DAKWAH KULTURAL PEMUDA MUHAMMADIYAH
DAKWAH KULTURAL PEMUDA MUHAMMADIYAH
Mustofa W Hasyim
Kalau mau Pemuda Muhammadiyah yang awal bulan ini sedang melaksanakan
Muktamar XII di Surabaya dapat menjadi ujung tombak dari pelaksanaan dakwah
kultural yang tengah digalakkan oleh persyarikatan. Mengapa bisa menjadi ujung
tombak? Karena usia muda dari para pemuda itu masih menyimpang energi kreatif yang
sangat tinggi sehingga mampu melakukan berbagai penjelajahan kultural yang diperlukan
untuk mensukseskan dakwah kultural.
Dengan simpanan energi kreatif yang tinggi bagai magma ini para pemuda yang
bergabung dalam Pemuda Muhammadiyah sesungguhnya mampu melakukan
penjelajahan simbolik, penjelajahan tematik dan penjelajahan estetik, plus penjelajahan
etik. Kekayaan simbolik yang tersimpan dalam budaya lokal, dalam budaya Islam global,
dalam budaya modern dan budaya pasca modern mampu mereka jelajahi kemudian
mereka transformasikan menjadi kekayaan simbolik baru yang mampu menjawab
tantangan dan kebutuhan masyarakat dan manusia abad 21 ini. Sedang kekayaan tematik
yang tersimpan dalam memori kolektif, tersimpan dalam kesadaran kolektif maupun yang
tersimpan dalam jutaan pengalaman manusia aktual sekarang ini sesungguhnya sangat
menantang untuk digali, dipilih, digosok dan diolah menjadi berbagai karya dan ekspresi
tematik yang baru. Tentu saja agar karya dan ekspresi tematik itu dapat unggul dan terjual
di pasar budaya diperlukan upaya yang amat serius untuk melakukan penjelajahan estetik.
Sebab bahasa luar dari karya budaya biasanya dipahami dan dikenali dalam bentuk
bahasa estetik itu tadi. Betapapun dahsyatnya kemampuan menjelajahi serba
kemungkinan tema yang dahsyat-dahsyat, semua itu akan macet dan menjadi mentah
manakala bahasa atau ekspresi estetiknya kedodoran. Lewat pendidikan formal ( di
lembaga pendidikan seni dan di fakultas ilmu budaya), atau lewat penjelajahan sendiri
secara otodidak maka kemampuan untuk meramu, mengolah, menstrukturkan, dan
memformulakan berbagai gagasan tematik yang dahsyat dan berkelas menjadi bentukbentuk ekspresi yang juga dahsyat dan kelas satu dapat berfungsi optimal.
Akan tetapi semua tadi, dalam konteks dakwah dan dalam konteks perjuangan budaya,
akan menjadi sia-sia dan miskin makna manakala dalam kerja budaya di atas tidak
disertai dengan penjelajahan etik. Wacana etik sekarang ini terus berkembang, terus
memperkaya diri, mengalami pelahiran-pelahiran baru, sampai pada munculnya apa yang
disebut sebagai global etics. Maksudnya karya kultural yang kelas satu hampir akan
kehilangan alamat dalam semesta kehidupan manusia manakala tidak ramah etik dan
peduli etik. Inilah yang menyebabkan Hadiah Nobel dan berbagai penghargaan seni rupa
dan sinema terus mampu melahirkan karya baru, nyaris selalu mengejutkan, sekaligus
menyadarkan bahwa manusia sekarang memang berada di berbagai persimpangan etik
tadi. Sebab karya yang mendapat hadiah itu senantiasa menyertakan penjelajahan etik
yang dilakukan oleh penciptanya.
Masalahnya bagi Pemuda Muhammadiyah, mampukah segenap elemen ormas ini
mengaktualisasi potensi dan energi kreatif untuk melakukan penjelajahan simbolik,
penjelajahan tematik, penjelajahan estetik dan penjelajahan etik yang semuanya
merupakan wilayah budaya yang amat menantang ini? Kalau bisa dari mana dimulai?
Apakah dengan menerapkan strategi klasik, dengan membuat struktur yang khusus
menangani problem dan tantangan dakwah kultural di Pemuda Muhammadiyah?
Misalnya dengan mencantumkan Lembaga, departemen, seksi Seni Budaya? Atau
menerapkan strategi baru dengan menempatkan kesadaran dakwah kultural dengan
berbagai kemungkinan di atas dalam keseluruhan tubuh Pemuda Muhammadiyah? Atau
dengan memilih titik strategis mana dari wilayah budaya yang sekaligus menjadi wilayah
dakwah itu?
Sebagai pemicu inspirasi dapat saya ingatkan bahwa pada tahun 1970-1980an, para
aktivis Pemuda Muhammadiyah di Ngadinegaran yang termasuk dalam PCPM
Mantrijeron Yogyakarta (berdasar visi Mas Harun Al Rosyid) pernah menyimpulkan
bahwa ada 3 titik strategis dari ekspresi budaya. Pertama musik, dengan berkolaborasi
dengan mahasiswa dan dosen AMI (Akademi Musik Indonesia sebelum bergabung
dengan ISI) lomba koor dan pentas musik. Kedua, retorika, dengan menyelenggarakan
lomba pidato bersama NA. Ketiga, menyelenggarakan lomba penulisan cerpen untuk
pemuda dan pelajar, ini berkolaborasi dengan Pemuda Muhammadiyah Wilayah DIY.
Dua puluh tahun kemudian kita menyaksikan bagaimana hadirnya zaman musik, zaman
pidato dan zaman cerpen/sastra fisksi yang menggerilya sampai ke ruang sinetron
sekarang ini. Visi mas Harun ternyata tepat. Nah, apakah ada di antara peserta Muktamar
Pemuda Muhammadiyah ada yang memiliki visi kultural yang jenial seperti itu? Kalau
yang memiliki visi struktural barangkali tak usah disebut, sudah amat banyak sekali.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 13 2002
Mustofa W Hasyim
Kalau mau Pemuda Muhammadiyah yang awal bulan ini sedang melaksanakan
Muktamar XII di Surabaya dapat menjadi ujung tombak dari pelaksanaan dakwah
kultural yang tengah digalakkan oleh persyarikatan. Mengapa bisa menjadi ujung
tombak? Karena usia muda dari para pemuda itu masih menyimpang energi kreatif yang
sangat tinggi sehingga mampu melakukan berbagai penjelajahan kultural yang diperlukan
untuk mensukseskan dakwah kultural.
Dengan simpanan energi kreatif yang tinggi bagai magma ini para pemuda yang
bergabung dalam Pemuda Muhammadiyah sesungguhnya mampu melakukan
penjelajahan simbolik, penjelajahan tematik dan penjelajahan estetik, plus penjelajahan
etik. Kekayaan simbolik yang tersimpan dalam budaya lokal, dalam budaya Islam global,
dalam budaya modern dan budaya pasca modern mampu mereka jelajahi kemudian
mereka transformasikan menjadi kekayaan simbolik baru yang mampu menjawab
tantangan dan kebutuhan masyarakat dan manusia abad 21 ini. Sedang kekayaan tematik
yang tersimpan dalam memori kolektif, tersimpan dalam kesadaran kolektif maupun yang
tersimpan dalam jutaan pengalaman manusia aktual sekarang ini sesungguhnya sangat
menantang untuk digali, dipilih, digosok dan diolah menjadi berbagai karya dan ekspresi
tematik yang baru. Tentu saja agar karya dan ekspresi tematik itu dapat unggul dan terjual
di pasar budaya diperlukan upaya yang amat serius untuk melakukan penjelajahan estetik.
Sebab bahasa luar dari karya budaya biasanya dipahami dan dikenali dalam bentuk
bahasa estetik itu tadi. Betapapun dahsyatnya kemampuan menjelajahi serba
kemungkinan tema yang dahsyat-dahsyat, semua itu akan macet dan menjadi mentah
manakala bahasa atau ekspresi estetiknya kedodoran. Lewat pendidikan formal ( di
lembaga pendidikan seni dan di fakultas ilmu budaya), atau lewat penjelajahan sendiri
secara otodidak maka kemampuan untuk meramu, mengolah, menstrukturkan, dan
memformulakan berbagai gagasan tematik yang dahsyat dan berkelas menjadi bentukbentuk ekspresi yang juga dahsyat dan kelas satu dapat berfungsi optimal.
Akan tetapi semua tadi, dalam konteks dakwah dan dalam konteks perjuangan budaya,
akan menjadi sia-sia dan miskin makna manakala dalam kerja budaya di atas tidak
disertai dengan penjelajahan etik. Wacana etik sekarang ini terus berkembang, terus
memperkaya diri, mengalami pelahiran-pelahiran baru, sampai pada munculnya apa yang
disebut sebagai global etics. Maksudnya karya kultural yang kelas satu hampir akan
kehilangan alamat dalam semesta kehidupan manusia manakala tidak ramah etik dan
peduli etik. Inilah yang menyebabkan Hadiah Nobel dan berbagai penghargaan seni rupa
dan sinema terus mampu melahirkan karya baru, nyaris selalu mengejutkan, sekaligus
menyadarkan bahwa manusia sekarang memang berada di berbagai persimpangan etik
tadi. Sebab karya yang mendapat hadiah itu senantiasa menyertakan penjelajahan etik
yang dilakukan oleh penciptanya.
Masalahnya bagi Pemuda Muhammadiyah, mampukah segenap elemen ormas ini
mengaktualisasi potensi dan energi kreatif untuk melakukan penjelajahan simbolik,
penjelajahan tematik, penjelajahan estetik dan penjelajahan etik yang semuanya
merupakan wilayah budaya yang amat menantang ini? Kalau bisa dari mana dimulai?
Apakah dengan menerapkan strategi klasik, dengan membuat struktur yang khusus
menangani problem dan tantangan dakwah kultural di Pemuda Muhammadiyah?
Misalnya dengan mencantumkan Lembaga, departemen, seksi Seni Budaya? Atau
menerapkan strategi baru dengan menempatkan kesadaran dakwah kultural dengan
berbagai kemungkinan di atas dalam keseluruhan tubuh Pemuda Muhammadiyah? Atau
dengan memilih titik strategis mana dari wilayah budaya yang sekaligus menjadi wilayah
dakwah itu?
Sebagai pemicu inspirasi dapat saya ingatkan bahwa pada tahun 1970-1980an, para
aktivis Pemuda Muhammadiyah di Ngadinegaran yang termasuk dalam PCPM
Mantrijeron Yogyakarta (berdasar visi Mas Harun Al Rosyid) pernah menyimpulkan
bahwa ada 3 titik strategis dari ekspresi budaya. Pertama musik, dengan berkolaborasi
dengan mahasiswa dan dosen AMI (Akademi Musik Indonesia sebelum bergabung
dengan ISI) lomba koor dan pentas musik. Kedua, retorika, dengan menyelenggarakan
lomba pidato bersama NA. Ketiga, menyelenggarakan lomba penulisan cerpen untuk
pemuda dan pelajar, ini berkolaborasi dengan Pemuda Muhammadiyah Wilayah DIY.
Dua puluh tahun kemudian kita menyaksikan bagaimana hadirnya zaman musik, zaman
pidato dan zaman cerpen/sastra fisksi yang menggerilya sampai ke ruang sinetron
sekarang ini. Visi mas Harun ternyata tepat. Nah, apakah ada di antara peserta Muktamar
Pemuda Muhammadiyah ada yang memiliki visi kultural yang jenial seperti itu? Kalau
yang memiliki visi struktural barangkali tak usah disebut, sudah amat banyak sekali.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 13 2002