3. Peran farmasis dalam pencegahan dan pengendalian resistensi antimikroba
Peran Apoteker
dalam Pencegahan
dan Pengendalian
Resistensi
Antibiotika
Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt.
Prodi Magister Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada
Apoteker adalah Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan
diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan
atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan
yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan (UU no 32 th 1993 ttg
Kesehatan)
Termasuk
tenaga kesehatan adalah : dokter, dokter gigi,
apoteker, perawat, bidan, ahli gizi kesehatan, dll. (UU no. 6
th 1963 ttg Tenaga Kesehatan)
Apoteker
sebagai tenaga kesehatan mengabdikan dirinya
dalam bidang kesehatan dengan menjalankan pekerjaan
kefarmasian
Farmasis/apoteker
Produksi dan
Distribusi Obat
Pelayanan Obat
Obat modern
Rumah sakit
Apotek, dll
Kegiatan manajerial
Kegiatan fungsional/klinik
Obat alami
Industri Farmasi,
IOT, PBF, dll
Farmasi Klinik
Farmasi Klinik ?
Definisi:
Semua pelayanan yang
diberikan oleh farmasis
dalam usaha meningkatkan
pengobatan rasional yang
aman, tepat dan ekonomis
Kegiatan Farmasi Klinik di RS
(Permenkes no 58 th 2014 ttg Standar Pelayanan Farmasi di RS)
a. pengkajian dan pelayanan Resep;
b. penelusuran riwayat penggunaan Obat;
c. rekonsiliasi Obat;
d. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
e. konseling;
f. visite;
g. Pemantauan Terapi Obat (PTO);
h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
j. dispensing sediaan steril; dan
k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD);
OBAT – termasuk antibiotika
Tujuan Program Pengendalian
Resistensi Antibiotik:
Menekan resistensi antibiotik
Mencegah toksisitas akibat penggunaan
antibiotik
Menurunkan biaya akibat penggunaan
antibiotik yang tidak bijak
Menurunkan risiko infeksi nosokomial.
Peran apoteker :
Menjadi
Anggota Tim Pengendalian Resistensi
Antibiotik
Menjadi anggota KFT
Menjadi anggota Komite Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi Rumah Sakit (KPPI-RS)
Terlibat pada penanganan pasien dengan
penyakit infeksi
Aktif dalam kegiatan edukasi mengenai
penggunaan antibiotika yang tepat
Pelayanan Kefarmasian dalam terapi Antibiotika
Perencanaan
dan
Pengadaan
Informasi
Obat dan
Konseling
Pemantauan
terapi AB
Penyimpanan
dan Distribusi
Pengkajian
Terapi Antibiotik
Peracikan dan
Pemberian
1. Kegiatan Perencanaan dan Pengadaan
Harus dilakukan untuk menjamin ketersediaan antibiotika di RS
Pemilihan antibiotika yang direncanakan dan diadakan harus
berdasarkan :
Pola kuman lokal dan sensitivitas bakteri di RS
Mutu
Cost-effectiveness
Pengadaan dapat dilakukan melalui pembelian, rekonstitusi,
pencampuran (iv admixture), pengemasan ulang, atau
sumbangan/dropping/hibah.
Pencampuran/pengemasan ulang antibiotik perlu
memperhatikan aspek stabilitas, kondisi aseptis dan
kompatibilitas.
2. Penyimpanan dan Distribusi
Penyimpanan antibiotik dilakukan sesuai dengan persyaratan
farmasetik pada sediaan jadi maupun sediaan setelah
direkonstitusi
CONTOH
Contoh lanjutan
Pendistribusian antibiotik harus memperhatikan stabilitas produk
misalnya stabilitas injeksi meropenem setelah direkonstitusi pada suhu
kamar hanya 2 jam, sedangkan pada suhu 2-8 C stabil selama 12 jam
3. Pengkajian terapi Antibiotika
Apoteker dapat melakukan kajian terhadap peresepan dan
memberikan rekomendasi kepada dokter/ perawat/pasien
terkait masalah terapi antibiotik yang ditemukan.
Pengkajian terapi antibiotik dapat berupa:
Kesesuaian indikasi, pasien, jenis dan dosis rejimen
antibiotik terhadap Pedoman/Kebijakan yang telah
ditetapkan,
Kemungkinan terjadinya ROTD, interaksi antibiotik dengan
obat lain/ larutan infus/makanan-minuman,
Kemungkinan kesalahan hasil pemeriksaan laboratorium
karena pemberian antibiotik. Misalnya ampisilin, gentamisin
mempengaruhi pemeriksaan AST/ALT.
Ketidak-tepatan apa yang sering terjadi?
Peresepan Antibiotika yang tidak perlu, seperti pada infeksi virus
(common cold) dan diare non-spesifik, atau untuk penggunaan
profilaksis yang terlalu lama
Menggunakan broad-spectrum antibiotics (seperti 3th generation
cephalosporins, carbapenems) sedangkan yang spektrum sempit
sudah efektif
Dosis terlalu rendah atau terlalu tinggi
Menggunakan antibiotik lebih lama dari yang diperlukan
Meresepkan tidak berdasar hasil uji mikrobiologi yang ada
Menunda pemberian antibiotik
Meresepkan terapi IV ketika pemberian oral tersedia dan efektif
dan aman
4. Peracikan dan pemberian
Peracikan
antibiotik steril (misalnya: parenteral, tetes
mata, salep mata) dilakukan sesuai standar aseptic
dispensing
Teknik peracikan harus memperhatikan aspek stabilitas
dan Kompatibilitas
Untuk sediaan antibiotik steril yang tidak stabil setelah
direkonstitusi dan diperlukan dalam dosis kecil, dapat
dilakukan pengemasan ulang sesuai dosis yang
diperlukan dalam rangka menjamin kualitas dan
menghemat biaya pengobatan.
Pemberian obat harus disesuaikan dengan target
jaringan terinfeksi à harus bisa mencapai tempat
infeksi
6. Pemantauan terapi antibiotik
dapat
dilakukan secara mandiri atau pada saat visite
bersama dokter dan tim kesehatan lain
dilakukan terhadap tanda keberhasilan dan
kegagalan terapi dapat dilakukan setelah 72 jam
dengan melihat data klinis (pemeriksaan fisik dan
tanda-tanda vital) serta data penunjang (hasil
pemeriksaan mikrobiologi dan data laboratorium)
yang ada.
Dilakukan juga terhadap timbulnya ROTD, reaksi
alergi/ hipersensitivitas atau toksisitas. Jika terjadi
ROTD, sebaiknya segera dilaporkan ke pusat MESO
Nasional, menggunakan form MESO
18
KEGIATAN VISITE TERINTEGRASI
Farmasis Klinik pada PPRA RS Sardjito : Dr. Ika Puspitasari,
Msi, Apt. sedang melakukan kegiatan visite bersama di RS
dan mendiskusikan kasus pasien
19
Kegiatan Farmasis saat Pemantauan
terapi
Mempelajari
profil penderita, profil penyakit
dan profil terapi antibiotik.
Mengidentifikasi DRPs.
Memberikan informasi atau
rekomendasi kepada :
- Dokter
- Perawat
- Penderita/keluarga.
20
Rekapitulasi rekomendasi farmasis terhadap DRPs th 2016
No.
Kategori
Rekomendasi
Tindak Lanjut
Jumlah
kasus
Disetujui
%
1.
Indikasi
12
10
83,3
2.
Pemilihan obat
13
10
76,9
3.
Dosis obat
23
15
65,22
4.
Rute Pemberian
7
7
100
5.
Frekuensi
pemberian
20
20
100
6.
Lama Pemberian
10
8
80
7.
Lain - lain
5
4
80
TOTAL
90
74
82,22
Sumber : Dr. Ika Puspitasari, Apt, selama kegiatan sbg farmasis klinik
21
Contoh rekomendasi: Indikasi
Penderita An.M; 6,5 bln; BB 7 kg; Dx.Susp.ITP,
data klinis dan lab. normal
Terapi
Ampicilline iv 1 hari, rencana
dilanjutkan Amoxycilline p.o 5 hari
Saran
Antibiotik dihentikan, karena tidak
ada tanda-tanda infeksi
Tindak
lanjut
Amoxycilline tidak diberikan
Sumber : Dr. Ika Puspitasari, Apt, selama kegiatan sbg farmasis klinik
22
Rekomendasi:
Pemilihan obat dan tepat penderita
Penderita
An. R, Usia 5 th, Dx.CML + S.Sepsis
Terapi
Ceftriaxon → Cefixim po
Uji kepekaan
Sensitif Ciprofloxacin & lincomycin
Resisten : Ceftriaxon, cefixim, ceftazidim
Saran
Dipilih lincomycin, Ciprofloxacin
kontraindikasi untuk usia < 12 th
Tindak lanjut
Diberi terapi lincomycin, kecuali klinisi
menyatakan akan mengobservasi ADRs
Sumber : Dr. Ika Puspitasari, Apt, selama kegiatan sbg farmasis klinik
23
Contoh rekomendasi: Dosis
Penderita
An.N; 21 bulan; BB 9 kg; Dx.ALL + Diare
Terapi
Cotrimoxazole 2 x 100 mg/hari
Saran
Dosis diturunkan menjadi 2 x 36 mg 2 x 45 mg/hari.
Dosis lazim cotrimox 4-5 mg/kg BB/Dosis,
tiap 12 jam
Tindak lanjut Dosis Cotrimoxazole menjadi 2 x 45 mg/hr
Sumber : Dr. Ika Puspitasari, Apt, selama kegiatan sbg farmasis klinik
24
Pemantauan Keamanan :
Penderita
Usia 56 th; 50 Kg;Dx. Infected
endocarditis, hipo K, hipo alb
Terapi
Ampisilin –sulbactam
ESO
Trombositopenia
Saran
• Ganti
Abx yang sesuai k/s
• Enterobacter amnigenus 2 &
S.haemoliticus --- tigesiklin
Sumber : Dr. Ika Puspitasari, Apt, selama kegiatan sbg farmasis klinik
Pemantauan efikasi antibiotik
Kultur &
Sensitivitas
Outcome klinis
Tindak lanjut
Sesuai
membaik
lanjut
Tidak sesuai
membaik
Evaluasi diagnosa
dan terapinya
Sesuai
tetap/memburuk
Evaluasi diagnosa
dan terapinya
Contoh antibiotik dan pengamatan ESO yang
harus dilakukan
Contoh antibiotik dan pengamatan ESO yang
harus dilakukan
6. Informasi Obat dan Konseling Pasien
Apoteker dapat memberikan informasi kepada sejawat tenaga
kesehatan tentang antibiotik, meliputi :
pemilihan obat AB,
rejimen dosis,
rekonstitusi,
pengenceran/pencampuran antibiotik dengan larutan infus
penyimpanan antibiotik
Informasi-informasi spesifik tentang antibiotik
Apoteker juga dapat memberikan konseling obat kepada pasien
Misal : waktu minum obat (sebelum atau sesudah makan)
Lamanya penggunaan obat, minum sampai habis à
kepatuhan
Jika ada efek yg tdk diinginkan segera dilaporkan, dll
Jangan sembarang minum antibiotik
Contoh informasi yang diberikan saat
konseling obat pada pasien
Contoh
informasi
tentang
Antibiotika
kepada
masyarakat
Penutup
Apoteker
memiliki peran strategis untuk
mencegah dan mengendalikan resistensi bakteri
Rekomendasi farmasis terkait solusi Drug-related
Problem dapat meningkatkan penggunaan
antibiotika rasional yang pada gilirannya
mencegah resistensi bakteri terhadap antibiotik
Apoteker perlu terus menerus meningkatkan
kompetensinya dalam bidang penyakit infeksi dan
terapi antibiotik, serta mampu berkomunikasi
dengan sejawat tenaga kesehatan dalam
kolaborasi interprofesional
dalam Pencegahan
dan Pengendalian
Resistensi
Antibiotika
Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt.
Prodi Magister Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada
Apoteker adalah Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan
diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan
atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan
yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan (UU no 32 th 1993 ttg
Kesehatan)
Termasuk
tenaga kesehatan adalah : dokter, dokter gigi,
apoteker, perawat, bidan, ahli gizi kesehatan, dll. (UU no. 6
th 1963 ttg Tenaga Kesehatan)
Apoteker
sebagai tenaga kesehatan mengabdikan dirinya
dalam bidang kesehatan dengan menjalankan pekerjaan
kefarmasian
Farmasis/apoteker
Produksi dan
Distribusi Obat
Pelayanan Obat
Obat modern
Rumah sakit
Apotek, dll
Kegiatan manajerial
Kegiatan fungsional/klinik
Obat alami
Industri Farmasi,
IOT, PBF, dll
Farmasi Klinik
Farmasi Klinik ?
Definisi:
Semua pelayanan yang
diberikan oleh farmasis
dalam usaha meningkatkan
pengobatan rasional yang
aman, tepat dan ekonomis
Kegiatan Farmasi Klinik di RS
(Permenkes no 58 th 2014 ttg Standar Pelayanan Farmasi di RS)
a. pengkajian dan pelayanan Resep;
b. penelusuran riwayat penggunaan Obat;
c. rekonsiliasi Obat;
d. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
e. konseling;
f. visite;
g. Pemantauan Terapi Obat (PTO);
h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
j. dispensing sediaan steril; dan
k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD);
OBAT – termasuk antibiotika
Tujuan Program Pengendalian
Resistensi Antibiotik:
Menekan resistensi antibiotik
Mencegah toksisitas akibat penggunaan
antibiotik
Menurunkan biaya akibat penggunaan
antibiotik yang tidak bijak
Menurunkan risiko infeksi nosokomial.
Peran apoteker :
Menjadi
Anggota Tim Pengendalian Resistensi
Antibiotik
Menjadi anggota KFT
Menjadi anggota Komite Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi Rumah Sakit (KPPI-RS)
Terlibat pada penanganan pasien dengan
penyakit infeksi
Aktif dalam kegiatan edukasi mengenai
penggunaan antibiotika yang tepat
Pelayanan Kefarmasian dalam terapi Antibiotika
Perencanaan
dan
Pengadaan
Informasi
Obat dan
Konseling
Pemantauan
terapi AB
Penyimpanan
dan Distribusi
Pengkajian
Terapi Antibiotik
Peracikan dan
Pemberian
1. Kegiatan Perencanaan dan Pengadaan
Harus dilakukan untuk menjamin ketersediaan antibiotika di RS
Pemilihan antibiotika yang direncanakan dan diadakan harus
berdasarkan :
Pola kuman lokal dan sensitivitas bakteri di RS
Mutu
Cost-effectiveness
Pengadaan dapat dilakukan melalui pembelian, rekonstitusi,
pencampuran (iv admixture), pengemasan ulang, atau
sumbangan/dropping/hibah.
Pencampuran/pengemasan ulang antibiotik perlu
memperhatikan aspek stabilitas, kondisi aseptis dan
kompatibilitas.
2. Penyimpanan dan Distribusi
Penyimpanan antibiotik dilakukan sesuai dengan persyaratan
farmasetik pada sediaan jadi maupun sediaan setelah
direkonstitusi
CONTOH
Contoh lanjutan
Pendistribusian antibiotik harus memperhatikan stabilitas produk
misalnya stabilitas injeksi meropenem setelah direkonstitusi pada suhu
kamar hanya 2 jam, sedangkan pada suhu 2-8 C stabil selama 12 jam
3. Pengkajian terapi Antibiotika
Apoteker dapat melakukan kajian terhadap peresepan dan
memberikan rekomendasi kepada dokter/ perawat/pasien
terkait masalah terapi antibiotik yang ditemukan.
Pengkajian terapi antibiotik dapat berupa:
Kesesuaian indikasi, pasien, jenis dan dosis rejimen
antibiotik terhadap Pedoman/Kebijakan yang telah
ditetapkan,
Kemungkinan terjadinya ROTD, interaksi antibiotik dengan
obat lain/ larutan infus/makanan-minuman,
Kemungkinan kesalahan hasil pemeriksaan laboratorium
karena pemberian antibiotik. Misalnya ampisilin, gentamisin
mempengaruhi pemeriksaan AST/ALT.
Ketidak-tepatan apa yang sering terjadi?
Peresepan Antibiotika yang tidak perlu, seperti pada infeksi virus
(common cold) dan diare non-spesifik, atau untuk penggunaan
profilaksis yang terlalu lama
Menggunakan broad-spectrum antibiotics (seperti 3th generation
cephalosporins, carbapenems) sedangkan yang spektrum sempit
sudah efektif
Dosis terlalu rendah atau terlalu tinggi
Menggunakan antibiotik lebih lama dari yang diperlukan
Meresepkan tidak berdasar hasil uji mikrobiologi yang ada
Menunda pemberian antibiotik
Meresepkan terapi IV ketika pemberian oral tersedia dan efektif
dan aman
4. Peracikan dan pemberian
Peracikan
antibiotik steril (misalnya: parenteral, tetes
mata, salep mata) dilakukan sesuai standar aseptic
dispensing
Teknik peracikan harus memperhatikan aspek stabilitas
dan Kompatibilitas
Untuk sediaan antibiotik steril yang tidak stabil setelah
direkonstitusi dan diperlukan dalam dosis kecil, dapat
dilakukan pengemasan ulang sesuai dosis yang
diperlukan dalam rangka menjamin kualitas dan
menghemat biaya pengobatan.
Pemberian obat harus disesuaikan dengan target
jaringan terinfeksi à harus bisa mencapai tempat
infeksi
6. Pemantauan terapi antibiotik
dapat
dilakukan secara mandiri atau pada saat visite
bersama dokter dan tim kesehatan lain
dilakukan terhadap tanda keberhasilan dan
kegagalan terapi dapat dilakukan setelah 72 jam
dengan melihat data klinis (pemeriksaan fisik dan
tanda-tanda vital) serta data penunjang (hasil
pemeriksaan mikrobiologi dan data laboratorium)
yang ada.
Dilakukan juga terhadap timbulnya ROTD, reaksi
alergi/ hipersensitivitas atau toksisitas. Jika terjadi
ROTD, sebaiknya segera dilaporkan ke pusat MESO
Nasional, menggunakan form MESO
18
KEGIATAN VISITE TERINTEGRASI
Farmasis Klinik pada PPRA RS Sardjito : Dr. Ika Puspitasari,
Msi, Apt. sedang melakukan kegiatan visite bersama di RS
dan mendiskusikan kasus pasien
19
Kegiatan Farmasis saat Pemantauan
terapi
Mempelajari
profil penderita, profil penyakit
dan profil terapi antibiotik.
Mengidentifikasi DRPs.
Memberikan informasi atau
rekomendasi kepada :
- Dokter
- Perawat
- Penderita/keluarga.
20
Rekapitulasi rekomendasi farmasis terhadap DRPs th 2016
No.
Kategori
Rekomendasi
Tindak Lanjut
Jumlah
kasus
Disetujui
%
1.
Indikasi
12
10
83,3
2.
Pemilihan obat
13
10
76,9
3.
Dosis obat
23
15
65,22
4.
Rute Pemberian
7
7
100
5.
Frekuensi
pemberian
20
20
100
6.
Lama Pemberian
10
8
80
7.
Lain - lain
5
4
80
TOTAL
90
74
82,22
Sumber : Dr. Ika Puspitasari, Apt, selama kegiatan sbg farmasis klinik
21
Contoh rekomendasi: Indikasi
Penderita An.M; 6,5 bln; BB 7 kg; Dx.Susp.ITP,
data klinis dan lab. normal
Terapi
Ampicilline iv 1 hari, rencana
dilanjutkan Amoxycilline p.o 5 hari
Saran
Antibiotik dihentikan, karena tidak
ada tanda-tanda infeksi
Tindak
lanjut
Amoxycilline tidak diberikan
Sumber : Dr. Ika Puspitasari, Apt, selama kegiatan sbg farmasis klinik
22
Rekomendasi:
Pemilihan obat dan tepat penderita
Penderita
An. R, Usia 5 th, Dx.CML + S.Sepsis
Terapi
Ceftriaxon → Cefixim po
Uji kepekaan
Sensitif Ciprofloxacin & lincomycin
Resisten : Ceftriaxon, cefixim, ceftazidim
Saran
Dipilih lincomycin, Ciprofloxacin
kontraindikasi untuk usia < 12 th
Tindak lanjut
Diberi terapi lincomycin, kecuali klinisi
menyatakan akan mengobservasi ADRs
Sumber : Dr. Ika Puspitasari, Apt, selama kegiatan sbg farmasis klinik
23
Contoh rekomendasi: Dosis
Penderita
An.N; 21 bulan; BB 9 kg; Dx.ALL + Diare
Terapi
Cotrimoxazole 2 x 100 mg/hari
Saran
Dosis diturunkan menjadi 2 x 36 mg 2 x 45 mg/hari.
Dosis lazim cotrimox 4-5 mg/kg BB/Dosis,
tiap 12 jam
Tindak lanjut Dosis Cotrimoxazole menjadi 2 x 45 mg/hr
Sumber : Dr. Ika Puspitasari, Apt, selama kegiatan sbg farmasis klinik
24
Pemantauan Keamanan :
Penderita
Usia 56 th; 50 Kg;Dx. Infected
endocarditis, hipo K, hipo alb
Terapi
Ampisilin –sulbactam
ESO
Trombositopenia
Saran
• Ganti
Abx yang sesuai k/s
• Enterobacter amnigenus 2 &
S.haemoliticus --- tigesiklin
Sumber : Dr. Ika Puspitasari, Apt, selama kegiatan sbg farmasis klinik
Pemantauan efikasi antibiotik
Kultur &
Sensitivitas
Outcome klinis
Tindak lanjut
Sesuai
membaik
lanjut
Tidak sesuai
membaik
Evaluasi diagnosa
dan terapinya
Sesuai
tetap/memburuk
Evaluasi diagnosa
dan terapinya
Contoh antibiotik dan pengamatan ESO yang
harus dilakukan
Contoh antibiotik dan pengamatan ESO yang
harus dilakukan
6. Informasi Obat dan Konseling Pasien
Apoteker dapat memberikan informasi kepada sejawat tenaga
kesehatan tentang antibiotik, meliputi :
pemilihan obat AB,
rejimen dosis,
rekonstitusi,
pengenceran/pencampuran antibiotik dengan larutan infus
penyimpanan antibiotik
Informasi-informasi spesifik tentang antibiotik
Apoteker juga dapat memberikan konseling obat kepada pasien
Misal : waktu minum obat (sebelum atau sesudah makan)
Lamanya penggunaan obat, minum sampai habis à
kepatuhan
Jika ada efek yg tdk diinginkan segera dilaporkan, dll
Jangan sembarang minum antibiotik
Contoh informasi yang diberikan saat
konseling obat pada pasien
Contoh
informasi
tentang
Antibiotika
kepada
masyarakat
Penutup
Apoteker
memiliki peran strategis untuk
mencegah dan mengendalikan resistensi bakteri
Rekomendasi farmasis terkait solusi Drug-related
Problem dapat meningkatkan penggunaan
antibiotika rasional yang pada gilirannya
mencegah resistensi bakteri terhadap antibiotik
Apoteker perlu terus menerus meningkatkan
kompetensinya dalam bidang penyakit infeksi dan
terapi antibiotik, serta mampu berkomunikasi
dengan sejawat tenaga kesehatan dalam
kolaborasi interprofesional