Efektivitas Pelatihan Komunikasi Interpersonal terhadap Kesiapan Bintara Polro untuk Berkomunikasi dengan Masyarakat dalam Rangka Perpolisian Masyarakat di Polres Bandung Timur.

(1)

ABSTRACT R. Dewi Anggraeni Hermaya

0432011

Title: Interpersonal Communication Training Efectivity For Bintara Polri Communication Readiness With Community In Community Policing Event At West Bandung Police Resort

Interpersonal communication training in this research, based on human resources problem that Polri has face, that is discrepancy between Polri personnel performance and society hope. Depends on the first survey, this discrepancy come from Polri personnel low capability doing interpersonal communication, which the competency is need by the Polri personnel in applying Community Policing to be new Polri paradigma.

This research is doing to find how far interpersonal communication training efectivity to have influence on increasing Bintara Polri communication readiness with community in community policing event at west Bandung Police Resort. Research metode that have been used is quasi experimental, the research that used semi experimental design in industrial setting, because controlling not in all variables. Using pre and post test two group design technics, where there is two group participants. One group is twenty four low interpersonal communication skills Bintara Polri personnel with giving training, and the other group is another twenty four low interpersonal communication skills Bintara Polri personnel without giving training. Using learning experiential training metode with interactive discussion, speech, pencil test paper and game simulation. Evaluation on training output along the training period and a month after the training has given to be successful training program indicator. The evaluation metode is using questionnaire and interview.

Based on Wilcoxon non parametric statistic data calculation, the result is interpersonal communication training to have influence on increasing Bintara Polri communication readiness with community in community policing event at west Bandung Police Resort. Change that have been happen in cognitive aspect is changing in thinking pattern to their job where they must be able to think positive on the job that their doing, they also must have positive feeling on him self and able to motivate/support other people to more active in participating and creating effective communication situation. Based on the research result, the searcher suggest to train more Bintara Polri personnel and to do the same in every level, and doing the training step by step and continuously. This is necessary because in a bigger part Community Policing jobs is social interaction who need interpersonal communication skills.


(2)

ABSTRAK R. Dewi Anggraeni Hermaya, S. Psi

0432011

Judul: Efektivitas Pelatihan Komunikasi Interpersonal Terhadap Kesiapan Bintara Polri Untuk Berkomunikasi Dengan Masyarakat Dalam Rangka Perpolisian Masyarakat Di Polres Bandung Timur.

Pelatihan komunikasi interpersonal dalam penelitian ini, berdasarkan permasalahan yang dihadapi Polri dalam bidang Sumber Daya Manusia yaitu adanya kesenjangan antara kinerja anggota Polri dengan harapan masyarakat. Berdasarkan survai awal yang dilakukan, kesenjangan ini disebabkan oleh rendahnya kemampuan anggota Polri dalam melakukan komunikasi interpersonal yang sebenarnya merupakan kompetensi yang dibutuhkan bagi setiap anggota Polri dalam menerapkan Perpolisian Masyarakat sebagai paradigma baru Polri.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana efektivitas pelatihan komunikasi interpersonal berpengaruh terhadap kesiapan bintara Polri di Polres Bandung Timur untuk melakukan komunikasi dengan masyarakat. Metode penelitian yang digunakan yaitu quasi eksperimental, suatu penelitian yang dilakukan pada setting industri dengan menggunakan design semi eksperimental, karena pada penelitian ini tidak semua variabel dikontrol. Tehnik yang digunakan adalah two group design pre and post test, dimana terdapat dua kelompok partisipan yaitu dua puluh empat bintara Polri yang memiliki kemampuan komunikasi interpersonal rendah yang diberi pelatihan, dan dua puluh empat anggota bintara Polri yang juga memiliki kemampuan komunikasi interpersonal rendah namun tidak diberikan pelatihan. Metode pelatihan menggunakan experiential learning dengan diskusi interaktif, ceramah, tes kertas pensil serta simulasi permainan. Sebagai indikator keberhasilan program pelatihan, dilakukan evaluasi terhadap output pelatihan selama kegiatan berlangsung, dan setelah satu bulan diberikan pelatihan. Metode evaluasi menggunakan kuesioner dan wawancara.

Berdasarkan pengolahan data statistik non parametrik Wilxocon, diperoleh hasil penelitian yaitu pelatihan komunikasi interpersonal berpengaruh terhadap peningkatan kesiapan untuk melakukan komunikasi dengan masyarakat pada Bintara Polri di Polres Bandung Timur. Perubahan terjadi dalam aspek kognitif yaitu adanya pola pemikiran yang berubah terhadap tugasnya dimana mereka mampu berfikir positif terhadap tugas yang dijalaninya, mereka juga memiliki perasan positif terhadap dirinya dan mampu mendorong orang lain untuk lebih aktif berpartisipasi dan menciptakan situasi komunikasi yang efektif. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti mengajukan saran untuk melakukan pelatihan selanjutnya dengan melibatkan seluruh bintara polri yang merata pada setiap tingkatan dan pelatihan dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan. Hal ini diperlukan karena tugas-tugas Perpolisian Masyarakat sebagian besar merupakan interaksi sosial yang memerlukan kemampuan komunikasi interpersonal.


(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

ABSTRACT ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR BAGAN ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah ... 1

1. 2. Rumusan Masalah ... 10

1. 3. Maksud, Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 11

1. 3. 1. Maksud Penelitian ... 11

1. 3. 2. Tujuan Penelitian ... 11

1. 3. 3. Kegunaan Penelitian ... 11

1. 3. 3. 1. Kegunaan Ilmiah ... 11

1. 3. 3. 2. Kegunaan Praktis ... 12


(4)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Teori

2. 1. 1. Komunikasi Interpersonal ... 14

2. 1.1 .1. Pengertian Komunikasi Interpersonal ... 14

2. 1. 1. 2. Efektivitas Komunikasi Interpersonal ... 18

2. 1. 1. 3. Komunikasi Interpersonal Sebagai - Suatu Proses Transaksional ... 19

2. 1. 1. 4. Self Awereness... 21

2. 1. 1. 5. Sistem Nilai ... 25

2. 1. 1. 5. 1. Pengertian Nilai ... 25

2. 1. 1. 5. 2. Pentingnya Nilai ... 25

2. 1. 1. 5. 3. Tipe- Tipe Nilai ... 26

2. 1. 1. 6. Sikap ... 27

2. 1. 1. 6. 1. Pengertian Sikap ... 27

2. 1. 2. Pelatihan 2. 1. 2. 1. Pengertian Pelatihan ... 28

2. 1. 2. 2. Tahap Analisis Kebutuhan Pelatihan ... 29

2. 1. 2. 3. Tujuan Pelatihan ... 31

2. 1. 2. 4. Rancangan dan Implementasi Pelatihan ... 32

2. 1. 2. 5. Metode Pelatihan ... 32

2. 1. 2. 6. Evaluasi Pelatihan ... 34

2. 1. 2. 7. Prinsip Pendidikan Orang Dewasa ... 36


(5)

2. 1. 3. Perpolisian Masyarakat

2. 1. 3. 1. Pengertian Perpolisian Masyarakat ... 40

2. 1. 3. 2. Kebutuhan Atas Perpolisian Masyarakat ... 43

2. 1. 3. 3. Kompetensi Untuk Perpolisian Masyarakat ... 45

2. 1. 3. 4. Sikap Mawas Anggota Polri Untuk Membangun - Kemitraan ... 47

2. 2. Kerangka Pikir ... 49

2. 3. Asumsi ... 62

2. 4. Hipotesis ... 62

BAB III METODE DAN SUBJEK PENELITIAN 3. 1. Metode Penelitian ... 63

3. 2. Variabel Penelitian ... 64

3. 2.1. Definisi Konseptual ... 64

3. 2. 2. Definisi Operasional ... 65

3. 3. Subyek Penelitian ... 66

3. 4. Alat Ukur ... 66

3. 5. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 68

3. 5. 1. Validitas Alat Ukur ... 69

3. 5. 2. Reliabilitas Alata Ukur ... 70

3. 6. Metode Analisis ... 70


(6)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4. 1. Gambaran Responden ... 92

4. 2. Hasil Penelitian ... 93

4. 2. 1. Hasil Kuesioner Berisi Tanggapan Responden Terhadap Program Pelatihan Komunikasi Interpersonal ... 94

4. 2. 1. 1. Tahap I, Materi Perpolisian Masyarakat ... 94

4. 2. 1. 2. Evaluasi Umum Tahap II, - Membangun Komunikasi Interpersonal ... 96

4. 2. 2. Hasil Evaluasi Simulasi Pelatihan Komunikasi Interpersonal . 97

4. 2. 3. Hasil Kuesioner Komunikasi Interpersonal Sebelum dan Sesudah Pelatihan ... 99

4. 3. Pembahasan Hasil Penelitian ... 99

4. 3. 1. Pembahasan Evaluasi Reaksi Peserta Pelatihan ... 100

4. 3. 2. Pembahasan Tahapan Belajar Peserta Pelatihan ... 105

4. 3. 3. Pembahasan Efektivitas Pelatihan Terhadap Kesiapan Melakukan Komunikasi ... 108

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5. 1. Kesimpulan ... 111

5. 2. Saran ... 112


(7)

DAFTAR TABEL

HALAMAN

Tabel 3. 4. 1. Alat Ukur Komunikasi Interpersonal ... 67

Tabel 3. 4. 2. Bobot Nilai Alat UkurTabel ... 68

Tabel C. Fungsi Tugas Sebagai Anggota Bintara Polri... 93

Tabel B. Pendapat / Saran Perbaikkan Tentang Tujuan Program ... 95

Tabel 4. 2. 2. A. Hasil Role Play Komunikasi ... 97

Tabel 4. 2. 2. B. 1. Hasil Simulai “Self Awereness” - Sebelum Diberikan Materi ... 98

Tabel 4. 2. 2. B. 2. Hasil Simulai “Self Awereness” Sesudah Diberikan Materi ... 98


(8)

DAFTAR BAGAN

HALAMAN

Bagan 1. 4. Skema Metodologi Penelitian ... 13 Bagan 2. 2. Kerangkan Pikir ... 61 Bagan 3. 1. Skema Rancangan Penelitian ... 63


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Materi Mengenai Perpolisian Masyarakat LAMPIRAN 2 Kuesioner Evaluasi Tahap I

LAMPIRAN 3 Materi Mengenai Membangun Komunikasi Interpersonal LAMPIRAN 4 Kuesioner Evaluasi Tahap II

LAMPIRAN 5 .1 Alat Ukur Komunikasi Interpersonal LAMPIRAN 5. 2. Kuesioner Perpolisian Masyarakat

LAMPIRAN 5. 3. Kisi-Kisi Alat Ukur Komunikasi Interpersonal LAMPIRAN 6 Gambaran Responden

LAMPIRAN 7 Hasil Evaluasi Reaksi Peserta Pelatihan Tahap I LAMPIRAN 8 Hasil Evaluasi Reaksi Peserta Pelatihan Tahap II


(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang Masalah

Kepolisian Negara RI (Polri) bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi fungsinya memelihara keteraturan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, mendeteksi dan mencegah terjadinya kejahatan. Dengan kata lain Polri mempunyai fungsi sebagai pengayom masyarakat dari ancaman dan tindak kejahatan yang mengganggu rasa aman serta merugikan secara kejiwaan dan material. Kegiatan menegakkan hukum, mendeteksi dan mencegah kejahatan dilakukan dengan cara melakukan penangkapan, pengusutan atau penyidikan, guna mengungkapkan bukti-bukti mengenai kejahatan yang dilakukan pelaku, untuk diproses lebih lanjut oleh dan pada tingkat pengadilan yang berwenang guna menentukan macam dan tingkat kejahatan pelaku tersangka dengan ganjaran hukuman yang adil dan beradab. (Evodia Iswandi, Mei 2006).

Masalah yang penting untuk diperhatikan guna memahami corak kepolisian di masa depan adalah dengan memperhatikan hubungan fungsional antara masyarakat dan Polri, karena keberadaan Polri beserta fungsi-fungsinya ditentukan oleh corak masyarakat dan kebudayaannya serta corak kebutuhan-kebutuhan akan pengayoman rasa aman. Corak dari fungsi-fungsi Polri bisa berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya tergantung pada corak masyarakat dan corak kerawanan yang menjadi ciri masing-masing. (Umar Effendi, Juli 2006).


(11)

2

Ditinjau dari aspek historis, Polri telah mengalami perubahan-perubahan sejalan tuntutan perkembangan jaman. Djamin (2005) membagi perkembangan Polri menjadi beberapa tahap periode sejarah. Pertama, periode jaman penjajahan, dimana fungsi dan peran Polri dimanfaatkan untuk kepentingan negara pendudukan. Kedua, periode revolusi fisik pada awal kemerdekaan, dimana disamping tugasnya sebagai penegak hukum juga berfungsi sebagai combatan yaitu ikut berperang. Ketiga, periode tahun 1949 sampai dengan 1965 Polri berada di bawah Presiden dengan tugas dan fungsi sebagai penegak hukum, pelindung dan pengayom masyarakat. Keempat, pada masa pemerintahan Orde Baru Polri menjadi bagian dari ABRI. Pada masa ini, Polri selain berperan dalam menjaga keamanan juga berfungsi sebagai alat pertahanan negara dan tugas-tugas kemiliteran lainnya. Kelima, periode reformasi ditandai dengan adanya perubahan lingkungan strategis, global, regional dan nasional dengan isu demokratis telah mendorong perubahan peran Polri dengan paradigma baru sebagai pelayan, pelindung, dan pengayom masyarakat. Proses perubahan tersebut secara yuridis ditetapkan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dimana Polri terpisah dari ABRI. (Suparlan, 1999; Sutanto, dkk. 2004).

Secara teoritik, banyak atau bervariasinya model perpolisian dikarenakan setiap pakar cenderung mencetuskan teori perpolisian berdasarkan konseptualisasi atas apa yang telah dan akan mungkin dilakukan oleh suatu organisasi kepolisian. Namun secara garis besar, perpolisian terbagi dua yaitu perpolisian konvensional serta perpolisian yang modern. (Suparlan, 1999; Sutanto, dkk. 2004).


(12)

3

Tipe perpolisian tradisional yaitu perpolisian yang terfokus pada upaya memerangi kejahatan melalui penegakkan hukum yang sifatnya reaktif dalam rangka pencapaian kondisi tertib hukum dan keadilan hukum. Jenis-jenis perpolisian termasuk dalam kelompok ini adalah perpolisian reaktif (reactive policing), perpolisian ala pemadam kebakaran (fire brigade policing), perpolisian paramiliter (paramilitary policing), perpolisian tipe putar nomor telepon (dial-a-cop policing), perpolisian reaksi cepat (rapid-response policing), perpolisian profesional (professional policing) dan perpolisian berorientasi penegakkan hukum (enforcement-oriented policing). (Suparlan, 1999; Sutanto, dkk. 2004).

Menurut Bailey dkk (1995) perpolisian tradisional adalah gaya pelaksanaan tugas-tugas atau aktivitas kepolisian yang bersifat sentralistik dan menekankan pada pencapaian keamanan dan ketertiban. Perpolisian tradisional memposisikan kepolisian sebagai pemburu kejahatan. Keberhasilan pelaksanaan tugas diukur berdasarkan pada pengendalian angka kejahatan, semakin besar jumlah kejahatan yang ditangani berarti semakin berhasil pelaksanaan tugas. (Bailey, 1995).

Berg (1992) mengatakan perpolisian tradisional tersebut pada dekade akhir ini dipandang tidak cukup memadai untuk mengendalikan kejahatan. Kepolisian yang memposisikan diri sebagai pengawas keamanan atau sebagai pemburu kejahatan tidak dapat menurunkan angka kejahatan seperti yang diharapkan dan kurang merespon pada kebutuhan masyarakat. Resiko atau kerugian akibat kejahatan selalu terjadi karena Polri hanya akan bereaksi setelah kejahatan terjadi. (Suparlan, 1999; Sutanto, dkk. 2004).


(13)

4

Selain itu, menurut Suparlan (1999) ada premis yang menyatakan bahwa kejahatan adalah produk kondisi sosial dari masyarakat setempat, maka pengendaliannya yang efektif adalah mencegah perkembangannya sejak dari awal di tengah-tengah masyarakat. Sehubungan dengan keterbatasan perpolisian tradisional tersebut maka sejak sekitar tahun 1970-an dikembangkan model Perpolisian Masyarakat (Community Policing) dan mendapat banyak perhatian pada tahun 1980-an. (Bailey, 1995).

Perpolisian Masyarakat adalah model pelaksanaan tugas kepolisian dengan menempatkan petugas kepolisian di wilayah geografis tertentu yang terbatas untuk mengajak masyarakat berpartisipasi menyelenggarakan pengamanan di wilayahnya. Kegiatannya dititik-beratkan untuk mencegah terjadinya kejahatan, bukan penindakan kejahatan. Jadi Perpolisian Masyarakat tidaklah untuk menggantikan perpolisian tradisional, karena tugas-tugas penegakkan hukum yang dilaksanakan fungsi reserse dan anti teror yang merupakan pendekatan tradisional, masih tetap dilaksanakan seperti biasanya. Perpolisian Masyarakat sadar sepenuhnya akan keterbatasannya dalam menciptakan dan memelihara kamtibmas maupun guna mencapai tujuan-tujuan kepolisian pada umumnya. Untuk itu, Polri memfokuskan pada upaya membangun kemitraan dan penuntasan masalah (problem solving policing), melakukan kegiatan yang sepenuhya berorientasi pada pelayanan atau pemberian jasa-jasa publik (public service policing), perpolisian dengan mengandalkan pada sumber daya setempat (resource-based policing) dan dilakukan bersama-sama dengan masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat. (Evodia Iswandi, Mei 2006).


(14)

5

Polri kini tengah merubah citra dirinya, berusaha berbuat komunikasi yang lebih baik dengan masyarakat, sikap seram dan galak kini mulai dikikis karena Polri seharusnya jadi sahabat masyarakat. Persahabatan Polri dengan masyarakat kini diwujudkan dalam sebuah program Perpolisian Masyarakat, yang mengutamakan hubungan baik antara kepolisian dan masyarakat. Untuk mewujudkan perubahan baik ini, Polri telah bekerja sama dengan Partner Shift, sebuah lembaga Independent yang melakukan pengkajian khusus tentang program Perpolisian Masyarakat. (Sofyan Lubis, September 2006).

Manager program Partner Shift, Sofyan Lubis mengemukakan: “perubahan paradigma tingkah laku anggota Polri telah ditentukan oleh kultur yang terbangun bersama, antara lain adanya kerja sama dengan Partner Shift yang lebih diarahkan kepada hal-hal yang berhubungan dengan membangun kultur Polri. Perpolisian Masyarakat diharapkan bisa memberikan perbaikan tidak hanya di tubuh internal Polri tapi juga sekaligus membawa perbaikan citra Polri di masyarakat, selebihnya program ini juga akan mengajak partisipasi masyarakat agar bisa menjadi polisi bagi dirinya sendiri”. (Sofyan Lubis, September 2006).

Berkaitan dengan Perpolisian Masyarakat, Polri dan masyarakat bersama-sama bertemu secara reguler untuk membicarakan masalah yang berkaitan dengan ketertiban dan keamanan. Masyarakat sekarang mengharapkan Polri yang ramah, Polri yang tidak selalu bertindak keras terhadap masyarakat dan sangat didambakan masyarakat tapi mereka adalah sebagai penegak hukum, walaupun mereka baik terhadap masyarakat, apabila masyarakat melakukan tindakan kriminal tetap harus dihukum. (Sofyan Lubis, September 2006).


(15)

6

Perkembangan yang pesat dari Perpolisian Masyarakat, disebabkan oleh adanya ketidakpuasan atas kinerja Polri yang dicapai melalui pendekatan perpolisian tradisional, meningkatnya kesadaran masyarakat sipil yang demokratis tentang hak-haknya atas pelayanan keamanan, dan tuntutan akuntabilitas dalam pelaksanaan tugas-tugas kepolisian. (Suparlan, 1999; Sutanto, dkk. 2004).

Kemitraan antara Polri dengan masyarakat dapat terwujud jika setiap anggota Polri mampu membangun interaksi yang harmonis dengan masyarakat. Kemampuan membangun hubungan tersebut merupakan bagian dari keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap anggota Polri yang tidak lepas dari peran penggunaan komunikasi interpersonal yang efektif. Hal ini sesuai kompetensi yang dibutuhkan bagi terwujudnya Perpolisian Masyarakat yaitu bahwa setiap anggota Polri bersama-sama dengan masyarakat menyelesaikan masalah bersama yang terjadi di masyarakat, sehingga diharapkan anggota Polri mampu menggunakan komunikasi yang efektif agar tercipta hubungan harmonis dengan masyarakat. (Evodia Iswandi, Mei 2006).

Berkaitan dengan kompetensi yang diperlukan bagi anggota Polri untuk menerapkan program Perpolisian Masyarakat, peneliti memperoleh data empiris berdasarkan laporan yang masuk dari masyarakat bahwa ditemukan adanya kesenjangan antara harapan masyarakat dengan kondisi obyektif anggota Polri. Dimana didapat bahwa 61% adanya ketidakmampuan anggota Polri dalam merespon masalah-masalah masyarakat yang dimanifestasikan dalam bentuk kurangnya pelayanan anggota Polri dalam menerima laporan, melayani dan menyelesaikan masalah dan konflik dalam masyarakat.


(16)

7

Sebannyak 20% anggota Polri memiliki kecenderungan tidak mudah berhubungan dengan masyarakat, bahkan cenderung curiga dan menjauh (mengambil jarak) dari masyarakat, 11% adanya sikap arogan dan sok berkuasa serta tidak mau menerima masukan orang lain dan 8% cenderung menggunakan kewenangan secara tidak semestinya. Hal itu, menurut Skolnic (1966) dalam

Berg (1992) adalah sebagai pengaruh dari pelaksanaan tugas-tugas perpolisian tradisional sebagaimana yang masih diterapkan di Indonesia hingga dewasa ini. Perilaku anggota Polri masih diwarnai sikap-sikap otoriter, dan kaku pada pendapatnya yang merupakan pengaruh standar perilaku prajurit (militer), mengingat Polri pada masa yang lalu adalah bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. (Suparlan, 2004).

Menurut kepala bagian kemitraan Polres Bandung Timur, Ia mengatakan bahwa hal di atas selain karena pengaruh standar perilaku prajurit pada masa lalu, juga disebabkan karena masih kurangnya pemahaman mereka mengenai Perpolisian Masyarakat. Ia mengatakan anggota Polri diharapkan mampu memahami Perpolisian Masyarakat, menurutnya banyak kesalahpahaman mengenai Perpolisian Masyarakat, hal ini dikarenakan para anggota Polri kurang mendapatkan penjelasan yang lebih mendalam mengenai Perpolisian Masyarakat. Ia juga menambahkan, perlu diadakan suatu kegiatan khusus yang membahas mengenai Perpolisian Masyarakat supaya anggota Polri dapat memahami Perpolisian Masyarakat dan mampu menerapkan Perpolisian Masyarakat pada lingkup kerjanya.


(17)

8

Selain itu, beliau mengatakan agar Perpolisian Masyarakat terwujud, disamping anggota Polri harus memahami mengenai Perpolisian Masyarakat, mereka juga wajib mengetahui cara berkomunikasi yang efektif, terutama jika Polri hendak menerapkan Polmas sebagai filosofi dasar dan strategi operasional. Dalam bekerja sama dengan masyarakat dalam konteks Perpolisian Masyarakat, dilakukan pendekatan dengan manajemen partisipatif, sehingga komunikasi yang efektif menjadi syarat keberhasilan yang utama.

Dari hasil wawancara dan kuesioner yang diberikan kepada dua puluh bintara Polri di Polres Bandung Timur, didapat bahwa 82% bintara Polri tidak memahami mengenai konsep Perpolisian Masyarakat. Selama mereka mengikuti pendidikan kepolisian, mereka tidak mendapat materi khusus mengenai Perpolisian Masyarakat sehingga mereka juga tidak mengetahui apa yang harus mereka terapkan sebagai anggota Polri untuk mewujudkan Perpolisian Masyarakat.

Kegiatan pokok anggota Polri dalam Perpolisian Masyarakat adalah berkomunikasi dengan warga masyarakat di wilayahnya. Komunikasi dilakukan kepada sebanyak mungkin masyarakat atau komponen dalam masyarakat, yang meliputi perangkat pemerintahan, tokoh masyarakat, warga masyarakat dari berbagai lapisan dan jenis pekerjaan, bahkan mendatangi (sambang) setiap rumah di wilayah penugasannya. Melakukan diskusi dengan masyarakat tentang masalah keamanan, mengajak masyarakat untuk berperan aktif dalam pengamanan dan ketertiban. Ukuran kualitas anggota Polri dalam Perpolisian Masyarakat adalah seberapa besar “kedekatannya pada masyarakat”. (Suparlan, 2004).


(18)

9

Berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner yang diberikan kepada dua puluh bintara Polri di Polres Bandung Timur berkaitan dengan kegiatan pokok anggota Polri dalam Perpolisian Masyarakat didapat bahwa 35% kurang mampu memperhatikan dan menjaga perasaan orang lain dalam berkomunikasi sehingga komunikasi lebih bersifat satu arah, 13% kurang mampu bersikap terbuka terhadap masukan dari masyarakat, 21% kurang mampu menghadapi beragam corak masyarakat sehingga membuat mereka tidak mampu bersikap objektif, 13% mengatakan jika mereka melakukan komunikasi dengan masyarakat, salah satu yang sulit mereka kontrol adalah emosi pada saat mereka berkomunikasi, hal ini biasanya diekpresikan mereka melalui bentuk-bentuk komunikasi non verbal, seperti ekpresi wajah, mengeritkan dahi, cara meletakkan tangan dan telapak tangan ketika melakukan komunikasi dengan anggota masyarakat sehingga mereka terkesan galak dan seram. Menurut bintara Polri tersebut, hal ini mereka dapatkan dari mencontoh pada seniornya yang lebih lama bertugas sebagai anggota Polri. Mereka mengatakan bahwa mereka meniru pola atasannya, karena tidak paham bagaimana menghadapi masyarakat.

Sisanya sebanyak 18% anggota Polri yang mengetahui mengenai Perpolisian Masyarakat, mengatakan pentingnya membangun hubungan yang baik dengan masyarakat. Berdasarkan pemahaman mereka tersebut, mereka berusaha menghargai pendapat masyarakat jika mereka sedang berdiskusi dalam menangani kasus, mereka memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya dan berusaha bersikap ramah pada saat berhadapan dengan masyarakat dari berbagai kalangan.


(19)

10

Sebagai upaya untuk mengatasi hal di atas, kendala-kendala tersebut perlu diatasi atau diubah ke arah perilaku yang dapat mendukung keberhasilan dalam pelaksanaan tugas Perpolisian Masyarakat, yaitu mampu melakukan komunikasi sebanyak mungkin terhadap warga masyarakat atau komponen dalam masyarakat, mampu menghadapi masyarakat dari berbagai lapisan dan jenis pekerjaan, mampu melakukan diskusi dengan anggota masyarakat tentang masalah keamanan, mengajak masyarakat untuk berperan aktif dalam pengamanan dan ketertiban. Namun pengaruh dari pelaksanaan tugas-tugas perpolisian tradisional, sebagaimana yang masih diterapkan di Indonesia hingga dewasa ini yaitu model militeristik, menyebabkan tindakan-tindakan tersebut menjadikan Polri tidak dipercaya dan jauh dari masyarakat dan citranya di mata masyarakat adalah buruk.

Berdasarkan pemikiran di atas bahwa kemitraan antara Polri dengan masyarakat dapat terwujud jika setiap anggota Polri mampu membangun hubungan yang harmonis dengan masyarakat dan kemampuan membangun hubungan tersebut tidak terlepas dari peranan penggunaan komunikasi interpersonal yang efektif, maka peneliti tertarik untuk meneliti dan membuat pemecahan masalah berdasarkan hal tersebut.

1. 2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dikemukakan di atas, rumusan permasalahan dalam penelitian adalah bagaimana meningkatkan kesiapan bintara Polri untuk melakukan komunikasi interpersonal dengan masyarakat dalam rangka Perpolisian Masyarakat di Polres Bandung Timur?


(20)

11

1. 3. Maksud, Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. 3. 1. Maksud Penelitian

Maksud penelitian ini adalah mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi Polri berkaitan dengan Perpolisian Masyarakat sebagai paradigma baru Polri dan membuat alternatif pemecahan masalah berdasarkan analisa kebutuhan.

1. 3. 2. Tujuan Penelitian

Memberikan suatu sumbangan pemikiran berupa rancangan pelatihan untuk meningkatkan kesiapan anggota bintara Polri melakukan komunikasi interpersonal dengan masyarakat yang berorientasi pada pelayanan masyarakat dalam rangka Perpolisian Masyarakat.

1. 3. 3. Kegunaan Penelitian 1. 3. 3. 1. Kegunaan Ilmiah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat:

1. Memberikan informasi empiris bagi bidang Psikologi khususnya Psikologi Industri dan Organisasi mengenai pelatihan komunikasi interpersonal pada anggota bintara Polri.

2. Digunakan sebagai bahan masukan oleh peneliti lain, jika ingin melakukan penelitian serupa.


(21)

12

1. 3. 2. 2. Kegunaan Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat:

1. Diperoleh pemahaman kecenderungan perilaku anggota bintara Polri dalam pelaksanaan tugas-tugas kepolisian secara umum dan perilaku yang diharapkan untuk pelaksanaan tugas yang berorientasi pada pelayanan sosial. 2. Berdasarkan pemahaman tersebut dapat dikembangkan pendekatan-

pendekatan lain yang spesifik untuk peningkatan pribadi anggota Polri maupun untuk keperluan penugasan khusus.

1. 4. Metodologi

Rancangan penelitian atau metodologi menggunakan penelitian eksperimen, yaitu mengidentifikasi hubungan sebab akibat dengan melaksanakan suatu eksperimen. Dalam penelitian ini terdapat dua kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.

Pada kelompok kontrol tidak akan diberikan intervensi berupa pelatihan komunikasi interpersonal, hanya pada kelompok eksperimen yang akan diberikan intervensi berupa pelatihan komunikasi interpersonal. Setelah kelompok eksperimen mendapatkan pelatihan, pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol akan dilihat perbandingannya. Hasil pre test dan post test pada kedua kelompok tersebut akan dibandingkan untuk melihat efektivitas pelatihan yang diberikan kepada kelompok eksperimen.


(22)

13

Berikut adalah rancangan penelitiannya:

Pre-test Post-test Control Bintara Bintara Group Polri Polri (X1) (X2)

Dibandingkan

PELATIHAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL

Eksperimental Bintara Bintara Group Polri Polri

(Y1) (Y2)


(23)

111

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5. 1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui pengolahan data terhadap 48 anggota Bintara Polri di Polres Bandung Timur, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Ada kondisi pada anggota Polri yang kurang mendukung untuk pelaksanaan Perpolisian Masyarakat yaitu :

a. Adanya kesalahpahaman mengenai konsep Perpolisian Masyarakat, yang selama ini mereka ketahui.

b. Kurangnya pengetahuan mengenai Perpolisian Masyarakat sebagai paradigma baru Polri, membuat Bintara Polri kurang memiliki kesiapan untuk melakukan komunikasi interpersonal dengan masyarakat.

2. Untuk mengatasi keadaan tersebut maka perlu dilakukan intervensi. Untuk itu diberikan pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mengenai Perpolisian Masyarakat, dan meningkatkan kemampuan melakukan komunikasi interpersonal yang efektif dengan masyarakat.

3. Pelatihan komunikasi interpersonal secara efektif merupakan alternatif pendekatan dalam upaya merubah perilaku anggota Polri untuk menjawab perubahan dalam tubuh Polri dari yang sebelumnya bercirikan militeristik menuju Polri yang berwatak sipil, profesional dan demokraktik yang mengendepankan fungsi pelayanan.


(24)

112

4. Komunikasi interpersonal yang efektif yang dikembangkan melalui pelatihan ini bukanlah satu-satunya pendekatan dalam upaya pembenahan untuk merubah kultur dan perilaku anggota Polri. Hal ini dapat dipahami karena kultur dan perilaku merupakan permasalahan kompleks yang melibatkan berbagai faktor yang membentuknya. Faktor-faktor tersebut berasal dari eksternal maupun internal yang secara langsung dan tidak langsung berpengaruh terhadap pembentukkan budaya dan perilaku seperti penataan struktur organisasi, pola kebijakan, rekruitment personel, pendidikan, pembinaan maupun dalam pengembangan personel.

5. 2. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas maka peneliti mengajukan beberapa saran, yaitu:

1. Pelatihan dapat dilaksanakan secara bertahap sebagaimana yang dirancang dalam tesis ini, yaitu: tahap pengantar mengenai Perpolisian Masyarakat dan tahap membangun komunikasi interpersonal. Hal ini diperlukan karena tugas-tugas Perpolisian Masyarakat sebagian besar merupakan interaksi sosial yang memerlukan kemampuan komunikasi interpersonal.

2. Pemberian pelatihan hendaknya lebih disesuaikan berdasarkan tingkat pendidikan, lamanya bertugas sebagai anggota Polri, dan pemberian pelatihan merata pada seluruh anggota Polri tidak hanya pada Bintara Polri laki-laki namun melibatkan peserta Polwan.


(25)

113

3. Pengukuran kembali setelah program pelatihan dilaksanakan, sebaiknya dilakukan secara berkala dan berkesinambungan yaitu mulai dari tiga bulan pertama, enam bulan berikutnya hingga satu tahun setelah pelatihan, untuk melihat efektivitas pelatihan

4. Perlu dilakukan praktek langsung melakukan komunikasi interpersonal pada masyarakat yang dinilai oleh fasilitator dan atasan, mengingat dalam pelaksanaan pelatihan sasaran tidak hanya pada level pencapaian melalui pemahaman tentang materi pelatihan saja, namun juga mencakup peningkatan keterampilan dan adanya perubahan sikap yang akan tampil dalam tugas-tugas di lapangan nantinya.

5. Penambahan waktu pelatihan, mengingat materi yang diberikan cukup banyak dan sasaran pelatihan tidak hanya pada sisi kognitif namun adanya peningkatan pada sisi afektif dan konatif dari bintara Polri.

6. Pelatihan bukan satu-satunya alternatif pemecahan masalah, oleh karena itu tetap perlu untuk dilakukan pengkajian terhadap pendekatan-pendekatan lain dalam upaya perubahan perilaku Polri menjadi lebih baik. Misalnya dengan memperbaiki sistem rekruitmen anggota Polri, pembenahan pola pengasuhan selama pendidikan, pola pembinaan dan pengembangan personel, penempatan personel yang memperhatikan kesesuaian antara karakteristik jenis pekerjaan dengan kepribadian, peningkatan kesejahteraan dan sebagainya.


(26)

DAFTAR PUSTAKA

A.S, Munandar. (2001). Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI.

Bailey, William G. (1995). The Encyclopedia of Police Societies. London: Cambrige University Press.

Berg, Bruce Lawrence. (1992). Law Enforcement. New York: Allyn and Bacon.

Campbell, Stanley. (1966). Experimental and Quasi – Experimental Designs For Research. Chicago: Rand Mcnally College Publishing Company.

Chaplin, J. P. (1999). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Craig, R. L. (1996). The ASTD Training & Development Handbook. Mc Graw Hill International Editions.

DeVito, Joseph A. (1992). The Interpersonal Communication Book. New York: Harper Collin Publisher, Inc.

Devito, A. Joseph. (1997). Komunikasi Antarmanusia. Edisi ke lima. Jakarta: Profesional Books.

Djamin, A. (2005). Masalah dan Isu Manajemen Kepolisian Negara RI dalam Era Reformasi. Jakarta: Yayasan Bharata Bakti.

Fisher, A., & Adam. (1994). Interpersonal Communication. Pragmatic in Human Relationship. New York: Mc. Graw Hill.

Friedenberg, Lisa. (1995). Psychological Testing: Design, Analysis, and Use. Massachusetts: Allyn & Bacon A Simon & Schuster Company.


(27)

Irianto, Y. (2001). Prinsip-Prinsip Dasar Manajemen Pelatihan. Surabaya: Insan Indika.

Ivanchevich, J.M. and Marteson, M.T. (1993). Organizational Behavior and Management. Irwin, Homewood, IL.

Kirkpatrick, D. L. (1994). Evaluating Training Program. Prentice Hall International, Inc.

Kunarto. (1997). Ham dan Polri. Jakarta: Cipta Manunggal.

Laird, Dugan. (1985). Approaches to Training and Development. New York: Addison-Wesley Publishing Company.

Mabes Polri. (2005). Pola Pengembangan Polri Mandiri. Jakarta.

Mabes Polri. (2005). Program Pengembangan Sumber Daya Manusia Polri Berbasis Kompetensi. Jakarta.

Mabes Polri. (1999). Reformasi Menuju Polri yang Profesional. Jakarta.

Martin, Anthony Dio. (2003). Emotional Quality Management. Jakarta: Arga.

Newstroom, J. W & Davis K. (1993). Organizational Behavior. Mc Graw Hill series in Management.

Robbins, S.P. (1998). Organizational Behaviour. 8th ed. Pearson Education, Inc., New Jersey: Upper Sadle River.

Robbins, S.P. (2003). Organizational Behaviour. 10th ed. Pearson Education, Inc., New Jersey: Upper Sadle River.

Usman, Husnaini. (2000). Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Bumi Aksara.


(28)

Vernoy, Mark W. (2002). Behaviorial Statistic In Action. 3rd ed. The McGraw- Hill Companies, Inc. United States Of America.


(1)

111

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5. 1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui pengolahan data terhadap 48 anggota Bintara Polri di Polres Bandung Timur, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Ada kondisi pada anggota Polri yang kurang mendukung untuk pelaksanaan Perpolisian Masyarakat yaitu :

a. Adanya kesalahpahaman mengenai konsep Perpolisian Masyarakat, yang selama ini mereka ketahui.

b. Kurangnya pengetahuan mengenai Perpolisian Masyarakat sebagai paradigma baru Polri, membuat Bintara Polri kurang memiliki kesiapan untuk melakukan komunikasi interpersonal dengan masyarakat.

2. Untuk mengatasi keadaan tersebut maka perlu dilakukan intervensi. Untuk itu diberikan pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mengenai Perpolisian Masyarakat, dan meningkatkan kemampuan melakukan komunikasi interpersonal yang efektif dengan masyarakat.

3. Pelatihan komunikasi interpersonal secara efektif merupakan alternatif pendekatan dalam upaya merubah perilaku anggota Polri untuk menjawab perubahan dalam tubuh Polri dari yang sebelumnya bercirikan militeristik menuju Polri yang berwatak sipil, profesional dan demokraktik yang mengendepankan fungsi pelayanan.


(2)

112

4. Komunikasi interpersonal yang efektif yang dikembangkan melalui pelatihan ini bukanlah satu-satunya pendekatan dalam upaya pembenahan untuk merubah kultur dan perilaku anggota Polri. Hal ini dapat dipahami karena kultur dan perilaku merupakan permasalahan kompleks yang melibatkan berbagai faktor yang membentuknya. Faktor-faktor tersebut berasal dari eksternal maupun internal yang secara langsung dan tidak langsung berpengaruh terhadap pembentukkan budaya dan perilaku seperti penataan struktur organisasi, pola kebijakan, rekruitment personel, pendidikan, pembinaan maupun dalam pengembangan personel.

5. 2. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas maka peneliti mengajukan beberapa saran, yaitu:

1. Pelatihan dapat dilaksanakan secara bertahap sebagaimana yang dirancang dalam tesis ini, yaitu: tahap pengantar mengenai Perpolisian Masyarakat dan tahap membangun komunikasi interpersonal. Hal ini diperlukan karena tugas-tugas Perpolisian Masyarakat sebagian besar merupakan interaksi sosial yang memerlukan kemampuan komunikasi interpersonal.

2. Pemberian pelatihan hendaknya lebih disesuaikan berdasarkan tingkat pendidikan, lamanya bertugas sebagai anggota Polri, dan pemberian pelatihan merata pada seluruh anggota Polri tidak hanya pada Bintara Polri laki-laki namun melibatkan peserta Polwan.


(3)

113

3. Pengukuran kembali setelah program pelatihan dilaksanakan, sebaiknya dilakukan secara berkala dan berkesinambungan yaitu mulai dari tiga bulan pertama, enam bulan berikutnya hingga satu tahun setelah pelatihan, untuk melihat efektivitas pelatihan

4. Perlu dilakukan praktek langsung melakukan komunikasi interpersonal pada masyarakat yang dinilai oleh fasilitator dan atasan, mengingat dalam pelaksanaan pelatihan sasaran tidak hanya pada level pencapaian melalui pemahaman tentang materi pelatihan saja, namun juga mencakup peningkatan keterampilan dan adanya perubahan sikap yang akan tampil dalam tugas-tugas di lapangan nantinya.

5. Penambahan waktu pelatihan, mengingat materi yang diberikan cukup banyak dan sasaran pelatihan tidak hanya pada sisi kognitif namun adanya peningkatan pada sisi afektif dan konatif dari bintara Polri.

6. Pelatihan bukan satu-satunya alternatif pemecahan masalah, oleh karena itu tetap perlu untuk dilakukan pengkajian terhadap pendekatan-pendekatan lain dalam upaya perubahan perilaku Polri menjadi lebih baik. Misalnya dengan memperbaiki sistem rekruitmen anggota Polri, pembenahan pola pengasuhan selama pendidikan, pola pembinaan dan pengembangan personel, penempatan personel yang memperhatikan kesesuaian antara karakteristik jenis pekerjaan dengan kepribadian, peningkatan kesejahteraan dan sebagainya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A.S, Munandar. (2001). Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI.

Bailey, William G. (1995). The Encyclopedia of Police Societies. London: Cambrige University Press.

Berg, Bruce Lawrence. (1992). Law Enforcement. New York: Allyn and Bacon.

Campbell, Stanley. (1966). Experimental and Quasi – Experimental Designs For Research. Chicago: Rand Mcnally College Publishing Company.

Chaplin, J. P. (1999). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Craig, R. L. (1996). The ASTD Training & Development Handbook. Mc Graw Hill International Editions.

DeVito, Joseph A. (1992). The Interpersonal Communication Book. New York: Harper Collin Publisher, Inc.

Devito, A. Joseph. (1997). Komunikasi Antarmanusia. Edisi ke lima. Jakarta: Profesional Books.

Djamin, A. (2005). Masalah dan Isu Manajemen Kepolisian Negara RI dalam Era Reformasi. Jakarta: Yayasan Bharata Bakti.

Fisher, A., & Adam. (1994). Interpersonal Communication. Pragmatic in Human Relationship. New York: Mc. Graw Hill.

Friedenberg, Lisa. (1995). Psychological Testing: Design, Analysis, and Use. Massachusetts: Allyn & Bacon A Simon & Schuster Company.

Universitas Kristen Maranatha 114


(5)

Irianto, Y. (2001). Prinsip-Prinsip Dasar Manajemen Pelatihan. Surabaya: Insan Indika.

Ivanchevich, J.M. and Marteson, M.T. (1993). Organizational Behavior and Management. Irwin, Homewood, IL.

Kirkpatrick, D. L. (1994). Evaluating Training Program. Prentice Hall International, Inc.

Kunarto. (1997). Ham dan Polri. Jakarta: Cipta Manunggal.

Laird, Dugan. (1985). Approaches to Training and Development. New York: Addison-Wesley Publishing Company.

Mabes Polri. (2005). Pola Pengembangan Polri Mandiri. Jakarta.

Mabes Polri. (2005). Program Pengembangan Sumber Daya Manusia Polri Berbasis Kompetensi. Jakarta.

Mabes Polri. (1999). Reformasi Menuju Polri yang Profesional. Jakarta.

Martin, Anthony Dio. (2003). Emotional Quality Management. Jakarta: Arga.

Newstroom, J. W & Davis K. (1993). Organizational Behavior. Mc Graw Hill series in Management.

Robbins, S.P. (1998). Organizational Behaviour. 8th ed. Pearson Education, Inc., New Jersey: Upper Sadle River.

Robbins, S.P. (2003). Organizational Behaviour. 10th ed. Pearson Education, Inc., New Jersey: Upper Sadle River.

Usman, Husnaini. (2000). Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Universitas Kristen Maranatha 115


(6)

Vernoy, Mark W. (2002). Behaviorial Statistic In Action. 3rd ed. The McGraw- Hill Companies, Inc. United States Of America.

Wiryanto. (2004). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Grasindo.

Universitas Kristen Maranatha 116


Dokumen yang terkait

POLA KOMUNIKASI INTERPERSONAL ORANG DENGAN LUPUS (ODAPUS) DALAM MASYARAKAT Pola Komunikasi Interpersonal Orang Dengan Lupus (Odapus) Dalam Masyarakat (Studi Fenomenologi Pola Komunikasi Interpersonal Odapus Pada Komunitas Griya Kupu Solo Dalam Masyarakat

0 2 12

PENDAHULUAN Pola Komunikasi Interpersonal Orang Dengan Lupus (Odapus) Dalam Masyarakat (Studi Fenomenologi Pola Komunikasi Interpersonal Odapus Pada Komunitas Griya Kupu Solo Dalam Masyarakat).

0 2 22

POLA KOMUNIKASI INTERPERSONAL ORANG DENGAN LUPUS (ODAPUS) Pola Komunikasi Interpersonal Orang Dengan Lupus (Odapus) Dalam Masyarakat (Studi Fenomenologi Pola Komunikasi Interpersonal Odapus Pada Komunitas Griya Kupu Solo Dalam Masyarakat).

0 3 12

PENDAHULUAN Peranan Program Community Policing ( Perpolisian Masyarakat ) Oleh Bina Mitra Polres Boyolali Dalam Menjaga Kamtibmas Di Wilayah Boyolali.

0 0 16

Perumusan Kebijakan Perpolisian Masyarakat.

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Program Perpolisian Masyarakat dalam Mewujudkan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat di Polres Salatiga

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Program Perpolisian Masyarakat dalam Mewujudkan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat di Polres Salatiga T1 312008067 BAB I

0 0 15

Perilaku Berkomunikasi Masyarakat dalam rangka

0 0 20

STRATEGI KOMUNIKASI DALAM KESIAPAN MENGHADAPI BENCANA LONGSOR BAGI MASYARAKAT DI BANDUNG BARAT (STUDI KASUS TENTANG STRATEGI KOMUNIKASI DALAM KESIAPAN MENGHADAPI BENCANA LONGSOR BAGI MASYARAKAT KAWASAN PERTANIAN DI KAKI GUNUNG BURANGRANG, KAB.BANDUNG BARA

0 3 14

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL DALAM MEWUJUDKAN KEHARMONISAN KELUARGA DI MASYARAKAT NELAYAN MESKOM BENGKALIS

0 0 16