Koalisi "Karnadi Anemer Bangkong".

Pikiran Rakyat
o Setan
456
20

21

o Mar

OApr

-

0

-

C Kamis 0 JJmat

Rabu


7
22

8
23

9
24

OJun

.Me;

Koalisi "Karnadi

10

11
25


26

0 Jut 0 Ags

Anemer Bangkong"

Oleh ASEP SALAHUDIN

"

ARNADI
Anemer
Bangkong"
Adalah subjudul novel
terkemuka yang ditulis
Sukrla dan Yuhana
tahun 1928 diterbitkan
Dakhlan Bekti dan
tahun 1963 diterbitkan
ulang oleh Kiwari Bandung. Judul utamanya

Rusiah Nu Goreng
Patut (Rahasia si Buruk
Rupa). Tampaknyajustru subjudulnya yang
lebih populer daripada

K

judulutamanya. .

Inti cerita novel ini
adalah siasat busuk si buruk rupa dan
melarat, Karnadi, yang sudah beristri
dan punya anak untuk menikahi janda
jelita Euis Awang. Dibantu kawannya,
MaIjum, akhirnya siasat ditebar: Kamadi mendapatkan pinjaman pakaian kemewahan Raden Sumtama, seorang
anemer (pemborong) yang kaya raya.
Singkat cerita, diantar MaIjum, Euis
Awang dilamar dan cintanya diterima, di
sarnping karena orang tua Euis Awang
yang sangat gila harta.

Akhir cerita, kebusukan itu terbongkar, Euis Awa~g mendapatkan

malu. Karnadi tidak
bisa lagi berkelit. Di
puncak kekalutan, ia
menutup riwayatnya
dengan menghanyutkan diri ke Sungai Citarum yang sedang
meluap.
Sebuah noveldengan
pesan yangje1as:bagaimana rahasia kebusukan lambat namun
pasti terbongkar. Kebusukan yang dimulai
dengan koalisi negatif.
Koalisi atas nama hasrat dangkal kekuasaan.
Hasrat hidup bergelimang kebendaan supaya nafsu primitif
tersalurkan membuatn~ ge1apmata sehingga menghalalkan segala earn: tunggul dirurud catang dirumpak.
Seolah~lah
"Karnadi Anemer Bangkong" ini,
kalau kita tarik dalam konteks kekinian
terutama di aras politik, akan mendapatkan re1evansinya. Saat in1,kita melihat para politisi mewarisi watak Kamadi seperti tampak dari terbongkarnya
korupsi di legis1atifoleh KPKatau drama

koalisi yang
...- ujung-ujungnya adalah da-

gang sapi demi memburu "Euis Awang":
Inilah babak aras politik yang diisi
banyak Kamadi yang terhipnotis hanya
kejelitaan Euis Awang. Politik yang
penuh intrik dan kolutif (dengan Mar~
jum). Politik yang sudah kehilangan
ideologi kecuali hanya menyisakan
satu: ideologi pragmatisme hed6nistik
yang dalam novel Yuhana disim~
bolisasikan orang tua Euis Awang.
Karena Karnadi bersolek kemewahaJll,
tanpa harus merasa perlu menelusuri
asal usulnya, lamarannya langsung cliterima, dirinya dicontreng untuk me....
jadi wakil dari sekian obsesinya
Kamadi dalam konteks politik adalah
-istilah Nietszh~ kerumunan manusia
yang lebih mengerikan dari monster

seka1ipun, sebab mereka lebih berminat
untuk menyalurkan hasrat perkaumannya ketimbang berkhidmat kepada kepentingan khalayak.Aksioma ketamakan
yang berbunyi "the more is better" atau
"semakin banyak semakin bagus" dengan mentah-mentah diterapkan yang
kemudian berujung pada mental menye;
satkannya Hobbes, "Kelangsunganhidup
dari mereka yang tersiap" (the survival of
the fittest). Politik Karnadi yang hanya
bermuara pada bagi-bagi kekekuasaan
dibumbui dramaturgi kesamaan plat~
form atau isu sentimentalisme keterwakilan umat dan kedaerahan.
Melawan lupa
Namun sayang, "Karnadi Anemer
Bangkong" itu kerap berhenti sebatas
teks, sebagai dokumen potret manusia
masa sHam prakemerdekaan tanpa
ada upaya untuk melakukan kontekstualisasi dalam sejarah kekinian. Karnadi hanya menjadi tokoh fiktif tempat
di mana rasa tak senang kita tump~kan walaupun tanpa terasa justru
banyak di antara kita berubah wujud:
memerankan sebagai Karnadi-Karnadi baru dengan siasat yang tidak kalah

cerdik Oicik) untuk meraih "Euis
Awang" yang makna dalam sinyal kontemporernya dapat beragam.
Teks dan fakta sejarah yang telah
menjebak kita menjadi bangsa anomali
sering kita lupakan. Kita sering
melakukan kesalahan yang sarna untuk
kesekian kalinya. Tragedi Karnadi yang
merasa harus menenggelamkan diri ke
sungai yang meluap tidak pern'lih
nyaliara dalam layar 1;>awahsadar.
Menjadi sangat masuk aka! seandainya
Mulan Kundera mentahbiskan perang
melawan lupa adalah inti dari peIjuangan. Dan perang seperti ini yang seharusnya terus kita kobarkan. Semoga
dinamika politik kita tidak kemudian
berujung di "Sungai Citarum yang
meluap".***
Penulis, mahasiswa 8-3 Emu Komunikasi Unpad, pengamat kebudayaan
Sunda, Pembantu Rektor WIM Tasikmalaya.

-- --


Kliping

Humos

Unpod

2009