BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Mengkudu 2.1.1. Deskripsi dan Klasifikasi Tanaman Mengkudu - EFEKTIVITAS EKSTRAK BUAH MENGKUDU (Morinda citrifolia L.) TERHADAP MORTALITAS ULAT GRAYAK (Spodoptera litura F.) PADA TANAMAN JAGUNG - repository perpustakaa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Mengkudu 2.1.1. Deskripsi dan Klasifikasi Tanaman Mengkudu Tanaman mengkudu merupakan perdu atau pohon yang bengkok

  dengan tinggi 3-8 meter. Kulit mengkudu berwarna kekuningan. Daun penumpu berbentuk bulat telur, dengan tepi daun rata, berwarna hijau kekuningan, dengan panjang mencapai 1,5 cm. Tanaman mengkudu mempunyai daun yang bersilang berhadapan. Daun bertangkai, dengan bentuk bulat telur lebar hingga elips. Kebanyakan daun mempunyai ujung runcing, sisi atas berwarna hijau tua mengkilat (van Steenis et al., 2008).

  Mengkudu mempunyai bunga bertipe bongkol, bertangkai, dan rapat. Bunga dengan jumlah banyak yang muncul dari ketiak. Bunga dengan perhiasan berbilangan 5-6 mempunyai bau yang harum. Mahkota mempunyai bentuk tabung atau terompet, berwarna putih. Dalam leher mahkota terdapat rambut halus. Pada ujung bakal buah terdapat kelopak yang saling berlekatan dan berwarna hijau kekuningan. Tangkai buah mempunyai panjang 3-5 cm. Buah mengkudu berbonggol dengan bentuk berbenjol-benjol tidak teratur.

  Buah yang sudah masak berdaging dan berair, warna buah kuning kotor atau putih kuning dengan panjang 5-10 cm. Buah ini mempunyai inti yang keras seperti tulang dengan bentuk memanjang segitiga dan berwarna coklat merah. Tanaman mengkudu biasanya ditanam dan terkadang tumbuh liar (van Steenis et al., 2008).

  Klasifikasi tanaman mengkudu menurut Cronquist (1981) : Divisio : Magnoliophyta Classis : Magnoliopsida Sub classis : Asteridae Ordo : Rubiales Familia : Rubiaceae Genus : Morinda Species : Morinda citrifolia L.

2.1.2. Kandungan Kimia Tanaman Mengkudu Daun mengkudu antara lain mengandung triterpen dan tanin.

  Tanin yang merupakan kandungan daun mengkudu, dapat bersifat racun perut. Daun yang diekstrak dengan air atau aseton dapat bersifat sebagai racun perut pada serangga. Buah mengkudu mengandung antrakuinon, tannin, dan triterpen, sedang kulit akar mengandung antrakuinon, saponin, dan triterpen. Daun dan buah mengkudu mengandung minyak atsiri, alkaloid, saponin, flavonoid, polifenol, dan antrakinon (Kardinan, 2004; Mursito, 2002).

2.2. Tanaman Jagung 2.2.1. Hama Pada Budidaya Jagung

  Untuk dapat menjamin berhasilnya budidaya tanaman jagung hibrida perlu pelaksanaan usaha pengendalian terhadap serangan hama.

  Adanya berbagai macam jenis serangan hama seringkali mengakibatkan pertumbuhan tanaman jagung menjadi terganggu atau bahkan dapat menggagalkan produksi. Ada beberapa jenis hama yang dapat merugikan budidaya tanaman jagung (Tabel 2.1.).

Tabel 2.1. Hama Potensial pada Tanaman Jagung (Warisno, 2012 ; i Rukmana, 2012).

  No. Macam Hama Gejala Serangan

  1 Lalat Bibit Tunas muda mati (Atherigona exigua)

  2 Ulat Tanah Tanaman roboh dan terdapat bekas (Agrotis ipsilon) gigitan pada batang

  3 Ulat Daun Pucuk daun muda rusak (Prodenia litura)

  4 Penggerek Batang Terdapat bekas gerekan melintang, (Ostrinia furnacalis) berlubang pada daun dan batang

  5 Ulat Tongkol Tongkol dan biji jagung rusak, (Helicoverpa armigera) serangan berat menyebabkan biji jagung busuk

  6 Ulat Grayak Daun rusak berat dan serangan berat (Spodoptera litura) tinggalkan tulang daun saja

  7 Hama Bubuk Biji jagung berlubang-lubang dan (Sitophilus sp.) meninggalkan sisa gerekan berupa tepung yang bercampur kotoran

  8 Kutu Daun Pucuk daun menguning (Rophalosiphum maidis)

  9 Rayap Tanah Merusak pangkal batang dekat permukaan tanah

  10 Lundi Perakaran tanaman rusak, layu (Holotrichia heleri) kekuning-kuningan, dan akhirnya mati

  11 Belalang (Valanga sp.) Daun rusak berlubang-lubang

  12 Tikus (Rattus-rattus sp.) Tongkol rusak secar tidak beraturan Sumber: Warisno (2012); Rukmana (2012)

2.2.2. Pengendalian Hama Pada Budidaya Jagung

  Untuk menjamin berhasilnya budidaya tanaman jagung perlu dilaksanakan usaha pengendalian terhadap serangan hama. Adanya berbagai macam serangan hama seringkali mengakibatkan pertumbuhan tanaman jagung menjadi terganggu. Kegiatan pengendalian hama pada tanaman jagung dilakukan agar tanaman jagung tidak mengalami gangguan kesehatan, yang akhirnya mengganggu hasil produksinya (Warisno, 2012; Rochani, 2012).

  Pengendalian terhadap hama dapat dilakukan dengan cara tradisional dan modern. Pengendalian hama secara tradisional dapat dilakukan dengan cara (1) penanganan secara langsung yaitu mengumpulkan ulat grayak secara langsung dan memusnahkannya seketika itu juga; (2) membuat jebakan hama yaitu pemasangan jaring untuk menghalau ngengat grayak ; (3) penanaman secara serentak; (4) mengadakan rotasi tanaman dengan tanaman lain agar hama ulat grayak tidak muncul kembali. Pengendalian hama secara modern dilakukan dengan menggunakan pestisida sintetik pembasmi serangga/ insekta yang disebut insektisida. Insektisida yang digunakan dalam bentuk padat, cair, maupun gas (Rochani, 2012).

2.3. Ulat Grayak 2.3.1. Klasifikasi Ulat Grayak

  Menurut Jumar (2000) ulat grayak dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Classis : Insekta Ordo : Lepidoptera Familia : Noctuidae Genus : Spodoptera Species : Spodoptera litura F.

2.3.2. Morfologi Ulat Grayak

  Sayap ngengat ulat grayak bagian depan berwarna coklat atau keperakan, dan sayap belakang berwarna keputihan dengan bercak hitam. Kemampuan terbang ngengat pada malam hari mencapai 5 km. Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian dasar melekat pada daun (kadang-kadang tersusun dua lapis), berwarna coklat kekuningan, diletakkan berkelompok masing-masing 25-500 butir. Telur diletakkan pada bagian daun atau bagian tanaman lainnya, baik pada tanaman inang maupun bukan inang. Bentuk telur ber variasi. Kelompok telur tertutup bulu seperti beludru yang berasal dari bulu-bulu tubuh bagian ujung ngengat betina, berwarna kuning kecoklatan (Marwoto dan Suharsono, 2008).

  Larva mempunyai warna yang bervariasi, memiliki kalung (bulan sabit) berwarna hitam pada segmen abdomen keempat dan kesepuluh. Pada sisi lateral dorsal terdapat garis kuning. Ulat yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat tua atau hitam kecoklatan, dan hidup berkelompok. Beberapa hari setelah menetas (bergantung ketersediaan makanan), larva menyebar dengan menggunakan benang sutera dari mulutnya. Pada siang hari, larva bersembunyi di dalam tanah atau tempat yang lembap dan menyerang tanaman pada malam hari atau pada intensitas cahaya matahari yang rendah. Biasanya ulat berpindah ke tanaman lain secara bergerombol dalam jumlah besar (Marwoto dan Suharsono, 2008).

  Warna dan perilaku ulat instar terakhir mirip ulat tanah Agrothis , namun terdapat perbedaan yang cukup mencolok, yaitu pada

  ipsilon

  ulat grayak terdapat tanda bulan sabit berwarna hijau gelap dengan garis punggung gelap memanjang. Pada umur 2 minggu, panjang ulat sekitar 5 cm. Ulat berkepompong di dalam tanah, membentuk pupa tanpa rumah pupa (kokon), berwarna coklat kemerahan dengan panjang sekitar 1,60 cm. Siklus hidup berkisar antara 30-60 hari (lama stadium telur 2-4 hari). Stadium larva terdiri atas 5 instar yang berlangsung selama 20-46 hari. Lama stadium pupa 8-11 hari. Seekor ngengat betina dapat meletakkan 2.000-3.000 telur (Marwoto dan Suharsono, 2008).

  A B C D E

  Keterangan: A = Ulat Grayak Instar 1 B = Ulat Grayak Instar 2 C = Ulat Grayak Instar 3 D = Ulat Grayak Instar 4 E = Ulat Grayak Instar 5

Gambar 2.1. Ulat Grayak Instar 1 – Instar 5

  Sumber: Dokumen Pribadi; Kumar (2006) 2.3.3.

   Siklus Hidup Ulat Grayak

  Ulat grayak berkembang biak dengan cara bertelur. Telur terbentuk di dalam kandung telur (ovarium) betina. Ulat grayak mengalami perkembangan metamorfosis sempurna (holometabola) yaitu berawal dari telur – larva –  pupa – imago. Umur ngengat grayak umumnya pendek, yaitu hanya bertelur dalam 2-6 hari. Telur diletakkan berkelompok yang bentuknya bermacam-macam. Masing-masing kelompok berisi telur sekitar 350 butir. Telur akan menetas setelah 3-5 hari. Setelah menetas, ulat kecil masih tetap berkumpul untuk sementara. Beberapa hari kemudian, ulat tersebar mencari makan. Ulat akan membuat lubang pada daun pada malam hari dan akan bersembunyi dalam tanah pada siang hari dalam kondisi lembap.

  Biasanya hama ulat grayak bersama-sama pindah dari tanaman yang telah habis daunnya menuju ke tanaman lainnya. (Rukmana dan Saputra, 1997).

  Setelah cukup dewasa, yaitu pada instar 5 lebih kurang berumur 20 hari, ulat grayak mulai berkepompong di dalam tanah. Pupanya dibungkus dengan tanah. Kepompong akan berubah menjadi ngengat sekitar 8-11 hari. Perkembangan telur sampai menjadi ngengat membutuhkan waktu sekitar 5 minggu. Ngengat betina mampu bertelur 2.000-3.000 butir (Rukmana dan Saputra, 1997; Pracaya, 2008).

2.4. Pestisida

  Pestisida merupakan semua zat atau campuran zat yang khusus digunakan untuk mengendalikan, mencegah, atau menangkis gangguan serangga, binatang pengerat, nematoda, gulma, virus, bakteri, serta jasad renik yang dianggap hama; kecuali virus, bakteri, atau jasad renik lain yang terdapat pada hewan dan manusia (Djojosumarto, 2008). Menurut Rukmana dan Saputra (1997), pestisida dapat digolongkan berdasarkan jasad sasaran, cara kerja, dan bentuk formulasinya. Penggolongan pestisida berdasarkan jasad sasaran di antaranya (1) Insektisida; (2) Fungisida; (3) Rodentisida; (4) Nematisida; (5) Mulluksisida; (6) Akarisida; (7) Herbisida; dan (8) Bakterisida. Penggolongan pestisida berdasarkan cara kerjanya di antaranya (1) Racun perut; (2) Racun kontak; (3) Racun sistemik; (4) Fumigan; (5)

  

Attractant ; dan (6) Repellent. Penggolongan .pestisida berdasarkan bentuk

  formulasinya di antaranya (1) bentuk padat; (2) bentuk cair; dan (3) bentuk gas.

  Penggunaan pestisida dapat mengkontaminasi pengguna secara langsung sehingga mengakibatkan keracun. Keracunan ini meliputi keracunan ringan, akut berat, dan kronis. Keracunan kronis sangat sulit dideteksi dalam jangka waktu lama. Penggunaan pestisida sintetik dapat menimbulkan gangguan kesehatan di antaranya iritasi mata dan kulit, kanker, keguguran, cacat pada bayi, serta gangguan saraf, hati, ginjal, dan pernafasan. Dampak penggunaan pestisida bagi lingkungan diantaranya pencemaran lingkungan, terbunuhnya organisme non-target karena pestisida mengganggu rantai makanan, mengganggu keragaman hayati, menimbulkan efek negatif terhadap manusia secara tidak langsung melalui rantai makanan, organisme pengganggu tanaman menjadi kebal terhadap pestisida, meningkatnya populasi hama, munculnya hama baru, terbunuhnya musuh alami, dan meracuni tanaman (Djojosumarto, 2008 ; Sudarmo, 1991).

2.5. Penelitian Terdahulu Tentang Tanaman Mengkudu

  Menurut Hayani dan Fatimah (2004), hasil dari identifikasi skrining fitokimia oleoresin biji mengkudu diperoleh bahwa di dalam biji mengkudu terdapat alkaloid, saponin, tanin dan glikosida jantung (Tabel 2.2.).

Tabel 2.2. Hasil identifikasi skrining fitokimia oleoresin biji mengkudu

  Jenis Pemeriksaan Hasil Alkaloid + Saponin + Tanin +

  • Glikosida jantung
    • – Flavonoid Glikosida –

  Sumber: Hayani dan Fatimah (2004) Biji mengkudu dapat diekstrak dengan air dan alkohol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak biji mengkudu yang mengandung bahan aktif saponin dan triterpenoids menghambat pertumbuhan larva

  Cricula trifenestrata menjadi pupa sebesar 60%, serta dapat membunuh

  sebesar 60% populasi serangga Sitophilus sp. dan merupakan racun perut (oral poison) terhadap serangga (Kardinan, 2004 dalam Purba, 2007).

  Hasil penelitian daun mengkudu terhadap mortalitas Plutella L. yang dilakukan oleh Purba (2007), menunjukkan bahwa ekstrak

  xylostella daun mengkudu pada konsentrasi 400 ml/L air dapat membunuh larva P. xylostella L. sebesar 70%. Penelitian ekstrak buah mengkudu terhadap

  mortalitas Plutella xylostella L. yang dilakukan oleh Hasnah dan Nasril (2009), menunjukkan bahwa ekstrak buah mengkudu pada konsentrasi 150 ml

  • 1 L larutan dapat membunuh larva P. xylostella L. sebesar 100%.