BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian - Fajar Syarifudin BAB II

BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan

  rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar), klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada obyek atau rangsangan yang nyata (Farida Kusumawati, 2010).

  Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsangan apapun pada panca indra dan terjadi dalam keadaan sadar/bangun (Willy F. Maramis, 2009).

  Menurut Varcarolis (2006), halusinasi dapat didefinisikan sebagai terganggunya persepsi sensori seseorang, dimana tidak terdapat stimulus (dikutip oleh Iyus Yosep, 2009).

  Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya rangsang dari luar (Iyus Yoseph, 2009).

  Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara atau bunyi yang berkisar dari suara sederhana sampai suara yang berbicara mengenai klien sehingga klien berespon terhadap suara atau bunyi tersebut (Struart G.W, 2007).

  Jadi dapat disimpulkan halusinasi adalah suatu kejadian yang tidak nyata yang terjadi pada panca indera tanpa ada rangsangan dari luar.

B. Etiologi a.

  Faktor predisposisi terjadinya halusinasi menurut Iyus Yosep (2009): Faktor perkembangan

  Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya, rendahnya kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri, dan lebih rentan terhadap stress .

  2. Faktor sosial kultural Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi

  (unwanted child) akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.

  3. Faktor biokimia Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti

  Buffofenon dari Dimetytranferase (DMP). Akibat stress berkepanjangan

  menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak, misalnya terjadi ketidakseimbangan acetylcholin dan dopamin.

  4. Faktor psikologis Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.

  5. Faktor genetik dan pola asuh

  skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan

  bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.

  b.

  Faktor presipitasi terjadinya halusinasi menurut Iyus Yosep (2009): 1.

  Dimensi fisik Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga

  delirium , intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.

  2. Dimensi emosional Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.

  3. Dimensi intelektual Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan

  implus yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.

  Dimensi sosial Klien mengalami gangguan interaksi sosial fase awal dan comforting klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahayakan.

5. Dimensi spiritual

  Secara spiritual pasien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas tiadak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri, irama sirkardiannya terganggu, karena ia sering tidur larut malam dan bangun sangat siang.

C. Tanda dan Gejala

  Menurut Hamid (2000) dikutip oleh Iyus Yosep (2009): 1.

  Bicara sendiri 2. Senyum sendiri 3. Ketawa sendiri 4. Respon verbal yang lambat 5. Pergerakan mata yang cepat 6. Mudah tersinggung 7. Panik 8. Berusaha untuk menghindari orang lain 9. Ketakutan

  10. Curiga 11.

  Tidak mampu membedakan hayalan dan kenyataan Ekspresi muka tegang 13. Menarik diri dari orang lain 14. Sulit berhubunga dengan orang lain 15. Menggerakkan bibir tanpa suara D.

   Jenis-Jenis Halusinasi

  Adapun jenis-jenis halusinasi dibagi menjadi 8 jenis (Iyus Yosep, 2009): 1.

  Halusinasi pendengaran Paling sering dijumpai dapat berupa bunyi mendengung atau suara bising yang tidak mempunyai arti, tetapi lebih sering terdengar sebagai sebuah kata atau kalimat yang bermakna. Biasanya suara tersebut ditujukkan pada penderita sehingga tidak jarang penderita bertengkar dan berdebat dengan suara-suara tersebut, suara tersebut dapat dirasakan dari jauh atau dekat, bahkan mungkin berasal dari tiap bagian tubuhnya sendiri. Suara biasa menyenangkan, menyuruh berbuat baik, tetapi dapat pula berupa ancaman, mengejek, memaki bahkan mendesak atau memerintah untuk berbuat sesuatu seperti membunuh dan merusak.

  2. Halusinasi penglihatan (visual optik) Lebih terjadi pada keadaan delirium (penyakit organik). Biasanya sering muncul bersamaan dengan penurunan kesadaran, menimbulkan rasa takut akibat gambaran-gambaran yang mengerikan.

  3. Halusinasi penciuman (Olfaktorik) Halusinasi ini biasanya berupa penciuman bau tertentu dan dirasakan tidak sebagai pengalaman yang dianggap penderita sebagai suatu kombinasi moral.

  4. Halusinasi raba (Taktil) Merasa diraba, disentuh, diraba yang bergerak dibawah kulit, terutama pada skizofrenia .

  5. Halusinasi pengecapan (Gustatorik) Walaupun jarang terjadi biasanya bersamaan dengan halusinasi penciuman, penderita merasa mengecap sesuatu.

  6. Halusinasi seksual Penderita merasa diraba dan diperkosa, sering pada skizofrenia dengan waham kebesaran terutama mengenai organ-organ.

  7. Halusinasi kinestetik Penderita merasa badanya bergerak-gerak dalam suatu ruang atau anggota badanya yang bergerak-gerak.

  8. Halusinasi viseral Halusinasi perasaan tertentu di dalam tubuhnya.

E. Patopsikologis

  Individu yang mengalami halusinasi sering kali beranggapan sumber halusinasi itu berasal dari lingkungan. Padahal rangsangan primer adalah kebutuhan perlindungan diri secara psikologik terhadap kejadian traumatik sehubungan dengan rasa bersalah, marah, sepi, ketakutan ditinggal orang yang (Self esteem) dan kebutuhan keluarga dapat meningkatkan kecemasan. Gejala yang dapat meningkatnya kecemasan, kemampuann memisahkan atau mengatur persepsi mengenai perbedaan tentang apa yang dipikirkan dengan perasaan sendiri menurun, sehingga gejala sesuatau yang diartikan berbeda dengan proses rasionalisasi tidak efektif lagi. Hal ini menyebabkan lebih sukar lagi membedakan mana yang berasal dari pikiran sendiri dan lingkungan.

  Adapun rentang respon neurobiologis menurut Struart dan Laria (1998) adalah: Faktor Presipitasi

  Biologi Psikologi Sosial Budaya Stressor persepsi halusinasi

  Biologi Tekanan Lingkungan Pemran gejala Penilaian terhadap stressor Penurunan koping Mekanisme koping

  Menarik diri Proyeksi Regresi Konstruktif

  Retrukstif Rentang respon neurobiologis

  Respon adaptif Respon maladaptif 1.

  Pikiran logis 2. Persepsi tepat 3. Emosi konsisten

  4. Interaksi sosial harmonis

  1. Proses pikir terganggu

  2. Ilusi 3.

  Perilaku yang tidak biasa

  4. Menarik diri 1.

  Gangguan proses pikir

  2. Halusinasi 3.

  Kesukaran proses pikir

  4. Isolasi sosial

F. Pohon masalah

  Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan Efek Gangguan sensori persepsi : Halusinasi dengar / lihat Core Problem

  Isolasi sosial Causa Gangguan konsep diri : Harga diri rendah

  Gambar II. 2 (Keliat, 2005) G.

   Masalah keperawatan

  Menurut Keliat (2005) adalah: 1.

  Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan 2. Gangguan sensori persepsi : halusinasi dengar 3. Isolasi sosial gangguan konsep diri : harga diri rendah 4.

   Intoleransi aktifitas 5.

  Defisit perawatan diri H.

   Diagnosa keperawatan 1.

  Gangguan sensori persepsi halusinasi 2. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan 3.

   Isolasi sosial 4.

  Gangguan konsep diri.

I. Intervensi 1.

  Gangguan sensori persepsi : halusinasi dengar TUK I

  Intervensi : 1.

  Sapa klien dengan ramah 2. Perkenalkan diri dengan sopan 3. Tanyakan nama lengkap dan nama kesukaan klien 4. Jelaskan tujuan pertemuan kepada klien 5. Jujur dan menepati janji 6. Tanyakan kepada klien dan perhatikan kebutuhan klien.

  b.

  TUK II : Klien dapat mengenal halusinasinya Intervensi : 1.

  Adanya kontak sering dan singkat secara bertahap 2. Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya 3. Bantu klien mengenal halusinasinya dengan cara :

  a) Jika menemukan klien yang sedang berhalusinasi tanyakan apakah ada suara yang di dengar b)

  Jika klien menjawab pertanyaan lanjutkan pertanyaan

c) Katakan kepada klien ada klien yang seperti dia.

4. Diskusikan dengan klien tentang :

  a) Situasi yang menimbulkan/hendak menimbulkan halusinasi

  b) Waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi (pagi, siang, sore, malam atau jika sedang sendiri, jengkel, sedih).

5. Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi halusinasi

  (marah, takut, sedih, senang) beri kesempatan klien mengungkapkan c.

  TUK III : Klien dapat mengontrol halusinasinya Intervensi : 1.

  Identifikasi bersama klien tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasi (tidur, marah, sedih dan lain-lain)

  2. Diskusikan manfaat cara yang digunakan klien, jika bermanfaat beri pujian

  3. Diskusikan manfaat cara yang baru untuk memutus/mengontrol halusinasinya: a)

  Menghardik

  b) Menemui perawat atau orang lain untuk diajak ngobrol

c) Membuat jadwal sehari-hari agar halusinasinya tidak muncul.

  4. Beri kesempatan klien untuk melakukan cara-cara yang sudah diajarkan

  5. Anjurkan klien untuk mengikuti terapi identitas kelompok.

  d.

  TUK IV : Klien dapat dukungan dari keluarga dan mengontrol halusinasinya Intervensi : 1.

  Bina hubungan saling percaya dengan menyebutkan nama, tujuan pertemuan dengan sopan dan ramah

  2. Anjurkan klien menceritakan halusinasinya kepada keluarga

  3. Diskusikan dengan keluarga pada saat berkunjung tentang:

  a) Pengertian halusinasi

  Gejala halusinasi yang di alami oleh klien

  c) Cara yang dapat dilakukan klien dan keluarga untuk memutuskan halusinasinya d)

  Cara merawat anggota keluarga yang berhalusinasi dirumah misalnya, beri kegiatan dengan membiarkan sendiri, makan bersama, dan lain-lain.

  e.

  TUK V : Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik Intervensi : 1.

  Diskusikan dengan klien dan keluarga dosis dan frekuensi serta manfaat minum obat

  2. Anjurkan klien meminta obat sendiri pada perawat dan merasakan manfaatnya

  3. Anjurkan klien untuk bicara dengan Dokter tentang manfaat dan efek samping obat

  4. Diskusikan akibat minum obat tanpa konsultasi dengan Dokter 5.

  Bantu klien menggunakan obat dengan prinsip lima benar (benar obat, benar dosis, benar waktu, benar cara, benar prinsip).

2. Isolasi sosial a.

  TUK I : klien dapat membina hubungan saling percaya Intervensi :

  1. Menyapa klien dengan ramah 2.

  Memperkenalkan diri dengan dopan Menanyakan nama lengkap klien dan nama yang disukai 4. Menjelaskan tujuan pertemuan kepada klien.

  b.

  TUK II : Klien dapat mengenal penyebab Isolasi Sosial Intervensi : 1.

  Menkaji pengetahuan klien tentang penyebab Isolasi Sosial 2. Memberikan kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan penyebab Isolasi Sosial

  3. Mendiskusikan bersama klien tentang Perilaku Isolasi Sosial, tanda- tanda yang muncul serta penyebabnya

  4. Memberikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya.

  c.

  TUK III : Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan kerugian jika tidak berhubungan dengan orang lain.

  Intervensi : 1.

  Mengkaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan dengan orang lain

  2. Mendiskusikan bersama tentang manfaat dan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan kerugian jika tidak berhubungan dengan orang lain 3. Memberi pujian positif terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya. d.

  TUK IV : Klien dapat melaksanakan hubungan sosial secara bertahap.

  Intervensi : Mengkaji kemampuan klien dalam membina hubungan dengan orang lain

  2. Memberi pujian positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai 3.

  Membantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan dengan orang lain.

  e.

  TUK V : Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhasil berhubungan dengan orang lain.

  Intervensi : 1.

  Mendorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan dengan orang lain

  2. Mendiskusikan dengan klien tentang manfaat berhubungan dengan orang lain

  3. Memberi pujian positif atas kemampuan klien mengungkapkan, manfaat berhubungan dengan orang lain.

  f.

  TUK VI : Klien dapat memberdayakan sistem pendukung yang ada atau keluarga mampu mengembangkan kemampuan klien untuk berhubungan dengan orang lain. Intervensi : 1.

  Mendiskusikan dengan keluarga tentang perilaku menarik diri, penyebab, akibat, yang terjadi bila perilaku menarik diri tidak ditangani

2. Menganjurkan keluarga secara bergantian menjenguk klien, minimal

  1x seminggu Memberi pujian atas hal-hal yang telah di capai oleh keluarga.