Integrasi Sosial Menilik Fungsi Sosial K

Media Massa dan Masyarakat Kontemporer

INTEGRASI SOSIAL; MENILIK FUNGSI KONTROL SOSIAL MEDIA MASSA

Yuhdi Fahrimal/P1400212409
Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi
Universitas Hasanuddin, Makassar

Pendahuluan
Perkembangan teknologi komunikasi saat ini menyebabkan keterbukaan dan ketersediaan
akses informasi yang semakin memadai, cepat, dan bervariatif. Kemajuan teknologi komunikasi
itu ikut pula mendorong lahirnya media-media baru yang dapat dengan mudah dikonsumsi
sehari-hari oleh masyarakat, baik melalui pengeluaran sejumlah dana untuk berlangganan sampai
kepada media yang bisa didapatkan secara cuma-cuma. Hampir setiap hari, jam, dan menit
manusia disuguhi oleh berita, tayangan infotainment, serta siaran hiburan lainnya dari media
massa. Dalam bahasa yang sederhana, dari bangun tidur sampai kembali ke tempat tidur, kita
selalu bersinggungan dengan media massa. Setiap detik kita terpaparkan oleh berbagai informasi
yang disajikan media massa.
Sudah menjadi fungsi media massa sebagai lembaga sosial yang menyebarkan informasi
kepada khalayak. Namun, perlu dipertimbangkan kembali apakah informasi yang kita serap dari
media massa itu memang laik untuk dijadikan “santapan” demi memenuhi kebutuhan informasi

atau malah sebaliknya. Jika mau berkaca dengan kondisi saat ini, betapa banyak materi cetak
atau siaran dari media massa (cetak ataupun elektronik) yang berisi sesuatu yang kurang –untuk
tidak mengatakan tidak bermanfaat sama sekali –kepada khalayak. Terjadinya perubahan
ideologi dalam dunia jurnalisme dari ideologi pengontrol sosial kepada idologi bisnis. Oplah dan
rating merupakan ukuran dari media massa dalam melihat seberapa besar medianya dapat
diterima khalayak. Media massa cederung memberikan apa yang diinginkan oleh khalayak,
bukan apa yang seharusnya diketahui oleh khalayak. Dalam paradigma ini, media massa
mengukuhkan anggapan bahwa berita-berita seks, darah, dan mistis selalu menjadi “jualan” yang
laris di pasaran.

Dilematik Kontrol Sosial Media Massa
Sebagai bentuk komunikasi massa, media massa memiliki fungsi di tengah masyarakat.
Harold D. Laswell dan Wilbur Schramm telah menyatakan media massa berfungsi sebagai

Media Massa dan Masyarakat Kontemporer

penjaga lingkungan, sebagai penghubung masyarakat dalam lingkungan sosial menuju
perubahan, pewarisan sosial, dan penghibur. Sejalan dengan pemikiran Laswell dan Schramm,
dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers disebutkan bahwa pers di Indonesia (dalam
pengertian ini pers cetak maupun elektronik) memiliki fungsi, yaitu, media informasi, media

pendidikan, media hiburan, dan sebagai media kontrol sosial (lihat Pasal 3 ayat [1] UU Pers).
Selain fungsi-fungsi tersebut, pers memiliki satu fungsi lainnya, yaitu, sebagai lembaga ekonomi
(Pasal 3 ayat [2] UU Pers). Jaminan sebagai lembaga ekonomi dimana profit adalah tujuan
utamanya, membuat pers (media massa) semakin menjadikan bisnis sebagai prioritas utama
dalam menjalankan praktik jurnalistik.
Namun kondisi ini sendiri masih menjadi polemik dan perdebatan antara awak media dengan
para pengkritiknya. Dari sisi awak media, faktor ekonomi menjadi ukuran bahwa media mereka
dapat bertahan dalam era persaingan media yang ketat ini. Urgensi dari ekonomi media
menyebabkan media akan melakukan apa saja untuk menjaring khayalak membeli atau
mengonsumsi medianya. Jika medianya tidak laku, maka berdampak kepada pemutusan hak
kerja wartawan dan karyawan medianya. Dengan demikian, polemik akan berlanjut ke tahap hak
warga negara untuk mendapatkan pekerjaan yang laik.
Dalam kaidah sebenarnya, pers (media massa) harus mengedepankan fungsi informasi,
pendidikan, dan kontrol sosial. Kondisi saat ini justru menunjukkan sebaliknya, terlebih keran
kebebasan memperoleh informasi yang terbuka lebar pascalengsernya Orde Baru. Peraturanperaturan pengekang pers (media massa) yang berlaku pada rezim Orde Baru seperti, UU No. 11
tahun 1966 tentang Pokon Pers, Peraturan Menteri Penerangan RI No. 03/Per/Menpen/1969, dan
UU No. 21 tahun 1982 dicabut pemberlakuannya di era reformasi (Harahap, 2000; 136-143).
Awak media diberikan kebebasan yang terbuka lebar, tidak ada pengekangan sama sekali.
Kemerdekaan “penuh” yang dimiliki oleh insan media ini seperti imun yang membuatnya
kebal hukum. Tidak jarang ditemukan materi berita yang bernada adu domba atau pencemaran

nama baik seseorang. Semua ini sangat memungkinkan untuk dilakukan oleh awak media,
karena berita merupakan hasil konstruksi realitas yang dilakukan “orang-orang pilihan” di balik
meja redaksi. Fungsi media massa sebagai lembaga informasi yang netral juga semakin pudar,
seiring terkontaminasinya media massa dengan lembaga sosial lainnya, misalnya lembaga
pemerintahan dan partai politik. Tidak bisa dipungkiri bahwa selalu ada kecenderungan
keberpihakan media massa kepada salah satu unsur yang berkuasa, contohnya saja bagaimana

Media Massa dan Masyarakat Kontemporer

keberpihakan Surat Kabar Jurnal Nasional (Jurnas) dengan kepada Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.
Faktor kepemilikan media juga mejadi catatan penting dalam melihat kualitas media saat ini.
Pemilik media yang berafiliasi dengan partai politik dan menjadi oposisi dari pemerintah,
cenderung menggunakan medianya untuk menyerang pemerintah –alih-alih melakukan kontrol
sosial. Belum lagi dominasi kaum kapitalis yang memiliki modal dalam mengembangkan dan
mengendalikan isi media. Akibat dominasi ini, materi media akan diarahkan kepada keinginan
sang pemilik modal. Penekanan terhadap peristiwa tertentu akan merujuk kepada referensi
keyakinan yang dipegang oleh pemilik modal. Setiap hari masyarakat disuguhkan oleh beritaberita yang bernada tendensius untuk mengkritik setiap kebijakan pemerintah. Tak khayal, jika
pada tataran masyarakat awam akan memercayai apa yang disampaikan oleh media dan
cenderung akan bersikap antipati terhadap pemerintah. Setiap kebijakan pemerintah selalu akan

dianggap salah oleh masyarakat, hingga akhirnya apa yang disebut oleh pemerintah sebagai
pembangunan nasional akan terhambat bahkan berjalan ditempat.
Sudah menjadi kewajiban media massa melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah
yang tidak sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat sebagai bentuk kontrol sosial.
Namun, jika hampir semua kebijakan pemerintah dianggap tidak baik dan selalu dirong-rong
melalui berita-berita yang disajikan, maka bukan kemajuan yang didapatkan namun malah
menjurus kepada ketertinggalan pembangunan. Bahkan lebih parah lagi jika berita-berita yang
disajikan media massa itu dapat menyebabkan chaos (kekacauan) di masyarakat. Stabilitas
keamanan nasional akan terganggu bahkan dapat berdampak kepada disintegrasi bangsa.
Seiring berjalannya waktu dalam era reformasi, intensitas kontrol sosial yang dilakukan
media massa semakin meningkat. Di satu sisi hal ini merupakan capaian positif dimana hal
serupa tidak didapatkan pada masa Orde Baru. Namun, di sisi lain tingginya kontrol sosial yang
dilakukan media massa dapat membuat tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara terganggu.
Ditambah lagi jika media secara sengaja mencari-cari keburukan pemerintah dengan dalih
melakukan kontrol sosial belum lagi dengan mudahnya media memberitakan kasus mesum
dengan penekanan pada proses terjadinya peristiwa, lagi-lagi berlindung di balik payung kontrol
sosial. Dalam kondisi lainnya menunjukkan bahwa kemerdekaan dan kebebasan media sering
dipelintir oleh awak media. Betapa banyak pekerja sebuah koran, radio, dan televisi tidak
profesional dalam meliput dan menyebarkan isi siarannya. Informasi yang diberikan kadang


Media Massa dan Masyarakat Kontemporer

tanpa melalui chek and recheck terlebih dahulu. Unsur cover both side (keberimbangan berita)
menjadi hal langka, trial by the press (penghakiman oleh media) juga menjadi kebiasaan yang
lazim ditemukan di media massa saat ini.
Media massa memiliki kekuatan yang besar dalam merekonstruksi pemikiran masyarakat.
Media massa mampu memengaruhi masyarakat dan mendorong masyarakat untuk setuju atau
tidak setuju terhadap suatu hal. Media massa mampu menggerakkan suatu komunitas masyarakat
tertentu untuk melakukan unjuk rasa. Media massa mampu membuat masyarakat was-was dan
merasa takut akan ancaman dari lingkungannya yang tidak kondusif. Hal ini menggambarkan
betapa media massa memiliki hegemoni (kekuasaan) di masyarakat hampir melebihi hegemoni
yang dimiliki pemerintah.
Banyak teori yang mengambarkan kekuatan media massa dalam memengaruhi khalayak.
Maxwell McCombs dan Donald Shaw menyumbangkan sebuah teori yang dikenal dengan
Agenda Setting Theory, asumsi dari teori ini adalah agenda media memengaruhi agenda
masyarakat (Romli, 2009; 174-181). Dalam maksud lainnya, yaitu, apa yang disampaikan oleh
media akan memengaruhi apa yang akan dilakukan dan menjadi bahan perbincangan di
masyarakat. Disamping itu, Harold D. Laswell seorang ilmuwan Politik menyumbangkan
Hypodermic Needle Theory/Bullet Theory (teori jarum suntik/teoti peluru) dengan pemahaman
bahwa media massa mampu menyuntikkan segala informasi kepada masyarakat tanpa adanya

daya tangkal dari masyarakat (Hadi, 2007; 2 dan Rohim, 2009; 187). Masyarakat dianggap
sebagai alat yang pasif dan “bodoh” sehingga awak media serta merta mampu mengelabui
masyarakat dengan informasi yang disajikannya.
Sementara itu, George Gerbner memberikan sumbangan pemikirannya melalui Cultivation
Theory dimana terpaan media massa (khususnya televisi) mampu memperkuat persepsi khalayak
terhadap realitas sosialnya (Rohim, 2009; 192-194). Teori Kultivasi ini menganggap bahwa
masyarakat tidak memiliki daya kemampuan untuk menangkal setiap informasi yang disiarkan
media massa (televisi), sehingga masyarakat cenderung beranggapan bahwa apa yang mereka
lihat di media (televisi) maka itulah hal yang sedang berlaku di dunia nyata mereka dan bereaksi
berdasarkan apa yang mereka serap dari media tersebut. Berangkat dari teori-teori tersebut, maka
dapat dilihat betapa media massa memiliki kuasa penuh atas masyarakat. Konon lagi didukung
oleh kondisi bangsa Indonesia yang masih merupakan negara berkembang, dimana kulitas
Sumber Daya Manusia-nya dan tingkat pendidikan masyarakatnya masih rendah, sehingga

Media Massa dan Masyarakat Kontemporer

masyarakat Indonesia masih bisa terprovokasi hanya dengan masalah sepele yang disebarkan
media.
Sebagai contoh, Pada tahun 2008 lalu saat Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan
Pornoaksi dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, terjadi demo besar-besaran hampir

di seluruh wilayah Indonesia. Banyak masyarakat yang mendukung, namun tidak sedikit pula
yang menolak pengesahan undang-undang itu. Suasana pro-kontra ini diperparah oleh dua surat
kabar, yaitu, Kompas dan Republika. Surat kabar Kompas berikut surat kabar yang masuk ke
dalam Kompas Grup yang dikomandoi oleh Jacob Oetama, cenderung menolak pengesahan
undang-undang tersebut. Berita dikonstruksi sedemikian rupa, narasumber sengaja dipilih orangorang yang anti-pengesahan undang-undang tersebut sehingga terjadi demo besar-besaran
menolak pengesahan undang-undang tersebut. Sementara itu, surat kabar Republika yang
berazaskan Islam cenderung mendukung dan mendesak DPR untuk segera mengesahkan undangundang tersebut. Republika juga ikut merekonstruksi beritanya dengan pemilihan narasumber
dari kalangan ulama-ulama Islam dan ustad-ustad, serat mahasiswa Islam. Pemberitaan
Republika ini ikut pula mendorong aksi unjuk rasa masyarakat terutama umat Islam guna
mendesak DPR segera mengesahkan undang-undang tersebut.
Dua surat kabar ini merupakan surat kabar terbesar di Indonesia dengan jutaan pembaca
setianya, sehingga dapat dibayangkan betapa banyak orang yang akan terekonstruksi pikirannya
dan cenderung bereaksi terhadap apa yang dianggap surat kabar merupakan suatu “kebenaran”.
Kedua surat kabar memang telah menjalankan fungsi kontrol sosialnya terhadap suatu kebijakan
yang akan dikeluarkan pemerintah, namun secara disengaja atau tidak telah ikut mendorong
terjadinya kekacauan di tengah masyarakat. Keberpihakan dan intervensi pemilik media massa
telah membuat dua surat kabar itu menafsirakan sendiri realitas lalu mencoba merekonstruksi
pemikiran masyarakat.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Jika ingin kembali kepada hakikat sebenarnya, media massa merupakan lembaga yang sangat
penting guna menjaga integritas soisal dan stabilitas negara. Anggapan klasik menyebutkan
bahwa media massa merupakan cerminan masyarakat, namun masih harus dipertanyakan
kembali masyarakat mana yang tercerminkan dalam media massa. Apakah masyarakat yang
memiliki modal besar dan memengaruhi kualitas pemberitaan, atau masyarakat awam yang tidak

Media Massa dan Masyarakat Kontemporer

tahu apa-apa serta menjadi sasaran “doktrinisasi” dan “pembodohan” media. Beberapa hal perlu
diperhatikan, Pertama, media massa tidak hanya sebatas menjalankan fungsinya sebagai media
informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial namun lebih dari itu dimana media massa
harus tahu apa yang laik untuk di-informasikan, bagaimana bentuk kontrol sosial yang
sebenarnya harus dijalankan guna mendorong integrasi sosial masyarakat, serta bagaimana pula
hiburan itu dibuat guna mencerdaskan masyarakat.
Kedua, media massa juga bertanggungjawab terhadap pembentukan moral dan etika di
masyarakat. Awak media tidak hanya merasa tahu, namun juga harus tahu merasa bagaimana
kondisi masyarakat, sehingga fungsi-fungsi media massa khususnya fungsi kontrol sosial untuk
membuat sistem ketatanegaraan dan stabilitas masyarakat berjalan dengan baik, bukan malah
sebaliknya terjadi kekacauan yang berujung kepada disintegrasi sosial (bangsa). Intensitas
kontrol sosial media massa yang tinggi tidak menjamin sehatnya informasi yang dikonsumsi

masyarakat, bahkan ia dapat menjadi trigger (pemicu) lahirnya sebuah gerakan radikal di
masyarakat sehingga berdampak pada menurunnya stabilitas keamanan. Agaknya perlu disadari
bahwa fungsi kontrol sosial yang dimiliki oleh media massa bukan tafsiran bahwa kontrol itu
semata-mata ditujukan untuk mengontrol pemerintah. Lebih dari itu, fungsi kontrol sosial media
massa berlaku untuk seluruh tatanan masyarakat dimana media itu hidup dan berkembang.
Ketiga, awak media juga harus bisa menggunakan nurani –alih-alih logika berpikir dalam
menjalankan tugas dan fungsinya, serta harus mampu memisahkan diri dari intervensi pemilik
media dalam melakukan praktik jurnalistik. Kontrol sosial harus dijalankan sesuai dengan aturan
sebenarnya, yaitu, untuk menjaga stabilitas dan keberlangsungan pembangunan masyarakat,
bangsa, dan negara. Tidak selamanya “manusia menggigit anjing” itu adalah berita.
Referensi:
Hadi, Ido Prijana. 2007. Cultivation Theory; Sebuah Perspektif Teoritik dalam Analisis Televisi.
Jurnal Ilmiah Scriptura Vol. 1, No.1 tahun 2007.
Harahap, Krisna. 2000. Kebebasan Pers di Indonesia Dari Masa Ke Masa. Bandung: Grafiti
Budi Utami.
Putra, I Gusti Ngurah. 2008. Ketika Wacthdog Dipelihara Para Juragan: Kontrol Pengusaha
Terhadap Media Massa. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. 12, No. 2 tahun 2008.
Rivers, William L., Jay W. Jensen, & Theodore Peterson. 2008. Media Massa dan Masyarakat
Modern; Edisi Kedua. Jakarta: Kencana.


Media Massa dan Masyarakat Kontemporer

Rohim, Syaiful. 2009. Teori Komunikasi; Perspektif, Ragam, dan Aplikasi. Jakarta: Rineka
Cipta.
Sukardi, Wina Armada. 2009. Mencari Penanggungjawab Pers. Jurnal Komunikasi Universitas
Tarumanagara tahun I/01/2009.
Triyono, Agus. 2012. Produksi Teks Dalam Perspektif Ekonomi Politik Media. Jurnal
KomuniTi, Vol. IV, No. 1 Januari 2012.