BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian - BHAYU BANGKIT ARAFAT BAB II

BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian Kanker kolon suatu bentuk keganasan dari masa abnormal / neoplasma yang muncul dari jaringan ephitel dari kolon (Haryono, 2010). Kanker kolorektal ditunjukan pada tumor ganas yang ditemukan di kolon

  dan rektum. Kolon dan rectum adalah bagian dari usus besar pada sistem pencernaan yang disebut traktus gastrointestinal. Lebih jelasnya kolon berada di bagian proksimal usus besar dan rektum dibagian distal sekitar 5

  • 7 cm diatas anus. Kolon dan rektum merupakan bagian dari saluran pencernaan atau saluran gastrointestinal di mana fungsinya adalah untuk menghasilkan energi bagi tubuh dan membuang zat-zat yang tidak berguna (Penzzoli dkk, 2007).

  Kanker kolorektal merupakan suatu tumor malignant yang muncul pada jaringan ephitelial dari colon/rectum. Umumnya tumor kolorektal adalah adenokarsinoma yang berkembang dari polip adenoma (Wijaya dan Putri, 2013).

  B. Anatomi Fisiologi Diyono (2013).

  Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses.

  Pada mamalia, kolon terdiri dari kolon menanjak (ascending), kolon melintang (transverse), kolon menurun (descending), kolon sigmoid, dan rektum. Bagian kolon dari usus buntu hingga pertengahan kolon melintang sering disebut dengan "kolon kanan", sedangkan bagian sisanya sering disebut dengan "kolon kiri".

  C. Etiologi

  Adapun beberapa faktor yang menpengaruhi kejadian kanker kolorektal menurut (Soebachman, 2011) yaitu :

  1. Usia

  Risiko terkena kanker kolon meningkat dengan bertambahnya usia. Kebanyakan kasus terjadi pada orang yang berusia 60 - 70 tahun. Jarang sekali ada penderita kanker kolon yang usianya dibawah 50. Kalaupun ada, bisa dipastikan dalam sejarah keluarganya ada yang terkena kanker kolon juga.

  2. Polip Adanya polip pada kolon, khususnya polip jenis adenomatosa. Jika polip ini langsung dihilangkan pada saat ditemukan, tindakan penghilangan tersebut akan bisa mengurangi risiko terjadinya kanker kolon di kemudian hari.

  3. Riwayat kanker Seseorang yang pernah terdiagnosis mengidap kanker kolon ( bahkan pernah dirawat untuk kanker kolon ) berisiko tinggi terkena kanker kolon lagi dikemudian hari. Wanita yang pernah mengidap kanker ovarium ( indung telur), kanker uterus, dan kanker payudara juga memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena kanker kolon.

  4. Faktor keturunan / genetika Sejarah adanya kanker kolon dalam keluarga, khususnya pada keluarga dekat. Orang yang keluarganya punya riwayat penyakit FAP ( Familial Adenomatous Polyposis ) atau polip adenomatosa familial memiliki risiko 100% untuk terkena kanker kolon sebelum usia 40 tahun bila FPA-nya tidak diobati. Penyakit lain dalam keluarga adalah HNPCC ( Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer ), yakni penyakit kanker kolorektal nonpolip yang menurun dalam keluarga, atau sindrom Lynch.

  5. Penyakit kolitis ( radang kolon ) ulseratif yang tidak diobati.

  6. Kebiasaan merokok.

  Perokok memiliki risiko jauh lebih besar untuk terkena kanker kolon dibandingkan dengan yang bukan perokok.

  7. Kebiasan makan Pernah diteliti bahwa kebiasaan makan banyak daging merah ( dan sebaliknya sedikit makan buah, sayuran serta ikan ) turut meningkatkan risiko terjadinya kanker kolon. Mengapa? Sebab daging merah ( sapi dan kambing ) banyak mengandung zat besi. Jika sering mengonsumsi daging merah berarti akan kelebihan zat besi.

  8. Terlalu banyak mengonsumsi makanan yang mengandung pewarna, apalagi jika pewarnanya adalah pewarna nonmakanan.

  9. Terlalu banyak mengonsumsi makanan makanan yang mengandung bahan pengawet.

  10. Kurangnya aktivitas fisik, Orang yang beraktivitas lebih banyak memiliki risiko lebih rendah untuk terkena kanker kolon.

  11. Berat badan yang berlebihan ( obesitas ).

  12. Infeksi virus tertentu seperti HPV (Human Papiloma Virus) turut andil dalam terjadinya kanker kolon.

  13. Kontak dengan zat-zat kimia tertentu. Misalnya logam berat, toksin, dan ototoksin serta gelombang elektromagnetik.

  14. Keniasaan mengonsumsi minuman beralkohol, khususnya bir. Usus mengubah alkohol menjadi asetilaldehida yang meningkatkan risiko terkena kanker kolon.

  15. Bekerja sambil duduk seharian. Misalnya para eksekutif, pegawai administrasi, atau pengemudi kendaran umum.

D. Patofisiologi

  Kanker kolon dan rektum (95 %) adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel usus). Dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas kedalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar kebagian tubuh yang lain (paling sering ke hati) Japaries, 2013.

  Pertumbuhan kanker menghasilkan efek sekunder, meliputi penyumbatan lumen usus dengan obstruksi dan ulserasi pada dinding usus serta perdarahan. Penetrasi kanker dapat menyebabkan perforasi dan abses, serta timbulnya metastase pada jaringan lain. Prognosis relativ baik bila lesi terbatas pada mukosa dan submukosa pada saat reseks dilakukan, dan jauh lebih jelek telah terjadi mestatase ke kelenjr limfe (Japaries, 2013).

  Menurut Diyono (2013), tingakatan kanker kolorektal dari duke sebagai berikut :

  1. Stadium 1 : terbatas hanya pada mukosa kolon (dinding rektum dan kolon).

  2. Stadium 2 : menembus dinding otot, belum metastase.

  3. Stadium 3 : melibatkan kelenjar limfe.

  4. Stadium 4 : metastase ke kelenjar limfe yang berjauhan dan ke organ lain.

  Kanker kolorektal merupakan salah satu kanker usus yang dapat tumbuh secara lokal dan bermetastase luas. Adapun cara penyebaran ini melalui beberapa cara. Penyebaran secara lokal biasanya masuk kedalam lapisan dinding usus sampai keserosa dan lemak mesentrik, lalu sel kanker tersebut akanmengenai organ disekitarnya. Adapun penyebaran yang lebih luas lagi didalam lumen usus yaitu melalui limfatik dan sistem sirkulasi. Bila sel tersebut masuk melalui sistem sirkulasi, maka sel kanker tersebut dapat terus masuk ke organ hati, kemudian metastase ke orgab paru-paru. Penyebaran lain dapat ke adrenal, ginjal, kuli, tulang, dan otak. Sel kanker pu dapat menyebar ke daerah peritoneal pada saat akan dilakukan reseksi tumor (Diyono, 2013).

  Hampir semua kanker kolorektal ini berkembang dari polip adenoma jenis villous, tubular, dan viloutubular. Namun dari ketiga jenis adenoma ini, hanya jenis villous dan tubular yang diperkirakan akan menjadi premaligna. Jenis tubular berstruktur seperti bola dan bertangkai, sedangkan jenis villous berstuktur tonjolan seperti jari-jari tangan dan tidak bertangkai. Kedua jenis ini tumbuh menyerupai bunga kol didalam kolon sehingga massa tesebut akan menekan dinding mukosa kolon. Penekanan yang terus-menerus ini akan mengalami lesi-lesi ulserasi yang akhirnya akan menjadi perdarahan kolon. Selain perdarahan, maka obstruksi pun kadang dapat terjadi. Hanya saja lokasi tumbuhnya adenoma tersebut sebagai acuan. Bila adenoma tumbuh di dalam lumen luas (ascendens dan transversum), maka obstruksi jarang terjadi. Hal ini dikarenakan isi ( feses masih mempunyai konsentrasi air cukup) masih dapat melewati lumen tersebut dengan mengubah bentuk (disesuaikan dengan lekukan lumen karena tonjolan massa). Tetapi bila adenoma tersebut tumbuh dan berkembang di daerah lumen yang sempit (descendens atau bagian bawah), maka obstruksi akan terjadi karena tidak dapat melewati lumen yang telah terdesak oleh massa. Namun kejadian obstruksi tersebut dapat menjadi total atau parsial (Diyono, 2013).

  Secara genetik, kanker kolon merupakan penyakit yang kompleks. Perubahan genetik sering dikaitkan dengan perkembangan dari lesi permalignan (adenoma) untuk adenokarsinoma invasif. Rangkain peristiwa molekuler dan genetik yang menyebabkan transformsi dari keganasan polip adenomatosa. Proses awal adalah mutasi APC (adenomatosa Poliposis Gen) yang pertama kali ditemukan pada individu dengan keluarga adenomatosa poliposis (FAP= familial adenomatous polyposis).

  Protein yang dikodekan oleh APC penting dalam aktivasi pnkogen c-myc dan siklinD1, yang mendorong pengembangan menjadi fenotipe ganas (Muttaqin, 2013).

E. Tanda dan Gejala

  Tanda dan gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak spesifik. Keluhan utama pasien pasien dengan kanker kolorektal berhubungan dengan besar dan lokasi dari tumor. Tumor yang berada pada kolon kanan, dimana isi kolon berupa cairan, cenderung tetap tersamar hingga lanjut sekali sedikit kecenderungan menyebabkan obstruksi karena lumen usus lebih besar dari feses masih encer. Gejala klinis sering brupa rasa penuh, nyeri abdomen, perdarahan dan symptomatik anemia (menyebabkan kelemahan, pusing dan penurunan berat badan). Tumor yang berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan perubahan pola defekasi sebagai akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan, mengecilnya ukuran feses, dan komplikasi karena lesi kolon kiri yang cenderung melingkar mengakibatkan obstruksi. Tumor pada rektum atau sigmoid bersifat lebih infiltratif pada waktu diagnosis dari leksi proksimal, maka prognosisnya lebih jelek (Kumar dkk, 2010).

  Menurut Japaries (2013) Kanker usus besar dibagi menajadi dua stadium yaitu :

  1. Stadium dini

  a. Tanda iritasi usus dan perubahan kebiasaan defekasi : sering buang air besar, diare atau obstipasi, kadang kala obstipasi dan diare silih berganti, tenesmus, anus turun tegang, sering terdapat nyeri samar abdomen. Pasien lansia bereaksi tumpul dan lamban, tidak peka nyeri, kadang kala setelah terjadi perforasi tumor, peritonitis baru merasakan nyeri dan berobat.

  b. Hematokezia : tumor luka ulserasi berdarah, kadang kala merah segar atau merah gelap, biasanya tidak banyak, intermitan. Jika posisi tumor agak tinggi, darah dan feses becampur menjadikan feses mirip selai. Kadang kala keluar lendir berdarah.

  c. Ileus : ileus merupakan tanda lanjut kanker kolon. Ileus kolon sisi kiri sering ditemukan . kanker kolon tipe ulseratif atau hiperplstik menginvasi kesekitar dinding usus membuat lumen usus menyempit hingga ileus, sering berupa ileus mekanik nontotal kronis, mula-mula timbul perut kembung, rasa tak enak perut intermiten, borborigmi, obstipasi atau feses menjadi kecil (seperti pensil atau tahi kambing) bahkan tak dapat buang angin atau feses. Sedangkan ileus akut umumnya disebabkan karsinoma kolon tipe infiltratif. Tidak jarang terjadi intususepsi dan ileus karena tumor pada pasien lansia, maka pada lansia dengan intususepsi harus memikirkan kemungkinan karsinoma kolon. Pada ileus akut maupun kronik, gejala muntah tidak menonjol, bila terdapat muntah, mungkin usus kecil (khususnya proksimal) sudah terinvasi tumor.

  d. Massa abdominal. Ketika tumor tumbuh hingga batas tertentu didaerah abdomen dapat diraba adanya massa, sering ditemukan pada koon belahan kanan. Pasien lansia umumnya mengurus, dinding abdomen relatif longgar, massa mudah diraba. Pada awalnya massa bersifat mobil, setelah menginvasi sekitar menjadi infeksi.

  e. Anemia, pengurusan, demam, astenia dan gejala toksik sistemik lain. Karena pertumbuhan tumor menghabiskan nutrisi tubuh, perdarahan kronis jangka panjang menyebabkan anemia; infeksi sekunder tumor menyebabkan demam dan gejala toksik.

  2. Stadium lanjut Selain gejala lokal tersebut diatas, dokter harus memperhatikan tumo adalah penyakit sistemik, pada fase akhir progresi kanker usus besar timbul grjala stadium lanjut yang sesuai. Misal, invasi luas tumor dalam kavum pelvis menimbulkan nyeri daerah lumbosakra, iskialgia dan neuralgia obturatoria; ke anterior menginvasi mukosa vagina dan vesika urinaria menimbulkan perdarhan pervaginam atau hematuria, bila parah dapat timbul fistel rektovaginal, fistel rektovesikel; obstruksi ureter bilateral menimbulkan anuria, uremia; tekanan pada retra menimbulkan retensi urin; asites, hambatan saluran limfatik atau tekanan pada vena iliaka menimbulkan udem tungkai, skrotal, labial; perforasi menimbulkan peritonitis akut, abses abdomen; metastasis ke paru menimbulkan batuk, nafas memburu, hemoptisis; metastasis ke otak menyebabkan koma; metastasis tulang menimbulkan nyeri tulang, pincang dll. Akhirnya dapat timbul kakeksia, kegagalan sistemk (Japaries, 2013).

F. Pemeriksaan penunjang

  Menurut Casciato (2004) ada beberapa macam pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendeteksi kanker kolon yaitu :

  1. Biopsi Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting jika terdapat sebuah obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukanya biopsi maka sikat sitologi akan sangat berguna (Casciato, 2004).

  2. Carsinoembrionik Antigen (CEA) Screening CEA adalah sebuah glikopretein yang terdapat pada permukaan sel yang masuk ke dalam peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi untuk memonitor status kanker kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan metastase ke hepar. CEA terlalu insensitif dan nonspesifik untuk bisa digunakan sebagai screening kanker kolorektal. Meningkatnya nilai CEA serum, bagaimanapun berhubungan dengan beberapa parameter. Tingginya nilai CEA berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2, stadium lanjut dari penyakit dan kehadiran metastase ke organ dalam. Meskipun konsentrasi CEA serum merupakan faktor prognostik independen.

  Nilai CEA serum baru dapat dikatakan bermakna pada monitoring berkelanjutan setelah pembedahan (Casciato, 2004).

  Meskipun keterbatasan spesifitas dan sensifitas dari tes CEA, namun tes ini sering diusulkan untuk mengenali adanya rekurensi dini.

  Tes CEA sebelum opersai sangat berguna sebagai faktor prognosa dan apakah tumor primer berhubungan dengan meningkatnya nilai CEA. Peningkatan nilai CEA preoperatif berguna untuk identifikasi awal dari dari metastase karena sel tumor yang bermetastase sering mengakibatkan naiknya nilai CEA (Casciato, 2004).

  3. Digital Rectal Examination Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral,posterior, dan anterior, serta spina iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan mudah. Metastasis intraperitoneal dapat teraba pada bagian anterior rektum dimana sesuai dengan posisi anatomis kantong douglas sebagai akibat infiltrasi sel neoplastik. Meskipun 10 cm merupakan batas eksplorasi jari yang mungkin dilakukan, namun telah lama diketahui bahwa 50% dari kanker kolon dapat dijangkau oleh jari, sehingga Rectal examination merupakan cara yang tidak dapat begitu saja diabaikan (Schwartz, 2005).

  4. Barium Enema Teknik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras varium enema, yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang berukuran >1 cm. Teknik ini jika digunakan bersama-sama fleksibel sigmoidoskopi merupakan cara yang hemat biaya sebagai alternatif pengganti kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi kolonoskopi, atau digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang mempunyai riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan menggunakan barium eneme sangat rendah, yaitu sebesar 0,02% jika terdapat kemungkinan perforasi, maka sebuah kontras larut air harus digunakan dari pada barium enema. Barium peritonitis merupakan komplikasi yang sangat serius yang dapat mengakibatkan berbagai infeksi dan peritoneal fibrosis. Tetapi sayangnya sebuah kontras larut air tidak dapat menunjukan detail yang penting untuk menunjukam lesi kecil pada mukosa kolon (Schwartz, 2005).

  5. Endoskopi Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena 3% dari pasien mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan untuk mempunyai polip premaligna (Casciato, 2004).

  6. Kolonoskopi Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa kolon dan rectum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm. Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukan polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar sebesar 94%, lebih baik dari pada barium enema yang keakuratannya hanya sebesar 67% (Depkes, 2006). Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari struktur. Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama (perdarahan, komplikasi anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara yang sangat berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari Inflamatory Bowel

  Disease, non akut divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleedin, megakolon non toksik, struktur kolon dan neoplasma.

  Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi diagnostik (Schwartz, 2005).

G. Penatalaksanaan umum

  a. Pembedahan Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara luas diterima sebagai penangan kuratif untuk kanker kolorektal.

  Pembedahan kuratif untuk kaker kolorektal. Pembedahan kuratif harus mengeksisi dengan batas yang luas dan maksimal regional lymphadenektomi sementara mempertahankan fungsi dari kolon sebisanya. Untuk lesi diatas rektum, reseksi tumor dengan minimum margin 5 cm bebas tumor (Casciato, 2004).

  Menurut Haryono (2012), pembedahan merupakan tindakan primer pada kira-kira 75% pasien dengan kanker kolorektal. Pembedahan dapat bersifat kuratif atau palliative. Kanker yang terbatas pada satu sisi dapat diangkat dengan kolonoskop. Kolosotomi laparoskopik dengan polipektomi, suatu prosedur yang baru dikembangkan untuk meminimalkan luasnya pembedahan pada beberapa kasus. Laparoskop digunakan sebagai pedoman dalan membuat keputusan dikolon massa tumor kemudian dieksisi. Reseksi usus diindikasikan untuk kebanyakan lesi kelas A dan semua kelas B serta lesi C. Pembedahan kadang dianjurkan untuk mengatasi kanker kolon D. Tujuan pembedahan dalam situasi ini adalah palliative. Apabila tumor telah menyebar dan mencangkup struktur vital sekitarnya, maka operasi tidak dapat dilakukan.

  b. Terapi Radiasi Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan menggunakan x-ray berenergi tinggi untuk membunuh sel kanker.

  Terdapat dua cara pemberian terapi radiasi, yaitu dengan eksternal radiasi dan internal radiasi. Pemilihan cara radiasi diberikan tergantung pada tipe dan stadium dari kanker (Henry Ford, 2006).

  c. Kemotherapi Kemoterapi dalam bahasa inggris (chemotherapy) adalah penggunaan zat kimia untuk perawatan penyakit. Kemoterapi adalah penggunaan zat kimia untuk perawatan penyakit. Dalam penggunaan modernnya, istilah ini hampir merujuk secara eksklusif kepada obat sitostatik yang digunakan untuk merawat kanker.

  Kemoterapi bermanfaat untuk menurunkan ukuran kanker sebelum operasi, merusak semua sel-sel kanker yang tertinggal setelah operasi, dan mengobati beberapa macam kanker darah. Kemoterapi Merupakan bentuk pengobatan kanker dengan menggunakan obat

  sitostatika yaitu suatu zat-zat yang dapat menghambat proliferasi sel- sel kanker.

  Kemoterapi memerlukan penggunaan obat untuk menghancurkan sel kanker. Walaupun obat ideal akan menghancurkan sel kanker dengan tidak merugikan sel biasa, kebanyakan obat tidak selektif. Malahan, obat didesain untuk mengakibatkan kerusakan yang lebih besar pada sel kanker daripada sel biasa, biasanya dengan menggunakan obat yang mempengaruhi kemampuan sel untuk bertambah besar. Pertumbuhan yang tak terkendali dan cepat adalah ciri khas sel kanker. Tetapi, karena sel biasa juga perlu bertambah besar, dan beberapa bertambah besar cukup cepat (seperti yang di sumsum tulang dan garis sepanjang mulut dan usus), semua obat kemoterapi mempengaruhi sel biasa dan menyebabkan efek samping.

  Tujuan pemberian kemoterapi : Pengobatan, Mengurangi

  massa tumor selain pembedahan atau radiasi, Meningkatkan kelangsungan hidup dan memperbaiki kualitas hidup, Mengurangi komplikasi akibat metastase. Kemoterapi dapat diberikan dengan cara Infus, Suntikan langsung (pada otot, bawah kulit, rongga tubuh) dan cara Diminum (tablet/kapsul).

  Efek samping yang bisa timbul adalah antara lain: Lemas, Mual dan Muntah, Gangguan Pencernaan, Sariawan, Efek Pada Darah, Otot dan Saraf, Kulit dapat menjadi kering dan berubah warna, dan Produksi Hormon.

  Dalam beberapa penelitian kemoterapi mampu menekan jumlah kematian penderita kanker tahap dini, namun bagi penderita kanker tahap akhir / metastase, tindakan kemoterapi hanya mampu menunda kematian atau memperpanjang usia hidup pasien untuk sementara waktu. Bagaimanapun manusia hanya bisa berharap sedangkan kejadian akhir hanyalah Tuhan yang menentukan.

H. Fokus Keperawatan

  Pengkajian yang dapat dilakukan menurut wijaya dan putri (2013), diantaranya adalah sebagai berikut :

  1. Pengkajian

  a. Data Demografi 1) Kanker klorektal sering ditemukan terjadi pada usia lebih dari 40 tahun.

  2) Pada wanita sering ditemukan kanker kolon dan kanker rekti lebih sering terjadi pada laki-laki.

  b. Riwayat kesehatan dahulu 1) Kemungkinan pernah menderita polip kolon, radang kronik kolon dan kolitis ulseratif yang tidak teratasi.

  2) Adanya infeksi dan obstruksi pada usus besar.

  3) Die atau konsumsi diet yang tidak baik, tinggi protein, tinggi lemak dan rendah serat.

  c. Riwayat kesehatan keluarga Adanya riwayat kanker pada keluarga, diidentifikasi kanker yang menyerang tubuh atau organ termasuk kanker kolorektal adalah diturunkan sebagai sifat dominan.

  d. Riwayat kesehatan sekarang 1) Klien mengeluh lemah, nyeri abdomen dan kembung.

  2) Klien mengeluh perubahan pada defekasi : Buang Air Besar (BAB) seperti pita, diare yang bercampur darah dan lendir dan rasa tidak puas setelah buang air besar.

  3) Klien megalami anoreksia, mual, muntah dan penurunn berat badan.

  e. Pemeriksaan fisik 1) Mata : konjungtiva subanemis / anemis.

  2) Leher : distensi vena jugularis (JVP). 3) Mulut : mukosa mulut kering dan pucat, lidah pecah

  • – pecah dan bau yang tidak enak.

  4) Abdomen : distensi abdomen, adanya teraba massa, penurunn bising usus dan kembung.

  5) Kulit : turgor kulit buruk, kering (dehidrasi / malnutrisi.

  f. Pengkajian Fungsional Gordon 1) Aktivitas / istirahat

  Gejala : kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah, merasa gelisah dan ansietas, tidak tidur semalaman karena diare, pembatasan aktivitas / kerja sehubungan dengan efek proses penyakit.

  2) Pernafasan : nafas pendek, dispnea (respon terhadap nyeri yang dirasakan) yang ditandai dengan takipnea dan frekuensi menurun. 3) Sirkulasi

  Tanda : Takikardi (respon terhadap demam, dehidrasi, proses inflamasi dan nyeri), hopotensi, kulit/membran : turgor buruk, kering, lidah pecah-pecah, (dehidrasi/malnutrisi). 4) Integritas Ego Gejala : ansietas, ketakutan, emosi kesal, misal : perasaan tak berdaya/tak ada harapan.

  Faktor stress akut/kronis : misal hubungan dengan keluarga / pekerjaan, pengobatan yang mahal.

  Tanda : menolak, perhatian yang menyempit, depresi. 5) Eliminasi Gejala : tekstur feses bervariasi dan bentuk lunak sampai bau.

  Episode diare berdarah tak dapat diperkirakan, hilang timbul, sering tak dapat dikontrol (sebanyak 20-30 kali/hari), perasaan tidak nyaman/tidak puas, deteksi berdarah/ mukosa dengan atau tanpa keluar feses.

  Tanda : menurunnya bising usus, tidak ada peristaltik atau adanya peristaltik yang dapat dilihat, oliguria.

  6) Makan / Cairan Gejala : anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan, tidak toleran terhadap diit/sensitif (misal : buah segar/massa otot, kelemahan, tonus otot dan turgor kulit buru, membran mukosa pucat, luka, inflamasi rongga mulut.

  7) Hygine Tanda : ketidakmampuan melakukan perawatan diri, stomatitis, menunjukan kekurangan vitamin.

  8) Nyeri / Kenyamanan Gejala : nyeri/nyeri tekan pada kuadran kiri bawah.

  9) Keamanan Gejala : adanya riwayat polip, radang kronik viseratif.

  10) Muskuloskeletal : penurunan kekuatan otot, kelemahan dan malaise (diare, dehidrasi, dan malnutrisi).

  11) Seksualitas Gejala : tidak bisa melakukan hubungan seksual/ frekuensi menurun.

  12) Interaksi Sosial Gejala : masalah hubungan / peran sehubungan dengan kondisi ketidakmampuan aktif dalam sosial.

I. Pathway

   Usia lanjut Infeksi usus Genetika Gaya hidup,Pola makan

  Mutasi gen Peningkatan asam lambung Polip adenomatosa Kolitis Lapisan epitel usus Penyumbatan lumen Adenokarsinoma Ulserasi Peritonitis Perporasi/abses Ca.colon Ileus Obstipasi Perdarahan Hematocezia/BAB darah Tidak bias BAB/flatus Penurunan HB Gangguan defeksi Distensi Resiko infeksi Kolostomi Nyeri

  Kerusakan integritas jaringan Resiko infeksi

  Diyono, Japaries, Kumar dkk, Muttaqin (2013).

  J. Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik.

  2. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan kerusakan lapisan kulit.

  3. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan pertahanan primer dan sekunder.

  K. Fokus Intervensi

  No. Dx keperawatan NOC NIC

  1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Pain Management: berhubungan keperawatan 2x24 jam 1. kaji nyeri secara dengan agen diharapkan nyeri berkurang komprehensif. injuri fisik. dengan kriteria hasil:

  2. observasi non

  1. Vital sign dalam batas verbal dari normal ketidaknyamana

  2. Mampu mengontrol nyeri 3. ajarkan teknik

  3. Melaporkan bahwa nyeri relaksasi nafas berkurang dalam

  4. monitor vital sign 5. anjurkan untuk istiraha 6. kolaborasi medis dalam pemberian analgetik

  2. Kerusakan Setelah dilkukan tindakan 1. anjurkan untuk integritas keperawatan selama 2x24 jam memakai pakaian jaringan diharapkan jaringan dan kulit longgar. berhubungan baik, dengan kriteria hasil: 2. jaga kulit agar dengan

  1. Tidak ada nekrosis tetap bersih. kerusakan

  2. Perfusi jaringan normal 3. observasi luka lapisan kulit.

  3. Menunjukan proses 4. ajarkan kepada penyembuhan jaringan keluarga tentang luka dan

  5. perawatan luka bantu mobilisasi pasien

  3. Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan 1. observasi kondisi berhubungan keperawatan 2x24 jam di luka dengan harapkan tidak ada infeksi, 2. monitor tanda penurunan dengan kriteria hasil: dan gejala infeksi pertahanan

  1. Bebas dari tanda dan gejala 3. dorong pasien primer dan infeksi untuk sekunder.

  2. Jumlah leukosit dalam meningkatkan batas normal intake nutrisi

  3. Mampu untuk mencegah 4. batasi jumlah timbulnya infeksi pengunjung 5. kolaborasi dengan ahli gizi untuk diit tinggi kalori tinggi protein

  6. kolaborasi untuk pemberian antibiotic