Bab X - DOCRPIJM 1508995940BAB 10 Aspek Lingkungan Dan Sosial fiks

PEMERINTAH KABUPATEN MAROS
PENYUSUNAN RPI2-JM TAHUN 2014

Bab X

diundangkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (UU
24/1992), yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 (UU
26/2007). Kebijakan tersebut ditujukan untuk mewujudkan kualitas tata ruang nasional yang
semakin baik, yang oleh undang-undang dinyatakan dengan kriteria aman, nyaman, produktif
dan berkelanjutan. Namun, setelah lebih dari 25 tahun diberlakukannya kebijakan tersebut,
kualitas tata ruang masih belum memenuhi harapan. Bahkan cenderung sebaliknya, justru
yang belakangan ini sedang berlangsung adalah indikasi dengan penurunan kualitas dan
daya dukung lingkungan. Pencemaran dan kerusakan lingkungan bahkan makin terlihat
secara kasat mata baik di kawasan perkotaan maupun di kawasan perdesaan.
Isu-isu lingkungan hidup yang semakin menguat dewasa ini, termasuk pada aras global,
secara substantif merupakan suatu wacana korektif terhadap paradigma pembangunan
(developmentalism). Krisis lingkungan hidup yang semakin luas di Indonesia dewasa ini,
ditengarai karena antara lain perencanaan pembangunan yang bias pertumbuhan ekonomi
ketimbang ekologi. Sehingga sebagai akumulasinya dalam dekade terakhir ini kita seperti
menuai bencana lingkungan. Banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan,
degradasi hutan dan keanekaragaman hayati, serta pencemaran sungai, laut dan udara,

datang silih berganti. Sebagai akibatnya, biaya (cost) dampak lingkungan hidup yang harus
ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah jauh lebih besar ketimbang manfaat (benefit)
ekonomi yang diperoleh.
Dengan diberlakukannya kebijakan nasional penataan ruang tersebut, maka tidak ada lagi
tata ruang wilayah yang tidak direncanakan. Tata ruang menjadi produk dari rangkaian proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh
karena itu, penegasan sanksi atas pelanggaran tata ruang sebagaimana diatur dalam UU
LAPORAN AKHIR

KABUPATEN MAROS TAHUN 2015-2019

Kebijakan nasional penataan ruang secara formal ditetapkan bersamaan dengan

DOKUMEN RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH (RPI2-JM)

10.1. Aspek Lingkungan

X-1

PEMERINTAH KABUPATEN MAROS

PENYUSUNAN RPI2-JM TAHUN 2014
26/2007 menuntut proses perencanaan tata ruang harus diselenggarakan dengan baik agar
penyimpangan pemanfaatan ruang bukan disebabkan oleh rendahnya kualitas rencana tata
ruang wilayah. Guna membantu mengupayakan perbaikan kualitas rencana tata ruang
wilayah maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis [KLHS] atau Strategic Environmental
Assessment [SEA] menjadi salah satu pilihan alat bantu melalui perbaikan kerangka pikir
[framework of thinking] perencanaan tata ruang wilayah untuk mengatasi persoalan
lingkungan hidup.
Pengarusutamaan (mainstreaming) pembangunan berkelanjutan telah ditetapkan sebagai
landasan operasional pelaksanaan pembangunan, seperti tercantum dalam RPJP dan RPJM

filosofis maupun fenomena riel, pendekatan konsep keruangan sangat identik dengan
fenomena lingkungan hidup yang dinamis dan sistemik.
Fenomena ini menjadi dasar argumentasi perhatian pada lingkungan hidup dalam konstelasi
pelaksanaan pembangunan nasional dan daerah melalui implementasi UU Penataan Ruang.
Oleh karena itu, setiap proses perumusan visi, misi, tujuan, dan strategi pembangunan
sampai dengan pelaksanaannya yang memerlukan alokasi kegiatan disuatu lokasi atau
kawasan tertentu akan senantiasa mengandung kepentingan pelestarian lingkungan hidup.
Dalam konteks mekanisme implementasi strategi pembangunan, perhatian pada lingkungan
hidup ini seyogyanya ditempatkan sejak awal proses penetapan strategi sampai dengan

pelaksanaannya. Sejumlah studi dan upaya untuk mengenalkan serta menerapkan kajian
lingkungan hidup strategis telah dilakukan sejak 5 (lima) tahun terakhir atas inisiatif KLH,
Bappenas, dan Depdagri. Orientasi kegiatan tidak saja menyangkut pembangunan regional
dan pembangunan daerah tetapi juga pembangunan sektoral, serta pengujian konsep,
kebijakan, metode, dan teknis analisis.
Menyadari bahwa instrumen lingkungan hidup yang tersedia saat ini baru pada tingkat proyek
(pelaksanaan AMDAL), maka masih dibutuhkan satu alat kaji pada tingkat strategis, setara
dengan strategi pembangunan nasional maupun daerah. Bahkan dalam Peraturan
Pemerintah tentang AMDAL dinyatakan bahwa salah satu instrumennya yaitu AMDAL
Regional telah dihapuskan, sehingga sebuah format kajian mengenai lingkungan hidup pada
aras strategis dalam konteks pembangunan semakin diperlukan.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau yang secara internasional dikenal sebagai
Strategic Environmental Assessment (SEA), dalam satu dekade terakhir dapat dikatakan
masih dalam tahap awal pengembangan di Indonesia. Yang dimaksud dengan tahap awal
LAPORAN AKHIR

KABUPATEN MAROS TAHUN 2015-2019

Ruang serta UU Otonomi Daerah telah menegaskan arti pentingnya lingkungan hidup. Secara


DOKUMEN RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH (RPI2-JM)

Nasional. Lebih dari itu, selain UUD 45, UU tentang Lingkungan Hidup, UU tentang Penataan

X-2

PEMERINTAH KABUPATEN MAROS
PENYUSUNAN RPI2-JM TAHUN 2014
adalah bahwa KLHS baru dalam tahap penapisan (screening) dan pelingkupan (scoping)
serta masih dalam bentuk kajian yang belum diimplementasikan secara riel. Dengan kata lain,
KLHS belum menjadi bagian dari kebijakan pembangunan nasional. Namun dari pengalaman
selama ini, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa KLHS sudah sampai pada taraf sangat
dibutuhkan, dan perlu segera diterapkan secara riel serta diformalkan dalam konteks
kebijakan nasional maupun daerah.
Sebagai satu konsep yang baru tetapi sangat dibutuhkan maka sejumlah alternatif mekanisme
penerapannya dalam konteks substansi, konstitusi, kelembagaan maupun pendekatan,
metode, dan teknis pelaksanaannya telah dicoba untuk dirumuskan. Tentunya alternatif-

hidup yang ditetapkan pemerintah dapat dirinci sebagai berikut:
1. Meningkatkan kualitas air permukaan (sungai, danau, dan situ), sekaligus pengendalian

dan pemantauan terpadu antarsektor.
2. Terkendalinya pencemaran pesisir dan laut melalui usaha konservasi tanah.
3. Meningkatkan kualitas udara, khususnya di daerah perkotaan, melalui kebijakan
transportasi yang ramah lingkungan.
4. Pengurangan penggunaan bahan perusak ozon (BPO) secara bertahap.
5. Meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global.
6. Pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan sesuai
dengan IBSAP (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan) 2003–2020.
7. Meningkatkan upaya pengelolaan sampah perkotaan dengan menempatkan faktor
lingkungan sebagai penentu kebijakan.
8. Meningkatkan sistem pengelolaan limbah B3.
9. Tersusunnya informasi dan peta wilayah yang rentan terhadap kerusakan lingkungan dan
bencana alam (banjir, kekeringan, gempa bumi, tsunami, dan lainnya).
10. Tersusunnya aturan pendanaan bagi pelestarian lingkungan hidup yang inovatif.
11. Meningkatkan diplomasi internasional.
12. Meningkatkan kesadaran rakyat akan pentingnya konservasi lingkungan hidup dan
sumberdaya alam.
Sementara itu, pembangunan lingkungan hidup secara khusus diarahkan untuk:
LAPORAN AKHIR


KABUPATEN MAROS TAHUN 2015-2019

Memahami permasalahan dan tantangan di atas, maka sasaran pembangunan lingkungan

DOKUMEN RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH (RPI2-JM)

alternatif ini perlu diujicoba pula, khususnya dalam konteks kebijakan penyelenggaraannya.

X-3

PEMERINTAH KABUPATEN MAROS
PENYUSUNAN RPI2-JM TAHUN 2014
1. Mengarusutamakan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke
seluruh bidang pembangunan.
2. Meningkatkan koordinasi pengelolaan lingkungan hidup di tingkat nasional dan daerah.
3. Meningkatkan upaya harmonisasi pengembangan hukum lingkungan dan penegakannya
secara konsisten terhadap pencemaran lingkungan.
4. Meningkatkan upaya pengendalian dampak lingkungan akibat kegiatan pembangunan.
5. Meningkatkan kapasitas lembaga pengelola lingkungan hidup, baik di tingkat nasional
maupun daerah, terutama dalam menangani permasalahan yang bersifat akumulatif,

fenomena alam yang musiman, dan bencana.

7. Meningkatkan penyebaran data dan informasi lingkungan, termasuk informasi wilayahwilayah rentan dan rawan bencana lingkungan dan informasi kewaspadaan dini terhadap
bencana.
Selanjutnya, arah pembangunan di atas dijabarkan dalam program-program pembangunan
yang langsung terkait dengan urusan lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam,
sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 7 tahun 2005
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004 – 2009. Program ini
bertujuan untuk menjamin kualitas ekosistem agar fungsinya sebagai penyangga sistem
kehidupan dapat terjaga dengan baik. Kegiatan pokok yang tercakup antara lain penyusunan
tata ruang dan zonasi untuk perlindungan sumberdaya alam, terutama wilayah-wilayah yang
rentan terhadap gempa bumi tektonik dan tsunami, banjir, kekeringan, serta bencana alam
lainnya;
10.1.1 Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
Mengacu pada UU SPPN, UU Lingkungan Hidup, dan RPJM 2004-2009 serta UU Otonomi
Daerah berikut arahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dari Dirjen PUOD, konsep
KLHS secara filosofis dan konseptual sangat relevan menjadi bagian pokok arah kebijakan
pembangunan, dengan mengingat bahwa pembangunan lingkungan merupakan dasar bagi
pembangunan berkelanjutan. Konsep KLHS memiliki kapasitas untuk menjadi payung yang
mengintegrasikan permasalahan riel dan kebutuhan pembangunan dengan proses

pengambilan kebijakan pembangunan yang lebih bersifat holistik dan sistemik bukan
kepentingan pragmatis sektoral semata yang sarat dengan konflik dan perilaku eksploitatif
sumberdaya alam. Bahkan dari sisi kepentingan politik, penerapan konsep KLHS memiliki
LAPORAN AKHIR

KABUPATEN MAROS TAHUN 2015-2019

sebagai kontrol-sosial dalam memantau kualitas lingkungan hidup; dan

DOKUMEN RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH (RPI2-JM)

6. Membangun kesadaran rakyat agar peduli pada isu lingkungan hidup dan berperan aktif

X-4

PEMERINTAH KABUPATEN MAROS
PENYUSUNAN RPI2-JM TAHUN 2014
potensi sebagai integrator kekuatan-kekuatan politik yang berkembang melalui mekanisme
dinamika partai politik, yaitu kampanye politik dan sistem pemilihan umum.
Namun demikian, permasalahan yang muncul dan menjadi perhatian untuk dicarikan

terobosan solusinya dalam kondisi saat ini adalah pada tatanan metode penerapannya,
karena

dalam

acuan

struktur

kebijakan

khususnya

dalam

kaitannya

dengan

institusionalisasinya masih ditemui inkonsistensi, serta belum terdefinisi secara operasional

dan sistematik. Belum lagi dengan adanya kemungkinan ketidakserasian antarkebijakan
sektoral yang seringkali menimbulkan konflik, dimana masing-masing kebijakan sektoral
dipayungi oleh kekuatan hukum yang setara tingkatannya (antar Undang-Undang, Peraturan

menghasilkan inovasi dalam merancang kebijakan strategis pembangunan melalui
pemanfaatan instrumen peraturan perundangan yang berlaku serta legitimasi kelembagaan,
dimana keterlibatan rakyat yang secara riel terkait langsung dengan fenomena lingkungan
hidup menjadi kuncinya. Pada prakteknya, sesuai dengan definisi yang tertuang dalam UU
No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Tata Ruang (UU No. 26
tahun 2007), di manapun ada kehidupan atau kegiatan manusia pasti terkait secara sistem
atau fungsional dengan permasalalan lingkungan hidup. Oleh karena itu menjadi semakin
mendesak untuk dilakukan terobosan dalam merumuskan development administration KLHS
(terkait dengan sistem politik, sosial-budaya-ekonomi dan birokrasi) mengikuti konteks
perkembangan kepentingan pembangunan Indonesia masa kini dan mendatang.
Menyadari banyaknya permasalahan lingkungan hidup yang berskala regional ataupun
nasional bahkan lintas negara, dan tidak cukup memadainya instrumen AMDAL yang hanya
berorientasi pada skala proyek, kini telah dikembangkan satu instrumen yang berskala
regional sampai internasional pada tataran strategis. Instrumen ini kemudian dipopulerkan
dengan istilah Strategic Environment Assessment (SEA), yang kemudian diterjemahkan
sebagai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). KLHS kini tidak hanya menjadi perhatian,

tetapi juga telah ditetapkan sebagai mandatory atau directive di sejumlah negara di Asia dan
Afrika, Australia, dan Selandia Baru, serta beberapa badan dunia seperti Uni Eropa, World
Bank, dan Asian Development Bank.
Mengikuti perkembangan ini, KLH telah berinisiatif untuk mengembangkannya sejak lebih dari
lima tahun lalu. Sebagaimana tahap inisiasi pada umumnya, kegiatan yang terkait dengan
LAPORAN AKHIR

KABUPATEN MAROS TAHUN 2015-2019

Mengingat kondisi di atas, terlihat perlunya dilakukan terobosan-terobosan kreatif untuk

DOKUMEN RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH (RPI2-JM)

Presiden hingga Peraturan Daerah).

X-5

PEMERINTAH KABUPATEN MAROS
PENYUSUNAN RPI2-JM TAHUN 2014
pemikiran KLHS ini masih lebih dikonsentrasikan pada studi dan pengenalan. Dengan kata
lain, kegiatan-kegiatan tersebut belum dapat dikatakan sebagai kegiatan KLHS seutuhnya,
sehingga dapat dikatakan masih “nearly SEA”. Namun, sejalan dengan semakin
meningkatnya kesadaran dan kebutuhan penyelesaian masalah lingkungan hidup pada
tataran regional dan strategis di Indonesia, maka instrumen KLHS ini dituntut untuk segera
menjadi acuan dasar dalam mengkaji kebutuhan, perumusan tujuan, dan strategi
pembangunan nasional maupun daerah.
Tuntutan ini semakin kuat sejalan dengan UU SPPN (Sistem Perencanaan Pembangunan

instrumen nasional dan regional. Bahkan KLHS ini telah diupayakan untuk menjadi pegangan
utama dalam merumuskan setiap strategi pembangunan berikut monitoring dan evaluasinya,
baik dalam konteks kewilayahan maupun sektoral.
Ada dua definisi KLHS yang lazim diterapkan, yaitu definisi yang menekankan pada
pendekatan telaah dampak lingkungan (EIA-driven) dan pendekatan keberlanjutan
(sustainability-driven). Pada definisi pertama, KLHS berfungsi untuk menelaah efek dan/atau
dampak lingkungan dari suatu kebijakan, rencana atau program pembangunan. Sedangkan
definisi kedua, menekankan pada keberlanjutan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya.
Definisi KLHS untuk Indonesia kemudian dirumuskan sebagai proses sistematis untuk
mengevaluasi pengaruh lingkungan hidup dari, dan menjamin diintegrasikannya prinsipprinsip keberlanjutan dalam, pengambilan keputusan yang bersifat strategis [SEA is a
systematic process for evaluating the environmental effect of, and for ensuring the integration
of sustainability principles into, strategic decision-making].
KLHS adalah sebuah bentuk tindakan stratejik dalam menuntun, mengarahkan, dan menjamin
tidak terjadinya efek negatif terhadap lingkungan dan keberlanjutan dipertimbangkan secara
inheren dalam kebijakan, rencana dan program [KRP].

Posisinya berada pada relung

pengambilan keputusan. Oleh karena tidak ada mekanisme baku dalam siklus dan bentuk
pengambilan keputusan dalam perencanaan tata ruang, maka manfaat KLHS bersifat khusus
bagi masing-masing hirarki rencana tata ruang wilayah [RTRW]. KLHS bisa menentukan
substansi RTRW, bisa memperkaya proses penyusunan dan evaluasi keputusan, bisa
dimanfaatkan sebagai instrumen metodologis pelengkap (komplementer) atau tambahan
LAPORAN AKHIR

KABUPATEN MAROS TAHUN 2015-2019

Bappenas, dan Depdagri semakin intensif bekerja untuk merumuskan KLHS ini sebagai satu

DOKUMEN RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH (RPI2-JM)

Nasional) dan RPJM 2004 – 2009. Sesuai dengan perannya masing-masing, maka KLH,

X-6

PEMERINTAH KABUPATEN MAROS
PENYUSUNAN RPI2-JM TAHUN 2014
(suplementer) dari penjabaran RTRW, atau kombinasi dari beberapa atau semua fungsifungsi diatas.
Penerapan KLHS dalam penataan ruang juga bermanfaat untuk meningkatkan efektivitas
pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) dan atau instrumen
pengelolaan lingkungan lainnya, menciptakan tata pengaturan yang lebih baik melalui
pembangunan keterlibatan para pemangku kepentingan yang strategis dan partisipatif,
kerjasama lintas batas wilayah administrasi, serta memperkuat pendekatan kesatuan
ekosistem dalam satuan wilayah (kerap juga disebut “bio-region” dan/atau “bio-geo-region”).

yang diharapkan dari tiap jenis KLHS terhadap berbagai ragam RTRW, termasuk bentuk
aplikasinya, baik dari sudut langkah-langkah prosedural maupun teknik dan metodologinya.
Pendekatan KLHS dalam penataan ruang didasarkan pada kerangka bekerja dan metodologi
berpikirnya. Berdasarkan literatur terkait, sampai saat ini ada 4 (empat) model pendekatan
KLHS untuk penataan ruang, yaitu :
1.

KLHS dengan Kerangka Dasar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup/AMDAL
(EIA-Mainframe)
KLHS dilaksanakan menyerupai AMDAL yaitu mendasarkan telaah pada efek dan
dampak yang ditimbulkan RTRW terhadap lingkungan hidup. Perbedaannya adalah
pada ruang lingkup dan tekanan analisis telaahannya pada tiap hirarhi KRP RTRW.

2.

KLHS sebagai Kajian Penilaian Keberlanjutan Lingkungan Hidup (Environmental
Appraisal)
KLHS ditempatkan sebagai environmental appraisal untuk memastikan KRP RTRW
menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga bisa diterapkan sebagai sebuah
telaah khusus yang berpijak dari sudut pandang aspek lingkungan hidup.

3.

KLHS sebagai Kajian Terpadu/Penilaian Keberlanjutan (Integrated Assessment
Sustainability Appraisal)
KLHS diterapkan sebagai bagian dari uji KRP untuk menjamin keberlanjutan secara
holistik, sehingga sudut pandangnya merupakan paduan kepentingan aspek sosial,
ekonomi, dan lingkungan hidup. Dalam prakteknya, KLHS kemudian lebih ditempatkan
LAPORAN AKHIR

KABUPATEN MAROS TAHUN 2015-2019

instrumental, transformatif, dan substantif. Tipologi ini membantu membedakan pengaruh

DOKUMEN RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH (RPI2-JM)

Sifat pengaruh KLHS dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu KLHS yang bersifat

X-7

PEMERINTAH KABUPATEN MAROS
PENYUSUNAN RPI2-JM TAHUN 2014
sebagai bagian dari kajian yang lebih luas yang menilai atau menganalisis dampak
sosial, ekonomi dan lingkungan hidup secara terpadu.
4.

KLHS sebagai pendekatan Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya Alam (Sustainable
Natural Resource
Management) atau Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya (Sustainable Resource
Management) KLHS diaplikasikan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, dan a)
dilaksanakan sebagai bagian yang tidak terlepas dari hirarki sistem perencanaan
penggunaan lahan dan sumberdaya alam, atau b) sebagai bagian dari strategi spesifik

kondisi sumberdaya alam sebagai dasar dari substansi RTRW, sementara model b)
menekankan penegasan fungsi RTRW sebagai acuan aturan pemanfaatan dan
perlindungan cadangan sumberdaya alam.
Aplikasi-aplikasi pendekatan di atas dapat diterapkan dalam bentuk kombinasi, sesuai dengan
: hirarki dan jenis RTRW yang akan dihasilkan/ditelaah, lingkup isu mengenai sumberdaya
alam dan lingkungan hidup yang menjadi fokus, konteks kerangka hukum RTRW yang
dihasilkan/ditelaah, kapasitas institusi dan sumberdaya manusia aparatur pemerintah selaku
pelaksana dan pengguna KLHS, serta tingkat kemauan politis atas manfaat KLHS terhadap
RTRW.

Tabel 10.1. Pengaruh KLHS dalam RTRW

LAPORAN AKHIR

KABUPATEN MAROS TAHUN 2015-2019

Model a) menekankan pertimbanganpertimbangan
DOKUMEN RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH (RPI2-JM)

pengelolaan sumberdaya alam.

X-8

PEMERINTAH KABUPATEN MAROS
PENYUSUNAN RPI2-JM TAHUN 2014

Prosedur penyelenggaraan KLHS untuk setiap pendekatan berbeda, namun secara generik

Kegiatan penapisan menentukan perlu atau tidaknya dilakukan KLHS terhadap sebuah
konsep/muatan rencana tata ruang.

Langkah ini diperlukan atas alasan-alasan: a)

memfokuskan telaah pada KRP yang memiliki nilai strategik, b) memfokuskan telaah pada
KRP yang diindikasikan akan memberikan konsekuensi penting pada kondisi lingkungan
hidup, dan c) memberikan gambaran umum metodologi pendekatan yang akan digunakan.
Karena penyusunan RTRW wajib dilakukan maka tahap penapisan tidak diperlukan,
sementara penyusunan RTR dengan tingkat kerincian Kawasan bisa ditapis terlebih dulu
dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut :
 Apakah rancangan RTR berpotensi mendorong timbulnya percepatan kerusakan sumber
daya alam (hutan, tanah, air atau pesisir) dan pencemaran lingkungan yang kini tengah
berlangsung di suatu wilayah atau DAS? dan/atau
 Apakah rancangan RTR berpotensi meningkatkan intensitas bencana banjir, longsor, atau
kekeringan di wilayah-wilayah yang saat ini tengah mengalami krisis ekologi? dan/atau

LAPORAN AKHIR

KABUPATEN MAROS TAHUN 2015-2019

Gambar 10.1. Kerangka Kerja KLHS

DOKUMEN RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH (RPI2-JM)

hubungan antara komponen-komponen kerja KLHS dapat dijelaskan sebagai berikut :

X-9

PEMERINTAH KABUPATEN MAROS
PENYUSUNAN RPI2-JM TAHUN 2014
 Apakah rancangan RTR berpotensi menurunkan mutu air dan udara termasuk
ketersediaan air bersih yang dibutuhkan oleh suatu wilayah yang berpenduduk padat?
dan/atau
 Apakah rancangan RTR akan menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk golongan
miskin sebagai akibat adanya pembatasan baru atas akses dan kontrol terhadap sumbersumber alam yang semula dapat mereka akses? dan/atau
 Apakah rancangan RTR berpotensi mengancam keberlanjutan penghidupan (livelihood
sustainability) suatu komunitas atau kelompok masyarakat tertentu di masa mendatang?
Jawaban positif bagi salah satu pertanyaan diatas sudah cukup untuk memberikan alasan

Pelingkupan merupakan proses yang sistematis dan terbuka untuk mengidentifikasi isu-isu
penting atau konsekuensi lingkungan hidup yang akan timbul berkenaan dengan rencana
KRP RTR Wilayah dan Kawasan. Berkat adanya pelingkupan ini, pokok bahasan dokumen
KLHS akan lebih difokuskan pada isu-isu atau konsekuensi lingkungan dimaksud.
Telaah dan analisis teknis adalah proses identifikasi, deskripsi, dan evaluasi mengenai
konsekuensi dan efek lingkungan akibat diterapkannya RTRW; serta pengujian efektivitas
RTRW dalam menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan. Telaah dan analisis teknis mencakup
: a) pemilihan dan penerapan metoda, serta teknik analisis yang sesuai dan terkini, b)
penentuan dan penerapan aras rinci (level of detail) analisis agar sesuai dengan kebutuhan
rekomendasi, dan c) sistematisasi proses pertimbangan seluruh informasi, kepentingan dan
aspirasi yang dijaring. Jenis-jenis kerangka telaah yang lazim dibutuhkan, antara lain:
 Telaah daya dukung dan daya tampung lingkungan,
 Telaah hubungan timbal balik kegiatan manusia dan fungsi ekosistem.
 Telaah kerentanan masyarakat dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim dan
bencana lingkungan.
 Telaah ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Alternatif yang dikembangkan dapat mencakup : a) substansi pokok/dasar RTRW (misalnya:
pilihan struktur dan pola ruang), b) program atau kegiatan penerapan muatan RTRW
(misalnya: pilihan intensitas pemanfaatan ruang), dan/atau c) kegiatan-kegiatan operasional
pengelolaan efek lingkungan hidup (misalnya: penerapan kode bangunan yang hemat energi).
Pengambilan keputusan dilakukan untuk memilih alternatif terbaik yang bisa dilaksanakan
yang dipercaya dapat mewujudkan tujuan penataan ruang dalam kurun waktu yang
ditetapkan. Alternatif terpilih tidak hanya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan
LAPORAN AKHIR

KABUPATEN MAROS TAHUN 2015-2019

untuk dilengkapi dengan KLHS.

DOKUMEN RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH (RPI2-JM)

bahwa rancangan RTR tersebut memiliki potensi efek penting dan perlu dipertimbangkan

X-10

PEMERINTAH KABUPATEN MAROS
PENYUSUNAN RPI2-JM TAHUN 2014
keadilan sosial akan tetapi juga dapat menjamin terpeliharanya fungsi lingkungan secara terus
menerus. Berbagai metodologi yang lazim diterapkan dalam pengambilan keputusan, antara
lain: compatibility [internal dan eksternal] appraisal, benefit-cost ratio, analisis skenario dan
multikriteria, analisis risiko, survai opini untuk menentukan prioritas, dll.
Sesuai dengan kebutuhannya, kegiatan pemantauan dan tindak lanjut dapat diatur
berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Pada dasarnya efektivitas penerapan
rekomendasi KLHS berkaitan langsung dengan efektivitas RTRW bagi wilayah rencananya,
sehingga tata laksananya bisa mengikuti aturan pemantauan efektivitas RTRW.

partisipasi masyarakat sangat bervariasi bergantung pada aras (level of detail) RTRW,
peraturan perundangan yang mengatur

keterlibatan masyarakat, serta komitmen dan

keterbukaan dari pimpinan organisasi pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah.
Secara umum boleh dikatakan bila KLHS diaplikasikan pada tingkat nasional atau provinsi,
maka keterlibatan atau partisipasi masyarakat harus lebih luas dan intens dibanding KLHS
pada tingkat kabupaten atau kota. Bila KLHS diaplikasikan untuk tingkat kabupaten, kota, atau
kawasan, maka proses pelibatan masyarakat atau konsultasi publik harus dilakukan sedini
mungkin dan efektif. Hal ini disebabkan cakupan muatan RTRW yang bersifat operasional
memiliki ragam penerapan yang variatif dan bersinggungan langsung dengan kegiatan
masyarakat.
Secara spesifik, harus ada ketersediaan waktu yang cukup bagi masyarakat untuk menelaah,
memberikan masukan, dan mendapatkan tanggapan dalam proses KLHS. Kegiatan ini juga
mensyaratkan adanya tata laksana penyaluran aspirasi masyarakat, termasuk pada tahap
pengambilan keputusan.
Komponen-komponen kerja KLHS dilaksanakan dengan memperhatikan proses formal yang
berjalan. Kombinasi berbagai alternatif pelaksanaannya sangat ditentukan oleh kekhususan
proses pengambilan keputusan yang sedang terjadi pada masing-masing RTRW. Dalam
kasus dimana proses perencanaan RTRW belum terbentuk atau dilaksanakan, seluruh
komponen kerja KLHS bisa dijadikan bagian yang tak terpisahkan dari langkah-langkah
pekerjaan penyusunan RTRW. Pada situasi dimana KLHS hadir sebagai kebutuhan untuk
mendukung proses pengambilan keputusan di tahap akhir proses perencanaan, proses
LAPORAN AKHIR

KABUPATEN MAROS TAHUN 2015-2019

bentuk partisipasi dan konsultasi masyarakat. Namun demikian, tingkat keterlibatan atau

DOKUMEN RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH (RPI2-JM)

Seluruh rangkaian KLHS bersifat partisipatif. Semua komponen kegiatan diwarnai berbagai

X-11

PEMERINTAH KABUPATEN MAROS
PENYUSUNAN RPI2-JM TAHUN 2014
kerjanya bisa terpisah (stand alone). Banyak kondisi dimana kombinasi antara kedua hal
diatas akan terjadi, misalnya pengintegrasian beberapa komponen kerja di tahap-tahap
tertentu dan memisahkannya pada tahap yang lain. Dapat pula terjadi situasi dimana tidak
semua komponen kerja perlu dilaksanakan atas alasan-alasan tertentu tanpa mengurangi nilai
penting dari pelaksanaan KLHS itu sendiri.
Kecenderungan penurunan kualitas lingkungan terkait dengan tata ruang wilayah sebagai
produk dari rangkaian proses penataan ruang, yang diawali tahapan perencanaan tata ruang,
oleh karena itu, perbaikan kuaitas rencana tata ruang wilayah menjadi mutlak dan sangat
strategis untuk segera direalisasikan guna menghambat laju penurunan kualitas lingkungan

ruang, yang berimplikasi pada perbaikan prosedur/proses dan metodologi/muatan
perencanaan.

10.1.2

AMDAL, UKL-UPL Dan SPPLH
AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, dibuat pada
tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan. Hal -hal yang dikaji dalam
proses AMDAL : aspek fisik-kimia, ekologi, sosial -ekonomi, sosial budaya, dan kesehatan
masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
Analisis mengenai dampak lingkungan hidup di satu sisi merupakan bagian studi kelayakan
untuk mel aksanakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, di sisi lain merupakan syarat
yang harus dipenuhi untuk

mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.

Berdasarkan analisis ini dapat diketahui secara lebih jelas dampak besar dan penting
terhadap lingk ungan hidup, baik dampak negatif maupun dampak positif yang akan timbul
dari usaha dan/atau kegiatan sehingga dapat dipersiapkan langkah untuk menanggulangi
dampak negatif dan mengembangkan dampak positif.
Untuk mengukur atau menentukan dampak besar dan penting tersebut di

antaranya

digunakan kriteria mengenai :


Besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;



Luas wilayah penyebaran dampak;



Intensitas dan lamanya dampak berlangsung;



Banyaknya komponen lingk ungan hidup lain yang akan terkena dampak;



Sifat kumulatif dampak;
LAPORAN AKHIR

KABUPATEN MAROS TAHUN 2015-2019

kualitas rencana tata ruang wilayah melalui perbaikan kerangka berfikir perencanaan tata

DOKUMEN RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH (RPI2-JM)

dan daya dukung lingkungan. KLHS bisa menjadi pilihan alat bantu untuk memperbaiki

X-12

PEMERINTAH KABUPATEN MAROS
PENYUSUNAN RPI2-JM TAHUN 2014


Berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.

Menurut PP No. 27/1999 pasal 3 ayat 1 Usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat
menimbulkan dampak besar d an penting terhadap lingkungan hidup meliputi :


Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam



Eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharu



Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan,
Pencemaran dan keru sakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam

Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan
buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;



Proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempe ngaruhi pelestarian kawasan
konservasi sumber daya dan/atau perlindungan cagar budaya;



Introduksi jenis tumbuh -tumbuhan, jenis hewan, dan jenis jasad renik;

Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) di Indonesia diberlakukan berdasar PP 51
tahun 1993 (sebelumnya PP 29 tahun 1986) sebagai realisasi pelaksanaan UU no. 4 tahun
1982 tentang Lingkungan Hidup yang saat ini telah direvisi menjadi UU no. 23 tahun 1997.
AMDAL merupakan instrumen pengelolaan lingkungan yang diharapkan dapat mencegah
kerusakan lingkun gan dan menjamin upaya-upaya konservasi. Hasil studi AMDAL
merupakan bagian penting dari perencanaan pembangunan proyek itu sendiri. Sebagai
instrumen pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif, AMDAL harus dibuat pada tahap
paling dini dalam perencan aan kegiatan pembangunan. Dengan kata lain, proses
penyusunan dan pengesahan AMDAL harus merupakan bagian dari proses perijinan satu
proyek. Dengan cara ini proyek -proyek dapat disaring seberapa jauh dampaknya terhadap
lingkungan. Di sisi lain studi AMDAL juga dapat memberi masukan bagi upaya -upaya untuk
meningkatkan dampak positif dari proyek tersebut.

Dalam PP 51 Tahun 1993 ditetapkan 4 jenis studi AMDAL, yaitu :

LAPORAN AKHIR

KABUPATEN MAROS TAHUN 2015-2019



DOKUMEN RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH (RPI2-JM)

dalam pemanfaatannya;

X-13

PEMERINTAH KABUPATEN MAROS
PENYUSUNAN RPI2-JM TAHUN 2014
1.

AMDAL Proyek , yaitu AMDAL yang berlaku bagi satu kegiatan yang berada
dalam kewenangan satu instansi sektoral. Misalnya rencana kegiatan pabrik
tekstil yang mempunyai kewenangan memberikan ijin dan mengevaluasi studi
AMDALnya ada pada Departemen Perindustrian.

2.

AMDAL Terpadu / Multisektoral, adalah AMDAL yang berlaku bagi suatu
rencana kegiatan pembangunan yang bersifat terpadu, yaitu adanya keterkaitan
dalam hal perencanaan, pengelolaan dan proses produksi, serta berada dalam
satu kesatuan ekosistem dan melibatkan kewenangan lebih dari satu instansi.
Sebagai contoh adalah satu kesatuan kegiatan pabrik pulp dan kertas yang

dan pelabuhan untuk distribusi produksinya. Di sini terlihat adanya keterlibatan
lebih dari satu instansi, yaitu Departemen Perindustrian, Departemen kehutanan,
Departemen Pertambangan dan Departemen Perhubungan.
3.

AMDAL Kawasan, yaitu AMDAL yang ditujukan pada satu rencana kegiatan
pembangunan yang berlokasi dalam satu kesatua n hamparan ekosistem dan
menyangkut kewenangan satu instansi. Contohnya adalah rencana kegiatan
pembangunan kawasan industri. Dalam kasus ini masing -masing kegiatan di
dalam kawasan tidak perlu lagi membuat AMDALnya, karena sudah tercakup
dalam AMDAL seluruh kawasan.

4.

AMDAL Regional, adalah AMDAL yang diperuntukan bagi rencana kegiatan
pembangunan yang sifat kegiatannya saling terkait dalam hal perencanaan dan
waktu pelaksanaan kegiatannya. AMDAL ini melibatkan kewenangan lebih dari
satu instansi, berada dal am satu kesatuan ekosistem, satu rencana
pengembangan wilayah sesuai Rencana Umum Tata Ruang Daerah. Contoh
AMDAL Regional adalah pembangunan kota -kota baru.

Secara teknis instansi yang bertanggung jawab dalam merumuskan dan memantau
penyusunan AMDAL di In donesia adalah BAPEDAL (Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan). Sebagaimana diatur dalam PP 51 tahun 1993, kewenangan ini juga dilimpahkan
pada instansi -instansi sektoral serta BAPEDALDA Tingkat I. Dengan kata lain BAPEDAL
Pusat hanya menangani studi -studi AMDAL yang dianggap mempunyai implikasi secara
nasional. Pada tahun 1999 diterbitkan lagi penyempurnaan ini adalah untuk memberikan
LAPORAN AKHIR

KABUPATEN MAROS TAHUN 2015-2019

bahan bakunya, pembangkit tenaga listrik uap (PLTU) untuk menyediakan energi,

DOKUMEN RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH (RPI2-JM)

kegiatannya terkait dengan proyek hutan tanaman industri (HTI) untuk penyediaan

X-14

PEMERINTAH KABUPATEN MAROS
PENYUSUNAN RPI2-JM TAHUN 2014
kewenangan proses evaluasi AMDAL pada daerah. Materi baru dalam PP ini adalah
diberikannya kemungkinan partisipasi masyaraka t di dalam proses penyusunan AMDAL
Sebagaimana telah dievaluasi oleh banyak pihak, proses AMDAL di Indonesia memiliki
banyak kelemahan , yaitu :
1.

AMDAL belum sepenuhnya terintegrasi dalam proses perijinan satu rencana kegiatan
pembangunan, sehingga tidak te rdapat kejelasan apakah AMDAL dapat dipakai untuk
menolak atau menyetujui satu rencana kegiatan pembangunan.

2.

Proses partisipasi masyarakat belum sepenuhnya optimal. Selama ini LSM telah

3.

Terdapatnya berbagai kelemahan didalam penerapan studi -studi AMDAL. Dengan kata
lain, tidak ada jaminan bahwa berbagai rekomendasi yang muncul dalam studi AMDAL
serta UKL dan UPL akan dilaksanakan oleh pihak pemrakarsa.

4.

Masih lemahnya metode -metode penyusunan AMDAL, khusunya aspek “sosial budaya”,
sehingga kegiatan-kegiatan pembangunan yang implikasi sosial –budayanya penting,
kurang mendapat kajian yang seksama.

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan merupakan teknologi pembuatan perencanaan dan
keputusan yang berasal dari barat, negara industri yang demokratis dengan kondisi budaya
dan sosial berbeda, sehingga ketika program ini diterapkan di negara berkembang dengan
kondisi budaya dan sosiopolitik b erbeda, kesulitanpun muncul. Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan atau AMDAL di Indonesia telah lebih dari 15 tahun diterapkan. Meskipun
demikian berbagai hambatan atau masalah selalu muncul dalam penerapan AMDAL, seperti
juga yang terjadi pada penerapan AMDAL di negara-negara berkembang lainnya. Hambatan
tersebut cenderung terfokus pada faktor-faktor teknis, seperti :


Tidak memadainya aturan dan hukum lingkungan,



Kekuatan institusi ,



Pelatihan ilmiah dan profesional,



Ketersediaan data.

LAPORAN AKHIR

KABUPATEN MAROS TAHUN 2015-2019

diterima didalam proses pengambilan keputusan.

DOKUMEN RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH (RPI2-JM)

dilibatkan dalam sidang -sidang komisi AMDAL, akan tetapi suaranya belum sepenuhnya

X-15

PEMERINTAH KABUPATEN MAROS
PENYUSUNAN RPI2-JM TAHUN 2014
Karakter budaya serta perilaku sosial dan politik orang Indonesia sangat mempengaruhi
bentuk penerapan AMDAL. Inisiatif program dan kebijakan lingkungan di Indonesia sangat
bersifat “top down” oleh pemerintah sendiri. Inisiatif “top down” tersebut muncul bukan
karena adanya kebut uhan penganalisisan dampak, tetapi sebagai tanggapan terhadapa
perkembangan barat. Tekanan perkembangan barat untuk menanggapi masalah lingkungan
terutama melalui konferensi lingkungan internasional di Stockholm tahun 1972 dan Rio De
Janiero tahun 1992 . Berbeda dengan di negara barat, program dan kebijakan lingkungan
dibuat karena adanya kebutuhan masyarakat, sehingga inisiatif bersifat “ bottom up

pemerintah. Walaupun banyak isu lingkungan dalam agenda sosial, tetapi isu tersebut masih
dianggap kurang penting. Masyarakat juga cenderung lebih mempertahankan hidup dengan
menggantungkan pada sum berdaya alam daripada melakukan tindakan untuk melindungi
kehidupan liar, spesies langka dan keanekaragaman hayati. Agenda sosial untuk
perlindungan lingkungan tersebut juga lemah dan mempunyai sedikit kesempatan untuk
diangkat menjadi agenda politik. Kemi skinan, buta huruf, kurangnya informasi, sangat
berkuasanya elit politik dan ekonomi, rejim politik yang terlalu mengontrol dan otoriter,
merupakan faktor adanya situasi tersebut.
Pengelolaan lingkungan sebenarnya merupakan kegiatan yang dilakukan antar instansi ,
karena mencakup multi disiplin. Untuk efektifitas AMDAL, seharusnya instansi lingkungan dan
sektoral pemerintah harus melakukan koordinasi, berbagi informasi dan bekerjasama untuk
menerapkan AMDAL dalam siklus proyek, melakukan evaluasi terhadapa usaha penilaian dan
perencanaan lingkungan, serta mneyusun rekomendasi. Kerjasama ini tampaknya kurang
terjadi pada pelaksanaan AMDAL di Indonesia. Dalam penyusunan rancangan program,
komisi AMDAL, yang berada di masing -masing sektor kementrian dan propin si bekerja
sendiri -sendiri. Komisi dapat menyetujui laporan AMDAL tanpa adanya konsultasi dengan
departemen lain yang bertanggung jawab terhadap lokasi proyek, kontrol gangguan dan ijin
egiatan. Jadi program AMDAL hanya menyediakan sedikit atau tidak sama sekali kesempatan
secara resmi bagi staf pemerintah untuk bekerjasama menghindari atau mengurangi dampak
lingkungan selama perancangan proyek dan selama proses kesepakatan pelaksanaan
proyek.

LAPORAN AKHIR

KABUPATEN MAROS TAHUN 2015-2019

yang berbeda, yang tidak dapat sepenuhnya memberi dukungan terhadap tindakan

DOKUMEN RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH (RPI2-JM)

Penerapan AMDAL di Indonesia tidak semudah di negara barat, karena kondisi masyarakat

X-16

PEMERINTAH KABUPATEN MAROS
PENYUSUNAN RPI2-JM TAHUN 2014
Pada umumnya pelaksanaan AMDAL tidak mengikutsertakan partisipasi masyarakat dalam
perencanaan proyek dan pengambilan keputusan. Konsultasi dengan masyarakat secara
resmi pada proyek-proyek yang diusulkan biasanya hanya dilakukan pada waktu survei untuk
mengumpulkan informasi. Konsultasi masyarakat dianggap tidak penting, karena dianggap
semua telah sepakat. Kalaupun ada keinginan masyarakat untuk menolak usulan proyek,
karakter budaya yang ada akan menghambat pengungkapan keinginan tersebut. Sebaliknya
di negara barat, pemerintah justru mensponsori diadakannya konsult asi masyarakat dalam
setiap usulan pembangunan, yang mana pertikaian dan perdebatan dapat terjadi, dan

perhatian

utama disamping faktor teknis, ketika mengkaji kesulitan yang timbul dalam

pelaksanaan kebijakan atau program seperti AMDAL, yang berasal dari Barat dan diterapkan
di negara dengan budaya yang berbeda.
Tidak adanya lagi Komisi Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) sektoral dan ditetapkannya
satu Komisi Amdal Pusat di bawah Kementerian Negara Lingkungan Hidup di mana semua
stakeholders (para pihak terkait) duduk di dalamnya, baik wakil dari departemen terkait, pakar
dari perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan wakil masyarakat-merupakan
kemajuan penting. Demikian penegasan Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Sonny Keraf saat membuka Workshop Nasional
"Pengembangan Kapasitas Desentralisasi Proses Amdal", Senin (31/7 /2000), di Jakarta.
Seiring desentralisasi, proses Amdal akan diserahkan ke daerah. Di pusat hanya akan ada
satu komisi Amdal yang menilai kegiatan yang mempunyai potensi berdampak negatif secara
nasional. Sementara di masing -masing propinsi dan kabupaten/kota akan dibentuk satu
komisi Amdal yang menangani proses Amdal di daerah bersangkutan.
"Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 27/1999, semua kebijakan dan proses mengenai
Amdal hanya satu pintu. Dengan demikian tidak ada lagi egosektoral yang selama ini
mungkin terjadi, di mana sektor lebih menekankan kegiatan produksi dan pertumbuhan
ekonomi, sementara Amdal hanya dipandang sebagai dokumen formal yang bisa digarap
sambil jalan .
Dalam peraturan pemerintah yang akan diberlakukan November 2000 itu dinyatakan,
penilaian Amdal menjadi syarat mutlak pemberian izin usaha. Dengan demikian, tidak akan
LAPORAN AKHIR

KABUPATEN MAROS TAHUN 2015-2019

Dalam kondisi pelaksanaan AMDAL di Indonesia tersebut, faktor budaya seharusnya menjadi

DOKUMEN RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH (RPI2-JM)

semuanya adalah untuk tujuan atau kepentingan bersama.

X-17

PEMERINTAH KABUPATEN MAROS
PENYUSUNAN RPI2-JM TAHUN 2014
ada izin usaha sebelum Amdal dianggap memenuhi syarat. Dengan masuknya pelbagai
pakar terkait dari perguruan tinggi, diharapkan Amdal bisa menjadi dokumen ilmiah yang
berdasarkan kebenaran dan kejujuran. "Kepentingan untuk menjadikan Amdal sebagai
rekomendasi murni, tidak dibelenggu kepentingan politis dan ekonomis, harus dikedepankan.
Pelibatan wakil LSM dan masyarakat sangat penting, sehingga tidak ada lagi keluhan bahwa
masyarakat harus menerima dampak suatu kegiatan tanpa memiliki suara untuk menyetujui
atau menolak. Hal ini dikuatkan dengan Keputusan Kepala Bapedal No 8/2000, yang
mensyaratkan par tisipasi masyarakat dalam proses penilaian Amdal. "Desentralisasi

pelaksanaan dan keterp aduan serta ketepatan perencanaan daerah.
Penyerahan wewenang proses Amdal dan perizinan ke daerah menimbulkan pelbagai
implikasi, antara lain masalah sumber daya manusia. Karena itu, kelembagaan di daerah
perlu diperkuat khususnya di level pemerintah.
Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, yang
selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau
kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi
proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup, yang
selanjutnya disebut SPPL, adalah pernyataan kesanggupan dari penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup atas
dampak lingkungan hidup dari usaha dan/atau kegiatannya di luar usaha dan/atau kegiatan
yang wajib amdal atau UKL-UPL.
UKL-UPL merupakan salah satu persyaratan yang wajib dipenuhi dalam pelaksanaan
penerbitan izin lingkungan, sehingga bagi usaha dan/atau kegiatan yang UKL-UPLnya ditolak
maka pejabat pemberi izin wajib menolak penerbitan izin bagi usaha dan/atau kegiatan
bersangkutan. UKL-UPL dinyatakan berlaku sepanjang usaha dan/atau kegiatan tidak
melakukan perubahan lokasi, desain, proses, bahan baku dan/atau bahan penolong. Bagi
UKL-UPL yang telah dinyatakan sesuai dengan isian formulir atau layak, maka UKLUPL
tersebut dinyatakan kadaluarsa apabila usaha dan/atau kegiatan tidak dilaksanakan dalam
jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak rekomendasi atas UKL-UPL diterbitkan.
LAPORAN AKHIR

KABUPATEN MAROS TAHUN 2015-2019

menyerap aspirasi masyarakat, penyederhanaan prosedur Amdal, peningkatan efektivitas

DOKUMEN RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH (RPI2-JM)

kewenangan Amdal merupakan bentuk penyelesaian masalah yang paling strategis untuk

X-18

PEMERINTAH KABUPATEN MAROS
PENYUSUNAN RPI2-JM TAHUN 2014
Prosedur Operasional Standar (Standard Operating Procedure) selanjutnya disingkat SOP
adalah upaya yang dilakukan untuk meminimalkan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh
usaha dan/ atau kegiatan sesuai prosedur operasional yang berlaku.

10.2. Aspek Sosial
Komponen pengamanan sosial adalah bagian paling penting untuk memahami upaya
pencegahan terhadap munculnya dampak sosial di masyarakat. Pelaksanaan upaya

garis besar mekanisme penerapan pengamanan sosial dilaksanakan dengan alur sebagai
berikut:


Wajib melakukan sosialisasi upaya pengamanan lingkungan di setiap tahapan
kegiatan/siklus program, dimulai dari kegiatan sosialisasi, perencanaan, pengusulan
kegiatan, pelaksanaan konstruksi sampai dengan tahapan pemanfaatan dan
pemeliharaan.



Menyiapkan usulan kegiatan berdasarkan format standar yang telah disediakan yang
memuat spesifikasi teknis, anggaran dan rencana kerja, termasuk dalam hal ini
kesesuaiannya dengan ketentuan pengamanan sosial.



Semua usulan kegiatan dari masyarakat akan dikaji oleh tenaga ahli dari segi kelayakan,
teknis, dan kesesuaian dengan pedoman.



Menapis usulan kegiatan dari sisi dampak lingkungan berdasarkan tabel kriteria
penapisan lingkungan. Serta jika diperlukan juga melakukan penapisan khusus untuk
semua usulan kegiatan masyarakat yang membutuhkan tanah dan perubahan
penggunaan air (misal reklamasi, irigasi); proyek ekonomi yang berdampak lingkungan
untuk memastikan alignment, air larian, dsb. memenuhi standar praktek yang baik.



Memastikan adanya langkah-langkah mitigasi yang memadai.

Sebagai acuan pelaksanaan maka keberhasilan dalam pelaksanaan pengamanan sosial
dapat diukur dengan menggunakan indikator sebagai berikut:


Masyarakat memahami pentingnya tindakan pengamanan sosial.

LAPORAN AKHIR

KABUPATEN MAROS TAHUN 2015-2019

bahwa pelaksanaan program telah sesuai dengan kaidah-kaidah pengamanan sosial. Secara

DOKUMEN RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH (RPI2-JM)

pengamanan sosial adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk melihat dan memastikan

X-19

Masyarakat tidak mengalami kerugian dengan adanya pelaksanaan program.



Tidak terjadi konflik di masyarakat selama dan setelah pelaksanaan program.



Infrastruktur dibangun di atas lahan yang status pemanfaataan lahannya sudah jelas.



Menghindari/meminimalkan terjadinya ganti rugi lahan.



Masyarakat adat tidak melakukan protes terhadap pelaksanaan program.



Tidak terjadi perselisihan/konflik diantara masyarakat adat selama pelaksanaan program.



Tidak terjadi/menghindari terjadinya penggusuran.



Tidak terjadi /menghindari terjadinya pemukiman kembali.



Tidak terjadi pencemaran lingkungan (genangan, banjir, timbulan sampah padat/cair,
kebisingan,bau, dll) di lokasi sasaran.



Dilaksanakannya langkah mitigasi dan pemantauan dampak lingkungan.



Masyarakat tidak melakukan protes atas infrastruktur terbangun.

10.2.1 Aspek Sosial pada Perencanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya
Dalam Standard on Social Responsibility ISO 2006, tanggung jawab sosial mencakup 7 isu
pokok yaitu: pengembangan masyarakat, konsumen, praktek kegiatan institusi yang sehat,
lingkungan, ketenagakerjaan, hak asasi manusia, dan governance organisasi.
Meskipun belum ada standar baku tanggung jawab sosial, unsur-unsur tanggung jawab sosial
terus mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan masyarakat, globalisasi, dan
pasar bebas. The World Bank Institute menjabarkan komponen tanggung jawab sosial
sebagai berikut.
a. Proteksi Lingkungan
Tanggung jawab lingkungan ditekankan pada menemukan cara penggunaan sumber daya
alam secara berkelanjutan untuk mengurangi dampak operasionalisasi terhadap lingkungan.
b. Jaminan Kerja
Terkait dengan kebebasan berserikat bagi pekerja dan pengenalan secara efektif terhadap
hak dan kewajiban pekerja, khususnya hak untuk berunding secara kolektif.
c. Hak Asasi Manusia
Pengembangan tempat kerja yang bebas dari diskriminasi dengan mengedepankan etika
professional yang memperhatikan kreativitas dan pembelajaran, dan keseimbangan antara
pekerjaan terhadap aspek lain di luar pekerjaan.
LAPORAN AKHIR

KABUPATEN MAROS TAHUN 2015-2019



DOKUMEN RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH (RPI2-JM)

PEMERINTAH KABUPATEN MAROS
PENYUSUNAN RPI2-JM TAHUN 2014

X-20

PEMERINTAH KABUPATEN MAROS
PENYUSUNAN RPI2-JM TAHUN 2014
d. Keterlibatan dalam komunitas
Merupakan tindakan untuk mengoptimalkan dampak dari donasi uang, waktu, produk,
jasa,pengaruh, pengetahuan manajemen dan sumber daya lainnya pada masyarakat di mana
infrastruktur tersebut dibangun.
e. Standar bisnis
Standar ini meliputi aktifitas secara luas seperti etika, imbalan keuangan, perlindungan
lingkungan, standar kerja, dan HAM.
f. Pasar

produk, kualitas dan keamanan produk.
g. Pengembangan ekonomi dan badan usaha
Dalam

menjalankan

usahanya,

perusahaan

harus

memperhatikan

daya

saing,

pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) lokal, kewiraswastaan, pemberdayaan
ekonomi masyarakat, dan keuangan mikro.
h. Proteksi Kesehatan
Di banyak negara industri, tempat kerja dikenal sebagai tempat penting untuk melakukan
promosi kesehatan, sehingga perusahaan dapat berperan sebagai mitra pemerintah dalam
pengembangan kesehatan.
i. Pengembangan kepemimpinan dan pendidikan
Perusahaan dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat sekitar dengan memberikan
akses pendidikan, sehingga perusahaan dapat memberikan dampak positif pada proses
pemberdayaan melalui standar pengembangan kepemimpinan dan pendidikan dalam
perusahaan dan menularkan praktek-praktek terbaik kepada mitra perusahaan yang masih
berada dalam tingkat perekonomian berkembang atau transional.
j. Bantuan bencana kemanusiaan
Perusahaan bekerjasama dengan pemerintah, masyarakat dan LSM memegang peran
penting dalam mendukung operasi bencana kemanusiaan. Perusahaan diharapkan dapat
menerapkan konsep “respon proaktif” dan memusatkan pada tindakan pencegahan melalui
upaya pemberdayaan.

LAPORAN AKHIR

KABUPATEN MAROS TAHUN 2015-2019

dengan konsumen, yang antara lain meliputi etika pemasaran, penetapan harga, pengenalan

DOKUMEN RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH (RPI2-JM)

Mencakup aktivitas bisnis secara luas yang menggambark