HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN DIABETES MELLITUS DI RUANG RAWAT INAP RSUD DR. R.GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Tingkat kecemasan Kecemasan adalah reaksi emosional terhadap persepsi adanya bahaya,

  baik nyata maupun hanya dibayangkan. Kecemasan yaitu reaksi umum terhadap penyakit karena penyakit dirasakan sebagai suatu ancaman: ancaman umum terhadap kehidupan, kesehatan dan kebutuhan tubuh: pemajamaan dan rasa malu, ketidaknyamanan akibat nyeri dan keletihan (Potter&Perry, Smeltzer&Bare, 2010).

  Kecemasan atau dalam bahasa inggrisnya “anxiety” berasal dari bahasa latin yaitu “angustus” yang berarti kaku, dan “ango, anci” yang berarti mencekik (Pratiwi, 2010). Kecemasan adalah respon emosional terhadap penilaian individu yang subjektif yang mana keadaannya dipengaruhi alam bawah sadar dan belum diketahui pasti penyebabnya. Kecemasan, merupakan suatu kata yang dipergunakan oleh Freud untuk menggambarkan suatu efek negatif dan keterangsangan. Cemas mengandung arti pengalaman psikis yang biasa dan wajar, yang pernah dialami setiap orang dalam rangka untuk memacu individu agar mengatasi masalah yang sedang dihadapi sebaik-baiknya (Herri, 2011).

  Menurut Stuart (2013) kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya, keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik.

  15 Kecemasan dialami secara subjektif dan dikomunikasikan secara interpersonal. Kapasitas untuk menjadi cemas diperlukan untuk bertahan hidup, tetapi tingkat ansietas berat tidak sejalan dengan kehidupan. Dapat dilihat dalam suatu rentang:

  Respon adaptif respon maladaftip Antisipasi Ringan Sedang Berat Berat sekali

Gambar 1.1. Rentang respon ansietas

  1) Teori kecemasan Stuart (2007) menyatakan ada beberapa teori yang telah dikembangkan untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengarhui kecemasan, yaitu :

  1. Faktor predisposisi

  a. Teori Psikoanalitik Menurut Suliswati (2005) kecemasan timbul akibat reaksi psikologis individu terhadap ketidakmampuan mencapai orgasme dalam hubungan seksual, kecemasan dapat timbul secara otomatis akibat dari stimulus internal dan eksternal yang berlebihan.

  b. Teori interpersonal Suliswati (2005) mengemukankan bahwa kecemasan timbul akibat ketidakmampuan untuk berhubungan interpersonal dan sebagai akibat penolakan, kecemasan bisa dirasakan bila individu mempunyai kepekaan terhadap lingkungan. c. Teori perilaku Perilaku merupakan hasil belajar dari pengalaman yang pernah dialami, konflik menimbulkan kecemasan yang dapat meningkatkan persepsi terhadap konflik dengan timbulnya perasaan ketidakberdayaan.

  d. Teori Keluarga Studi pada keluarga dan epidemiologi memperhatikan bahwa kecemasan selalu ada pada tiap-tiap keluarga dalam berbagai bentuk dan sifatnya heterogen.

  e. Teori biologik Otak memiliki reseptor khusus terhadap benzodiazepin, reseptor tersebut berfungsi membantu regulasi kecemasan. Regulasi tersebut berhubungan dengan aktivitas neurotransmiter Gamma Amino Butyric Acid (GABA) yang mengontrol aktivitas neuron dibagian otak yang bertanggung jawab menghasilkan kecemasan.

  2) Faktor presipitasi

  1. Faktor eksternal : Ancaman integritas diri meliputi ketidakmampuan fisiologis atau gangguan terhadap kebutuhan dasar (penyakit, trauma fisik dan pembedahan). Ancaman sistem diri ancaman terhadap identitas diri, harga diri, hubungan interpersonal, kehilangan, dan perubahan status.

  2. Faktor internal : Potensial stressor keadaan yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan sehingga individu dituntut untuk beradaptasi. Pendidikan tingkat pendidikan individu berpengaruh terhadap kemampuan berpikir. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka individu semakin mudah berpikir rasional dalam menangkap informasi. Respon koping mekanisme koping digunakan seseorang saat mengalami kecemasan. Ketidakmampuan mengatasi kecemasan secara konstruktif merupakan penyebab terjadinya perilaku patologis. Status sosial ekonomi yang rendah pada seseorang akan menyebabkan individu mudah mengalami kecemasan. Keadaan fisik individu yang mengalami gangguan fisik akan mudah mengalami kelelahan fisik. Kelelahan fisik yang dialami akan mempermudah individu mengalami kecemasan. Tipe kepribadian individu dengan tipe kepribadian A lebih mudah mengalami gangguan akibat kecemasan dari pada orang dengan tipe kepribadian B. Dukungan sosial merupakan sumber koping individu, dukungan sosial dari kehadiran orang lain membantu seseorang mengurangi kecemasan sedangkan lingkungan mempengaruhi area berfikir individu. Usia, usia muda lebih mudah cemas dibandingkan individu dengan usia yang lebih tua. Jenis kelamin berkaitan dengan kecemasan pada pria dan wanita, Trismiati (2011) mengatakan bahwa perempuan lebih cemas akan ketidakmampuannya dibanding dengan laki-laki, laki- laki lebih aktif, eksploratif, sedangkan perempuan lebih sensitif.

  Lingkungan dan situasi seseorang yang berada di lingkungan asing lebih mudah mengalami kecemasan dibandingkan di lingkungan yang sudah dikenalnya, dengan lingkungan dan situasi yang baru akan berdampak hospitalisasi. Hospitalisasi dapat diartikan juga sebagai suatu keadaan yang memaksa seseorang harus menjalani rawat inap di rumah sakit untuk menjalani pengobatan maupun terapi yang dikarenakan klien tersebut mengalami sakit. Pengalaman hospitalisasi dapat mengganggu psikologi seseorang terlebih bila seseorang tersebut tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya di rumah sakit. Pengalaman hospitalisasi yang dialami klien selama rawat inap tersebut tidak hanya mengganggu psikologi klien, tetapi juga akan sangat berpengaruh pada psikososial klien dalam berinteraksi terutama pada pihak rumah sakit termasuk pada perawat. Masalah yang dapat ditimbulkan dari hospitalisasi biasanya berupa cemas, rasa kehilangan, dan takut akan tindakan yang dilakukan oleh pihak rumah sakit, jika masalah tersebut tidak diatasi maka akan mempengaruhi perkembangan psikososial.

  3) Respon individu terhadap kecemasan Menurut Stuart & Sundeen (2008) respon fisiologis kecemasan yaitu:

  a. Respon fisiologis terhadap cemas

Tabel 1.1 Respon fisiologis terhadap kecemasan

  Sistem tubuh Respons

  Kardiovaskular Palpitasi, jantung “berdebar”, tekanan darah meningkat, rasa ingin pingsan, pingsan, tekanan darah menurun, denyut nadi menurun.

  Pernapasan Napas cepat, sesak napas, tekanan pada dada, napas dangkal, pembengkakan pada tenggorokan, sensasi tercekik, terengah-engah. Neuromuskular Refleks meningkat, reaksi terkejut, mata berkedip- kedip, insomnia, tremor, rigiditas, gelisah, mondar-mandir, wajah tegang, kelemahan umum, tungkai melemah, gerakan yang janggal. Gastrointestinal Kehilangan nafsu makan, menolak makan, rasa tidak nyaman pada abdomen, nyeri abdomen, mual, nyeri ulu hati, diare. Saluran perkemihan Tidak dapat menahan kencing, sering berkemih. Kulit Wajah kemerahan, berkeringat setempat (telapak tangan), gatal, rasa panas dan dingin pada kulit, wajah pucat, berkeringat seluruh tubuh. b. Respon perilaku, kognitif, dan afektif terhadap kecemasan Tabel 1.2 Respons perilaku, kognitif dan afektif terhadap kecemasan.

  Sistem tubuh Respons

  Perilaku Gelisah, ketegangan fisik, tremor, reaksi terkejut, bicara cepat, kurang koordinasi, cenderung mengalami cedera, menarik diri dari hubungan interpersonal, inhibisi, melarikan diri dari masalah, menghindar, hiperventilasi, sangat waspada. Kognitif Perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa, salah dalam memberikan penilaian, preokupasi, hambatan berpikir, lapang persepsi menurun, kreativitas menurun, produktivitas menurun, bingung, sangat waspada, kesadaran diri, kehilangan objektivitas, takut kehilangan kendali, takut pada gambaran visual, takut cedera atau kematian, kilas balik, mimpi buruk. Afektif Mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, gugup, ketakutan, waspada, kengerian, kekhawatiran, kecemasan, mati rasa, rasa bersalah, malu. 4) Reaksi terhadap kecemasan

  Menurut Hawari (2006), reaksi terhadap kecemasan dapat dibagi menjadi:

  a) Reaksi adaptif Bila kecemasan terjadi dan individu mampu menahan dan mengelola kecemasan tersebut, maka akan menghasilkan reaksi positif. Tidak semua kecemasan bersifat merusak, kecemasan bisa menjadi tantangan motivator yang kuat dalam menghadapi masalah, penyelesaian konflik dan menghasilkan tingkat fungsi yang lebih tinggi.

  b) Reaksi maladaptif Pola koping maladaptif terhadap kecemasan dapat muncul melalui bermacam-macam bentuk termasuk tingkah laku agresif, merusak diri dan isolasi diri, pemborosan uang, menggunakan obat terlarang, pelanggaran, mabuk dan tingkah laku seksual yang berlebihan.

  5) Tanda dan gejala kecemasan Adanya gejala-gejala fisik maupun psikologis yang menyertai kecemasan dapat dijelaskan sebagai berikut: gejala fisik meliputi telapak tangan basah, tekanan darah meninggi, badan gemetar, denyut jantung meningkat dan keluarnya keringat dingin. Gejala fisik yang menyertai kecemasan adalah palpitasi, keringat dingin, telapak tangan basah, denyut jantung meningkat, serta keluarnya keringat dingin (Asmadi, 2008). Gejala klinis kecemasan : a. Khwatir, takut akan pikirannya sendiri dan mudah tersinggung b. Tegang, tidak tenang, gelisah dan mudah terkejut.

  c. Gangguan pola tidur dan mimpi yang menyeramkan d. Takut sendiri atau takut banyak orang.

  e. Gangguan konsentrasi atau daya ingat.

  f. Keluhan somatic, terapi rasa sakit pada tulang dan otot pendengaran bordering, berdebar-debar sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan dan sakit kepala (Hawari, 2008). 6) Tingkat kecemasan

  Menurut Novitasari (2012) ada empat tingkat kecemasan yaitu:

  a) Kecemasan ringan, berhubungan dengan ketegangan akan peristiwa kehidupan sehari-hari. Pada tingkat ini lahan persepsi melebar dan idividu akan berhati-hati dan waspada.

  b) Kecemasan sedang, pada tingkat ini lahan persepsi terhadap lingkungan menurun atau individu lebih memfokuskan pada hal penting saat itu akan mengesampingkan hal lain. c) Kecemasan berat, pada kecemasan berat lahan persepsi menjadi sempit individu cenderung memikirkan hal yang kecil saja dan menghasilkan hal- hal yang lain. Individu tidak berfikir berat lagi dan membutuhkan banyak pengarahan atau tuntutan.

  d) Panik, tingkat panik dari kecemasan berhubungan dengan terpengaruh, ketakutan dan terror. Panik mencakup disorganisasi kepribadian dan menimbulkan peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran rasional. 7) Faktor pencetus

  Faktor pencetus seseorang menjadi cemas menurut Asmadi (2008) dapat berasal dari diri sendiri (faktor internal) yang tidak memiliki keyakinan akan kemampuan diri, maupun diluar dirinya (faktor eksternal) yaitu dari lingkungan seperti ketidaknyamanan akan kemampuan diri, threat (ancaman),

  conflik (pertentangan), fear (ketakutan), unfuled need (kebutuhan yang tidak

  terpenuhi). Namun demikian pencetus kecemasan dapat dikelompokan dua kategori yaitu:

  1. Ancaman terhadap integritas diri, meliputi ketidakmampuan fisiologis atau gangguan dalam melakukan aktivitas sehari-hari guna pemenuhan terhadap kebutuhan dasarnya.

  2. Ancaman terhadap system diri yaitu adanya sesuatu yang dapat mengancam terhadap identitas diri, harga diri, kehilangan status/peran diri dan hubungan interpersonal.

  8) Cara ukur kecemasan Instrument penelitian menggunakan skala Hospital Anxiety and

  

Depression Scale (HADS) adalah instrumen yang digunakan untuk melakukan

  pengukuran tingkat kecemasan dan depresi. Instrument dalam penelitian ini berupa jenis kuesioner yaitu kuesioner HADS-A (Hospital Anxiety and

  

Depression Subscale-Anxiety ) digunakan hanya untuk mengukur tingkat

  kecemasan dikembangkan oleh Zigmond and Snaith (1983) dan dimodifikasi oleh Tobing (2012). Alat ukur yang telah dirancang untuk digunakan dalam setting rumah sakit dan hanya terdiri dari 7 item pernyataan yang berhubungan dengan tingkat kecemasan. Semua pernyataan terdiri dari pernyataan positif (pavorable) dan pernyataan negatif (unfavorable) untuk meghindari adanya bias. Pengelolan nilai skor merupakan penjumlahan seluruh hasil jawaban adalah tidak ada gejala (skor 0-7), ringan (skor 8-10), sedang (skor 11-15) dan berat (skor 16-21).

  9) Kecemasan pada pasien diabetes mellitus Menurut Novitasari (2012) menyatakan bahwa pola fikir individu setiap orang berbeda-beda untuk mencapai tujuan dalam kesembuhannya. Biasanya pada tahap-tahap awal mengalami kecemasan bahkan depresi adalah mereka yang tidak mampu mengolah fikiran baiknya, energi positif yang dimiliki terbuang begitu saja karena vonis dokter kemudian digantikan dengan perasaan-perasaan buruk tentang penyakitnya.

  Penderita diabetes mellitus memiliki tingkat kecemasan yang berkaitan dengan penyakit dan pengobatan yang harus dijalani sejak masuk dan dirawat di rumah sakit sehingga akan berdampak hospitaslisasi yang mengakibatkan kecemasan. Kecemasan dapat terjadi berkaitan dengan penatalaksanaan terapi yang harus dijalani seperti diet atau pengaturan makan, pemeriksaan kadar gula darah, konsumsi obat dan juga olahraga. Selain itu, risiko komplikasi penyakit yang dapat dialami penderita juga menyebabkan terjadinya kecemasan. Kecemasan dapat menyebabkan semakin memburuknya kondisi kesehatan atau penyakit yang diderita oleh seseorang. Penderita diabetes melitus jika mengalami kecemasan yang tinggi akan mempengaruhi proses kesembuhan dan menghambat kemampuan aktivitas kehidupan sehari-hari.

2. Dukungan Keluarga

  Keluarga adalah dua atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan dan adopsi dalam satu rumah tangga, yang berinteraksi satu dengan lainnya dalam peran dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya (Friedman, 2010). Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Dukungan bisa berasal dari orang lain (orangtua, anak, suami, istri atau saudara) yang dekat dengan subjek dimana bentuk dukungan berupa informasi, tingkah laku tertentu atau materi yang dapat menjadikan individu merasa disayangi, diperhatikan dan dicintai (Ali, 2009).

  Menurut Friedman (2010) Dukungan keluarga yang diberikan yaitu dukungan penilaian keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah, keluarga memberikan support, penghargaan, perhatian. Dukungan instrumental yaitu keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat, terhindarnya penderita dan kelelahan merupakan bagian integral dari keseluruhan dukungan yang berpusat pada suatu pendekatan lingkungan sosial.

  Dukungan informasional yaitu keluarga memberikan nasehat, saran, dukungan jasmani maupun rohani. Dukungan emosional juga diberikan keluarga meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan dengarkan.

  Sumber dukungan keluarga ada 2 yaitu diantaranya ada dukungan keluarga internal, seperti dukungan dari suami dan istri serta dukungan dari saudara kandung sedangkan dukungan keluarga eksternal bagi keluarga inti (dalam jaringan kerja sosial keluarga), merupakan jaringan sosial keluarga secara sederhana adalah jaringan kerja sosial keluarga itu sendiri. 1) Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga

  Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga (Purnawan, 2008) :

  1. Faktor internal : Tahap perkembangan dukungan dapat ditentukan oleh faktor usia dalam hal ini adalah pertumbuhan dan dukungan, dengan demikian setiap rentang usia (bayi-lansia) memiliki pemahaman dan respon terhadap perubahan kesehatan yang berbeda. Pendidikan atau tingkat pengetahuan keyakinan seseorang terhadap adanya dukungan terbentuk oleh variabel intelektual yang terdiri dari pengetahuan dan pendidikan, dan pengalaman masa lalu. Faktor emosi dapat mempengaruhi keyakinan terhadap adanya dukungan dan cara melaksanakannya, seseorang yang respon stress dalam setiap perubahan hidupnya cenderung berespon terhadap berbagai sakit. Spiritual aspek spiritual dapat terlihat dari bagaimana seseorang menjalani kehidupannya, mencakup nilai dan keyakinan yang dilaksanakan.

  2. Faktor eksternal : Praktek dikeluarga cara bagaimana keluaraga memberikan dukungan biasanya mempengaruhi penderita dalam melaksanakan kesehatannya. Faktor sosio ekonomi, faktor sosial dan psikososial dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit yang mempengaruhi cara seseorang mendefinisikan dan bereaksi terhadap penyakitnya. Latar belakang budaya mempengaruhi keyakinan, nilai dan kebiasaan individu, dalam memberikan dukungan termasuk cara pelaksanaan kesehatan pribadi.

  2) Pengukuran dukungan keluarga Menurut Neff dalam Hensaring (2009) Dukungan keluarga merupakan indikator yang paling kuat memberikan dampak positif terhadap perawatan diri pada pasien diabetes mellitus. Dukungan keluarga terdiri atas orang tua ke anak, anak ke orang tua, saudara ke saudara, antar pasangan, cucu ke kakek/nenek. Pemberian dukungan keluarga perlu di evaluasi dan diadaptasi untuk memastikan keberhasilan dari rencana asuhan keperawatan pada pasien. Pengukuran dukungan keluarga dilakukan dengan menggunakan kuesioner dukungan keluarga yang terdiri dari 15 item pernyataan dengan alternatif jawaban : iya=0 atau tidak=1. Kemudian dikategorikan ke kurang (skor 0-5), cukup (skor 6-10) dan baik (skor 11-15).

  3) Dukungan keluarga terhadap pasien diabetes mellitus Menurut Niven (2012) pada pasien diabetes mellitus ada beberapa

  Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi pencegahan kaki diabetik adalah dukungan keluarga. Dukungan keluarga dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga yang lain, waktu dan uang merupakan faktor-faktor penting dalam kepatuhan terhadap program-program medis. Keluarga dapat membantu mengurangi kecemasan yang disebabkan oleh penyakit yang dialami, mereka dapat menghilangkan godaan ketidak taatan dan mereka seringkali dapat menjadi kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan yang dalam hal ini mencegah kaki diabetik. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa dukungan keluarga memiliki pengaruh secara signifikan terhadap tingkat kecemasan penderita diabetes mellitus tipe 2.

  Menurut Novitasari (2012) pasien diabetes mellitus biasanya mengalami permasalahan psikologis seperti mengalami depresi, stress, dan kecemasan. Maka cara yang baik dengan menjalani aktivitas yang dapat mengembalikan gairah hidup diawali dengan adanya dukungan dari keluarga, dukungan keluarga sebagai alternatife agar pasien merasa senang sehingga menurunkan tingkat kecemasan pasien, meningkatkan kebersamaan diantara anggota keluarga hingga dapat meringankan beban psikologis dan kecemasan yang dirasakan pasien.

3. Diabetes mellitus

  Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Diabetes melitus yaitu penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup dalam pengelolaan penyakit tersebut, selain dokter, perawat, ahli gizi, tenaga kesehatan lain, peran pasien dan keluarga menjadi sangat penting.

  A. Klasifikasi Diabetes Melitus Klasifikasi diabetes mellitus dibedakan menjadi menjadi 2 yaitu : 1. Diabetes mellitus tipe 1, insulin dependent diabetes mellitus (IDDM).

  Diabetes jenis ini akibat kerusakan sel beta pankreas. Dahulu diabetes mellitus tipe 1 disebut juga diabetes onset-anak (atau onset-remaja) dan diabetes rentan-ketosis (karena sering menimbulkan ketosis). Onset diabetes mellitus tipe 1 biasanya sebelum usia 25-30 tahun (tetapi tidak selalu demikian karena orang dewasa dan lansia yang kurus juga dapat mengalami diabetes mellitus jenis ini). Sekresi insulin mengalami defisiensi (jumlahnya sangat rendah atau tidak ada sama sekali), pasien biasanya akan mudah terjerumus ke dalam situasi ketoasidosis diabetik (Arisman, 2011).

  2. Diabetes mellitus tipe 2 (Non - insulin Dependent Diabetes Mellitus - NIDDM) kelainan yang terjadi pada diabetes tipe 2 yaitu sekresi insulin yang abnormal dan timbulnya resistensi organ tubuh terhadap aktivitas insulin untuk mengendalikan kadar glukosa. B. Diagnosis diabetes mellitus Kriteria diagnostik diabetes mellitus menurut (Perkin, 2006) atau yang dianjurkan ADA (American Diabetes Association): 1)

  Kadar gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dl 2)

  h. Lemah dan lesu i. Semut mengerubungi air kencing a. Biasa terjadi secara diam-diam dan pelan-pelan.

  D. Etiologi Penyebab penyakit diabetes mellitus itu dibagi menjadi dua yaitu :

  h. Mual dan muntah

  g. Penglihatan kabur

  f. Rasa nyeri, pegal dan rasa ditusuk-tusuk pada tungkai dan kaki.

  e. Sering lambat sembuh infeksi tak jelas penyebabnya pada kulit, gusi dan kandung kencing.

  c. Gatal-gatal terutama pada daerah kemaulan d. Luka atau goresan lambat sembuh

  b. Sebagian atau seluruhnya tanda-tanda dan gejala-gejala seperti pada diabetes tipe 1.

  g. Kurang tenaga

  Kadar gula darah puasa ≥ 126 mg/dl 3)

  f. Mudah marah

  e. Menurunnya berat badan

  d. Lapar yang sangat

  a. Biasanya terjadi dengan tiba-tiba b. Dahaga atau haus yang sangat c. Sering buang air kecil

  Tergantung insulin tipe 1 Tidak Tergantung insulin tipe 1

Tabel 1.3. Tanda dan gejala diabetes mellitus

  C. Tanda-tanda dan gejala-gejala diabetes Tanda dan gejala pada pasien diabetes menurut Novitasari (2012) :

  Kadar gula darah plasma ≥ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada tes toleransi glukosa oral.

  1. Diabetes Mellitus Tipe I Diabetes mellitus tipe I yang ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pada pankreas. Kombinasi dari faktor genetik, imunologi dan mungkin pula pada lingkungan (misalnya seperti infeksi, virus) diperkirakan turut menimbulkan destruksi sel beta.

  2. Diabetes Mellitus Tipe II (NIDDM) Mekanisme yang tepat menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes mellitus tipe II masih belum diketahui.

  Faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin (Smeltzer & Bare, 2011). Diabetes Tipe II disebabkan oleh kombinasi faktor genetik yang berhubungan dengan gangguan sekresi insulin dan resistensi insulin dan faktor-faktor seperti: a. Usia (resistensi cendrung meningkat diusia 65 tahun) b. Obesitas, makan berlebihan, kurang olahraga, stress, penuaan.

  c. Riwayat keluarga dengan diabetes

  E. Faktor risiko diabetes mellitus 1) Faktor risiko yang dapat diubah

  a. Gaya hidup merupakan perilaku seseorang yang ditunjukkan dalam aktivitas sehari-hari seperti makanan cepat saji, olahraga tidak teratur dan minuman bersoda (ADA, 2009).

  b. Diet yang tidak sehat perilaku diet yang tidak sehat yaitu kurang olahraga, menekan nafsu makan, sering mengkonsumsi makanan siap saji (Abdurrahman, 2014).

  c. Obesitas merupakan salah satu faktor risiko utama untuk terjadinya penyakit diabetes mellitus, obesitas dapat membuat sel tidak sensitif terhadap insulin (Fathmi, 2012). d. Tekanan darah tinggi merupakan peningkatan kecepatan denyut jantung, peningkatan resistensi (tahanan) dari pembuluh darah dari tepi dan peningkatan volume aliran darah (Jafar, 2010). 2) Faktor risiko yang tidak dapat diubah

  a. Usia, semakin bertambahnya usia maka semakin tinggi risiko terkena diabetes tipe 2. diabetes mellitus tipe 2 terjadi pada orang dewasa setengah baya, paling sering setelah usia 45 tahun (American Heart Association (AHA), 2012).

  b. Riwayat keluarga diabetes melitus seorang anak dapat diwarisi gen penyebab diabetes mellitus orang tua. Biasanya, seseorang yang menderita diabetes mellitus mempunyai anggota keluarga yang juga terkena penyakit tersebut (Ehsa, 2010).

  c. Ras atau latar belakang etnis terjadi pada hispanik, kulit hitam, penduduk asli Amerika, dan Asia (ADA, 2009).

  F. Patofisiologi Diabetes Mellitus 1) Patofisiologi diabetes mellitus tipe 1

  Sistem imunitas menyerang dan menghancurkan sel yang memproduksi insulin beta pankreas (ADA, 2014). Kondisi tersebut merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan ditemukannya anti insulin atau antibodi sel antiislet dalam darah (WHO, 2014). National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK) tahun 2014 menyatakan bahwa autoimun menyebabkan infiltrasi limfositik dan kehancuran islet pankreas. Kehancuran memakan waktu tetapi timbulnya penyakit ini cepat dan dapat terjadi selama beberapa hari sampai minggu. Insulin yang dibutuhkan tubuh tidak dapat terpenuhi karena adanya kekurangan sel beta pankreas yang berfungsi memproduksi insulin, diabetes tipe 1 membutuhkan terapi insulin, dan tidak akan merespon insulin yang menggunakan obat oral. 2) Patofisiologi diabetes tipe 2

  Kondisi ini disebabkan oleh kekurangan insulin namun tidak mutlak, berarti bahwa tubuh tidak mampu memproduksi insulin yang cukup untuk memenuhi kebutuhan yang ditandai dengan kurangnya sel beta atau defisiensi insulin resistensi insulin perifer (ADA, 2014). Resistensi insulin perifer berarti terjadi kerusakan pada reseptor-reseptor insulin sehingga menyebabkan insulin menjadi kurang efektif mengantar pesan-pesan biokimia menuju sel-sel (CDA, 2013). Dalam kebanyakan kasus diabetes tipe 2 ini, ketika obat oral gagal untuk merangsang pelepasan insulin yang memadai, maka pemberian obat melalui suntikan dapat menjadi alternatif.

  G. Komplikasi diabetes mellitus Komplikasi yang dialami penderita diabetes mellitus bervariasi diantaranya komplikasi fisik, psikologis, sosial dan ekonomi. Komplikasi fisik yang timbul berupa kerusakan mata, kerusakan ginjal, penyakit jantung, tekanan darah tinggi, stroke bahkan sampai menyebabkan gangren. Komplikasi psikologis yang muncul yaitu dapat berupa kecemasan (Barnes, 2009).

B. Kerangka Teori

  Diabetes Mellitus

  Diabetes Mellitus tipe 2:

  Diabetes Mellitus tipe 1 :

  (Non - insulin Dependent

  Insulin dependent diabetes

  Diabetes Mellitus - NIDDM)

  mellitus (IDDM). Diabetes

  terjadi akibat sekresi insulin

  jenis ini akibat kerusakan sel

  yang abnormal dan timbulnya resistensi organ tubuh terhadap

  beta pankreas.

  aktivitas insulin.

  Komplikasi Diabetes Mellitus:

  Faktor Internal :

  1. Fisik Respon Psikologis:

  2. Psikologis Kecemasan

  (Hospitalisasi)

  3. Sosial

  4. Ekonomi Faktor Ekstrenal :

  Dukungan Keluarga

  Keterangan : : Yang diteliti

  : Yang tidak diteliti

  1.1. Kerangka Teori Sumber: Novitasari (2012), Stuart & Sundeen (2008), Friedman (2010).

C. Kerangka Konsep

  Dukungan Keluarga

  Tingkat Dibetes Mellitus Respon Kecemasan

  Kecemasan

  1. Ringan

  2. Sedang

  3. Berat

  4. Panik

Gambar 1.3. Kerangka Konsep

D. Hipotesis Penelitian

  Hipotesi adalah jawaban sementara dari masalah penelitian (Notoatmodjo, 2010). Berdasarkan landasan teori dan kerangka konsep penelitian, maka rumusan masalah hipotesis dalam penelitian adalah :

  1. Ha (Hipotesis Altrernatif) adalah hipotesis yang menyatakan terdapat hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat.

  Ha :Terdapat hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pasien diabetes mellitus.

  2. Ho (Hipotesis Nol) merupakan hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan antar variabel.

  Ho :Tidak terdapat hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pasien diabetes mellitu

Dokumen yang terkait

View of HUBUNGAN TINDAKAN MANDIRI PERSONAL HYGIENE OLEH PERAWAT DENGAN TINGKAT KEPUASAN PASIEN IMOBILISASI DI RUANG RAWAT INAP RSUD DR. R GOETHENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA

0 0 8

HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY DAN KOMITMEN ORGANISASI DENGAN KINERJA PERAWAT DI RUANG RAWAT INAP RSUD dr. R. GOETENG TAROENADIBRATA - repository perpustakaan

0 0 16

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PERAWAT DAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK DENGAN KEPUASAN PASIEN RAWAT INAP DI RSUD GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA - repository perpustakaan

0 1 8

HUBUNGAN KUALITAS PELAYANAN PERAWAT DENGAN TINGKAT KEPUASAN PASIEN RAWAT INAP KELAS 3 DI RSUD DR. R. GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA TAHUN 2016 - repository perpustakaan

0 0 15

PERAN PERAWAT SEBAGAI PENDIDIK DAN DUKUNGAN KELUARGA DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN MANDI PASIEN RAWAT INAP DI RSUD dr.R GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA

0 0 16

HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN KEPUASAN PASIEN DI RUANG RAWAT INAP KELAS III RSUD dr. R. GOETENG TAROENADIBRATA PURBALIGGA - repository perpustakaan

0 0 15

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PERAWAT DAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN KELENGKAPAN PENDOKUMENTASIAN ASUHAN KEPERAWATAN DI RUANG RAWAT INAP RSUD dr. R GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA - repository perpustakaan

0 0 16

PENGARUH DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA PASIEN PRE OPERATIF DI RUANG RAWAT INAP RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO - repository perpustakaan

1 4 18

HUBUNGAN MUTU PELAYANAN KEPERAWATAN DENGAN KEPUASAN PASIEN PENGGUNA BPJS KELAS III DI RUANG RAWAT INAP RSUD dr. R. GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA TAHUN 2016 - repository perpustakaan

0 3 15

1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN DIABETES MELLITUS DI RUANG RAWAT INAP RSUD DR. R.GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA - repository perpustakaan

0 0 14