METAFORA DALAM LAGU MINANG CIPTAAN SYAHRUL TARUN YUSUF.

(1)

ME

CIP

P

ETAFORA

PTAAN S

PROGRA

PROGR

FAKUL

UNIVE

A DALAM

SYAHRUL

TESI

Desi Ratn 1221702

AM STUD

RAM PAS

LTAS ILM

ERSITAS

PADA

2014

M LAGU

L TARUN

IS

na Sari 2001

DI LINGU

SCASARJ

MU BUDA

S ANDAL

ANG

4

MINANG

N YUSUF

UISTIK

JANA

AYA

LAS

G

F


(2)

 

METAPHOR IN MINANG SONG CREATED BY SYAHRUL TARUN YUSUF

By : Desi Ratna Sari

(Supervisor I: Dr. Fajri Usman, M. Hum., Supervisor II: Dr. Ike Revita, M. Hum.) ABSTRACT

This thesis aims to describe and explain the form, meaning and function of metaphor containing in the song created by Syahrul Tarun Yusuf (Satayu). This research is descriptive qualitative. The data are metaphor in Minang song and source of data is a song created by Satayu.

The method used is non observational method (SBLC) by using recording and note taking techniques. The methods of analyzing data are translational, referential and pragmatic identity methods. Further, to present the result of analysis data writer uses formal and informal methods. Theory used to analyze the form of the metaphor is a Haley’s theory that divides into nine forms of metaphor. In analyzing the meaning of the metaphor uses Roland Barthes' theory and function theory of metaphor uses Leech’s theory.

Based on the results of analysis it can be concluded that there are eight forms of metaphors, they are: (1) being, (2) energy, (3) substance, (4) terrestrial, (5) object, (6) living, (7) animate and (8) human. Metaphor for human and object are found dominantly. It is interpreted that Satayu’s songs generally tell about the reality of life that contains a variety of human emotions attributed. Therefore, the dominant form that arises is on the nature of human cognition. In addition, the song's creations Minang Satayu represent local conditions and culture of Minangkabau which is reflected from the objects that appear in the lyrics. Meanings found in Minang song created by Satayu are denotation and connotation meanings. Meaning that the majority arise about love and suffering. Furthermore, the functions of metaphor that emerge are informative, expressive, directive, phatic and aesthetic functions. The most common function is expressive that aims to describe the feeling of the author.


(3)

METAFORA DALAM LAGU MINANG CIPTAAN SYAHRUL TARUN YUSUF

Oleh: Desi Ratna Sari

(Pembimbing I: Dr. Fajri Usman, M. Hum. Pembimbing II: Dr. Ike Revita, M. Hum.) ABSTRAK

Penulisan tesis ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan bentuk, makna dan fungsi metafora yang terdapat dalam lagu ciptaan Syahrul Tarun Yusuf (Satayu) . Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Data penelitian adalah metafora yang terdapat dalam lagu Minang ciptaan Satayu dan sumber data adalah lagu yang diciptakan oleh Satayu.

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode Simak Bebas Libat Cakap (SBLC) dengan menggunakan teknik rekam dan catat. Metode analisis yang digunakan adalah metode padan translasional, padan referensial dan padan pragmatis dengan menggunakan teknik pilah unsur penentu. Selanjutnya, metode penyajian hasil analisis data menggunakan metode formal dan informal. Teori yang digunakan untuk menganalisis bentuk metafora adalah teori Haley yang membagi bentuk metafora menjadi sembilan bentuk. Penganalisisan makna metafora menggunakan teori Barthes dan fungsi metafora dengan menggunakan teori Leech.

Berdasarkan hasil analisis data ditemukan kesimpulan bahwa bentuk metafora dalam lagu Minang ciptaan Satayu dibagi ke dalam delapan bentuk yaitu: (1). keadaan, (2). kekuatan, (3). substansi, (4). terestrial, (5). objek, (6). kehidupan, (7). bernyawa dan (8). manusia. Penyamaan metafora kepada sifat manusia dan benda lebih banyak ditemukan. Hal ini karena lagu Minang ciptaan Satayu umumnya menceritakan tentang realita hidup yang berisi beragam emosi yang disifati manusia. Di samping itu, lagu Minang ciptaan Satayu merepresentasikan kondisi daerah dan budaya Minangkabau yang tergambar dari objek yang muncul pada lirik lagu. Makna yang ditemukan pada lagu Minang ciptaan Satayu yaitu: makna denotasi dan konotasi. Makna yang timbul mayoritas bercerita tentang cinta dan penderitaan. Selanjutnya, fungsi metafora yang muncul adalah fungsi informasional, fungsi ekspresif, fungsi direktif, fungsi fatis dan fungsi estetik. Fungsi yang paling banyak ditemukan adalah fungsi ekspresif yang bertujuan mendeskripsikan perasaan si pengarang.


(4)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kata metafora berasal dari meta- yang berarti setengah atau tidak sepenuhnya seperti pada metafisika (setengah fisik, setengah badaniah, atau tidak sepenuhnya badaniah) dan phora yang bermakna mengacu atau merujuk. Berdasarkan makna kata ini, maka metafora merujuk pada sesuatu yang tidak sepenuhnya lagi atau hanya setengah merujuk sesuatu dalam memahami atau menyatakan pengalaman dalam ranah atau bidang lain. Jadi, metafora mencakup dua pandangan mengenai satu masalah (Saragih dalam Rahmah 2002:3). Dari pengertian ini berarti metafora adalah interpretasi makna dari dua sisi dengan cara mengalihkan suatu ungkapan pada ungkapan lain untuk mengisyaratkan kesamaan dan hubungan kedua ungkapan tersebut.

Metafora muncul sebagai wujud dari permasalahan pemaknaan yang tidak cukup dengan makna literal saja. Oleh karena itu dibutuhkan penyandaran atau penginterpretasian dengan menganalogikannya pada bentuk lain. Pengambilan referensi itu bisa disandarkan pada benda hidup atau mati. Hal itu akan disesuaikan dengan makna yang akan diungkapkan dengan perepresentasian kata yang akan digunakan.

Metafora digunakan oleh seluruh bahasa yang ada di dunia, hanya intensitas kemunculannya saja yang berbeda-beda, sesuai dengan budaya yang berkembang di


(5)

daerah tersebut. Analogi suatu bahasa akan disesuaikan dengan lambang yang ada pada daerah penggunanya. Wahab (1998) membagi metafora dari segi medan semantik yang muncul menjadi dua, yaitu: metafora yang bersifat universal dan metafora yang terikat oleh budaya. Metafora universal adalah metafora yang mempunyai medan semantik yang sama bagi sebagian besar budaya di dunia, baik itu lambang kias ataupun makna yang dimaksudkan. Metafora yang terikat oleh budaya adalah metafora yang memiliki medan semantik yang hanya berlaku pada suatu daerah tertentu.

Salah satu contoh daerah yang menggunakan metafora dalam komunikasinya adalah daerah Minangkabau. Hal ini karena pengaruh budaya yang ditanamkan penduduknya. Budaya di Minangkabau sangat memperhatikan etika dalam berbahasa, menjaga sopan santun dalam bertutur. Misalnya berbahasa secara tersirat, tidak langsung ke pokok pembahasan dengan menggunakan bentuk metafora (kiasan, sindiran, dan perbandingan). Kato bakieh, kecek bamukasuik, tanyo baalamaik. Manggado mahadang tampuak, balaia mahadang pulau.

Penggunaan metafora juga ditemukan pada karya seni di Minangkabau. Salah satunya adalah seni suara, yaitu lagu Minang. Lagu Minang adalah lagu yang memilki lirik berbahasa Minang, berasal dari daerah Minangkabau. Biasanya yang disebut dengan lagu-lagu Minang adalah lagu-lagu daerah yang dikomersilkan. Mulai dikenal pada tahun 1950- an dengan lahirnya orkes Gumarang pimpinan Asbon Madjid. Setelah kemunculannya pertama kali, lagu Minang mulai berkembang, dinikmati oleh sebagian besar masyarakat. Fenomena ini melahirkan


(6)

komponis-komponis lagu Minang yang karyanya populer di tengah-tengah masyarakat, seperti: Syahrul Tarun Yusuf, Agus Taher, Ajis Sutan Sati, Asbon Madjid, Nuskan Syarief, Tiar Ramon, Yusaf Rahman, Syamsi Hasan. Mereka berkontribusi besar dalam menjaga pelestarian budaya Minang.

Salah satu komponis Minang yang dianggap produktif adalah Syahrul Tarun Yusuf yang kemudian disingkat menjadi Satayu. Ada empat ratus lebih (+400) lagu yang ia ciptakan, tapi yang didokumentasi ada dua ratus tiga puluh lima (235) lagu. Di antara lagu yang pernah ia ciptakan adalah: Bugih Lamo, Kasiah Tak Sampai, Bapisah Bukannyo Bacarai, Ampun Mande, Ranah Balingka, Gasiang Tangkurak, Roda Padati, Kabau Padati, Batu Tagak, aia Mato Mande, Ayah, Bungo Cinto, Bungo Bapaga, Kumbang Batali, Di Taluak Bayua, Samalam di India, Takuik, Tinggalah Kampuang, Oto Triarga, Alang Bangkeh, Angin Sarugo, Buyuang Boneh, Cak Sarak Cak Suruik, Caraikan Denai, Hujan, Kanai Sijundai, Minang Maimbau I, Minang Maimbau II, Bagaluik, Saputiah Hati, Karam di Lauik Cinto, Jatuah Tapai, Balam Tigo Gayo, dan Pakiah Geleang.

Karya yang dihasilkan Satayu menjadikannya meraih beberapa penghargaan. Tahun 1996, Satayu meraih Anugerah HDX atas prestasinya menciptakan lagu yang berjudul Bugih Lamo yang sampai sekarang sudah 11 kali direkam. Lagu tersebut juga populer di negara Malaysia dan Brunei Darussalam, dengan syair yang dialihbahasakan dan diganti judul “Lagu Lama”. Tahun 2001 Satayu meraih Anugerah Pedati Kota Wisata Bukittinggi. Oleh karena itu tahun 2008 seorang penulis, Muchsis Muchtar menyusun biografinya dengan judul “ Syahrul Tarun


(7)

Yusuf: Alam Takambang jadi Guru: Menguak Memori Kehidupan Pencipta Lagu Minang”.

Lagu Minang ciptaan Satayu masih disukai masyarakat sampai saat sekarang, terbukti dengan perekaman ulang lagu ciptaannya. Edy Utama, Ketua Umum Dewan Kesenian Sumatera Barat (DKSB), mengatakan ada dua alasan mengapa lagu-lagu ciptaan Tarun bertahan puluhan tahun dan menjadi lagu Minang klasik. Pertama, ia sangat menghayati dan memahami budaya Minangkabau. Ia dengan cerdas belajar dari alam, mengambil simbol-simbol alam sebagai kekuatan karyanya. Kedua, dalam lagu-lagu Minang ciptaannya ia menggambarkan dengan sangat kuat perasaan kolektif masyarakat Minang. (Muchtar, 2008: 211-212).

Pada kaitannya terhadap penelitian bahasa, lagu Minang ciptaan Satayu kental dengan metafora yang khas. Pengaruh budaya dan lingkungannya memberi peran yang besar dalam lirik lagu yang ia ciptakan. Ada beberapa alasan penulis mengambil lagu Minang ciptaan Satayu sebagai objek kajian pada penelitian ini diantaranya: pertama, kaya akan kosakata lama bahasa Minang. Lagu yang diciptakan oleh seorang pengarang merupakan refleksi lingkungannya pada waktu itu, sebagai seseorang yang dilahirkan pada tahun 1942, Satayu tentu banyak menggunakan kosakata bahasa Minang era lama (klasik) dalam lagu ciptaannya. Kosakata itu sudah mulai tidak digunakan dalam komunikasi bahkan tidak dikenal lagi oleh generasi sekarang. Ini merupakan salah satu bentuk pemertahanan dan pelestarian terhadap bahasa Minang. Perbendaharaan kosakata lama menjadi pengingat dan penambah


(8)

akan kosakata yang ada pada satu bahasa. Keberadaan lagu Minang akan menjaga eksistensi bahasa Minang yang sudah mulai ditinggalkan.

Kedua, lagu ciptaan Satayu padat dengan metafora, yaitu pengandaian pada bentuk lain. Lirik lagu Minang disusun dengan bahasa yang adakalanya tidak bermakna literal, tapi dibentuk dengan gaya bahasa yang menarik dan komersil. Satayu mengambil pengandaian langsung pada alam lingkungannya. Bahasa Minang era lama yang digunakan Satayu dalam liriknya menambah keindahan dan kepadatan bentuk metafora .

Ketiga, memperlihatkan perkembangan budaya yang terjadi di masyarakat. Satayu adalah seorang pencipta lagu yang produktif, mulai menciptakan lagu dari tahun 1967 sampai tahun 2004. Di usia tua ia masih berkiprah dalam dunia seni. Dari berbagai lagu yang ia ciptakan kita akan melihat bagaimana perubahan bentuk budaya yang ia refleksikan dari karyanya. Contohnya, dalam lagu ciptaannya yang berjudul Gasiang Tangkurak. Pada waktu lagu ini diciptakan, perdukunan merupakan sesuatu yang familiar di tengah-tengah masyarakat Minangkabau.

Contoh metafora yang ditemukan pada lagu Minang ciptaan Satayu yaitu: Nasib Kabau Padati

Panek manurun nan jo mandaki Malaleh kuduak nan dek pasangan Batanyolah kabau nan ka padati Jauah kok lai parantian

Di kampuang ka sawah maelo bajak Pai marantau mairik padati


(9)

Kironyo batuka baruak jo cigak Hiduang ndak lapeh dari tali Elo tak elo, alah den elo

Pungguang lah habih (ndeh mamak) kanai palacuik Cobo tak cubo, alah den kao

Ndeh samo sajo, dapek makan panyambuang hiduik

Ondeh …

Nasib bak cando kabau padati Iyo

Malang nasibnyo kabau padati Terjemahan:

Nasib kerbau pedati Lelah menurun dan mendaki Melepuh tengkuk karena pasangan Bertanyalah kerbau kepada pedati Jauhkah lagi pemberhentian

Di kampung ke sawah menarik bajak Pergi merantau menarik pedati Ternyata bertukar beruk dengan kera Hidung tidak terlepas dari tali Tarik ditarik, sudah saya tarik

Punggung sudah habis (ya mamak) karena cambuk Coba dicoba, sudah saya coba

Ya sama saja, hanya dapat untuk makan penyambung hidup Aduhai,,

Nasib seperti kerbau pedati Iya,,,

Malang nasibnya kerbau pedati

Lagu Minang di atas memperlihatkan pencipta lagu membuat perbandingan antara dua hal yaitu: antara seorang perantau dengan kerbau pedati. Hal ini dikarenakan ada titik kemiripan (point of similarity) antara keduanya. Seorang


(10)

perantau yang tidak berhasil mengubah nasib yang ada sebelumnya. Harapan untuk mendapatkan status ekonomi yang lebih tinggi tidak terwujud. Penghasilan hanya mampu untuk membeli kebutuhan sehari-hari, tidak ada simpanan yang diharapkan. Keadaan ini disamakan dengan kerbau pedati. Kerbau yang digunakan untuk menarik pedati yang digunakan sebagai transportasi.

Metafora tidak lepas dari pembandingan, baik pembandingan penuh atau pembandingan tidak penuh. Menurut Beekman dan Callow (dalam Hasan 2008:8) metafora dikatakan berbentuk pembandingan penuh jika ketiga unsurnya (topik, citra, titik kemiripan) disebutkan secara eksplisit. Dikatakan berbentuk tidak penuh dengan tipe-tipe berikut ini: (1) titik kemiripan implisit; (2) topik dan titik kemiripan implisit; (3) topik implisit; (4) titik kemiripan dan sebagian citra implisit.

Citra yang hadir pada metafora berkaitan erat dengan kebudayaan pemakainya. ‘Kerbau pedati’ pada contoh di atas memperlihatkan budaya masyarakat Minang yang memanfaatkan binatang sebagai tunggangan. Jika pembandingan ini dibawakan ke daerah lain tentu akan memiliki konteks yang berbeda.

Permisalan kepada pedati menggambarkan kondisi masyarakat Minangkabau, pada waktu itu di mana masyarakat Minang menggunakan pedati untuk membantu mobilitas mereka. Sebuah lagu memang hanyalah imajinasi pengarang tapi karya yang timbul merupakan refleksi fenomena yang ada. Klasiknya bahasa Minang yang digunakan oleh Satayu menjadikan penulis tertarik melakukan penelitian metafora dalam lagu-lagu ciptaannya.


(11)

1.2Ruang Lingkup dan Batasan Masalah Penelitian

Penelitian ini mengkaji tentang metafora dalam lagu Minang ciptaan Satayu. Ada lebih dari empat ratus (+400) lagu Minang yang Satayu ciptakan tapi penulis membatasinya pada lagu yang dibukukan dalam buku biografi Satayu karangan Muchsis Muchtar. Beberapa lagu yang dibukukan merupakan lagu yang sering direkam ulang dan disukai masyarakat. Lagu yang ada dalam buku biografi tersebut juga mewakili tiap masanya, mulai dari lagu yang pertama (1976) ia ciptakan sampai yang terbaru (2004). Ada lima puluh lagu yang dianalisis, dan didapatkan beberapa data yang mengandung metafora.

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada tiga hal saja yaitu: bentuk, makna dan fungsi. Metafora yang dimaksudkan adalah pembandingan satu konsep ke konsep lain. Bentuk metafora lagu Minang ciptaan Satayu dianalisis dengan menggunakan teori Haley yang membagi bentuk metafora menjadi sembilan bentuk. Makna metafora dianalisis berdasarkan pengembangan teori Barthes yaitu makna denotasi dan konotasi. Di samping itu juga dilihat makna metafora secara konseptual agar ditemukan apa saja makna yang terkandung dari metafora pada lagu Minang ciptaan Satayu. Selanjutnya fungsi metafora dianalisis berdasarkan teori Leech yang membagi fungsi metafora menjadi lima macam.


(12)

1.3Rumusan Masalah Penelitian

Masalah yang dipaparkan dalam penelitian ini yaitu masalah metafora yang digunakan dalam lagu karya Satayu. Penelitian ini akan terarah dengan adanya perumusan masalah yang akan dipaparkan, yaitu:

1. Apa saja bentuk metafora yang ditemukan dalam lagu Minang ciptaan Satayu?

2. Apakah makna metafora yang ditemukan dalam lagu Minang ciptaan Satayu? 3. Apakah fungsi metafora yang ditemukan dalam lagu Minang ciptaan Satayu?

1.4Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah melihat metafora yang ada dalam lagu Minang ciptaan Satayu. Adapun tujuan khususnya yaitu:

1. Menjelaskan bentuk metafora yang terdapat dalam lagu Minang ciptaan Satayu

2. Menjelaskan makna metafora yang terkandung dalam lagu Minang ciptaan Satayu


(13)

1.5Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bisa memberikan nilai guna nantinya bagi para pembaca, terutama bagi mereka yang mengkaji mengenai metafora. Secara teoretis penelitian ini diharapkan bisa menambah khasanah keilmuan bahasa terutama mengenai metafora. Pada tesis ini akan ditemukan bagaimana metafora yang terdapat pada lagu Minang ciptaan Satayu. Secara praktis, hadirnya penelitian ini akan mengenalkan masyarakat pada lagu Minang karya Satayu. Selain itu, manfaat lainnya penelitian ini bisa dijadikan referensi bagi mahasiswa program studi linguistik yang mengkaji masalah metafora atau lagu Minang.

1.6Biografi Satayu

Syahrul Tarun Yusuf disingkat dengan Satayu adalah seorang pencipta lagu Minang. Lahir di Nagari Balingka, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 12 Maret 1942. Ayahnya Yusuf Dt. Lelo Marajo, seorang pemangku adat di Pesukuan Koto, Jorong Koto Hilalang, Balingka. Ibunya Hj. Nurani Gani seorang bidan yang memiliki kemampuan bermain gitar dan biola.

Tahun 1956, ia menamatkan pendidikan Sekolah Rakyat (SR) dan dilanjutkan ke sekolah Institut Nasional Indonesia (INS) di Kayu Tanam. Namun pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) membuat sekolah tersebut diliburkan. Tahun 1959 Satayu melanjutkan sekolah di SMP Negeri 3 Bukittinggi dan sekolah SMA ditamatkan pada tahun 1965.


(14)

Satayu memiliki ketertarikan dalam bidang seni. Ia suka bermain gitar, menggambar dan menari. Ia mempelajari tari pergaulan seperti : Serampang 12, joged Tari Melayu. Ketika bersekolah SMA PSM (Pendidikan Siswa Minangkabau) ia berhasil mengangkat nama SMA dengan menjadi Juara Festival Band se-Kota Bukittinggi.

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Satayu pergi merantau ke Jakarta, di sana ia bertemu dengan Misnani dan menikahinya. Mereka dikarunia enam orang anak. Ada empat ratus (400) lagu yang Satayu ciptakan tapi yang didokumentasikan ada dua ratus tiga puluh lima (235) lagu. Lagu Minang yang pertama kali ia ciptakan adalah Takana Juo, Anak Rang Tangah Sawah dan Bugih Lamo (1967). Ternyata lagu ini diterima oleh masyarakat dan disusul dengan lagu-lagu lainnya. Lagu yang terakhir ia ciptakan adalah Gamang diseso Mimpi (2004). Tahun 1980 Satayu kembali ke kampung, Balingka dan pernah menjadi wali jorong dua periode (1980-1983) dan (1983-1994).


(1)

Kironyo batuka baruak jo cigak Hiduang ndak lapeh dari tali Elo tak elo, alah den elo

Pungguang lah habih (ndeh mamak) kanai palacuik Cobo tak cubo, alah den kao

Ndeh samo sajo, dapek makan panyambuang hiduik

Ondeh …

Nasib bak cando kabau padati Iyo

Malang nasibnyo kabau padati Terjemahan:

Nasib kerbau pedati Lelah menurun dan mendaki Melepuh tengkuk karena pasangan Bertanyalah kerbau kepada pedati Jauhkah lagi pemberhentian

Di kampung ke sawah menarik bajak Pergi merantau menarik pedati Ternyata bertukar beruk dengan kera Hidung tidak terlepas dari tali Tarik ditarik, sudah saya tarik

Punggung sudah habis (ya mamak) karena cambuk Coba dicoba, sudah saya coba

Ya sama saja, hanya dapat untuk makan penyambung hidup Aduhai,,

Nasib seperti kerbau pedati Iya,,,

Malang nasibnya kerbau pedati

Lagu Minang di atas memperlihatkan pencipta lagu membuat perbandingan antara dua hal yaitu: antara seorang perantau dengan kerbau pedati. Hal ini


(2)

perantau yang tidak berhasil mengubah nasib yang ada sebelumnya. Harapan untuk mendapatkan status ekonomi yang lebih tinggi tidak terwujud. Penghasilan hanya mampu untuk membeli kebutuhan sehari-hari, tidak ada simpanan yang diharapkan. Keadaan ini disamakan dengan kerbau pedati. Kerbau yang digunakan untuk menarik

pedati yang digunakan sebagai transportasi.

Metafora tidak lepas dari pembandingan, baik pembandingan penuh atau pembandingan tidak penuh. Menurut Beekman dan Callow (dalam Hasan 2008:8) metafora dikatakan berbentuk pembandingan penuh jika ketiga unsurnya (topik, citra, titik kemiripan) disebutkan secara eksplisit. Dikatakan berbentuk tidak penuh dengan tipe-tipe berikut ini: (1) titik kemiripan implisit; (2) topik dan titik kemiripan implisit; (3) topik implisit; (4) titik kemiripan dan sebagian citra implisit.

Citra yang hadir pada metafora berkaitan erat dengan kebudayaan pemakainya. ‘Kerbau pedati’ pada contoh di atas memperlihatkan budaya masyarakat Minang yang memanfaatkan binatang sebagai tunggangan. Jika pembandingan ini dibawakan ke daerah lain tentu akan memiliki konteks yang berbeda.

Permisalan kepada pedati menggambarkan kondisi masyarakat Minangkabau, pada waktu itu di mana masyarakat Minang menggunakan pedati untuk membantu mobilitas mereka. Sebuah lagu memang hanyalah imajinasi pengarang tapi karya yang timbul merupakan refleksi fenomena yang ada. Klasiknya bahasa Minang yang digunakan oleh Satayu menjadikan penulis tertarik melakukan penelitian metafora dalam lagu-lagu ciptaannya.


(3)

1.2Ruang Lingkup dan Batasan Masalah Penelitian

Penelitian ini mengkaji tentang metafora dalam lagu Minang ciptaan Satayu. Ada lebih dari empat ratus (+400) lagu Minang yang Satayu ciptakan tapi penulis membatasinya pada lagu yang dibukukan dalam buku biografi Satayu karangan Muchsis Muchtar. Beberapa lagu yang dibukukan merupakan lagu yang sering direkam ulang dan disukai masyarakat. Lagu yang ada dalam buku biografi tersebut juga mewakili tiap masanya, mulai dari lagu yang pertama (1976) ia ciptakan sampai yang terbaru (2004). Ada lima puluh lagu yang dianalisis, dan didapatkan beberapa data yang mengandung metafora.

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada tiga hal saja yaitu: bentuk, makna dan fungsi. Metafora yang dimaksudkan adalah pembandingan satu konsep ke konsep lain. Bentuk metafora lagu Minang ciptaan Satayu dianalisis dengan menggunakan teori Haley yang membagi bentuk metafora menjadi sembilan bentuk. Makna metafora dianalisis berdasarkan pengembangan teori Barthes yaitu makna denotasi dan konotasi. Di samping itu juga dilihat makna metafora secara konseptual agar ditemukan apa saja makna yang terkandung dari metafora pada lagu Minang ciptaan Satayu. Selanjutnya fungsi metafora dianalisis berdasarkan teori Leech yang membagi fungsi metafora menjadi lima macam.


(4)

1.3Rumusan Masalah Penelitian

Masalah yang dipaparkan dalam penelitian ini yaitu masalah metafora yang digunakan dalam lagu karya Satayu. Penelitian ini akan terarah dengan adanya perumusan masalah yang akan dipaparkan, yaitu:

1. Apa saja bentuk metafora yang ditemukan dalam lagu Minang ciptaan

Satayu?

2. Apakah makna metafora yang ditemukan dalam lagu Minang ciptaan Satayu?

3. Apakah fungsi metafora yang ditemukan dalam lagu Minang ciptaan Satayu?

1.4Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah melihat metafora yang ada dalam lagu Minang ciptaan Satayu. Adapun tujuan khususnya yaitu:

1. Menjelaskan bentuk metafora yang terdapat dalam lagu Minang ciptaan

Satayu

2. Menjelaskan makna metafora yang terkandung dalam lagu Minang ciptaan

Satayu


(5)

1.5Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bisa memberikan nilai guna nantinya bagi para pembaca, terutama bagi mereka yang mengkaji mengenai metafora. Secara teoretis penelitian ini diharapkan bisa menambah khasanah keilmuan bahasa terutama mengenai metafora. Pada tesis ini akan ditemukan bagaimana metafora yang terdapat pada lagu Minang ciptaan Satayu. Secara praktis, hadirnya penelitian ini akan mengenalkan masyarakat pada lagu Minang karya Satayu. Selain itu, manfaat lainnya penelitian ini bisa dijadikan referensi bagi mahasiswa program studi linguistik yang mengkaji masalah metafora atau lagu Minang.

1.6Biografi Satayu

Syahrul Tarun Yusuf disingkat dengan Satayu adalah seorang pencipta lagu Minang. Lahir di Nagari Balingka, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 12 Maret 1942. Ayahnya Yusuf Dt. Lelo Marajo, seorang pemangku adat di Pesukuan Koto, Jorong Koto Hilalang, Balingka. Ibunya Hj. Nurani Gani seorang bidan yang memiliki kemampuan bermain gitar dan biola.

Tahun 1956, ia menamatkan pendidikan Sekolah Rakyat (SR) dan dilanjutkan ke sekolah Institut Nasional Indonesia (INS) di Kayu Tanam. Namun pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) membuat sekolah tersebut diliburkan. Tahun 1959 Satayu melanjutkan sekolah di SMP Negeri 3 Bukittinggi dan sekolah SMA ditamatkan pada tahun 1965.


(6)

Satayu memiliki ketertarikan dalam bidang seni. Ia suka bermain gitar, menggambar dan menari. Ia mempelajari tari pergaulan seperti : Serampang 12, joged Tari Melayu. Ketika bersekolah SMA PSM (Pendidikan Siswa Minangkabau) ia berhasil mengangkat nama SMA dengan menjadi Juara Festival Band se-Kota Bukittinggi.

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Satayu pergi merantau ke Jakarta, di sana ia bertemu dengan Misnani dan menikahinya. Mereka dikarunia enam orang anak. Ada empat ratus (400) lagu yang Satayu ciptakan tapi yang didokumentasikan ada dua ratus tiga puluh lima (235) lagu. Lagu Minang yang pertama kali ia ciptakan

adalah Takana Juo, Anak Rang Tangah Sawah dan Bugih Lamo (1967). Ternyata

lagu ini diterima oleh masyarakat dan disusul dengan lagu-lagu lainnya. Lagu yang

terakhir ia ciptakan adalah Gamang diseso Mimpi (2004). Tahun 1980 Satayu

kembali ke kampung, Balingka dan pernah menjadi wali jorong dua periode (1980-1983) dan (1983-1994).