GERAK KULTURAL MUHAMMADIYAH

GERAK KULTURAL MUHAMMADIYAH
Muhammadiyah sebenarnya paling berhak untuk menyandang predikat sebagai
gerakan Islam yang bercorak kultural. Apa yang dilakukan Muhammadiyah sejak
berdirinya lebih menunjukkan karya-karya da’wah yang langsung berkaitan dengan
kepentingan masyarakat. Melalui amal usaha dan kegiatan-kegiatan yang menyentuh
masalah pendidikan, kesejahteraan sosial, pembinaan moral, dan aktivitas sosial yang
membawa perubahan bagi umat dan masyarakat luas. Gerakan perempuan yang
dilakukan Kyai Dahlan melalui berdirinya Aisyiyah juga menunjukkan kiprah
pemberdayaan kaum perempuan yang khas. Muhammadiyah benar-benar menjadi
gerakan keagamaan yang bertautan dengan kepentingan perubahan mencerahkan hajat
hidup dan nasib masyarakat.
Muhammadiyah juga memilih tidak bergerak di dunia politik. Sikap politik
Muhammadiyah pada waktu itu banyak disalurkan melalui Syarikat Islam. Pendekatan
Muhammadiyah terhadap masyarakat sangat moderat dan mencita-citakan terbentuknya
masyarakat yang “khaira ummah”. Itulah karakter gerakan Muhammadiyah yang bersifat
kultural.
Muhammadiyah tidak melibatkan diri dalam percaturan riel-politics, yang dalam
istilah awam disebut politik praktis. Muhammadiyah juga belum pernah menjadi partai
politik, kendati pernah dalam sejarahnya berkecimpung dalam pergumulan politik
melalui Masyumi. Semua itu menggambarkan corak gerakan Muhammadiyah yang
kulturalis. Tak berlebihan jika para ahli Indonesia seperti George T. Kahin, Wertheim, dan

Clifford Geertz memberi atensi pada watak Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan
yang bercorak kultural ketimbang politik itu.
Dalam pergumulan Indonesia di masa reformasi, corak kultural Muhammadiyah
juga sangat tampak. Jika ada organisasi Islam lain yang selama ini disebut-sebut sebagai
bercorak kultural dan mewakili Islam “civil society”, tetapi pada kenyataannya justru
banyak terlibat dalam percaturan politik langsung dan bahkan menunjukkan perilaku
politik yang sangat fanatik dalam mencita-citakan kursi kekuasaan. Muhammadiyah tetap
konsisten sebagai gerakan yang non politik. Muhammadiyah malah cukup dewasa untuk
tidak terseret pada fanatisme dan kekerasan politik sebagai perangai yang berlawanan
dengan prinsip-prinsip demokrasi dan “civil society”. Kini, malah simpati terhadap
Muhammadiyah cukup baik.
Tetapi tentu ada catatan. Kini Muhammadiyah dituntut untuk mengartikulasikan
gerakan kulturalnya secara lebih tajam dan mencerahkan. Muhammadiyah masih
ketinggalan dalam merespons isu-isu dan masalah-masalah baru yang tumbuh di
masyarakat. Masalah demokratisasi, hak asasi manusia, pluralisme, kaum buruh,
masyarakat pedesaan, masyarakat abangan, seni budaya, “civil society”, kaum
perempuan, masalah kekerasan, dan gaya hidup massa. Juga dalam menghadapi berbagai
masalah yang mengakar dan menjadi bagian sehari-hari kehidupan masyarakat bawah.
Muhammadiyah perlu pisau dan cara baru dalam menjawab masalah-masalah tersebut.
Selama ini juga ada sisi keras dari da’wah Muhammadiyah. Karena tekad untuk

melakukan purifikasi atau pemurnian, maka pendekatan pemberantasan syirk, tahayul,
bid’ah, dan khurafat dengan gaya Wahabi mungkin masih membekas dalam sebagian
gerak da’wah Muhammadiyah. Dulu, menurut Dr. Kuntowijoyo, pilihan da’wah
Muhammadiyah semacam itu, memang merupakan keniscayaan karena kondisi

kebudayaan masyarakat yang serba mubazir dan irrasional. Tetapi, kini mulai muncul
kerinduan untuk memperhatikan masalah spiritual dan kebudayaan di masyarakat.
Muhammadiyah memerlukan formulasi da’wah kultural yang baru. Maka, tema da’wah
kultural menjadi sangat kena dalam konteks Muhammadiyah saat ini.
Muhammadiyah kendati tidak berpolitik-praktis, juga bukan berarti alergi
terhadap politik. Malah akan naif jika Muhammadiyah anti-politik, tetapi ingin
menikmati hasil dari kerja-kerja politik. Politik tetap penting, sebagaimana ekonomi dan
bidang kehidupan lain. Muhammadiyah bahkan dituntut untuk memberi warna moral dan
spiritual dalam dunia politik. Di situ, da’wah kultural juga dapat menyentuh dimensi
politik. Politik yang bermoral dan berwajah kultural.
Kita percaya, para elit pimpinan Muhammadiyah yang bermusyawarah di Sidang
Tanwir Denpasar, dapat merespons isu-isu kultural yang aktual itu. Pisau analisis dan
tafsir keagamaan dari segenap cerdik-pandai dan pimpinan Muhammadiyah kini sedang
diuji. Bila perlu, Muhammadiyah melahirkan tajdid jilid kedua untuk merespon dunia
saat ini. Muhammadiyah malah memerlukan pencerahan baru, ketika dituntut untuk

melakukan pencerahan untuk umat dan bangsa. Selamat bertanwir. Dan selamat
menunaikan da’wah kultural! *HNs.

Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 2 2002