasi lain yang diperlukan.
13. Pengangkutan B3 adalah kegiatan pemindahan B3 dari suatu tempat ke
tempat lain menggunakan sarana angkutan.
14. Ekspor B3 dan/atau limbah B3 adalah kegiatan mengeluarkan B3
dan/atau limbah B3 dari daerah pabean Indonesia.
15. Notifikasi B3 untuk ekspor adalah pemberitahuan terlebih dahulu dari
otoritas negara eksportir ke otoritas negara penerima apabila akan
dilaksanakan perpindahan lintas batas B3 yang terbatas dipergunakan.
16. Notifikasi B3 untuk impor adalah pemberitahuan terlebih dahulu dari
otoritas negara eksportir apabila akan dilaksanakan perpindahan lintas
batas untuk B3 yang terbatas dipergunakan.
17. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.
18. Limbah bahan berbahaya dan beracun, yang selanjutnya disebut Limbah
B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3.
19. Limbah bahan berbahaya dan beracun dari sumber spesifik khusus, yang
selanjutnya disebut Limbah Khusus, adalah sisa suatu usaha dan/atau
kegiatan dan mengandung B3 yang memiliki toksisitas rendah.
2
20. Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi pengurangan,
penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan,
dan/atau penimbunan.
21. Dumping (pembuangan) adalah kegiatan membuang, menempatkan,
dan/atau memasukkan limbah dan/atau bahan dalam jumlah,
konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke
media lingkungan hidup tertentu.
22. Pengurangan limbah B3 adalah suatu kegiatan pada penghasil untuk
mengurangi jumlah dan/atau mengurangi sifat bahaya dan/atau racun
dari limbah B3 tersebut, sebelum dihasilkan dari suatu usaha dan/atau
kegiatan.
23. Penghasil limbah B3 adalah setiap orang yang usaha dan/atau
kegiatannya menghasilkan limbah B3 atau setiap orang yang memiliki
limbah B3.
24. Pengumpul limbah B3 adalah badan usaha yang berbadan hukum yang
melakukan kegiatan pengumpulan dengan tujuan untuk mengumpulkan
limbah B3 sebelum dikirim ke tempat pengolahan dan/atau pemanfaatan
dan/atau penimbunan limbah B3.
25. Pengangkut limbah B3 adalah badan usaha yang berbadan hukum yang
melakukan kegiatan pengangkutan limbah B3.
26. Pemanfaat limbah B3 adalah badan usaha yang berbadan hukum yang
melakukan kegiatan pemanfaatan limbah B3.
27. Pengolah limbah B3 adalah badan usaha yang berbadan hukum yang
melakukan kegiatan pengolahan limbah B3.
28. Penimbun limbah B3 adalah badan usaha yang berbadan hukum yang
melakukan kegiatan penimbunan limbah B3.
29. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat PPLH
adalah pejabat fungsional yang pembinaannya berada pada instansi yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang diberi tugas, wewenang, dan
tanggung jawab untuk melakukan pengawasan.
30. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah yang selanjutnya disingkat
PPLHD adalah pegawai negeri sipil yang pembinaannya berada pada
instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di provinsi atau
kabupaten/kota yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk
melakukan pengawasan.
31. Penyimpanan limbah B3 adalah kegiatan menyimpan limbah B3 yang
dilakukan oleh penghasil, pengumpul, pemanfaat, pengolah, dan/atau
penimbun limbah B3 dengan maksud menyimpan sementara.
32. Pengumpulan limbah B3 adalah kegiatan mengumpulkan limbah B3 dari
penghasil limbah B3 dengan maksud menyimpan sementara sebelum
diserahkan kepada pemanfaat, pengolah, dan/atau penimbun limbah B3.
33. Pengangkutan limbah B3 adalah suatu kegiatan pemindahan limbah B3
dari penghasil, dari pengumpul, dari pemanfaat, dan/atau dari pengolah
ke pengumpul, ke pemanfaat, ke pengolah, dan/atau ke penimbun
limbah B3.
3
34. Pemanfaatan limbah B3 adalah suatu kegiatan penggunaan kembali
(reuse), daur ulang (recycle), dan/atau perolehan kembali (recovery) yang
bertujuan untuk mengubah limbah B3 menjadi suatu produk yang dapat
digunakan, sebagai substitusi bahan baku, bahan penolong, dan/atau
bahan bakar yang harus aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia.
35. Pengolahan limbah B3 adalah proses untuk mengubah karakteristik
limbah B3 yang bertujuan untuk menghilangkan dan/atau mengurangi
sifat bahaya, sifat racun, komposisi, dan/atau jumlah limbah B3,
dan/atau mengoperasikan sarana pengolahan limbah B3 yang harus
aman bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup.
36. Penimbunan limbah B3 adalah suatu kegiatan menempatkan limbah B3
pada suatu fasilitas penimbunan dengan maksud tidak membahayakan
kesehatan manusia dan lingkungan hidup.
37. Setiap orang adalah orang perseorangan, badan hukum yang tidak
berbadan usaha, atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun
yang tidak berbadan hukum.
38. Badan usaha yang berbadan hukum adalah subyek hukum yang
merupakan perwujudan dari perusahaan yang terorganisir yang
mempunyai wadah kerja, cara kerja, pengurus dan tanggungjawab,
mendapatkan keuntungan dari hasil pemasaran barang dan/atau jasa
yang dihasilkan perusahaannya dan mempunyai bentuk usaha serta
mempunyai harta kekayaan yang terpisah dari para
pengurus/anggotanya.
39. Izin lingkungan adalah izin yang dimiliki oleh setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib Amdal atau UKLUPL
untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.
40. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu
lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
41. Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak
langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup
yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
42. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia,
dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.
43. Penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
adalah cara atau proses untuk mengatasi pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup.
44. Pemulihan fungsi lingkungan hidup adalah cara atau proses
mengembalikan seperti semula fungsi lingkungan hidup yang disebabkan
oleh pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
45. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah.
46. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara
4
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
47. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 2
Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai:
a. pengelolaan B3;
b. pengelolaan limbah B3;
c. dumping limbah B3;
d. penanggulangan pencemaran, perusakan, dan pemulihan fungsi
lingkungan hidup akibat B3 dan limbah B3;
e. sistem tanggap darurat dalam pengelolaan B3 dan limbah B3;
f. pembinaan dan pengawasan dalam pengelolaan B3 dan limbah B3;
g. ketentuan lainlain; dan
h. sanksi administratif.
BAB II
PENGELOLAAN B3
Bagian Kesatu
Umum
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 3
Setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut, mengedarkan,
menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun
B3 wajib melakukan pengelolaan B3.
B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi B3 dalam bentuk:
a. senyawa tunggal;
b. senyawa campuran; dan
c. preparat.
B3 yang dikecualikan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. narkotika, psikotropika, dan/atau prekursornya serta zat adiktif
lainnya.
b. zat radioaktif;
c. B3 yang digunakan untuk senjata kimia;
d. B3 yang digunakan untuk bahan farmasi untuk kosmetik dan obat;
e. B3 yang digunakan untuk bahan tambahan pangan; dan
f. B3 yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dalam jumlah yang tidak menimbulkan bahaya terhadap
kesehatan manusia dan lingkungan hidup untuk analisis di
laboratorium dan penelitian.
Pengelolaan B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kategorisasi B3;
b. penentuan karakteristik B3;
c. pengemasan B3;
5
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
pelabelan dan simbol B3;
notifikasi B3;
registrasi B3;
pelaporan; dan
penatalaksanaan penyimpanan B3;
penatalaksanaan pengangkutan B3; dan
pengolahan kemasan B3.
Bagian Kedua
Kategorisasi B3
Pasal 4
(1) B3 dikategorisasikan menjadi 3 (tiga) kategori:
a. B3 yang dapat dimanfaatkan;
b. B3 yang terbatas untuk dimanfaatkan; dan
c. B3 yang dilarang untuk dimanfaatkan.
(2) B3 yang dapat dimanfaatkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(3) B3 yang terbatas untuk dimanfaatkan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(4) B3 yang dilarang untuk dimanfaatkan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 5
Dalam hal penghasil dan importir B3 akan memproduksi B3 atau
memasukkan B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
untuk pertama kali dan B3 tersebut tidak tercantum dalam Lampiran I,
Lampiran II, dan Lampiran III Peraturan Pemerintah ini, wajib
mengajukan permohonan penetapan kategori B3 kepada Menteri.
Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Menteri melalui tim teknis B3 yang dibentuk oleh
Menteri.
Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai
dengan lembaran data keselamatan.
Lembaran data keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat
oleh:
a. penghasil B3, sebelum B3 diproduksi untuk pertama kali; atau
b. penghasil B3 di luar negeri, pada saat B3 dimasukkan pertama kali ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lembaran data keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat
berdasarkan hasil uji karakteristik dan:
a. dokumen sistem global terharmonisasi mengenai klasifikasi dan
pelabelan bahan kimia (Globally Harmonized System of Classification
and Labelling of Chemicals); dan/atau
6
b. dokumen lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang terkait dengan klasifikasi dan pelabelan B3.
Pasal 6
(1) Lembaran data keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(4) paling sedikit memuat informasi mengenai:
a. identitas B3;
b. identitas penghasil B3;
c. komposisi B3;
d. identifikasi bahaya sesuai dengan karakteristik B3;
e. tindakan pertolongan pertama pada kecelakaan;
f. tindakan penanggulangan kebakaran;
g. tindakan mengatasi kebocoran dan tumpahan;
h. penyimpanan dan penanganan B3;
i. pengendalian pemajanan dan alat pelindung diri;
j. sifat fisika dan kimia B3;
k. stabilitas dan reaktivitas B3;
l. informasi toksikologi;
m. informasi ekologi;
n. pembuangan limbah;
o. pengangkutan B3; dan
p. informasi lain yang diperlukan.
(2) Ketentuan mengenai format lembaran data keselamatan diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 7
(1) Tim teknis B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) melakukan
evaluasi terhadap lembaran data keselamatan yang disampaikan oleh
pemohon yang mengajukan penetapan kategori B3.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 45
(empat puluh lima) hari sejak permohonan diterima oleh tim teknis B3.
(3) Tim teknis B3 menyampaikan hasil evaluasi berupa rekomendasi kepada
Menteri.
(4) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit
memuat:
a. kategori B3; dan
b. karakteristik B3.
(5) Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan B3 yang
akan dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
untuk pertama kali, rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dilengkapi dengan nomor chemical abstract service.
(6) Menteri, berdasarkan rekomendasi tim teknis B3 menetapkan kategori B3
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Pasal 8
7
(1) Uji karakteristik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5)
dilaksanakan untuk menentukan klasifikasi B3.
(2) Klasifikasi B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. berbahaya secara fisik;
b. berbahaya terhadap kesehatan manusia; dan
c. berbahaya terhadap lingkungan.
(3) B3 diklasifikasikan berbahaya secara fisik sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a apabila memiliki karakteristik:
a. eksplosif;
b. gas mudah menyala;
c. aerosol mudah menyala;
d. cairan mudah menyala;
e. padatan mudah menyala;
f. bahan atau campuran yang apabila kontak dengan air melepaskan
gas mudah menyala;
g. bahan atau campuran swapanas;
h. gas oksidator;
i. cairan oksidator;
j. padatan oksidator;
k. oksidator organik;
l. bahan atau campuran swareaktif;
m. cairan piroforik;
n. padatan piroforik;
o. gas bertekanan; dan/atau
p. korosif pada logam.
(4) B3 diklasifikasikan berbahaya terhadap kesehatan manusia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b apabila memiliki karakteristik:
a. beracun akut;
b. korosi atau iritasi kulit;
c. kerusakan atau iritasi serius pada mata;
d. sensitivitas pernafasan atau kulit;
e. mutagenasi sel induk;
f. karsinogenisitas;
g. beracun terhadap sistem reproduksi;
h. beracun secara sistemik terhadap organ sasaran secara spesifik
setelah paparan tunggal;
i. beracun secara sistemik pada organ sasaran spesifik setelah paparan
berulang; dan/atau
j. bahaya aspirasi.
(5) B3 diklasifikasikan berbahaya terhadap lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c apabila memiliki karakteristik:
a. bahaya terhadap lingkungan akuatik; dan/atau
b. bahaya terhadap lapisan ozon.
Pasal 9
Ketentuan mengenai tata cara dan persyaratan pelaksanaan uji karakteristik
diatur dengan Peraturan Menteri.
8
Pasal 10
(1) Tim teknis B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) terdiri atas:
a. ketua;
b. sekretaris; dan
c. anggota.
(2) Tim teknis B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur:
a. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
lingkungan hidup;
b. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perindustrian;
c. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perdagangan;
d. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pertanian;
e. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan;
f. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
ketenagakerjaan;
g. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
keuangan;
h. lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang riset dan teknologi;
i. lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang ilmu pengetahuan;
j. perguruan tinggi;
k. organisasi lingkungan hidup; dan
l. unsur lain yang ditentukan oleh Menteri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja tim teknis B3 diatur dengan
Peraturan Menteri.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 11
B3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, Lampiran II, dan Lampiran
III Peraturan Pemerintah ini dapat dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali
untuk menetapkan perubahan kategori B3 apabila diperlukan
perubahan.
Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim teknis
B3.
Dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tim
teknis B3 harus mempertimbangkan usulan dari menteri, pimpinan
lembaga pemerintah nonkementerian yang bidang tugasnya terkait
dengan pengelolaan B3, dan/atau pihak lain.
Perubahan kategori sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara evaluasi oleh tim teknis B3
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
9
Bagian Ketiga
Pengemasan B3
Pasal 12
(1) B3 yang dihasilkan, dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, diedarkan, disimpan, dan dimanfaatkan oleh setiap
orang wajib dikemas sesuai dengan karakteristik B3 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8.
(2) Kemasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memenuhi
persyaratan mampu:
a. mempertahankan mutu B3 sesuai dengan karakteristiknya; dan
b. mengungkung B3 untuk tetap berada di dalam kemasan.
(3) Apabila kemasan B3 tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) atau kemasan B3 rusak, setiap orang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. mengemas kembali B3 sesuai dengan karakteristiknya; dan
b. melakukan penanganan untuk mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup, membahayakan lingkungan
hidup, kesehatan, dan/atau kelangsungan hidup manusia dan
makhluk hidup lain apabila berpotensi menimbulkan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Pasal 13
(1) Setiap orang yang mengangkut B3 wajib memastikan kemasan B3 yang
akan diangkut memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (2).
(2) Dalam hal kemasan B3 yang akan diangkut tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap orang yang mengangkut B3
wajib mengembalikan kemasan B3 kepada pengirim.
Pasal 14
(1) Ketentuan mengenai tata cara dan persyaratan pembuatan kemasan dan
pengemasan B3 diatur dengan Peraturan Menteri.
(2) Dalam menyusun Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Menteri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
Bagian Kelima
Pelabelan dan Simbol B3
Pasal 15
(1) Kemasan B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) wajib
dilekati dengan label dan simbol B3.
(2) Label B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat
keterangan mengenai:
a. penandaan produk B3;
b. piktogram bahaya;
c. kata sinyal;
10
d. pernyataan bahaya;
e. identitas penghasil; dan
f. pernyataan kehatihatian.
(3) Simbol B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan
karakteristik B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
(4) Label dan simbol pada kemasan B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib menggunakan Bahasa Indonesia.
Pasal 16
(1) Setiap orang yang mengangkut atau mengedarkan B3 wajib memastikan
setiap kemasan B3 telah dilekati label dan simbol B3.
(2) Dalam hal label dan simbol pada kemasan B3 rusak, setiap orang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengganti label dan simbol
B3.
Pasal 17
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan dan pemasangan
label dan simbol B3 diatur dengan Peraturan Menteri.
(2) Dalam menyusun Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Menteri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
Bagian Keenam
Notifikasi B3
Pasal 18
(1) Dalam hal B3 yang masuk kategori terbatas untuk dimanfaatkan akan
dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
importir B3 melalui negara eksportir B3 wajib mengajukan permohonan
notifikasi kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri.
(2) Permohonan notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi
dengan keterangan mengenai:
a. identitas B3;
b. identitas importir B3;
c. jumlah B3 yang dimasukkan; dan
d. tujuan pemanfaatan B3.
Pasal 19
(1) Menteri memberikan jawaban berupa persetujuan atau penolakan atas
permohonan notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. identitas B3;
b. identitas importir B3;
c. jumlah B3 yang dimasukkan;
d. tujuan pemanfaatan; dan
e. masa berlaku persetujuan.
11
(3) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan
alasan penolakan.
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 20
Setiap orang yang akan mengeluarkan B3 yang masuk kategori
terbatas untuk dimanfaatkan dari Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia wajib:
a. mengajukan permohonan notifikasi secara tertulis kepada Menteri;
b. mengisi formulir notifikasi dari Menteri.
Menteri menyampaikan notifikasi kepada otoritas negara tujuan
berdasarkan permohonan notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Apabila notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui oleh
otoritas negara tujuan, Menteri menerbitkan rekomendasi ekspor B3.
Rekomendasi ekspor B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi
dasar penerbitan izin ekspor yang diberikan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan.
Bagian Ketujuh
Registrasi B3
Pasal 21
(1) Setiap orang yang memasukkan B3 ke dalam Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia wajib mengajukan permohonan registrasi secara
tertulis kepada Menteri.
(2) Registrasi untuk kategori B3 yang dapat dimanfaatkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dilakukan sebanyak:
a. 1 (satu) kali setiap 2 (dua) tahun; dan
b. 1 (satu) kali untuk B3 yang dimasukkan pertama kali ke dalam
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh importir yang juga
bertindak sebagai penghasil B3.
(3) Registrasi untuk kategori B3 yang terbatas untuk dimanfaatkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b dilakukan setelah
terbitnya persetujuan untuk memasukkan B3 ke dalam Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
Pasal 22
(1) Permohonan registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)
dilengkapi dengan:
a. lembaran data keselamatan;
b. angka pengenal importir;
c. nomor pokok wajib pajak; dan
d. perencanaan pemanfaatan dan rantai distribusi.
(2) Menteri berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menerbitkan registrasi.
(3) Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
a. identitas B3 dan pemohon;
b. nomor dan tanggal registrasi; dan
c. masa berlaku registrasi.
12
(4) Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditembuskan kepada
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perdagangan.
Pasal 23
(1) Setiap orang yang menghasilkan B3 wajib mengajukan permohonan
registrasi secara tertulis kepada Menteri.
(2) Registrasi untuk kategori B3 yang dapat dimanfaatkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dilakukan sebanyak 1 (satu) kali
pada saat B3 pertama kali dihasilkan.
(3) Registrasi untuk kategori B3 yang terbatas untuk dimanfaatkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ayat b dilakukan setelah
mendapat rekomendasi dari menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perindustrian.
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 24
Permohonan registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1)
dilengkapi dengan:
a. lembaran data keselamatan;
b. nomor pokok wajib pajak; dan
c. akta pendirian perusahaan.
Menteri berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menerbitkan registrasi.
Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
a. identitas B3 dan pemohon;
b. nomor dan tanggal registrasi; dan
c. masa berlaku registrasi.
Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditembuskan kepada
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perindustrian.
Pasal 25
Menteri menolak permohonan registrasi B3 yang mengandung B3 yang
dilarang untuk dimanfaatkan.
Bagian Kedelapan
Pelaporan
Pasal 26
(1) Pelaporan wajib dilakukan oleh setiap orang yang:
a. menghasilkan B3, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun
untuk setiap jenis B3 sejak B3 pertama kali dihasilkan;
b. memasukkan B3 ke dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun untuk
setiap jenis B3 yang dimasukkan ke dalam Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia; dan
13
(2)
(3)
(4)
(5)
c. memasukkan B3 ke dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang juga bertindak sebagai penghasil B3, paling sedikit 1
(satu) kali dalam 1 (satu) tahun untuk setiap jenis B3 yang
dimasukkan ke dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk
pertama kali paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak registrasi
diterbitkan oleh Menteri.
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara
tertulis kepada Menteri.
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit memuat:
a. identitas penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan;
b. jenis dan karakteristik B3; dan
c. jumlah B3 yang dihasilkan dan/atau dimasukkan ke dalam Wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan format pelaporan diatur
dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kesembilan
Penatalaksanaan Penyimpanan B3
Pasal 27
(1) Setiap orang yang menyimpan B3 wajib melakukan penatalaksanaan
penyimpanan B3 dengan memenuhi persyaratan:
a. lokasi;
b. fasilitas;
c. pelabelan dan simbol B3;
d. kemasan dan wadah;
e. penempatan sesuai dengan karakteristik B3; dan
f. peralatan keselamatan dan penanganan B3.
(2) Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus:
a. bebas banjir dan tidak rawan bencana alam; atau
b. dapat direkayasa dengan teknologi untuk perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, apabila tidak bebas banjir dan rawan
bencana alam.
(3) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi
persyaratan yang paling sedikit terdiri atas:
a. desain dan konstruksi sesuai karakteristik B3 dan mampu
melindungi B3 dari hujan dan sinar matahari;
b. memiliki penerangan dan ventilasi; dan
c. memiliki saluran drainase dan bak penampung.
(4) Pelabelan dan simbol B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelabelan dan simbol B3
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 17.
(5) Penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan
paling sedikit dengan cara:
a. menempatkan B3 sesuai karakteristik B3 dan rencana penyimpanan
B3;
14
b. memenuhi persyaratan jarak penempatan antar B3 sesuai
karakteristik B3;
c. memenuhi persyaratan keselamatan dan penanganan B3.
(6) Peralatan keselamatan dan penanganan B3 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf f paling sedikit terdiri atas:
a. alat pemadam api ringan; dan
b. cadangan air untuk menyiram.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kesepuluh
Penatalakasanaan Pengangkutan B3
Pasal 28
(1) Setiap orang yang mengangkut B3 wajib memiliki izin dari menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan
rekomendasi dari Menteri.
(3) Untuk memperoleh rekomendasi dari Menteri, setiap orang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan permohonan tertulis yang
dilengkapi dengan:
a. identitas pemohon;
b. akta pendirian badan usaha;
c. bukti kepemilikan alat angkut; dan
d. dokumen pengangkutan B3;
(4) Menteri setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) melakukan evaluasi dan penerbitan rekomendasi paling lama 45
(empat puluh lima) hari sejak permohonan diterima.
(5) Rekomendasi dari Menteri paling sedikit memuat:
a. identitas alat angkut;
b. jenis B3 yang akan diangkut; dan
c. kewajiban pengangkut.
(6) Kewajiban pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c
paling sedikit meliputi:
a. mengangkut B3 sesuai lingkup rekomendasi yang diberikan; dan
b. melaporkan pelaksanaan pengangkutan B3 paling sedikit 6 (enam)
bulan sekali sejak izin diterbitkan.
c. menggunakan alat angkut yang memiliki izin pengangkutan B3; dan
d. melaksanakan pengangkutan B3 sesuai persyaratan dalam izin
pengangkutan B3.
(6) Tata cara dan persyaratan memperoleh izin pengangkutan limbah B3
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundangundangan.
15
Bagian Kesebelas
Pengolahan Kemasan B3 Bekas
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 29
Pengolahan kemasan B3 bekas wajib dilakukan oleh setiap orang yang
menghasilkan, mengedarkan, dan/atau memanfaatkan B3.
Pengolahan kemasan B3 bekas oleh setiap orang yang menghasilkan dan
mengedarkan B3 paling sedikit dilakukan dengan:
a. penarikan kembali kemasan B3 bekas; atau
b. penggunaan kembali kemasan B3 bekas untuk penggunaan yang
sama.
Penarikan kembali kemasan B3 bekas sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak lain.
Pengolahan kemasan B3 bekas oleh setiap orang yang memanfaatkan B3
paling sedikit dilakukan dengan:
a. penyimpanan kemasan B3 bekas di tempat penyimpanan limbah B3;
atau
b. penyerahan kembali kemasan B3 bekas kepada orang yang
menghasilkan atau mengedarkan B3.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan dan penggunaan
kembali kemasan B3 bekas diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 30
Dalam hal kemasan B3 bekas tidak dapat digunakan kembali untuk
penggunaan yang sama, setiap orang yang menghasilkan B3 wajib
melakukan pengolahan kemasan B3 bekas sesuai dengan pengelolaan
limbah B3.
BAB III
PENGELOLAAN LIMBAH B3
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 31
(1) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan
limbah B3 yang dihasilkannya.
(2) Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. limbah B3 dari sumber tidak spesifik;
b. limbah B3 dari sumber spesifik;
c. B3 kadaluwarsa; dan
d. tumpahan, bekas kemasan, dan buangan produk B3 yang tidak
memenuhi spesifikasi.
(3) Limbah B3 dari sumber spesifik sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b meliputi:
a. limbah B3 dari sumber spesifik umum; dan
b. limbah B3 dari sumber spesifik khusus.
16
(4) Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sebagaimana
tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Pemerintah ini.
(5) Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebagaimana tercantum
dalam:
a. Lampiran V Tabel 1 untuk limbah B3 dari sumber spesifik umum;
dan
b. Lampiran V Tabel 2 untuk limbah B3 dari sumber spesifik khusus,
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(6) Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(7) Pengelolaan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
kegiatan:
a. pengurangan limbah B3;
b. penyimpanan limbah B3;
c. pengumpulan limbah B3;
d. pengangkutan limbah B3;
e. pemanfaatan limbah B3;
f. pengolahan limbah B3; dan
g. penimbunan limbah B3.
Pasal 32
(1) Dalam hal terdapat limbah yang tidak termasuk dalam daftar limbah B3
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6),
setiap orang yang menghasilkan limbah wajib melakukan uji
karakteristik limbah B3 terhadap limbah tersebut.
(2) Karakteristik limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. eksplosif, mudah menyala, reaktif, infeksius, dan/atau korosif; dan
b. beracun.
(3) Karakteristik beracun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
ditentukan melalui uji karakteristik yang dilakukan secara bertahap,
meliputi:
a. penentuan karakteristik beracun melalui prosedur pelindian (toxicity
characteristic leaching procedure);
b. uji LD50 (lethal dose fifty) dan LC50 (lethal concentration fifty);
c. uji subkronis; dan
d. uji kronis.
(4) Karakteristik limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan
melalui uji karakteristik.
(5) Uji karakteristik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan
terhadap parameter uji karakteristik sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Pemerintah ini.
(6) Penentuan karakteristik beracun melalui prosedur pelindian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a harus didasarkan pada
baku mutu lindi sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
17
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 33
Uji karakteristik limbah B3 dapat dilakukan oleh:
a. setiap orang yang menghasilkan limbah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (1); atau
b. pihak lain yang ditunjuk oleh setiap orang yang menghasilkan limbah
sebagaimana dimaksud pada huruf a.
Dalam melakukan uji karakteristik limbah B3, setiap orang atau pihak
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggunakan
laboratorium yang terakreditasi untuk masingmasing uji.
Parameter uji untuk masingmasing karakteristik limbah B3
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi parameter sebagaimana
tercantum dalam Lampiran VII Peraturan Pemerintah ini.
Dalam hal belum terdapat laboratorium yang terakreditasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), uji karakteristik limbah B3 dilakukan dengan
menggunakan laboratorium yang menerapkan prosedur yang telah
memenuhi Standar Nasional Indonesia mengenai tata cara
berlaboratorium yang baik.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara uji karakteristik limbah B3
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 34
(1) Limbah yang telah dilakukan uji karakteristik limbah B3 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 wajib memperoleh penetapan hasil identifikasi
limbah dari Menteri.
(2) Untuk memperoleh penetapan hasil identifikasi limbah dari Menteri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap orang yang menghasilkan
limbah harus mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri melalui
tim ahli limbah B3.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan:
a. identitas pemohon; dan
b. hasil uji karakteristik limbah B3.
Pasal 35
(1) Menteri setelah menerima permohonan tertulis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 menugaskan tim ahli limbah B3 untuk melakukan
evaluasi terhadap permohonan tersebut.
(2) Tim ahli limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh
Menteri.
(3) Tim ahli limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. ketua;
b. sekretaris; dan
c. anggota.
(4) Susunan tim ahli limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
dari unsur:
a. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
lingkungan hidup;
18
b. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perindustrian;
c. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
riset dan teknologi;
d. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan;
e. lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang ilmu pengetahuan;
f. perguruan tinggi;
g. organisasi lingkungan hidup; dan
h. unsur lain yang ditentukan oleh Menteri.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja tim ahli limbah B3 diatur
dengan Peraturan Menteri.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Pasal 36
Evaluasi oleh tim ahli limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
meliputi identifikasi dan analisis terhadap:
a. hasil uji karakteristik limbah B3 yang diajukan;
b. proses produksi pada usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan
limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1); dan
c. bahan baku dan/atau bahan penolong yang digunakan dalam proses
produksi sebagaimana dimaksud pada huruf b.
Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 90
(sembilan puluh) hari sejak permohonan diterima.
Tim ahli limbah B3 menyampaikan rekomendasi hasil evaluasi kepada
Menteri paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak hasil evaluasi diketahui.
Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit
memuat:
a. identitas limbah dan pemohon;
b. dasar pertimbangan rekomendasi; dan
c. kesimpulan hasil evaluasi terhadap hasil uji karakteristik limbah B3.
Apabila hasil evaluasi terhadap limbah menunjukkan adanya
karakteristik limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2),
rekomendasi tim ahli limbah B3 memuat pernyataan bahwa limbah yang
diajukan permohonan penetapan identifikasinya merupakan limbah B3.
Apabila hasil evaluasi terhadap limbah tidak menunjukkan adanya
karakteristik limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2),
rekomendasi tim ahli limbah B3 memuat pernyataan bahwa limbah yang
diajukan permohonan penetapan identifikasinya merupakan limbah
nonB3.
Pasal 37
Menteri berdasarkan rekomendasi tim ahli limbah B3 menetapkan limbah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 sebagai:
a. limbah B3; atau
b. limbah nonB3.
Bagian Kedua
19
Pengurangan Limbah B3
Pasal 38
(1) Pengurangan limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (7)
huruf a dilakukan melalui:
a. penyimpanan B3;
b. substitusi bahan;
c. modifikasi proses; dan/atau
d. penggunaan teknologi ramah lingkungan.
(2) Penyimpanan B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan penatalaksanaan penyimpanan
B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
(3) Substitusi bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat
dilakukan melalui pemilihan bahan baku dan/atau bahan penolong yang
semula mengandung B3 digantikan dengan bahan baku dan/atau bahan
penolong yang tidak mengandung B3.
(4) Modifikasi proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat
dilakukan melalui pemilihan dan penerapan proses yang lebih efisien.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan rincian pengurangan
limbah B3 diatur dengan Peraturan Menteri.
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 39
Limbah B3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV, Lampiran V, dan
Lampiran VI Peraturan Pemerintah ini dapat dinyatakan sebagai limbah
nonB3 dengan penetapan Menteri.
Untuk memperoleh penetapan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), setiap orang yang menghasilkan limbah B3 harus mengajukan
permohonan penetapan secara tertulis kepada Menteri melalui tim ahli
limbah B3.
Sebelum mengajukan permohonan penetapan Menteri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib
melakukan:
a. uji karakteristik limbah B3 sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 dan Pasal 33; dan
b. pengurangan limbah B3 sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38.
Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud ayat (2) harus dilengkapi
dengan persyaratan yang meliputi:
a. identitas pemohon;
b. nama limbah B3;
c. hasil uji karakteritik limbah B3;
d. bahan baku dan/atau bahan penolong yang digunakan dalam proses
produksi yang menghasilkan limbah B3;
e. proses produksi yang menghasilkan limbah B3 yang diajukan untuk
ditetapkan sebagai limbah non B3; dan
f. alasan pengajuan permohonan pengeluaran limbah B3 dari daftar
limbah B3.
20
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 40
Menteri setelah menerima permohonan penetapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 ayat (4) menugaskan tim ahli limbah B3 untuk
melakukan evaluasi terhadap permohonan tersebut.
Evaluasi oleh tim ahli limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak permohonan
diterima.
Tim ahli limbah B3 menyampaikan hasil evaluasi berupa rekomendasi
kepada Menteri.
Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit
memuat:
a. identitas pemohon;
b. nama limbah B3;
c. dasar pertimbangan rekomendasi; dan
d. kesimpulan hasil evaluasi.
Apabila hasil evaluasi terhadap limbah B3 menunjukan bahwa limbah B3
yang diajukan permohonan penetapannya tidak menunjukan
karakteristik limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2),
rekomendasi tim ahli limbah B3 memuat pernyataan bahwa limbah B3
tersebut merupakan limbah non B3.
(6) Apabila hasil evaluasi terhadap limbah B3 yang diajukan permohonan
penetapannya menunjukan adanya karakteristik limbah B3 seba
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN, PENGELOLAAN
LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN, DAN DUMPING LIMBAH
BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 58 ayat (2),
Pasal 59 ayat (7), dan Pasal 61 ayat (3) UndangUndang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun,
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, dan
Dumping Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
Mengingat
: 1. Pasal 5 ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5059);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN
BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN, PENGELOLAAN
LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN, DAN
DUMPING LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Bahan Berbahaya dan Beracun, yang selanjutnya disingkat B3, adalah
zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi
dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung,
dapat mencemarkan, merusak lingkungan hidup, dan/atau dapat
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup
manusia serta makhluk hidup lainnya.
1
2. Registrasi B3 adalah pendaftaran dan pemberian nomor terhadap B3
yang dihasilkan di dalam negeri atau diimpor ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang didasarkan pada kajian atau evaluasi
terhadap manfaat, kesehatan dan lingkungan hidup.
3. Penyimpanan B3 adalah kegiatan penempatan B3 untuk menjaga
kualitas, kuantitas, mencegah kontaminasi dan/atau bereaksi dengan
bahan kimia lain, dan/atau dampak negatif B3 terhadap kesehatan
manusia dan lingkungan hidup.
4. Pengemasan B3 adalah kegiatan mengemas, mengisi, atau memasukkan
B3 ke dalam suatu wadah dan/atau kemasan, menutup dan/atau
menyegelnya.
5. Kemasan B3 adalah bahan atau benda yang bersentuhan secara
langsung maupun tidak langsung yang digunakan untuk membungkus
B3.
6. Simbol B3 adalah gambar yang menunjukkan karakteristik B3.
7. Label B3 adalah setiap keterangan mengenai B3 yang berbentuk simbol
atau piktogram, tulisan atau kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang
berisi informasi karakteristik B3.
8. Simbol limbah B3 adalah gambar yang menunjukkan karakteristik
limbah B3.
9. Label limbah B3 adalah setiap keterangan mengenai limbah B3 yang
berbentuk simbol atau piktogram, tulisan atau kombinasi keduanya, atau
bentuk lain yang berisi informasi karakteristik limbah B3.
10. Pelabelan B3 adalah proses penandaan atau pemberian label yang
dilekatkan atau dibubuhkan ke kemasan langsung dan pada kemasan
luar dari suatu B3.
11. Pelabelan limbah B3 adalah proses penandaan atau pemberian label yang
dilekatkan atau dibubuhkan ke kemasan langsung dari suatu limbah B3.
12. Lembaran Data Keselamatan, yang selanjutnya disingkat LDK, adalah
lembaran petunjuk yang berisi informasi B3 tentang sifat fisika, kimia,
jenis bahaya dan racun yang ditimbulkan, cara penanganan, tindakan
khusus dalam keadaan darurat dan informasi lain yang diperlukan.
13. Pengangkutan B3 adalah kegiatan pemindahan B3 dari suatu tempat ke
tempat lain menggunakan sarana angkutan.
14. Ekspor B3 dan/atau limbah B3 adalah kegiatan mengeluarkan B3
dan/atau limbah B3 dari daerah pabean Indonesia.
15. Notifikasi B3 untuk ekspor adalah pemberitahuan terlebih dahulu dari
otoritas negara eksportir ke otoritas negara penerima apabila akan
dilaksanakan perpindahan lintas batas B3 yang terbatas dipergunakan.
16. Notifikasi B3 untuk impor adalah pemberitahuan terlebih dahulu dari
otoritas negara eksportir apabila akan dilaksanakan perpindahan lintas
batas untuk B3 yang terbatas dipergunakan.
17. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.
18. Limbah bahan berbahaya dan beracun, yang selanjutnya disebut Limbah
B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3.
19. Limbah bahan berbahaya dan beracun dari sumber spesifik khusus, yang
selanjutnya disebut Limbah Khusus, adalah sisa suatu usaha dan/atau
kegiatan dan mengandung B3 yang memiliki toksisitas rendah.
2
20. Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi pengurangan,
penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan,
dan/atau penimbunan.
21. Dumping (pembuangan) adalah kegiatan membuang, menempatkan,
dan/atau memasukkan limbah dan/atau bahan dalam jumlah,
konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke
media lingkungan hidup tertentu.
22. Pengurangan limbah B3 adalah suatu kegiatan pada penghasil untuk
mengurangi jumlah dan/atau mengurangi sifat bahaya dan/atau racun
dari limbah B3 tersebut, sebelum dihasilkan dari suatu usaha dan/atau
kegiatan.
23. Penghasil limbah B3 adalah setiap orang yang usaha dan/atau
kegiatannya menghasilkan limbah B3 atau setiap orang yang memiliki
limbah B3.
24. Pengumpul limbah B3 adalah badan usaha yang berbadan hukum yang
melakukan kegiatan pengumpulan dengan tujuan untuk mengumpulkan
limbah B3 sebelum dikirim ke tempat pengolahan dan/atau pemanfaatan
dan/atau penimbunan limbah B3.
25. Pengangkut limbah B3 adalah badan usaha yang berbadan hukum yang
melakukan kegiatan pengangkutan limbah B3.
26. Pemanfaat limbah B3 adalah badan usaha yang berbadan hukum yang
melakukan kegiatan pemanfaatan limbah B3.
27. Pengolah limbah B3 adalah badan usaha yang berbadan hukum yang
melakukan kegiatan pengolahan limbah B3.
28. Penimbun limbah B3 adalah badan usaha yang berbadan hukum yang
melakukan kegiatan penimbunan limbah B3.
29. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat PPLH
adalah pejabat fungsional yang pembinaannya berada pada instansi yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang diberi tugas, wewenang, dan
tanggung jawab untuk melakukan pengawasan.
30. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah yang selanjutnya disingkat
PPLHD adalah pegawai negeri sipil yang pembinaannya berada pada
instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di provinsi atau
kabupaten/kota yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk
melakukan pengawasan.
31. Penyimpanan limbah B3 adalah kegiatan menyimpan limbah B3 yang
dilakukan oleh penghasil, pengumpul, pemanfaat, pengolah, dan/atau
penimbun limbah B3 dengan maksud menyimpan sementara.
32. Pengumpulan limbah B3 adalah kegiatan mengumpulkan limbah B3 dari
penghasil limbah B3 dengan maksud menyimpan sementara sebelum
diserahkan kepada pemanfaat, pengolah, dan/atau penimbun limbah B3.
33. Pengangkutan limbah B3 adalah suatu kegiatan pemindahan limbah B3
dari penghasil, dari pengumpul, dari pemanfaat, dan/atau dari pengolah
ke pengumpul, ke pemanfaat, ke pengolah, dan/atau ke penimbun
limbah B3.
3
34. Pemanfaatan limbah B3 adalah suatu kegiatan penggunaan kembali
(reuse), daur ulang (recycle), dan/atau perolehan kembali (recovery) yang
bertujuan untuk mengubah limbah B3 menjadi suatu produk yang dapat
digunakan, sebagai substitusi bahan baku, bahan penolong, dan/atau
bahan bakar yang harus aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia.
35. Pengolahan limbah B3 adalah proses untuk mengubah karakteristik
limbah B3 yang bertujuan untuk menghilangkan dan/atau mengurangi
sifat bahaya, sifat racun, komposisi, dan/atau jumlah limbah B3,
dan/atau mengoperasikan sarana pengolahan limbah B3 yang harus
aman bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup.
36. Penimbunan limbah B3 adalah suatu kegiatan menempatkan limbah B3
pada suatu fasilitas penimbunan dengan maksud tidak membahayakan
kesehatan manusia dan lingkungan hidup.
37. Setiap orang adalah orang perseorangan, badan hukum yang tidak
berbadan usaha, atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun
yang tidak berbadan hukum.
38. Badan usaha yang berbadan hukum adalah subyek hukum yang
merupakan perwujudan dari perusahaan yang terorganisir yang
mempunyai wadah kerja, cara kerja, pengurus dan tanggungjawab,
mendapatkan keuntungan dari hasil pemasaran barang dan/atau jasa
yang dihasilkan perusahaannya dan mempunyai bentuk usaha serta
mempunyai harta kekayaan yang terpisah dari para
pengurus/anggotanya.
39. Izin lingkungan adalah izin yang dimiliki oleh setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib Amdal atau UKLUPL
untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.
40. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu
lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
41. Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak
langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup
yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
42. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia,
dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.
43. Penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
adalah cara atau proses untuk mengatasi pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup.
44. Pemulihan fungsi lingkungan hidup adalah cara atau proses
mengembalikan seperti semula fungsi lingkungan hidup yang disebabkan
oleh pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
45. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah.
46. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara
4
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
47. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 2
Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai:
a. pengelolaan B3;
b. pengelolaan limbah B3;
c. dumping limbah B3;
d. penanggulangan pencemaran, perusakan, dan pemulihan fungsi
lingkungan hidup akibat B3 dan limbah B3;
e. sistem tanggap darurat dalam pengelolaan B3 dan limbah B3;
f. pembinaan dan pengawasan dalam pengelolaan B3 dan limbah B3;
g. ketentuan lainlain; dan
h. sanksi administratif.
BAB II
PENGELOLAAN B3
Bagian Kesatu
Umum
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 3
Setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut, mengedarkan,
menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun
B3 wajib melakukan pengelolaan B3.
B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi B3 dalam bentuk:
a. senyawa tunggal;
b. senyawa campuran; dan
c. preparat.
B3 yang dikecualikan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. narkotika, psikotropika, dan/atau prekursornya serta zat adiktif
lainnya.
b. zat radioaktif;
c. B3 yang digunakan untuk senjata kimia;
d. B3 yang digunakan untuk bahan farmasi untuk kosmetik dan obat;
e. B3 yang digunakan untuk bahan tambahan pangan; dan
f. B3 yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dalam jumlah yang tidak menimbulkan bahaya terhadap
kesehatan manusia dan lingkungan hidup untuk analisis di
laboratorium dan penelitian.
Pengelolaan B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kategorisasi B3;
b. penentuan karakteristik B3;
c. pengemasan B3;
5
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
pelabelan dan simbol B3;
notifikasi B3;
registrasi B3;
pelaporan; dan
penatalaksanaan penyimpanan B3;
penatalaksanaan pengangkutan B3; dan
pengolahan kemasan B3.
Bagian Kedua
Kategorisasi B3
Pasal 4
(1) B3 dikategorisasikan menjadi 3 (tiga) kategori:
a. B3 yang dapat dimanfaatkan;
b. B3 yang terbatas untuk dimanfaatkan; dan
c. B3 yang dilarang untuk dimanfaatkan.
(2) B3 yang dapat dimanfaatkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(3) B3 yang terbatas untuk dimanfaatkan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(4) B3 yang dilarang untuk dimanfaatkan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 5
Dalam hal penghasil dan importir B3 akan memproduksi B3 atau
memasukkan B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
untuk pertama kali dan B3 tersebut tidak tercantum dalam Lampiran I,
Lampiran II, dan Lampiran III Peraturan Pemerintah ini, wajib
mengajukan permohonan penetapan kategori B3 kepada Menteri.
Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Menteri melalui tim teknis B3 yang dibentuk oleh
Menteri.
Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai
dengan lembaran data keselamatan.
Lembaran data keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat
oleh:
a. penghasil B3, sebelum B3 diproduksi untuk pertama kali; atau
b. penghasil B3 di luar negeri, pada saat B3 dimasukkan pertama kali ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lembaran data keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat
berdasarkan hasil uji karakteristik dan:
a. dokumen sistem global terharmonisasi mengenai klasifikasi dan
pelabelan bahan kimia (Globally Harmonized System of Classification
and Labelling of Chemicals); dan/atau
6
b. dokumen lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang terkait dengan klasifikasi dan pelabelan B3.
Pasal 6
(1) Lembaran data keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(4) paling sedikit memuat informasi mengenai:
a. identitas B3;
b. identitas penghasil B3;
c. komposisi B3;
d. identifikasi bahaya sesuai dengan karakteristik B3;
e. tindakan pertolongan pertama pada kecelakaan;
f. tindakan penanggulangan kebakaran;
g. tindakan mengatasi kebocoran dan tumpahan;
h. penyimpanan dan penanganan B3;
i. pengendalian pemajanan dan alat pelindung diri;
j. sifat fisika dan kimia B3;
k. stabilitas dan reaktivitas B3;
l. informasi toksikologi;
m. informasi ekologi;
n. pembuangan limbah;
o. pengangkutan B3; dan
p. informasi lain yang diperlukan.
(2) Ketentuan mengenai format lembaran data keselamatan diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 7
(1) Tim teknis B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) melakukan
evaluasi terhadap lembaran data keselamatan yang disampaikan oleh
pemohon yang mengajukan penetapan kategori B3.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 45
(empat puluh lima) hari sejak permohonan diterima oleh tim teknis B3.
(3) Tim teknis B3 menyampaikan hasil evaluasi berupa rekomendasi kepada
Menteri.
(4) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit
memuat:
a. kategori B3; dan
b. karakteristik B3.
(5) Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan B3 yang
akan dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
untuk pertama kali, rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dilengkapi dengan nomor chemical abstract service.
(6) Menteri, berdasarkan rekomendasi tim teknis B3 menetapkan kategori B3
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Pasal 8
7
(1) Uji karakteristik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5)
dilaksanakan untuk menentukan klasifikasi B3.
(2) Klasifikasi B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. berbahaya secara fisik;
b. berbahaya terhadap kesehatan manusia; dan
c. berbahaya terhadap lingkungan.
(3) B3 diklasifikasikan berbahaya secara fisik sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a apabila memiliki karakteristik:
a. eksplosif;
b. gas mudah menyala;
c. aerosol mudah menyala;
d. cairan mudah menyala;
e. padatan mudah menyala;
f. bahan atau campuran yang apabila kontak dengan air melepaskan
gas mudah menyala;
g. bahan atau campuran swapanas;
h. gas oksidator;
i. cairan oksidator;
j. padatan oksidator;
k. oksidator organik;
l. bahan atau campuran swareaktif;
m. cairan piroforik;
n. padatan piroforik;
o. gas bertekanan; dan/atau
p. korosif pada logam.
(4) B3 diklasifikasikan berbahaya terhadap kesehatan manusia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b apabila memiliki karakteristik:
a. beracun akut;
b. korosi atau iritasi kulit;
c. kerusakan atau iritasi serius pada mata;
d. sensitivitas pernafasan atau kulit;
e. mutagenasi sel induk;
f. karsinogenisitas;
g. beracun terhadap sistem reproduksi;
h. beracun secara sistemik terhadap organ sasaran secara spesifik
setelah paparan tunggal;
i. beracun secara sistemik pada organ sasaran spesifik setelah paparan
berulang; dan/atau
j. bahaya aspirasi.
(5) B3 diklasifikasikan berbahaya terhadap lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c apabila memiliki karakteristik:
a. bahaya terhadap lingkungan akuatik; dan/atau
b. bahaya terhadap lapisan ozon.
Pasal 9
Ketentuan mengenai tata cara dan persyaratan pelaksanaan uji karakteristik
diatur dengan Peraturan Menteri.
8
Pasal 10
(1) Tim teknis B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) terdiri atas:
a. ketua;
b. sekretaris; dan
c. anggota.
(2) Tim teknis B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur:
a. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
lingkungan hidup;
b. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perindustrian;
c. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perdagangan;
d. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pertanian;
e. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan;
f. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
ketenagakerjaan;
g. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
keuangan;
h. lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang riset dan teknologi;
i. lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang ilmu pengetahuan;
j. perguruan tinggi;
k. organisasi lingkungan hidup; dan
l. unsur lain yang ditentukan oleh Menteri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja tim teknis B3 diatur dengan
Peraturan Menteri.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 11
B3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, Lampiran II, dan Lampiran
III Peraturan Pemerintah ini dapat dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali
untuk menetapkan perubahan kategori B3 apabila diperlukan
perubahan.
Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim teknis
B3.
Dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tim
teknis B3 harus mempertimbangkan usulan dari menteri, pimpinan
lembaga pemerintah nonkementerian yang bidang tugasnya terkait
dengan pengelolaan B3, dan/atau pihak lain.
Perubahan kategori sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara evaluasi oleh tim teknis B3
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
9
Bagian Ketiga
Pengemasan B3
Pasal 12
(1) B3 yang dihasilkan, dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, diedarkan, disimpan, dan dimanfaatkan oleh setiap
orang wajib dikemas sesuai dengan karakteristik B3 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8.
(2) Kemasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memenuhi
persyaratan mampu:
a. mempertahankan mutu B3 sesuai dengan karakteristiknya; dan
b. mengungkung B3 untuk tetap berada di dalam kemasan.
(3) Apabila kemasan B3 tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) atau kemasan B3 rusak, setiap orang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. mengemas kembali B3 sesuai dengan karakteristiknya; dan
b. melakukan penanganan untuk mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup, membahayakan lingkungan
hidup, kesehatan, dan/atau kelangsungan hidup manusia dan
makhluk hidup lain apabila berpotensi menimbulkan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Pasal 13
(1) Setiap orang yang mengangkut B3 wajib memastikan kemasan B3 yang
akan diangkut memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (2).
(2) Dalam hal kemasan B3 yang akan diangkut tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap orang yang mengangkut B3
wajib mengembalikan kemasan B3 kepada pengirim.
Pasal 14
(1) Ketentuan mengenai tata cara dan persyaratan pembuatan kemasan dan
pengemasan B3 diatur dengan Peraturan Menteri.
(2) Dalam menyusun Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Menteri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
Bagian Kelima
Pelabelan dan Simbol B3
Pasal 15
(1) Kemasan B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) wajib
dilekati dengan label dan simbol B3.
(2) Label B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat
keterangan mengenai:
a. penandaan produk B3;
b. piktogram bahaya;
c. kata sinyal;
10
d. pernyataan bahaya;
e. identitas penghasil; dan
f. pernyataan kehatihatian.
(3) Simbol B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan
karakteristik B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
(4) Label dan simbol pada kemasan B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib menggunakan Bahasa Indonesia.
Pasal 16
(1) Setiap orang yang mengangkut atau mengedarkan B3 wajib memastikan
setiap kemasan B3 telah dilekati label dan simbol B3.
(2) Dalam hal label dan simbol pada kemasan B3 rusak, setiap orang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengganti label dan simbol
B3.
Pasal 17
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan dan pemasangan
label dan simbol B3 diatur dengan Peraturan Menteri.
(2) Dalam menyusun Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Menteri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
Bagian Keenam
Notifikasi B3
Pasal 18
(1) Dalam hal B3 yang masuk kategori terbatas untuk dimanfaatkan akan
dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
importir B3 melalui negara eksportir B3 wajib mengajukan permohonan
notifikasi kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri.
(2) Permohonan notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi
dengan keterangan mengenai:
a. identitas B3;
b. identitas importir B3;
c. jumlah B3 yang dimasukkan; dan
d. tujuan pemanfaatan B3.
Pasal 19
(1) Menteri memberikan jawaban berupa persetujuan atau penolakan atas
permohonan notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. identitas B3;
b. identitas importir B3;
c. jumlah B3 yang dimasukkan;
d. tujuan pemanfaatan; dan
e. masa berlaku persetujuan.
11
(3) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan
alasan penolakan.
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 20
Setiap orang yang akan mengeluarkan B3 yang masuk kategori
terbatas untuk dimanfaatkan dari Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia wajib:
a. mengajukan permohonan notifikasi secara tertulis kepada Menteri;
b. mengisi formulir notifikasi dari Menteri.
Menteri menyampaikan notifikasi kepada otoritas negara tujuan
berdasarkan permohonan notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Apabila notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui oleh
otoritas negara tujuan, Menteri menerbitkan rekomendasi ekspor B3.
Rekomendasi ekspor B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi
dasar penerbitan izin ekspor yang diberikan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan.
Bagian Ketujuh
Registrasi B3
Pasal 21
(1) Setiap orang yang memasukkan B3 ke dalam Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia wajib mengajukan permohonan registrasi secara
tertulis kepada Menteri.
(2) Registrasi untuk kategori B3 yang dapat dimanfaatkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dilakukan sebanyak:
a. 1 (satu) kali setiap 2 (dua) tahun; dan
b. 1 (satu) kali untuk B3 yang dimasukkan pertama kali ke dalam
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh importir yang juga
bertindak sebagai penghasil B3.
(3) Registrasi untuk kategori B3 yang terbatas untuk dimanfaatkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b dilakukan setelah
terbitnya persetujuan untuk memasukkan B3 ke dalam Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
Pasal 22
(1) Permohonan registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)
dilengkapi dengan:
a. lembaran data keselamatan;
b. angka pengenal importir;
c. nomor pokok wajib pajak; dan
d. perencanaan pemanfaatan dan rantai distribusi.
(2) Menteri berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menerbitkan registrasi.
(3) Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
a. identitas B3 dan pemohon;
b. nomor dan tanggal registrasi; dan
c. masa berlaku registrasi.
12
(4) Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditembuskan kepada
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perdagangan.
Pasal 23
(1) Setiap orang yang menghasilkan B3 wajib mengajukan permohonan
registrasi secara tertulis kepada Menteri.
(2) Registrasi untuk kategori B3 yang dapat dimanfaatkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dilakukan sebanyak 1 (satu) kali
pada saat B3 pertama kali dihasilkan.
(3) Registrasi untuk kategori B3 yang terbatas untuk dimanfaatkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ayat b dilakukan setelah
mendapat rekomendasi dari menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perindustrian.
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 24
Permohonan registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1)
dilengkapi dengan:
a. lembaran data keselamatan;
b. nomor pokok wajib pajak; dan
c. akta pendirian perusahaan.
Menteri berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menerbitkan registrasi.
Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
a. identitas B3 dan pemohon;
b. nomor dan tanggal registrasi; dan
c. masa berlaku registrasi.
Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditembuskan kepada
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perindustrian.
Pasal 25
Menteri menolak permohonan registrasi B3 yang mengandung B3 yang
dilarang untuk dimanfaatkan.
Bagian Kedelapan
Pelaporan
Pasal 26
(1) Pelaporan wajib dilakukan oleh setiap orang yang:
a. menghasilkan B3, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun
untuk setiap jenis B3 sejak B3 pertama kali dihasilkan;
b. memasukkan B3 ke dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun untuk
setiap jenis B3 yang dimasukkan ke dalam Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia; dan
13
(2)
(3)
(4)
(5)
c. memasukkan B3 ke dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang juga bertindak sebagai penghasil B3, paling sedikit 1
(satu) kali dalam 1 (satu) tahun untuk setiap jenis B3 yang
dimasukkan ke dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk
pertama kali paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak registrasi
diterbitkan oleh Menteri.
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara
tertulis kepada Menteri.
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit memuat:
a. identitas penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan;
b. jenis dan karakteristik B3; dan
c. jumlah B3 yang dihasilkan dan/atau dimasukkan ke dalam Wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan format pelaporan diatur
dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kesembilan
Penatalaksanaan Penyimpanan B3
Pasal 27
(1) Setiap orang yang menyimpan B3 wajib melakukan penatalaksanaan
penyimpanan B3 dengan memenuhi persyaratan:
a. lokasi;
b. fasilitas;
c. pelabelan dan simbol B3;
d. kemasan dan wadah;
e. penempatan sesuai dengan karakteristik B3; dan
f. peralatan keselamatan dan penanganan B3.
(2) Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus:
a. bebas banjir dan tidak rawan bencana alam; atau
b. dapat direkayasa dengan teknologi untuk perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, apabila tidak bebas banjir dan rawan
bencana alam.
(3) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi
persyaratan yang paling sedikit terdiri atas:
a. desain dan konstruksi sesuai karakteristik B3 dan mampu
melindungi B3 dari hujan dan sinar matahari;
b. memiliki penerangan dan ventilasi; dan
c. memiliki saluran drainase dan bak penampung.
(4) Pelabelan dan simbol B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelabelan dan simbol B3
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 17.
(5) Penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan
paling sedikit dengan cara:
a. menempatkan B3 sesuai karakteristik B3 dan rencana penyimpanan
B3;
14
b. memenuhi persyaratan jarak penempatan antar B3 sesuai
karakteristik B3;
c. memenuhi persyaratan keselamatan dan penanganan B3.
(6) Peralatan keselamatan dan penanganan B3 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf f paling sedikit terdiri atas:
a. alat pemadam api ringan; dan
b. cadangan air untuk menyiram.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kesepuluh
Penatalakasanaan Pengangkutan B3
Pasal 28
(1) Setiap orang yang mengangkut B3 wajib memiliki izin dari menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan
rekomendasi dari Menteri.
(3) Untuk memperoleh rekomendasi dari Menteri, setiap orang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan permohonan tertulis yang
dilengkapi dengan:
a. identitas pemohon;
b. akta pendirian badan usaha;
c. bukti kepemilikan alat angkut; dan
d. dokumen pengangkutan B3;
(4) Menteri setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) melakukan evaluasi dan penerbitan rekomendasi paling lama 45
(empat puluh lima) hari sejak permohonan diterima.
(5) Rekomendasi dari Menteri paling sedikit memuat:
a. identitas alat angkut;
b. jenis B3 yang akan diangkut; dan
c. kewajiban pengangkut.
(6) Kewajiban pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c
paling sedikit meliputi:
a. mengangkut B3 sesuai lingkup rekomendasi yang diberikan; dan
b. melaporkan pelaksanaan pengangkutan B3 paling sedikit 6 (enam)
bulan sekali sejak izin diterbitkan.
c. menggunakan alat angkut yang memiliki izin pengangkutan B3; dan
d. melaksanakan pengangkutan B3 sesuai persyaratan dalam izin
pengangkutan B3.
(6) Tata cara dan persyaratan memperoleh izin pengangkutan limbah B3
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundangundangan.
15
Bagian Kesebelas
Pengolahan Kemasan B3 Bekas
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 29
Pengolahan kemasan B3 bekas wajib dilakukan oleh setiap orang yang
menghasilkan, mengedarkan, dan/atau memanfaatkan B3.
Pengolahan kemasan B3 bekas oleh setiap orang yang menghasilkan dan
mengedarkan B3 paling sedikit dilakukan dengan:
a. penarikan kembali kemasan B3 bekas; atau
b. penggunaan kembali kemasan B3 bekas untuk penggunaan yang
sama.
Penarikan kembali kemasan B3 bekas sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak lain.
Pengolahan kemasan B3 bekas oleh setiap orang yang memanfaatkan B3
paling sedikit dilakukan dengan:
a. penyimpanan kemasan B3 bekas di tempat penyimpanan limbah B3;
atau
b. penyerahan kembali kemasan B3 bekas kepada orang yang
menghasilkan atau mengedarkan B3.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan dan penggunaan
kembali kemasan B3 bekas diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 30
Dalam hal kemasan B3 bekas tidak dapat digunakan kembali untuk
penggunaan yang sama, setiap orang yang menghasilkan B3 wajib
melakukan pengolahan kemasan B3 bekas sesuai dengan pengelolaan
limbah B3.
BAB III
PENGELOLAAN LIMBAH B3
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 31
(1) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan
limbah B3 yang dihasilkannya.
(2) Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. limbah B3 dari sumber tidak spesifik;
b. limbah B3 dari sumber spesifik;
c. B3 kadaluwarsa; dan
d. tumpahan, bekas kemasan, dan buangan produk B3 yang tidak
memenuhi spesifikasi.
(3) Limbah B3 dari sumber spesifik sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b meliputi:
a. limbah B3 dari sumber spesifik umum; dan
b. limbah B3 dari sumber spesifik khusus.
16
(4) Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sebagaimana
tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Pemerintah ini.
(5) Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebagaimana tercantum
dalam:
a. Lampiran V Tabel 1 untuk limbah B3 dari sumber spesifik umum;
dan
b. Lampiran V Tabel 2 untuk limbah B3 dari sumber spesifik khusus,
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(6) Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(7) Pengelolaan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
kegiatan:
a. pengurangan limbah B3;
b. penyimpanan limbah B3;
c. pengumpulan limbah B3;
d. pengangkutan limbah B3;
e. pemanfaatan limbah B3;
f. pengolahan limbah B3; dan
g. penimbunan limbah B3.
Pasal 32
(1) Dalam hal terdapat limbah yang tidak termasuk dalam daftar limbah B3
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6),
setiap orang yang menghasilkan limbah wajib melakukan uji
karakteristik limbah B3 terhadap limbah tersebut.
(2) Karakteristik limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. eksplosif, mudah menyala, reaktif, infeksius, dan/atau korosif; dan
b. beracun.
(3) Karakteristik beracun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
ditentukan melalui uji karakteristik yang dilakukan secara bertahap,
meliputi:
a. penentuan karakteristik beracun melalui prosedur pelindian (toxicity
characteristic leaching procedure);
b. uji LD50 (lethal dose fifty) dan LC50 (lethal concentration fifty);
c. uji subkronis; dan
d. uji kronis.
(4) Karakteristik limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan
melalui uji karakteristik.
(5) Uji karakteristik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan
terhadap parameter uji karakteristik sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Pemerintah ini.
(6) Penentuan karakteristik beracun melalui prosedur pelindian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a harus didasarkan pada
baku mutu lindi sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
17
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 33
Uji karakteristik limbah B3 dapat dilakukan oleh:
a. setiap orang yang menghasilkan limbah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (1); atau
b. pihak lain yang ditunjuk oleh setiap orang yang menghasilkan limbah
sebagaimana dimaksud pada huruf a.
Dalam melakukan uji karakteristik limbah B3, setiap orang atau pihak
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggunakan
laboratorium yang terakreditasi untuk masingmasing uji.
Parameter uji untuk masingmasing karakteristik limbah B3
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi parameter sebagaimana
tercantum dalam Lampiran VII Peraturan Pemerintah ini.
Dalam hal belum terdapat laboratorium yang terakreditasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), uji karakteristik limbah B3 dilakukan dengan
menggunakan laboratorium yang menerapkan prosedur yang telah
memenuhi Standar Nasional Indonesia mengenai tata cara
berlaboratorium yang baik.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara uji karakteristik limbah B3
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 34
(1) Limbah yang telah dilakukan uji karakteristik limbah B3 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 wajib memperoleh penetapan hasil identifikasi
limbah dari Menteri.
(2) Untuk memperoleh penetapan hasil identifikasi limbah dari Menteri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap orang yang menghasilkan
limbah harus mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri melalui
tim ahli limbah B3.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan:
a. identitas pemohon; dan
b. hasil uji karakteristik limbah B3.
Pasal 35
(1) Menteri setelah menerima permohonan tertulis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 menugaskan tim ahli limbah B3 untuk melakukan
evaluasi terhadap permohonan tersebut.
(2) Tim ahli limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh
Menteri.
(3) Tim ahli limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. ketua;
b. sekretaris; dan
c. anggota.
(4) Susunan tim ahli limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
dari unsur:
a. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
lingkungan hidup;
18
b. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perindustrian;
c. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
riset dan teknologi;
d. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan;
e. lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang ilmu pengetahuan;
f. perguruan tinggi;
g. organisasi lingkungan hidup; dan
h. unsur lain yang ditentukan oleh Menteri.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja tim ahli limbah B3 diatur
dengan Peraturan Menteri.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Pasal 36
Evaluasi oleh tim ahli limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
meliputi identifikasi dan analisis terhadap:
a. hasil uji karakteristik limbah B3 yang diajukan;
b. proses produksi pada usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan
limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1); dan
c. bahan baku dan/atau bahan penolong yang digunakan dalam proses
produksi sebagaimana dimaksud pada huruf b.
Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 90
(sembilan puluh) hari sejak permohonan diterima.
Tim ahli limbah B3 menyampaikan rekomendasi hasil evaluasi kepada
Menteri paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak hasil evaluasi diketahui.
Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit
memuat:
a. identitas limbah dan pemohon;
b. dasar pertimbangan rekomendasi; dan
c. kesimpulan hasil evaluasi terhadap hasil uji karakteristik limbah B3.
Apabila hasil evaluasi terhadap limbah menunjukkan adanya
karakteristik limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2),
rekomendasi tim ahli limbah B3 memuat pernyataan bahwa limbah yang
diajukan permohonan penetapan identifikasinya merupakan limbah B3.
Apabila hasil evaluasi terhadap limbah tidak menunjukkan adanya
karakteristik limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2),
rekomendasi tim ahli limbah B3 memuat pernyataan bahwa limbah yang
diajukan permohonan penetapan identifikasinya merupakan limbah
nonB3.
Pasal 37
Menteri berdasarkan rekomendasi tim ahli limbah B3 menetapkan limbah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 sebagai:
a. limbah B3; atau
b. limbah nonB3.
Bagian Kedua
19
Pengurangan Limbah B3
Pasal 38
(1) Pengurangan limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (7)
huruf a dilakukan melalui:
a. penyimpanan B3;
b. substitusi bahan;
c. modifikasi proses; dan/atau
d. penggunaan teknologi ramah lingkungan.
(2) Penyimpanan B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan penatalaksanaan penyimpanan
B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
(3) Substitusi bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat
dilakukan melalui pemilihan bahan baku dan/atau bahan penolong yang
semula mengandung B3 digantikan dengan bahan baku dan/atau bahan
penolong yang tidak mengandung B3.
(4) Modifikasi proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat
dilakukan melalui pemilihan dan penerapan proses yang lebih efisien.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan rincian pengurangan
limbah B3 diatur dengan Peraturan Menteri.
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 39
Limbah B3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV, Lampiran V, dan
Lampiran VI Peraturan Pemerintah ini dapat dinyatakan sebagai limbah
nonB3 dengan penetapan Menteri.
Untuk memperoleh penetapan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), setiap orang yang menghasilkan limbah B3 harus mengajukan
permohonan penetapan secara tertulis kepada Menteri melalui tim ahli
limbah B3.
Sebelum mengajukan permohonan penetapan Menteri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib
melakukan:
a. uji karakteristik limbah B3 sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 dan Pasal 33; dan
b. pengurangan limbah B3 sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38.
Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud ayat (2) harus dilengkapi
dengan persyaratan yang meliputi:
a. identitas pemohon;
b. nama limbah B3;
c. hasil uji karakteritik limbah B3;
d. bahan baku dan/atau bahan penolong yang digunakan dalam proses
produksi yang menghasilkan limbah B3;
e. proses produksi yang menghasilkan limbah B3 yang diajukan untuk
ditetapkan sebagai limbah non B3; dan
f. alasan pengajuan permohonan pengeluaran limbah B3 dari daftar
limbah B3.
20
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 40
Menteri setelah menerima permohonan penetapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 ayat (4) menugaskan tim ahli limbah B3 untuk
melakukan evaluasi terhadap permohonan tersebut.
Evaluasi oleh tim ahli limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak permohonan
diterima.
Tim ahli limbah B3 menyampaikan hasil evaluasi berupa rekomendasi
kepada Menteri.
Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit
memuat:
a. identitas pemohon;
b. nama limbah B3;
c. dasar pertimbangan rekomendasi; dan
d. kesimpulan hasil evaluasi.
Apabila hasil evaluasi terhadap limbah B3 menunjukan bahwa limbah B3
yang diajukan permohonan penetapannya tidak menunjukan
karakteristik limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2),
rekomendasi tim ahli limbah B3 memuat pernyataan bahwa limbah B3
tersebut merupakan limbah non B3.
(6) Apabila hasil evaluasi terhadap limbah B3 yang diajukan permohonan
penetapannya menunjukan adanya karakteristik limbah B3 seba