Perilaku Berkomunikasi Masyarakat dalam rangka

Pola Komunikasi Masyarakat dalam Konflik
(Studi Perilaku Komunikasi Masyarakat dalam Konflik Rencana
Penambangan di Pesisir Kulon Progo, Yogyakarta)1
Nella A. P.2

ABSTRACT
This study aims to know about the information behavior in society with conflict
situations. In such situations maze of information is very possible that people become
victims of information. In the maze of information, people have choices to select the
information they would. As happened in the Kulon Progo coastal mining side-plan.
Based on the field research conducted in December 2011 to March 2012, it is known
that the majority of farmers in Kulon Progo coastal mining side-plan,, particularly in
Garongan and Bugel, resistance to information. They selected the information that
comes and took channel into account of information. They will tend to absorbed
information from their social environment. It makes social media as the dominant
medium of the information in conflict society. Nevertheless, the social role in the
community also takes shape the information behavior of inform.
Key word : masyarakat, konflik, perilaku berinformasi, media sosial

Pendahuluan
Masyarakat dalam situasi konflik seringkali mengalami ketidakpastian.

Pengambilan berbagai kebijakan yang berujung pada keputusan kondisi atas mereka
pun selalu menemui kealotan. Tarik menarik kepentingan membuat mereka berada
dalam kondisi tersebut. Ketidakpastian tidak berhenti pada situasi yang harus mereka
lalui, namun juga informasi yang mereka terima. Bukan mustahil jika masyarakat
dalam situasi konflik juga mengalami kesimpangsiuran informasi.
Konflik yang sarat akan kepentingan menuntut aktor (gatekeeper) melempar
informasi yang bertindak sebagai bentuk pertahanan kepentingan. Benarlah yang
dikatakan oleh Nathalie E. Williams (2009:32) bahwa masyarakat dalam kondisi
konflik mengalami beberapa hal seperti perasaan takut, tidak pasti, dan mudah
diserang. Ketidakpastian yang berangkat dari meluapnya informasi pada akhirnya
membawa masyarakat dalam situasi konflik sebagai korban informasi.
Bagi masyarakat kawasan rencana penambangan pasir besi pesisir Kulon
Progo, informasi yang menerpa mereka bisa jadi justru menciptakan kekecewaan
1

Tulisan ini merupakan versi singkat dari Skripsi penulis berjudul Kepentingan dalam Seleksi
Informasi Masyarakat Kawasan Rencana Penambangan Pasir Besi Pesisir Kulon Progo
2
Peneliti Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM


1

yang berujung pada penajaman eskalasi konflik. Bagi sebagian yang lain, informasi
yang patut dipercaya tergantung pada medium penyampai guna mereduksi ketajaman
konflik. Melalui tulisan ini, hendak dipaparkan perilaku berinformasi masyarakat
yang sedang berada dalam kondisi konflik. Tulisan berfokus pada bagaimana
kemudian mereka melakukan seleksi terhadap informasi yang tidak tidak jarang
berwujud desas-desus, isu, yang termanifestasi dalam kata ‘kabarnya’.
Konflik di Pesisir Kulonprogo: Paparan Wilayah Riset
Situasi konflik di kawasan rencana penambangan pasir besi pesisir Kulon
Progo bermula dari perebutan lahan yang berujung pada persengketaan. Di kawasan
pesisir Kulon Progo sendiri, persengketaan terjadi antara masyarakat sekitar dan
pihak pemerintah yang berkolaborasi dengan beberapa perusahaan—menginisiasi
perusahaan bernama Jogja Magasa Iron (JMI).
Terjadinya konflik vertikal bermula dari perbedaan pemaknaan terhadap lahan
pesisir yang 30 tahun silam tandus. Bagi masyarakat asli kawasan pesisir Kulon
Progo, lahan yang kini subur tidak lain merupakan bentuk perjuangan atas kondisi
miskin dan diskriminasi sosial yang pernah mereka alami. Mereka menyebutnya
sebagai lahan perjuangan. Sementara itu, perusahaan memaknai lahan pesisir sebagai
aset bernilai ekonomi tinggi. Kemudian pemerintahan setempat melihat lahan

kawasan pesisir Kulon Progo sebagai penyumbang pendapatan daerah yang akan
menjadikan APBD naik secara signifikan.
Konflik vertikal yang terjadi sejak 2006 silam perlahan menggerogoti kultur
kekeluargaan di kawasan pesisir Kulon Progo. Sekalipun bersifat sporadis, terdapat
beberapa pihak yang kemudian menyepakati rencana penambangan. Konflik
horizontal termanifestasi sebagai aksi bungkam antar warga yang berbeda pendapat.
Hal tersebut sering disebut sebagai hukum sosial.
Dalam masyarakat yang sedang berada dalam konflik, beredar informasi
beragam. Beberapa informasi mengarah pada dukungan akan keberadaan kegiatan
penambangan. Beberapa yang lain menguatkan penolakan atas kegiatan
pertambangan. Belum lagi ketika berbicara media dan kepentingan yang diusung atas
isu penambangan pasir besi. Media pun turut membawa keberagaman informasi.
Media melakukan wawancara terhadap warga, tetapi tidak dapat dipastikan bahwa
berita yang keluar sesuai dengan perkiraan warga.
Tidak tertutup kemungkinan masuknya berbagai informasi justru menjadikan
masyarakat setempat gamang akan kondisi konflik yang sebenarnya mereka alami.
Masyarakat menjadi kabur akan substansi permasalahan yang sedang mereka hadapi.
Oleh karenanya bukan tidak mungkin beberapa dari mereka justru bersikap apatis.
Beberapa yang idealis tetap pada pendirian menolak dan beberapa yang pragmatis
akan terpengaruh dan menjadi sepakat akan aktivitas penambangan. Adanya dua jenis

kepentingan besar dalam rencana penambangan pasir besi Kulon Progo menjadikan
adanya dua sudut pandang peredaran informasi, dari sisi pro dan kontra.
Keberagaman informasi yang beredar di tengah masyarakat kawasan rencana
penambangan pasir besi pesisir Kulon Progo membawa masyarakat setempat
2

menghadapi berbagai pilihan. Dalam hal ini, mereka bisa saja memilih informasi
yang hendak diakses untuk dipercaya, dan sebaliknya. Tulisan ini hendak membahas
berbagai pilihan dan alasan atas pengaksesan informasi oleh masyarakat yang sedang
berada dalam situasi konflik tersebut. Tulisan yang berangkat dari pendekatan
etnografi ini mencoba mengumpulkan data dari 24 informan dengan latar belakang
sosial, ekonomi, dan geografis yang berbeda. Ke-24 informan tersebut tersebar dalam
kelurahan yang berbeda, namun masih dalam satu kecamatan, Panjatan.
Seperti yang terlihat dalam Gambar 1. Kawasan rencana penambangan pasir
besi seluas 22 km x 1,8 km terdiri dari 3 kecamatan, Galur, Panjatan dan Wates yang
mencakup 6 desa dengan luas 22km x 1,8km. Kecamatan Panjatan yang merupakan
lokasi penelitian berada di antara dua kecamatan lainnya sehingga iklim perlawanan
juga lebih terasa.

Gambar 1. Peta Lokasi Wilayah KK PT. JMM Indomines. Ltd (Yunianto,2009)


Perilaku Berinformasi : Tealaah Teoritis
Informasi yang beragam disertai dengan keberagaman latar belakang sosial
dan geografis memungkinkan terjadinya keberagaman perilaku dalam mengakses
informasi. Hal tersebut seperti yang diungkapkan dalam konsep Information
Behavior. Konsep ini merangkum keseluruhan perilaku individu terhadap informasi.
Information Behavior meliputi Information Seeking maupun keseluruhan dari
perilaku lain yang tidak disengaja, maupun perilaku atas informasi yang memiliki
tujuan tertentu (Case, 2007:5). Dalam konsep tersebut, Wilson (1996) juga
memaparkan keberagaman perilaku dalam mencari informasi. Konsep ini merupakan
3

keseluruhan dari perilaku manusia dalam hubungannya dengan sumber dan medium
dari informasi, termasuk juga dalam pencarian informasi secara aktif dan pasif, serta
perihal penggunaan informasi (Wilson, 2000:49).

Gambar 2. Wilson’s 1996 Model of Information Behavior

Aspek penting dari model Wilson (1996) adalah pengakuan adanya perbedan
jenis kebiasaan mencari: passive attention, passive search, active search, dan

ongoing search (Wilson, 1997:562). Ragam jenis mencari informasi tersebut
sebelumnya dikemukakan oleh Bates (1985). Dalam membuat klasifikasi, Bates
(2002:4) berangkat dari Active-Passive dan Directed-Undirected. Actived-Directed
atau Searching adalah ketika mereka mengetahui informasi yang mereka inginkan,
secara umum mereka juga akan aktif mencari segala informasi terkait. Sementara itu,
Passive-Directed atau Monitoring cenderung memantau lingkungan untuk
memperoleh informasi yang mereka inginkan.

Gambar 2. Information-seeking Models of Marcia J. Bates (1985)

4

Di saat mereka tidak mengetahui apa yang mereka inginkan, mereka akan
melihat-lihat, atau disebut juga Active-undirected atau Browsing. Terakhir, adalah
mereka yang terkategori ke dalam orang-orang yang tetap peduli secara pasif, atau
Being Aware atau Passive-undirected (Bates, 2002:8).
Selain terjadinya berbagai jenis perilaku mencari informasi, dalam konsep
Information Behavior terdapat konteks lingkungan dan personal yang juga dapat
membentuk perilaku seseorang dalam mengakses informasi. Hal demikian telah
diungkapkan oleh Wilson (1981) pada model sebelumnya. Dalam model ini, Wilson

(1981) memasukkan konteks munculnya kebutuhan terhadap informasi dalam suatu
situasi. Di dalamnya terdapat berbagai konteks kebutuhan informasi yang di
dalamnya berupa lingkungan, peran sosial dan personal (Godbold, 2006 : np).
Sementara Johnson (1997) menambahkan adanya aspek demografi dan pengalaman
langsung sebagai pembentuk tindakan dalam mencari informasi (dalam Case,
2007:133).
Berdasarkan pemaparan teoritis mengenai Perilaku Berinformasi, untuk
melihat pola komunikasi masyarakat kawasan rencana penambangan pasir besi
Pesisir Kulon Progo yang sedang berada dalam konflik, setidaknya terdapat empat
elemen yang harus dijawab. Pertama, kebutuhan informasi masyarakat kawasan
rencana penambangan pasir besi pesisir Kulon Progo. Kedua, aspek sosial dan
personal yang melingkupinya. Ketiga, jenis perilaku mencari informasi. Keempat,
pilihan penggunaan saluran komunikasi.
Realita Kebutuhan Informasi Masyarakat dalam Kondisi Konflik
Keberagaman orientasi akan informasi terkait rencana penambangan pasir
besi begitu terlihat. Berdasarkan temuan lapangan terhadap 27 informan, warga
kawasan pesisir Kulon Progo cenderung tidak memiliki keinginan untuk mencari
informasi terkait rencana penambangan pasir besi di kawasannya. Sekalipun
demikian, mereka mengetahui beberapa informasi permukaan seperti istilah Paku
Alaman Ground (PAG) dan Jogja Magasa Iron (JMI). Kedua nama tersebut dan

istilah tambang pasir besi seringkali diucapkan dalam perbincangan, meskipun
mereka tidak mengetahui lebih jauh. Seperti yang diceritakan oleh beberapa informan
beikut:
Saya tidak pernah mencari-cari tau. Saya juga tidak pernah tanya-tanya karena sudah ada
bagiannya sendiri-sendiri. (BR, warga Garongan 3. 6 Maret 2012. Di Acara Tanam Perdana
Garongan)
Kalau orang tua seperti saya ini cuma mendukung masyarakat sini, mbak. Ya tanah Paku
Alam katanya ada di sini. Tapi saya tidak percaya, wong dari dulu yang ngruwat (merawat)
nenek moyang kok diaku-aku.” (SR, warga Bugel 1. 9 Maret 2012. Merumput di ladang)

Ketika eskalasi konflik kawasan rencana penambangan pasir besi pesisir
Kulon Progo meningkat, para informan akan menyadari informasi yang mereka
butuhkan. Seperti pada 2010, ketika masyarakat masih sering melakukan perlawanan

5

melalui demonstrasi dan pemasangan papan menolak rencana penambangan. Seperti
yang diceritakan oleh NR, seorang Janda warga Garongan 3 berikut:
Waktu jaman masih rusuh-rusuh dulu, ya, saya sering baca-baca berita di koran dan ikut
perkumpulan PPLP. Di perkumpulan itu kita jadi tau. Ya pengen tau, mbak, makanya baca

koran. Sekarang sudah malas. (NR, janda Garongan 3. 6 Maret 2012. Di Acara Tanam
Perdana Garongan)

Secara umum, masyarakat kecamatan Panjatan apatis terhadap informasi
terkait rencana penambangan pasir besi di kawasannya. Mereka tidak ingin
mendengarkan berbagai desas-desus kabar, kecuali dari PPLP (Paguyuban Petani
Lahan Pantai):
Nek kulo ngertose naming nani. Yo mung manut, Mbak. Pokokke ra entuk ditambang, Mbak.
Yo wes pokokke aku ora arep ngrungokke kono-kono. (Kalau saya taunya cuma bertani. Jadi
cuma manut, Mbak. Pokoknya tidak boleh kalau ditambang, Mbak. Ya sudah pokoknya aku
tidak akan mendengarkan orang luar—kecuali PPLP.) (IS, warga Bugel 1. 9 Maret 2012.
.membuat benih cabai di ladang)

Sementara itu, beberapa informan mengetahui kebutuhannya terhadap
informasi terkait rencana penambangan di kawasan pesisir Kulon Progo. Mereka
selalu melakukan pemantauan untuk kemudian disampaikan kepada masyarakat.
Ya saya dan teman-teman pengurus selalu memantau perkembangan dari media dan kawankawan dari luar juga. (SM, tokoh kaum laki-laki dan kader PPLP. 4 Maret 2012. Gotong
Royong membuat PAUD di Bugel 1)
Saya harus selalu memantau perkembangan yang ada karena tugas saya menyampaikan
informasi kepada ibu-ibu di sini. untuk menghindari konflik antar warga karena hasutan dari

pihak-pihak tidak bertanggung-jawab. (IM, tokoh kaum perempuan dan pengurus inti PPLP. 4
Maret 2012. Di rumah, Bugel 2)

Selain perkembangan informasi terkait rencana penambangan pasir besi di
pesisir Kulon Progo, IM dan beberapa informan lain juga menghendaki informasi
yang dapat memberikan solusi. Keinginan atas informasi tersebut biasanya karena
informan ingin melengkapi informasi yang telah ia dapatkan sebelumnya. Seperti
simpang siur informasi kandungan pasir pesisir Kulon Progo yang dialami IM.
Saya pernah benar-benar ingin mencari informasi mengenai unsur yang terkandung di pasir
sini. Saya penasaran dan ingin membuktikan bahwa hasil tambang di sini malah bisa
digunakan untuk perang. Nanti kan malah bisa dipake untuk ngebom sini. Ketika itu saya
sampai Tanya ke Seno, orang JMI dan orang ESDM Kulon Progo. (IM, tokoh kaum
perempuan dan pengurus inti PPLP. 4 Maret 2012. Di rumah, Bugel 2)

Kebutuhan akan informasi terkait rencana penambangan pasir besi yang
beragam tidak dapat dilepaskan dari peran masing-masing informan dalam

6

mempertahankan lahan pertanian mereka. Peran tersebut membentuk kelas sosial

yang selanjutnya menciptakan kebutuhan akan informasi. Artinya, kebutuhan
informasi terkait rencana penambangan di pesisir Kulon Progo dapat dipengaruhi
oleh peran informan dalam perjuangan mempertahankan lahan.
Pemimpin Baru dalam Kondisi Konflik
Sekitar 30 tahun silam, lahan pesisir Kulon Progo adalah lahan kritis. Kondisi
yang serba kurang, membuat tetangga desa memanggil mereka Wong Cubung. Tidak
banyak warga yang mampu menjangkau pendidikan hingga SMP karena penghasilan
utama mereka hasil dari menanam kentang dan ketela. Akan tetapi, kondisi sulit
membuat masyarakat pesisir Kulon Progo tidak malas. Mereka mencari tambahan
penghasilan dari membuat garam dan mencari daun pandan di desa tetangga. Seperti
yang diceritakan IM, tokoh kaum perempuan, “Saya masih ingat, Mbak, dulu saya
dibiayai sekolah orang tua saya dari nyari daun pandan di sana. Di tetangga desa.”
Kebiasaan para kaum bapak berkumpul setiap malam untuk menemukan jalan
keluar dari kemiskinan menemui hasil. Semenjak penemuan tanaman cabai yang bisa
tumbuh di lahan tersebut, para kaum bapak semakin rajin rapat dan membuat rencana
tentang lahan pertanian. Para pemuda yang mulanya kerja sebagai TKI lantas pulang
kampung untuk mengolah lahan mereka. Rumah-rumah bambu berubah menjadi
tembok dengan ketersediaan Mandi Cuci Kakus (MCK) di masing-masing rumah.
Kebahagiaan warga pesisir lantaran keberhasilan atas perjuangan mengolah
lahan selama puluhan tahun tidak bertahan terlalu lama. Warga mulai terusik dengan
adanya kabar rencana penambangan pasir besi di daerahnya. Terlebih rencana lokasi
penambangan sepanjang 22 kilometer dengan lebar 1,8 kilometer. Bukan hanya lahan
yang tergusur, melainkan juga rumah-rumah mereka.
Pembentukan Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) sebagai reaksi awal
untuk memperjuangkan tanah bebas dari pengerukan oleh alat-alat berat.
Kepengurusan pun dibentuk secara spontan. Keterdesakan waktu membuat orangorang yang memahami persoalan rencana penambangan dan berani untuk mengambil
posisi di depan menjadi pengurus inti PPLP.
Salah satu informan yang menjadi pengurus inti PPLP adalah WD, warga
Garongan 2. Selain muda, ia juga memiliki jaringan yang luas. Pergaulan yang
dijalinnya tidak sekadar dengan wartawan dan akademisi, namun juga gerakan massa
dan individu-individu tertentu dengan ketertarikan isu pada HAM. Hal tersebut
menjadi pertimbangan bagi warga untuk memilih individu-individu tersebut sebagai
pemimpin pergerakan mereka.
Pada awalnya seluruh petani berkumpul untuk membentuk paguyuban ini dan langsung
ditanya, siapa yang mau dan berani jadi pengurus dan berada di depan memimpin
perjuangan. Wani ra reti yo bingung (Berani tetapi tidak memahami isu ya bingung). Neng
reti nek ra wani yo podo wae, baol (Namun memahami isu tetapi tidah berani ya sama saja,
tidak bisa melakukan tindakan). Waktu itu yang berani ya WD itu. (BW, seorang kakek warga
Garongan 2. 21 Febuari 2012)

7

Biasanya kami ada informasi apa, kami diskusikan dengan kawan-kawan. Biasanya dengan
WD yang punya jaringan banyak di luar. Enak diajak diskusi. Ditambah teman-teman
akademik yang sering main ke sini. (KR, tokoh masyarakat dan ketua PPLP. 4 Maret 2012)

Semenjak isu rencana penambangan pasir besi pesisir Kulon Progo
mengemuka, kepemimpinan masyarakat kawasan tersebut seolah beralih pada
pengurus inti PPLP. Masyarakat menyerahkan semua persoalan terkait rencana
penambangan pada PPLP. Dengan kata lain, muncul pemimpin baru untuk
perjuangan mempertahankan tanah. Bahkan, salah satu desa di kawasan rencana
penambangan tersebut memutuskan untuk tidak memiliki Lurah sebagai pemimpin
desanya.
Ketiadaan Lurah membuat opini dari PPLP menguat. Tidak ada rasa khawatir
dari masyarakat setempat untuk bersikap tegas menolak rencana penambangan. Opini
yang kuat beredar di tengah masyarakat tidak lepas dari peran para kader PPLP.
Sebagai kader, beberapa informan mengaku bertugas menyampaikan informasi
mendesak pada masyarakat luas. Selain itu, mereka juga kerap menjadi teman diskusi
Ketua dan Koordinator Lapangan PPLP untuk mendapatkan solusi atas
perkembangan yang ada.
Saya kan termasuk perintis. Selain itu ada kader-kader untuk melanjutkan perjuangan
kita. Mereka bertugas menyampaikan informasi dari saya. Kalau nanti saya dibel sama
wartawan, pak besok konsultasi publik, gitu, nanti saya terus ngubungin kader-kader
untuk ngomongin, gimana sikap kita yang diambil selanjutnya. Ya, koordinasi juga
dengan desa-desa lainnya.

Seorang informan yang merupakan salah satu kader PPLP mengaku bahwa
dirinya juga beberapa kali menjadi narasumber dalam diskusi akademis. Selain itu,
intensitasnya mengakses informasi terkait rencana penambangan juga cukup tinggi
sehingga membuatnya mampu berwacana lebih luas. Seperti penuturan SM, tokoh
kaum laki-laki yang juga kader PPLP:
…. Sultan Ground itu tanah-tanah yang dikuasai swapraya swapraja yang dikuasai Sultan.
JMI itu investor lokal yang di dalamnya terdiri dari orag-orang Kraton dan mau menambang
pasir di kawasan pesisir ini. Tambang pasir yang terbuka akan memakan tanah seluas 2985
hektar. Selain kawasan sumber kehidupan sebagai petani hilang, pemukiman kami
dimungkinkan akan tergusur. Penggusuran itu menyebabkan pengangguran meningkat.
Padahal, berdasarkan penelitian dosen Sosiologi UGM itu, pertanian lahan pesisir telah
mampu menekan arus urbanisasi. (SM, tokoh kaum laki-laki dan kader PPLP. 4 Maret 2012)

Sebagian besar informan tampak apatis terhadap substansi konflik yang
sedang mereka hadapi. Sikap apatis tersebut muncul lantaran mereka merasa tidak
tahu banyak mengenai rencana penambangan di daerahnya. Rasa tidak tahu membuat
mereka memilih untuk berada di belakang dan menunggu komando dari pihak yang
mereka rasa lebih tau. Mereka menyadari keterbatasannya untuk turut memikirkan
strategi. Oleh karena itu, mereka telah menyerahkan segala keputusan kepada

8

pengurus PPLP, pihak yang dianggap memahami pengambilan langkah untuk
penggagalan rencana penambangan.
Kalau orang sekolah itu, kan, sudah ada bagiannya sendiri-sendiri. Ya,kalau saya itu murid
dan murid kan cuma manut gurunya. Ya, kalau di sini gurunya PPLP itu. (GN, warga
Garongan 1. 6 Maret 2012, di acara Tanam Perdana)
Di PPLP cuma jadi suruhan paling bawah. Tinggal nunggu komando. Misal mau perang,
serbu, ya tinggal serbu. Saya tidak pernah nanya-nanya. Nanti kalau ada apa-apa pasti dikasih
tau sama pengurus PPLP. (SW, warga Garongan 2. 6 Maret 2012)

Dalam kondisi konflik, pergeseran letak geografis dapat memengaruhi
mobilitas sosial seseorang dalam masyarakat yang dapat membentuk sikapnya.
Seperti yang diceritakan oleh YD pada 12 Februari 2012, warga Garongan 2.
Informan tersebut sebelum tahun 2008 tinggal di Garongan Utara. Di dusun tersebut,
sikap menolak terhadap rencana penambangan tidak begitu mengemuka. YD yang
merasa memiliki lahan di kawasan pesisir pun berpindah tempat tinggal di Garongan
2. Lingkungan tersebut turut membentuk sikap YD untuk ikut mempertahankan
lahan.
Dulu saya tinggal di Garongan Utara, tapi pindah ke sini karena mau ikut berjuang. Di sana
agak sepi, mbak. Ya kan saya juga punya lahan di sini meskipun hanya kecil. Saya selalu ikut
aksi, mbak. Dulu pernah ikut yang sampai bertrek-trek itu. (YD, warga Garongan 2. 12
Febuari 2012. Memancing di pantai)

Lain halnya dengan pengakuan NS, warga Bugel Trans. Ia tidak mengetahui
berbagai kabar tentang rencana penambangan pasir besi di pesisir Kulon Progo.
Bahkan, ia tidak keberatan jika rencana penambangan positif dilaksanakan. Hanya
saja, ia mensyaratkan uang ganti rugi. Ia pun masih bingung dengan kabar mengenai
rencana penambangan tersebut. berikut penuturannya:
Ya dengar dengar mau ditambang. Ya ada yang bilang mau ditambang. Ada yang bilang
tidak. Katanya cuma sampai depan situ. Yang sini—daerah trans—enggak. Saya juga tidak
pengen mencari tahu lagi. Ngapain, mbak. Suami saya juga gitu kok. Ya bertani, jualan gini,
kalau ditambang ya terserah, nanti kami pulang ke rumah orang tua, Bugel yang sana. (NS.
Warga Bugel Trans. 9 Maret 2012, di warung milik informan)

Secara geografis, lokasi daerah trans cukup jauh dengan perkampungan.
Masyarakat kawasan trans pun menjadi jauh dari tersentuh informasi terkait rencana
penambangan. Bahkan, tidak banyak masyarakat sekitar yang mengetahui adanya
PPLP. Dalam kasus ini memperlihatkan bahwa sekat geografis dapat membentuk
sekat mobilitas sosial.
Dalam situasi konflik yang demikian, sekat sosial yang disertai dengan sekat
geografis menjadikan mereka relatif berjarak dari kondisi konflik. Sementara itu, di
lokasi dengan kondisi konflik dan perlawanan yang mengemuka, tercipta kelas sosial

9

baru berdasarkan pada porsi keterlibatan di PPLP. Berdasarkan 24 informan,
setidaknya terdapat tiga bagian masyarakat. Pertama, Opinion Leader yang berperan
sebagai pemuka informasi. Kedua, Follower Aktif yang selalu melakukan pembaruan
informasi terkait rencana penambangan. Ketiga, Follower yang merupakan bagian
terbesar di kawasan rencana penambangan.
Perbedaan kelas sosial di tengah masyarakat kawasan rencana penambangan
pasir besi pesisir Kulon Progo berdasarkan pada peran mempertahankan lahan.
Munculnya berbagai peran tidak lepas dari pendidikan dan pengalaman yang dimiliki
oleh warga setempat. Minimnya pendidikan menjadikan tingkat pendidikan kurang
berperan dalam membentuk sikap. Rata-rata pendidikan terakhir yang dimiliki para
petani pesisir adalah SMA. Pada akhirnya, pengalaman yang dimiliki setiap petani
pesisir sebagai dasar pembagian tugas.
Perilaku Berinformasi dan Kelompok Sosial
Berdasarkan temuan lapangan atas 24 informan, masyarakat kawasan rencana
penambangan pasir besi pesisir Kulon Progo memiliki keberagaman sikap terhadap
informasi terkait rencana penambangan. Beberapa informan mengaku sudah tidak
peduli dengan berbagai berita yang beredar sehingga memilih diam dan menunggu
sikap serentak dari masyarakat sekitar. Beberapa informan lain mengaku kadangkala
mencari informasi terbaru terkait perkembangan rencana penambangan pasir besi
pesisir Kulon Progo. Kemudian tiga informan lain mengaku harus selalu
memperbarui informasi terkait perkembangan rencana penambangan.
Bagi para informan yang mengaku tidak lagi peduli dengan berbagai kabar
rencana penambangan pasir besi, yang terpenting adalah tetap bertani. Apa pun yang
terjadi dan kabar macam apa pun yang beredar, bagi mereka, tetap bertani adalah
kepentingan utama. Bahkan SR, seorang kaum ibu warga Bugel 1 mengaku acap
tidak mengacuhkan kabar perihal pertambangan lantaran ia hanya ingin terus bertani.
Meskipun adik dari informan tersebut termasuk ke dalam pihak yang sepakat dengan
rencana penambangan, dominasi sikap penolakan atas rencana penambangan di
tempat tinggalnya membuat SR tidak mau menerima informasi dari luar.
Pokoknya saya tidak akan dengar sana-sana, Mbak. Saya hanya ingin tetap bertani di sini.
Saya hidup dari ladang ini. Saya bisa menyekolahkan anak, ya, dari bertani seperti ini. (SR.
Warga Bugel 3. 9 Maret 2012, panen sawi di ladang)

Mayoritas informan yang tidak termasuk dalam pengurus inti PPLP telah
menyerahkan segala persoalan terkait rencana penambangan pasir besi pada para
pengurus inti PPLP. Mereka menyadari posisi mereka dalam perjuangan
mempetahankan lahan adalah sebagai pendorong. Kepentingan yang mereka miliki
adalah membantu para pengurus inti PPLP untuk mempertahankan lahan. Mereka
cenderung menyesuai opini yang sedang berkembang di masyarakat sekitar.

10

Ya saya ngikuti gimana warga sini, Mbak. Pokoknya membantu warga sini mempertahankan
lahan ini. (SY, warga Bugel 2. 9 Maret 2012 ketika merumput di ladang)
Tentang perkembangan pertambangan. Kalau menurut saya yang penting dari PPLP,
persatuan kelompok tani. Karena pergerakan kelompok tani jelas menolak tambang. (ST,
warga Garongan 2. 6 Maret 2012, duduk bersantai dengan beberapa warga lainnya)

Meskipun kelompok masyarakat dalam kelas sosial Follower terlihat tidak
terlalu peduli dengan berbagai kabar terkait rencana penambangan, mereka tetap
mengikuti perkembangan informasi. Perasaan senasib membuat mereka merasa saling
terikat. Adanya public engagement dengan world engagement isu rencana
penambangan pasir besi yang disertai dengan sikap untuk bersama menolak,
membuat individu-individu yang ada dalam masyarakat konflik tersebut harus saling
terhubung. Salah satunya adalah dengan mengikuti perkembangan isu sekalipun
hanya sekadar memantau.
Ya, saya mengikuti perkembangan kondisi di sini dari acara seperti ini. Terus nanti kalau
habis ronda, biasanya pada membicarakan, terus saya ikut mendengarkan saja. Tapi tidak
pernah nanya-nanya, wong sudah ada bagiannya sendiri-sendiri. Ya saya Cuma bisa manthukmanhtuk—mengiyakan—saja. Wong saya tidak tau apa-apa. Tau saya lahan mau direbut, aku
ra iso nyambut gawe eneh—aku tidak bisa bekerja lagi. Pokoknya kalau disuruh kumpul, ya
kumpul. (GN, warga Garongan 3. 6 Maret 2012 di Acara Tanam Perdana Garongan)
Namanya juga bermasyarakat, mbak, jadi ya mengikuti. Saya mengikuti cuma dari tetangga.
Kalau lagi mencangkul di lahan, ya terus ngobrol. Kalau tidak ya kalau pas ada pengajian
gini. Tapi saya tidak pernah ikut kumpul-kumpul. Saya taunya cuma bertani.” (BR, warga
Garongan 1. 6 Maret 2012 di Acara Tanam Perdana Garongan)

Beberapa informan lain merasa perlu memperbarui informasi terkait rencana
penambangan pasir besi di pesisir Kulon Progo. Sebagai pengurus paguyuban yang
diikuti oleh hampir seluruh petani kawasan pesisir Kulon Progo, mereka merasa harus
aktif mencari perkembangan informasi. Meskipun demikian, informan tersebut
mencari informasi secara berkala dan tidak menentu, bahkan tidak memiliki sasaran
informasi spesifik.
Sebagai kader PPLP harus tau berbagai informasi menyangkut tambang. Ya, kadang bacabaca koran atau ngomong-ngomong sama KR. Tapi saya tidak pernah menargetkan. (SM,
tokoh kaum laki-laki dan Kader PPLP. 4 Maret 2012, gotong royong membuat PAUD di
dusun Bugel 1)

Informan kelas sosial Follower Aktif juga berperan sebagai penyampai isu
kepada masyarakat luas. Seperti kebiasaan sebelum tanah menjadi subur, masyarakat
selalu berdiskusi untuk keluar dari kondisi yang serba kurang, dan ketika lahan
mereka terancam diambil, mereka pun berdiskusi untuk mempertahankan lahan.

11

Ya kadang berdiskusi dan nanya-nanya tentang perkembangan dan pergerakan selanjutnya,
nanti terus disampaikan kepada masyarakat luas. Ya kalau masalah menyikapi dan
perkembangan tambang kita melalui forum-forum di masyarakat ini ada arisan RT ada
Yasinan dan segala macam kegiatan. (SM, tokoh kaum laki-laki dan Kader PPLP. 4 Maret
2012, gotong royong membuat PAUD di dusun Bugel 1)

Kecenderungan informan mencari informasi ketika eskalasi konflik sedang
meningkat, seperti ketika pada tahun 2008 hingga 2010. Mereka mengaku secara
rutin membaca koran untuk melihat perang pendapat yang sedang terjadi. Mereka
juga mengamati pemberitaan media mengenai warga sekitar rencana penambangan
pasir besi pesisir Kulon Progo.
Kalau dulu, setiap pagi saya beli koran, sekalian ke pasar. Dulu kan masih sering diberitakan
sama media. ya cuma baca-baca aja. Kalau akhir-akhir ini aku jarang beli koran. paling cuma
buka-buka internet atau ikut ngobrol begini sama tamu. (AR, tokoh pemuda, warga Garongan
2. 4 Maret 2012, di Gerbong Revolusi, Garongan 2)
Kalau dulu waktu masih ribut-ribut itu setiap pagi saya ke rumahnya Kang WD, baca-baca
koran. Saya sukanya baca Pidana itu, lho. Kalau sekarang sudah malas. (NR, warga Garongan
3. 6 Maret 2012, di Acara Tanam Perdana Garongan)

Ketika konflik mulai menurun, yakni pada akhir 2011 hingga 2012, mereka
mengaku telah lelah. Mereka kemudian memilih untuk menunggu kabar dari para
pengurus yang memang telah mereka percayai sebagai panutan dalam perjuangan
mempertahankan lahan. Meskipun demikian, mereka mengaku akan selalu siap jika
harus melakukan sesuatu yang berkaitan dengan pertahanan lahan pesisir sebagai
lahan pertanian. Demikian yang diungkapkan oleh GN, warga Garongan 1,
Ya, saya lebih banyak di lahan jadi tidak sempat kemana-mana. Tapi, kalau suatu waktu saya
dibutuhkan, saya akan selalu siap karena saya tetap tidak setuju kalau daerah ini jadi
ditambang. (GN, warga Garongan 1. 6 Maret 2012, di Acara Tanam Perdana Garongan)

Meskipun terdapat kecenderungan bahwa informan secara umum sekadar
memantau secara pasif, tetapi terdapat informan yang mengaku pernah mencari
informasi secara aktif dan spesifik. Mereka secara konsisten—hingga penelitian ini
usai—memperbarui informasi. Ketika konflik sedang menguat, mereka akan
melakukan pencarian informasi secara intens terkait suatu isu. Seperti yang dilakukan
IM saat hendak perang pendapat dengan Pemda Kulon Progo. Ia merasa harus
mengetahui terlebih dahulu kandungan bijih besi tersebut. Untuk itu, ia
mengumpulkan beberapa informasi dari koran, pamflet yang diberikan oleh JMI,
hingga mengingat mata pelajaran ketika SMA. Informan ini memiliki pendidikan
yang cukup tinggi, yakni Diploma 2. Selain IM, yang merupakan pengurus inti PPLP
sekaligus tokoh kaum perempuan, WD juga melakukan hal yang sama.
Pola perilaku berinformasi masyarakat kawasan rencana penambangan pasir
besi pesisir Kulon Progo seolah terjadi secara sistemik. Mereka mengetahui peran

12

masing-masing individu dan bergerak sesuai pembagian peran tersebut. Kultur sosial
tentang gotong-royong merupakan salah satu elemen utama terciptanya pola kerja
yang sistemik tersebut. Pun, usaha ini didukung dengan kepercayaan yang kuat satu
sama lain, yang terpenting dari kedua hal tersebut adalah adanya kesamaan
kepentingan atas lahan pesisir sebagai pertanian sebagai modal utama kerja mereka.
Media Sosial sebagai Medium Utama
Berdasarkan hasil temuan lapangan, 27 informan dalam penelitian ini
menyatakan jarang mengakses media massa. Terlebih, menggunakan media massa
sebagai sumber informasi berkaitan dengan rencana penambangan pasir besi yang
tengah menemui sengketa. Bagi sebagian dari mereka, keterbatasan waktu untuk
membaca koran merupakan salah satu alasan utama. Bagi sebagian yang lain, mereka
terhalang keterbatasan daya beli. Akan tetapi, tidak jarang informan yang
mengungkapkan bahwa pemberitaan di media seringkali membuat mereka semakin
bingung dengan kondisi konflik yang sedang mereka lalui. Oleh karena itu, seringkali
saluran komunikasi interpersonal menjadi pilihan utama masyarakat kawasan rencana
penambangan pasir besi pesisir Kulon Progo dalam memperbarui informasi mereka.
Sebagian besar masyarakat kawasan pesisir Kulon Progo bermata pencaharian
sebagai petani. Keseharian mereka pun tidak lepas dari ladang. Para informan
mengaku acap bertukar informasi terkait perkembangan rencana penambangan pasir
besi ketika sedang berladang. Seperti yang diceritakan SW berikut:
Biasanya kalau semalam habis ada rapat, nanti terus pada ngomong-ngomong di ladang.
Kalau enggak, bisa saja pas leyeh-leyeh—istirahat seusai berladang—begini. (SW, warga
Garongan 2. 6 Maret 2012 ketika duduk-duduk bersama warga lain)

Ketika peneliti berbincang dengan SW, beberapa warga ikut menimpali
pembicaraan kami mengenai rencana penambangan. Mereka saling berpendapat
mengenai keresahan masing-masing akan terjadinya perang besar. Perbincangan pun
menyentuh pada kekecewaan dan ketidakpedulian mereka terhadap pemberitaan di
media massa terkait konflik yang sedang mereka hadapi.
Wah pokokke nek baca koran lihat berita itu, Mbak, marai mangkel. Kan, sering dibilang kita
sudah sepakat untuk ditambang. Kalau media kadang membesar-besarkan. Media itu kadang
g dapat dipercaya. (ST, warga Garongan 2. 6 Maret 2012, duduk bersantai dengan beberapa
warga lain)
….Mulakno, mbak, kita sudah tidak mau dengar sana-sana lagi. Opo meneh ngandelke media
(Apalagi mempercayakan pada media). Mbak e kan komunikasi, pasti tau lah media ki piye.
Wes pokokke nek kita yang penting kabar yang di sini. Wong kita yang ngalami, kita lebih tau
dari koran-koran—media—kae. Terserah mereka mau bilang apa, yang penting kita tetap
tidak boleh kalau ditambang. (Suami dari ST, warga Garongan 2. 6 Maret 2012, duduk
bersantai dengan beberapa warga lainnya)

13

Perbincangan terkait rencana penambangan tidak hanya dilakukan oleh para
informan ketika berladang maupun bersosialisasi dengan tetangga. Di ruang itulah,
mereka merasa bebas menanyakan perkembangan informasi terkait rencana
penambangan. Di ruang tersebut, KR, tokoh masyarakat setempat, mengaku dapat
terjadi diskusi untuk melakukan aksi. Bahkan, beberapa pihak menyatakan, informasi
mengenai konflik horizontal bisa mereka dapatkan di forum tersebut. Melalui forumforum itu, mereka justru dapat menemukan solusi karena terjadi pertukaran pendapat
antar kelas sosial. Salah satu ruang yang pernah cukup aktif membicarakan berbagai
informasi terkait rencana penambangan adalah poskamling. Akan tetapi, belakangan
ini, perbincangan di malam hari seusai ronda mulai menurun.
Ya dulu waktu masih awal-awal itu Poskamling udah seperti tempat rapat. Kita bisa diskusi
dengan sesama teman ronda juga. Kalau sekarang agak jarang. Ya karena sekarang ini sedang
baik-baik saja, jadi hanya pertemuan internal yang tetap harus berjalan (KR, tokoh
masyarakat. 9 Maret 2012, di rumah, Bugel 2)

Karakter saluran interpersonal yang dialogis menjadikan masyarakat kawasan
rencana penambangan pasir besi dapat menjangkaunya. Ketika datang informasi yang
tidak dikehendaki, informan dapat menyangkalnya segera. Saling sangkal pun
seringkali terjadi. Pada akhirnya mereka hanya mengembalikan isu tersebut pada
keputusan yang diambil PPLP. Berdasarkan pengalamannya, perbincangan antarkaum
ibu seringkali lelucon belaka. Seperti yang diceritakan oleh BK, berikut:
Kalau ibu-ibu biasanya cuma katanya katanya, Mbak. Ada yang bilang katanya mau
ditambang tahun sekian tapi ya enggak percaya wong pengurusnya (PPLP) masih tenangtenang saja, kok. Ya cuma pada ketawa, mbak. Daripada stress mikirin omongan-omongan
yang tidak jelas. (BK, warga Bugel 2. 4 Maret 2012, di rumah, Bugel 2)

Perbincangan antarwarga sembari beraktivitas sehari-hari sudah menjadi
rutinitas. Himpitan konflik vertikal maupun horizontal membuat mereka semakin
merapatkan diri dengan sesama tetangga. Mereka mengakses informasi di
perkumpulan nonformal hanya sekadar untuk saling melengkapi meski tanpa
kesengajaan dan sistem baku yang mengatur. Melalui berbagai perkumpulan nonformal tersebut, suatu informasi akan mendapat respon relatif cepat. Masyarakat akan
relatif merespon berbagai informasi yang disampaikan dari dalam lingkungan
kawasan pesisir Kulon Progo. Bagi masyarakat setempat, isu yang tengah beredar di
tengah masyarakat patut diikuti.
Di sini kalau yang ngomong PPLP, warga langsung bergerak. Kalau mereka bilang kumpul,
maka kita kumpul. Pokoknya kita siap membantu PPLP untuk mempertahankan lahan ini.
Pokoknya kita tinggal nunggu komando. (SW, warga Garongan 2. 6 Maret 2012, dudukduduk bersama beberapa warga lain)

14

Kalau warga sini memang tahunya cuma bertani. Makanya, kalau sampai ada yang berani
mengusik pertanian kami, kami akan bersatu untuk melawan siapapun itu. (WD, tokoh
masyarakat. 28 Febuari 2012, di rumah, Garongan 2)

Informasi yang diterima oleh warga sekitar seringkali berdifat komando dan
klarifikasi atas isu mengenai pelaksanaan rencana penambangan. Masyarakat sekitar
minim informasi mengenai duduk perkara rencana penambangan. Mereka sekadar
mengetahui bahwa lahannya hendak direbut, dan karena itu harus
mempertahankannya. Tidak jarang informan yang kebingungan ketika peneliti
mengajaknya berbincang mengenai JMI dan Tanah Paku Alaman. Namun, ketika
perbincangan mengarah pada lahan pesisir, dengan cepat dan tegas jawaban mereka
bernada hampir sama, “Sumber kehidupan”.
Ya kabar e mau ditambang. Ya semoga tidak jadi. Katanya Tanah Paku Alam itu ada di sini,
tapi tidak tau yang mana. Saya taunya cuma pathok-pathok—penanda batas tanah. Dulu cuma
pernah tau ada orang-orang berseragam bikin pathok. Ya.., lahan ini untuk bertani untuk
menghidupi keluarga, mbak. (IS, warga Bugel 1. 9 Maret 2012, membuat benih cabai)
Wah, saya tidak tahu kalau soal Tanah Paku Alaman. Saya tidak mau tahu, mbak. Ya, setau
saya di sini mau ditambang, tapi tetep tidak boleh. Kalau saya tetap hanya membantu warga
sini, mbak. Tetap tidak boleh kalau ada tambang.

Berdasarkan pengamatan lapangan, terjadi fluktuasi pengaksesan informasi
oleh masyarakat kawasan rencana penambangan pasir besi pesisir Kulon Progo.
Masyarakat akan mengakses informasi ketika terjadi sebuah forum pelontaran opini.
Ketika eskalasi konflik sedang menurun, intensitas forum ikut mereda. Sama halnya,
ketika eskalasi konflik sedang meningkat, frekuensi turut meningkat karena semakin
banyak informasi yang bertebaran dan banyak hal yang ingin mereka perjelas.
Artinya, peredaran opini sedikit banyak bergantung pada eskalasi konflik yang
terjadi.
Begitu juga dengan penggunaan media massa. Sekalipun media massa jarang
dikonsumsi oleh masayrakat sekitar untuk memperbarui informasi terkait rencana
penambangan, YD mengaku bahwa ia pernah menggunakan koran untuk
memperbarui informasi ketika konflik rencana penambangan masih memanas, yakni
pada tahun 2008 hingga 2010.
Dulu waktu masih ribut-ribut saya baca koran ke rumah WD. Tapi sekarang sudah jarang.
Media ya cuma gitu-gitu aja. Jadi sok—kadang—tertawa aja kalau liat berita-berita tentang
sini yang tidak bener. Mosok 40 trek dibilang 3 trek. Rak yo lucu, mbak.
Wah,, dulu waktu panas-panasnya itu, setiap pagi saya baca koran. Tapi sekarang sudah
malas, mbak. Kadang-kadang aja, kalau pas kebetulan ada. Ya kalau baca berita itu, Mbak,
kok seolah-olah kita sudah setuju. Seolah-olah di sini itu tanahnya Sultan dan kita sudah
dibeli berapa triliun. Padahal, kan, enggak.” SR (9 Maret 2012),

15

Secara umum masyarakat tidak menggunakan media massa sebagai sumber
informasi. Seringkali media massa justru membuat informasi semakin simpang-siur.
Seleksi pun terjadi tidak hanya pada informasi yang datang, tetapi juga pada
penggunaan medium. Bagi mereka, kesimpang-siuran informasi yang terjadi di media
massa tidak layak dipusingkan. Berbagai informasi yang beredar di tengah
masyarakat acap menjadi bahan pembicaraan yang justru tanpa sengaja memperbarui
informasi mereka. Padahal, belum tentu informasi tersebut dapat mengurangi
ketidakpastian.
Komunikasi Sosial dalam Masyarakat konflik
Masyarakat kawasan rencana penambangan pasir besi pesisir Kulon Progo
relatif jarang menggunakan media massa sebagai sumber informasi. Waktu yang
singkat selama mereka bertemu di ladang menuntut mereka untuk saling berbagi
informasi di berbagai tempat. Hal ini diharapkan dapat berfungsi sebagai wadah
aspirasi. Jika ditilik dari terminologi saluran komunikasi Rogers, medium yang
digunakan para informan adalah saluran interpersonal. Rogers (1971:252)
menerangkan bahwa interpersonal channels merupakan saluran komunikasi yang
melibatkan tatap muka antara dua atau lebih individu. Bagi masyarakat pesisir Kulon
Progo, penggunaan saluran interpersonal tersebut dapat membantu mereka dalam
memperkuat keterikatan publik. Dengan kata lain, para pemuka informasi setempat
mengikat masyarakat setempat dengan satu opini melalui informasi darinya.
Pengikatan opini oleh para Opinion Leader merupakan bentuk penguatan
hubungan kekeluargaan. Sekalipun demikian, pengikatan opini tidak mampu
mengakomodir golongan masyarakat yang sepakat dengan rencana penambangan,
terlebih bukan dari golongan petani. Bagi petani pesisir Kulon Progo, adanya rencana
penambangan di kawasannya merupakan ancaman sosial. Mereka merasakan
degradasi kekerabatan antar tetangga. Hal tersebut memunculkan perasaan tidak pasti
dan tidak aman.
Menurut Williams (2009:22), masyarakat yang sedang berada dalam kondisi
konflik membutuhkan perkembangan informasi dengan cepat. Demikian juga yang
terjadi di kawasan rencana penambangan pasir besi pesisir Kulon Progo. Sebagai
masyarakat pedesaan yang masih memegang erat kultur kebersamaan, informasi dari
lingkungannya merupakan salah satu sumber informasi yang cepat beredar. Untuk
menjaga perederan informasi, dibutuhkan keterikatan satu sama lain. keterikatan
tersebut dapat dicapai dengan adanya integrasi sosial. Menurut Susanto (1980:18),
integrasi sosial dapat memberikan rasa aman—khususnya dalam konteks masyarakat
yang sedang berada dalam kondisi konflik.
Pencapaian suatu integrasi sosial dapat dilakukan melalui komunikasi sosial.
Karena itu kegiatan komunikasi sosial adalah lebih intensif daripada komunikasi
massa. Titik pangkal dari suatu komunikasi sosial adalah pihak komunikator dan
komunikan. Melalui komunikasi sosial tersebut, terjadilah aktualisasi dari masalahmasalah yang akan dibahas. (Susanto, 1980:18).

16

Media sosial menggunakan komunikasi tatap muka dalam bentuk komunikasi
antarpersonal maupun komunikasi kelompok. Di sini proses keterlibatan anggota
menjadi sangat penting (Oepen, 1988:88). Upaya penyebaran informasi yang
disampaikan melalui media yang ada bagi setiap masyarakat adalah berbeda-beda
karena struktur dan sistem masyarakat juga berbeda. Bagi masyarakat yang memiliki
struktur dan sistem sosial majemuk, penyebaran informasi melalui media massa
masih memerlukan upaya dengan media tradisional yang ada dalam masyarakatnya
(Rogers, 1992:165).
Media tradisional tersebut, yang dalam pembahasan Oepen (1988) disebut
sebagai bentuk dari media sosial, dimaknai oleh Rogers (1971) sebagai saluran
interpersonal. Menurut Rogers (1971:253), saluran interpersonal memiliki efektivitas
yang lebih besar dalam menghadapi perlawanan. Melalui saluran interpersonal dapat
terjadi pertukaran ide karena penerima bisa secara nyaman melakukan klarifikasi
maupun menambahkan informasi. Karakter dari saluran interpersonal ini kadangkala
memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengatasi rintangan sosial dan psikologi
dari seleksi, tanggapan, dan ingatan atas kegamblangan media massa.
Bagi masyarakat kawasan pesisir Kulon Progo, kegamblangan media massa
seringkali menimbulkan kekecewaan dan kebingungan. Menurut mereka,
pemberitaan di media massa seringkali tidak sesuai dengan realitas yang mereka
hadapi. Mereka pun bingung karena kabar dalam media massa belum beredar di
tengah masyarakat sekitar. Dengan kata lain, kadangkala informasi dari media massa
justru menjadikan persepsi masyrakat relatif kacau atas kejadian sekitar, terutama
mengenai isu konflik rencana penambangan di kawasannya.
Dalam konteks masyarakat pedesaan yang sedang berada dalam situasi
konflik, komunikasi sosial menjadi penting. Komunikasi sosial tersebut seringkali
diakomodir melalui media sosial dan melibatkan individu lain dalam lingkup
daerahnya. Dengan demikian, akan memperkuat ikatan dalam masyarakat. Akan
tetapi, tidak menutup kemungkinan media massa turut berperan secara masif dalam
penyebaran isu terkait rencana penambangan pasir besi di pesisir Kulon Progo.
Bagi masyarakat kawasan pesisir Kulon Progo, media sosial memiliki dua
fungsi. Pertama, sebagai ruang aman. Masyarakat yang sedang berda dalam
kondisi konflik membutuhkan rasa aman. Perasaan aman akan muncul ketika mereka
mengetahui dan meyakini kebersamaan akan selalu membersamai dalam menghadapi
segala kemungkinan buruh karena konflik yang sedang terjadi. Untuk merasakan
keberadaan satu sama lain, forum nonformal merupakan salah satu pilihan. Mereka
akan memiliki kebersamaan sikap yang berangkat dari opini yang sedang
mengemuka. Kesamaan dan kebersamaan bagi mereka akan mengurangi rasa tidak
aman.
Kedua, sebagai ruang klarifikasi terpaan media massa. Seperti yang
dikatakan oleh Cozzen (1987:438) tentang media skepticism, aktivitas khalayak
kadangkala membawa mereka pada sikap skeptis berikut pertahanan terhadap media.
Bagi masyarakat kawasan pesisir Kulon Progo, seringkali pemberitaan yang di media
massa menjadi perbincangan di berbagai forum nonformal. Ragam jenis kabar dari
17

media massa seringkali menjadi bahan perbincangan, sekaligus kekhawatiran.
Namun, segala risau akan pemberitaan tersebut dapat tereduksi dengan adanya forum
nonformal yang mereka bentuk.
Peran Sosial dalam Perilaku Berinformasi
Petani kawasan pesisir Kulon Progo cenderung menggunakan saluran
interpersonal dalam memperbarui informasi terkait rencana penambangan pasir besi.
Penggunaan saluran tersebut melibatkan lingkungan sosial mereka sehingga
menciptakan keterhubungan informasi untuk penguatan opini setempat. Dengan kata
lain, petani pesisir Kulon Progo berada pada lingkaran komunikasi sosial jika akses
informasi menyangkut rencana penambangan pasir besi. Meskipun demikian, mereka
memiliki perbedaan perilaku dalam pengaksesan informasi pada level kelas sosial.
Berdasarkan pemaparan hasil temuan lapangan sebelumnya, terdapat tiga jenis
perilaku dalam mencari informasi. Pertama, para informan yang sekadar secara pasif
menunggu datangnya informasi karena mereka tidak mengetahui informasi yang
dikehendaki. Mereka cenderung sebatas mengetahui di lahan mereka aka nada
kegiatan penambangan. Bates (1985) dalam ‘Model Pencarian Informasi’-nya
menyebut jenis perilaku tersebut dengan Being Aware, yakni peduli secara pasif dan
tidak terarah. Kedua, informan yang mencari informasi secara acak. Perilaku tersebut
disebut Bates (1985) dengan Browsing. Mereka aktif mencari tahu perkembangan
rencana penambangan untuk memenuhi kebutuhannya terhadap informasi, akan tetapi
tidak spesifik dan terarah. Ketiga, informan yang melakukan pencarian informasi
secara terarah untuk melengkapi pengetahuan yang telah didapat sebelumnya.
Perilaku ini disebut Bates (1985) dengan Searching, yakni mencari informasi secara
aktif dan terarah atau spesifik.
Perbedaan perilaku para informan lantaran mereka berasal dari kelas sosial
yang berbeda. Menilik kembali model ‘Perilaku Berinformasi’ Wilson (1999) bahwa
keberagaman jenis perilaku mencari informasi dapat dipengaruhi oleh lingkungan
sosial dan personal. Berdasarkan temuan lapangan, peran sosial turut membentuk
perilaku informan dalam mencari informasi. Korelasi tersebut berangkat dari
pengalaman dan pengetahuan informan terkait isu rencana penambangan pasir besi.
Kelompok sosial Opinion Leader mampu berperilaku hingga pada tahapan searching
karena mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai sebelumnya
sehingga kadangkala mereka memerlukan informasi secara spesifik sebagai
pelengkap. Meskipun, kadangkala mereka dapat saja berperilaku browsing, laiknya
kelas sosial Follower aktif. Mereka secara aktif mencari informasi sekalipun tidak
terarah dan tidak spesifik. Kemudian, hampir seluruh petani pesisir Kulon Progo yang
tidak termasuk dalam pengurus PPLP berperilaku being aware dalam pencarian
informasi terkait rencana penambangan pasir besi.
Pengetahuan dan pengalaman dalam kasus ini merupakan salah satu elemen
yang turut membentuk perilaku berinformasi. Seseorang memerlukan pengetahuan
dan pengalaman untuk kemudian dapat mencari informasi secara terarah.
Kecenderungannya, hanya dua informan yang mampu melakukan pencarian
18

informasi secara terarah. Kedua informan memiliki pengalaman berelasi dengan
berbagai pihak luar. Tingginya intensitas interaksi dengan pihak luar menjadikan
mereka lebih berpengetahuan dibandingkan informan lain. Mereka pun menjadi lebih
tahu mengenai apa yang hendak dicarinya. Seperti halnya yang diungkapkan Johnson
(1997), tingkat pengetahuan dapat membawa seseorang pada suatu keputusan
tindakan dalam mencari informasi. Oleh karena itu, dalam mencari informasi orang
kerap kali mempertimbangkan dan dipengaruhi oleh pengalaman pribadi. Seseorang
membutuhkan pengalaman dalam jaringan sosial untuk mendapatkan sebuah
kebutuhan informasi.
Kesimpulan
Kondisi konflik di kawasan rencana penambangan pasir besi pesisir Kulon
Progo membawa masyarakat dalam kondisi tidak pasti. Ketidakpastian tersebut
hendaknya direduksi dengan informasi. Namun, masyarakat kawasan pesisir Kulon
Progo acap menerima informasi dari berbagai saluran. Tidak jarang keberagaman
saluran informasi tersebut, membawa keberagaman substansi informasi. Dalam
lingkaran keberagaman informasi, masyarakat pesisir yang sedang berada dalam
situasi konflik tersebut harus memilih. Kecenderungan yang terjadi ialah, mereka
menyeleksi saluran yang membawa informasi. Informasi yang berasal dari
lingkungan sosial mereka menjadi pilihan untuk diserap. Sementara, informasi yang
berasal dari media massa, menjadi bahan perbincangan di lingkungan sos