BAB II TINJAUAN TEORI A. Landasan Teori - HUBUNGAN DUKUNGAN PERAWAT DENGAN TINGKAT KECEMASAN ORANG TUA PASIEN ACUTE LIMPOBLASTIK LEUKIMIA (ALL)DI RUANG ANAK RSUP DR. KARIADI SEMARANG - Repository Universitas Muhammadiyah Semarang

TINJAUAN TEORI A.

   Landasan Teori 1.

  Acute Limpoblastik Leukimia (ALL) a.

  Pengertian Leukemia akut merupakan suatu penyakit yang serius, berkembang dengan cepat, dan apabila tidak diterapi dapat menyebabkan kematian dalam waktu beberapa minggu atau bulan. Leukemia akut dapat mempengaruhi jalur perkembangan sel limfoid (leukemia limfoblastik akut atau acute lymphoblastic leukemia (ALL) atau jalur perkembangan sel myeloid (leukemia myeloid akut atau acute

  myeloid leukemia (AML) (Davey, 2011). Leukemia ditandai oleh

  proliferasi ganas sel darah putih abnormal (sel blas) dalam sumsum tulang (Meadow & Newell, 2009).

  Leukemia merupakan neoplasma ganas sel darah putih (leukosit) yang ditandai dengan bertambah banyaknya sel darah putih abnormal dalam aliran darah. Terjadinya produksi sel-sel darah putih yang masih muda dengan cepat, berlebihan, dan tidak berfungsi. Sel-sel tersebut berinfiltrasi secara progresif ke dalam jaringan tubuh, terutama pada sumsum tulang. Hasl tersebut mengakibatkan sumsum tulang rusak dan kehilangan fungsinya untuk membuat sel darah merah (eritrosit) normal, sel darah putih normal, dan platelets. Sebagai akibat dari anemia. Kurangnya sel darah putih yang normal dapat mengakibatkan penurunan kekebalan tubuh terhadap infeksi dan gagalnya produksi platelets dapat mengakibatkan perdarahan yang gawat (Wijayakusuma, 2012).

  b.

  Prevalensi ALL lebih sering terjadi pada anak-anak, dengan insidensi yang paling tinggi pada usia 4 tahun. Pemaparan terhadap obat sitotoksik, radiasi, dan beberapa zat kimia seperti benzena meningkatkan kemungkinan terjadinya leukemia akut (Davey, 2011). Leukemia limfoblastik akut terjadi pada 85% kasus, lebih sering muncul pada anak laki-laki dan insidensi puncak terjadi antara usia 2 sampai 5 tahun (Meadow & Newell, 2009).

  c.

  Etiologi Pada sebagian besar pasien, penyebab leukemia akut tidak dapat ditentukan, walaupun infeksi dapat berperan dalam terjadinya ALL pada masa kanak-kanak (Davey, 2011). Menurut Wijayakusuma (2012) leukemia limfositik akut lebih sering terjadi pada anak-anak, akan tetapi penyebabnya belum diketahui secara pasti, kemungkinan besar faktor pendorongnya adalah kombinasi virus genetik, faktor imunologik, tidak tahan terhadap radiasi dan beberapa zat kimia.

  Manifestasi klinik Gejala yang dapat timbul pada leukemia akut, yaitu perdarahan yang abnormal seperti mimisan, perdarahan gusi, mudah mengalami memar, adanya bintik merah dan cokelat tua, anemia, berat badan menurun, badan terasa tidak enak, lemah, lelah, kehilangan energi, denyut jantung cepat, sakit pada tulang atau lambung, dan rentan terhadap infeksi (Wijayakusuma, 2012).

  e.

  Penatalaksanaan Diagnosa ditegakkan dengan pemeriksaan sumsum tulang. Sel blas juga dapat dilihat dalam darah perifer. Anak dengan hitung jumlah

  9

  sel darah putih total kurang dari 50 X 10 /L saat diagnosis memiliki

  9

  prognosis baik, sementara anak dengan jumlah lebih dari 100 X 10 /L memiliki prognosis yang lebih buruk. Terapi awal terdiri dari induksi kemoterapi yang bertujuan mencapai remisi (didefinisikan sebagai sel blas kurang dari 5% pada pemeriksaan sumsum tulang). Dalam satu bulan sejak dimulai kemoterapi 95% anak akan mencapai remisi. Leukemia meningeal merupakan komplikasi yang sering terjadi, sehingga induksi kemoterapi harus diikuti dengan metotreksat intratekal, kadang dengan radiasi kranial. Remisi dipertahankan dengan siklus kemoterapi intermiten selama 2 tahun. Dengan terapi agresif modern, 70% anak akan tetap bebas penyakit 5 tahun setelah diagnosis. Relaps jarang terjadi sesudahnya (Meadow & Newell, 2009). Kemoterapi 1)

  Pengertian dan Tujuan Kemoterapi secara harfiah berarti penggunaan bahan kimia untuk melawan, mengendalikan atau menyembuhkan penyakit.

  Namun dalam maknanya yang sekarang lebih banyak digunakan sebagai penggunaan obat untuk pengobatan kanker (Miller, 2008 ).

  Kemoterapi adalah terapi anti kanker untuk membunuh sel-sel tumor dengan mengganggu fungsi dan reproduksi seluler.

  Tujuan dari kemoterapi adalah penyembuhan, pengontrolan dan paliatif sehingga realistik, karena tujuan tersebut akan menetapkan medikasi yang digunakan dan keagresifan rencana pengobatan. Obat yang digunakan untuk mengobati kanker menghambat mekanisme proliferasi sel, obat ini bersifat toksik bagi sel tumor maupun sel normal yang berproliferasi khususnya pada sumsum tulang, epitel gastrointestinal, dan folikel rambut (Neal, 2010).

  2) Bentuk Kemoterapi

  Menurut Ganiswarna (2009) pemberian kemoterapi dapat diberikan dapat diberikan dengan satu macam atau dengan kombinasi, sehingga dikenal tiga macam bentuk kemoterapi kanker yaitu: Monoterapi (Kemoterapi Tunggal).

  Monoterapi yaitu kemoterapi yang dilakukan dengan satu macam sitostatika. Sekarang banyak ditinggalkan, karena polikemoterapi memberi hasil yang lebih memuaskan.

  b) Polikemoterapi (kemoterapi Kombinasi).

  Prinsip pemberian kemoterapi kombinasi adalah obat- obat yang diberikan sudah diketahui memberikan hasil yang baik bila diberikan secara tunggal, tetapi masing-masing obat bekerja pada fase siklus sel yang berbeda, sehingga akan lebih banyak sel kanker yang terbunuh. Dasar pemberian dua atau lebih antikanker adalah untuk mendapatkan sinergisme tanpa menambah toksisitas. Kemoterapi kombinasi juga dapat mencegah atau menunda terjadinya resistensi terhadap obat-obat ini.

  c) Kemoterapi Lokal.

  Kemoterpi lokal digunakan untuk: pengobatan terhadap efusi akibat kanker, pengobatan langsung intra dan peri tumor serta pengobatan intratekal. 3)

  Cara Pemberian Kemoterapi Menurut (Miller, 2008) obat kemoterapi dapat diberikan dengan cara: a)

  Oral Obat kemoterapi diberikan secara oral, yaitu dalam bentuk tablet atau kapsul, harus mengikuti jadwal yang telah ditentukan

  Intramuskuler Caranya dengan menyuntikkan ke dalm otot, pastikan untuk pindah tempat penyuntikan untuk setiap dosis, karena tempat yang sudah pernah mengalami penusukan membutuhkan waktu tertentu dalam penyembuhannya.

  c) Intratekal

  Caranya obat dimasukkan ke lapisan sub arakhnoid di dalam otak atau disuntikkan ke dalam cairan tulang belakang.

  d) Intrakavitas

  Memasukkan obat ke dalam kandung kemih melalui kateter dan atau melalui selang dada ke dal rongga pleura.

  e) Intravena

  Diberikan melalui kateter vena sentral atau akses vena perifer, cara ini paling banyak digunakan.

  4) Efek Samping Kemoterapi

  Umumnya efek samping kemoterapi meliputi gangguan saluran cerna, mulut, lambung dan usus menyebabkan sariawan, mual, muntah, dan diare.

  Penekanan sumsum tulang belakang memberi pengaruh tehadap sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit. Pada kulit dan rambut pemberian kemoterapi menyebabkan hiperpigmentasi kulit, kering dan gatal, rambut rontok. Sedangkan dampak pada bagian genetalia biasanya berpengaruh terhadap menstruasi dan dan menurunkan nafsu seksual pada pria. Akibat dari dampak yang tidak diinginkan atau dampak yang tidak menguntungkan dari pemberian kemoterapi, maka pasien akan mengalami gangguan fisik atau kelelahan fisik sehingga akan lebih mudah mengalami stres atau kecemasan (Gale & Charette, 2007). 5)

  Siklus Kemoterapi Dalam pemberian kemoterapi ada yang disebut dengan istilah

  “siklus kemoterapi”. Siklus kemoterapi adalah waktu yang diperlukan untuk pemberian satu kemoterapi. Untuk satu siklus kemoterapi sudah ditentukan masing-masing jenis kanker berapa siklus harus diberikan dan berapa interval waktu antar siklusnya.

  Sebagai contoh, kemoterapi untuk pasien ALL rawat inap dilakukan setiap minggu sekali dengan kombinasi obat kemoterapi yang berbeda-beda sesuai dengan diagnosa medis, stadium kanker, dan kondisi pasien. Selain itu ada dua jenis kemoterapi pada pasien ALL, yaitu standart risk dan high risk (Protokol Kemoterapi RSUP Dr. Kariadi Semarang, 2017).

  Jumlah pemberian kemoterapi juga sudah ditetapkan untuk masing-masing kanker. Ada yang 4 kali, 6 kali, 12 kali, dsb. Jumlah pemberian ini tidak boleh ditawar-tawar, misalkan hanya diberikan satu atau dua kali saja lalu berhenti. Hukumnya dalam pemberian kemoterapi adalah diberikan semuanya atau tidak sama sekali. Bila kanker tidak akan dapat disembuhkan bahkan menjadi lebih tahan atau resisten terhadap pemberian kemoterapi berikunya, selain itu efek sampingnya juga hebat namun tidak memberikan manfaat, juga secara ekonomi memboroskan biaya yang tidak perlu dan hanya membuang-buang waktu saja (Suryo, 2010).

  Pasien dengan Acute Limpoblastik Leukimia (ALL) selain mendapatkan farmakoterapi juga membutuhkan dukungan sosial dari perawat maupun keluarga, sebagai salah satu mekanisme koping dampak psikologis akibat progam pengobatan kemoterapi.

2. Dukungan Sosial a.

  Pengertian Cohen & Sme dalam Harnilawati (2013), dukungan sosial adalah suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya, sehingga seseorang akan tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai dan mencintainya.

  Friedman dalam Harnilawati(2013), dukungan sosial keluarga adalah sebagai suatu proses hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosial.

  Dukungan sosial menjadikan keluarga telah mengkonseptualisasi dukungan sosial sebagai koping keluarga, baik dukungan-dukungan yang bersifat eksternal maupun internal terbukti sangat bermanfaat. Dukungan sosial keluarga eksternal antara lain sahabat, pekerjaan, tempat ibadah, dan praktisi kesehatan. Dukungan sosial internal antara lain dukungan dari suami atau istri, dari keluarga kandung atau dukungan dari anak (Friedman dalam Harnilawati, 2013).

  b.

  Jenis dukungan sosial Jenis dukungan sosial ada empat, yaitu (Harnilawati, 2013):

  1) Dukungan Instrumental Keluarga merupakan sumber pertolongan praktis & konkrit.

  2) Dukungan Informasional

  Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan disseminator (penyebar informasi).

  3) Dukungan penilaian (appraisal)

  Keluarga bertindak sebagai sebuah umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah dan sebagai sumber dan validator identitas keluarga

  4) Dukungan emosional

  Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi.

  c.

  Ciri-ciri dukungan sosial Menurut Friedman dalam Harnilawati (2013), dukungan sosial mempunyai cirri-ciri:

  Informatif, yaitu bantuan informasi yang disediakan agar dapat digunakan oleh seseorang dalam menanggulangi persoalan- persoalan yang dihadapi, meliputi pemberian nasehat, pengarahan, ide-ide atau informasi lainnya yang dibutuhkan dan informasi ini dapat disampaikan kepada orang lain yang mungkin menghadapi persoalan yang sama atau hampir sama.

  2) Perhatian emosional, setiap orang pasti membutuhkan bantuan afeksi dari orang lain, dukungan ini berupa dukungan simpatik dan empati, cinta dan kepercayaan dan penghargaan. Dengan demikian seseorang yang menghadapi persoalan merasa dirinya tidak menanggung beban sendiri tetapi masih ada orang lain yang memperhatikan, mau mendengar segala keluhannya, bersimpati dan empati terhadap persoalan yang dihadapinya, bahkan mau membantu memecahkan masalah yang dihadapinya.

  3) Bantuan instrumental, bantuan bentuk ini bertujuan untuk mempermudah seseorang dalam melakukan aktivitasnya berkaitan dengan persoalan-persoalan yang dihadapinya, misalnya dengan menyediakan peralatan lengkap dan memadai bagi penderita, menyediakan obat-obat yang dibutuhkan dan lain-lain.

  4) Bantuan penilaian, yaitu suatu bentuk penghargaan yang diberikan seseorang kepada pihak lain berdasarkan kondisi sebenarnya dari penderita. Penilaian ini bias positif atau negative yang mana pengaruhnya sangat berarti bagi seseorang. Berkaitan dengan adalah penilaian yang positif.

3. Dukungan Perawat terhadap Keluarga Pasien ALL a.

  Definisi Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang paling sering berinteraksi dengan pasien dan keluarga pasien, mempunyai kewajiban membantu pasien mempersiapkan fisik dan mental untuk menghadapi tindakan medis, termasuk dalam pemberian pendidikan kesehatan. Seorang perawat diharapkan mampu memahami kondisi, kebutuhan pasien dan keluarga. Termasuk salah satunya dalam mengendalikan kebutuhan emosi diri pasien dan keluarga pasien (Ibrahim, 2009). Peran perawat dalam upaya penyembuhan klien menjadi sangat penting. Peran perawat juga diperlukan dalam penanggulangan kecemasan dan berupaya agar pasien tidak merasa cemas melalui asuhan keperawatan komprehensif. Perawat memiliki berbagai peran sebagai pemberi perawatan, sebagai perawat primer, pengambil keputusan klinik, advokat, peneliti dan pendidik (Perry & Potter, 2013).

  b.

  Tujuan Saat melakukan asuhan keperawatan perawat dapat menjalankan peran tersebut dengan melakukan asuhan keperawatan holistik salah satunya dengan memperhatikan aspek psikososial dan spiritual pasien dan keluarga pasien. Salah satu peran perawat sebagai pemberi memberi dukungan atau suport mental dengan tujuan untuk membantu pasien dan keluarganya mengurangi rasa cemas. Dukungan perawat diberikan sebagai salah satu upaya mengatasi masalah psikososial dan spiritual yang dialami pasien dan keluarganya. Dukungan perawat adalah sikap, tindakan dan penerimaan perawat terhadap pasien melalui

  pelayanan keperawatan bio-psiko-sosial-spriritual yang komprehensif bertujuan untuk memberikan kenyamanan fisik dan psikologis

  . Dukungan yang diberikan perawat kepada pasien dan keluarga pasien dalam menghadapi masalah psikologis dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan, meningkatkan keamanan dan kenyamanan (Sarafino, 2010).

  c.

  Jenis dukungan perawat terhadap keluarga pasien ALL Dukungan yang diberikan perawat termasuk dalam dukungan sosial, meliputi (Sarafino, 2010):

  1) Dukungan instrumental (tangible or instrumental support)

  Bentuk dukungan ini merupakan penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan langsung seperti pinjaman uang, pemberian barang, makanan serta pelayanan. Bentuk dukungan ini dapat mengurangi kecemasan karena individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi. Dukungan informasional (informational support) Bentuk dukungan ini melibatkan pemberian informasi, pengetahuan, petunjuk, saran atau umpan balik tentang situasi dan kondisi individu. Jenis informasi seperti ini dapat menolong individu untuk mengenali dan mengatasi masalah dengan lebih mudah. 3)

  Dukungan emosional (emotional support) Bentuk dukungan ini melibatkan rasa empati, ada yang selalu mendampingi, adanya suasana kehangatan, dan rasa diperhatikan akan membuat individu memiliki perasaan nyaman, yakin, diperdulikan dan dicintai oleh sumber dukungan sosial sehingga individu dapat menghadapi masalah dengan lebih baik. 4)

  Dukungan pada harga diri (esteem support) Bentuk dukungan ini berupa penghargaan positif pada individu, pemberian semangat, persetujuan pada pendapat individu dan perbandingan yang positif dengan individu lain.

  Dukungan sosial tersebut baik dukungan dari keluarga maupun perawat bertujuan untuk mengurangi tingkat kecemasan pada pasien dan orang tua pasien ALL selama mengobati pengobatan kemoterapi.

4. Kecemasan a.

  Pengertian dan insiden kecemasan Kecemasan atau ansietas adalah suatu keadaan emosional yang tidak menyenangkan yang ditandai oleh rasa ketakutan serta gejala fisik juga merupakan suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi (Pedrick & Hyman, 2012).

  Kecemasan adalah respon yang tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi ancaman, atau bila sepertinya datang tanpa ada penyebabnya. Dalam bentuknya yang ekstrim, kecemasan dapat mengganggu fungsi individu sehari-hari (Videbeck, 2008).

  Kebanyak kasus wanita lebih banyak mengalami kecemasan dari pada pria. Setidaknya 17% individu dewasa di Amerika Serikat menunjukkan satu gangguan ansietas atau lebih dalam satu tahun (Videbeck, 2014). Kecemasan juga banyak ditemui pada pasien yang menjalani pemeriksaan, investigasi atau perawatan dalam bidang kesehatan seperti pasien kanker yang menjalani kemoterapi (Skeel & Khleif, 2011).

  b.

  Penyebab dan presipitasi terjadinya kecemasan Berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan penyebab dari gangguan kecemasan. Antara lain teori psikodinamik, faktor-faktor sosial dan lingkungan, faktor-faktor kognitif dan emosional dan faktor biologis (Pedrick & Hyman, 2012).

  1) Teori psikodinamika menjelaskan bahwa gangguan kecemasan sebagai usaha ego untuk mengendalikan munculnya impuls-impuls tanda peringatan bahwa impuls-impuls yang mengancam mendekat ke kesadaran. Ego menggerakkan mekanisme pertahanan diri untuk mengalihkan impuls-impuls tersebut, yang kemudian mengarah menjadi gangguan kecemasan lainnya (Pedrick & Hyman, 2012).

  2) Faktor-faktor lingkungan dan sosial yang menyebabkan terjadinya gangguan kecemasan didapatkan dari pemaparan terhadap peristiwa yang mengancam atau traumatis, mengamati respon takut pada orang lain dan kurangnya mendapat dukungan sosial.

  Termasuk dalam dukungan sosial adalah dukungan perawat dan dukungan keluarga (Smeltzer & Bare, 2010).

  3) Faktor-faktor kognitif dan emosional menadi penyebab gangguan kecemasan disebabkan konflik psikologis yang tidak terselesaikan, prediksi berlebih tentang ketakutan, keyakinan-keyakinan yang tidak rasional, sensitivitas yang berlebihan tentang ancaman, salah mengartikan dari sinyal-sinyal tubuh (Pedrick & Hyman, 2012).

  4) Faktor-faktor biologis menjadi penyebab gangguan kecemasan diperoleh dari predisposisi genetik, dan ketidakseimbangan biokimia di otak. Sebagai faktor predisposisi kondisi kesehatan umum seperti kondisi penderita kanker sangat berhubungan dengan penyebab kecemasan (Pedrick & Hyman, 2012).

  Kecemasan pada pasien sebagai individu dapat dicetuskan oleh adanya ancaman. Faktor-faktor presipitasi yang dapat menyebabkan integritas biologi dan ancaman terhadap konsep diri dan harga diri (Hawari, 2011). Ancaman terhadap integritas biologi dapat berupa penyakit trauma fisik. Ancaman terhadap konsep diri dan harga diri seperti: proses kehilangan, perubahan peran, perubahan hubungan, lingkungan dan status sosial. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kecemasan yaitu: 1)

  Faktor internal

  a) Potensi stressor

  Merupakan setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan stressor psikososial perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi (Smeltzer & Bare, 2010).

  b) Maturitas

  Individu yang memiliki kematangan kepribadian lebih sukar mengalami gangguan akibat kecemasan, karena individu yang matur memiliki daya adaptasi yang lebih besar terhadap kecemasan.

  c) Pendidikan dan status ekonomi

  Pendidikan dan status ekonomi yang rendah pada seseorang menyebabkan orang tersebut mudah mengalami kecemasan. Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh baru termasuk menguraikan masalah baru (Stuart, 2006).

  d) Keadaan fisik

  Seseorang yang mengalami gangguan fisik, penyakit kronis, penyakit keganasan akan mudah mengalami kelelahan fisik, sehingga akan mudah mengalami kecemasan.

  e) Tipe kepribadian

  Tidak semua orang mengalami stressor psikososial akan menderita gangguan kecemasan, hal ini juga tergantung pada struktur atau tipe kepribadian seseorang. Orang yang berkepribadian A akan lebih mudah mengalami gangguan akibat kecemasan daripada orang dengan kepribadian B. Ciri-ciri orang berkepribadian A adalah : tidak sabar ambisius menginginkan kesempurnaan, merasa teburu-buru waktu, mudah gelisah. Sedang orang tipe B adalah orang yang penyabar, tenang, teliti dan rutinitas (Stuart, 2006).

  f) Lingkungan dan situasi

  Seseorang yang berada pada lingkungan yang asing akan mudah mengalami kecemasan dibandingkan bila ia berada di lingkungan yang biasa dia tempati. Usia Seseorang yang mempunyai usia lebih muda ternyata lebih mudah mengalami gangguan kecemasan daripada orang yang lebih tua, tetapi ada yang berpendapat sebaliknya.

  h) Jenis kelamin

  Gangguan kecemasan lebih sering dialami perempuan dibandingkan dengan laki-laki.

  2) Faktor eksternal

  Dukungan sosial dapat mempengaruhi kemampuan koping seseorang dalam mengatasi masalah, termasuk dalam hal kecemasan, selain itu dukungan sosial juga membuat pasien merasa diperhatikan dan dicintai oleh orang lain, merasa dirinya dianggap dan dihargai, dan membuat seseorang merasa bahwa dirinya bagian dari jaringan komunikasi oleh anggotanya. termasuk diantara dukungan sosial meliputi dukungan keluarga dan dukungan orang lain (termasuk perawat) yang bermakna dalam membantu pasien mengatasi masalah (Smeltzer & Bare, 2010).

  a) Dukungan keluarga

  Dukungan keluarga ialah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Dukungan perawat Selain dukungan keluarga, salah satu dukungan sosial yang penting bagi orang tua pasien adalah dukungan perawat.

  Peran perawat sangat penting untuk memberikan suport atau dukungan dan penyuluhan terhadap penurunan tingkat kecemasan pada orang tua pasien.

  c.

  Tingkat Kecemasan Ada empat tingkat kecemasan atau ansietas menurut Videbeck

  (2014), yaitu ringan, sedang, berat, dan panik: 1)

  Ansietas ringan Ansietas ini adalah ansietas normal berhubungan dengan ketegangan dalam peristiwa sehari-hari yang memotivasi individu untuk meningkatkan kesadaran individu serta mempertajam perasaannya. Ansietas tahap ini dipandang penting dan konstuktif.

  Ditandai dengan kewaspadaan meningkat, persepsi terhadap lingkungan meningkat. Respon fisiologis berupa napas pendek, nadi dan tekanan darahmeningkat sedikit, gejala ringan pada lambung, muka berkerut, serta bibir bergetar. Respon kognitif mampu menerima rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah secara efektif, dan terangsang untuk melakukan tindakan. Respon perilaku dan emosi berupa kadang meninggi. 2)

  Ansietas sedang Pada tahap ini lapangan persepsi individu menyempit, seluruh indra dipusatkan pada penyebab ansietas sehingga perhatian terhadap rangsangan dari lingkungan berkurang. Respon fisiologis berupa sering napas pendek, nadi ekstra sistol dan tekanan darah meningkat, mulut kering, anoreksia, diare atau konstipasi, sakit kepala, sering berkemih, dan letih. Respon kognitif memusatkan perhatiannya pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain, lapang persepsi menyempit, dan rangsangan dari luar tidak mampu diterima. Respon perilaku dan emosi berupa gerakan tersentak-sentak, terlihat lebih tegang, bicara banyak dan lebih cepat, susah tidur, dan perasaan tidak aman

  3) Ansietas berat

  Lapangan persepsi menyempit, individu berfokus pada hal- hal yang kecil, sehingga individu tidak mampu memecahkan masalahnya, dan terjadi gangguan fungsional. Kondisi ini menyebabkan individu cenderung memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal yang lain. Respon fisiologis napas pendek, nadi dan tekanan darah naik, berkeringat dan sakit kepala, penglihatan berkabut, serta tampak tegang. Respon kognitif tidak mampu berpikir berat lagi dan membutuhkan banyak pengarahan dan emosi perasaan terancam meningkat dan komunikasi menjadi terganggu (verbalisasi cepat).

  4) Panik

  Merupakan bentuk ansietas yang ekstrem, terjadi disorganisasi dan dapat membahayakan diri. Individu tidak dapat bertindak, agitasi atau hiperaktif, ansietas tidak dapat langsung dilihat, tetapi dikomunikasikan melalui perilaku individu. Respon fisiologis napas pendek, rasa tercekik dan palpitasi, sakit dada, pucat, hipotensi, serta rendahnya koordinasi motorik. Respon kognitif gangguan realitas, tidak dapat berpikir logis, persepsi terhadap lingkungan mengalami distorsi, dan ketidakmampuan memahami situasi. Respon perilaku dan emosi berupa agitasi, mengamuk dan marah, ketakutan, berteriak-teriak, kehilangan kendali atau kontrol diri (aktivitas motorik tidak menentu), perasaan terancam, serta dapat berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan orang lain.

  

Rentang Respons Ansietas

Respons adaptif Respons maladaptif

Tidak Cemas Cemas Cemas Berat Panik

  Cemas ringan sedang

Gambar 2.1 Rentang Respons Ansietas

  

Sumber Stuart & Sundeen dalam Asmadi (2008) d.

  Gejala Klinis Gejala klinis cemas tampak pada keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh orang yang mengalami gangguan kecemasan antara lain khawatir, firasat buruk, takut pada perkiraannya sendiri, mudah tersinggung dan kadang individu yang bersangkutan merasa tegang dan gelisah. Gejala-gejala lain yang dapat timbul adalah mudah terkejut, takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang, gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan, gangguan konsentrasi dan daya ingat, serta keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran berdenging, berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernakan gangguan perkemihan dan sakit kepala (Hawari, 2011).

  Hawari (2011) menyebutkan bahwa tingkat kecemasan dapat diukur dengan menggunakan (Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS- A) yang sudah dikembangkan oleh kelompok Psikiatri Biologi Jakarta (KPBJ). Tingkatan kecemasan juga dapat diukur dengan menggunakan

  

Visual Analog Scale (VAS) dari angka 0 sampai 100. Pengukuran skala

  kecemasan menggunakan Visual Analog Scale 0-100 lebih mudah digunakan tidak membutuhkan waktu yang lama (kurang dari 5 menit) jika dibandingkan dengan HRS-A yang membutuhkan waktu sekitar 10 menit.

   Kerangka teori

  Tingkat kecemasan Cemas ringan

  Stress Kecemasan Cemas sedang Cemas berat Panik

  Stressor: Faktor-faktor yangmempengaruhi

  Kanker & kemoterapi kecemasan: Faktor Internal

  Umur Lingkungan Tipe kepribadian Pendidikan dan status ekonomi Maturitas Keadaan fisik Jenis kelamin Status Pekerjaan stressor (stadium Potensi kanker)

  Faktor Eksternal Dukungan Sosial:

  Dukungan keluarga Dukungan perawat

  Skema 2.1 Kerangka Teori C. Kerangka konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

  Dukungan Perawat Tingkat Kecemasan

  Skema 2.2 Kerangka konsep penelitian

   Variabel penelitian

  Variabel penelitian adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok yang lain (Nursalam, 2008). Variabel dalam penelitian ini ada dua variabel yaitu:

  1. Variabel independen yaitu dukungan perawat terhadap orang tua pasien anak dengan Acute Limpoblastic Leukimia (ALL)

2. Variabel dependen, yaitu tingkat kecemasan orang tua pasien Acute

  Limpoblastik Leukimia (ALL) di ruang anak RSUP Dr. Kariadi Semarang E.

   Hipotesa penelitian

  Hipotesa yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah: 1. Ada hubungan dukungan perawat dengan tingkat kecemasan orang tua pasien Acute Limpoblastik Leukimia (ALL) di Ruang Anak RSUP Dr.

  Kariadi Semarang 2. Tidak ada hubungan dukungan perawat dengan tingkat kecemasan orang tua pasien Acute Limpoblastik Leukimia (ALL) di Ruang Anak RSUP Dr.

  Kariadi Semarang