BAB X ASPEK LINGKUNGAN DAN SOSIAL 10.1 Aspek Lingkungan dan Sosial 10.1.1 Aspek Lingkungan - DOCRPIJM 1508992473BAB 10 Pinrang
RPI2-JM 2015-2019
Kabupaten Pinrang
BAB X
ASPEK LINGKUNGAN DAN SOSIAL
10.1 Aspek Lingkungan dan Sosial
10.1.1
Aspek Lingkungan
Kebijakan nasional penataan ruang secara formal ditetapkan bersamaan
dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang (UU 24/1992), yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor
26 Tahun 2007 (UU 26/2007). Kebijakan tersebut ditujukan untuk mewujudkan
kualitas tata ruang nasional yang semakin baik, yang oleh undang-undang
dinyatakan dengan kriteria aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Namun,
setelah lebih dari 25 tahun diberlakukannya kebijakan tersebut, kualitas tata ruang
masih belum memenuhi harapan. Bahkan cenderung sebaliknya, justru yang
belakangan ini sedang berlangsung adalah indikasi dengan penurunan kualitas dan
daya dukung lingkungan. Pencemaran dan kerusakan lingkungan bahkan makin
terlihat secara kasat mata baik di kawasan perkotaan maupun di kawasan
perdesaan.
Isu-isu lingkungan hidup yang semakin menguat dewasa ini, termasuk pada
aras global, secara substantif merupakan suatu wacana korektif terhadap
paradigma pembangunan (developmentalism). Krisis lingkungan hidup yang
semakin luas di Indonesia dewasa ini, ditengarai karena antara lain perencanaan
pembangunan yang bias pertumbuhan ekonomi ketimbang ekologi. Sehingga
sebagai akumulasinya dalam dekade terakhir ini kita seperti menuai bencana
lingkungan. Banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, degradasi
hutan dan keanekaragaman hayati,
serta pencemaran sungai, laut dan udara,
X-1
datang silih berganti. Sebagai akibatnya, biaya (cost) dampak lingkungan hidup
yang harus ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah jauh lebih besar ketimbang
manfaat (benefit) ekonomi yang diperoleh.
Dengan diberlakukannya kebijakan nasional penataan ruang tersebut, maka
tidak ada lagi tata ruang wilayah yang tidak direncanakan. Tata ruang menjadi
produk dari rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang.
Oleh karena itu, penegasan sanksi atas
pelanggaran tata ruang sebagaimana diatur dalam UU 26/2007 menuntut proses
perencanaan tata ruang harus diselenggarakan dengan baik agar penyimpangan
pemanfaatan ruang bukan disebabkan oleh rendahnya kualitas rencana tata ruang
wilayah. Guna membantu mengupayakan perbaikan kualitas rencana tata ruang
wilayah
maka
Kajian
Lingkungan
Hidup
Strategis
[KLHS]
atau
Strategic
Environmental Assessment [SEA] menjadi salah satu pilihan alat bantu melalui
perbaikan kerangka pikir [framework of thinking] perencanaan tata ruang wilayah
untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup.
Pengarusutamaan
ditetapkan
sebagai
(mainstreaming)
landasan
pembangunan
operasional
berkelanjutan
pelaksanaan
telah
pembangunan,
sepertitercantum dalam RPJP dan RPJM Nasional. Lebih dariitu, selain UUD 45, UU
tentang Lingkungan Hidup, UUtentang Penataan Ruang serta UU Otonomi Daerah
telah menegaskan arti pentingnya lingkungan hidup. Secara filosofis maupun
fenomena riel, pendekatan konsep keruangan sangat identik dengan fenomena
lingkungan hidup yang dinamis dan sistemik.
Fenomena ini menjadi dasar argumentasi perhatian pada lingkungan hidup
dalam
konstelasi
pelaksanaan
pembangunan
nasionaldan
daerah
melalui
implementasi UU Penataan Ruang. Oleh karena itu, setiap proses perumusan visi,
misi,tujuan, dan strategi pembangunan sampai dengan pelaksanaannya yang
memerlukan alokasi kegiatan disuatu lokasi atau kawasan tertentu akan senantiasa
mengandung kepentingan pelestarian lingkungan hidup.
Dalam konteks mekanisme implementasi strategi pembangunan, perhatian
pada lingkunganhidup ini seyogyanya ditempatkan sejak awal proses penetapan
strategi sampai dengan pelaksanaannya. Sejumlah studi dan upaya untuk
mengenalkan serta menerapkan kajian lingkungan hidup strategis telahdilakukan
X-2
sejak 5 (lima) tahun terakhir atas inisiatifKLH, Bappenas, dan Depdagri. Orientasi
kegiatan tidak saja menyangkut pembangunan regional dan pembangunan daerah
tetapi juga pembangunansektoral, serta pengujian konsep, kebijakan, metode,dan
teknis analisis.
Menyadari bahwa instrumen lingkungan hidup yang tersedia saat ini baru pada
tingkat proyek (pelaksanaan AMDAL), maka masih dibutuhkan satu alat kaji pada
tingkat strategis, setara dengan strategi pembangunan nasional maupun daerah.
Bahkan dalam Peraturan Pemerintah tentang AMDAL dinyatakan bahwa salahsatu
instrumennya yaitu AMDAL Regional telah dihapuskan, sehingga sebuah format
kajian mengenai lingkungan hidup pada aras strategis dalam konteks pembangunan
semakin diperlukan.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau yang secara internasional
dikenal sebagai Strategic Environmental Assessment (SEA), dalam satu dekade
terakhir dapat dikatakan masih dalam tahap awal pengembangan di Indonesia.
Yang dimaksud dengan tahap awal adalah bahwa KLHS baru dalam tahap penapisan
(screening) dan pelingkupan (scoping) serta masih dalam bentuk kajian yang belum
diimplementasikan secara riel. Dengan kata lain, KLHS belum menjadi bagian dari
kebijakan pembangunan nasional. Namun dari pengalaman selama ini, dapatditarik
satu kesimpulan bahwa KLHS sudah sampai padataraf sangat dibutuhkan, dan perlu
segera diterapkan secara riel serta diformalkan dalam konteks kebijakan nasional
maupun daerah.
Sebagai satu konsep yang baru tetapi sangat dibutuhkan maka sejumlah
alternatif
mekanisme
penerapannya
dalam
konteks
substansi,
konstitusi,
kelembagaan maupun pendekatan, metode,dan teknis pelaksanaannya telah dicoba
untuk dirumuskan. Tentunya alternatif - alternatif ini perlu di uji coba pula,
khususnya dalam konteks kebijakan penyelenggaraannya.
Memahami permasalahan dan tantangan di atas,maka sasaran pembangunan
lingkungan hidup yang ditetapkan pemerintah dapat dirinci sebagai berikut:
1. Meningkatkan kualitas air permukaan (sungai,danau, dan situ), sekaligus
pengendalian dan pemantauan terpadu antarsektor.
X-3
2. Terkendalinya pencemaran pesisir dan laut melalui usaha konservasi
tanah.
3. Meningkatkan kualitas udara, khususnya di daerah perkotaan, melalui
kebijakan transportasi yang ramah lingkungan.
4. Pengurangan penggunaan bahan perusak ozon (BPO) secara bertahap.
5. Meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global.
6. Pelestarian
dan
pemanfaatan
keanekaragaman
hayati
secara
berkelanjutan sesuai dengan IBSAP (Indonesian Biodiversity Strategy and
Action Plan) 2003–2020.
7. Meningkatkan
upaya
pengelolaan
sampah
perkotaan
dengan
menempatkan faktor lingkungan sebagai penentu kebijakan.
8. Meningkatkan sistem pengelolaan limbah B3.
9. Tersusunnya informasi dan peta wilayah yang rentan terhadap kerusakan
lingkungan dan bencana alam (banjir, kekeringan, gempa bumi,tsunami,
dan lainnya).
10. Tersusunnya aturan pendanaan bagi pelestarian lingkungan hidup yang
inovatif.
11. Meningkatkan diplomasi internasional.
12. Meningkatkan kesadaran rakyat akan pentingnya konservasi lingkungan
hidup dan sumber daya alam.
Sementara itu, pembangunan lingkungan hidup secara khusus diarahkan untuk:
1. Mengarusutamakan
(mainstreaming)
prinsip-prinsip
pembangunan
berkelanjutan ke seluruh bidang pembangunan.
2. Meningkatkan koordinasi pengelolaan lingkungan hidup di tingkat nasional
dan daerah.
3. Meningkatkan upaya harmonisasi pengembangan hukum lingkungan dan
penegakannya secara konsisten terhadap pencemaran lingkungan.
4. Meningkatkan upaya pengendalian dampaklingkungan akibat kegiatan
pembangunan.
5. Meningkatkan kapasitas lembaga pengelola lingkungan hidup, baik di
tingkat
nasional
maupun
daerah,
terutama
dalam
menangani
X-4
permasalahan yang bersifat akumulatif, fenomena alam yang musiman,
dan bencana.
6. Membangun kesadaran rakyat agar peduli pada isu lingkungan hidup dan
berperan aktif sebagai kontrol-sosial dalam memantau kualitas lingkungan
hidup; dan
7. Meningkatkan penyebaran data dan informasi lingkungan, termasuk
informasi wilayah-wilayah rentan dan rawan bencana lingkungan dan
informasi kewaspadaan dini terhadap bencana.
Selanjutnya, arah pembangunan di atas dijabarkan dalam program-program
pembangunan yang langsung terkait dengan urusan lingkungan hidup dan
pengelolaan sumber daya alam, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden
Republik Indonesia No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional tahun 2004 – 2009. Program ini bertujuan untuk menjamin
kualitas ekosistem agar fungsinya sebagai penyangga sistem kehidupan dapat
terjaga dengan baik. Kegiatan pokok yang tercakup antara lain penyusunan tata
ruang dan zonasi untuk perlindungan sumber daya alam, terutama wilayah-wilayah
yang rentan terhadap gempa bumi tektonik dan tsunami, banjir, kekeringan,serta
bencana alam lainnya;
10.1.2
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
Mengacu pada UU SPPN, UU Lingkungan Hidup, dan RPJM 2004-2009 serta UU
Otonomi Daerah berikut arahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dari Dirjen
PUOD, konsep KLHS secara filosofis dan konseptual sangat relevan menjadi bagian
pokok arah kebijakan pembangunan, dengan mengingat bahwa pembangunan
lingkungan merupakan dasar bagi pembangunan berkelanjutan. Konsep KLHS
memiliki kapasitas untuk menjadi payung yang mengintegrasikan permasalahan riel
dan kebutuhan pembangunan dengan proses pengambilan kebijakan pembangunan
yang lebih bersifat holistik dan sistemik bukan kepentingan pragmatis sektoral
semata yang saratdengan konflik dan perilaku eksploitatif sumber daya alam.
Bahkan dari sisi kepentingan politik, penerapan konsep KLHS memiliki potensi
sebagai integrator kekuatan-kekuatan politik yang berkembang melalui mekanisme
dinamika partai politik, yaitu kampanye politik dan sistem pemilihan umum.
X-5
Namun demikian, permasalahan yang muncul dan menjadi perhatian untuk
dicarikan terobosan solusinya dalam kondisi saat ini adalah pada tatanan metode
penerapannya, karena dalam acuan struktur kebijakan khususnya dalam kaitannya
dengan institusionalisasinya masih ditemui inkonsistensi,serta belum terdefinisi
secara operasional dan sistematik. Belum lagi dengan adanya kemungkinan
ketidakserasian antar kebijakan sektoral yang seringkali menimbulkan konflik,
dimana masing-masing kebijakan sektoral dipayungi oleh kekuatan hukum yang
setara tingkatannya (antar Undang-Undang, Peraturan Presiden hingga Peraturan
Daerah).
Mengingat kondisi di atas, terlihat perlunya dilakukan terobosan-terobosan
kreatif untuk
menghasilkan
inovasi
dalam
merancang
kebijakan
strategis
pembangunan melalui pemanfaatan instrumen peraturan perundangan yang
berlaku serta legitimasi kelembagaan, dimana keterlibatan rakyat yang secara riel
terkait langsung dengan fenomena lingkungan hidup menjadi kuncinya. Pada
prakteknya, sesuai dengan definisi yang tertuang dalam UU No. 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Tata Ruang (UU No. 26 tahun 2007),
di manapun ada kehidupan atau kegiatan manusia pasti terkait secarasistem atau
fungsional dengan permasalalan lingkungan hidup. Oleh karena itu menjadi
semakin mendesak untuk dilakukan terobosan dalam merumuskan development
administration KLHS (terkait dengansistem politik, sosial-budaya-ekonomi dan
birokrasi) mengikuti konteks perkembangan kepentingan pembangunan Indonesia
masa kini dan mendatang.
Menyadari banyaknya permasalahan lingkungan hidup yang berskala regional
ataupun nasional bahkan lintas negara, dan tidak cukup memadainya instrumen
AMDAL yang hanya berorientasi pada skala proyek, kini telah dikembangkan satu
instrumen yang berskala regional sampai internasional pada tataran strategis.
Instrumen ini kemudian dipopulerkan dengan istilah Strategic Environment
Assessment (SEA), yang kemudian diterjemahkan sebagai Kajian Lingkungan Hidup
Strategis (KLHS). KLHS kini tidak hanya menjadi perhatian, tetapi juga telah
ditetapkan sebagai mandatory atau directive di sejumlah negara di Asiadan Afrika,
Australia, dan Selandia Baru, serta beberapa badan dunia seperti Uni Eropa, World
Bank, dan Asian Development Bank.
X-6
Mengikuti perkembangan ini, KLH telah berinisiatif untuk mengembangkannya
sejak lebih dari lima tahun lalu. Sebagaimana tahap inisiasi pada umumnya,
kegiatan yang terkait dengan pemikiran KLHS ini masih lebih dikonsentrasikan pada
studi dan pengenalan. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan tersebut belum dapat
dikatakan sebagai kegiatan KLHS seutuhnya, sehingga dapat dikatakan masih
“nearly SEA”. Namun, sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran dan
kebutuhan penyelesaian masalah lingkungan hidup pada tataran regional dan
strategis di Indonesia, maka instrumen KLHS ini dituntut untuk segera menjadi
acuan dasar dalam mengkaji kebutuhan, perumusan tujuan, dan strategi
pembangunan nasional maupun daerah.
Tuntutan ini semakin kuat sejalan dengan UUSPPN (Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional) dan RPJM 2004 – 2009. Sesuai dengan perannya masingmasing, maka KLH, Bappenas, dan Depdagri semakin intensif bekerja untuk
merumuskan KLHS ini sebagai satu instrumen nasional dan regional. Bahkan KLHS
ini telah diupayakan untuk menjadi pegangan utama dalam merumuskan setiap
strategi pembangunan berikut monitoring dan evaluasinya,baik dalam konteks
kewilayahan maupun sektoral.
Ada dua definisi KLHS yang lazim diterapkan, yaitu definisi yang menekankan
pada pendekatan telaah dampak lingkungan (EIA-driven) dan pendekatan
keberlanjutan (sustainability-driven). Pada definisi pertama, KLHS berfungsi untuk
menelaah efek dan/atau dampak lingkungan dari suatu kebijakan, rencana atau
program pembangunan. Sedangkan definisi kedua, menekankan pada keberlanjutan
pembangunan dan pengelolaan sumberdaya.
Definisi KLHS untuk Indonesia kemudian dirumuskan sebagai proses sistematis
untuk
mengevaluasi
pengaruh
lingkungan
hidup
dari,
dan
menjamin
diintegrasikannya prinsip-prinsip keberlanjutan dalam, pengambilan keputusan
yang bersifat strategis SEA is a systematic process for evaluating the environmental
effect of, and for ensuring the integration of sustainability principles into,
strategic decision-making].
KLHS
adalah
sebuah
bentuk
tindakan
stratejik
dalam
menuntun,
mengarahkan, dan menjamin tidak terjadinya efek negatif terhadap lingkungan
dan keberlanjutan dipertimbangkan secara inheren dalam kebijakan, rencana dan
X-7
program [KRP].
Posisinya berada pada relung pengambilan keputusan.
Oleh
karena tidak ada mekanisme baku dalam siklus dan bentuk pengambilan keputusan
dalam perencanaan tata ruang, maka manfaat KLHS bersifat khusus bagi masingmasing hirarki rencana tata ruang wilayah [RTRW].
KLHS bisa menentukan
substansi RTRW, bisa memperkaya proses penyusunan dan evaluasi keputusan, bisa
dimanfaatkan sebagai instrumen metodologis pelengkap (komplementer) atau
tambahan (suplementer) dari penjabaran RTRW, atau kombinasi dari beberapa
atau semua fungsi-fungsi diatas.
Penerapan KLHS dalam penataan ruang juga bermanfaat untuk meningkatkan
efektivitas pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) dan
atau instrumen pengelolaan lingkungan lainnya, menciptakan tata pengaturan yang
lebih baik melalui pembangunan keterlibatan para pemangku kepentingan yang
strategis dan partisipatif, kerjasama lintas batas wilayah administrasi, serta
memperkuat pendekatan kesatuan ekosistem dalam satuan wilayah (kerap juga
disebut “bio-region” dan/atau “bio-geo-region”). Sifat pengaruh KLHS dapat
dibedakan
dalam
tiga
kategori,
yaitu
KLHS
yang
bersifat
instrumental,
transformatif, dan substantif. Tipologi ini membantu membedakan pengaruh yang
diharapkan dari tiap jenis KLHS terhadap berbagai ragam RTRW, termasuk bentuk
aplikasinya, baik dari sudut langkah-langkah prosedural maupun teknik dan
metodologinya.
Pendekatan KLHS dalam penataan ruang didasarkan pada kerangka bekerja
dan metodologi berpikirnya. Berdasarkan literatur terkait, sampai saat ini ada 4
(empat) model pendekatan KLHS untuk penataan ruang, yaitu :
1. KLHS dengan Kerangka Dasar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup/AMDAL (EIA-Mainframe)
KLHS dilaksanakan menyerupai AMDAL yaitu mendasarkan telaah pada efek
dan
dampak
yang
ditimbulkan
RTRW
terhadap
lingkungan
hidup.
Perbedaannya adalah pada ruang lingkup dan tekanan analisis telaahannya
pada tiap hirarhi KRP RTRW.
2. KLHS
sebagai
Kajian
Penilaian
Keberlanjutan
Lingkungan
Hidup(Environmental Appraisal)
X-8
KLHS ditempatkan sebagai environmental appraisal untuk memastikan KRP
RTRW menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga bisa
diterapkan sebagai sebuah telaah khusus yang berpijak dari sudut pandang
aspek lingkungan hidup.
3. KLHS
sebagai
Kajian
Terpadu/Penilaian
Keberlanjutan
(Integrated
AssessmentSustainability Appraisal)
KLHS diterapkan sebagai bagian dari uji KRP untuk menjamin keberlanjutan
secara holistik, sehingga sudut pandangnya merupakan paduan kepentingan
aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Dalam prakteknya, KLHS
kemudian lebih ditempatkan sebagai bagian dari kajian yang lebih luas
yang menilai atau menganalisis dampak sosial, ekonomi dan lingkungan
hidup secara terpadu.
4. KLHS
sebagai
pendekatan
Pengelolaan
Berkelanjutan
Sumberdaya
Alam(Sustainable Natural Resource
Management) atau Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya (Sustainable
Resource Management) KLHS diaplikasikan dalam kerangka pembangunan
berkelanjutan, dan a) dilaksanakan sebagai bagian yang tidak terlepas dari
hirarki sistem perencanaan penggunaan lahan dan sumberdaya alam, atau
b) sebagai bagian dari strategi spesifik pengelolaan sumberdaya alam.
Model a) menekankan pertimbanganpertimbangan kondisi sumberdaya alam
sebagai dasar dari substansi RTRW, sementara model b) menekankan
penegasan
fungsi
RTRW
sebagai
acuan
aturan
pemanfaatan
dan
perlindungan cadangan sumberdaya alam.
Aplikasi-aplikasi pendekatan di atas dapat diterapkan dalam bentuk
kombinasi, sesuai dengan : hirarki dan jenis RTRW yang akan dihasilkan/ditelaah,
lingkup isu mengenai sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang menjadi fokus,
konteks kerangka hukum RTRW yang dihasilkan/ditelaah, kapasitas institusi dan
sumberdaya manusia aparatur pemerintah selaku pelaksana dan pengguna KLHS,
serta tingkat kemauan politis atas manfaat KLHS terhadap RTRW.
X-9
Tabel 10.1 Pengaruh KLHS dalam RTRW
Prosedur penyelenggaraan KLHS untuk setiap pendekatan berbeda, namun
secara generik hubungan antara komponen-komponen kerja KLHS dapat dijelaskan
sebagai berikut :
Gambar 10.1 Kerangka Kerja KLHS
X-10
Kegiatan penapisan menentukan perlu atau tidaknya dilakukan KLHS terhadap
sebuah konsep/muatan rencana tata ruang. Langkah ini diperlukan atas alasanalasan: a) memfokuskan telaah pada KRP yang memiliki nilai strategik, b)
memfokuskan telaah pada KRP yang diindikasikan akan memberikan konsekuensi
penting pada kondisi lingkungan hidup, dan c) memberikan gambaran umum
metodologi pendekatan yang akan digunakan. Karena penyusunan RTRW wajib
dilakukan maka tahap penapisan tidak diperlukan, sementara penyusunan RTR
dengan tingkat kerincian Kawasan bisa ditapis terlebih dulu dengan menjawab
pertanyaan-pertanyaan berikut :
Apakah
rancangan
RTR
berpotensi
mendorong
timbulnya
percepatan
kerusakan sumber daya alam (hutan, tanah, air atau pesisir) dan pencemaran
lingkungan yang kini tengah berlangsung di suatu wilayah atau DAS dan/atau
Apakah rancangan RTR berpotensi meningkatkan intensitas bencana banjir,
longsor, atau kekeringan di wilayah-wilayah yang saat ini tengah mengalami
krisis ekologi? dan/atau
Apakah rancangan RTR berpotensi menurunkan mutu air dan udara termasuk
ketersediaan air bersih yang dibutuhkan oleh suatu wilayah yang berpenduduk
padat? dan/atau
Apakah rancangan RTR akan menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk
golongan miskin sebagai akibat adanya pembatasan baru atas akses dan
kontrol terhadap sumber-sumber alam yang semula dapat mereka akses?
dan/atau
Apakah rancangan RTR berpotensi mengancam keberlanjutan penghidupan
(livelihood sustainability) suatu komunitas atau kelompok masyarakat
tertentu di masa mendatang ?
Jawaban positif bagi salah satu pertanyaan diatas sudah cukup untuk
memberikan alasan bahwa rancangan RTR tersebut memiliki potensi efek penting
dan perlu dipertimbangkan untuk dilengkapi dengan KLHS.
Pelingkupan
merupakan
proses
yang
sistematis
dan
terbuka
untuk
mengidentifikasi isu-isu penting atau konsekuensi lingkungan hidup yang akan
X-11
timbul berkenaan dengan rencana KRP RTR Wilayah dan Kawasan. Berkat adanya
pelingkupan ini, pokok bahasan dokumen KLHS akan lebih difokuskan pada isu-isu
atau konsekuensi lingkungan dimaksud.
Telaah dan analisis teknis adalah proses identifikasi, deskripsi, dan evaluasi
mengenai konsekuensi dan efek lingkungan akibat diterapkannya RTRW; serta
pengujian efektivitas RTRW dalam menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan.
Telaah dan analisis teknis mencakup : a) pemilihan dan penerapan metoda, serta
teknik analisis yang sesuai dan terkini, b) penentuan dan penerapan aras rinci
(level of detail) analisis agar sesuai dengan kebutuhan rekomendasi, dan c)
sistematisasi proses pertimbangan seluruh informasi, kepentingan dan aspirasi yang
dijaring. Jenis-jenis kerangka telaah yang lazim dibutuhkan, antara lain:
Telaah daya dukung dan daya tampung lingkungan,
Telaah hubungan timbal balik kegiatan manusia dan fungsi ekosistem.
Telaah kerentanan masyarakat dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan
iklim dan bencana lingkungan.
Telaah ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Alternatif yang dikembangkan dapat mencakup : a) substansi pokok/dasar
RTRW (misalnya: pilihan struktur dan pola ruang), b) program atau kegiatan
penerapan muatan RTRW (misalnya: pilihan intensitas pemanfaatan ruang),
dan/atau c) kegiatan-kegiatan operasional pengelolaan efek lingkungan hidup
(misalnya: penerapan kode bangunan yang hemat energi).
Pengambilan keputusan dilakukan untuk memilih alternatif terbaik yang bisa
dilaksanakan yang dipercaya dapat mewujudkan tujuan penataan ruang dalam
kurun waktu yang ditetapkan. Alternatif terpilih tidak hanya dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial akan tetapi juga dapat menjamin
terpeliharanya fungsi lingkungan secara terus menerus. Berbagai metodologi yang
lazim diterapkan dalam pengambilan keputusan, antara lain: compatibility
[internal dan eksternal] appraisal, benefit-cost ratio, analisis skenario dan
multikriteria, analisis risiko, survai opini untuk menentukan prioritas, dll.
Sesuai dengan kebutuhannya, kegiatan pemantauan dan tindak lanjut dapat
diatur berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
Pada dasarnya
efektivitas penerapan rekomendasi KLHS berkaitan langsung dengan efektivitas
X-12
RTRW bagi wilayah rencananya, sehingga tata laksananya bisa mengikuti aturan
pemantauan efektivitas RTRW.
Seluruh rangkaian KLHS bersifat partisipatif.
Semua komponen kegiatan
diwarnai berbagai bentuk partisipasi dan konsultasi masyarakat. Namun demikian,
tingkat keterlibatan atau partisipasi masyarakat sangat bervariasi bergantung pada
aras (level of detail) RTRW, peraturan perundangan yang mengatur keterlibatan
masyarakat,
serta
komitmen
dan
keterbukaan
dari
pimpinan
organisasi
pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah. Secara umum boleh dikatakan
bila KLHS diaplikasikan pada tingkat nasional atau provinsi, maka keterlibatan atau
partisipasi masyarakat harus lebih luas dan intens dibanding KLHS pada tingkat
kabupaten atau kota. Bila KLHS diaplikasikan untuk tingkat kabupaten, kota, atau
kawasan, maka proses pelibatan masyarakat atau konsultasi publik harus dilakukan
sedini mungkin dan efektif.
Hal ini disebabkan cakupan muatan RTRW yang
bersifat operasional memiliki ragam penerapan yang variatif dan bersinggungan
langsung dengan kegiatan masyarakat.
Secara spesifik, harus ada ketersediaan waktu yang cukup bagi masyarakat
untuk menelaah, memberikan masukan, dan mendapatkan tanggapan dalam proses
KLHS.
Kegiatan ini juga mensyaratkan adanya tata laksana penyaluran aspirasi
masyarakat, termasuk pada tahap pengambilan keputusan.
Komponen-komponen kerja KLHS dilaksanakan dengan memperhatikan proses
formal yang berjalan. Kombinasi berbagai alternatif pelaksanaannya sangat
ditentukan oleh kekhususan proses pengambilan keputusan yang sedang terjadi
pada masing-masing RTRW. Dalam kasus dimana proses perencanaan RTRW belum
terbentuk atau dilaksanakan, seluruh komponen kerja KLHS bisa dijadikan bagian
yang tak terpisahkan dari langkah-langkah pekerjaan penyusunan RTRW. Pada
situasi
dimana
KLHS
hadir
sebagai
kebutuhan
untuk
mendukung
proses
pengambilan keputusan di tahap akhir proses perencanaan, proses kerjanya bisa
terpisah (stand alone). Banyak kondisi dimana kombinasi antara kedua hal diatas
akan terjadi, misalnya pengintegrasian beberapa komponen kerja di tahap-tahap
tertentu dan memisahkannya pada tahap yang lain. Dapat pula terjadi situasi
dimana tidak semua komponen kerja perlu dilaksanakan atas alasan-alasan
tertentu tanpa mengurangi nilai penting dari pelaksanaan KLHS itu sendiri.
X-13
Kecenderungan penurunan kualitas lingkungan terkait dengan tata ruang
wilayah sebagai produk dari rangkaian proses penataan ruang, yang diawali
tahapan perencanaan tata ruang, oleh karena itu, perbaikan kuaitas rencana tata
ruang wilayah menjadi mutlak dan sangat strategis untuk segera direalisasikan
guna menghambat laju penurunan kualitas lingkungan dan daya dukung lingkungan.
KLHS bisa menjadi pilihan alat bantu untuk memperbaiki kualitas rencana tata
ruang wilayah melalui perbaikan kerangka berfikir perencanaan tata ruang, yang
berimplikasi
pada
perbaikan
prosedur/proses
dan
metodologi/muatan
perencanaan.
10.1.3 AMDAL, UKL-UPL dan SPPLH
AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan
hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan
keputusan. Hal -hal yang dikaji dalam proses AMDAL : aspek fisik-kimia, ekologi,
sosial -ekonomi, sosial budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi
kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Analisis mengenai dampak
lingkungan hidup di satu sisi merupakan bagian
studi kelayakan untuk mel
aksanakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, di sisi lain merupakan syarat
yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Berdasarkan analisis
ini dapat diketahui secara lebih jelas dampak besar dan
penting terhadap lingk ungan hidup, baik dampak negatif maupun dampak positif
yang akan
langkah
timbul dari usaha dan/atau kegiatan sehingga dapat dipersiapkan
untuk menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak
positif.
Untuk mengukur atau menentukan dampak besar dan penting tersebut di
antaranya digunakan kriteria mengenai :
Besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau
kegiatan;
Luas wilayah penyebaran dampak;
Intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
Banyaknya komponen lingk ungan hidup lain yang akan terkena dampak;
X-14
Sifat kumulatif dampak;
Berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.
Menurut PP No. 27/1999 pasal 3 ayat 1 Usaha dan/atau kegiatan yang
kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar d an penting terhadap lingkungan
hidup meliputi :
Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam
Eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak
terbaharu
Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan,
Pencemaran dan keru sakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber
daya alam dalam pemanfaatannya;
Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam,
lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;
Proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempe ngaruhi pelestarian
kawasan konservasi sumber daya dan/atau perlindungan cagar budaya;
Introduksi jenis tumbuh -tumbuhan, jenis hewan, dan jenis jasad renik;
Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) di Indonesia diberlakukan
berdasar PP 51 tahun 1993 (sebelumnya PP 29 tahun 1986) sebagai realisasi
pelaksanaan UU no. 4 tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup yang saat ini telah
direvisi menjadi UU no. 23 tahun 1997. AMDAL merupakan instrumen pengelolaan
lingkungan yang diharapkan dapat mencegah kerusakan lingkun gan dan menjamin
upaya-upaya konservasi. Hasil studi AMDAL merupakan bagian penting dari
perencanaan pembangunan proyek itu sendiri.
Sebagai instrumen pengelolaan
lingkungan yang bersifat preventif, AMDAL harus dibuat pada tahap paling dini
dalam perencan aan kegiatan pembangunan. Dengan kata lain, proses penyusunan
dan pengesahan AMDAL harus merupakan bagian dari proses perijinan satu proyek.
Dengan cara ini proyek -proyek dapat disaring seberapa jauh dampaknya terhadap
lingkungan. Di sisi lain studi AMDAL juga dapat memberi masukan bagi upaya upaya untuk meningkatkan dampak positif dari proyek tersebut.
Dalam PP 51 Tahun 1993 ditetapkan 4 jenis studi AMDAL, yaitu :
X-15
1. AMDAL Proyek , yaitu AMDAL yang berlaku bagi satu kegiatan yang berada
dalam kewenangan satu instansi sektoral. Misalnya rencana kegiatan pabrik
tekstil yang mempunyai kewenangan memberikan ijin dan mengevaluasi studi
AMDALnya ada pada Departemen Perindustrian.
2. AMDAL Terpadu / Multisektoral, adalah AMDAL yang berlaku bagi suatu
rencana
kegiatan
pembangunan
yang
bersifat
terpadu,
yaitu
adanya
keterkaitan dalam hal perencanaan, pengelolaan dan proses produksi, serta
berada dalam satu kesatuan ekosistem dan melibatkan kewenangan lebih dari
satu instansi. Sebagai contoh adalah satu kesatuan kegiatan pabrik pulp dan
kertas yang kegiatannya terkait dengan proyek hutan tanaman industri (HTI)
untuk penyediaan bahan bakunya, pembangkit tenaga listrik uap (PLTU) untuk
menyediakan energi, dan pelabuhan untuk distribusi produksinya. Di sini
terlihat adanya keterlibatan lebih dari satu instansi, yaitu Departemen
Perindustrian,
Departemen
kehutanan,
Departemen
Pertambangan
dan
Departemen Perhubungan.
3. AMDAL Kawasan, yaitu AMDAL yang ditujukan pada satu rencana kegiatan
pembangunan yang berlokasi dalam satu kesatua n hamparan ekosistem dan
menyangkut kewenangan satu instansi. Contohnya adalah rencana kegiatan
pembangunan kawasan industri. Dalam kasus ini masing -masing kegiatan di
dalam kawasan tidak perlu lagi membuat AMDALnya, karena sudah tercakup
dalam AMDAL seluruh kawasan.
4. AMDAL Regional, adalah AMDAL yang diperuntukan bagi rencana kegiatan
pembangunan yang sifat kegiatannya saling terkait dalam hal perencanaan dan
waktu pelaksanaan kegiatannya. AMDAL ini melibatkan kewenangan lebih dari
satu instansi, berada dal am satu kesatuan ekosistem, satu rencana
pengembangan wilayah sesuai Rencana Umum Tata Ruang Daerah. Contoh
AMDAL Regional adalah pembangunan kota -kota baru.
Secara teknis instansi yang bertanggung jawab dalam merumuskan dan
memantau penyusunan AMDAL di In donesia adalah BAPEDAL (Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan). Sebagaimana diatur dalam PP 51 tahun 1993, kewenangan ini
juga dilimpahkan pada instansi -instansi sektoral serta BAPEDALDA Tingkat I.
Dengan kata lain BAPEDAL Pusat hanya menangani studi -studi AMDAL yang
X-16
dianggap mempunyai implikasi secara nasional. Pada tahun 1999 diterbitkan lagi
penyempurnaan ini adalah untuk memberikan kewenangan proses evaluasi AMDAL
pada daerah. Materi baru dalam PP ini adalah diberikannya kemungkinan
partisipasi masyarakat di dalam proses penyusunan AMDAL Sebagaimana telah
dievaluasi oleh banyak pihak, proses AMDAL
di Indonesia memiliki banyak
kelemahan , yaitu :
1. AMDAL belum sepenuhnya terintegrasi dalam proses perijinan satu rencana
kegiatan pembangunan, sehingga tidak te rdapat kejelasan apakah AMDAL
dapat dipakai untuk menolak atau menyetujui satu rencana kegiatan
pembangunan.
2. Proses partisipasi masyarakat belum sepenuhnya optimal. Selama ini LSM telah
dilibatkan dalam sidang -sidang komisi AMDAL, akan tetapi suaranya belum
sepenuhnya diterima didalam proses pengambilan keputusan.
3. Terdapatnya berbagai kelemahan didalam penerapan studi -studi AMDAL.
Dengan kata lain, tidak ada jaminan bahwa berbagai rekomendasi yang muncul
dalam studi AMDAL serta UKL dan UPL akan dilaksanakan oleh pihak
pemrakarsa.
4. Masih lemahnya metode -metode penyusunan AMDAL, khusunya aspek “sosial
budaya”, sehingga kegiatan-kegiatan pembangunan yang implikasi sosial –
budayanya penting, kurang mendapat kajian yang seksama.
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan merupakan teknologi pembuatan
perencanaan dan keputusan yang berasal dari barat, negara industri yang
demokratis dengan kondisi budaya dan sosial berbeda, sehingga ketika program ini
diterapkan di negara berkembang
dengan kondisi budaya dan sosiopolitik b
erbeda, kesulitanpun muncul. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau AMDAL di
Indonesia telah lebih dari 15 tahun diterapkan. Meskipun demikian berbagai
hambatan atau masalah selalu muncul dalam penerapan AMDAL, seperti juga yang
terjadi pada penerapan AMDAL di negara-negara berkembang lainnya. Hambatan
tersebut cenderung terfokus pada faktor-faktor teknis, seperti :
Tidak memadainya aturan dan hukum lingkungan,
Kekuatan institusi ,
X-17
Pelatihan ilmiah dan profesional,
Ketersediaan data.
Karakter budaya serta perilaku sosial dan politik orang Indonesia sangat
mempengaruhi bentuk penerapan AMDAL. Inisiatif program dan kebijakan
lingkungan di Indonesia sangat bersifat “top down”
Inisiatif
oleh pemerintah sendiri.
“top down” tersebut muncul bukan karena adanya kebut uhan
penganalisisan dampak, tetapi sebagai tanggapan terhadapa perkembangan barat.
Tekanan perkembangan barat untuk menanggapi masalah lingkungan terutama
melalui konferensi lingkungan internasional di Stockholm tahun 1972 dan Rio De
Janiero tahun 1992 . Berbeda dengan di negara barat, program dan kebijakan
lingkungan dibuat karena adanya kebutuhan masyarakat, sehingga inisiatif bersifat
“ bottom up ”.
Penerapan AMDAL di Indonesia tidak semudah di negara barat, karena kondisi
masyarakat yang berbeda, yang tidak dapat sepenuhnya memberi dukungan
terhadap tindakan pemerintah. Walaupun banyak isu lingkungan dalam agenda
sosial, tetapi isu tersebut masih dianggap kurang penting. Masyarakat juga
cenderung lebih mempertahankan hidup dengan menggantungkan pada sum
berdaya alam daripada melakukan tindakan untuk melindungi kehidupan liar,
spesies langka dan keanekaragaman hayati. Agenda sosial untuk perlindungan
lingkungan tersebut juga lemah dan mempunyai sedikit kesempatan untuk diangkat
menjadi agenda politik. Kemi skinan, buta huruf, kurangnya informasi, sangat
berkuasanya elit politik dan ekonomi, rejim politik yang terlalu mengontrol dan
otoriter, merupakan faktor adanya situasi tersebut.
Pengelolaan lingkungan sebenarnya merupakan kegiatan yang dilakukan antar
instansi , karena mencakup multi disiplin. Untuk efektifitas AMDAL, seharusnya
instansi lingkungan dan sektoral pemerintah harus melakukan koordinasi, berbagi
informasi dan bekerjasama untuk menerapkan AMDAL dalam siklus proyek,
melakukan evaluasi terhadapa usaha penilaian dan perencanaan lingkungan, serta
mneyusun rekomendasi. Kerjasama ini tampaknya kurang terjadi pada pelaksanaan
AMDAL di Indonesia. Dalam penyusunan rancangan program, komisi AMDAL, yang
berada di masing -masing sektor kementrian dan propin si bekerja sendiri -sendiri.
Komisi dapat menyetujui laporan AMDAL tanpa adanya konsultasi dengan
X-18
departemen lain yang bertanggung jawab terhadap lokasi proyek, kontrol gangguan
dan ijin egiatan. Jadi program AMDAL hanya menyediakan sedikit atau tidak sama
sekali kesempatan secara resmi bagi staf pemerintah untuk bekerjasama
menghindari atau mengurangi dampak lingkungan selama perancangan proyek dan
selama proses kesepakatan pelaksanaan proyek.
Pada umumnya pelaksanaan AMDAL tidak mengikutsertakan partisipasi
masyarakat dalam perencanaan proyek dan pengambilan keputusan. Konsultasi
dengan masyarakat secara resmi pada proyek-proyek yang diusulkan biasanya
hanya dilakukan pada waktu survei untuk mengumpulkan informasi. Konsultasi
masyarakat dianggap tidak penting, karena dianggap semua telah sepakat.
Kalaupun ada keinginan masyarakat untuk menolak usulan proyek, karakter budaya
yang ada akan menghambat pengungkapan keinginan tersebut. Sebaliknya di
negara barat, pemerintah justru mensponsori diadakannya konsult asi masyarakat
dalam setiap usulan pembangunan, yang mana pertikaian dan perdebatan dapat
terjadi, dan semuanya adalah untuk tujuan atau kepentingan bersama.
Dalam kondisi pelaksanaan AMDAL di Indonesia tersebut, faktor budaya
seharusnya menjadi perhatian
utama disamping faktor teknis, ketika mengkaji
kesulitan yang timbul dalam pelaksanaan kebijakan atau program seperti AMDAL,
yang berasal dari Barat dan diterapkan di negara dengan budaya yang berbeda.
Tidak adanya lagi Komisi Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) sektoral dan
ditetapkannya satu Komisi Amdal Pusat di bawah Kementerian Negara Lingkungan
Hidup di mana semua stakeholders (para pihak terkait) duduk di dalamnya, baik
wakil dari departemen terkait, pakar dari perguruan tinggi, lembaga swadaya
masyarakat (LSM) dan wakil masyarakat-merupakan kemajuan penting. Demikian
penegasan Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan
(Bapedal)
Sonny
Keraf
saat
membuka
Workshop
Nasional
"Pengembangan Kapasitas Desentralisasi Proses Amdal", Senin (31/7 /2000), di
Jakarta. Seiring desentralisasi, proses Amdal akan diserahkan ke daerah. Di pusat
hanya akan ada satu komisi Amdal yang menilai kegiatan yang mempunyai potensi
berdampak negatif secara nasional. Sementara di masing -masing propinsi dan
kabupaten/kota akan dibentuk satu komisi Amdal yang menangani proses Amdal di
daerah bersangkutan.
X-19
"Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 27/1999, semua kebijakan dan
proses mengenai Amdal hanya satu
pintu. Dengan demikian tidak ada lagi
egosektoral yang selama ini mungkin terjadi, di mana sektor lebih menekankan
kegiatan produksi dan pertumbuhan ekonomi, sementara Amdal hanya dipandang
sebagai dokumen formal yang bisa digarap sambil jalan .
Dalam peraturan pemerintah yang akan diberlakukan November 2000 itu
dinyatakan, penilaian Amdal menjadi syarat mutlak pemberian izin usaha. Dengan
demikian, tidak akan ada izin usaha sebelum Amdal dianggap memenuhi syarat.
Dengan masuknya pelbagai pakar terkait dari perguruan tinggi, diharapkan Amdal
bisa menjadi dokumen ilmiah yang berdasarkan kebenaran dan kejujuran.
"Kepentingan untuk menjadikan Amdal sebagai rekomendasi murni, tidak
dibelenggu kepentingan politis dan ekonomis, harus dikedepankan.
Pelibatan wakil LSM dan masyarakat sangat penting, sehingga tidak ada lagi
keluhan bahwa masyarakat harus menerima dampak suatu kegiatan tanpa memiliki
suara untuk menyetujui atau menolak. Hal ini dikuatkan dengan Keputusan Kepala
Bapedal No 8/2000, yang mensyaratkan par tisipasi masyarakat dalam proses
penilaian
Amdal.
"Desentralisasi
kewenangan
Amdal
merupakan
bentuk
penyelesaian masalah yang paling strategis untuk menyerap aspirasi masyarakat,
penyederhanaan prosedur Amdal, peningkatan efektivitas pelaksanaan dan keterp
aduan serta ketepatan perencanaan daerah.
Penyerahan wewenang proses Amdal dan perizinan ke daerah menimbulkan
pelbagai implikasi, antara lain masalah sumber daya manusia. Karena itu,
kelembagaan di daerah perlu diperkuat khususnya di level pemerintah.
Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan
hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan
terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan
Hidup, yang selanjutnya disebut SPPL, adalah pernyataan kesanggupan dari
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pengelolaan dan
X-20
pemantauan lingkungan hidup atas dampak lingkungan hidup dari usaha dan/atau
kegiatannya di luar usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL.
UKL-UPL merupakan salah satu persyaratan yang wajib dipenuhi dalam
pelaksanaan penerbitan izin lingkungan, sehingga bagi usaha dan/atau kegiatan
yang UKL-UPLnya ditolak maka pejabat pemberi izin wajib menolak penerbitan izin
bagi usaha dan/atau kegiatan bersangkutan. UKL-UPL dinyatakan berlaku
sepanjang usaha dan/atau kegiatan tidak melakukan perubahan lokasi, desain,
proses, bahan baku dan/atau bahan penolong. Bagi UKL-UPL yang telah dinyatakan
sesuai dengan isian formulir atau layak, maka UKLUPL tersebut dinyatakan
kadaluarsa apabila usaha dan/atau kegiatan tidak dilaksanakan dalam jangka
waktu 3 (tiga) tahun sejak rekomendasi atas UKL-UPL diterbitkan.
Prosedur Operasional Standar (Standard Operating Procedure) selanjutnya
disingkat SOP adalah upaya yang dilakukan untuk meminimalkan dampak
lingkungan yang ditimbulkan oleh usaha dan/ atau kegiatan sesuai prosedur
operasional yang berlaku.
10.2 Aspek Sosial
Komponen pengamanan sosial adalah bagian paling penting untuk memahami
upaya pencegahan terhadap munculnya dampak sosial di masyarakat. Pelaksanaan
upaya pengamanan sosial adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk melihat
dan memastikan bahwa pelaksanaan program telah sesuai dengan kaidah-kaidah
pengamanan sosial. Secara garis besar mekanisme penerapan pengamanan sosial
dilaksanakan dengan alur sebagai berikut:
Wajib melakukan sosialisasi upaya pengamanan lingkungan di setiap tahapan
kegiatan/siklus program, dimulai dari kegiatan sosialisasi, perencanaan,
pengusulan
kegiatan,
pelaksanaan
konstruksi
sampai
dengan
tahapan
pemanfaatan dan pemeliharaan.
Menyiapkan
usulan
kegiatan
berdasarkan
format
standar yang
telah
disediakan yang memuat spesifikasi teknis, anggaran dan rencana kerja,
termasuk dalam hal ini kesesuaiannya dengan ketentuan pengamanan sosial.
Semua usulan kegiatan dari masyarakat akan dikaji oleh tenaga ahli dari segi
kelayakan, teknis, dan kesesuaian dengan pedoman.
X-21
Menapis usulan kegiatan dari sisi dampak lingkungan berdasarkan tabel
kriteria penapisan lingkungan. Serta jika diperlukan juga melakukan
penapisan
khusus
untuk
semua
usulan
kegiatan
masyarakat
yang
membutuhkan tanah dan perubahan penggunaan air (misal reklamasi, irigasi);
proyek ekonomi yang berdampak lingkungan untuk memastikan alignment, air
larian, dsb. memenuhi standar praktek yang baik.
Memastikan adanya langkah-langkah mitigasi yang memadai.
Sebagai
acuan
pelaksanaan
maka
keberhasilan
dalam
pelaksanaan
pengamanan sosial dapat diukur dengan menggunakan indikator sebagai berikut:
Masyarakat memahami pentingnya tindakan pengamanan sosial.
Masyarakat tidak mengalami kerugian dengan adanya pelaksanaan program.
Tidak terjadi konflik di masyarakat selama dan setelah pelaksanaan program.
Infrastruktur dibangun di atas lahan yang status pemanfaataan lahannya
sudah jelas.
Menghindari/meminimalkan terjadinya ganti rugi lahan.
Masyarakat adat tidak melakukan protes terhadap pelaksanaan program.
Tidak
terjadi
perselisihan/konflik
diantara
masyarakat
adat
selama
pelaksanaan program.
Tidak terjadi/menghindari terjadinya penggusuran.
Tidak terjadi/menghindari terjadinya pemukiman kembali.
Tidak terjadi pencemaran lingkungan (genangan, banjir, timbulan sampah
padat/cair, kebisingan,bau, dll) di lokasi sasaran.
Dilaksanakannya langkah mitigasi dan pemantauan dampak lingkungan.
Masyarakat tidak melakukan protes atas infrastruktur terbangun.
10.2.1 Aspek Sosial pada Perencanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya
Dalam Standard on Social Responsibility ISO 2006, tanggung jawab sosial
mencakup 7 isu pokok yaitu: pengembangan masyarakat, konsumen, praktek
kegiatan institusi yang sehat, lingkungan, ketenagakerjaan, hak asasi manusia, dan
governance organisasi.
X-22
Meskipun belum ada standar baku tanggung jawab sosial, unsur-unsur
tanggung
jawab
sosial
terus
mengalami
perkembangan
seiring
dengan
perkembangan masyarakat, globalisasi, dan pasar bebas. The World Bank Institute
menjabarkan komponen tanggung jawab sosial sebagai berikut :
a.
Proteksi Lingkungan
Tanggung jawab lingkungan ditekankan pada menemukan cara penggunaan
sumber
daya
alam
secara
berkelanjutan
untuk
mengurangi
dampak
operasionalisasi terhadap lingkungan.
b.
Jaminan Kerja
Terkait dengan kebebasan berserikat bagi pekerja dan pengenalan secara
efektif terhadap hak dan kewajiban pekerja, khususnya hak untuk berunding
secara kolektif.
c.
Hak Asasi Manusia
Pengembangan
tempat
kerja
yang
bebas
dari
diskriminasi
dengan
mengedepankan etika professional yang memperhatikan kreativitas dan
pembelajaran, dan keseimbangan antara pekerjaan terhadap aspek lain di
luar pekerjaan.
d.
Keterlibatan dalam komunitas
Merupakan tindakan untuk mengoptimalkan dampak dari donasi uang, waktu,
produk, jasa,pengaruh, pengetahuan manajemen dan sumber daya lainnya
pada masyarakat di mana infrastruktur tersebut dibangun.
e.
Standar bisnis
Standar ini meliputi aktifitas secara luas seperti etika, imbalan keuangan,
perlindungan lingkungan, standar kerja, dan HAM.
f.
Pasar
Mencakup aktivitas bisnis secara luas yang menggambarkan hubungan antara
perusahaan dengan konsumen, yang antara lain meliputi etika pemasaran,
penetapan harga, pengenalan produk, kualitas dan keamanan produk.
g.
Pengembangan ekonomi dan badan usaha
Dalam menjalankan usahanya, perusahaan harus memperhatikan daya saing,
pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) lokal, kewiraswastaan,
pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan keuangan mikro.
h.
Proteksi Kesehatan
X-23
Di banyak negara industri, tempat kerja
dikenal sebagai tempat penting
untuk melakukan promosi kesehatan, sehingga perusahaan dapat berperan
sebagai mitra pemerintah dalam pengembangan kesehatan.
i.
Pengembangan kepemimpinan dan pendidikan
Perusahaan dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat sekitar dengan
memberikan akses pendidikan, sehingga perusahaan dapat memberikan
dampak positif pada proses pemberdayaan melalui standar pengembangan
kepemimpinan dan pendidikan dalam perusahaan dan menularkan praktekpraktek terbaik kepada mitra perusahaan yang masih berada dalam tingkat
perekonomian berkembang atau transional.
j.
Bantuan bencana kemanusiaan
Perusahaan bekerjasama dengan pemerintah, masyarakat dan LSM memegang
peran penting dalam mendukung operasi bencana kemanusiaan. Perusahaan
diharapkan dapat menerapkan konsep “respon proaktif” dan memusatkan
pada tindakan pencegahan melalui upaya pemberdayaan.
10.2.2 Aspek Sosial pada Pelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya
Ketersediaan infrastruktur yang berkualitas merupakan salah satu faktor
penentu daya tarik suatu kawasan/wilayah, di samping faktor kualitas lingkungan
hidup, image, dan masyarakat (budaya). Sementara itu, kinerja infrastruktur
merupakan faktor kunci dalam menentukan daya saing global, selain kinerja
ekonomi makro, efisiensi pemerintah, dan efisiensi usaha.
Salah satu isu strategis yang dihadapi adalah bagaimana pembangunan
infrastruktur dapat membantu mengatasi besarnya kesenjangan antar-kawasan
nusantara: antara Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia,
antara Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya, antara kawasan perkotaan dan
kawasan perdesaan, antara kota Jakarta dan kota-kota lainnya. fenomena yang
terkait adalah urbanisasi yang cukup tinggi dengan laju antara 1% hingga 1,5% per
tahun akibat tingginya mobilitas penduduk. Secara teoritik, kota merupakan mesin
pertumbuhan ekonomi (the engine of economic growth), sehingga proses
pengembangan wilayah terjadi karena adanya perkembangan kota sebagai pusat
pertumbuhan ekonomi, yang lalu diikuti dengan penyebaran pertumbuhan ekonomi
X-24
di kawasan sekitarnya. Diperkirakan dalam 20 hingga 25 tahun ke depan jumlah
penduduk perkotaan di Indonesia akan mencapai 65% (Pustra, 2007), dan pada
akhir tahun 2014 jumlah penduduk perkotaan diperkirakan mencapai 53 – 54%.
Tingkat urbanisasi yang relatif tinggi belum disertai oleh kamampuan untuk
memenuhi kebutuhan infrastruktur yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk
oleh urbanisasi tersebut maupun “backlog” yang telah ada sebelumnya. Demikian
juga ketersediaan infrastruktur belum merata ke semua golongan masyarakat,
terutama masyarakat miskin.
Menghadapi tantangan di atas, maka diperlukan pendekatan pembangunan
yang bersifat kewilayahan dan direncanakan dengan matang sesuai dengan tingkat
kebutuhan dan perkembangan ekonomi dan sosial serta ketersedian infrastruktur
suatu wilayah agar infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman dapat
mendukung pengembangan ekonomi dan wilayah secara efisien dan efektif.
Tantangan penyelenggaraan infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman
ke depan juga erat terkait dengan pembangunan berkelanjutan yang menjadi
bagian dari 3 (tiga) pilar pembangunan (ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang
berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan
kebutuhan generasi masa depan”. Tantangan pembangunan berkelanjutan di
Indonesia ialah menjaga kawasan dan lingkungan hunian yang aman, nyaman,
produktif dan berkelanjutan tanpa mengakibatkan degradasi lingkungan. Isu ini di
Indonesia semakin penting sejalan dengan meningkatnya kesadaran ekologi yang
dipicu oleh keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan yang semakin parah dan
serius dan sudah pasti apabila tidak ditangani dengan baik akan memberikan
dampak yang buruk terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekarang dan
di masa mendatang.
Pelayanan infrastruktur dasar di Indonesia saat ini kondisinya relatif
tertinggal dibandingkan beberapa negara Asia lainnya. Pembangunan dan
pengelolaan infrastruktur ke-PU-an dan permukiman selama 10 tahun terakhir
belum
dilakukan
secara
baik,
sebagaimana
infrastruktur yang masih under-investment
ditunjukkan
oleh
pendanaan
(< 2% PDB). Anggaran pemeliharaan
terbatas, demand lebih besar dari supply terutama untuk daerah-daerah cepat
tumbuh, dan Standar Pelayanan Minimum (SPM) belum sepenuhnya terpenuhi.
X-25
Sementara di sisi lain kesepakat
Kabupaten Pinrang
BAB X
ASPEK LINGKUNGAN DAN SOSIAL
10.1 Aspek Lingkungan dan Sosial
10.1.1
Aspek Lingkungan
Kebijakan nasional penataan ruang secara formal ditetapkan bersamaan
dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang (UU 24/1992), yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor
26 Tahun 2007 (UU 26/2007). Kebijakan tersebut ditujukan untuk mewujudkan
kualitas tata ruang nasional yang semakin baik, yang oleh undang-undang
dinyatakan dengan kriteria aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Namun,
setelah lebih dari 25 tahun diberlakukannya kebijakan tersebut, kualitas tata ruang
masih belum memenuhi harapan. Bahkan cenderung sebaliknya, justru yang
belakangan ini sedang berlangsung adalah indikasi dengan penurunan kualitas dan
daya dukung lingkungan. Pencemaran dan kerusakan lingkungan bahkan makin
terlihat secara kasat mata baik di kawasan perkotaan maupun di kawasan
perdesaan.
Isu-isu lingkungan hidup yang semakin menguat dewasa ini, termasuk pada
aras global, secara substantif merupakan suatu wacana korektif terhadap
paradigma pembangunan (developmentalism). Krisis lingkungan hidup yang
semakin luas di Indonesia dewasa ini, ditengarai karena antara lain perencanaan
pembangunan yang bias pertumbuhan ekonomi ketimbang ekologi. Sehingga
sebagai akumulasinya dalam dekade terakhir ini kita seperti menuai bencana
lingkungan. Banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, degradasi
hutan dan keanekaragaman hayati,
serta pencemaran sungai, laut dan udara,
X-1
datang silih berganti. Sebagai akibatnya, biaya (cost) dampak lingkungan hidup
yang harus ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah jauh lebih besar ketimbang
manfaat (benefit) ekonomi yang diperoleh.
Dengan diberlakukannya kebijakan nasional penataan ruang tersebut, maka
tidak ada lagi tata ruang wilayah yang tidak direncanakan. Tata ruang menjadi
produk dari rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang.
Oleh karena itu, penegasan sanksi atas
pelanggaran tata ruang sebagaimana diatur dalam UU 26/2007 menuntut proses
perencanaan tata ruang harus diselenggarakan dengan baik agar penyimpangan
pemanfaatan ruang bukan disebabkan oleh rendahnya kualitas rencana tata ruang
wilayah. Guna membantu mengupayakan perbaikan kualitas rencana tata ruang
wilayah
maka
Kajian
Lingkungan
Hidup
Strategis
[KLHS]
atau
Strategic
Environmental Assessment [SEA] menjadi salah satu pilihan alat bantu melalui
perbaikan kerangka pikir [framework of thinking] perencanaan tata ruang wilayah
untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup.
Pengarusutamaan
ditetapkan
sebagai
(mainstreaming)
landasan
pembangunan
operasional
berkelanjutan
pelaksanaan
telah
pembangunan,
sepertitercantum dalam RPJP dan RPJM Nasional. Lebih dariitu, selain UUD 45, UU
tentang Lingkungan Hidup, UUtentang Penataan Ruang serta UU Otonomi Daerah
telah menegaskan arti pentingnya lingkungan hidup. Secara filosofis maupun
fenomena riel, pendekatan konsep keruangan sangat identik dengan fenomena
lingkungan hidup yang dinamis dan sistemik.
Fenomena ini menjadi dasar argumentasi perhatian pada lingkungan hidup
dalam
konstelasi
pelaksanaan
pembangunan
nasionaldan
daerah
melalui
implementasi UU Penataan Ruang. Oleh karena itu, setiap proses perumusan visi,
misi,tujuan, dan strategi pembangunan sampai dengan pelaksanaannya yang
memerlukan alokasi kegiatan disuatu lokasi atau kawasan tertentu akan senantiasa
mengandung kepentingan pelestarian lingkungan hidup.
Dalam konteks mekanisme implementasi strategi pembangunan, perhatian
pada lingkunganhidup ini seyogyanya ditempatkan sejak awal proses penetapan
strategi sampai dengan pelaksanaannya. Sejumlah studi dan upaya untuk
mengenalkan serta menerapkan kajian lingkungan hidup strategis telahdilakukan
X-2
sejak 5 (lima) tahun terakhir atas inisiatifKLH, Bappenas, dan Depdagri. Orientasi
kegiatan tidak saja menyangkut pembangunan regional dan pembangunan daerah
tetapi juga pembangunansektoral, serta pengujian konsep, kebijakan, metode,dan
teknis analisis.
Menyadari bahwa instrumen lingkungan hidup yang tersedia saat ini baru pada
tingkat proyek (pelaksanaan AMDAL), maka masih dibutuhkan satu alat kaji pada
tingkat strategis, setara dengan strategi pembangunan nasional maupun daerah.
Bahkan dalam Peraturan Pemerintah tentang AMDAL dinyatakan bahwa salahsatu
instrumennya yaitu AMDAL Regional telah dihapuskan, sehingga sebuah format
kajian mengenai lingkungan hidup pada aras strategis dalam konteks pembangunan
semakin diperlukan.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau yang secara internasional
dikenal sebagai Strategic Environmental Assessment (SEA), dalam satu dekade
terakhir dapat dikatakan masih dalam tahap awal pengembangan di Indonesia.
Yang dimaksud dengan tahap awal adalah bahwa KLHS baru dalam tahap penapisan
(screening) dan pelingkupan (scoping) serta masih dalam bentuk kajian yang belum
diimplementasikan secara riel. Dengan kata lain, KLHS belum menjadi bagian dari
kebijakan pembangunan nasional. Namun dari pengalaman selama ini, dapatditarik
satu kesimpulan bahwa KLHS sudah sampai padataraf sangat dibutuhkan, dan perlu
segera diterapkan secara riel serta diformalkan dalam konteks kebijakan nasional
maupun daerah.
Sebagai satu konsep yang baru tetapi sangat dibutuhkan maka sejumlah
alternatif
mekanisme
penerapannya
dalam
konteks
substansi,
konstitusi,
kelembagaan maupun pendekatan, metode,dan teknis pelaksanaannya telah dicoba
untuk dirumuskan. Tentunya alternatif - alternatif ini perlu di uji coba pula,
khususnya dalam konteks kebijakan penyelenggaraannya.
Memahami permasalahan dan tantangan di atas,maka sasaran pembangunan
lingkungan hidup yang ditetapkan pemerintah dapat dirinci sebagai berikut:
1. Meningkatkan kualitas air permukaan (sungai,danau, dan situ), sekaligus
pengendalian dan pemantauan terpadu antarsektor.
X-3
2. Terkendalinya pencemaran pesisir dan laut melalui usaha konservasi
tanah.
3. Meningkatkan kualitas udara, khususnya di daerah perkotaan, melalui
kebijakan transportasi yang ramah lingkungan.
4. Pengurangan penggunaan bahan perusak ozon (BPO) secara bertahap.
5. Meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global.
6. Pelestarian
dan
pemanfaatan
keanekaragaman
hayati
secara
berkelanjutan sesuai dengan IBSAP (Indonesian Biodiversity Strategy and
Action Plan) 2003–2020.
7. Meningkatkan
upaya
pengelolaan
sampah
perkotaan
dengan
menempatkan faktor lingkungan sebagai penentu kebijakan.
8. Meningkatkan sistem pengelolaan limbah B3.
9. Tersusunnya informasi dan peta wilayah yang rentan terhadap kerusakan
lingkungan dan bencana alam (banjir, kekeringan, gempa bumi,tsunami,
dan lainnya).
10. Tersusunnya aturan pendanaan bagi pelestarian lingkungan hidup yang
inovatif.
11. Meningkatkan diplomasi internasional.
12. Meningkatkan kesadaran rakyat akan pentingnya konservasi lingkungan
hidup dan sumber daya alam.
Sementara itu, pembangunan lingkungan hidup secara khusus diarahkan untuk:
1. Mengarusutamakan
(mainstreaming)
prinsip-prinsip
pembangunan
berkelanjutan ke seluruh bidang pembangunan.
2. Meningkatkan koordinasi pengelolaan lingkungan hidup di tingkat nasional
dan daerah.
3. Meningkatkan upaya harmonisasi pengembangan hukum lingkungan dan
penegakannya secara konsisten terhadap pencemaran lingkungan.
4. Meningkatkan upaya pengendalian dampaklingkungan akibat kegiatan
pembangunan.
5. Meningkatkan kapasitas lembaga pengelola lingkungan hidup, baik di
tingkat
nasional
maupun
daerah,
terutama
dalam
menangani
X-4
permasalahan yang bersifat akumulatif, fenomena alam yang musiman,
dan bencana.
6. Membangun kesadaran rakyat agar peduli pada isu lingkungan hidup dan
berperan aktif sebagai kontrol-sosial dalam memantau kualitas lingkungan
hidup; dan
7. Meningkatkan penyebaran data dan informasi lingkungan, termasuk
informasi wilayah-wilayah rentan dan rawan bencana lingkungan dan
informasi kewaspadaan dini terhadap bencana.
Selanjutnya, arah pembangunan di atas dijabarkan dalam program-program
pembangunan yang langsung terkait dengan urusan lingkungan hidup dan
pengelolaan sumber daya alam, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden
Republik Indonesia No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional tahun 2004 – 2009. Program ini bertujuan untuk menjamin
kualitas ekosistem agar fungsinya sebagai penyangga sistem kehidupan dapat
terjaga dengan baik. Kegiatan pokok yang tercakup antara lain penyusunan tata
ruang dan zonasi untuk perlindungan sumber daya alam, terutama wilayah-wilayah
yang rentan terhadap gempa bumi tektonik dan tsunami, banjir, kekeringan,serta
bencana alam lainnya;
10.1.2
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
Mengacu pada UU SPPN, UU Lingkungan Hidup, dan RPJM 2004-2009 serta UU
Otonomi Daerah berikut arahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dari Dirjen
PUOD, konsep KLHS secara filosofis dan konseptual sangat relevan menjadi bagian
pokok arah kebijakan pembangunan, dengan mengingat bahwa pembangunan
lingkungan merupakan dasar bagi pembangunan berkelanjutan. Konsep KLHS
memiliki kapasitas untuk menjadi payung yang mengintegrasikan permasalahan riel
dan kebutuhan pembangunan dengan proses pengambilan kebijakan pembangunan
yang lebih bersifat holistik dan sistemik bukan kepentingan pragmatis sektoral
semata yang saratdengan konflik dan perilaku eksploitatif sumber daya alam.
Bahkan dari sisi kepentingan politik, penerapan konsep KLHS memiliki potensi
sebagai integrator kekuatan-kekuatan politik yang berkembang melalui mekanisme
dinamika partai politik, yaitu kampanye politik dan sistem pemilihan umum.
X-5
Namun demikian, permasalahan yang muncul dan menjadi perhatian untuk
dicarikan terobosan solusinya dalam kondisi saat ini adalah pada tatanan metode
penerapannya, karena dalam acuan struktur kebijakan khususnya dalam kaitannya
dengan institusionalisasinya masih ditemui inkonsistensi,serta belum terdefinisi
secara operasional dan sistematik. Belum lagi dengan adanya kemungkinan
ketidakserasian antar kebijakan sektoral yang seringkali menimbulkan konflik,
dimana masing-masing kebijakan sektoral dipayungi oleh kekuatan hukum yang
setara tingkatannya (antar Undang-Undang, Peraturan Presiden hingga Peraturan
Daerah).
Mengingat kondisi di atas, terlihat perlunya dilakukan terobosan-terobosan
kreatif untuk
menghasilkan
inovasi
dalam
merancang
kebijakan
strategis
pembangunan melalui pemanfaatan instrumen peraturan perundangan yang
berlaku serta legitimasi kelembagaan, dimana keterlibatan rakyat yang secara riel
terkait langsung dengan fenomena lingkungan hidup menjadi kuncinya. Pada
prakteknya, sesuai dengan definisi yang tertuang dalam UU No. 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Tata Ruang (UU No. 26 tahun 2007),
di manapun ada kehidupan atau kegiatan manusia pasti terkait secarasistem atau
fungsional dengan permasalalan lingkungan hidup. Oleh karena itu menjadi
semakin mendesak untuk dilakukan terobosan dalam merumuskan development
administration KLHS (terkait dengansistem politik, sosial-budaya-ekonomi dan
birokrasi) mengikuti konteks perkembangan kepentingan pembangunan Indonesia
masa kini dan mendatang.
Menyadari banyaknya permasalahan lingkungan hidup yang berskala regional
ataupun nasional bahkan lintas negara, dan tidak cukup memadainya instrumen
AMDAL yang hanya berorientasi pada skala proyek, kini telah dikembangkan satu
instrumen yang berskala regional sampai internasional pada tataran strategis.
Instrumen ini kemudian dipopulerkan dengan istilah Strategic Environment
Assessment (SEA), yang kemudian diterjemahkan sebagai Kajian Lingkungan Hidup
Strategis (KLHS). KLHS kini tidak hanya menjadi perhatian, tetapi juga telah
ditetapkan sebagai mandatory atau directive di sejumlah negara di Asiadan Afrika,
Australia, dan Selandia Baru, serta beberapa badan dunia seperti Uni Eropa, World
Bank, dan Asian Development Bank.
X-6
Mengikuti perkembangan ini, KLH telah berinisiatif untuk mengembangkannya
sejak lebih dari lima tahun lalu. Sebagaimana tahap inisiasi pada umumnya,
kegiatan yang terkait dengan pemikiran KLHS ini masih lebih dikonsentrasikan pada
studi dan pengenalan. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan tersebut belum dapat
dikatakan sebagai kegiatan KLHS seutuhnya, sehingga dapat dikatakan masih
“nearly SEA”. Namun, sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran dan
kebutuhan penyelesaian masalah lingkungan hidup pada tataran regional dan
strategis di Indonesia, maka instrumen KLHS ini dituntut untuk segera menjadi
acuan dasar dalam mengkaji kebutuhan, perumusan tujuan, dan strategi
pembangunan nasional maupun daerah.
Tuntutan ini semakin kuat sejalan dengan UUSPPN (Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional) dan RPJM 2004 – 2009. Sesuai dengan perannya masingmasing, maka KLH, Bappenas, dan Depdagri semakin intensif bekerja untuk
merumuskan KLHS ini sebagai satu instrumen nasional dan regional. Bahkan KLHS
ini telah diupayakan untuk menjadi pegangan utama dalam merumuskan setiap
strategi pembangunan berikut monitoring dan evaluasinya,baik dalam konteks
kewilayahan maupun sektoral.
Ada dua definisi KLHS yang lazim diterapkan, yaitu definisi yang menekankan
pada pendekatan telaah dampak lingkungan (EIA-driven) dan pendekatan
keberlanjutan (sustainability-driven). Pada definisi pertama, KLHS berfungsi untuk
menelaah efek dan/atau dampak lingkungan dari suatu kebijakan, rencana atau
program pembangunan. Sedangkan definisi kedua, menekankan pada keberlanjutan
pembangunan dan pengelolaan sumberdaya.
Definisi KLHS untuk Indonesia kemudian dirumuskan sebagai proses sistematis
untuk
mengevaluasi
pengaruh
lingkungan
hidup
dari,
dan
menjamin
diintegrasikannya prinsip-prinsip keberlanjutan dalam, pengambilan keputusan
yang bersifat strategis SEA is a systematic process for evaluating the environmental
effect of, and for ensuring the integration of sustainability principles into,
strategic decision-making].
KLHS
adalah
sebuah
bentuk
tindakan
stratejik
dalam
menuntun,
mengarahkan, dan menjamin tidak terjadinya efek negatif terhadap lingkungan
dan keberlanjutan dipertimbangkan secara inheren dalam kebijakan, rencana dan
X-7
program [KRP].
Posisinya berada pada relung pengambilan keputusan.
Oleh
karena tidak ada mekanisme baku dalam siklus dan bentuk pengambilan keputusan
dalam perencanaan tata ruang, maka manfaat KLHS bersifat khusus bagi masingmasing hirarki rencana tata ruang wilayah [RTRW].
KLHS bisa menentukan
substansi RTRW, bisa memperkaya proses penyusunan dan evaluasi keputusan, bisa
dimanfaatkan sebagai instrumen metodologis pelengkap (komplementer) atau
tambahan (suplementer) dari penjabaran RTRW, atau kombinasi dari beberapa
atau semua fungsi-fungsi diatas.
Penerapan KLHS dalam penataan ruang juga bermanfaat untuk meningkatkan
efektivitas pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) dan
atau instrumen pengelolaan lingkungan lainnya, menciptakan tata pengaturan yang
lebih baik melalui pembangunan keterlibatan para pemangku kepentingan yang
strategis dan partisipatif, kerjasama lintas batas wilayah administrasi, serta
memperkuat pendekatan kesatuan ekosistem dalam satuan wilayah (kerap juga
disebut “bio-region” dan/atau “bio-geo-region”). Sifat pengaruh KLHS dapat
dibedakan
dalam
tiga
kategori,
yaitu
KLHS
yang
bersifat
instrumental,
transformatif, dan substantif. Tipologi ini membantu membedakan pengaruh yang
diharapkan dari tiap jenis KLHS terhadap berbagai ragam RTRW, termasuk bentuk
aplikasinya, baik dari sudut langkah-langkah prosedural maupun teknik dan
metodologinya.
Pendekatan KLHS dalam penataan ruang didasarkan pada kerangka bekerja
dan metodologi berpikirnya. Berdasarkan literatur terkait, sampai saat ini ada 4
(empat) model pendekatan KLHS untuk penataan ruang, yaitu :
1. KLHS dengan Kerangka Dasar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup/AMDAL (EIA-Mainframe)
KLHS dilaksanakan menyerupai AMDAL yaitu mendasarkan telaah pada efek
dan
dampak
yang
ditimbulkan
RTRW
terhadap
lingkungan
hidup.
Perbedaannya adalah pada ruang lingkup dan tekanan analisis telaahannya
pada tiap hirarhi KRP RTRW.
2. KLHS
sebagai
Kajian
Penilaian
Keberlanjutan
Lingkungan
Hidup(Environmental Appraisal)
X-8
KLHS ditempatkan sebagai environmental appraisal untuk memastikan KRP
RTRW menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga bisa
diterapkan sebagai sebuah telaah khusus yang berpijak dari sudut pandang
aspek lingkungan hidup.
3. KLHS
sebagai
Kajian
Terpadu/Penilaian
Keberlanjutan
(Integrated
AssessmentSustainability Appraisal)
KLHS diterapkan sebagai bagian dari uji KRP untuk menjamin keberlanjutan
secara holistik, sehingga sudut pandangnya merupakan paduan kepentingan
aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Dalam prakteknya, KLHS
kemudian lebih ditempatkan sebagai bagian dari kajian yang lebih luas
yang menilai atau menganalisis dampak sosial, ekonomi dan lingkungan
hidup secara terpadu.
4. KLHS
sebagai
pendekatan
Pengelolaan
Berkelanjutan
Sumberdaya
Alam(Sustainable Natural Resource
Management) atau Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya (Sustainable
Resource Management) KLHS diaplikasikan dalam kerangka pembangunan
berkelanjutan, dan a) dilaksanakan sebagai bagian yang tidak terlepas dari
hirarki sistem perencanaan penggunaan lahan dan sumberdaya alam, atau
b) sebagai bagian dari strategi spesifik pengelolaan sumberdaya alam.
Model a) menekankan pertimbanganpertimbangan kondisi sumberdaya alam
sebagai dasar dari substansi RTRW, sementara model b) menekankan
penegasan
fungsi
RTRW
sebagai
acuan
aturan
pemanfaatan
dan
perlindungan cadangan sumberdaya alam.
Aplikasi-aplikasi pendekatan di atas dapat diterapkan dalam bentuk
kombinasi, sesuai dengan : hirarki dan jenis RTRW yang akan dihasilkan/ditelaah,
lingkup isu mengenai sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang menjadi fokus,
konteks kerangka hukum RTRW yang dihasilkan/ditelaah, kapasitas institusi dan
sumberdaya manusia aparatur pemerintah selaku pelaksana dan pengguna KLHS,
serta tingkat kemauan politis atas manfaat KLHS terhadap RTRW.
X-9
Tabel 10.1 Pengaruh KLHS dalam RTRW
Prosedur penyelenggaraan KLHS untuk setiap pendekatan berbeda, namun
secara generik hubungan antara komponen-komponen kerja KLHS dapat dijelaskan
sebagai berikut :
Gambar 10.1 Kerangka Kerja KLHS
X-10
Kegiatan penapisan menentukan perlu atau tidaknya dilakukan KLHS terhadap
sebuah konsep/muatan rencana tata ruang. Langkah ini diperlukan atas alasanalasan: a) memfokuskan telaah pada KRP yang memiliki nilai strategik, b)
memfokuskan telaah pada KRP yang diindikasikan akan memberikan konsekuensi
penting pada kondisi lingkungan hidup, dan c) memberikan gambaran umum
metodologi pendekatan yang akan digunakan. Karena penyusunan RTRW wajib
dilakukan maka tahap penapisan tidak diperlukan, sementara penyusunan RTR
dengan tingkat kerincian Kawasan bisa ditapis terlebih dulu dengan menjawab
pertanyaan-pertanyaan berikut :
Apakah
rancangan
RTR
berpotensi
mendorong
timbulnya
percepatan
kerusakan sumber daya alam (hutan, tanah, air atau pesisir) dan pencemaran
lingkungan yang kini tengah berlangsung di suatu wilayah atau DAS dan/atau
Apakah rancangan RTR berpotensi meningkatkan intensitas bencana banjir,
longsor, atau kekeringan di wilayah-wilayah yang saat ini tengah mengalami
krisis ekologi? dan/atau
Apakah rancangan RTR berpotensi menurunkan mutu air dan udara termasuk
ketersediaan air bersih yang dibutuhkan oleh suatu wilayah yang berpenduduk
padat? dan/atau
Apakah rancangan RTR akan menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk
golongan miskin sebagai akibat adanya pembatasan baru atas akses dan
kontrol terhadap sumber-sumber alam yang semula dapat mereka akses?
dan/atau
Apakah rancangan RTR berpotensi mengancam keberlanjutan penghidupan
(livelihood sustainability) suatu komunitas atau kelompok masyarakat
tertentu di masa mendatang ?
Jawaban positif bagi salah satu pertanyaan diatas sudah cukup untuk
memberikan alasan bahwa rancangan RTR tersebut memiliki potensi efek penting
dan perlu dipertimbangkan untuk dilengkapi dengan KLHS.
Pelingkupan
merupakan
proses
yang
sistematis
dan
terbuka
untuk
mengidentifikasi isu-isu penting atau konsekuensi lingkungan hidup yang akan
X-11
timbul berkenaan dengan rencana KRP RTR Wilayah dan Kawasan. Berkat adanya
pelingkupan ini, pokok bahasan dokumen KLHS akan lebih difokuskan pada isu-isu
atau konsekuensi lingkungan dimaksud.
Telaah dan analisis teknis adalah proses identifikasi, deskripsi, dan evaluasi
mengenai konsekuensi dan efek lingkungan akibat diterapkannya RTRW; serta
pengujian efektivitas RTRW dalam menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan.
Telaah dan analisis teknis mencakup : a) pemilihan dan penerapan metoda, serta
teknik analisis yang sesuai dan terkini, b) penentuan dan penerapan aras rinci
(level of detail) analisis agar sesuai dengan kebutuhan rekomendasi, dan c)
sistematisasi proses pertimbangan seluruh informasi, kepentingan dan aspirasi yang
dijaring. Jenis-jenis kerangka telaah yang lazim dibutuhkan, antara lain:
Telaah daya dukung dan daya tampung lingkungan,
Telaah hubungan timbal balik kegiatan manusia dan fungsi ekosistem.
Telaah kerentanan masyarakat dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan
iklim dan bencana lingkungan.
Telaah ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Alternatif yang dikembangkan dapat mencakup : a) substansi pokok/dasar
RTRW (misalnya: pilihan struktur dan pola ruang), b) program atau kegiatan
penerapan muatan RTRW (misalnya: pilihan intensitas pemanfaatan ruang),
dan/atau c) kegiatan-kegiatan operasional pengelolaan efek lingkungan hidup
(misalnya: penerapan kode bangunan yang hemat energi).
Pengambilan keputusan dilakukan untuk memilih alternatif terbaik yang bisa
dilaksanakan yang dipercaya dapat mewujudkan tujuan penataan ruang dalam
kurun waktu yang ditetapkan. Alternatif terpilih tidak hanya dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial akan tetapi juga dapat menjamin
terpeliharanya fungsi lingkungan secara terus menerus. Berbagai metodologi yang
lazim diterapkan dalam pengambilan keputusan, antara lain: compatibility
[internal dan eksternal] appraisal, benefit-cost ratio, analisis skenario dan
multikriteria, analisis risiko, survai opini untuk menentukan prioritas, dll.
Sesuai dengan kebutuhannya, kegiatan pemantauan dan tindak lanjut dapat
diatur berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
Pada dasarnya
efektivitas penerapan rekomendasi KLHS berkaitan langsung dengan efektivitas
X-12
RTRW bagi wilayah rencananya, sehingga tata laksananya bisa mengikuti aturan
pemantauan efektivitas RTRW.
Seluruh rangkaian KLHS bersifat partisipatif.
Semua komponen kegiatan
diwarnai berbagai bentuk partisipasi dan konsultasi masyarakat. Namun demikian,
tingkat keterlibatan atau partisipasi masyarakat sangat bervariasi bergantung pada
aras (level of detail) RTRW, peraturan perundangan yang mengatur keterlibatan
masyarakat,
serta
komitmen
dan
keterbukaan
dari
pimpinan
organisasi
pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah. Secara umum boleh dikatakan
bila KLHS diaplikasikan pada tingkat nasional atau provinsi, maka keterlibatan atau
partisipasi masyarakat harus lebih luas dan intens dibanding KLHS pada tingkat
kabupaten atau kota. Bila KLHS diaplikasikan untuk tingkat kabupaten, kota, atau
kawasan, maka proses pelibatan masyarakat atau konsultasi publik harus dilakukan
sedini mungkin dan efektif.
Hal ini disebabkan cakupan muatan RTRW yang
bersifat operasional memiliki ragam penerapan yang variatif dan bersinggungan
langsung dengan kegiatan masyarakat.
Secara spesifik, harus ada ketersediaan waktu yang cukup bagi masyarakat
untuk menelaah, memberikan masukan, dan mendapatkan tanggapan dalam proses
KLHS.
Kegiatan ini juga mensyaratkan adanya tata laksana penyaluran aspirasi
masyarakat, termasuk pada tahap pengambilan keputusan.
Komponen-komponen kerja KLHS dilaksanakan dengan memperhatikan proses
formal yang berjalan. Kombinasi berbagai alternatif pelaksanaannya sangat
ditentukan oleh kekhususan proses pengambilan keputusan yang sedang terjadi
pada masing-masing RTRW. Dalam kasus dimana proses perencanaan RTRW belum
terbentuk atau dilaksanakan, seluruh komponen kerja KLHS bisa dijadikan bagian
yang tak terpisahkan dari langkah-langkah pekerjaan penyusunan RTRW. Pada
situasi
dimana
KLHS
hadir
sebagai
kebutuhan
untuk
mendukung
proses
pengambilan keputusan di tahap akhir proses perencanaan, proses kerjanya bisa
terpisah (stand alone). Banyak kondisi dimana kombinasi antara kedua hal diatas
akan terjadi, misalnya pengintegrasian beberapa komponen kerja di tahap-tahap
tertentu dan memisahkannya pada tahap yang lain. Dapat pula terjadi situasi
dimana tidak semua komponen kerja perlu dilaksanakan atas alasan-alasan
tertentu tanpa mengurangi nilai penting dari pelaksanaan KLHS itu sendiri.
X-13
Kecenderungan penurunan kualitas lingkungan terkait dengan tata ruang
wilayah sebagai produk dari rangkaian proses penataan ruang, yang diawali
tahapan perencanaan tata ruang, oleh karena itu, perbaikan kuaitas rencana tata
ruang wilayah menjadi mutlak dan sangat strategis untuk segera direalisasikan
guna menghambat laju penurunan kualitas lingkungan dan daya dukung lingkungan.
KLHS bisa menjadi pilihan alat bantu untuk memperbaiki kualitas rencana tata
ruang wilayah melalui perbaikan kerangka berfikir perencanaan tata ruang, yang
berimplikasi
pada
perbaikan
prosedur/proses
dan
metodologi/muatan
perencanaan.
10.1.3 AMDAL, UKL-UPL dan SPPLH
AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan
hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan
keputusan. Hal -hal yang dikaji dalam proses AMDAL : aspek fisik-kimia, ekologi,
sosial -ekonomi, sosial budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi
kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Analisis mengenai dampak
lingkungan hidup di satu sisi merupakan bagian
studi kelayakan untuk mel
aksanakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, di sisi lain merupakan syarat
yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Berdasarkan analisis
ini dapat diketahui secara lebih jelas dampak besar dan
penting terhadap lingk ungan hidup, baik dampak negatif maupun dampak positif
yang akan
langkah
timbul dari usaha dan/atau kegiatan sehingga dapat dipersiapkan
untuk menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak
positif.
Untuk mengukur atau menentukan dampak besar dan penting tersebut di
antaranya digunakan kriteria mengenai :
Besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau
kegiatan;
Luas wilayah penyebaran dampak;
Intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
Banyaknya komponen lingk ungan hidup lain yang akan terkena dampak;
X-14
Sifat kumulatif dampak;
Berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.
Menurut PP No. 27/1999 pasal 3 ayat 1 Usaha dan/atau kegiatan yang
kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar d an penting terhadap lingkungan
hidup meliputi :
Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam
Eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak
terbaharu
Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan,
Pencemaran dan keru sakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber
daya alam dalam pemanfaatannya;
Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam,
lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;
Proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempe ngaruhi pelestarian
kawasan konservasi sumber daya dan/atau perlindungan cagar budaya;
Introduksi jenis tumbuh -tumbuhan, jenis hewan, dan jenis jasad renik;
Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) di Indonesia diberlakukan
berdasar PP 51 tahun 1993 (sebelumnya PP 29 tahun 1986) sebagai realisasi
pelaksanaan UU no. 4 tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup yang saat ini telah
direvisi menjadi UU no. 23 tahun 1997. AMDAL merupakan instrumen pengelolaan
lingkungan yang diharapkan dapat mencegah kerusakan lingkun gan dan menjamin
upaya-upaya konservasi. Hasil studi AMDAL merupakan bagian penting dari
perencanaan pembangunan proyek itu sendiri.
Sebagai instrumen pengelolaan
lingkungan yang bersifat preventif, AMDAL harus dibuat pada tahap paling dini
dalam perencan aan kegiatan pembangunan. Dengan kata lain, proses penyusunan
dan pengesahan AMDAL harus merupakan bagian dari proses perijinan satu proyek.
Dengan cara ini proyek -proyek dapat disaring seberapa jauh dampaknya terhadap
lingkungan. Di sisi lain studi AMDAL juga dapat memberi masukan bagi upaya upaya untuk meningkatkan dampak positif dari proyek tersebut.
Dalam PP 51 Tahun 1993 ditetapkan 4 jenis studi AMDAL, yaitu :
X-15
1. AMDAL Proyek , yaitu AMDAL yang berlaku bagi satu kegiatan yang berada
dalam kewenangan satu instansi sektoral. Misalnya rencana kegiatan pabrik
tekstil yang mempunyai kewenangan memberikan ijin dan mengevaluasi studi
AMDALnya ada pada Departemen Perindustrian.
2. AMDAL Terpadu / Multisektoral, adalah AMDAL yang berlaku bagi suatu
rencana
kegiatan
pembangunan
yang
bersifat
terpadu,
yaitu
adanya
keterkaitan dalam hal perencanaan, pengelolaan dan proses produksi, serta
berada dalam satu kesatuan ekosistem dan melibatkan kewenangan lebih dari
satu instansi. Sebagai contoh adalah satu kesatuan kegiatan pabrik pulp dan
kertas yang kegiatannya terkait dengan proyek hutan tanaman industri (HTI)
untuk penyediaan bahan bakunya, pembangkit tenaga listrik uap (PLTU) untuk
menyediakan energi, dan pelabuhan untuk distribusi produksinya. Di sini
terlihat adanya keterlibatan lebih dari satu instansi, yaitu Departemen
Perindustrian,
Departemen
kehutanan,
Departemen
Pertambangan
dan
Departemen Perhubungan.
3. AMDAL Kawasan, yaitu AMDAL yang ditujukan pada satu rencana kegiatan
pembangunan yang berlokasi dalam satu kesatua n hamparan ekosistem dan
menyangkut kewenangan satu instansi. Contohnya adalah rencana kegiatan
pembangunan kawasan industri. Dalam kasus ini masing -masing kegiatan di
dalam kawasan tidak perlu lagi membuat AMDALnya, karena sudah tercakup
dalam AMDAL seluruh kawasan.
4. AMDAL Regional, adalah AMDAL yang diperuntukan bagi rencana kegiatan
pembangunan yang sifat kegiatannya saling terkait dalam hal perencanaan dan
waktu pelaksanaan kegiatannya. AMDAL ini melibatkan kewenangan lebih dari
satu instansi, berada dal am satu kesatuan ekosistem, satu rencana
pengembangan wilayah sesuai Rencana Umum Tata Ruang Daerah. Contoh
AMDAL Regional adalah pembangunan kota -kota baru.
Secara teknis instansi yang bertanggung jawab dalam merumuskan dan
memantau penyusunan AMDAL di In donesia adalah BAPEDAL (Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan). Sebagaimana diatur dalam PP 51 tahun 1993, kewenangan ini
juga dilimpahkan pada instansi -instansi sektoral serta BAPEDALDA Tingkat I.
Dengan kata lain BAPEDAL Pusat hanya menangani studi -studi AMDAL yang
X-16
dianggap mempunyai implikasi secara nasional. Pada tahun 1999 diterbitkan lagi
penyempurnaan ini adalah untuk memberikan kewenangan proses evaluasi AMDAL
pada daerah. Materi baru dalam PP ini adalah diberikannya kemungkinan
partisipasi masyarakat di dalam proses penyusunan AMDAL Sebagaimana telah
dievaluasi oleh banyak pihak, proses AMDAL
di Indonesia memiliki banyak
kelemahan , yaitu :
1. AMDAL belum sepenuhnya terintegrasi dalam proses perijinan satu rencana
kegiatan pembangunan, sehingga tidak te rdapat kejelasan apakah AMDAL
dapat dipakai untuk menolak atau menyetujui satu rencana kegiatan
pembangunan.
2. Proses partisipasi masyarakat belum sepenuhnya optimal. Selama ini LSM telah
dilibatkan dalam sidang -sidang komisi AMDAL, akan tetapi suaranya belum
sepenuhnya diterima didalam proses pengambilan keputusan.
3. Terdapatnya berbagai kelemahan didalam penerapan studi -studi AMDAL.
Dengan kata lain, tidak ada jaminan bahwa berbagai rekomendasi yang muncul
dalam studi AMDAL serta UKL dan UPL akan dilaksanakan oleh pihak
pemrakarsa.
4. Masih lemahnya metode -metode penyusunan AMDAL, khusunya aspek “sosial
budaya”, sehingga kegiatan-kegiatan pembangunan yang implikasi sosial –
budayanya penting, kurang mendapat kajian yang seksama.
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan merupakan teknologi pembuatan
perencanaan dan keputusan yang berasal dari barat, negara industri yang
demokratis dengan kondisi budaya dan sosial berbeda, sehingga ketika program ini
diterapkan di negara berkembang
dengan kondisi budaya dan sosiopolitik b
erbeda, kesulitanpun muncul. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau AMDAL di
Indonesia telah lebih dari 15 tahun diterapkan. Meskipun demikian berbagai
hambatan atau masalah selalu muncul dalam penerapan AMDAL, seperti juga yang
terjadi pada penerapan AMDAL di negara-negara berkembang lainnya. Hambatan
tersebut cenderung terfokus pada faktor-faktor teknis, seperti :
Tidak memadainya aturan dan hukum lingkungan,
Kekuatan institusi ,
X-17
Pelatihan ilmiah dan profesional,
Ketersediaan data.
Karakter budaya serta perilaku sosial dan politik orang Indonesia sangat
mempengaruhi bentuk penerapan AMDAL. Inisiatif program dan kebijakan
lingkungan di Indonesia sangat bersifat “top down”
Inisiatif
oleh pemerintah sendiri.
“top down” tersebut muncul bukan karena adanya kebut uhan
penganalisisan dampak, tetapi sebagai tanggapan terhadapa perkembangan barat.
Tekanan perkembangan barat untuk menanggapi masalah lingkungan terutama
melalui konferensi lingkungan internasional di Stockholm tahun 1972 dan Rio De
Janiero tahun 1992 . Berbeda dengan di negara barat, program dan kebijakan
lingkungan dibuat karena adanya kebutuhan masyarakat, sehingga inisiatif bersifat
“ bottom up ”.
Penerapan AMDAL di Indonesia tidak semudah di negara barat, karena kondisi
masyarakat yang berbeda, yang tidak dapat sepenuhnya memberi dukungan
terhadap tindakan pemerintah. Walaupun banyak isu lingkungan dalam agenda
sosial, tetapi isu tersebut masih dianggap kurang penting. Masyarakat juga
cenderung lebih mempertahankan hidup dengan menggantungkan pada sum
berdaya alam daripada melakukan tindakan untuk melindungi kehidupan liar,
spesies langka dan keanekaragaman hayati. Agenda sosial untuk perlindungan
lingkungan tersebut juga lemah dan mempunyai sedikit kesempatan untuk diangkat
menjadi agenda politik. Kemi skinan, buta huruf, kurangnya informasi, sangat
berkuasanya elit politik dan ekonomi, rejim politik yang terlalu mengontrol dan
otoriter, merupakan faktor adanya situasi tersebut.
Pengelolaan lingkungan sebenarnya merupakan kegiatan yang dilakukan antar
instansi , karena mencakup multi disiplin. Untuk efektifitas AMDAL, seharusnya
instansi lingkungan dan sektoral pemerintah harus melakukan koordinasi, berbagi
informasi dan bekerjasama untuk menerapkan AMDAL dalam siklus proyek,
melakukan evaluasi terhadapa usaha penilaian dan perencanaan lingkungan, serta
mneyusun rekomendasi. Kerjasama ini tampaknya kurang terjadi pada pelaksanaan
AMDAL di Indonesia. Dalam penyusunan rancangan program, komisi AMDAL, yang
berada di masing -masing sektor kementrian dan propin si bekerja sendiri -sendiri.
Komisi dapat menyetujui laporan AMDAL tanpa adanya konsultasi dengan
X-18
departemen lain yang bertanggung jawab terhadap lokasi proyek, kontrol gangguan
dan ijin egiatan. Jadi program AMDAL hanya menyediakan sedikit atau tidak sama
sekali kesempatan secara resmi bagi staf pemerintah untuk bekerjasama
menghindari atau mengurangi dampak lingkungan selama perancangan proyek dan
selama proses kesepakatan pelaksanaan proyek.
Pada umumnya pelaksanaan AMDAL tidak mengikutsertakan partisipasi
masyarakat dalam perencanaan proyek dan pengambilan keputusan. Konsultasi
dengan masyarakat secara resmi pada proyek-proyek yang diusulkan biasanya
hanya dilakukan pada waktu survei untuk mengumpulkan informasi. Konsultasi
masyarakat dianggap tidak penting, karena dianggap semua telah sepakat.
Kalaupun ada keinginan masyarakat untuk menolak usulan proyek, karakter budaya
yang ada akan menghambat pengungkapan keinginan tersebut. Sebaliknya di
negara barat, pemerintah justru mensponsori diadakannya konsult asi masyarakat
dalam setiap usulan pembangunan, yang mana pertikaian dan perdebatan dapat
terjadi, dan semuanya adalah untuk tujuan atau kepentingan bersama.
Dalam kondisi pelaksanaan AMDAL di Indonesia tersebut, faktor budaya
seharusnya menjadi perhatian
utama disamping faktor teknis, ketika mengkaji
kesulitan yang timbul dalam pelaksanaan kebijakan atau program seperti AMDAL,
yang berasal dari Barat dan diterapkan di negara dengan budaya yang berbeda.
Tidak adanya lagi Komisi Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) sektoral dan
ditetapkannya satu Komisi Amdal Pusat di bawah Kementerian Negara Lingkungan
Hidup di mana semua stakeholders (para pihak terkait) duduk di dalamnya, baik
wakil dari departemen terkait, pakar dari perguruan tinggi, lembaga swadaya
masyarakat (LSM) dan wakil masyarakat-merupakan kemajuan penting. Demikian
penegasan Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan
(Bapedal)
Sonny
Keraf
saat
membuka
Workshop
Nasional
"Pengembangan Kapasitas Desentralisasi Proses Amdal", Senin (31/7 /2000), di
Jakarta. Seiring desentralisasi, proses Amdal akan diserahkan ke daerah. Di pusat
hanya akan ada satu komisi Amdal yang menilai kegiatan yang mempunyai potensi
berdampak negatif secara nasional. Sementara di masing -masing propinsi dan
kabupaten/kota akan dibentuk satu komisi Amdal yang menangani proses Amdal di
daerah bersangkutan.
X-19
"Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 27/1999, semua kebijakan dan
proses mengenai Amdal hanya satu
pintu. Dengan demikian tidak ada lagi
egosektoral yang selama ini mungkin terjadi, di mana sektor lebih menekankan
kegiatan produksi dan pertumbuhan ekonomi, sementara Amdal hanya dipandang
sebagai dokumen formal yang bisa digarap sambil jalan .
Dalam peraturan pemerintah yang akan diberlakukan November 2000 itu
dinyatakan, penilaian Amdal menjadi syarat mutlak pemberian izin usaha. Dengan
demikian, tidak akan ada izin usaha sebelum Amdal dianggap memenuhi syarat.
Dengan masuknya pelbagai pakar terkait dari perguruan tinggi, diharapkan Amdal
bisa menjadi dokumen ilmiah yang berdasarkan kebenaran dan kejujuran.
"Kepentingan untuk menjadikan Amdal sebagai rekomendasi murni, tidak
dibelenggu kepentingan politis dan ekonomis, harus dikedepankan.
Pelibatan wakil LSM dan masyarakat sangat penting, sehingga tidak ada lagi
keluhan bahwa masyarakat harus menerima dampak suatu kegiatan tanpa memiliki
suara untuk menyetujui atau menolak. Hal ini dikuatkan dengan Keputusan Kepala
Bapedal No 8/2000, yang mensyaratkan par tisipasi masyarakat dalam proses
penilaian
Amdal.
"Desentralisasi
kewenangan
Amdal
merupakan
bentuk
penyelesaian masalah yang paling strategis untuk menyerap aspirasi masyarakat,
penyederhanaan prosedur Amdal, peningkatan efektivitas pelaksanaan dan keterp
aduan serta ketepatan perencanaan daerah.
Penyerahan wewenang proses Amdal dan perizinan ke daerah menimbulkan
pelbagai implikasi, antara lain masalah sumber daya manusia. Karena itu,
kelembagaan di daerah perlu diperkuat khususnya di level pemerintah.
Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan
hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan
terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan
Hidup, yang selanjutnya disebut SPPL, adalah pernyataan kesanggupan dari
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pengelolaan dan
X-20
pemantauan lingkungan hidup atas dampak lingkungan hidup dari usaha dan/atau
kegiatannya di luar usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL.
UKL-UPL merupakan salah satu persyaratan yang wajib dipenuhi dalam
pelaksanaan penerbitan izin lingkungan, sehingga bagi usaha dan/atau kegiatan
yang UKL-UPLnya ditolak maka pejabat pemberi izin wajib menolak penerbitan izin
bagi usaha dan/atau kegiatan bersangkutan. UKL-UPL dinyatakan berlaku
sepanjang usaha dan/atau kegiatan tidak melakukan perubahan lokasi, desain,
proses, bahan baku dan/atau bahan penolong. Bagi UKL-UPL yang telah dinyatakan
sesuai dengan isian formulir atau layak, maka UKLUPL tersebut dinyatakan
kadaluarsa apabila usaha dan/atau kegiatan tidak dilaksanakan dalam jangka
waktu 3 (tiga) tahun sejak rekomendasi atas UKL-UPL diterbitkan.
Prosedur Operasional Standar (Standard Operating Procedure) selanjutnya
disingkat SOP adalah upaya yang dilakukan untuk meminimalkan dampak
lingkungan yang ditimbulkan oleh usaha dan/ atau kegiatan sesuai prosedur
operasional yang berlaku.
10.2 Aspek Sosial
Komponen pengamanan sosial adalah bagian paling penting untuk memahami
upaya pencegahan terhadap munculnya dampak sosial di masyarakat. Pelaksanaan
upaya pengamanan sosial adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk melihat
dan memastikan bahwa pelaksanaan program telah sesuai dengan kaidah-kaidah
pengamanan sosial. Secara garis besar mekanisme penerapan pengamanan sosial
dilaksanakan dengan alur sebagai berikut:
Wajib melakukan sosialisasi upaya pengamanan lingkungan di setiap tahapan
kegiatan/siklus program, dimulai dari kegiatan sosialisasi, perencanaan,
pengusulan
kegiatan,
pelaksanaan
konstruksi
sampai
dengan
tahapan
pemanfaatan dan pemeliharaan.
Menyiapkan
usulan
kegiatan
berdasarkan
format
standar yang
telah
disediakan yang memuat spesifikasi teknis, anggaran dan rencana kerja,
termasuk dalam hal ini kesesuaiannya dengan ketentuan pengamanan sosial.
Semua usulan kegiatan dari masyarakat akan dikaji oleh tenaga ahli dari segi
kelayakan, teknis, dan kesesuaian dengan pedoman.
X-21
Menapis usulan kegiatan dari sisi dampak lingkungan berdasarkan tabel
kriteria penapisan lingkungan. Serta jika diperlukan juga melakukan
penapisan
khusus
untuk
semua
usulan
kegiatan
masyarakat
yang
membutuhkan tanah dan perubahan penggunaan air (misal reklamasi, irigasi);
proyek ekonomi yang berdampak lingkungan untuk memastikan alignment, air
larian, dsb. memenuhi standar praktek yang baik.
Memastikan adanya langkah-langkah mitigasi yang memadai.
Sebagai
acuan
pelaksanaan
maka
keberhasilan
dalam
pelaksanaan
pengamanan sosial dapat diukur dengan menggunakan indikator sebagai berikut:
Masyarakat memahami pentingnya tindakan pengamanan sosial.
Masyarakat tidak mengalami kerugian dengan adanya pelaksanaan program.
Tidak terjadi konflik di masyarakat selama dan setelah pelaksanaan program.
Infrastruktur dibangun di atas lahan yang status pemanfaataan lahannya
sudah jelas.
Menghindari/meminimalkan terjadinya ganti rugi lahan.
Masyarakat adat tidak melakukan protes terhadap pelaksanaan program.
Tidak
terjadi
perselisihan/konflik
diantara
masyarakat
adat
selama
pelaksanaan program.
Tidak terjadi/menghindari terjadinya penggusuran.
Tidak terjadi/menghindari terjadinya pemukiman kembali.
Tidak terjadi pencemaran lingkungan (genangan, banjir, timbulan sampah
padat/cair, kebisingan,bau, dll) di lokasi sasaran.
Dilaksanakannya langkah mitigasi dan pemantauan dampak lingkungan.
Masyarakat tidak melakukan protes atas infrastruktur terbangun.
10.2.1 Aspek Sosial pada Perencanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya
Dalam Standard on Social Responsibility ISO 2006, tanggung jawab sosial
mencakup 7 isu pokok yaitu: pengembangan masyarakat, konsumen, praktek
kegiatan institusi yang sehat, lingkungan, ketenagakerjaan, hak asasi manusia, dan
governance organisasi.
X-22
Meskipun belum ada standar baku tanggung jawab sosial, unsur-unsur
tanggung
jawab
sosial
terus
mengalami
perkembangan
seiring
dengan
perkembangan masyarakat, globalisasi, dan pasar bebas. The World Bank Institute
menjabarkan komponen tanggung jawab sosial sebagai berikut :
a.
Proteksi Lingkungan
Tanggung jawab lingkungan ditekankan pada menemukan cara penggunaan
sumber
daya
alam
secara
berkelanjutan
untuk
mengurangi
dampak
operasionalisasi terhadap lingkungan.
b.
Jaminan Kerja
Terkait dengan kebebasan berserikat bagi pekerja dan pengenalan secara
efektif terhadap hak dan kewajiban pekerja, khususnya hak untuk berunding
secara kolektif.
c.
Hak Asasi Manusia
Pengembangan
tempat
kerja
yang
bebas
dari
diskriminasi
dengan
mengedepankan etika professional yang memperhatikan kreativitas dan
pembelajaran, dan keseimbangan antara pekerjaan terhadap aspek lain di
luar pekerjaan.
d.
Keterlibatan dalam komunitas
Merupakan tindakan untuk mengoptimalkan dampak dari donasi uang, waktu,
produk, jasa,pengaruh, pengetahuan manajemen dan sumber daya lainnya
pada masyarakat di mana infrastruktur tersebut dibangun.
e.
Standar bisnis
Standar ini meliputi aktifitas secara luas seperti etika, imbalan keuangan,
perlindungan lingkungan, standar kerja, dan HAM.
f.
Pasar
Mencakup aktivitas bisnis secara luas yang menggambarkan hubungan antara
perusahaan dengan konsumen, yang antara lain meliputi etika pemasaran,
penetapan harga, pengenalan produk, kualitas dan keamanan produk.
g.
Pengembangan ekonomi dan badan usaha
Dalam menjalankan usahanya, perusahaan harus memperhatikan daya saing,
pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) lokal, kewiraswastaan,
pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan keuangan mikro.
h.
Proteksi Kesehatan
X-23
Di banyak negara industri, tempat kerja
dikenal sebagai tempat penting
untuk melakukan promosi kesehatan, sehingga perusahaan dapat berperan
sebagai mitra pemerintah dalam pengembangan kesehatan.
i.
Pengembangan kepemimpinan dan pendidikan
Perusahaan dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat sekitar dengan
memberikan akses pendidikan, sehingga perusahaan dapat memberikan
dampak positif pada proses pemberdayaan melalui standar pengembangan
kepemimpinan dan pendidikan dalam perusahaan dan menularkan praktekpraktek terbaik kepada mitra perusahaan yang masih berada dalam tingkat
perekonomian berkembang atau transional.
j.
Bantuan bencana kemanusiaan
Perusahaan bekerjasama dengan pemerintah, masyarakat dan LSM memegang
peran penting dalam mendukung operasi bencana kemanusiaan. Perusahaan
diharapkan dapat menerapkan konsep “respon proaktif” dan memusatkan
pada tindakan pencegahan melalui upaya pemberdayaan.
10.2.2 Aspek Sosial pada Pelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya
Ketersediaan infrastruktur yang berkualitas merupakan salah satu faktor
penentu daya tarik suatu kawasan/wilayah, di samping faktor kualitas lingkungan
hidup, image, dan masyarakat (budaya). Sementara itu, kinerja infrastruktur
merupakan faktor kunci dalam menentukan daya saing global, selain kinerja
ekonomi makro, efisiensi pemerintah, dan efisiensi usaha.
Salah satu isu strategis yang dihadapi adalah bagaimana pembangunan
infrastruktur dapat membantu mengatasi besarnya kesenjangan antar-kawasan
nusantara: antara Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia,
antara Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya, antara kawasan perkotaan dan
kawasan perdesaan, antara kota Jakarta dan kota-kota lainnya. fenomena yang
terkait adalah urbanisasi yang cukup tinggi dengan laju antara 1% hingga 1,5% per
tahun akibat tingginya mobilitas penduduk. Secara teoritik, kota merupakan mesin
pertumbuhan ekonomi (the engine of economic growth), sehingga proses
pengembangan wilayah terjadi karena adanya perkembangan kota sebagai pusat
pertumbuhan ekonomi, yang lalu diikuti dengan penyebaran pertumbuhan ekonomi
X-24
di kawasan sekitarnya. Diperkirakan dalam 20 hingga 25 tahun ke depan jumlah
penduduk perkotaan di Indonesia akan mencapai 65% (Pustra, 2007), dan pada
akhir tahun 2014 jumlah penduduk perkotaan diperkirakan mencapai 53 – 54%.
Tingkat urbanisasi yang relatif tinggi belum disertai oleh kamampuan untuk
memenuhi kebutuhan infrastruktur yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk
oleh urbanisasi tersebut maupun “backlog” yang telah ada sebelumnya. Demikian
juga ketersediaan infrastruktur belum merata ke semua golongan masyarakat,
terutama masyarakat miskin.
Menghadapi tantangan di atas, maka diperlukan pendekatan pembangunan
yang bersifat kewilayahan dan direncanakan dengan matang sesuai dengan tingkat
kebutuhan dan perkembangan ekonomi dan sosial serta ketersedian infrastruktur
suatu wilayah agar infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman dapat
mendukung pengembangan ekonomi dan wilayah secara efisien dan efektif.
Tantangan penyelenggaraan infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman
ke depan juga erat terkait dengan pembangunan berkelanjutan yang menjadi
bagian dari 3 (tiga) pilar pembangunan (ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang
berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan
kebutuhan generasi masa depan”. Tantangan pembangunan berkelanjutan di
Indonesia ialah menjaga kawasan dan lingkungan hunian yang aman, nyaman,
produktif dan berkelanjutan tanpa mengakibatkan degradasi lingkungan. Isu ini di
Indonesia semakin penting sejalan dengan meningkatnya kesadaran ekologi yang
dipicu oleh keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan yang semakin parah dan
serius dan sudah pasti apabila tidak ditangani dengan baik akan memberikan
dampak yang buruk terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekarang dan
di masa mendatang.
Pelayanan infrastruktur dasar di Indonesia saat ini kondisinya relatif
tertinggal dibandingkan beberapa negara Asia lainnya. Pembangunan dan
pengelolaan infrastruktur ke-PU-an dan permukiman selama 10 tahun terakhir
belum
dilakukan
secara
baik,
sebagaimana
infrastruktur yang masih under-investment
ditunjukkan
oleh
pendanaan
(< 2% PDB). Anggaran pemeliharaan
terbatas, demand lebih besar dari supply terutama untuk daerah-daerah cepat
tumbuh, dan Standar Pelayanan Minimum (SPM) belum sepenuhnya terpenuhi.
X-25
Sementara di sisi lain kesepakat