SEJARAH PERKEMBANGAN ALIRAN KEROKHANIAN SAPTA DARMA DAN RESPON UMAT ISLAM DI DESA BALONGDOWO SIDOARJO (1985-2015).
SEJARAH PERKEMBANGAN ALIRAN KEROKHANIAN
SAPTA DARMA DAN RESPON UMAT ISLAM DI DESA
BALONGDOWO SIDOARJO
(1985-2015)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)
Oleh: Tri Yuliani NIM: A3.22.12.107
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN) SUNAN AMPEL
SURABAYA
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Sejarah Perkembangan Aliran Kerokhanian Sapta Darma
di Desa Balongdowo Sidoarjo Tahun 1985 – 2015”. Adapun fokus penelitian yang
dibahas dalam skripsi adalah (1) Bagaimana sejarah masuknya aliran kerokhanian sapta darma di desa Balongdowo? (2) Bagaimana perkembangan aliran kerokhanian sapta darma di desa Balongdowo? (3) Bagaimana tantangan dan respon masyarakat terhadap aliran kerokhanian sapta darma di desa Balongdowo?
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode sejarah dengan pendekatan sosiologi. Metode sejarah digunakan untuk mendiskripsikan peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Pendekatan sosiologi digunakan untuk dapat menjelaskan perkembangan aliran kerokhanian sapta darma di Desa Balongdowo. Untuk menganalisa perkembangan
Aliran Kerokhanian Sapta Darma digunakan teori Development (Perkembangan), teori
yang memusatkan perhatian pada dinamika proses pembentukan, perubahan dan kemajuan dalam hidup kepercayaan orang.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa (1) Aliran kerokhanian sapta darma masuk di Desa Balongdowo pada tahun 1985 yang dibawa oleh seorang warga kota Bangil Pasuruan bernama Pak Kusen. (2) Perkembangan aliran kerokhanian sapta darma dapat dilihat dari kerja keras warga aliran sapta darma dengan dibentuknya
sistem kepengurusan dan strategi pengembangan yang baik yaitu, Kegiatan Rutin
Tentang Pembinaan, Kegiatan Khusus, Kegiatan Bidang Kemasyarakatan, Kegiatan Remaja. (3) Tantangan dan respon masyarakat terhadap aliran sapta darma yaitu masih adanya anggapan sesat, anggapan sebagai sarang penyusup komunis, sebagai kaum minoritas yang belum mendapat legalitas Negara. Terdapat beberapa respon dari masyarakat yang menerima, menolak, dan netral dengan adanya aliran kerokhanian sapta darma di Desa Balongdowo.
(7)
ABSTRACT
This thesis entitled "The History of Sapta Darma Kerokhanian stream in the village of Balongdowo Sidoarjo Year 1985 - 2015". The focus of the research discussed in the thesis are: (1) What is the history inflows sapta kerokhanian Balongdowo dharma in the village? (2) How is the development stream in the village kerokhanian sapta darma Balongdowo? (3) How is the challenge and the public response to the flow of kerokhanian sapta Balongdowo dharma in the village?
In this study, the authors use the method of history with sociological approach. The historical method used to describe the events that happened in the past. Sociological approach is used to explain the development stream in the village kerokhanian sapta darma Balongdowo. To analyze the development of Sapta Darma used Kerokhanian flow theory Development (Development), a theory which focuses on the dynamics of the process of formation, change and progress in life people's beliefs.
The results of this study concluded that (1) Flow kerokhanian sapta Balongdowo darma entrance in the village in 1985 brought by a citizen named Mr. Sills bangil. (2) Sapta Dharma Developments kerokhanian flow can be seen from the hard work of citizens sapta flow darma with the establishment of the management system and a good development strategy, namely, Routine Activity About Development, Special Events, Event Social Affairs, Youth Activity. (3) Challenges and the public response to the flow of sapta dharma is still the misguided assumption, the assumption as a hotbed of communist infiltrators, as minorities who have not received the legality of the State. There are several responses from people who accept, reject, and neutral with the flow kerokhanian sapta Balongdowo dharma in the village.
(8)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………...……….. i
PERNYATAAN KEASLIAN ………. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ………...……….. iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ………..….… iv
PEDOMAN TRANSLITEARSI ………...………….…..…v
MOTTO ………..……... vi
ABSTRAK ………..………....… vii
KATA PENGANTAR ………..………ix
DAFTAR ISI ………...……….… xi
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….………....…. 1
B. Rumusan Masalah ………..……...11
C. Tujuan Penelitian ……….……12
D. Kegunaan Penelitian .………....………..…..…...12
E. Pendekatan dan Kerangaka Teoritik ………..………...…...13
F. Penelitian terdahulu ….………..……... 14
G. Metode penelitian ………..……….… 15
H. Sistematika Pembahasan ………...………..….... 18
BAB II : KONDISI MASYARAKAT DESA BALONGDOWO A. Letak Geografis Desa Balongdowo…………..….……… 20
(9)
B. Demografis………..…... 21
C. Keadaan Sosial Masyarakat Desa Balongdowo…….…...…..25
1. Kondisi Sosial………...25
2. Kondisi Sosial Agama………..28
3. Kondisi Sosial Ekonomi………...32
BAB III : MASUK DAN BERKEMBANGNYA ALIRAN KEROKHANIAN SAPTA DARMA DI DESA BALONGDOWO
A. Sejarah Masuknya Aliran Kerokhanian Sapta Darma………35
B. Perkembangan Aliran Kerokhanian Sapta Darma…………..…....40
C. Faktor Pendorong Perkembangan Aliran Kerokhanian Sapta
Darma……….47
BAB IV : TANTANGAN DAN RESPON MASYARAKAT TERHADAP ALIRAN KEROKHANIAN SAPTA DARMA DI DESA BALONGDOWO
A. Tantangan Aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa
Balongdowo………...…....……….52
B. Respon Masyarakat terhadap Aliran Kerokhanian Sapta Darma
1. Respon Masyarakat Nahdlatul Ulama
(NU)………..………55
2. Respon Masyarakat Muhammadiyah………...58
3. Respon Warga Aliran Kerokhanian Sapta
Darma………...61 BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ……….…………...………..….64
B. Saran ……..……….………..……..…..66
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
(10)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dalam kaitannya dengan norma-norma, menyadari bahwa kehidupan mereka berada dalam jalan yang baik dan mulia. Kebutuhan rohani menyebabkan timbulnya pertannyaan siapa Tuhan dan siapa manusia di
hadapan Tuhan.1
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai budaya spiritual merupakan warisan Bangsa Indonesia. Sebagai kebudayaan rohaniah, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa telah dihayati oleh nenek moyang Bangsa Indonesia.
Religi yang menjadi ciri utama dari kebudayaan spiritual itu telah berakar dari kebudayaan nenek moyang sebelum agama-agama yang ada dan diakui di Indonesia. Untuk itu maka kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai budaya spiritual adalah bagian dari kebudayaan nenek moyang kita yang telah lama menunjukkan eksistensinya.
Aliran kepercayaan dan kebatinan memang bukan agama dan bukan pula merupakan agama baru, tetapi aliran kepercayaan dan kebatinan ini telah mengakar dalam diri masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu tak heran apabila
1 Rahmat Subagya, Kepercayaan Kebatinan, Kerohanian Kejiwaan dan Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 89.
(11)
2
banyak diantara masyarakat jawa yang hingga saat ini mempercayai, bahkan menganutnya.
Kebatinan adalah hasil pemikiran manusia yang menimbulkan suatu aliran kepercayaan dalam dada penganutnya dengan membawakan tata cara tertentu yang bertujuan untuk mengetahui hal-hal yang gaib, bahkan untuk mencapai persekutuan dengan apa yang mereka anggap Tuhan secara perenungan batin, sehingga dengan pemikiran menurut pendapatnya mencapai budi luhur untuk kesempurnaan hidup di masa sekarang dan masa mendatang
sesuai dengan konsepsi sendiri.2
Dalam aliran kebatinan terdapat variasi-variasi diantara aliran kebatinan yang ada, baik dalam sifat ajaran, tujuan maupun bentuk upacara ritualnya. Dari pengamatan terhadap ajaran kebatinan yang bervariasi dapat dilakukan pengelompokan aliran-aliran kebatinan tersebut menjadi empat golongan, Pertama, golongan yang akan menggunakan kekuatan gaib untuk
melayani berbagai keperluan manusia. Kedua, golongan yang hendak
menyatukan jiwa manusia dengan Tuhan selagi manusia masih hidup. Ketiga, golongan yang berniat untuk mengenal hakikat Tuhan dan akan menembus
rahasia ajaran “Sangka Paraning Dumadi” , yaitu rahasia tentang darimana
asal usul manusia dan hendak kemana arah yang hendak dituju manusia. Dan
golongan Keempat, golongan yang menaruh hasrat untuk menempuh “Budhi
(12)
3
Luhur” selagi di dunia ini, setra hendak menciptakan masyarakat yang
mengindahkan Tuhan.3
Melihat realita diatas, aliran-aliran kepercayaannya dan kebatinan dalam segala unsur-unsur materi dan hakekatnya berbeda dari pada agama, Materi agama bukan merupakan hasil pemikiran dan perenungan manusia. Sedangkan materi kebatinan sebagai kreasi manusia dengan mencampur-adukkan beberapa kepercayaan, mulai dari kepercayaan animisme dan dinamisme zaman klasik pra sejarah, ajaran dewa-dewa dengan dan kepercayaan-kepercayan kuno, teknik-teknik yoga, mistik, tasawuf, filsafat, psikologi, bahkan sampai mengambil pula hipotesa-hipotesa ilmu dewasa ini yang dapat menumbuhkan kultus-kultus individu kepada pemimpin atau
pendiri pertama oleh para penganutnya.4
Paparan mengenai kebatinan diatas memberikan makna bahwa antara kebatinan dan agama berbeda. Agama pada dasarnya mempunyai tiga ajaran pokok, yaitu keimanan, ibadah, dan akhlak. “Keimanan” (kepercayana dalam agama) tidaklah sama dengan “Kepercayaan” (hasil budaya manusia). Keimanan dalam agama mata dari Tuhan dan yang diimani semata-mata dari wahyu yang diberikan kepada Nabi-Nya. Pemeluk agama hanyalah mempercayai apa yang diperintahkan agama untuk dipercayai, karena mempercayai (mengimani) sesuatu di luar ketentuan agama merupakan suatu
3 Hadi Sanadi (Ketua Tuntunan KSD Kabupaten), Wawancara, Sidoarjo, 23 Maret 2016. 4 Rahnip, Aliran Kepercayaan dan Kebatinan dalam Sorotan,11.
(13)
4
keingkaran terhadap agama tersebut.5 Paparan ini memberikan sebuah
perbedaan dimana apabila kebatinan hanya mengkususkan pada sisi kepercayaan, sedangkan agama selain mengandung kepercayaan juga harus ada keimanan dan ibadah.
Lain halnya dengan “kepercayaan” yang berdasarkan pemikiran manusia, apa yang dipercayai tidak berdasarkan agama, melainkan berdasarkan apa yang ia rasa dan menurut pemikirannya yang patut untuk dipercayai. Oleh karena itu tingkat pemikiran manusia berbeda-beda dan apa yang menurut pemikirannya patut untuk dipercayai itu bermacam-macam. Maka hasil pemikirannya pun berbeda-beda begitu pula dengan kepercayaannya.
Gerakan kebatinan di Jawa berkembang dengan pesat, kemajuan itu ditandai dengan diadakannya konggres pada tanggal 19 dan 20 Agustus 1955 di Semarang. Banyak kelompok kebatinan yang ada di Pulau Jawa hadir pada waktu itu dengan tujuan mempersatukan semua organisasi yang ada di Jawa. Kongres berikutnya dilaksanakan pada tanggal 7 Agustus 1956 di Surakarta sebagai lanjutannya dihadiri oleh lebih dari 2000 peserta yang mewakili 100 organisasi. Pertemuan itu berhasil mendirikan Organisasi Kebatinan Indonesia
5 Abd. Mutholib Ilyas, Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia (Surabaya: CV. Amin Surabaya, 1988), 10.
(14)
5
(BKKI) yang kemudian juga menyelenggarakan dua kongres seminar
mengenai masalah kebatinan dalam tahun 1956, 1961 dan 1962.6
Dalam kongres kedua ini dinyatakan bahwa mistisisme kebatinan bukan agama baru melainkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan beragama pada umumnya. Kongres kedua ini dihadiri oleh 2000 orang perwakilan, dengan 2.000.000 orang di seluruh Indonesia.
Sebelum diadakan kongres kebatinan tersebut pada tahun 1952 kementrian agama yang didominasi orang Islam mengajukan definisi sempit tentang agama. Agar memperoleh suatu agama harus mempunyai nabi dan kitap suci, selain itu juga harus di akui pada tingkat internasional. Definisi tersebut jelas menutup peluang mistisisme untuk menjadi agama sah, karena bagi kalangan penganut kebatinan Tuhan itu ada satu hati bukan lewat
perantara maupun kitab suci.7
Aliran kepercayaan dan kebatinan di Indonesia ini banyak sekali. Mereka mempunyai beragam hal yang antara satu dan lainnya berbeda. Perbedaan itu mulai dari perbedaan pemikiran, kepercayaan, materi, hingga ritual yang dilakukan. Diantara berbagai macam aliran kepercayaan dan kebatinan tersebut ialah aliran kepercayaan dan kebatinan Sapta Darma.
Sapta Darma merupakan salah satu aliran kerohanian yang cukup ternama dan banyak dianut oleh masyarakat Indonesia khususnya di
6 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), 366. 7 Ibid., 367.
(15)
6
kepulauan Jawa, di samping tersebar pula di hampir seluruh pelosok nusantara. Aliran kerohanian Sapta Darma memiliki corak dan ajaran yang menjurus pada pengolahan rohani, sehingga sering disebut dengan “Kerohanian Sapta Darma”. Pendiri Sapta Darma adalah Hardjosapuro, yang lahir di desa Sanding Pare Kediri. Pendidikannya hanya Sekolah Rakyat 5 tahun dan tamat tahun 1925 di Pare Kediri.
Hardjosapuro sebagai penerima wahyu pertama ajaran Sapta Darma kemudian menyampaikan ajaran Sapta Darma. Pertama kali ajaran Sapta Darma disampaikan kepada teman-teman terdekatnya, kemudian disampaikan kepada masyarakat di sekitar lingkungan tempat tinggal Hardjosapuro yaitu di kota Pare Kabupaten Kediri Jawa Timur.
Ajaran kerokhanian Sapta Darma sebagai salah satu aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa lahir di tengah-tengah masyarakat Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, di tengah situasi krisis Bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan. Turunnya Mewarah Kerokhanian Sapta Darma merupakan kehendak mutlak dari Hyang Maha Kuasa dan bukan rekayasa atau racikan orang-perorang, melainkan asli diterima oleh Putra Bangsa Indonesia yaitu Bapak Hardjosopoero yang selanjutnya dikenal dengan nama atau gelar Penuntun Agung Sri Gutama pada
tanggal 27 Desember 1952 di Pare, Kediri, Jawa Timur.8
8Gendro “Remaja Kerokhanian Sapta Darma: Sejarah” dalam http://remaja7darma.blogspot.ae/p/sejarah.html?m=1 (6 Maret 2016)
(16)
7
Setiap anggota Sapta Darma mempunyai kewajiban untuk menjalankan dan mengamalkan tujuh kewajiban dalam hidupnya. Kewajiban tersebut meliputi kewajiban yang bersifat vertikal dan horizontal. Kewajiban vertikal adalah kewajiban manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Kewajiban horisontal adalah kewajiban hidup manusia
berhubungan dengan Negara.9
Kerokhanian Sapta Darma mempunyai kewajiban yang utama disamping kewajiban lain yang biasa disebut amal suci Sapta Darma. Setiap warga Sapta Darma diwajibkan menjalankan dua darma hidup, yaitu darma hidup rohani dan darma hidup jasmani. Tujuh kewajiban suci merupakan tujuh kewajiban yang wajib dilakukan bagi warga Sapta Darma. Tujuh kewajiban tersebut adalah sebagai berikut: Setia dan tawakkal kepada Pancasila Allah (Maha Agung, Maha Rahim, Maha Adil, Maha Kuasa, dan Maha Kekal), jujur dan suci hati menjalankan undang-undang Negara, turut menyingsingkan lengan baju menegakkan nusa dan bangsa, menolong siapa saja tanpa pamrih, melainkan atas dasar cinta kasih, berani hidup atas kepercayaan penuh pada kekuatan diri-sendiri, hidup dalam bermasyarakat dengan susila dan disertai halusnya budi pekerti, yakin bahwa dunia ini tidak
abadi, melainkan berubah-ubah (angkoro manggilingan).10
9
Hadi Suprayitno (Ketua umum PERSADA Kabupaten), Wawancara, Sidoarjo, 6 Maret 2016. 10Hadi Sanadi (ketua Tuntunan KSD Kabupaten), Wawancara, Sidoarjo, 21 Februari 2016.
(17)
8
Sapta Darma sebagai salah satu kepercayaan, mempunyai tujuan untuk membentuk kerohanian dan budi luhur dengan berusaha membina kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, juga membimbing manusia, menuju pada kesempurnaan hidup, baik mental maupun spiritual melalui
ilham-ilham Sapta Darma yang diterima oleh Panutan Agung.11 Karena itu,
Sapta Darma sebagai jalan kerokhanian memberikan arti hidup manusia yang sebenarnya pada penganutnya. Dirasakan pada saat ini, bahwa manusia telah banyak melanggar tata tertib kehidupan, dalam krisis moralitas agama. Semakin lama manusia semakin lupa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dari keprihatinan di atas, Sapta Darma berusaha untuk meningkatkan keyakinan dan jiwa yang tinggi, dengan berusaha mengembalikan manusia sebagai warga Negara yang berkemanusiaan dan berketuhanan yang tinggi.
Perkembangan aliran Kerokhanian Sapta Darma diawali dengan Hardjosapuro dan para pengikutnya melakukan perjalanan ke daerah-daerah, dari kota ke kota untuk menyampaikan ajaran Sapta Darma kepada masyarakat luas. Dalam perjalanan ini Hardjosapuro dan pengikutnya juga melakukan “Peruwatan”. “Peruwatan” adalah semacam ritual untuk membuang sengkala atau hal-hal yang dianggap tidak baik.
Dalam perjalanan menyebar luaskan ajaran Sapta Darma
Hardjosapuro, singgah dari kota ke kota. Salah satu kota yang disinggahinya
adalah Kota Sidoarjo khususnya di Desa Balongdowo rt. 01 rw. 02
(18)
9
Kecamatan Candi, Aliran Kerokhanian Sapta Darma mulai berkembang pada tahun 1985,12 yang dibawa oleh salah seorang warga Kota Bangil Pasuruan
bernama Pak Kusen, Pak Kusen mengenal Aliran Kerokhanian Sapta Darma dari salah seorang temanya yang berasal dari Buduran Sidoarjo yang bernama Pak Karim. Semenjak itu Aliran Kerokhanian Sapta Darma langsung banyak diminati oleh warga sekitar, sehingga didirikan perkumpulan di rumah salah satu warga yang sekaligus ditunjuk sebagai Tuntunan Sanggar pertama kali saat itu yang bernama Pak Miskan.13
Kehidupan sosial yang berkembang dalam pergaulan sehari-hari di Desa Balongdowo antara masyarakat dan pengikut Aliran Kerokhanian Sapta
Darma terjalin sangat akrab dan harmonis. Hal ini dapat dilihat dari hubungan
yang terjalin pada saat salah satu warga ada yang meninggal, punya hajatan dan pada saat itulah mereka saling membantu.
Sejak awal berdirinya Aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa Balongdowo tidak berjalan dengan mudah. Banyak sekali tantangan dan rintangan yang berusaha untuk menghambat kemajuan Aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa Balongdowo. Tantangan dan rintangan yang dihadapi yaitu bahwa masih banyak adanya pandangan beberapa masyarakat yang masih menganggap bahwa Aliran Kerokhanian Sapta Darma merupakan aliran sesat. Setelah terjadinya peristiwa pemberontakan G.30.S.PKI Tahun 1965
12
Papan nama PERSADA Kabupaten Sidoarjo.
(19)
10
aliran Kerokhanian yang dianggap menjadi sarang penyusupan komunis, sehingga pada tahun 1966 pemerintah mengadakan pembersihan terhadap aliran-aliran yang berinfiltrasi PKI. Secara agama Aliran Kerokhanian Sapta Darma belum diakui oleh UUD dan keberadaannya belum mendapatkan legalitas dari pemerintah.
Selain menghadapi tantangan dan rintangan, dalam perkembangan Aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa Balongdowo juga harus berhadapan dengan respon masyarakat. Respon masyarakat Desa Balongdowo terhadap aliran Kerokhanian Sapta Darma yaitu: Menerima, meski bukan termasuk pengikut atau penganut Aliran Kerokhanian Sapta Darma berpendapat bahwa aliran tersebut tidak mengganggu dalam melakukan aktivitas spiritual maupun keseharian dan tidak sampai menimbulkan gejolak yang membawa kerugian bagi masyarakat setempat.14 Bersifat netral, menurut warga masyarakat yang berpendapat kurang setuju yaitu sejak keberadaan aliran Kerokhanian Sapta Darma ditengah-tengah masyarakat, mereka merasa asing sekali jika melihat cara mereka menghadap sang pencipta. Tetapi meskipun begitu keberadaan
mereka tidak membawa keresahan masyarakat Desa Balongdowo.15 Menolak,
masyarakat yang tidak setuju atas keberadaan Aliran Kerokhanian Sapta Darma yaitu selain mereka asing dengan ajaran Sapta Darma, mereka juga
14
Ahmad Zaini (Masyarakat NU Desa Balongdowo) Wawancara, Sidoarjo, 22 April 2016.
(20)
11
menghawatirkan akan membawa keburukan bagi masyarakat dalam pergaulan sehari-hari yang berpengaruh bagi anak-anak yang masih kecil.16
Fenomena yang terjadi dalam masyarakat seperti dipaparkan di atas sangat menarik bagi penulis untuk diteliti. Penulis ingin mencermati fenomena tersebut dengan melakukan penelitian mengenai perkembangan penganut gerakan kebatinan. Dalam penelitian ini penulis mengambil Organisasi Kebatinan Sapta Darma di Desa Balong Dowo Sidoarjo sebagai obyek penelitian. Ini dikarenakan organisasi ini merupakan salah satu dari lima aliran terbesar di Jawa. Untuk itu penelitian ini penulis bingkai dengan judul “Sejarah Perkembangan Aliran Kerokhanian Sapta Darma dan Respon
Umat Islam di Desa Balongdowo Sidoarjo tahun 1985-2015”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah masuknya aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa
Balongdowo Sidoarjo?
2. Bagaimana perkembangan aliran Kerohanian Sapta Darma di Desa
Balongdowo Sidoarjo?
3. Bagaimana respon masyarakat muslim terhadap aliran Sapta Darma di
Desa Balongdowo Sidoarjo?
(21)
12
C. Tujuan Penelitian
Dalam melakukan sebuah penelitian pasti telah dirumuskan tujuan penulisanya. Hal ini dilakukan agar sebuah penelitian tersebut memiliki arah yang jelas. Begitu juga dengan penelitian skripsi ini, penulis memiliki tujuan diantaranya:
1. Untuk mengetahui sejarah masuknya aliran Kerokhanian Sapta Darma di
Desa Balongdowo Sidoarjo.
2. Untuk mengetahui perkembangan aliran Kerokhanian Sapta Darma di
Desa Balongdowo Sidoarjo.
3. Untuk mengetahui respon masyarakat terhadap aliran Kerokhanian Sapta
Darma di Desa Balongdowo Sidoarjo. D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan yang dapat diambil dari penelitian skripsi ini ialah:
1. Secara Akademik (Praktis)
a. Hasil daripada penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber
informasi bagi penelitian di bidang kesejarahan.
b. Memberikan sumbangan wacana bagi perkembangan perbendaharaan
ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang sejarah.
2. Secara Ilmiah (Teoritis)
a. Penelitian ini diharapkan dapat dibaca dan diambil manfaatnya oleh banyak orang dan kelompok keagamaan Islam di Indonesia. Supaya kita semua tidak cepat menyikapi segala perbedaan dengan
(22)
13
buru, dan emosi. Selain itu semoga hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan untuk merumuskan kembali kerukunan umat beragama, khususnya dalam ukhuwah islamiyah.
b. Untuk memperkaya kajian sejarah di Indonesia khususnya yang
terkait dengan sejarah perkembangan aliran Kerokhanian Sapta Darma.
E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik
Penelitian skripsi yang berjudul “Sejarah Perkembangan Aliran
Kerokhanian Sapta Darma dan Respon Umat Islam di Desa Balongdowo Sidoarjo 1985-2015” ini merupakan penelitian lapangan yang bersifat kualitatif. Pendekatan yang akan peneliti gunakan merupakan pendekatan sosiologi. Dalam hal ini, penulis berusaha mengungkapkan latar belakang sejarah dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Aliran Kerokhanian Sapta Darma.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori yang dirumuskan oleh James W. Fowler yaitu:
1. Teori perkembangan atau Development yaitu usaha psikologi ilmiah untuk menguraikan dan menganalisis dinamika proses perkembangan tahap-tahap kepercayaan secara empiris dan teoritis. Dengan penekanan
pada aspek “perkembanagan”, maka penggunaan istilah “proses” pada
setiap bidang menjadi metaphor paling mendasar, yang meresapi semua proses cara kita menangani dan menafsirkan masing-masing pengalaman
(23)
14
dalam kepercayaan. Proses tersebut terwujud dalam urutan sejumlah tahap perkembangan kepercayaan, yaitu proses, dinamika, perkembangan, pertumbuhan, kemajuan, dan sebagainya.17
Menurut Fowler, semua proses yang akhirnya berfokus pada metaphor
perkembangan itu sangat sesuai pula untuk memahami hidup kepercayaan kita. Maka kita memusatkan perhatian pada dinamika proses pembentukan, perubahan dan kemajuan dalam hidup kepercayaan orang.18 Dari teori tersebut, diharapkan penulis dapat mengetahui dan perkembangan bahkan kemajuan dari Aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa Balongdowo Kecamatan Candi Kabupten Sidoarjo sebagai bentuk dari sebagian kepercayaan masyarakat Desa Balongdowo.
F. Penelitian Terdahulu
Kajian-kajian tentang aliran Sapta Darma dalam kegiatan akademika sejauh pengetahuan penulis sebenarnya sudah ada beberapa orang yang pernah meneliti, namun kebanyakan yang meneliti tentang ajarannya saja, sedangkan pada penelitian ini penulis lebih menekankan pada perkembangan aliran Kerokhanian Sapta Darma dari sejarah awal masuk dan berkembangnya aliran Kerokhanian Sapta Darma, dan respon masyarakat muslim terhadap aliran Kerokhanian Sapta Darma, sedangkan yang meneliti tentang perkembangan alirannya tersebut bisa dibilang jarang.
17
A. Supratiknya, Teori Perkembangan Kepercayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 24. 18Ibid.
(24)
15
Berikut ini hasil penelitian tentang ajaran Sapta Darma sebelumnya:
1. Skripsi, Muhammad Yusuf, 96522149, Prodi Perbandingan Agama,
Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, “Agama Islam Dalam Kerohanian Sapta Darma”, 2002, isi: unsur Agama Islam yang terdapat dalam Sapta Darma, mengapa agama Islam dapat masuk dalam kerohanian Sapta Darma dan mengapa unsur-unsur tertentu saja yang diserap.
2. Skripsi, Sri Munawaroh, 02510985, Prodi Filsafat Islam, Fakultas
Usuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, “Manusia Sempurna Menurut Ajaran Kerohanian Sapta Darma”, 2008, isi: bagaimana pandangan Kerokhanian Sapta Darma tentang manusia sempurna dan bagaimana jalan penghayatan menuju manusia sempurna menurut Kerokhanian Sapta Darma.
G. Metode Penelitian
Dalam penelitian, kegunaan sebuah metode penelitan memiliki peran yang cukup besar dalam keberlansungan sebuah penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sejarah yang terbagi atas empat tahapan yaitu:
1. Heuristic atau pengumpulan sumber yaitu suatu proses yang dilakukan oleh penulis untuk mengumpulkan sumber-sumber, data-data atau jejak masa
(25)
16
lampau.19 Dalam tahap ini peneliti berusaha mengumpulkan sumber-sumber yang berkaitan dengan objek penelitian yaitu Aliran Kerokhanian Sapta Darma. Dalam usaha untuk mengumpulkan sumber tersebut peneliti menemukan sumber-sumber yang terdiri dari sumber primer dan sumber sekunder.
a. Sumber Primer
1) Wawancara dengan ketua (tuntunan) dan beberapa tokoh dan pengikut Aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa Balongdowo Sidoarjo.
2) Karya tulis dari Sri Pawenang yaitu Mewarah Kerokhania Sapta Darma Jilid I.
3) Surat Keputusan Menkumham
4) Susunan Pengurus Organisasi
5) Dokumentasi berupa foto-foto kegiatan rutinitas Aliran
Kerokhanian Sapta Darma, tempat ibadah (sanggar), dll. b. Sumber Sekunder, berupa:
1) Web Resmi Aliran Kerokhanian Sapta Darma
2) Buku-buku yang dipakai untuk membantu memperlengkap informasi.
2. Kritik sumber, ialah satu kegiatan untuk meneliti sumber-sumber yang didapatkan guna mengetahui kejelasan sumber tersebut, apakah jejak-jejak
19M. Sholihan Manan, Pengantar Metode Penelitian Sejarah Islam di Indonesia (Usaha Nasional: Surabaya, 1980), 68.
(26)
17
itu sejati (orsinil) baik bentuk maupun isinya.20 Dalam kegiatan ini penulis melakukan dua kritik sumber yaitu kritik intern dan ekstern. Kritik intern dilakukn penulis untuk melihat isi sumber tersebut apakah kredibilitas atau tidak.21 Dari kritik intern yang penulis lakukan terhadap sumber yang penulis dapatkan. Penulis menyimpulkan ada beberapa sumber yang isinya penulis ragukan kredibilitasannya. Di antara sumber yang penulis ragukan kredibilitasnya ialah sumber-sumber yang penulis dapatkan dari surat kabar dan wawancara. Hal ini dikarenakan wawancara dan surat kabar terkadang disisipi oleh unsur subyektivitas.
Sedangkan kritik ekstern dilakukan guna melihat apakah sumber yang didapatkan tersebut autentik atau tidak.22 Upaya penulis untuk mendapatkan sumber-sumber yang kredibel dan autentik ialah dengan cara observasi langsung ke ketua aliran Kerokhanian Sapta Darma dan melakukan wawancara dengan ketua Tuntunan Aliran Kerokhanian Sapta Darma Kabupaten, kemudian penulis juga meminjam arsip-arsip dari ketua aliran Kerokhanian Sapta Darma untuk di foto copy untuk dijadikan bukti yang valid bagi penelitian skripsi ini.
3. Intepretasi ialah menetapkan makna dan saling hubungan daripada fakta-fakta yang diperoleh.23 Dalam proses ini penulis mendapati ada beberapa
20 Ibid.,68. 21
Lilik Zulaicha, Metodologi Sejarah 1 ( Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2005), 17. 22
Ibid., 17.
(27)
18
sumber yang penulis dapatkan tidak lansung terkait dengan peristiwa, tetapi dengan analisa sumber tersebut memiliki kesatuan arti yang dapat menghubungkan peristiwa yang penulis kaji. Jadi dalam hal ini penulis merasa analisa yang penulis lakukan terhadap sumber yang didapatkan
kesemuanya dapat menghubungkan pada satu kesimpulan dan
kesinambungan untuk menjelaskan perkembangan Aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa Balongdowo .
4. Historiografi ialah menyampaikan sintesa yang diperoleh dalam bentuk sebuah kisah.24 Dalam penyajian penulisan ini, penulis menekankan penulisan pada sisi Aliran Kerokhanian Sapta Darma baik dalam segi sejarah masuk, aktivitas pergerakan, serta tantangan dan respon mereka di Desa Balongdowo.
H. Sistematika Pembahasan
Adapun untuk mendapatkan sebuah gambaran yang jelas dan menyeluruh tentang pembahasan penelitian yang berjudul “Sejarah Perkembangan Aliran Kerokhanian Sapta Darma dan Respon Umat Islam di
Desa Balongdowo Sidoarjo Tahun 1985-2015” secara singkat dapat dilihat
pada sistematika pembahasan yang akan dipaparkan oleh penulis dalam beberapa bagian.
Bab pertama yang merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
(28)
19
pendekatan dan kerangka teoritik, penelitian terdahulu, metode penelitian yang digunakan untuk mendapatkan sumber-sumber yang kredibel, sistematika pembahasan, daftar pustaka sementara.
Bab kedua berisi mengenai kondisi masyarakat di Desa Balongdowo meliputi letak geografis, demografis yang berisi (komposisi penduduk, tingkat pendidikan, dan mata pencaharian) dan kehidupan sosial budaya (kehidupan sosial masyarakat dan sistem kepercayaan masyarakat) yang heterogen penduduknya.
Bab ketiga Perkembangan Aliran Sapta Darma di Desa Balongdowo
Sidoarjo Tahun 1985-2015. Dalam bab ini dijelaskan tentang sejarah awal masuknya kebatinan di Jawa dan gambaran aliran kerokhanian Sapta Darma yang meliputi (riwayat hidup pendirinya, ajaran Sapta Darma), serta perkembangan aliran Kerokhanian Sapta Darma.
Bab keempat Kehidupan penganut Sapta Darma di Desa Balongdowo. Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai respon masyarakat terhadap aliran Kerokhanian Sapta Darma yang berada di Desa Balongdowo Sidoarjo.
Bab kelima, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Dalam bab ini akan disimpulkan hasil penelitian yang merupakan jawaban dari rumusan masalah yang ada
.
(29)
BAB II
KONDISI MASYARAKAT DESA BALONGDOWO
A. Letak Geografis Desa Balongdowo
Desa Balongdowo merupakan salah satu desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo. Desa Balongdowo Kecamatan Candi merupakan Desa yang cukup maju dengan kondisi kota yang tertata rapi. Jalan yang menghubungkan Desa Balongdowo dengan daerah sekitarnya merupakan jalan yang sudah beraspal dengan kondisi yang baik. Desa Balongdowo yang terbagi menjadi tiga Dusun, yaitu Dusun Balongdowo, Dusun Tempel, dan Dusun Pecis.27 Secara administratif Desa Balongdowo memiliki batas-batas sebagai berikut:28
Sebelah Utara : Desa Klurak Kecamatan Candi
Sebelah Timur : Desa Kendal Pecabean Kecamatan Candi
Sebelah Selatan : Desa Ngaban Kecamatan Tanggulangin
Sebelah Barat : Desa Balong Gabus Kecamatan Candi
Luas wilayah Desa Balongdowo Kecamatan Candi +162.30 Ha. Wilayah Desa Balongdowo meliputi 4 Rukun Warga (RW) dan 29 Rukun Tetangga (RT). Desa Balongdowo terletak diketinggian 4 M dari permukaan laut, dan banyaknya curah hujan 500 mm/tahun. Topografi dari kelurahan ini
27
M. Solik (Kepala Desa Balongdowo), Wawancara, Sidoarjo, 20 Maret 2016. 28Peta Desa Balongdowo, Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo.
(30)
21
termasuk dataran rendah dengan suhu udara minimum 32o C. Sedangkan orbita Desa Balongdowo adalah:29
Jarak dari Pusat Pemerintahan Desa : + 2 KM Jarak dari Pusat Pemerintahan Kecamatan : + 5 KM Jarak dari Ibukota Kabupaten : + 10 KM
Jarak dari Pusat Pemerintah Provinsi : + 30 KM
B. Demografis
1. Komposisi Penduduk
Desa Balongdowo dilihat dari komposisi penduduknya merupakan wilayah Desa yang heterogen. Dari segi etnis, di wilayah Desa Balongdowo selain terdapat suku Jawa, keturunan Cina, keturunan Arab, suku Madura, dan orang-orang dari luar pulau Jawa, semua terdaftar sebagai warga Negara Indonesia (WNI). Dari data monografi Desa Balong Dowo tidak ada warga Negara Asing (WNA) yang tercatat menetap di Desa Balongdowo.
Jumlah penduduk Desa Balongdowo pada tahun 2015 sebanyak 7.003 jiwa, yang terdiri dari warga Negara Indonesia laki-laki 3.549 jiwa dan warga Negara Indonesia perempuan 3.454 jiwa.30 Untuk melihat laju
pertumbuhan penduduk Desa Balongdowo Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo menurut jenis kelamin dapat dilihat dari table dan grafik di bawah ini.
29
Data monografi Desa Balongdowo tahun 2016. 30Badan Pusat Statistik Kabupaten Sidoarjo Tahun 2015.
(31)
22
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk
Di Desa Balongdowo Menurut Jenis Kelamin
No. Tahun Laki-laki Perempuan Jumlah
1. 1980 1371 1272 2643
2. 1990 1766 1473 3239
3. 2000 1614 1783 3397
4. 2010 2880 2915 5795
5. 2016 3549 3454 7003
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Sidoarjo
Di dalam komunitas Sapta Darma di Desa Balongdowo dimana jumlah warganya hanya sekitar 100 sampai dengan 200 orang. Hampir seratus persen warganya berasal dari etnik Jawa. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Hadi Suprayitno selaku ketua umum Persatuan Sapta Darma (PERSADA) Kabupaten, dapat di ketahui warga Sapta Darma di Desa Balongdowo paling banyak berusia 18-55 tahun dan sebagian lagi berusia 56 keatas. Warga yang berusia 65 keatas biasanya adalah generasi pertama, atau orang-orang pertama
yang masuk kedalam aliran kerokhanian Sapta Darma di Desa Balongdowo.31
2. Tingkat Pendidikan Masyarakat
Pendidikan adalah suatu usaha untuk meningkatkan daya pikir atau mengubah cara berpikir dari yang tidak bisa menjadi bisa. Hal ini sesuai
(32)
23
dengan pembukaan UUD 1945 bahwa meningkatkan kecerdasan Bangsa adalah suatu tujuan Bangsa Indonesia dimana tingkat kemajuan masyarakat salah satunya dapat diperhatikan dari tingkat pendidikannya.32
Pendidikan di Desa Balongdowo bisa dikatakan tidak tertinggal jauh dengan daerah lainnya. Hal ini dikarenakan Desa Balongdowo sendiri bukan merupakan daerah yang tertinggal, tetapi desa yang terletak di pinggir kota yang telah mampu dan berkembang. Maka dari itu, tidaklah sulit bagi orang tua untuk menyekolahkan anaknya, karena sarana dan prasarana yang mendukung.
Pendidikan pada dasarnya tidak hanya menyelenggarakan pendidikan formal seperti halnya TK (Taman Kanak-Kanak), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi. Sedangkan pendidikan non formal yang dapat mendidik anak adalah pendidikan pesantren, kursus atau bimbingan keluarga. Hal tersebut dapat dilihat dalam table di bawah ini:
Tabel 2.2
Sarana Pendidikan Desa Balongdowo
32
UUD 1945 Pasal 31 yang menyatakan bahwa setiap warga Negara Indonesia berhak mendapat dan mengikuti pendidikan untuk mencerdaskan Bangsa Indonesia.
No. Status Pendidikan Jumlah
(33)
24
Sumber: Data Monografi Desa Balongdowo Kecamatan Candi
Berdasarkan pengelompokan pendidikan, dapat dilihat tingakat pendidikan masyarakat cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari table komposisi di Desa Balongdowo.
Table 2.3
Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan Desa Balongdowo
No. Tingkat Pendidikan Jumlah
1. Tidak Tamat Sekolah Dasar 113
2. Tamat Sekolah Dasar 1816
3. Tamat Sekolah Menengah Pertama 2618
4. Tamat Sekolah Menengah Atas 1394
5. Tamat Akademi (D1 – D3) 192
6. Tamat Perguruan Tinggi 290
Sumber: Data Monografi Desa Balongdowo Kecamatan Candi.
Dalam komunitas aliran kerokhanian Sapta Darma di Desa Balongdowo, pendidikan formal bagi warganya adalah hal yang sangat penting. Oleh karena itu warga aliran kerokhanian Sapta Darma yang berusia
2. Taman Kanak-Kanak 3
3. Sekolah Dasar 1
4. Sekolah Menengah Pertama -
(34)
25
20-55 tahun banyak yang merupakan lulusan SMA atau sederajat, dan sedang menjalankan pendidikan di perguruan tinggi maupun telah tamat perguruan tinggi. Selain itu, tingakat pendidikan yang bisa dibilang tidak cukup tinggi dapat dilihat dari para warga yang telah berumur lebih dari 60 tahun tapi kebanyakan dari mereka merupakan lulusan setingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama).33
C. Keadaan Sosial Masyarakat Desa Balongdowo
1. Kondisi Sosial
Pola-pola hubungan yang berkembang dalam pergaulan sehari-hari dan etika komunitas masyarakat Desa Balongdowo. Kehidupan suatu masyarakat dalam garis besarnya mengikuti suatu tatanan atau prilaku yang biasa kita sebut dengan adat istiadat. Tatanan prilaku, adat istiadat, atau etika dalam praktek merupakan cita-cita, norma-norma, pendirian, kepercayaan, sikap, aturan, hukum, undang-undang dan sebagainya yang mendorong kelakuan manusia. Adat istiadat dalam suatu masyarakat timbul dan harus difahami dengan cara belajar oleh para individu (warga) masyarakat satu demi satu, lambat laun, terus-menerus, mulai pada saat sesudah mereka dilahirkan
sampai pada masa mereka hampir meninggal.34
Pada setiap komunitas masyarakat mengenal dan memakai etika yang berlaku sebagai adat istiadat yang dijadikan patokan atau landasan dalam
33
Hadi Suprayitno (ketua umum PERSADA Kabupaten), Wawancara, Sidoarjo, 16 April, 2016. 34Koentjaraningrat. Prof. Dr, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: Dian Rakyat, 1992), 216.
(35)
26
berinteraksi antara individu atau individu dengan komunitas individu lain. Bentuk interaksi ini akan semakin mematangkan pergaulan individu dalam memahami seluk beluk etika yang ada dalam masyarakat. Proses pemahaman ini diperlukan waktu yang panjang dalam pembelajarannya.
Adapun pola kehidupan masyarakat Desa Balongdowo yang sangat sederhana, ini tercermin dari gaya berinteraksi, pakaian yang dikenakan dan bangunan rumah yang mereka tempati. Dalam berinteraksi masyarakat Desa Balongdowo sama dengan masyarakat desa-desa lain pada umumnya. Mereka berinteraksi dan berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa. Dalam penggunaan bahasa, terbagi menjadi tiga tingkatan pemakaian bahasa Jawa yaitu mulai dari bahasa Jawa Kasar (ngoko), bahasa Jawa Halus (kromo), dan bahasa Jawa yang sangat halus (kromo inggil). Ketiga bahasa ini digunakan sesuai dengan status orang yang dihadapi dalam berkomunikasi, misalnya bahasa Jawa Kasar digunakan ketika berhadapan dengan teman sebaya atau digunakan orang tua terhadap anaknya. Bahasa Jawa kromo digunakan ketika berkomunikasi dengan orang yang yang lebih tua, sedangkan pemakaian bahasa Jawa kromo inggil digunakan anak terhadap orang tua.35
Dari pemakaian bahasa yang digunakan sehari-hari Nampak bahwa masyarakat Desa Balongdowo memiliki etika bahasa dalam pergaulan yang menjunjung tinggi adat istiadat yang ditanamkan dan diajarkan semenjak kecil oleh lingkungan keluarga yang kemudian tercermin dan dibawa dalam
(36)
27
berinteraksi pada lingkungan yang lebih luas. Sedangkan dalam berinteraksi masyarakat Desa Balongdowo sangat terbuka dan lugas, namun masih membatasi dengan benteng budaya Jawa yang sangat mengakar. Diantaranya tradisi perkawinan, tingkepan, tahlilan orang meninggal dan berziarah kemakam para wali.
Desa Balongdowo merupakan masyarakat asli dari suku Jawa. Oleh karena itu hubungan pergaulan antar masyarakat terjalin sangat akrab dan harmonis antar warga masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari hubungan yang terjalin pada saat salah satu warga ada yang meninggal, punya hajatan dan pada saat itulah mereka saling membantu.
Berbagai bentuk kegiatan kemasyarakatan mewarnai kehidupan sosial masyarakat Desa Balongdowo, terbukti hingga saat ini masyarakat masih peduli dalam melestarikan tradisi-tradisi yang ada di Desa Balongdowo. Beberapa tradisi yang masih dipertahankan diantaranya:
a. Dalam tradisi perkawinan, sistem melamar seperti masyarakat pada umumnya. Orang yang melamar pertama kali adalah dari pihak laki-laki lalu dilanjutkan dari pihak perempuan untuk meneruskan tindak lanjut dan penentuan tanggal pernikahan. Dalam penentuan tanggal pernikahan masih menggunakan Weton yaitu menggunakan perhitungan kelahiran calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan.
b. Slametan Tingkepan, acara ini dilaksanakan pada bulan ke tujuh dari saat kehamilan, acara tersebut diisi dengan membaca QS. Luqman, Yusuf,
(37)
28
Muhammad, Maryam, dengan tujuan agar bacaan tersebut dapat menjadikan anak akan dilahirkan menjadi anak yang mempunyai akhlak baik seperti yang terkandung dalam QS. Luqman, kalau yang dilahirkan jenis kelamin laki-laki akan setampan dan soleh seperti Nabi Yusuf, jika berjenis kelamin perempuan akan secantik dan solehah seperti Maryam.
c. Masyarakat juga masih melaksanakan slametan untuk orang yang
meninggal, selama 7 hari 7 malam dengan dibacakan QS. Yasin dan tahlil dirumah orang yang meninggal.
d. Berziarah kemakam para wali atau makam para leluhur. Terbukti di Desa
Balongdowo, terdapat satu makam yang sangat dikenal oleh masyarakat luas khususnya masyarakat Sidoarjo yaitu makam Syekh Suro Sulaiman konon beliau adalah orang yang mbabat alas daerah Sidoarjo dan mengamankan diri di Desa Balongdowo hingga meninggal.36 Dengan adanya makam Syekh Suro Sulaiman tersebut, banyak warga yang sering berziarah ke makam itu untuk memohon sesuatu kepada Allah melalui perantara beliau. Biasanya makam itu ramai dikunjungi pada hari Kamis Kliwon.
2. Kondisi Sosial Agama
Agama berasal dari kata Gam (bahasa Sansekerta) yang artinya pergi, kemudian mendapat awalan I, U dan akhiran A sehingga pengertiannya berubah menjadi jalan. Jadi agama, igama dan ugama dalam bahasa Bali
(38)
29
ketiganya mempunyai arti berikut, agama merupakan peraturan tata cara upacara, hubungan manusia dengan raja. Igama yaitu peraturan tata cara upacara dewa-dewa agung. Agama ialah peraturan tata cara dalam berhubungan dengan manusia.37
Menurut kamus ilmiah popular agama adalah keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan. Sedangkan agama menurut sosiologi yaitu dipandang sebagai wadah lahiriah atau sebagai instansi yang mengatur pernyataan iman di forum terbuka (masyarakat) yang manisfetasinya dapat dilihat atau disaksikan dalam bentuk kaidah-kaidah, ritus dan kultus, atau
do’a-do’a.38
Dari pengertian-pengertian agama diatas penulis mengambil kesimpulan bahwa agama adalah suatu keyakinan atau kepercayaan kepada Tuhan yang didalamnya terdapat peraturan-peraturan, tata cara ataupun upacara yang dijadikan ikatan oleh manusia dengan Tuhannya.
Masyarakat Desa Balongdowo berdasarkan data monografi tahun 2016. Agama yang dianut adalah Agama Islam, Katolik, Protestan, Budha dan Hindu. adapun jumlah pemeluk masing-masing Agama dapat dilihat pada table berikut:
37
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Yogyakarta: Grafindo Persada, 1998), 35. 38Hendropuspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1983), 36.
(39)
30
Table 2.4
Penduduk Desa Balongdowo Berdasarkan Agama
No. Agama Jumlah
1. Islam 4587
2. Kristen 1600
3. Hindu 405
4. Budha 204
5. Penganut Aliran Kepercayaan Tuhan
Yang Maha Esa
206
Sumber: Data Monografi Desa Balongdowo.
Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar atau mayoritas penduduk Desa Balongdowo adalah beragama Islam. Meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, pada dasarnya banyak masyarakat
Desa Balongdowo yang merupakan Islam “Abangan” atau mengaku
beragama Islam tetapi tidak menjalankan syari’at agama Islam. Selain agama Islam, Kristen, Hindu dan Budha di Desa Balongdowo juga berkembang aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Walaupun kelompok ini bukan penganut agama akan tetapi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan suatu bentuk kebudayaan religi yang terus dikembangkan oleh para penganutnya, sehingga mereka memiliki komunitas sendiri. Sering kali dalam pendataan komunitas ini tidak tercatat, dikarenakan kepercayaan
(40)
31
terhadap Tuhan Yang Maha Esa masih dianggap bukan agama, sehingga dalam data-data yang ada mereka tercatat sebagai pemeluk Agama Islam.39
Untuk memudahkan dalam menjalankan ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa maka diperlukan sarana ibadah. Adapun sarana ibadah yang ada di Desa Balongdowo dapat dilihat sebagai berikut:
Table 2.5
Sarana Ibadah di Desa Balongdowo
No. Tempat Jumlah
1. Masjid 2
2. Musholla 18
3. Gereja -
4. Vihara -
5. Pura -
Sumber: Data Monografi Desa Balongdowo.
Dalam data tersebut di atas sarana peribadatan yang tercatat adalah sarana-sarana peribadatan untuk agama-agama yang telah diakui oleh pemerintah. Tetapi ada satu srana peribadatan di Desa Balongdowo yan tidak tercatat dalam data monografi, yakni juga terdapat sarana ibadah unruk penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang dinamakan Sanggar. Selain digunakan sebagai sarana ibadah, sanggar juga digunakan untuk sarana perkumpulan bagi komunitas aliran Sapta Darma tersebut. Sanggar yang terdapat di Desa Balongdowo merupakan satu-satunya Sanggar
(41)
32
yang ada di Desa Balongdowo bahkan Sanggar ini merupakan sanggar pusat bagi warga Sapta Darma di wilayah Kabupaten Sidoarjo.
Dilihat dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa kehidupan keagamaan yang ada di Desa Balongdowo berjalan dengan baik, hubungan antar pemeluk agama juga berjalan harmonis dan tidak ada pertentangan.
3. Kondisi Sosial Ekonomi
Dari data monografi Desa Balongdowo Maret 2016, menunjukkan bahwa pekerjaan penduduk sangat bervariasi. Hal ini dapat dilihat dari tabel dan grafik di bawah ini:
Tabel 2.6
Jumlah Penduduk di Desa Balongdowo Menurut Mata Pencaharian
No. Mata Pencaharian 1980 1990 2000 2010 2016
1. Petani 172 134 134 142 170
2. Nelayan 373 351 237 211 230
3. Pengusaha 7 15 30 23 7
4. Buruh 94 115 135 497 395
5. Pedagang 132 169 172 596 110
6. TNI - 2 4 16 15
7. Pegawai Negeri Sipil 17 28 33 42 34
(42)
33
Dari table dan grafik diatas diketahui bahwa mata pencarian penduduk Desa Balongdowo sangat bervariasi, dan sebagian besar bermata pencarian sebagai petani dan nelayan kupang. Petani di Desa Balongdowo dibagi menjadi beberapa macam yaitu petani pemilik tanah, petani penggarap tanah dan petani penggarap atau penyekap. Petani bagi masyarakat Desa Balongdowo tidak hanya dalam pengertian orang yang menggarap sawah tetapi juga petani tambak.
Dalam komunitas Kerokhanian Sapta Darma mata pencaharian warganya sangat heterogen atau bermacam-macam. Tetapi paling banyak warga Sapta Darma di Desa Balongdowo bermata pencaharian sebagai petani sawah dan pedagang. Sebagian lagi sesuai dengan tingkat pendidikannya bermata pencaharian sebagai pengusaha swasta, pegawai negeri sipil dan bermacam pekerjaan yang lain. Warga Kerokhanian Sapta Darma yang bermata pencarian sebagai petani kebanyakan adalah warga yang berusia 40 tahun keatas yang berpendidikan Sekolah Dasar (SD) dan setingkat Sekolah
Menengah Pertama (SMP).40
Perkembangan wilayah dapat diukur dari perkembangan non agraris yang terdapat dalam wilayah tersebut. Begitu juga halnya dengan Desa Balongdowo. Dengan semakin berkembangnya penduduk dan semakin variatifnya kebutuhan masyarakat dalam mencukupi kebutuhan primer, skunder hingga tersiernya maka perkembangan fasilitas perdagangan dan jasa
(43)
34
di Desa Balongdowo ini juga semakin pesat. Dengan adanya pasar tradisional maupun rumah toko dan mini market yang semakin berkembang di sekitar perumahan Desa Balongdowo. Hal ini dapat membantu dalam perekonomian penduduk Desa Balongdowo.
(44)
BAB III
MASUK DAN BERKEMBANGNYA ALIRAN KEROKHANIAN SAPTA
DARMA DI DESA BALONGDOWO 1985 – 2015
A. Sejarah masuknya Aliran Kerokhanian Sapta Darma
Aliran Kerokhanian Sapta Darma muncul di tengah-tengah masyarakat Indonesia setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945, tepatnya pada tanggal 27 Desember 1952, Hardjosopoero sebagai penerima wahyu, mendapat perintah untuk menyebarkan Aliran Kerokhanian Sapta Darma kepada umat manusia sebagai pegangan hidup setelah mengalami revolusi fisik yang cukup besar menjelang proklamasi kemerdekaan.
Hardjo Sapuro lahir pada tahun 1910 di desa Sanding yang terletak di sebelah barat pasar lama Pare, termasuk desa Pare, Kabupaten Kediri Propinsi Jawa Timur. Setelah lulus dari Sekolah Rakyat pada tahun1925 Hardjo Sapuro mulai bekerja sebagai pemangkas rambut, selain itu Hardjo Sapuro juga mempunyai pekerjaan sampingan yaitu membuat kasur dan membuat blangkon. Menginjak usia 26 tahun, Hardjo Sapuro turut aktif dalam gerakan PESINDO (Pemuda Sosial Indonesia) di Pare, aktif dalam SPR (Staf Pertahanan Rakyat) dan Comando Order Distrik Militer sampai penyerahan
(45)
36
kedaulatan, lalu Hardjo Sapuro mengundurkan diri dan bekerja kembali sebagai pemangkas rambut dan hidup sebagaimana biasanya.41
Pada suatu hari tepatnya tanggal 27 Desember 1952 pukul 01.00 malam hari setelah pulang dari rumah temannya, Hardjo Sapuro mengalami suatu kejadian yang tak pernah dialami sebelumnya. Badannya serasa ada yang menggerakkan atau menggetarkan secara otomatis tanpa dapat dicegah dan dikendalikan. Gerakan itu mengarahkan badannya menghadap ke Timur, ketika Hardjo Sapuro mencoba menggerakkan badannya kearah lain tetapi secara otomatis dikembalikan menghadap ke Timur lagi sampai berulang kali dan berhenti pada pukul 05.00 (pagi).42
Keesokan harinya peristiwa yang dialaminya diceritakan kepada salah satu temannya dan anehnya ketika Hardjo Sapuro sampai di rumah temannya itu tiba-tiba Hardjo Sapuro dan temannya mengalami hal yang serupa dengan apa yang dialami pada malam harinya, yaitu badan terasa digerak-gerakkan oleh sesuatu yang ghaib. Kejadian serupa selalu dialami Hardjo Sapuro ketika mengunjungi teman-temannya yang lain, sampai tujuh orang jumlahnya.
Gerakan tersebut menurutnya adalah “wahyu (ilham)”, sesuatu berkah
atau komunikasi langsung dari Tuhan, bukan doktrin atau teori intelektual yang mungkin diperoleh melalui perantaraan seseorang manusia.43 Wahyu
41 Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia, (Jakarta : CV. Haji Mas Agung, Cet. III, 1990), 79.
42 Ilyas, Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia, 152.
(46)
37
yang dimaksud oleh Hardjo Sapuro tersebut untuk pertama kali diterimanya, wahyu ini berisi ajaran persujudan dan tata caranya. Untuk wahyu berikutnya diterima Hardjo Sapuro berturut-turut dan terjadi selisih setahun dengan wahyu sebelumnya. Wahyu-wahyu itu terdiri dari ajaran ngracut atau racut44, simbol45, wewarah tujuh46, sesanti47, terakhir wahyu gelar Sri Gutama48, Panuntun Agung Sapta Darma49, dan Hardjosapuro mendapat wahyu lagi
yang berisi perintah penggantian nama dari Hardjo Sapuro menjadi “Sri Gutama”. Sri artinya ratu dan Gutama artinya berbudi luhur, jadi Sri Gutama
artinya adalah raja yang merajai semua orang yang berbudi luhur. Wahyu ini didapat pada hari selasa Kliwon tanggal 27 Desember 1955 pukul 24.00 dan melalui wahyu itu pula ia dilantik pemimpin Sapta Darma.
Hardjosapoero pertama kali menyampaikan Aliran Kerokhanian Sapta Darma adalah kepada teman-teman terdekatnya, kemudian disampaikan kepada masyarakat di sekitar lingkungan tempat Hardjosopoero tinggal yaitu di Kota Pare Kabupaten Kediri Jawa Timur. Semenjak itu, cerita tentang
44 Wahyu racut adalah memuat ajaran tentang tata cara rohani manusia untuk mengetahui alam langgeng atau melatih sowan atau menghadap Hyang Maha Kuasa.
45 Wahyu simbol adalah asal mula, sifat watak, dan tabiat manusia itu sendiri, serta bagaimana manusia harus mengendalikan nafsu agar dapat mencapai keluhuran budi.
46 Wewarah tujuh adalah kewajiban hidup manusia di dunia sekaligus merupakan pandangan hidup dan pedoman hidup manusia.
47 Wahyu sesanti adalah membuktikan suatu etika atau ciri khas Sapta Darma yang menitik beratkan kepada warganya harus membahagiakan orang lain.
48 Sri Gutama adalah Sri artinya ratu dan Gutama artinya berbudi luhur, jadi Sri Gutama artinya adalah raja yang merajai semua orang yang berbudi luhur.
(47)
38
Aliran Sapta Darma mulai menyebar ke daerah-daerah lain sekitar Kota Pare, seperti Jombang, Mojokerto, Sidoarjo, Surabaya, dan masih banyak lagi.50
Dalam perjalanan Hardjosopoero dan para pengikutnya ke daerah-daerah dan kota-kota lain, biasanya Hardjosopoero melakukan “peruwatan” adalah semacam ritual untuk membuang hal-hal yang dianggap tidak baik. Peruatan ini biasanya dilakukan di tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti makam-makam tua, pohon, benda-benda pusaka, roh-roh sesat, roh-roh penasaran dan lain sebagainya. Tujuan dari peruatan ini adalah untuk memintakan ampun kepada Yang Maha Kuasa atas dosa-dosa dan dimohonkan tempat kepada manusia yang hidup maupun yang telah meninggal.51
Di Kota Sidoarjo khususnya di Desa Balongdowo rt. 01 rw. 02 Kecamatan Candi, Aliran Kerokhanian Sapta Darma mulai berkembang pada tahun 1985 yang dibawa oleh salah seorang warga Kota Bangil Pasuruan bernama Pak Kusen, Pak Kusen mengenal Aliran Kerokhanian Sapta Darma dari salah seorang temanya yang berasal dari Buduran Sidoarjo yang bernama Pak Karim. Semenjak itu Aliran Kerokhanian Sapta Darma langsung banyak diminati oleh warga sekitar, sehingga didirikan perkumpulan di rumah salah satu warga yang sekaligus ditunjuk sebagai Tuntunan Sanggar pertama kali saat itu, yang bernama Pak Miskan untuk melakukan sujud bersama di
50
Hadi Sanadi (ketua Tuntunan KSD Kabupaten), Wawancara, Sidoarjo, 09 April, 2016. 51Ibid.
(48)
39
rumahnya, sanggar yang berada di rumah Pak Miskan biasa disebut dengan sebutan sanggar “Dompleng” yang dalam bahasa Indonesia artinya adalah
“ikut”. Jadi sanggar “Dompleng” adalah sanggar yang masih ikut atau
menyatu dengan rumahnya tuntunan sanggar.52
Pengembangan Aliran Kerokhanian Sapta Darma pada waktu itu adalah dengan cara pangusadan, yaitu istilah untuk penyembuhan di jalan Tuhan. Artinya melakukan penyembuhan itu dilaksanakan atas kuasa dan sesuai dengan petunjuk-petunjuk dari Hyang Maha Kuasa. Cara pangusadan
ini menjadi salah satu alternatif bagi warga ketika ada keluarganya yang sakit, karena memang pada saat itu warga Desa Balongdowo belum banyak mengenal tentang rumah sakit dan puskesmas. Semenjak itu Aliran Kerokhanian Sapta Darma ini semakin berkembang, awalnya datang hanya untuk pengobatan tapi setelah itu banyak pula yang menjadi penganut Aliran Kerokhanian Sapta Darma.53
Bagi orang yang melakukan pertolongan ini dengan cara pangusadan,
dilarang sama sekali mengharapkan balas jasa atau pamrih, berupa apapun, melainkan berdasarkan cinta kasih atau belas kasihan, jadi semata-mata menjalankan sifat dan sikap Kerokhanian Allah Hyang Maha Kuasa. Tetapi cara pengembangan dengan jalan pengusadan ini tidak berlangsung lama, cara
52 Ibid. 53 Ibid.
(49)
40
ini mulai banyak ditinggalkan oleh warga karena keingintahuan lebih mereka
untuk mempelajari dan mendalami Aliran Kerokhanian Sapta Darma.54
B. Perkembangan Aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa Balongdowo
Aliran Kerokhanian Sapta Darma sendiri bukanlah agama, tetapi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga siapapun yang ikut ke dalam Aliran Kerokhanian Sapta Darma diperbolehkan karena Aliran Sapta Darma merupakan wadah untuk seluruh umat manusia yang mengikuti Sapta Darma.55
Perkembangan Aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa Balongdowo dapat dilihat dari:
a. Perkembangan Warganya
Di dalam Aliran Kerokhanian Sapta Darma pengikut atau penganut Aliran ini disebut sebagai warga Sapta Darma. Sejak masuk dan dikenalnya Aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa Balongdowo pada tahun 1985, kebanyakan penganut Aliran Kerokhanian Sapta Darma adalah para sesepuh tetapi banyak diantara penganut saat ini yang masih anak-anak kecil dan remaja.56
Untuk para remaja biasanya dilakukan kegiatan 2 minggu sekali, dan kegiatan mereka biasanya tidak terpaku pada satu sanggar saja, akan tetapi kegiatan mereka dilakukan di sanggar-sanggar lain dengan cara bergiliran,
54 Ibid. 55
Hadi Suprayitno (ketua umum PERSADA Kabupaten), Wawancara, Sidoarjo, 16 April, 2016. 56Ibid.
(50)
41
dengan tujuan sebagai ajang silaturahmi dan memberikan semangat dalam meramaikan sanggar dan melakukan sembahyang atau sujud bersama di sanggar. Dan untuk anak-anak kecil, kegiatan mereka biasanya dilakukan setiap 6 bulan sekali, yaitu dengan cara mengunjungi tempat wisata, disana mereka diajak bermain tetapi juga dengan mengajarkan ajaran Sapta Darma, seperti diajarkan cara duduk bersila atau bersimpuh yang benar, diajarkan cara ketika tangan bersendekap, diajarkan ketika sujud, dan lain sebagainya.57
Dilain hal, perkembangan warga Aliran Sapta Darma di Desa Balongdowo pernah mengalami kemunduran disaat adanya pemberontakan G30-S/PKI, pada tahun ini masyarakat mulai masuk ke dalam agama-agama yang telah diakui oleh pemerintah, karena pada saat itu masyarakat yang tidak memeluk salah satu agama disebut sebagai PKI (Partai Komunis Indonesia). Aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa Balongdowo pada waktu itu juga mendapat pengawasan dari pihak kepolisian, akan tetapi kerena ajarannya dianggap tidak melenceng atau sesat, maka ajaran ini diberi ijin dan kebebasan dalam menjalankan ibadahnya.58
Perkembangan Aliran Kerokhanian Sapta Darma mulai mengalami kemajuan kembali pada tahun 1992, hal ini ditandai dengan didirikannya Sanggar yang bersifat umum, tidak lagi ikut atau menyatu dengan rumah Pak Miskan. Sanggar yang bersifat umum dan berada di daerah-daerah disebut
57 Ibid.
(51)
42
dengan sanggar Candi Busana, tujuan pembangunan sanggar adalah agar kegiatan warga dapat lebih optimal. Tanah yang digunakan saat itu adalah tanah yang dihibahkan oleh salah satu warga Sapta Darma.59
b. Perkembangan Lembaga
Dengan kemajuan saat ini, adanya para penganut remaja dan dewasa, maka perlu dibentuk sistem kepengurusan agar lebih terorganisir. Sistem kelembagaan yang semula hanya ada tuntunan di daerah yang bertugas membantu mengawasi para warganya agar Aliran Kerokhanian Sapta Darma tidak disalah gunakan, kemudian diperbaharui untuk meningkatkan kinerja dalam kepengurusan Aliran Kerokhanian Sapta Darma. Kelembagaan tersebut meliputi:
1) Tuntunan
Tuntunan adalah warga Aliran Sapta Darma yang mendapat tugas mengawasi warga Sapta Darma dalam menjalankan ibadah dan ajaran Aliran Kerokhanian Sapta Darma agar tidak menjadi penyimpangan ajaran. Tuntunan di dalam Aliran Sapta Darma hanya mengurusi masalah kerokhanian saja. Di Desa Balongdowo Tuntunan Aliran Sapta Darma adalah Pak Sanadi.
2) PERSADA (Persatuan Sapta Darma)
PERSADA (Persatuan Sapta Darma) adalah bentuk organisasi dari Sapta Darma, adapun susunan kepengurusan di Desa Balongdowo adalah sebagai berikut:
(52)
43
Bagan 3.7 Struktur Kepengurusan Aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa Balongdowo Candi Sidoarjo
Ketua Umum: Hadi Suprayitno
Sekertaris: Agung Widodo
Bendahara: Hadi Sunaryo Bidang Rohani:
RA. Suseno Bidang Hukum dan
Advokad: Abd. Rokhim Bidang Organisasi:
Eko Sugitaryo Bidang Kesejahteraan:
Moch. Juri
Bidang Wanita: Mariana Bidang Remaja: Gayuh Laksono P Bidang Seni dan Budaya:
(53)
44
Tugas-tugas pengurus PERSADA sebagai berikut:
1. Tugas Ketua PERSADA
a. Mengkoordinasikan semua kegiatan peda jenjangnya.
b. Menetapkan arah pembinaan PERSADA agar selaras dengan tujuan program kerja ERSADA.
c. Mengatur pembagian tugas para wakil, sekertaris dan bendahara.
d. Mewakili PERSADA keluar dan kedalam.
e. Melaporkan dan mempertanggungjawabkan segala kegiatan
PERSADA yang dipimpinnya dalam sarasehan pada jenjangnya. 2. Tugas Sekretaris
a. Memimpin dan melaksanakan tugas tata usaha atau administrasi PERSADA pada jenjangnya.
b. Melayani dan mempersiapkan sarasehan sesuai jenjangnya.
c. Melayani seluruh kegiatan PERSADA sesuai jenjangnya.
d. Menyelesaikan penyelesaian lebih lanjut segala keputusan
PERSADA sesuai dengan jenjangnya.
C. Tugas Bendahara
a. Menerima, menyimpan dan mengeluarkan uang sesuai dengan
ketentuan ketua.
b. Melaporkan dan mempertanggungjawabkan dengan bukti yang sah
(54)
45
c. Bertanggungjawab atas resiko yang mungkin terjadi dalam
mengelola uang dan harta kekayaan.
d. Melaporkan tugas kerjanya kepada ketua.
e. Membukukan penerimaan dan pengeluaran uang dengan bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan.
D. Tugas Bidang Kesejahteraan
a. Melaksanakan pembinaan para warga untuk meningkatkan persatuan
dan kesatuan (Tuntunan dengan tuntunana, Tuntunan dengan pengurus PERSADA, Tuntunan dengan warga, pengurus PERSADA dengan warga, warga dengan warga).
b. Melaksanakan pembinaan agar warga Aliran Kerokhanian Sapta
Darma meningkatkan hubungan dengan lingkungan sosialnya.
c. Melaksanakan pembinaan agar para warga meningkatkan peran serta
dalam penanganan masalah-masalah sosial.
d. Membudayakan kepada para warga untuk mengurusi layon secara
Kerokhanian Sapta Darma.
e. Melaporkan tugas pekerjaannya kepada ketua.
E. Tugas Bidang Wanita
a. Melaksanakan pembinaan kesadaran tanggung jawab dan peranan
wanita Kerokhanian Sapta Darma sebagai ibu rumah tangga, anggota PERSADA yang bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
(55)
46
b. Berpartisipasi dalam pelaksanaanSarasehan Nasional Wanita
Kerokhanian Sapta Darma.
c. Mengadakan kerja sama dalam melaksanakan program kerjanya
dengan pengurus Aliran Kerokhanian Sapta Darma lainnya sesuai dengan jenjangnya.
d. Melaporkan tugas kerjanya kepada ketua.
F. Tugas Bidang Remaja
a. Melaksanakan pembinaan peranan kesadaran, kreatifitas dan
tanggung jawab remaja Aliran Kerokhanian Sapta Darma sebagai generasi penerus anggota PERSADA, serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
b. Mengadakan kerja sama, konsultasi dalam mengadakan pembinaan
dengan para pengurus PERSADA lainnya sesuai dengan jenjangnya.
c. Berbartisipasi dalam pelaksanaan Sarasehan Nasional Remaja Aliran
Kerokhanian Sapta Darma.
d. Melaporkan tugas pekerjaannya kepada ketua.
3) Yayasan Srati Darma (YASRAD)
Yayasan Srati Darma (YASRAD) adalah badan hukum yang ada di dalam Aliran Sapta Darma. Tugas dari yayasan ini adalah mengurusi dan melayani kekayaan di dalam Sapta Darma. Yayasan Sarti Darma merupakan alat pembantu para tuntunan dalam melaksanakan tugasnya selaku pengurus
(56)
47
sarana dan prasarana di dalam Aliran Kerokhania Sapta Darma.60 Saat ini kepengurusan Aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa Balongdowo semakin baik dan tertata.
C. Faktor Pendorong Perkembangan Aliran Kerokhanian Sapta Darma di
Desa Balongdowo
Ada banyak faktor yang mendorong seseorang untuk menganut Aliran Kerokhanian Sapta Darma, keberadaan Aliran Kerokhanian Sapta Darma dalam proses perkembangannya senantiasa didukung oleh golongan priyayi, dan orang-orang Islam abangan, yakni orang-orang Islam yang kurang mengetahui ajaran-ajaran Islam dan oleh karenanya tidak mengamalkan
syari’at Islam. Mereka yang masih mempertahankan budaya Hindu, sementara
Islam yang datang kemudian dipandang sebagai unsur tambahan. Orang-orang
Jawa abangan yang memiliki kemungkinan besar untuk menganut
kepercayaan kejawen atau aliran kerokhanian tertentu yang mereka pandang sebagai pandangan yang paling sesuai dalam hidupnya. Ini semua dikarenakan latar belakang mereka yang memiliki tradisi kebudayaan spiritual nenek moyang dan masih diperkuat juga dengan kebudayaan spiritual Hindu-Budha atau Hindu-Jawa di zaman lampau.61
Aliran Kerokhanian Sapta Darma, salah satu kebatinan di Jawa yang memiliki penganut yang terorganisir, ada beberapa factor menarik yang
60
Hadi Suprayitno (ketua umum PERSADA Kabupaten), Wawancara, Sidoarjo, 16 April, 2016. 61Hadi Sanadi (ketua Tuntunan KSD Kabupaten), Wawancara, Sidoarjo, 09 April, 2016.
(57)
48
menjadikan orang-otang untuk menjadi Warga Sapta Darma, antara lain sebagaiberikut:
1. Ajaran Sapta Darma dianggap lebih sederhana, karena semua bacaannya
menggunakan bahasa daerah, dibandingkan dengan ajaran agama Islam yang menggunakan bahasa Arab.
2. Ajaran Sapta Darma tidak terlalu berat dibandingkan dengan ajaran agama lain, karena kebatinan kurang menekankan ibadat yang bersifat fisik, tetapi lebih menekankan penghayatan kerokhanian yang dianggap tidak menyita waktu.
3. Di dalam Aliran Kerokhanian Sapta Darma dikenal metode penyembuhan
dengan jalan
a. Sabda Husada (Pengusadan)
Yaitu penyakit dengan sabda (kata-kata) cara melakukannya, menenangkan angan-angan dan fikiran, serta memusatkan seluruh getaran-getaran, lalu menyebut Asma Allah. Dimaksudkan agar didapatkan sinar-sinar dari Hyang Maha Kuasa.
b. Sujud
Selain digunakan sebagai pendekatan manusia dengan Tuhan, sujud dapat digunakan untuk menyembuhan suatu penyakit.
(58)
49
4. Perkembangan Aliran Kerokhanian Sapta Darma juga dipengaruhi adanya
perlindungan dari pemerintah terhadap penganut aliran kebatianan.62
Untuk menunjang keberhasilan tujuan maupun konsepsi
perkembangan dalam Aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa Balongdowo maka banyak kegiatan rutin yang dilakukan terhadap warganya. kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh Warga Kerokhanian Sapta Darma di Desa Balongdowo diantaranya:63
1. Kegiatan Rutin Tentang Pembinaan
Kegiatan ini dimaksud untuk membina para warga Kerokhanian Sapta Darma tentang:
a. Sujud kehadapan Allah Hyang Maha Kuasa dilaksanakan dengan
berpedoman pada buku Wewerah Kerokhanian Sapta Darma.
b. Sesanggaran adalah pembinaan khusus dibidang ajaran Kerokhanian
Sapta Darma. Sesanggaran ini dilaksanakan sekali dalam seminggu tepatnya hari Sabtu malam Minggu.
c. Sarasehan adalah pembinaan secara menyeluruh baik yang bersifat keluar dan kedalam.
1) Keluar adalah dalam arti yang menyangkut hubungannya dengan
organisasi keperdesaan serta dengan pemerintah.
62
Hadi Suprayitno (ketua umum PERSADA Kabupaten), Wawancara, Sidoarjo, 16 April, 2016. 63Ibid.
(59)
50
2) Kedalam ialah dalam arti khusus yang ada hubungannya dengan
ajaran Kerokhanian Sapta Darma.
2. Kegiatan Khusus
Kegiatan Khusus ini membicarakan tentang masalah Kerokhanian, yaitu:
a. Mengadakan pendalaman kepada warganya (Sujud Penggalian
Pribadi Manusia) secara Kerokhanian Sapta Darma yang dilaksanakan setidaknya setahun sekali.
b. Tirakatan yang dilaksanakan menjelang hari-hari bersejarah
Kerokhanian Sapta Darma, yaitu setiap:
1) Tanggal 27 Desember
Diterimanya ajaran sujud dengan nama Sujud Asal Mula Manusia pada pukul 01.00 malam. Sujud Asal Mula Manusia ini adalah tentang tata cara sujud yang sempurna kepada Allah Yang Maha Kuasa.
2) Tanggal 13 Februari
Diterimanya ajaran Racut, yaitu suatu ajaran tentang tata caranya Roh manusia mengetahui alam lain.
3) Tanggal 12 Juli
Diterimanya ajaran Simbol Pribadi Manusia pukul 11.00 siang juga Wewewarah Tujuh dan Sesanti.
(60)
51
Diperingati sebagai hari wafatnya Bapak Penuntun Agung Sri Gutomo.
5) Tanggal 1 Suro’
Diperingati sebagai Hari Raya Kerokhanian Sapta Darma.
3. Kegiatan Bidang Kemasyarakatan
a. Mengadakan pembinaan kepada warganya untuk selalu berpegang
kepada Wewerah Tujuh dan Sesanti.
b. Pengamalan Sabda Husada.
c. Mengikuti penataran baik penataran rokhani maupun penataran
umum lainnya, untuk mempertebal ilmu.
4. Kegiatan Remaja
a. Mengadakan kegiatan yang kreatif dalam memajukan perkembangan
perjuangan Aliran Kerokhanian Sapta Darma khususnya di Desa Balongdowo. Seperti mencetak majalah yang isinya menyangkut pengetahuan mengenai Kerokhanian Sapta Darma.
b. Mengadakan perlombaan yang diadakan setahun sekali seperti
menghafalkan Simbol Pribadi Manusia, Wewarah Tujuh dan Sesanti yang tujuannya adalah untuk mengasah pola pikir remaja terhadap isis dari pada kitab tersebut.
(61)
BAB IV
TANTANGAN DAN RESPON UMAT ISLAM TERHADAP ALIRAN KEROKHANIAN SAPTA DARMA DI DESA BALONGDOWO
A. Tantangan Aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa Balongdowo
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan di Desa Balongdowo, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi oleh Aliran Kerokhanian Sapta Darma dalam proses awal masuk dan berkembangnya di Desa Balongdowo.
Penganut Aliran Kerokhanian Sapta Darma dalam melakukan laku64
ritual dan laku spiritual tidak dengan begitu saja mendapatkan kemudahan. Ada hal-hal baik yang secara langsung maupun tidak ternyata menjadi penghambat dalam melakukan laku-laku ritual yang di yakini oleh Penganut Aliran Kerokhanian Sapta Darma. Hasil wawancara dan observasi yang dilakukan penulis mendapati beberapa hal yang menjadi penghambat laku
ritual dan laku Spiritual.
1. Bahwa masih banyak adanya pandangan beberapa masyarakat yang masih
menganggap bahwa Aliran Kerokhanian Sapta Darma merupakan aliran sesat, hingga membuat takut para Warga untuk secara terang-terangan
(62)
53
melakukan aktifitas.65 Pandangan orang yang seperti ini bisa menjadi
hambatan dalam melakukan laku ritual dan laku spiritual.
2. Pada menjelang terjadinya peristiwa pemberontakan G.30.S.PKI Tahun 1965, tidak jarang diantara aliran Kebatinan yang menyelewengkan ajaran demi kepentingan pribadi maupun golongan politik tertentu serta praktek-praktek dukun sesat yang mempraktekkan ilmu Klenik.66 Pada tahun 1963-1965 memang perkembangan aliran Kebatinan, Kerokhanian, Kejiwaan semakin meluas, akan tetapi juga semakin liar. Hubungan yang tidak sehat antara lembaga agama resmi dengan aliran Kebatinan semakin meruncing. Juga tidak sedikit aliran-aliran yang menjadi sarang penyusupan komunis, sehingga pada tahun 1966 setelah terjadi peristiwa
pemberontakan G.30.S.PKI tak urung pemerintah mengadakan
pembersihan terhadap aliran-aliran yang berinfiltrasi PKI. Pada peristiwa pemberontakan G.30.S.PKI seluruh aliran di Indonesia mengalami kemerosotan, tak lain halnya Aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa Balongdowo. Warga Aliran Kerokhanian Sapta Darma mengalami trauma, hingga pada saat itu banyak Warga yang mengaku masuk dalam
65 Suharjo
(Warga Aliran Kerokhanian Sapta Darma), Wawancara, Sidoarjo, 21 Mei 2016. 66
Ilmu Klenik adalah segala macam, kaidah, ajaran dan praktek gaib yang dilakukan oleh perorangan atau golongan beragama yang bertentangan dengan agama yang bersangkutan atau dengan tuntunan Revolusi Indonesia.
(63)
54
agama-agama yang di akui oleh Negara Indonesia, akan tetapi mereka tetap menjalankan kegiatan spiritual (sujud) secara sembunyi-sembunyi.67
3. Aliran Kerokhanian Sapta Darma sebagai kaum minoritas yang
keberadaannya belum mendapat legalitas dari pemerintah, akan tetapi mereka terus berjuang untuk mendapatkan pengakuan negara, dan perjuangan mereka pada masa Orde Baru mendapat dukungan politik dari Golongan Karya (GOLKAR). Pada tahun 1966 di secretariat bersma GOLKAR dibentuk Badan Musyawarah Kebatinan Kejiwaan dan Kerokhanian Indonesia. Setelah melalui perjuangan panjang, akhirnya terwujud dengan lahirnya ketetapan MPR RI IV/MPR/1973-22 Maret 1973. Dengan demikian diakuilah kehidupan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, di samping agama dan sejak itu aliran kebatinan berubah nama menjadi aliran kepercayaan. Istilah kepercayaan mengacu kepada
pasal 29 ayat 2 UUD 1945, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk agamanya dan kepercayaan masing-masing” dan
Ketetapan MPR 1973. Istilah “Kepercayaan” pada GBHN Ketetapan
MPR IV/1973 kemudian dipertegas menjadi “Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa”. Legalitas kehidupan Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dicantumkan dalam ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1973 Maret 1973 kemudian dikukuhkan kembali oleh ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1978-II Maret 1978, pada judul: GBHN Bidang
(1)
65
2. Perkembangan Aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa Balongdowo
terus menunjukkan sebuah progres kearah kemajuan. Pada awal tahun
2000 manajeman keorganisasian mengalami kemajuan dan mengalami
perbaikan dengan dibentuknya sistem kepengurusan. Perkembangan ini
dapat dilihat dari kerja keras warga Aliran Sapta Darma dan didukung
oleh strategi pengembangan yang baik. Diantara strategi pengembangan
Aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa Balongdowo yaitu, Kegiatan
Rutin Tentang Pembinaan, Kegiatan Khusus, Kegiatan Bidang Kemasyarakatan,
Kegiatan Remaja.
3. Sebagai kepercayaan masyarakat yang dianggap baru, Aliran Kerokhanian Sapta
Darma di Desa Balongdowo mendapat berbagai tantangan dan respon dari
masyarakat sekitar yang mayoritas beragama Islam baik Nahdlatul Ulama (NU)
maupun Muhammadiyah. Tantangan tersebut yaitu masih adanya anggapan sesat
dari masyarakat, dianggap sebagai sarang penyusupan komunis dan di basmi
oleh PKI, dan sebagai kaum minoritas yang belum mendapat legalitas Negara.
Adapun beberapa respon dari masyarakat Islam NU maupun Muhammadiyah
yang menerima, menolak, dan netral. Akan tetapi, dari berbagai respon tersebut
masyarakat Desa Balongdowo tidak pernah sampai dengan aksi fisik yang
mengakibatkan kerugian diantara masyarakat sekitar dan warga penganut
Kerokhanian Sapta Darma. Bagi masyarakat sekitar dan Warga Sapta Darma,
toleransi sangatlah penting. Karena mereka sadar, manusia adalah makhluk
(2)
66
B. Saran
1. Kepada penganut Aliran Kerokhanian Sapta Darma, sebuah kepercayaan
religious memang kembali kepada yang meyakini, menghayati dan
menganut. Kerokhanian Sapta Darma yang diyakini, dihayati dan dianut
oleh para penganutnya di Desa Balongdowo khususnya, terus tingkatkan
kesadaran dalam diri akan toleransi dan saling menghormati
masing-masing agama atau kepercayaan religious yang dianut. Karena tidak
menutup kemungkinan akan terjadinya konflik yang disebabkan oleh
perbedaan agama atau kepercayaan yang dianut oleh masyarakat lainnya.
2. Kepada masyarakat sekitar Aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa
Balongdowo, sebagai masyarakat Islam NU maupun Muhammadiyah
tetaplah teguh pada keimanan masing-masing yang benar dan diridhai
oleh Allah SWT, supaya tidak mudah terpengaruh ataupun terjerumus
kedalam ajaran selain Islam. Sebagai orang yang beriman tetaplah
menjalankan perintah-perintah dan menjauhi segala larangan-larangan
Allah SWT.
3. Selanjutnya karya ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu besar
harapan penulis dan peneliti agar penelitian ini terus dikoreksi guna
menuju sebuah hal yang lebih baik. Dan mudah-mudahan penelitian ini
selanjutnya bisa menjadi inspirasi bagi penelitian-penelitian lain di masa
(3)
67
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku:
Ali, Muhammad Daud. Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Grafindo Persada,
1998.
Hendropuspito. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1983.
Kartapradja, Kamil. Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia. Jakarta :
CV. Haji Mas Agung, Cet. III, 1990.
Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Manan, M. Sholihan, Pengantar Metode Penelitian Sejarah Islam di Indonesia.
Surabaya: Usaha Nasional, 1980.
Mutholib Ilyas, Abd. Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia. Surabaya:
CV. Amin Surabaya, 1988.
Rahnip. Aliran Kepercayaan dan Kebatinan dalam Sorotan. Surabaya: Pustaka
Progressif, 1987.
Sofwan, Ridin. Menguak Seluk Beluk Aliran Kebatinan (Kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa). Semarang: CV. Aneka Ilmu. 1999.
Subagya, Rahmat. Kepercayaan Kebatinan, Kerohanian Kejiwaan dan Agama.
Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Supratiknya, A. Teori Perkembangan Kepercayaan. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
(4)
68
B. Dokumen:
Data monografi Desa Balongdowo tahun 2016.
Foto-foto kegiatan rutinitas Aliran Kerokhanian Sapta Darma, tempat ibadah (Sanggar), kegiatan 1 Sura Warga KSD Kabupaten Sidoarjo, kegiatan bakti sosial Warga KSD, dll.
Jadwal kunjungan tiga lembaga PERSADA Kabupaten Sidoarjo 2016.
Laporan Pertanggungjawaban Peringatan TANGGAP WARSA 1 SURA 1949 Saka Jawa, di Sanggar Candi Busana Balongdowo Kabupaten Sidoarjo 2015.
Laporan Pertanggungjawaban Piket Jumat Wage SACSR Yogyakarta dan SACB Pare Kediri 2015.
Peta Desa Balongdowo, Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo.
Program Kerja Persatuan Warga Sapta Darma (PERSADA) Kabupaten Sidoarjo Periode 2015-2020.
Surat Keputusan Terdaftar BAKESBANGPOL dan LINMAS Pemerintahan Kabupaten Sidoarjo. Nomor: 200/1688/404.6.4/X/2011 perihal telah terdaftarnya Aliran Kerokhanian Sapta Darma sebagai Organisasi Masyarakat (Ormas) dalam ruang lingkup Kabupaten Sidoarjo.
Surat Keputusan Terdaftar BAKESBANGPOL dan LINMAS Pemerintahan Kabupaten Sidoarjo. Nomor: 200/05/404.6.4/X/2016 perihal surat permohonan perpanjangan Persatuan Warga Sapta Darma (PERSADA) No. 17/PSD-KSD/III/2016.
(5)
69
C. Wawancara:
Hadi Suprayitno (Ketua umum PERSADA Kabupaten), Wawancara, Sidoarjo,
17 Maret 2016.
Hadi Sanadi (Ketua Tuntunan KSD Kabupaten), Wawancara, Sidoarjo, 20 Maret
2016.
M. Solik (Kepala Desa Balongdowo Candi Sidoarjo), Wawancara, Sidoarjo, 25
Maret 2016.
Ngatiyah (Masyarakat NU Desa Balongdowo), Wawancara, Sidoarjo, 02 Juni
2016.
U’anah (Masyarakat NU Desa Balongdowo), Wawancara, Sidoarjo, 19 Juni
2016.
Ahmad Zaini (Masyarakat NU Desa Balongdowo), Wawancara, Sidoarjo, 22
April 2016.
Arti Ulyati (Masyarakat NU Desa Balongdowo), Wawancara, Sidoarjo, 20 Juni
2016.
Ngaderi (Masyarakat Muhammadiyah Desa Balongdowo), Wawancara, Sidoarjo,
05 Juni 2016.
Sukaspan (Masyarakat Muhammadiyah Desa Balongdowo) Wawancara,
Sidoarjo, 06 Juni 2016.
Machfudz Andry (Masyarakat Muhammadiyah Desa Balongdowo) Wawancara,
Sidoarjo, 08 Juni 2016.
Marlina (Masyarakat Muhammadiyah Desa Balongdowo) Wawancara, Sidoarjo,
10 Juni 2016.
Suharjo (Warga Aliran Kerokhanian Sapta Darma), Wawancara, Sidoarjo, 20
Juni 2016.
Supeni (Warga Aliran Kerokhanian Sapta Darma), Wawancara, Sidoarjo, 21 Juni 2016.
Endah Widowati (Warga Aliran Kerokhanian Sapta Darma), Wawancara,
(6)
70
D. Internet:
Gendro “Remaja Kerokhanian Sapta Darma: Sejarah” dalam
http://remaja7darma.blogspot.ae/p/sejarah.html?m=1 (6 Maret 2016)