SINTESIS BIOKOMPOSIT POLIPROPILENA MENGGUNAKAN FILLER SERAT KENAF SERTA SENYAWA PENGHAMBAT NYALA

SINTESIS BIOKOMPOSIT POLIPROPILENA MENGGUNAKAN FILLER SERAT KENAF SERTA SENYAWA PENGHAMBAT NYALA

Disusun oleh

NINDYA ASTASARI PRATAMA

M 0305007

SKRIPSI

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Sains Kimia

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

HALAMAN PENGESAHAN

Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta telah mengesahkan skripsi mahasiswa :

Nindya Astasari Pratama, M 0305007 dengan judul “Sintesis Biokomposit Polipropilena Menggunakan Filler Serat Kenaf serta Senyawa Penghambat Nyala”

Skripsi ini dibimbing oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Neng Sri Suharty, M.S.,Ph.D Drs. Sudirman, M.Si., APU NIP. 19490816 198103 2001

NIP. 19620518 198603 1006

Dipertahankan di depan Tim Penguji Skripsi pada :

Anggota Tim Penguji :

1. Dr.Rer.nat. Fajar Rakhman Wibowo, M.Si

NIP. 19730605 200003 1001

2. Candra Purnawan, M.Sc

NIP. 19781228 200501 1001

Ketua Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta

Prof. Drs. Sentot Budi Rahardjo, Ph.D NIP. 19560507 198601 1001

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skipsi saya yang berjudul SINTESIS BIOKOMPOSIT POLIPROPILENA MENGGUNAKAN FILLER SERAT KENAF SERTA SENYAWA PENGHAMBAT NYALA adalah benar-benar hasil penelitian sendiri dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat kerja atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, Mei 2010

NINDYA ASTASARI PRATAMA

SINTESIS BIOKOMPOSIT POLIPROPILENA MENGGUNAKAN FILLER SERAT KENAF SERTA SENYAWA PENGHAMBAT NYALA

NINDYA ASTASARI PRATAMA Jurusan Kimia. Fakultas MIPA. Universitas Sebelas Maret

ABSTRAK

Polipropilena (PP) yang dipergunakan dalam penelitian adalah limbah cup kemasan air minum. Limbah polipropilena (LPP) yang melimpah tersebut menyebabkan pencemaran lingkungan karena LPP tidak dapat terdegradasi secara alami. Salah satu cara mengatasi permasalahan tersebut, LPP diubah menjadi material baru biokomposit dengan mempergunakan bahan pengisi serat kenaf (SK), penggandeng asam akrilat (AA), dan penyambung silang divinil bensena (DVB). Biokomposit yang terbentuk dikarakterisasi secara kimia dengan menggunakan FT-IR untuk mengetahui keberhasilan ikatan esterifikasi antara AA dan SK. Komposisi optimum biokomposit tersebut didasarkan pada sifat mekanik, kuat tarik (Tensile Strength, TS) dengan menggunakan tensometer dan indeks alir leleh (Melt Flow Index, MFI) menggunakan melt flow indexer. Kemampuan biodegradasi biokomposit diketahui dengan terjadinya pengurangan berat setelah penguburan pada media tanah sampah dicampur dengan kotoran sapi selama 4 x

30 hari. Sintesis biokomposit LPP/DVB/AA/SK diproses secara reaktif dalam medium xilena. Variasi rasio LPP/SK adalah 10/0; 9/1; 8/2; 7/3; dan 6/4 (w/w). Komposisi optimum biokomposit adalah LPP/SK = 8/2, yang meningkatkan TS sebesar 12%, menurunkan MFI 71%, dan meningkatkan kemampuan biodegradasi 5,8% dibandingkan senyawa awal LPP.

LPP dan biokomposit LPP/DVB/AA/SK adalah polimer yang mudah terbakar, untuk mengurangi sifat tersebut maka ditambahkan senyawa penghambat nyala, dalam hal ini ditambahkan nano CaCO 3 (nCC) dan diamonium fosfat (DAP). Sintesis biokomposit LPP/DVB/AA/SK/nCC/DAP diproses secara reaktif dalam media xilena yang mengandung senyawa penghambat nyala (nCC dan DAP) sebesar 20%. Variasi rasio nCC/DAP adalah 2/2; 2/3; 2/4; 2/5; dan 2/6 (w/w). Kemampuan hambat nyala dari biokomposit yang terbentuk diuji dengan uji nyala secara horizontal mengikuti ASTM D-635 dan kemampuan hambat nyala tertinggi diperoleh pada rasio nCC/DAP = 2/4 (w/w). Komposisi optimum senyawa penghambat nyala ditunjukkan dengan peningkatan waktu respon pembentukan nyala 107% dan kecepatan pembakaran yang 52% lebih rendah dibandingkan biokomposit tanpa senyawa penghambat nyala.

Kata kunci : limbah polipropilena, serat kenaf, senyawa penghambat nyala

THE SYNTHESIS OF BIOCOMPOSITES POLYPROPYLENE USED KENAF FIBRE FILLER WITH FLAME RETARDANT

NINDYA ASTASARI PRATAMA Department of Chemistry. Mathematic and Science Faculty. Sebelas Maret University

ABSTRACT

Polypropylene (PP) used in this research was waste of cup drinking water packaging (PP waste). Those abundant polypropylene waste (PPw) is causing environmental contamination due to the PPw can not be degraded naturally. One of alternative to overcome this problems, the PPw were changed to a new material biocomposite using kenaf fibre (KF) as filler, coupling agent acrylic acid (AA), and crosslinker divinil benzene (DVB). The biocomposite formed was characterized chemically by using FT-IR to know the success binding of esterification between AA and KF. The optimum composition of biocomposites was based on the mechanical property, tensile strength (TS) by using tensometer and melt flow index (MFI) using melt flow indexer. Biodegradability of biocomposites was known from losing weight (LW) after burial test in the mixture of garbage dump land and cow feces during 4 x 30 days.

Synthesis of biocomposites PPw/DVB/AA/KF was reactively proccessed in xylene medium. The PPw/KF ratio were varied 10/0; 9/1; 8/2; 7/3; and 6/4 (w/w). The optimum composition of biocomposite is found PPw/KF = 8/2, which could increase the TS up to 12%, decrease the MFI 71%, and arise the biodegradability up to 5,8% compared to the starting material PPw.

Both the PPw and biocomposites PPw/DVB/AA/KF are flammable, to reduce that properties some flame retardant, in this case nano CaCO 3 (nCC) and diammonium phosphate (DAP), were added. Synthesis biocomposites PPw/DVB/AA/KF/nCC/DAP was reactively proccessed in xylene medium containing 20% of flame retardant (nCC and DAP). The nCC/DAP ratio were varied 2/2; 2/3; 2/4; 2/5; and 2/6 (w/w). Flammability of biocomposites formed was examined by horizontal burning test according to ASTM D-635 and the highest unflammability is obtained at the ratio nCC/DAP = 2/4 (w/w). In the present of optimum composition flame retardant is found that the flaming respond time increase up to 107% and the burning rate 52% lower compared to the biocomposite without flame retardant.

Kata kunci : recycled polypropylene, kenaf fibre, flame retardant

MOTTO

”Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Filipi 4:13)

”Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!” (Yeremia 17:7)

PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan kepada :

Jesus Christ, You are my best Father!

Papa dan mamaku yang selalu mendoakan yang terbaik dan memberikan pelajaran yang berharga dalam kehidupanku

Adikku satu-satunya. Terimakasih buat lagu-lagu yang diputar untuk menemaniku, terimakasih buat doanya, terimakasih buat pelajarannya menjadi orang yang tabah. You are my best sister!

My dearest, giraffe….terimakasih buat kameranya, terimakasih buat makan-makan dan jalan-jalannya... KATA PENGANTAR

Penulis mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala pertolonganNya selama menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dari banyak pihak, sehingga penulis juga mengucapkan terimakasih kepada :

1. Prof. Sentot Budi Rahardjo, Ph.D selaku Ketua Jurusan Kimia FMIPA UNS

2. Prof. Neng Sri Suharty, M.S., Ph.D selaku pembimbing I yang telah membimbing dan memberikan banyak ilmu dalam penulisan skripsi ini

3. Drs. Sudirman, M.Si., APU selaku pembimbing II yang telah membimbing dan memberikan masukan-masukan dalam penulisan skripsi ini

4. Achmad Ainurofiq, M.Si., Apt selaku Pembimbing Akademis

5. I.F. Nurcahyo, M.Si selaku Ketua Laboratorium Kimia FMIPA UNS

6. Para bapak dan ibu dosen Jurusan Kimia FMIPA UNS

7. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu Penelitian ini merupakan bagian dari projek penelitian “Rekayasa Bio-

Nanokomposit Berkekuatan dan Ketahanan Nyala Api Tinggi untuk Kabin Kendaraan Umum” dengan nomor kontrak 2881/H27/KU/2010, tertanggal 14 April 2010 yang didanai DIKNAS atas nama Prof. Neng Sri Suharty, M.S., Ph.D. Berkaitan dengan hal tersebut maka penggandaan atau pengambilan segala sesuatu dari penelitian ini harus seijin Prof. Neng Sri Suharty, M.S., Ph.D sebagai pemilik projek penelitian.

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakannya. Namun demikian, penulis berharap semoga tulisan skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Surakarta, Mei 2010

Nindya Astasari Pratama

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ........................................................................................

i HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................

ii HALAMAN PERNYATAAN .........................................................................

iii HALAMAN ABSTRAK ..................................................................................

iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.

(a) Struktur propena dan polipropilena (Sopyan, 2001); (b) Label plastik jenis PP; (c) Foto bagian bawah gelas AMDK.........................................................................................

9 Gambar 2.

Tanaman kenaf ............................................................................

Gambar 3. (a) Struktur selulosa; (b) Struktur selulosa yang saling berikatan (bentuk cincin); (c) Struktur selulosa yang saling berikatan (bentuk kursi) ............................................................................

12 Gambar 4.

(a) Reaksi pembakaran; (b) Segitiga api ....................................... 13 Gambar 5. Pembentukan radikal pada : (a) BPO; (b) PP; (c) selulosa (Carlsson, 2005) ........................................................................

16 Gambar 6.

(a) Struktur asam akrilat; (b) Pembentukan radikal pada asam akrilat .......................................................................................

18 Gambar 7.

19 Gambar 8.

Pembentukan radikal pada divinil bensena ..............................

19 Gambar 9.

Skema kemungkinan reaksi yang terjadi ...................................

(a) Rangkaian alat metode larutan; (b) Internal mixer ................. 20 Gambar 10. Struktur xilena..........................................................................

21 Gambar 11. Spesimen uji kuat tarik .............................................................

22 Gambar 12. Termogram DTA (Sopyan, 2001) ................................................ 24 Gambar 13. Ilustrasi reaksi pada biodegradasi biokomposit ............................ 26 Gambar 14. (a) Spesimen uji kemampuan hambat nyala; (b) Pengamatan

27 Gambar 15. Spektrum FT-IR: (a) LPP (film), (b) DVB (neat liquid), (c) AA (neat liquid ), (d) SK (pelet KBr), dan (e) Biokomposit LPP/DVB/AA/SK (Formula I) (film).......................................

fisik selama uji nyala .................................................................

45 Gambar 16. Termogram DTA : (a) LPP, (b) SK, (c) Biokomposit LPP/DVB/AA/SK (Formula I) ...................................................

47 Gambar 17. Diagram indeks alir leleh (MFI) dari LPP sebagi pembanding dan biokomposit LPP/DVB/AA/SK (Formula I) pada rasio LPP/SK 9/1 (L2), 8/2 (L3), 7/3 (L4), dan 6/4 (L5) ..................... 49

Gambar 18. Diagram nilai kuat tarik (TS) LPP sebagai pembanding dan biokomposit LPP/DVB/AA/SK (Formula I) pada rasio LPP/SK 9/1 (L2), 8/2 (L3), 7/3 (L4), dan 6/4 (L5) ..................................... 50

Gambar 19. Spektrum FT-IR: (a) Biokomposit LPP/DVB/AA/SK (Formula I),

(b) Senyawa

Biokomposit LPP/DVB/AA/SK/CaCO 3 (Formula II) ........................................ 52 Gambar 20. Termogram DTA senyawa CaCO 3 dan biokomposit LPP/DVB/AA/SK/CaCO 3 (Formula II) ....................................... 54 Gambar 21. Difraktogram biokomposit LPP/DVB/AA/SK/CaCO 3 (Formula

III) dan data pembanding CaCO 3 ...............................................

Gambar 22. Diagram

biokomposit LPP/DVB/AA/SK/CCpa

IIA) dan LPP/DVB/AA/SK/nCC (Formula IIB) yang terdiri dari : (a) CCpa 6% (L 6A) dan nCC 6% (L 6B), (b) CCpa 7% (L 7A) dan nCC 7% (L 7B), (c) CCpa 8% (L 8A) dan nCC 8% (L 8B), (d) CCpa 9% (L 9A) dan nCC 9% (L 9B), (e) CCpa 10% (L 10A) dan nCC 10% (L 10B) .............................................................

(Formula

Gambar 23. Diagram evaluasi persen pengurangan berat dari LPP dan biokomposit LPP/DVB/AA/SK pada rasio LPP/SK 8/2 (L3) pada uji biodegradasi bulan I, II, III, dan IV ................................ 58

Gambar 24. Diagram prosentase pengurangan berat dari biokomposit LPP/DVB/AA/SK/CCpa

IIA) dan LPP/DVB/AA/SK/nCC (Formula IIB) yang terdiri dari : (a) CCpa 6% (L 6A) dan nCC 6% (L 6B), (b) CCpa 7% (L 7A) dan nCC 7% (L 7B), (c) CCpa 8% (L 8A) dan nCC 8% (L 8B), (d) CCpa 9% (L 9A) dan nCC 9% (L 9B), (e) CCpa 10% (L 10A) dan nCC 10% (L 10B) setelah uji biodegradasi selama 4 bulan ..........................................................................................

(Formula

59 Gambar 25. Fotomikrografi perbesaran 160 x dari LPP dan biokomposit LPP/DVB/AA/SK pada rasio LPP/SK 8/2 (L3) sebelum dan sesudah penguburan 4 kali 30 hari.............................................

60 Gambar 26. Diagram waktu respon pembentukan nyala dari biokomposit LPP/DVB/AA/SK pada rasio LPP/SK 8/2 (L3) sebagai pembanding, LPP/DVB/AA/SK/CCpa (Formula IIIA) yang terdiri dari CCpa/DAP = 2/2; 2/3; 2/4; 2/5; dan 2/6 (w/w), dan LPP/DVB/AA/SK/nCC (Formula IIIB) yang terdiri dari nCC/DAP = 2/2; 2/3; 2/4; 2/5; dan 2/6 (w/w) ............................. 62

Gambar 27. Diagram

biokomposit LPP/DVB/AA/SK pada rasio LPP/SK 8/2 (L3) sebagai pembanding, LPP/DVB/AA/SK/CCpa (Formula IIIA) yang terdiri dari CCpa/DAP = 2/2; 2/3; 2/4; 2/5; dan 2/6 (w/w), dan LPP/DVB/AA/SK/nCC (Formula IIIB) yang terdiri dari nCC/DAP = 2/2; 2/3; 2/4; 2/5; dan 2/6 (w/w) ............................. 64

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Bagan Alir Preparasi LPP .......................................................... 73

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Plastik merupakan polimer buatan yang memiliki kelebihan yaitu ringan, praktis, dan harganya relatif murah. Kelebihan yang dimiliki oleh plastik tersebut menyebabkan masyarakat masa kini menggunakannya sebagai pembungkus makanan dan minuman. Air mineral adalah salah satu contoh minuman dengan pembungkus berbahan plastik. Kebutuhan akan air mineral dalam kemasan tercukupi dalam berbagai jenis bentuk ukuran Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) seperti galon (19 L) berbahan polikarbonat, botol (1.500 mL dan 600 mL) berbahan polyethyene terephthalate, dan cup (240 mL) berbahan polipropilena. Soentantini (2007) melaporkan bahwa dari 12 miliar liter kebutuhan air mineral di Indonesia pada tahun 2006, 60% dalam kemasan galon, 25% dalam kemasan botol, dan dalam kemasan cup sebesar 15%. Jumlah dan prosentase tersebut berarti produksi kemasan galon sebesar 397 juta buah dan kemasan botol sebesar 5 miliar buah, dimana kedua jenis kemasan tersebut umumnya dapat digunakan kembali setelah dipakai. Bentuk kemasan cup yang

9 diproduksi sebesar 7,5 miliar buah (7,5 x 10 4 x 4 gram/cup = 3 x 10 ton), kemasan tersebut umumnya hanya digunakan sekali pakai kemudian langsung

dibuang menjadi sumber limbah polipropilena (LPP). Limbah polipropilena (LPP) merupakan limbah plastik yang pada umumnya tidak dapat terbiodegradasi secara alami sehingga keberadaannya di lingkungan dapat menghambat kinerja mikroorganisme dalam proses pembusukan sampah didalam tanah. Permasalahan lingkungan yang timbul karena LPP tersebut perlu dicari penyelesaiannya.

Beberapa tahun terakhir ini telah dikembangkan alternatif pemecahan masalah sampah plastik yang tidak terbiodegradasi dengan membuatnya menjadi plastik biodegradabel dengan penambahan serat alam. Kim et. al. (2005) membuat komposit polibutilen suksinat (PBS) dengan abu sekam padi atau serbuk kayu secara proses metode lebur menggunakan internal mixer dihasilkan suatu biokomposit yang biodegradabel dan sifat mekaniknya meningkat. Suharty dan

Firdaus (2007) membuat biokomposit dari polistirena limbah (PSL) dengan penguat serat alam serbuk kayu sengon (SS) secara proses metode larutan dan dihasilkan biokomposit yang memilki kemampuan biodegradasi yang baik. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa terdapat peningkatan sifat mekanik

dengan sintesis biokomposit secara reaktif. Suharty et. al. (2008 a ) melakukan sintesis biokomposit polipropilena (PP) dengan bahan pengisi serbuk bambu (SB)

secara reaktif menggunakan metode proses larutan yang dapat meningkatkan sifat mekanik serta kemampuan biodegradasi biokomposit. Suharty et. al. (2007 b )

melakukan sintesis biokomposit biodegradabel menggunakan polipropilena (PP) dengan bahan pengisi serbuk sekam padi (SSP) dan pemlastis crude palm oil (CPO) secara reaktif menggunakan agen penyambung silang trimetilol propana triakrilat (TMPTA). Penelitian tersebut melaporkan bahwa penggunaan penyambung silang dapat meningkatkan rasio SSP/PP dalam mencapai kondisi optimum sifat mekanik dan biodegradasinya dibanding biokomposit tanpa TMPTA. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan di atas menunjukkan bahwa sintesis biokomposit dengan bahan pengisi serat alam dapat meningkatkan sifat mekanik dan kemampuan biodegradasi polimer buatan sebagai bahan awal.

Salah satu jenis serat alam yang dapat dijumpai di Indonesia adalah serat kenaf (SK), yaitu serat dari tanaman kenaf yang dapat tumbuh subur di daerah tropis seperti Indonesia. Pemanfaatan serat kenaf di Inonesia masih terbatas sebagai bahan pembuat tali tambang dan karung goni yang saat ini sudah mulai tergantikan oleh bahan plastik sehingga kurang meningkatkan nilai ekonominya. Salah satu cara untuk meningkatkan nilai ekonomi dari serat kenaf adalah dengan memanfaatkannya sebagai bahan pengisi dalam suatu komposit. Sejak tahun 1930 Henry Ford telah menggunakan serat kenaf sebagai bahan penguat komposit untuk salah satu komponen mobil BMW dan Mercedes (Mwaikambo, 2006). Penggunaan komposit berpenguat serat kenaf sebagai salah satu komponen kendaraan bermotor membuat berat kendaraan menjadi lebih ringan dibandingkan dengan kendaraan yang komponennya berupa logam, sehingga bila pada kapasitas muatan yang sama berat maka kendaraan yang mempergunakan komponen komposit membutuhkan bahan bakar yang lebih sedikit. Oleh karena itu, Salah satu jenis serat alam yang dapat dijumpai di Indonesia adalah serat kenaf (SK), yaitu serat dari tanaman kenaf yang dapat tumbuh subur di daerah tropis seperti Indonesia. Pemanfaatan serat kenaf di Inonesia masih terbatas sebagai bahan pembuat tali tambang dan karung goni yang saat ini sudah mulai tergantikan oleh bahan plastik sehingga kurang meningkatkan nilai ekonominya. Salah satu cara untuk meningkatkan nilai ekonomi dari serat kenaf adalah dengan memanfaatkannya sebagai bahan pengisi dalam suatu komposit. Sejak tahun 1930 Henry Ford telah menggunakan serat kenaf sebagai bahan penguat komposit untuk salah satu komponen mobil BMW dan Mercedes (Mwaikambo, 2006). Penggunaan komposit berpenguat serat kenaf sebagai salah satu komponen kendaraan bermotor membuat berat kendaraan menjadi lebih ringan dibandingkan dengan kendaraan yang komponennya berupa logam, sehingga bila pada kapasitas muatan yang sama berat maka kendaraan yang mempergunakan komponen komposit membutuhkan bahan bakar yang lebih sedikit. Oleh karena itu,

Biokomposit dari polimer buatan dengan bahan pengisi serat alam dapat ditingkatkan kemampuan hambat nyalanya dengan penambahan senyawa penghambat nyala. Tesoro (1978) melaporkan salah satu golongan senyawa penghambat nyala adalah asam anorganik dan garamnya, contohnya garam amonium dari sulfat, fosfat, dan asam borat. Penelitian lain dilakukan oleh Liodaks and Antonopoulos (2006) dengan membandingkan senyawa penghambat nyala diamonium fosfat, amonium sulfat, dan magnesium karbonat terhadap kemampuan nyala pada serat alam, menghasilkan suatu kesimpulan bahwa diamonium fosfat dan amonium sulfat adalah penghambat nyala yang efektif. Marton (2004) menyatakan bahwa efektifitas kemampuan menghambat nyala dalam suatu komposit dapat ditingkatkan dengan menambahkan nanopartikel sehingga menjadi suatu nanokomposit. Paul and Robenson (2008) memberikan laporan mengenai nanokomposit, dimana nano-geopolimer telah dimanfaatkan sebagai bahan pembuat nanokomposit yang memilki kemampuan penghambat nyala. Penelitian yang dilakukan oleh Patra et. al. (2005) menambahkan suatu

nanopartikel dari CaCO 3 sehingga dihasilkan nanokomposit yang memiliki kemampuan hambat nyala yang lebih tinggi dibanding bahan awal. Tang et. al. (2004) membuat campuran polipropilena dengan montmorilonit dan CaCO 3 yang memilki kemampuan hambat nyala yang baik, dalam penelitian tersebut juga dilaporkan bahwa sifat mekanik yang lebih baik ditunjukkan oleh bahan dengan penambahan senyawa berukuran partikel nano. Pembuatan suatu bahan dengan kemampuan hambat nyala juga dilakukan oleh Xu et. al. (2006) dengan

menambahkan SnO 2 yang dilapisi CaCO 3 pada polivinil klorida (PVC) sehingga memberikan kemampuan hambat nyala yang lebih baik daripada PVC atau PVC/SnO 2 atau PVC/CaCO 3.

B. Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Limbah kemasan AMDK baik bentuk galon (polikarbonat), botol (polyethyene terephthalate), dan cup (polipropilena) yang paling berpotensi membentuk limbah adalah kemasan bentuk cup (polipropilena). Limbah

polipropilena (LPP) dari kemasan cup air mineral sebesar 3 x 10 4 ton merupakan jumlah limbah yang cukup besar dan dapat mengganggu sistem ekologi.

Polipropilena tidak dapat terbiodegradasi sehingga keberadaannya sebagai limbah didalam tanah dapat menghambat proses pembusukan mikroorganisme. Jumlah LPP yang berlimpah dan tidak terbiodegradasi tersebut menjadi suatu masalah lingkungan yang perlu diatasi dan dicari pemecahannya.

Salah satu alternatif untuk mengatasi LPP yang berlimpah dan tidak terbiodegradasi adalah dengan mengubah LPP menjadi suatu material baru yang dapat terbiodegradasi dengan bahan pengisi serat alam (Kim et. al., 2005). Material baru tersebut adalah biokomposit yang dapat disintesis dari matrik polimer LPP bahan pengisi serat alam. Serat alam yang dapat digunakan sebagai bahan pengisi adalah serat dengan kandungan selulosa tinggi seperti serbuk kayu sengon, serbuk bambu, serbuk sekam padi, dan kenaf. Serat kenaf (SK) mempunyai sifat mekanik yang cukup tinggi sehingga dapat dipergunakan sebagai bahan pembuatan komposit untuk komponen kendaraan (Mwaikombo, 2006).

Biokomposit dapat disintesis menggunakan metode lebur menggunakan internal mixer maupun metode larutan dengan menggunakan pelarut yang sesuai (Suharty, 1993). Sintesis dengan metode lebur memerlukan alat khusus yang hanya dimiliki beberapa institusi di Indonesia. Sintesis dengan metode larutan dapat dilaksanakan di setiap laboratorium di perguruan tinggi. Sintesis biokomposit dapat dilakukan secara reaktif menggunakan inisiator maupun non reaktif. Suharty dan Firdaus (2007) melakukan sintesis biokomposit polistirena dengan bahan pengisi serbuk kayu sengon secara reaktif menggunakan inisiator maupun secara non reaktif dan diperoleh bahwa biokomposit yang dibuat secara reaktif memiliki sifat mekanik yang lebih baik.

Sifat mekanik biokomposit meningkat dengan terbentuknya ikatan antara polimer buatan dengan serat alam. Pengikatan polimer buatan yang bersifat non polar dan selulosa dari serat alam yang bersifat polar memerlukan senyawa

penggandeng. Suharty et. al. (2007 a,b ) menggunakan senyawa penyambung silang AA untuk mengikatkan PP dengan serat sehingga terbentuk ikatan

LPP/AA/selulosa secara reaksi esterifikasi. Pembentukan jaringan yang lebih besar dalam biokomposit akan lebih meningkatkan sifat mekanik. Sifat mekanik biokomposit dengan senyawa penyambung silang lebih tinggi dibanding

biokomposit tanpa senyawa penyambung silang (Suharty et. al., 2007 a ). Suharty (1993) melaporkan bahwa divinil bensena (DVB) dan trimetilol propana triakrilat

(TMPTA) dapat meningkatkan pembentukan ikatan sambung silang sehingga terbentuk jaringan yang lebih besar, dimana DVB dapat meningkatkan ikatan sambung silang lebih tinggi dibandingkan TMPTA.

Biokomposit dapat dipergunakan sebagai komponen kendaraan bermotor , untuk memenuhi kebutuhan tersebut biokomposit harus memiliki sifat hambat nyala yang tinggi. Kemampuan hambat nyala biokomposit dapat ditingkatkan dengan menambahkan senyawa penghambat nyala. Salah satu golongan senyawa penghambat nyala adalah asam anorganik dan garamnya, seperti asam fosfat, diamonium fosfat (DAP) dan monoamonium fosfat (MAP) (LeVan and Winandy, 1990). Senyawa penghambat nyala akan lebih efektif bila dikerjakan dalm suatu nanokomposit (Marton, 2004). Senyawa dengan ukuran partikel yang lebih kecil akan meningkatkan luas permukaan dan memungkinkan terjadinya reaksi yang

lebih tinggi. Nanopartikel dari montmorilonit atau CaCO 3 dapat meningkatkan efektifitas senyawa penghambat nyala sehingga menghasilkan peningkatan kemampuan hambat nyala yang lebih terbaik pada komposisi tertentu (Patra et. al., 2005).

Karakterisasi biokomposit dilakukan pada: indeks alir leleh, kuat tarik, analisis gugus fungsi, profil degradasi panas, kristalinitas. Uji kemampuan biodegradasi dilakukan dengan analisis daya serap air, analisis pengurangan berat, dan fotomikrografi. Uji kemampuan hambat nyala dilakukan dengan penentuan waktu respon pembentukan nyala dan kecepatan pembakaran.

2. Batasan Masalah

a. Polimer yang digunakan dalam pembuatan biokomposit adalah limbah polipropilena (LPP) dari cup air mineral dalam kemasan dengan merek sejenis. Bahan pengisi serat tanaman yang digunakan adalah serat kenaf Lamongan yang dihaluskan hingga ukuran lolos ayakan 100 mesh serta dilakukan alkalisasi.

b. Biokomposit yang akan diuji disintesis menggunakan metode proses larutan secara reaktif dengan inisiator bensoil peroksida (BPO), senyawa penggandeng multifungsional asam akrilat (AA), dan agen penyambung silang divinil bensena (DVB). Pelarut yang dipergunakan adalah xilena yang dapat melarutkan PP hingga 100% pada suhu titik didihnya (Suharty,1993).

c. Senyawa penghambat nyala yang digunakan dalam pembuatan biokomposit dengan kemampuan hambat nyala adalah diamonium fosfat (DAP) dan nano CaCO 3 (nCC).

d. Karakterisasi biokomposit meliputi indeks alir leleh menggunakan alat melt flow indexer , uji mekanik berupa kekuatan tarik menggunakan alat tensometer mengikuti ASTM D 638, perubahan gugus fungsi dengan spektrofotometer infra merah (FT-IR), profil degradasi panas dengan analisis termal diferensial (Differential Thermal Analysis, DTA), kritalinitas dengan difraksi sinar-X (X-Ray Difraction, XRD).

e. Uji degradasi mikrobiologi dilakukan dengan penguburan spesimen selama

4 x 30 hari dalam media tanah sampah dicampur kotoran sapi. Analisis terhadap kemampuan biodegradasi meliputi daya serap air menurut ASTM D 570, pengurangan berat dengan monitoring setiap 30 hari, dan analisis morfologi permukaan dengan fotomikrografi.

f. Uji kemampuan hambat nyala dilakukan menurut ASTM D 635 dengan

penentuan waktu respon pembentukan nyala dan kecepatan pembakaran.

3. Rumusan Masalah

Masalah yang timbul dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana komposisi optimum biokomposit LPP/DVB/AA/SK terhadap sifat mekanis dan kemampuan biodegradasi?

2. Bagaimana komposisi optimum biokomposit dengan penambahan senyawa penghambat nyala terhadap kemampuan hambat nyala?

3. Bagaimana kemampuan hambat nyala biokomposit dengan senyawa penghambat nyala?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui komposisi optimum biokomposit LPP/DVB/AA/SK terhadap sifat mekanik dan kemampuan biodegradasi.

2. Mengetahui komposisi optimum biokomposit dengan penambahan senyawa penghambat nyala terhadap kemampuan hambat nyala.

3. Mengetahui kemampuan hambat nyala biokomposit dengan senyawa penghambat nyala.

D. Manfaat

Manfaat dari penelitian sebagai berikut :

1. Memberikan suatu pengetahuan mengenai cara mengatasi LPP yang dapat menimbulkan permasalahan lingkungan karena sifatnya yang tidak dapat terbiodegradasi.

2. Memberikan informasi untuk menjadikan suatu plastik PP yang mudah terbakar dapat dimodifikasi menjadi suatu bahan yang tidak mudah terbakar.

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Polipropilena

Bahan plastik memiliki keunggulan bersifat termoplastis yaitu dapat dibentuk berulang-ulang sehingga banyak digunakan sebagai bahan pengemas makanan dan minuman. Air minum dalam kemasan (AMDK) sangat diminati oleh masyarakat masa ini yang memiliki gaya hidup praktis karena AMDK menggunakan bahan pembungkus berupa plastik seperti poli karbonat (PC), polyethyene terephthalate (PET), dan polipropilena (PP) yang dinilai praktis, ringan, serta murah harganya. Kebutuhan masyarakat terhadap AMDK, khususnya air mineral, dicukupi dalam berbagai jenis bentuk ukuran dan kemasan yaitu kemasan galon (19L) sebesar 60%, botol (600 mL) sebesar 25%, dan cup (240 mL) sebesar 15% (Soentantini, 2007). Perkembangan modernisasi menyebabkan kebutuhan AMDK semakin bertambah dari tahun ke tahun termasuk pada AMDK berbentuk cup karena praktis dengan ukurannya yang kecil namun cukup untuk memenuhi kebutuhan seseorang terhadap air mineral. Bagian bawah cup AMDK terdapat tulisan PP dan logo berbentuk segitiga dengan angka lima didalamnya yang menunjukkan bahwa terbuat dari bahan polipropilena. Kode tersebut dikeluarkan oleh Society of Plastic Industry pada tahun 1998 di Amerika Serikat (Kusumastuti, 2008). Permintaan yang tinggi terhadap AMDK, termasuk yang berbentuk cup, mengakibatkan produksinya meningkat dan mendatangkan limbah kemasan plastik yang melimpah. Limbah kemasan cup merupakan limbah polipropilena (LPP) yang menimbulkan permasalahan lingkungan karena PP termasuk plastik, dimana plastik bersifat tidak dapat terdegradasi secara alami sehingga menghambat kinerja mikroorganisme dalam mendegradasi senyawa lain. Salah satu alternatif penanggulangan masalah lingkungan tersebut adalah dengan menjadikan PP sebagai bahan pembuatan biokomposit yang biodegradabel.

Suharty et. al. (2008 a ) telah membuat biokomposit PP dengan bahan pengisi serbuk bambu (SB) sehingga menghasilkan biokomposit yang dapat Suharty et. al. (2008 a ) telah membuat biokomposit PP dengan bahan pengisi serbuk bambu (SB) sehingga menghasilkan biokomposit yang dapat

crude palm oil (CPO) dihasilkan biokomposit yang dapat terdegradasi mikrobiologi serta memiliki sifat mekanik yang baik.

Polipropilena (PP) adalah polimer dengan satuan ulang monomer propilena/propena (CH 3 -CH=CH 2 ). Setiap unit ulang polipropilena mempunyai karbokation pada karbon tersier bersifat sangat stabil, sehingga atom H yang terikat pada karbon tersier tersebut bersifat reaktif dan bersifat non polar (Pudjaatmaka, 1986). Hal tersebut mengakibatkan energi dissosiasi pemutusan ikatan C-H tersier membutuhkan energi lebih rendah daripada energi dissosiasi ikatan C-H sekunder maupun C-H primer. Ketika polipropilena direaksikan dengan senyawa lain, maka posisi atom hidrogen yang terikat pada atom karbon tersierlah yang akan tergantikan. Polipropilena memiliki suhu dekomposisi 380 ºC dan meleleh pada suhu 165 – 175 ºC (Siburian, 2001). Kelarutan PP dalam toluena mendidih adalah 66% dan pada xilena mendidih adalah 100% (Suharty, 1993).

karbon

(a)

tersier CH 3

H 2 C C CH 3

CH 2 C *

H Propilena/propena Polipropilena

(b) (c)

Gambar 1. (a) Struktur propena dan polipropilena (Sopyan, 2001); (b) Label plastik jenis PP; (c) Foto bagian bawah gelas AMDK

2. Bahan Pengisi Serat Kenaf

Bahan pengisi adalah bahan yang ditambahkan ke dalam campuran plastik sehingga dapat meningkatkan sifat mekanik (kuat tarik) suatu polimer (Ismail, 2001). Bahan-bahan penguat dapat berasal dari bahan anorganik (fiberglass) dan bahan organik (serat tumbuh-tumbuhan). Bahan penguat dari serat tumbuhan memiliki kelebihan, antara lain : biodegradabel, densitas rendah, serat tidak hancur selama pemrosesan, serta murah dan melimpah (Rowell et. al., 1997). Serat ini digunakan untuk menaikkan kuat tarik sekaligus meningkatkan degradabilitas plastik termoplastis seperti pembuatan biokomposit PP dengan bahan pengisi serbuk sekam padi sehingga dihasilkan suatu biokomposit dengan kuat tarik yang lebih tinggi (Yang et. al., 2004). Penelitian lain dilakukan oleh Kim et. al. (2005) dengan membuat komposit polibutilen suksinat (PBS) dengan abu sekam padi sehingga diperoleh komposit yang lebih kuat. Suharty dan Firdaus (2007) membuat biokomposit degradabel dari polistirena (PS) daur ulang termodifikasi dengan bahan penguat serbuk kayu kelapa menghasilkan biokomposit yang memilki kemampuan degradasi serta mengalami peningkatan sifat mekanik dibandingkan bahan awalnya.

Indonesia merupakan daerah tropis yang subur sehingga banyak ditemukan tumbuhan yang dapat menghasilkan serat. Serat tumbuhan yang baik digunakan sebagai bahan pengisi adalah serat tanaman dengan kandungan selulosa tinggi. Salah satu tanaman yang mengandung selulosa cukup tinggi adalah kenaf dengan kandungan selulosa yang relatif tinggi yaitu 57% . Produksi kenaf di dunia menempati urutan ke lima yaitu 970.000 ton/tahun setelah jute dengan jumlah produksi 2.850.000 ton/tahun (Mwaikambo, 2006). Tanaman kenaf seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 memiliki nama latin Hibiscus cannabinus dan telah dikenal di Indonesia sejak jaman pendudukan Jepang (1943). Tanaman kenaf tumbuh terbaik pada suhu diatas 20 °C dan curah hujan bulanan rata-rata 100 - 125 mm (Ahmad, 2009). Kondisi ini ditemukan selama musim hujan di daerah tropis dan musim panas di daerah subtropis. Penggunaan serat kenaf di Indonesia hingga saat ini masih terbatas pada pembuatan tekstil kasar seperti karung untuk mengemas komoditas pertanian dan industri, juga dibuat menjadi Indonesia merupakan daerah tropis yang subur sehingga banyak ditemukan tumbuhan yang dapat menghasilkan serat. Serat tumbuhan yang baik digunakan sebagai bahan pengisi adalah serat tanaman dengan kandungan selulosa tinggi. Salah satu tanaman yang mengandung selulosa cukup tinggi adalah kenaf dengan kandungan selulosa yang relatif tinggi yaitu 57% . Produksi kenaf di dunia menempati urutan ke lima yaitu 970.000 ton/tahun setelah jute dengan jumlah produksi 2.850.000 ton/tahun (Mwaikambo, 2006). Tanaman kenaf seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 memiliki nama latin Hibiscus cannabinus dan telah dikenal di Indonesia sejak jaman pendudukan Jepang (1943). Tanaman kenaf tumbuh terbaik pada suhu diatas 20 °C dan curah hujan bulanan rata-rata 100 - 125 mm (Ahmad, 2009). Kondisi ini ditemukan selama musim hujan di daerah tropis dan musim panas di daerah subtropis. Penggunaan serat kenaf di Indonesia hingga saat ini masih terbatas pada pembuatan tekstil kasar seperti karung untuk mengemas komoditas pertanian dan industri, juga dibuat menjadi

Gambar 2. Tanaman kenaf

Kenaf merupakan tanaman yang menghasilkan serat panjang yang diperoleh dari batangnya. Serat kenaf berdiameter 17,7 - 21,9 µm dan densitas sebesar 1220 - 1400 kg/m 3 . Sifat kimia serat kenaf adalah selulosa (57%),

hemiselulosa (21%), dan lignin (19%). Kandungan selulosa yang cukup besar dan lignin kecil menandakan serat kenaf memiliki keuletan yang cukup tinggi dan tidak getas (Mwaikambo, 2006).

Selulosa merupakan struktur dasar sel-sel tanaman, sekitar 40% karbon tanaman terikat dalam selulosa. Molekul-molekul selulosa seluruhnya berbentuk linier dan mempunyai kecenderungan kuat membentuk ikatan-ikatan hidrogen intra dan intermolekul. Selulosa mengandung rata-rata 5.000 unit glukosa dan

setiap unit mengandung tiga gugus hidroksil (-OH) yang terletak pada C 2 ,C 3 , dan

C 6 serta dua oksigen yang membentuk ikatan glikosidik yang berikatan dengan monomer lain (Achmadi, 2003).

Gambar 3. (a) Struktur selulosa; (b) Struktur selulosa yang saling berikatan (bentuk cincin); (c) Struktur selulosa yang saling berikatan (bentuk kursi)

Selulosa didalam kayu disertai dengan lignin yang terikat erat dengannya dan pemisahannya memerlukan perlakuan kimia yang intensif. Perlakuan alkalisasi terhadap serat akan mengurangi pengotor (kandungan lain selain selulosa) pada serat sehingga dapat meningkatkan terbentuknya ikatan antara selulosa dan matriks polimer sintetis dalam pembentukan biokomposit (Lokantara dan Suardana, 2007). Diharjo (2005) melaporkan bahwa sifat mekanik komposit meningkat dengan perlakuan alkali serat yang dapat meningkatkan ikatan antara serat dan matriks.

3. Flame Retardant

Pembakaran merupakan suatu reaksi kimia antara bahan bakar (fuel) dan oksidator (segala sesuatu yang mengandung oksigen) (Sentanuhady, 2007). Umumnya nyala dapat terjadi disebabkan oleh tiga komponen yang sering disebut sebagai segitiga api, yaitu bahan bakar, panas, dan oksigen.

+ O 2 2 + H CO 2 O

(bahan bakar)

(a)

(b)

Gambar 4. (a) Reaksi pembakaran; (b) Segitiga api

Reaksi pembakaran akan terhambat jika paling tidak salah satu dari tiga komponen tersebut dihilangkan atau mengurangi interaksi komponen pendukung nyala dengan material. Salah satu contohnya adalah mengecilkkan api dengan menghalangi aliran oksigen ke bahan bakar, seperti dengan cara menutup kompor yang terbakar dengan karung basah. Hal yang sama bahwa dengan menggunakan suatu sistem tertentu maka oksigen di lingkungan dapat digantikan oleh gas yang Reaksi pembakaran akan terhambat jika paling tidak salah satu dari tiga komponen tersebut dihilangkan atau mengurangi interaksi komponen pendukung nyala dengan material. Salah satu contohnya adalah mengecilkkan api dengan menghalangi aliran oksigen ke bahan bakar, seperti dengan cara menutup kompor yang terbakar dengan karung basah. Hal yang sama bahwa dengan menggunakan suatu sistem tertentu maka oksigen di lingkungan dapat digantikan oleh gas yang

Flame retardant merupakan komponen atau kombinasi komponen yang dapat menghambat nyala bila ditambahkan pada suatu substrat sehingga dihasilkan suatu material yang memiliki kemampuan hambat nyala (Tesoro, 1976). Sain et. al. (2004) menambahkan senyawa penghambat nyala

Mg(OH) 2 dalam biokomposit polipropilena (PP) dengan bahan pengisi serbuk sekam padi sehingga biokomposit mengalami peningkatan kemampuan hambat nyala. Xu et. al. (2006) memberikan kemampuan hambat nyala dalam polivinil

klorida (PVC) dengan memadukan dua komponen yaitu SnO 2 dan CaCO 3 sehingga dihasilkan PVC/SnO 2 /CaCO 3 dengan kemampuan hambat nyala yang

lebih baik daripada PVC/SnO 2 , PVC/CaCO 3 , dan PVC murni.

Suatu sistem penghambat nyala harus dapat menghasilkan gas yang dapat mengurangi konsentrasi O 2 yang mendukung pembakaran, mengurangi perambatan panas pada polimer yang terbakar, dan menghasilkan jelaga untuk menghalangi interaksi O 2 dangan polimer (Tesoro, 1978). LeVan and Winandy (1990) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa asam fosforik paling efektif dalam mereduksi atau mengurangi konsentrasi gas yang mudah terbakar dan meningkatkan pembentukan jelaga untuk menghambat pembakaran, diikuti dengan diamonium fosfat dan monoamonium fosfat. Penelitian tersebut juga melaporkan bahwa selama pembakaran diamonium fosfat (DAP) dapat terurai

menjadi NH 3 dan asam fosfat. Diamonium fosfat (DAP) merupakan garam anorganik yang berasal dari ammonium dan asam fosfat dengan rumus kimia (NH 4 ) 2 HPO 4 . Senyawa DAP dalam suatu substrat akan mengalami fosforilasi saat terjadi nyala dan terurai menjadi asam fosfat serta menghasilkan gas NH 3 yang merupakan gas yang tidak mudah terbakar (Tesoro, 1976). Peningkatan efektifitas DAP sebagai senyawa penghambat nyala dilakukan dengan memadukan DAP dengan CaCO 3 . Asam fosfat dari DAP yang terbentuk selama pembakaran akan bereaksi dengan CaCO 3 menghasilkan CO 2 dan H 2 O (Patra, 2005). Gas NH 3 , CO 2 , dan H 2 O dapat mengambat pembakaran.

Gas NH

3 dapat mengurangi konsentrasi O 2 yang mendukung pembakaran

(Patra et. al., 2005), sedangkan gas CO 2 (44.0 g/mol) lebih berat dari O 2 (32,0 g/mol), menyebabkan CO 2 mengendap dan membungkus benda yang terbakar. Penggantian O 2 oleh gas CO 2 dan NH 3 menyebabkan konsentrasi O 2 di yang mendukung pembakaran menjadi berkurang sehingga proses pembakaran terhambat. Uap air (H 2 O) akan mendinginkan sistem dan menurunkan suhu yang akan menghambat pembakaran (Hudiyanti, 2009). Efisiensi suatu sistem padam nyala dapat ditingkatkan dengan membentuk suatu nanokomposit (Marton, 2004). Hal tersebut dikuatkan oleh laporan Lagashetty and Venkataraman (2005) bahwa suatu senyawa dengan partikel nano yang ditambahkan untuk tujuan tertentu dalam pembuatan suatu nanokomposit akan lebih meningkatkan efektifitas kerja senyawa tersebut, misalnya dalam meningkatkan sifat mekanik atau kemampuan

hambat nyala Oleh karena itu, digunakan CaCO 3 dengan ukuran partikel nano sehingga distribusinya dalam komposit menjadi lebih merata.

4. Biokomposit

Komposit adalah suatu material yang terbentuk dari kombinasi dua atau lebih polimer, sedangkan biokomposit adalah komposit yang terbentuk dari kombinasi polimer buatan dan polimer alam. Pembuatan biokomposit dengan proses polimerisasi dapat dilakukan dapat dilakukan secara non reaktif dan reaktif dengan penambahan inisiator (Suharty,1993).

Tahapan dalam proses polimerisasi dapat digambarkan sebagai berikut : Inisiasi

: ROOR 2 RO • ROOR ROO • + R • R • + M RM •

Propagasi : RM • + M RMM • Terminasi : RM x • + RM x+n • M 2x+n

Suharty dan Firdaus (2007) telah membuat biokomposit polistirena daur ulang dengan serbuk kayu sengon dan serbuk kayu kelapa dalam pelarut toluena, baik secara reaktif menggunakan inisiator bensoil peroksida (BPO) maupun non reaktif dan diperoleh biokomposit reaktif lebih kuat dari non reaktif. Inisiator menghasilkan senyawa radikal yang akan mengganggu senyawa lain untuk Suharty dan Firdaus (2007) telah membuat biokomposit polistirena daur ulang dengan serbuk kayu sengon dan serbuk kayu kelapa dalam pelarut toluena, baik secara reaktif menggunakan inisiator bensoil peroksida (BPO) maupun non reaktif dan diperoleh biokomposit reaktif lebih kuat dari non reaktif. Inisiator menghasilkan senyawa radikal yang akan mengganggu senyawa lain untuk

OO

C 6 H 5 C OO

6 5 • 2C 6 5 • + 2 CO 2

C 5 OR

OH

+ produk lain

RO

OH

Gambar 5 . Pembentukan radikal pada : (a) BPO; (b) PP; (c) selulosa (Carlsson, 2005)

Senyawa radikal R 1 • maupun R 2 • akan menyerang polipropilena untuk membentuk polipropilena radikal aktif pada karbon tersiernya, sehingga Senyawa radikal R 1 • maupun R 2 • akan menyerang polipropilena untuk membentuk polipropilena radikal aktif pada karbon tersiernya, sehingga

akan menghasilkan selulosa radikal pada oksigen yang terikat karbon posisi C 5 . Suharty et. al. (2008 b ) telah melakukan pembuatan biokomposit dari

polipropilena (PP) dengan pengisi serbuk sekam padi (SSP) dengan berbagai variasi konsentrasi inisiator BPO, diperoleh biokomposit dengan sifat mekanik yang baik pada konsentrasi 0,02% dari berat total PP dan SSP. Penelitian tersebut melaporkan bahwa semakin tinggi konsentrasi inisiator maka sifat mekaniknya semakin menurun karena terlalu banyak inisiator dapat menyebabkan biokomposit menjadi rapuh, dimana SSP memiliki kandungan silika yang besar sehingga konsentrasi inisiator yang semakin besar akan merusak silika sehingga sifat

mekaniknya menurun. Suharty et. al. (2008 a ) melakukan pembuatan biokomposit dari polipropilena (PP) dengan pengisi serat bambu (SB) menggunakan BPO

0,08% dan dihasilkan biokomposit dengan sifat mekanik yang baik karena serat bambu yang memiliki tekstur yang kasar serta tidak memiliki kandungan silika. Suharty et. al. (2009) melakukan optimasi konsentrasi BPO dalam pembuatan biokomposit LPP/SK dan diperoleh biokomposit dengan sifat mekanik yang baik pada penggunaan BPO 0,05% berat total LPP/SK.

Pembentukan selulosa radikal akan mengakibatkan selulosa dapat berikatan dengan senyawa penggandeng multifungsional asam akrilat (AA) yang telah terikat dengan PP. Senyawa penggandeng multifungsional AA merupakan suatu jenis senyawa yang dalam strukturnya memiliki gugus polar dan non polar sehingga dapat menyatukan senyawa hidrofilik dengan senyawa hidrofobik dalam suatu reaksi kimia. Suharty dan Firdaus (2007) menggunakan AA untuk menyamakan kepolaran polistirena dengan selulosa dari serbuk kayu sengon sehingga terbentuk suatu biokomposit yang komponen-komponennya saling

berikatan kimia. Suharty et. al. (2007 a ) juga menggunakan AA untuk menyamakan kepolaran polipropilena dan serbuk sekam padi dalam pembuatan

biokomposit biodegradabel. Asam akrilat memiliki rumus kimia C 3 H 4 O 2 dengan titik didih sebesar 141 o C serta masa jenis 1,12 - 1,19 g/mL (Siburian, 2001).

gugus non polar

CH 2 C C OH

H gugus polar

+R • CH 2 C • C •

CH 2 C C OH

H (b)

Gambar 6. (a) Struktur asam akrilat; (b) Pembentukan radikal pada asam akrilat

Asam akrilat memiliki dua gugus fungsional reaktif yaitu gugus vinil (CH 2 =CH-) yang bersifat non polar yang akan berikatan dengan gugus non polar pada polipropilena, serta gugus karbonil yang bersifat polar yang dapat berikatan dengan selulosa melalui reaksi esterifikasi.

Biokomposit yang terbentuk dapat ditingkatkan sifat mekanik dan kemampuan biodegradasinya dengan menambahkan agen penyambung silang. Yang et. al. (2005) telah melakukan pembuatan biokomposit penambahan agen penyambung silang sehingga kuat tarik biokomposit yang dihasilkan menjadi lebih tinggi karena terjadi peningkatan ikatan antara selulosa terhadap polimer buatan pada biokomposit. Suharty (1993), telah melakukan grafting antara PP dengan ditert-butil bensil akrilat (DBBA) menggunakan agen penyambung silang divinil bensena (DVB) dan trimetilol propana triakrilat (TMPTA), dimana hasilnya adalah pembuatan dengan menggunakan agen penyambung silang DVB lebih kuat

daripada dengan TMPTA. Suharty et. al. (2008 a ) menambahkan DVB dalam sintesis biokomposit PP dengan bahan pengisi serat bambu sehingga dihasilkan

biokomposit dengan sifat mekanik dan kemampuan biodegradasi yang lebih baik daripada biokomposit tanpa DVB. Senyawa DVB membentuk ikatan sambung silang dengan cara mengikatkan bersama rantai-rantai polimer membentuk suatu jaringan. Terjadinya ikatan sambung silang pada reaksi polimerisasi akan memperbesar berat molekul dari polimer yang dihasilkan (Suharty, 1993).

Divinil bensena (DVB) merupakan senyawa benzena yang mengikat dua gugus vinil yang bersifat non polar pada posisi meta atau para dengan berat

molekul 130,191 g/mol dan titik didih 200 o C.

• CH 2

CH CH 2

CH • 2

CH + RO

CH 2

CH •

divinil bensena

Gambar 7. Pembentukan radikal pada divinil bensena

Biokomposit PP/DVB/AA/selulosa mempunyai beberapa kemungkinan ikatan yang ditunjukkan pada Gambar 8.