SINTESIS BIOPLASTIK BERBASIS PATI LIMBAH TAPIOKA MENGGUNAKAN FILLER NANO SERAT LIMBAH TAPIOKA DAN ZnO - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bioplastik merupakan polimer alami karena bioplastik dapat dibuat

  dari pati. Pati termasuk salah satu contoh polimer alami. Pati merupakan polimer kondensasi yang terdiri dari ratusan monomer glukosa yang melibatkan molekul air saat glukosa – glukosa tersebut bergabung secara kimiawi.

2.1 Polimer

  Pengertian polimer secara arti kata adalah poly artinya banyak, sedangkan meros adalah bagian. Polimer dapat didefinisikan sebagai suatu molekul besar yang terdiri dari rangkaian unit struktur berulang yang memiliki ikatan kovalen. Proses pembentukan rantai molekul raksasa polimer dari unit-unit molekul terkecilnya (mer atau meros) melibatkan reaksi yang sangat kompleks. Proses polimerisasi tersebut secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua jenis reaksi, yaitu: (1) polimerisasi adisi, dan (2) polimerisasi kondensasi. Reaksi adisi, seperti yang terjadi pada proses pembentukan makro molekul polyethylene dari molekul-molekul etilen, terjadi secara cepat dan tepat tanpa produk samping sehingga sering disebut pula sebagai Pertumbuhan Rantai (Chain Growth). Sedangkan, polimerisasi kondensasi, misalnya terjadi pada pembentukan bakelit dari dua buah mer berbeda, berlangsung tahap demi tahap (Step Growth) dengan menghasilkan produk samping, seperti molekul air yang dikondensasikan keluar.

  Polimer alami adalah polimer yang dihasilkan dari monomer organik seperti pati, karet, kitosan, selulosa, protein dan lignin. Biopolimer banyak diminati oleh industri karena berasal dari sumber daya alam yang dapat diperbarui, biodegradable (dapat diuraikan), mempunyai sifat mekanis yang baik, dan ekonomis. Saat ini, biopolimer banyak diteliti untuk menghasilkan film (plastik) yang dapat menggantikan keberadaan plastik sintetik. Terdapat tiga kelompok biopolimer yang menjadi bahan dasar dalam pembuatan film kemasan biodegradable, yaitu : a) Campuran biopolimer dengan polimer sintetis : film jenis ini dibuat dari campuran granula pati (5 – 20 %) dan polimer sintetis serta bahan tambahan (prooksidan dan autooksidan).Komponen ini memiliki angka biodegradabilitas yang rendah dan biofragmentasi sangat terbatas.

  b) Polimer mikrobiologi (poliester): Biopolimer ini dihasilkan secara bioteknologis atau fermentasi dengan mikroba genus Alcaligenes. Berbagai jenis ini diantaranya polihidroksi butirat (PHB), polihidroksi valerat (PHV), asam polilaktat dan asam poliglikolat. Bahan ini dapat terdegradasi secara penuh oleh bakteri, jamur dan alga. Tetapi karena proses produksi bahan dasarnya yang rumit mengakibatkan harga kemasan biodegradable ini relatif mahal.

  c) Polimer pertanian: biopolimer ini tidak dicampur dengan bahan sintetis dan diperoleh secara murni dari hasil pertanian. Polimer pertanian ini diantaranya selulosa (bagian dari dinding sel tanaman), kitin (pada kulit Crustaceae) dan pullulan (hasil fermentasi pati oleh Pullularia pullulans). Polimer ini memiliki sifat termoplastik, yaitu mempunyai kemampuan untuk dibentuk atau dicetak menjadi film kemasan. Kelebihan dari polimer jenis ini adalah ketersediaan sepanjang tahun (renewable) dan mudah hancur secara alami (biodegradable). Polimer pertanian yang potensial untuk dikembangkan antara lain adalah pati gandum, pati jagung, kentang, casein, zein, consentrate whey dan soy protein.

  Plastik adalah polimer rantai panjang dari atom yang mengikat satu sama lain. Rantai ini membentuk banyak unit molekul berulang, atau "monomer". Istilah plastik mencakup produk polimerisasi sintetik, namun ada beberapa polimer alami yang termasuk plastik. Plastik terbentuk dari kondensasi organik atau penambahan polimer dan bisa juga terbentuk dengan menggunakan zat lain untuk menghasilkan plastik yang ekonomis (Azizah, 2009 dalam Ningsih SW,2010).

  Plastik mempunyai titik didih dan titik leleh yang beragam, hal ini berdasarkan pada monomer pembentukannya. Monomer yang sering digunakan dalam pembuatan plastik adalah propena (C3H6), etena (C2H4), vinil khlorida (CH2), nylon, karbonat (CO3), dan styrene (C8H8).

  Sifat – sifat plastik sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) ditunjukan pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.1. Sifat Mekanik Plastik Sesuai SNI

  No. Karakteristik Nilai

  1. Kuat tarik (MPa) 24,7-302

  2. Persen elongasi (%) 21-220

  3. Hidrofobisitas (%)

  99 Sumber: Darni dan Herti (2010) Berbagai keunggulan plastik sintesis yang tidak dimiliki bahan lainnya adalah fleksibel, transparan, dan harga yang relatif murah. Bahan ini juga memiliki kelemahan-kelemahan misalnya tidak tahan panas dan dapat mencemari produk (migrasi komponen monomer) (Latief, 2001). Dari hal itu akan berakibat negatif terhadap tubuh manusia karena bahan pembuat plastik (polyethilene dll) merupakan zat karsinogen, dampak tidak akan terlihat secara langsung namun dalam jangka panjang. Dampak serius dari penggunaan plastik sintesis adalah bahan yang bersifat non biodegradable (tidak dapat dihancurkan dengan cepat dan alami). Polimer plastik yang tidak mudah terurai secara alami mengakibatkan terjadinya penumpukan limbah dan menjadi penyebab pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Dampak negatif lain yakni tumpukan sampah plastik dapat dihancurkan dengan cara dibakar yang menghasilkan abu yang tidak dapat diuraikan oleh tanah dan asap dapat membangkitkan gas beracun berbahaya bagi makhluk hidup. Selain itu, plastik dalam pembuatannya menggunakan minyak bumi, yang ketersediannya semakin berkurang dan sulit untuk diperbaharui (Latief, 2001).

2.2 Bioplastik

  Perkembangan teknologi polimer plastik telah membawa banyak manfaat dalam kehidupan manusia. Produk-produk barang konsumsi dengan kemasan plastik cenderung terus meningkat seiring dengan semakin meningkatnya konsumsi dan daya beli masyarakat. Konsumsi plastik di Indonesia pada tahun 2013 mencapai 26.000 ton per hari (BBC Indonesia, 2014). Berdasarkan data Jambeck (2015) dalam CNN Indonesia (2016), Indonesia berada di peringkat kedua dunia penghasil sampah plastik ke laut yang mencapai sebesar 187,2 juta ton setelah Cina yang mencapai 262,9 juta ton. Saat ini, sekitar 50% plastik yang beredar di pasaran digunakan hanya untuk satu kali pemakaian. Akibatnya, jumlah sampah yang semakin banyak tidak hanya terjadi di daratan, tetapi juga di sungai, rawa, bahkan laut. Kondisi ini diperburuk dengan kenyataan bahwa plastik-plastik yang digunakan sebagai pembungkus adalah plastik yang tidak bisa diuraikan oleh jazad renik (nonbiodegradable). Oleh karena itu, sisa plastik pembungkus akan menjadi limbah yang berpotensi mencemari tanah dan perairan di Indonesia dan mengancam kehidupan tanaman, hewan dan bahkan manusia.

  Solusi dari permasalahan tersebut adalah bioplastik. Bioplastik merupakan plastik yang dapat diperbaharui karena senyawa senyawa penyusunnya berasal dari tanaman seperti pati, selulosa, dan lignin serta hewan seperti kasein, protein dan lipid (Averous, 2004 dalam Munawaroh, 2015). Plastik biodegradabel terbuat dari bahan yang dapat diperbaharui (renewable) atau campuran antara bahan sintetik (non-reneweble) dan bahan alami. Tak banyak dari jutaan plastik yang digunakan berbahan ramah lingkungan atau disebut dengan bioplastik, kebanyakan plastik yang beredar di masyarakat saat ini adalah plastik sintetik yang terbuat dari bahan minyak bumi yang semakin hari semakin terbatas jumlahnya dan sulit untuk diperbaharui. Permasalahan seperti inilah yang mengakibatkan pencemaran lingkungan sekitar menjadi terganggu, karena banyaknya sampah plastik yang sulit terurai.

2.3 Pati

  Pati merupakan simpanan karbohidrat dalam tumbuh-tumbuhan dan merupakan karbohidrat utama yang dimakan manusia di seluruh dunia. Komposisi amilopektin dan amilosa berbeda dalam pati berbagai bahan makanan. Amilopektin pada umumnya terdapat dalam jumlah lebih besar. Sebagian besar pati mengandung antara 15% dan 35% amilosa. Dalam butiran pati, rantai-rantai amilosa dan amilopektin tersusun dalam bentuk semi kristal, yang menyebabkannya tidak larut dalam air dan memperlambat pencernaannya oleh amilase di pankreas (Almatsier, 2004).

  Pati adalah cadangan makanan utama pada tanaman. Senyawa ini sebenarnya campuran dua polisakarida, yaitu amilosa yang terdiri dari 70 hingga 350 unit glukosa yang berikatan membentuk garis lurus dan amilopektin yang terdiri hingga 100.000 unit glukosa yang berikatan membentuk struktur rantai bercabang. Kira-kira 20% dari pati adalah amilosa. Pati berwarna putih, berbentuk serbuk bukan kristal yang tidak larut dalam air dingin. Tidak seperti monosakarida dan disakarida, pati dan polisakarida lain tidak mempunyai rasa manis. Hidrolisis pati dapat dilakukan oleh asam atau enzim (Gaman dan Sherrington, 1992).

  Pati merupakan bentuk karbohidrat yang ditimbun di dalam tanaman dan sebagai sumber energi pada makanan. Pati terdiri dari rantai molekul-molekul glukosa yang panjang dengan 2 jenis, yaitu amilosa dari rantai molekul glukosa yang panjang dan lurus serta amilopektin yang terdiri dari rantai molekul glukosa yang lebih pendek dan bercabang. Apabila pati dipanasi dengan panas basah atau direbus, butir-butir pati tersebut akan menyerap air dan mengembang dan dinding sel-sel akan pecah (hancur) sehingga lebih mudah dicerna oleh enzim-enzim pencerna. Amilopektin mempunyai sifat koloidal sehingga jika dipanaskan, campuran air dengan pati akan menjadi kental (thickening). (Purba, et al, 1984).

  Pati dapat digolongkan berdasarkan sifat-sifat pasta yang dimasak. Pati serealia (jagung, gandum, beras dan sorghum) membentuk pasta kental yang mengandung bagian-bagian pendek dan pada pendinginan membentuk gel yang buram. Pati akar dan umbi (kentang, ketela dan tapioka) membentuk pasta sangat kental dan mengandung bagian-bagian panjang. Pasta ini biasanya jernih dan pada pendinginan hanya membentuk gel lunak. (deMan, 1997).

  Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilopektin merupakan unit –unit polimerisasi glukosa anhydrous melalui ikatan 1,4 alfa glikosidik dan ikatan cabang alfa 1,6 pada setiap 20-26 unit monomer glukosa (Ulyarti,1997). Amilopektin pada pati memiliki sekitar 200 unit glukosa yang saling berikatan pada ikatan 1,4 alfa glikosidik yang panjang dan cenderung berbentuk heliks. Struktur cabang amilopektin merupakan hasil enzim yang memecah rantai linier yang panjang.dan fraksi yang tidak terlarut amilosa adalah polimer dari glukosa yang tidak larut dalam air, berwujud bubuk putih dan tidak berbau. Amilosa merupakan bagian polimer linier glukosa dengan alfa (1- 4) unit glukosa. Amilosa memiliki berat molekul yang berbeda, tergantung dari jenisnya. Amilosa memiliki kemampuan untuk membentuk ikatan hidrogen dan retrogradasi (Ulyarti,1997).Struktur amilosa dapat dilihat pada Gambar 1 dan amilopektin pada Gambar 2.

Gambar 2.1. Struktur Kimia Amilosa (Hanfa Z., Quanzhou L.,

  Dongmei Z.,2001)

Gambar 2.2 Struktur Kimia Amilopektin (Hanfa Z., Quanzhou

  L.,Dongmei Z., 2001) Apabila pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin, granula patinya akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas. Air yang terserap tersebut hanya dapat mencapai 30%. Peningkatan volume granula pati yang terjadi di dalam air pada suhu antara 55 C sampai 65 C merupakan pembengkakan yang sesungguhnya, dan setelah pembengkakan ini granula pati dapat kembali pada kondisi semula. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa, tetapi bersifat tidak dapat kembali lagi pada kondisi semula. Perubahan tersebut dinamakan gelatinisasi. Suhu gelatinisasi tergantung pada konsentrasi pati. Makin kental larutan, suhu tersebut makin lambat tercapai, sampai suhu tertentu kekentalan tidak bertambah, bahkan kadang-kadang turun (Winarno, 1997). Proses gelatinisasi dikarenakan terjadinya reaksi hidrolisis pati yang menghasilkan glukosa . Berikut persamaan reaksinya :

   O

  (ܥ ܪ ܱ )n + n ܪ nܥ ܪ ܱ

  ଺ ଵ଴ ହ ଶ ଺ ଵଶ ଺

  Pada fraksinasi diketahui kandungan amilosa pati hanya sedikit, perbadingan amilosa : amilopektin sekitar 1 : 3. beberapa varietas genetik dari jagung, barley dan beras tidak mempunyai amilosa tetapi hanya amilopektin. Namun lebih banyak jenis kacang polong, jagung dan barley yang mempunyai karakteristik genotip dengan kandungan amilosa yang tinggi (60- 80%) (Whistler, et al, 1984).

  Beberapa sifat pati adalah mempunyai rasa yang tidak manis, tidak larut dalam air dingin tetapi di dalam air panas dapat membentuk gel atau sol yang bersifat kental. Sifat kekentalannya ini dapat digunakan untuk mengatur tekstur makanan dan sifat gelnya dapat diubah oleh gula atau asam. Penguraian tidak sempurna dari pati dapat menghasilkan dekstrin yaitu suatu bentuk oligosakarida (Winarno, et al, 1980).

  Meskipun suatu gel adalah sistem dispersi koloid zat cair dalam zat padat namun tidak berarti zat cair sebagai fase dispersinya harus lebih sedikit daripada zat padat sebagai medium dispersi. Pada kenyataannya malah dijumpai bahwa persentase zat padat pada hampir semua gel adalah jauh lebih kecil dari pada persentase zat cairnya. Semua gel mempunyai konsistensi padat atau hampir padat dengan harga plastisitas yang tinggi. Dan gel pati merupakan golongan gel elastis, reversibel yang dapat kembali membentuk sol (Sulaiman, 1995).

  Pati dalam bahan pangan terdapat dalam bentuk granula, yaitu tempat dimana amilosa dan amilopektin berada. Granula pati berbeda-beda ukuran dan bentuknya, tergantung sumber atau asal patinya. Bentuk dan ukuran pati ini dapat dibedakan satu sama lain secara mikroskopis. Granula pati memiliki sifat birefringence, yaitu sifat yang mampu merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga terlihat kontras gelap terang yang tampak sebagai warna biru-kuning. Sifat ini akan terlihat bila granula pati diamati di bawah mikroskop polarisasi. Sifat birefringence ini akan hilang apabila granula pati mengalami gelatinisasi (Murano 2003).

  Perbedaan ukuran diameter granula (~1 – 100 μm), bentuk (bulat,bersudut/lentikular, poligonal), tingkat penyebaran, asosiasi sebagai satuan 10 tunggal atau kumpulan granula, dan komposisi (kandungan α- glukan, lemak,air, protein, dan mineral) menentukan asal botaninya (Tester dan Karkalas ,2002).

2.4 Limbah Padat Tapioka

  Dalam industri pangan, limbah dapat menimbulkan masalah bagi lingkungan. Limbah industri pangan juga dapat menimbulkan masalah dalam penanganannya karena mengandung sejumlah besar karbohidrat, protein, lemak, garam-garam mineral dan sisa-sisa bahan kimia yang digunakan dalam pengolahan dan pembersihan. Pada umumnya, limbah industri pangan tidak membahayakan kesehatan masyarakat, karena tidak terlibat langsung dalam perpindahan penyakit. Akan tetapi kandungan bahan organiknya yang tinggi dapat bertindak sebagai sumber makanan untuk pertumbuhan mikroba. Banyak contoh limbah industri pangan yang menimbulkan pemcemaran lingkungan, salah satu contohnya adalah limbah industri tapioka. Industri tapioka mengolah singkong sebagai bahan baku utama menjadi tepung tapioka. Di Indonesia industri tepung tapioka tersebar di beberapa daerah antara lain; Kediri, Madiun, Pati, Banyumas, Kuningan, Garut, dan Ciamis.

  Limbah industri tapioka terdiri dari dua jenis, yaitu limbah cair dan limbah padat. Limbah cair akan mencemari air, sedangkan limbah padat akan menimbulkan bau yang tidak sedap, apabila tidak ditangani dengan tepat. Onggok tapioka merupakan limbah padat industri tapioka yang berupa ampas hasil ekstraksi dari pengolahan tepung tapioka. Onggok tapioka merupakan limbah industri pangan yang jumlahnya sangat banyak dan akan menjadi polusi bila tidak segera ditangani. Oleh karena itu diperlukan usaha untuk memanfaatkan onggok tapioka dengan mengolahnya kembali menjadi suatu produk, sehingga pencemaran lingkungan dapat berkurang dan nilai guna onggok dapat meningkat. Pengolahan onggok tapioka menjadi bioplastik merupakan suatu cara alternatif penanganan limbah secara efektif, karena dapat mengurangi pencemaran lingkungan dan meningkatkan nilai guna serta nilai ekonomis onggok.

  Pati limbah padat tapioka merupakan salah satu jenis pati yang dapat digunakan sebagai bahan baku kemasan ramah lingkungan. Film berbahan dasar pati merupakan salah satu jenis bioplastik yang memiliki kelemahan yang mendasar, antara lain bersifat higroskopis dan sifat mekanisnya lebih buruk dibandingkan dengan plastik konvensional. Pemanfaatan serat sebagai bahan pengisi diharapkan dapat berperan untuk memperbaiki sifat fisik dan mekanis film berbasis pati. Hal ini didasarkan dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa serat selulosa dapat digunakan sebagai penguat pada berbagai polimer antara lain polietilen (Prachayawarakorn et al., 2010), karet alam (Pasquini et al., 2010), dan polipropilen (Reddy dan Yang, 2009). Penggunaan serat asal limbah pertanian selain menjadi alternatif pemanfaatan limbah, juga diharapkan dapat mengurangi eksploitasi hutan untuk memenuhi kebutuhan serat alam bagi industri. Selain itu, limbah pengolahan hasil industri pada umumnya juga mengandung sedikit lignin karena sudah terbuang pada proses pengolahan, sehingga memudahkan dalam mengekstraksi serat. Salah satu sumber serat yang berasal dari limbah industri pertanian adalah ampas tapioka (onggok).

  Ampas tapioka merupakan sisa ekstraksi industri tapioka. Ekstraksi tapioka dari 100 kg ubi kayu menghasilkan tapioka kasar sekitar 22 kg dan limbah padat berupa ampas sebanyak 54,5 kg (Fauzi et al., 2010). Ampas tapioka hasil samping industri tapioka di Indonesia di tahun 2011 mencapai 11.328.986 kg (BPS, 2013). Komponen utama ampas tapioka adalah pati sisa ekstraksi (± 60% basis kering) dan serat (±18 % basis kering) (Rattanachomsri et al., 2009).

Tabel 2.2 Komposisi Ampas Ubi Kayu/ Singkong (Onggok)

2.5 Gliserol

   Plasticizer gliserol digunakan untuk meningkatkan elastisitas suatu

  material dan meningkatkan sifat ekstensibilitas material. Plasticizer dapat menurunkan gaya intermolekul dan meningkatkan fleksibilitas dengan memperlebar ruang kosong yang dapat membuat ikatan hidrogen melemah. Pada pembuatan plastik biodegradable, plasticizer yang sering digunakan adalah gliserol dan sorbitol. Gliserol merupakan hasil samping dari pembuatan biodiesel. Gliserol adalah senyawa turunan alkohol yang memiliki tiga gugus alkohol (-OH) yang terikat pada 3 gugus alkil. Gliserol merupakan hasil samping dari proses pembuatan biodiesel melalui proses transesterifikasi. Gliserol memiliki rasa manis dan tidak berbau. Gliserol merupakan plasticizer yang efektif karena memiliki kemampuan untuk mengurangi ikatan hidrogen internal pada ikatan intermolecular. Pada pengaplikasiannya, penggunaan plasticizer harus disesuaikan dengan kebutuhan material yang akan dibuat, jika pemakaian plasticizer terlalu banyak, maka akan menurunkan sifat mekanis dari plastik biodegradable dan menaikkan persentase elongation of break. Semakin banyak penggunaan

  plasticizer maka akan meningkatkan kelarutannya. Begitu juga dengan

  penggunaan plasticizer yang bersifat hidrofilik berfungsi untuk menurunkan kekakuan pada molekul plastik. Konsentrasi gliserol yang terlalu tinggi juga akan memberi efek negative terhadap plastik yang dihasilkan, yaitu plastik akan mudah sobek karena sifat elastis dari plastik yang terlalu besar.

  2.6 Nano Serat

  Perkembangan aplikasi nanoteknologi di berbagai bidang, menarik peneliti untuk mengisolasi serat berukuran nano. Penggunaan nanoserat selulosa dalam film tapioka diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penguatan akibat perubahan sifat fungsional bahan, terkait dengan perubahan sifat dispersinya (Lin et al., 2009) dan peningkatan luas permukaan total bahan pengisi yang dapat memfasilitasi terbentuknya interaksi yang lebih besar dengan bahan lain (Liang dan Pearson, 2009). Menurut penelitian Wicaksono, dkk (2013) bahwa penambahan nanoserat selulosa dapat meningkatkan kuat tarik bioplastik tepung tapioka. Kuat tarik tertinggi film dicapai pada penambahan nanoserat selulosa 3% (22,41 MPa). Penggunaan nanoserat selulosa sampai 3% tidak berpengaruh terhadap pemanjangan putus bioplastik. Berdasarkan uraian tersebut, maka serat yang berasal dari ampas tapioka berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku industri untuk produk tertentu, misalnya sebagai bahan penguat plastik.

  2.6 ZnO

  Bahan alami seperti pati sebagai bahan pembuat plastik biodegradabel mempunyai beberapa kelemahan antara lain sifat mekanik yang rendah, tidak tahan terhadap suhu tinggi, getas, sifat alir yang sangat rendah dan bersifat hidrofilik (Mbey, 2012). Untuk menutupi kelemahan bahan alami sebagai bahan pembuat plastik biodegradabel adalah mencampurkannya dengan bahan sintetis . Pencampuran polimer alami dan sintetis diharapkan produk yang dihasilkan mempunyai sifat fisik mekanik yang tidak jauh berbeda dengan plastik konvensional dan limbah atau sampah dapat terdegradasi oleh lingkungan. Pada penelitian ini menggunakan

  zinc oxide sebagai bahan sintetis dalam pembuatan bioplastik yang berfungsi sebagai penguat.

  ZnO merupakan salah satu penguat logam yang sering digunakan karena ZnO adalah keramik piezoelektrik dan bersifat anti mikroba (Wang, 2007). Penambahan zinc oxide juga dapat meningkatkan sifat kemasan seperti kekuatan mekanik, sifat barier, dan stabilitas. Zinc oxide (ZnO) memiliki rasio luas permukaan dan volume yang besar, secara kimia dapat mengubah sifat fisik, meningkatkan reaktivitas permukaan, sifat termal, mekanik, dan elektrik yang unik, stabil terhadap panas, dan secara umum aman (GRAS) menurut FDA. Zinc oxide dapat ditambahkan pada beberapa polimer untuk memproduksi kemasan nanokomposit antimikroba (Kanmani & Rhim 2014). Menurut penelitian Amni, dkk (2015) bahwa nilai kuat tarik tertinggi diperoleh pada konsentrasi 9% ZnO yaitu 0,32 kgf/mm2.

Gambar 3.1 Molekul Zinc Oxide

  Sumber : http//www.webelements.com/compound/zinc/zinc_oxide.html