PERBEDAAN TINGKAT DEPRESI ANTARA PRIA DAN WANITA PASCA STROKE SKRIPSI
PERBEDAAN TINGKAT DEPRESI ANTARA
PRIA DAN WANITA PASCA STROKE
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Yonathan Supriadi
NIM : 029114134
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2008
Jangan Biarkan Diri Anda... …
KUATIR ketika anda melakukan bagian Anda yang
terbaik.
TERBURU-BURU ketika kesuksesan bergantung pada
ketepatan.
PERCAYA bahwa sesuatu itu tidak mungkin tanpa
mencobanya.
”Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun
juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal
keinginanmu kepada Allah dalam doa dan ucapan
syukur...”
Filipi 4 : 6
Skripsi ini dipersembahkan untuk: Juruselamat yang hidup Tuhan Yesus Kristus Bapak dan Mama
The one and only my greatest brother Seseorang yang telah mendukung dan mengajari banyak hal
PERBEDAAN TINGKAT DEPRESI ANTARA
PRIA DAN WANITA PASCA STROKE
Yonathan Supriadi
Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma
ABSTRAK
Penelitian ini termasuk penelitian komparatif yang membandingkan
tingkat depresi antara pria dan wanita pasca stroke. Hipotesis penelitian ini
adalah ”ada perbedaan tingkat depresi antara pria dan wanita pasca stroke, wanita
memiliki tingkat depresi lebih tinggi daripada pria. Penelitian ini bertujuan untuk
melihat apakah ada perbedaan tingkat depresi antara pria dan wanita pasca stroke.
Subjek penelitian ini adalah pasien pasca stroke di Klinik Syaraf R.S
Bethesda Yogyakarta. Jumlah subjek adalah 25 pria dan 25 wanita dengan kriteria
subjek adalah 40 – 60 tahun. Alat ukur yang dipakai untuk pengumpulan data
dalam penelitian ini adalah skala Beck Depression Inventory (BDI) yang
diadaptasi. Metode analisis data menggunakan metode uji-t (T-score) dengan
menggunakan program Independent Sample T-test dari SPSS 13.00 for Windows.Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai t yang didapat adalah 1,950
dengan nilai p sebesar 0,057 pada taraf signifikansi 5%. Nilai t hitung yang
diperoleh lebih kecil dari nilai t tabel (2,021), maka perbedaan yang ada tidak
signifikan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat depresi
antara pria dan wanita pasca stroke. Kata Kunci: Depresi, Pasca Stroke, Pria dan Wanita.
THE DIFFERENCE OF DEPRESSION LEVEL BETWEEN
MALE AND FEMALE AFTER STROKE
Yonathan Supriadi
Psychology Faculty
Sanata Dharma University
ABSTRACT
This research was a comparability research by comparing the depression
level between male and female after stroke. The hypothesis of this research was
“there is the difference level of depression between male and female after stroke,
which female more depressive than male”. This research aimed to saw the
difference level of depression between male and female after stroke.Subject of this research was after stroke patient in Neurology Clinic of
Bethesda Hospital Yogyakarta. Total of the subject was 25 male and 25 female
with the criterion of age was 40-60 years old. Measuring instrument for the data
collecting in this research was The Beck Depression Inventory (BDI) adaptation
scale. The data was analyzed used Independent Sample T-test from SPSS 13.00
for Windows.The result showed that the t score was 1,950 equal to p = 0,057 at
signification level 5 %. The t score was smaller than the t table (2,021) so that the
difference was no significant. The result showed that there were no difference of
depression level between male and female after stroke.Key words: Depression, After Stroke, Male and Female.
KATA PENGANTAR
Segala hormat dan kemuliaan hanya kepada Tuhan Yesus Kristus atas
segala hikmat, berkat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul ”PERBEDAAN TINGKAT DEPRESI ANTARA PRIA DAN
WANITA PASCA STROKE”.Selama proses penulisan skripsi ini telah banyak pihak yang membantu
dan mendukung baik mental maupun spiritual, pikiran maupun waktu. Oleh
karena itu penulis menghargai segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan
tersebut. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapa yang Kekal, Juruselamat yang Hidup, Tuhan Yesus Kristus. Hanya
karena kasih kemurahan-Nya sajalah skripsi ini dapat diselesaikan, sungguh tiada hal yang mustahil di hadapan Engkau.
2. Bapak P. Eddy Suhartanto, S. Psi., M. Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian.
3. Bapak Y. Agung Santoso, S. Psi. dan Ibu M.M. Nimas Eki S, S. Psi, M.Si
selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberi banyak masukan, semangat, dan bantuan.
4. Ibu A. Tanti Arini, S.Psi., M. Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi,
”Makasih banyak ya bu atas semua arahan dan dorongan yang ibu berikan dalam penyusunan skripsi ini sampai akhirnya dapat saya selesaikan, banyak hal yang saya dapatkan selama proses bimbingan dengan ibu. Makasih juga buat kesabaran ibu dalam membimbing saya....”
5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
”Terima kasih telah membuka wawasanku dalam bidang psikologi, tanpa engkau saya tiadalah berarti..” especially buat Pak Minta Istono,S.Psi, M.Si (kapan pak poci-an lagi di kaliurang?!hehe.. unforgettable moment bangetlah!)
6. Seluruh staf dan laboran Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Mas
Gandung (”makasih ya mas dah bantuin saya crosscheck nilai,) , Mbak Nanik
(”makasih buat senyum manisnya tiap ketemu saya”), Mas Dony (”maaf yamas kalo di ruang baca sering buat berisik, janji deh ga lagi-lagi hehehe...”),
Pak Gie (”makasih buat kehangatan yang diberikan selama berproses di kampus psikolog i, tetap tersenyum... ☺ ), dan tentunya tak lupa buat Mas Muji ’Beckham’ (Wah bakal keilangan temen untuk ngomongin bola neh, makasih ya mas buat semuanya.. kita ketemu difinal, MU vs Inter!)
7. Direktur R.S Bethesda Yogyakarta yang telah memberikan izin kepada penulis
untuk melakukan penelitian di klinik syaraf R.S Bethesda Yogyakarta.
8. Seluruh Dokter Syaraf dan Suster di Klinik Syaraf R.S. Bethesda Yogyakarta.
Dokter Kriswanto N, Sp.S, Dokter R. Pinzon, Sp.S, Zr. Tuti, Zr. Sari, Zr. Mulat, Zr. Rohmi dan Bapak Jumiran (”Makasih semua, I luv u all... ☺”)
9. Bapak (Terimakasih ya pak buat setiap ketulusan doa dan kesabarannya dalam menanti kelulusan saya) dan Mama (Terimakasih juga buat ketulusan doanya, mama lah yang telah memberikan inspirasi dalam penulisan skripsi ini). Tidak lupa tentunya buat kakakku mas Kris yang udah banyak berkorban buat adikmu ini (maaf lho gendy dipake mulu hehehe....cepetan ya diberesin juga skripsinya!).
10. Om Eddy Kusanto Sekeluarga buat setiap dukungan, baik materiil maupun
spiritual.
11. Om dan Tante, beserta kakak dan adik sepupu yang sudah banyak memberi
semangat.
12. Pak Zamzam P, S.Pd dan Ibu Siti Maulida, S.Pd di Sukabumi (Terimakasih ya
. Oki, Retno, Mugya beserta pak dan bu udah menjadi rumah kedua bagi saya) istri, Riana ”RirieJOe” (Terimakasih buat persahabatan yang sudah kita bina sampai sekarang!).
13. Mamah Tanti Sukowati (makasih ya tan buat dukungan dan semangat yg
selalu diberikan untuk nyelesein skripsi ini, tanpa Tanti skripsi ini ga bakal beres. Makasih juga buat semua hal yang udah kita jalani bersama, sungguh aku bisa belajar banyak hal ketika kita selalu bersama dan aku percaya kalo semuanya tidak akan sia-sia! )
14. Yohana Tarida Damayanti Sinaga, S.Psi, Elman Andreson Saragih, S.Psi dan
Yohanes Dody Mulya Indah (hanya satu kata ”WOW”, sungguh ga bakal ada yang bakal ngalahin kegilaan kita selama ini!!) . Natalia Kristanti, Rio Hartomo, S.Psi, Lisna Indrawati, S.Psi (makasih buat kebersaman kita selama ini ). Linda, Marin, Willy, Abe, Adip, Hellen (makasih ya teman!)
15. Semua teman-teman kelas D angkatan 2002. (bener-bener kelas yang spesial
n unik, masih inget kan kita sekelas pake baju putih termasuk pak Didik?!hehehe... )16. Anak-anak Kost semua : Apul, Nando Refael, Efra, Dian, Mas Jo, Bora, Gian, Rizal dan tentunya the mascot ”Bruno”.
17. Semua teman-teman di PMK Ebenhaezer (Maju terus dalam pelayanan,
jadilah terang dan garam di tempat kita semua berada, Gbu All! ). Kak Sony,
Kak Yolein dan Yoan (makasih ya kak udah jadi kakak pembimbing rohani
kami ). Especially buat Mamih Devi dan Bunda Inne (ga nyangka ya dari PMK akhirnya kita bisa deket gini, makasih ya buat semua keterbukaannya! Kita bakal terus jadi ’keluarga yang harmonis’! ).
18. Paguyuban Mahasiswa Gereja Kristen Pasundan di Yogyakarta.
19. Semua pihak yang tidak disebutkan namun memberikan bantuan, dukungan dan doanya.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini tidak luput dari kekurangan, oleh karena itui penulis dengan terbuka menerima segala kritik dan saran dalam membantu skripsi ini kearah yang lebih baik lagi. Akhir kata penulis mengharapkan agar penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Yogyakarta, Februari 2008 Penulis
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Cerebral Vascular Accident (CVA) atau yang lebih umum disebut stroke
adalah penyakit gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan saraf/ defisit neurologik akibat gangguan aliran darah pada salah satu bagian otak (Junaidi, 2005). Menurut Lumbantobing (2003) penyakit ini merupakan penyebab kematian ketiga di dunia dan di Indonesia setelah penyakit jantung dan kanker. Stroke juga merupakan penyebab cacat badan terbesar dari seluruh penyakit, dengan akibat penurunan produktivitas kerja/ sumber daya manusia yang pada akhirnya menjadi beban sosial bagi keluarga.
Perubahan pola struktur masyarakat dewasa ini, dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri telah membawa dampak pada pergeseran gaya hidup masyarakat perkotaan, termasuk di dalamnya pola makan yang pada awalnya alami menjadi gemar makan makanan yang cepat saji. Efek lain dari perubahan gaya hidup ini ialah terletak pada pergeseran penyakit dari penyakit infeksi ke penyakit kronis, seperti penyakit jantung dan stroke. Tingginya angka kematian yang disebabkan oleh perubahan gaya hidup ini dapat dikurangi jika masyarakat dapat berusaha menciptakan hal-hal yang baik, seperti cara pengaturan makan yang baik dan tidak merokok (Sarafino, 1998). pasien yang datang di rumah sakit. Menurut Setyopranoto (www.suaramerdeka.com) jumlah penderita stroke yang dirawat di rumah sakit meningkat dari waktu ke waktu. Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta hingga 1995 rata-rata dirawat 726 penderita stroke. Adapun pada tahun 2000, terdapat 1000 pasien yang dirawat. Di RSUP Djamil Padang, pada tahun 1995 jumlah yang dirawat 37 penderita dan pada tahun 1999 menjadi 279 penderita. Di RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi, pada tahun 1995 penderita berjumlah 227 dan pada tahun 1999 menjadi 830 penderita. Menurut Lamsudin (1998) berdasarkan data yang diambil dari Survai Kesehatan Rumah Tangga menyebutkan bahwa pada 1996 prevalensi stroke adalah 35,6 per 100.000 penduduk. Prevalensi stroke pada kelompok umur 25-34 tahun adalah 6,9 per 100.000 penduduk. Pada kelompok umur 35-44 tahun adalah 20,4 per 100.000 penduduk dan pada kelompok umur 55 tahun ke atas adalah 276,3 per 100.000 penduduk
Pada stroke, gangguan depresi merupakan gangguan emosi yang paling sering ditemukan. Menurut Andri (www.health.lrc) depresi pada stroke terjadi karena dua faktor. Faktor yang pertama adalah pada penderita stroke terjadi sumbatan atau pecahnya pembuluh darah di otak yang menyebabkan jalur komunikasi ke daerah otak tersebut menjadi terhambat. Otak sendiri terdiri dari beberapa bagian yang tugasnya bermacam-macam. Yang biasanya terkena pada pasien stroke adalah bagian otak yang mengatur fungsi perasaan dan gerakan melakukan gerakan akibat lumpuhnya tubuh sebagian dan gangguan suasana perasaan dan tingkah laku.
Selain dari adanya bagian otak yang mengatur pusat perasaan yang terkena, depresi pada pasien stroke juga disebabkan karena adanya ketidakmampuan pasien dalam melakukan sesuatu yang biasanya dikerjakan sebelum terkena stroke. Bagaimanapun, faktor psikososial juga mempengaruhi tingkat depresi, seperti kontak sosial dan kegiatan waktu luang dengan teman menjadi terganggu sehingga menyebabkan penderita stroke merasa dirinya tidak berguna karena banyaknya keterbatasan yang ada dalam dirinya (Sarafino, 1998).
Depresi pasca stroke ini makin memberat dan makin sering dijumpai sesudah 6 bulan sampai 2 tahun (Feibel dalam Hartanti, 2002). Depresi menjadi semakin memberat ketika penderita stroke harus hidup dalam keadaan yang lebih buruk setelah stroke, sehingga mereka memiliki persepsi yang buruk terhadap masa depan dan merasa kurang memiliki arti hidup.
Sekitar 15%-25% penderita stroke dalam komunitas masyarakat menderita depresi, sedangkan penderita stroke yang dirawat di rumah sakit, sekitar 30%- 40% menderita depresi (Amir, 2005). Seperti yang dilaporkan oleh Feibel dkk (dalam Hartanti, 2002) bahwa sepertiga dari 113 penderita pasca stroke mengalami depresi.
Depresi setelah stroke merupakan hal yang biasa dan dapat mempengaruhi kelangsungan hidup, akibat fungsional, dan kepuasan hidup penderita. Penelitian pria. Pertambahan frekuensi depresi pada penderita stroke wanita terus berlanjut pada 6 bulan dan 1 tahun setelah stroke.
Hal tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Paradiso dan Robinson (1996) mengenai perbedaan gender dalam depresi pasca stroke, yang menyebutkan bahwa gangguan depresi mayor setelah stroke dua kali lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria. Depresi pasca stroke yang lebih sering terjadi pada wanita dikarenakan faktor riwayat keluarga atau pribadi menderita depresi sebelum stroke, namun ini juga bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan depresi pasca stroke.
Meskipun wanita dua kali lebih sering mengalami depresi setelah stroke (Paradiso dan Robinson, 1996 ; Glader dkk, 2003), akan tetapi angka penderita stroke berdasarkan jenis kelamin justru lebih banyak diderita oleh pria dengan perbandingan 61,1 % untuk pria dan 38,9 % untuk wanita (Lamsudin, 1998). Proporsi penderita menurut jenis kelamin ini juga hampir sama dengan yang dilaporkan oleh Hu dkk (dalam Lamsudin, 1998) di Taiwan yaitu 58,6 % laki-laki dan 41,4 % wanita. Basim dkk melaporkan perbandingan proporsi penderita stroke laki-laki dan wanita di Saudi Arabia 1,4 : 1 (Lamsudin, 1998).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Paradiso dan Robinson (1996), tingginya angka depresi pada wanita lebih dikarenakan karakter subjek penelitiannya, bahwa subjek yang diambil adalah penderita stroke yang baru saja melewati periode akut di rumah sakit dan hanya terbatas pada populasi warga
Dari hal itulah yang kemudian mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengenai perbedaan tingkat depresi antara pria dan wanita pasca stroke di Indonesia, dengan tidak membatasi pada status sosial ekonominya. Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana perbedaan tingkat depresi antara pria dan wanita pasca stroke, sehingga dapat diambil suatu tindakan dalam perawatannya agar dapat mencapai kesejahteraan psikologis, yaitu dengan cara membentuk lingkungan yang saling mendukung, sehingga dapat memberikan kesempatan perbaikan adaptasi terhadap ketidakberdayaan yang sebenarnya dapat menimbulkan gangguan depresi.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas maka masalah pokok yang terumuskan adalah apakah ada perbedaan tingkat depresi antara pria dan wanita pasca stroke? C.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan penelitian ini ingin mengetahui perbedaan tingkat depresi antara pria dan wanita pasca stroke.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis Dari hasil ini diharapkan dapat memberi sumbangan dalam bidang psikologi sebagai tambahan pengetahuan tentang dampak psikologi penderita pasca stroke, khususnya masalah depresi.
2. Manfaat Praktis Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemahaman bagi keluarga atau yang merawat penderita pasca stroke untuk dapat memberikan treatment yang sesuai dengan jenis kelaminnya agar peningkatan kualitas hidup penderita pasca stroke dapat tercapai.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cerebral Vascular Accident (CVA) atau Stroke
1. Pengertian Stroke
Definisi stroke atau Cerebral Vascular Accident (CVA) menurut Simon, dkk (1989) adalah gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh gangguan aliran darah dalam otak, yang dapat timbul secara mendadak (dalam waktu hanya beberapa detik) atau secara cepat (dalam tempo beberapa jam), dengan gejala atau tanda yang sesuai dengan daerah otak yang mengalami gangguan pasokan darah.
Menurut Junaidi (2005) stroke adalah penyakit gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan saraf/ defisit neurologik akibat gangguan aliran darah pada salah satu bagian otak.
Madiyono, dkk (2003) menyebutkan stroke adalah bencana atau gangguan peredaran darah di otak. Gangguan peredaran darah ini dapat berupa :
a. Iskemia. Aliran darah berkurang atau terhenti pada sebagian daerah di otak.
b. Perdarahan. Biasanya terjadi karena dinding pembuluh darah robek.
Gangguan peredaran ini mengakibatkan fungsi otak terganggu dan bila
2. Pengetahuan Dasar Anatomi tentang Stroke
Pengetahuan dasar ini dimaksudkan membantu memahami stroke dengan lebih jelas. Chusid (1983) menjelaskan bahwa otak merupakan bagian depan dari sistem saraf pusat yang mengalami perubahan dan pembesaran.
Bagian ini dilindungi oleh tiga selaput pelindung (meningen) dan terdiri atas cortex cerebri, ganglion basalis, thalamus serta hipothalamus, mesenchepalon, batang otak dan cerebellum merupakan landasan yang utama untuk mempelajari lokasi otak.
Caplan (1993) menjelaskan bahwa batang otak merupakan bangunan ramping yang kebelakang melanjutkan diri sebagai medula spinalis (batang saraf dalam tulang belakang). Pesan-pesan yang menuju dan berasal dari anggota tubuh serta badan dan hemisfer akan dihantarkan lewat medula spinalis serta batang otak. Ada komunikasi bebas diantara serebelum yang berhubungan dengan hemisfer, medula spinalis serta lengan dan tungkai.
Beratnya keadaan akibat serangan stroke tergantung lokasi serangan pada otak, kerusakan yang ditimbulkan, dan juga seberapa besar akibat yang ditimbulkan pada hubungan yang rumit antara daerah otak yang rusak dengan bagian otak yang lainnya. Kerusakan pada hubungan ini dapat mengakibatkan permasalahan yang lebih kompleks daripada kelumpuhan atau gangguan sensorik yang biasa, misalnya penderita yang sembuh dari serangan stroke mungkin menghadapi kesulitan dalam penggunaan anggota geraknya secara sendiri, menyisir rambut atau penderita tidak dapat mengenali orang ataupun benda.
Dijabarkan lagi secara lebih rinci oleh Troeboes (dalam Hartanti, 2001) mengenai fungsi salah satu susunan saraf di otak yakni hemisfer, sebagai berikut : a. Fungsi Hemisfer Bagian Kiri
1) Mengendalikan gerakan sisi tubuh sebelah kanan 2) Menginterpretasikan perasaan yang berasal dari sisi kanan tubuh 3) Menginterpretasikan penglihatan dari paruh kanan lapangan penglihatan 4) Mengendalikan fungsi bicara dan pemahaman pada 99 % orang yang dominan tangan kanan dan pada 60 % orang yang kidal
(dominan tangan kiri) Lesi pada Hemisfer bagian kiri akan mengakibatkan :
(1) kelumpuhan tubuh sebelah kanan (2) hilangnya kemampuan berbahasa (afasia) (3) gangguan proses berpikir (4) kebingungan membedakan kiri-kanan (5) hemianopsia kanan, yaitu defek penglihatan atau kebutaan pada mata kanan.
(6) gampang kecewa b. Fungsi Hemisfer Bagian Kanan 1) Mengendalikan gerakan sisi tubuh sebelah kiri 2) Menginterpretasikan perasaan dari sisi kiri tubuh 3) Menginterpretasikan penglihatan dari paruh kiri lapangan penglihatan 4) Mengendalikan fungsi bicara pada kurang lebih 40 % orang yang kidal dan hanya 1 % pada orang yang dominan dengan kanan Lesi pada Hemisfer Bagian Kanan akan mengakibatkan :
(1) kelumpuhan tubuh sebelah kiri (2) berbicara berlebihan (verbalisasi) (3) perhatian mudah terganggu (4) gangguan daya ingat (5) kebijaksanaan kurang, terutama terhadap keselamatan dirinya, labil (6) disorientasi waktu, hemianopsia kiri yaitu defek penglihatan atau kebutaan pada mata kiri.
(7) pengabaian, impulsif, dan letargi yaitu kesadaran dalam tingkat yang lebih rendah, yang ditandai dengan lesu, mengantuk dan apati
B. Depresi
1. Pengertian Depresi
diri dari masyarakat. Greist & Jefferson (1984) menyebutkan bahwa depresi adalah suatu gangguan yang berlangsung cukup lama disertai tanda-tanda spesifik dan gejala-gejala yang secara substansial mengganggu kewajaran sikap dan tindakan seseorang atau yang menyebakan kesedihan yang amat mendalam.
Beck (1967) memberi definisi tentang depresi berkenaan dengan adanya tanda-tanda berikut ini : a. Perubahan suasana hati yang khusus berupa kesedihan, kesepian dan apatis.
b. Konsep diri negatif yang disertai dengan pencelaan diri sendiri dan penyalahan diri sendiri.
c. Keinginan-keinginan regresif dalam menghukum diri sendiri seperti keinginan untuk menarik diri, menyembunyikan diri sendiri/ keinginan untuk mati.
d. Perubahan-perubahan vegetatif berupa anoreksia, insomnia, dan kehilangan libido.
e. Perubahan tingkat keefektifan mengerjakan sesuatu, misalnya retardasi atau agitasi.
Dari sejumlah pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa depresi adalah suatu gangguan mood yang dimanifestasikan dalam gangguan emosional berupa kesedihan yang mendalam serta gangguan kognitif seperti
Gangguan depresi termasuk dalam kategori gangguan mood. Gangguan mood adalah gangguan yang melibatkan keadaan emosi atau efek positif dan negatif yang mendalam selama periode tertentu. Istilah afek berarti suatu respon emosional yang subyektif. Gangguan mood dikarakteristikkan melalui gangguan mood yang cukup serius dan mempengaruhi aktivitas kehidupan sehari-hari (Carson & Butcher, 1992). Gangguan yang dihadapi oleh penderita depresi biasanya seperti perubahan cara makan dan tidur, cara menilai dirinya sendiri, dan cara berpikir tentang sesuatu.
Beck (1967) mengatakan bahwa gangguan depresi secara kognisi dapat ditinjau dari tiga komponen. Komponen tersebut adalah diri, dunia, dan masa depan. Komponen pertama adalah diri, yaitu pandangan terhadap diri sendiri dengan cara yang negatif, merasa tidak benar atau tidak berharga, dan memberi atribut pada pengalaman yang tidak menyenangkan dengan kekurangan-kekurangan pada diri sendiri. Komponen kedua adalah dunia, yaitu bentuk penafsiran terhadap pengalaman dengan cara yang negatif. Menafsirkan hubungan dengan lingkungannya pada hal-hal yang negatif. Komponen ketiga adalah masa depan, yaitu pandangan terhadap masa depan dengan cara yang negatif, mengharapkan bahwa kesulitan dan penderitaan akan berlanjut secara tidak jelas.
2. Gejala-Gejala Depresi
a. Manifestasi Fisik Contoh manifestasi fisik dari gangguan depresi adalah hilangnya nafsu makan dan seksual, mengalami gangguan tidur, munculnya perasaan lelah yang berlebihan.
b. Manifestasi Emosional Manifestasi emosional menggambarkan adanya perubahan perasaan atau perilaku akibat dari perubahan perasaan. Manifestasi emosional meliputi:
1) Dejected mood atau perasaan ditolak yang berupa perasaan menderita, sedih, tidak bahagia, merasa bersalah, merasa tidak berguna, malu, merasa kesepian dan kesendirian. 2) Perasaan negatif terhadap diri sendiri yang berupa kecewa tehadap diri sendiri, tidak senang terhadap diri sendiri dan akhirnya membenci diri sendiri. 3) Berkurangnya kepuasan terhadap aktivitas-aktivitas yang dilakukan, pada mulanya hanya terbatas pada aktivitas tertentu tapi kemudian meluas pada semua aktivitas yang dilakukan termasuk makan, minum, dan seksual.
4) Hilangnya kelekatan emosional dengan orang lain mulai dengan hilangnya kepuasan sampai dengan kemudian pada ketidakacuhan terhadap orang lain. c. Manifestasi Kognitif Manifestasi kognitif terdiri atas tiga kelompok perilaku individu yang menyimpang. Kelompok pertama meliputi perilaku akibat anggapan pasien atau penderita yang menyimpang tentang dirinya. Gejala-gejala yang termasuk dalam kelompok ini adalah penilaian diri yang rendah, gambaran yang menyimpang tentang penampilan fisiologis dan harapan yang negatif. Kelompok kedua menggambarkan dugaan pasien tentang penyebab terjadinya masalah yang sedang dihadapinya. Kelompok ketiga adalah penyimpangan yang berkaitan dengan area pengambilan keputusan (The area of decision making). Umumnya pasien merasa ragu-ragu dan terombang-ambing saat mengambil keputusan.
d. Manifestasi Motivasional Manifestasi motivasional merupakan hal yang tampak paling menonjol dalam depresi. Manifestasi ini meliputi pengalaman sadar, hasrat, dan dorongan-dorongan yang ada dalam diri individu. Pola gejala ini adalah kemunduran sifat dasar (regressive nature). Penderita menarik diri dari aktivitas yang sebenarnya berguna bagi dirinya. Mereka juga menghindar dari tanggungjawab, tidak mempunyai inisiatif serta mengalami penurunan energi.
Gejala-gejala tersebut secara lebih spesifik tertera dibawah ini : 1) Hilangnya kemauan dan motivasi untuk melakukan semua
2) Keinginan unutk menghindar, melarikan diri, dan menarik diri dari berbagai aktivitas.
3) Keinginan untuk bunuh diri yang muncul berulangkali dalam pikiran individu.
4) Meningkatnya dependency atau ketergantungan individu terhadap orang lain secara berlebihan.
e. Delusi Delusi hanya terjadi pada individu yang mengalami gangguan depresi berat, tidak pada depresi ringan. Ada beberapa kategori delusi yaitu delusi ketidakberdayaan, delusi mengenai dosa yang tak terampuni baik mengenai hukuman yang akan diterima maupun mengharapkan hukuman, ilusi, kemiskinan, nihilistik, dan somatik.
a. Halusinasi Contoh halusinasi dari gangguan depresi adalah mengalami halusinasi pada pendengaran, penglihatan, dan penciuman. Sama halnya dengan delusi, halusinasi hanya terjadi pada individu yang mengalami gangguan depresi berat, tidak pada depresi ringan.
3. Tipe-Tipe Depresi
Sue (1986) membedakan depresi berdasarkan penyebab gangguan ke dalam dua jenis, yaitu depresi eksogen dan depresi endogen. Depresi eksogen perceraian. Depresi endogen merupakan gangguan yang disebabkan oleh faktor-faktor genetik (keturunan) dan biologis.
Gangguan depresi dianggap unipolar karena gangguan ini terjadi hanya pada satu arah kebawah (Nevid dkk, 2005). Pada penderita depresi unipolar hanya memiliki satu episode afeksi yaitu kesedihan, kemurungan, yang biasanya berkaitan dengan pengalaman yang sangat menekan dalam hidupnya seperti kegagalan, penyakit atau kecelakaan yang parah, kematian teman atau keluarga.
Gangguan-gangguan depresi atau gangguan unipolar terbagi kedalam 2 tipe yaitu gangguan depresi mayor dan gangguan distimik (Nevid dkk, 2005). Diagnosis dari gangguan depresi mayor didasarkan pada munculnya satu atau lebih episode depresi mayor tanpa adanya riwayat episode manik atau hipomanik. Dalam episode depresi mayor, penderita mengalami salah satu diantara mood depresi seperti merasa sedih, putus asa atau kehilangan minat/ rasa senang dalam semua atau berbagai aktivitas.
Data yang diperoleh APA (dalam Nevid, 2005) menyebutkan bahwa gangguan depresi mayor merupakan tipe yang paling umum dari gangguan mood yang dapat didiagnosis, dengan perkiraan prevalensi semasa hidup berkisar antara 10 % hingga 25 % untuk wanita dan 5 % hingga 12 % untuk pria.
Tipe kedua dari gangguan depresi adalah gangguan distimik. Individu sangat parah seperti yang dialami oleh individu dengan gangguan depresi mayor. Sementara gangguan depresi mayor cenderung parah dan terbatas waktunya, gangguan distimik relatif ringan dan kronis, biasanya berlangsung selama beberapa tahun (Klein dalam Nevid, 2005).
4. Penyebab Timbulnya Depresi
Depresi dapat disebabkan oleh faktor dari luar individu (eksternal) maupun dari dalam individu (internal). Dalam kenyataannya depresi lebih sering disebabkan oleh keduanya.
a. Faktor dari luar Kekecewaan dan krisis merupakan keadaan psikis yang biasanya disebabkan oleh kejadian-kejadian diluar individu. Beberapa di antara kejadian-kejadian di luar individu itu disebutkan oleh Holmes (1967) sebagai berikut :
1) Kematian suami/ istri atau kematian salah seorang keluarga dekat 2) Perceraian 3) Perpisahan dengan keluarga untuk beberapa waktu 4) Masuk penjara 5) Mendapat luka berat atau penyakit atau salah seorang keluarga menderita sakit 6) Perkawinan
9) Kesulitan hubungan seksual 10) Adanya anggota keluarga baru 11) Perubahan peraturan pada tempat pekerjaan atau perubahan tanggungjawab pada pekerjaan 12) Gangguan finansial atau mempunyai hutang 13) Memulai atau mengakhiri pendidikan 14) Pindah rumah/ tempat tinggal.
b. Faktor dari dalam Penyebab dari dalam individu kebanyakan bersifat fisik misalnya gangguan hormonal dan gangguan transmitter di otak.
1) Gangguan hormonal Gangguan pada beberapa hormon dapat menyebabkan depresi, misalnya gangguan pada hormon tyroid. Seringpula gangguan pada hormon-hormon seks menimbulkan depresi. Wanita yang mengalami masa mendekati menopause, sedang hamil atau setelah melahirkan seringkali menderita depresi akibat terganggunya hormon-hormon seks tersebut.
2) Gangguan transmitter di otak Didalam neurotransmitter terdapat tiga macam partikel yaitu dopamine, serotonine, dan noradrenalin. Ketiga partikel tersebut bila terganggu fungsinya dapat menimbulkan berbagai gangguan psikiatrik
5. Teori tentang Depresi
Depresi telah dipelajari dari berbagai perspektif, mulai dari pandangan psikoanalisis, yang menekankan pada hubungan konflik ketidaksadaran dengan kegagalan dan kehilangan. Teori kognitif, yang berfokus pada proses berpikir individu yang mengalami depresi. Sampai dengan teori belajar, yang menekankan pada faktor-faktor situasional.
a) Teori psikoanalisis Teori ini meyakini bahwa depresi mewakili kemarahan yang diarahkan ke dalam diri sendiri dan bukan terhadap orang-orang yang dikasihi. Rasa marah dapat diarahkan kepada diri sendiri setelah mengalami kehilangan yang sebenarnya atau ancaman kehilangan dari orang-orang yang dianggap penting (Nevid dkk, 2005). Freud meneorikan bahwa saat orang merasa kehilangan, atau bahkan takut kehilangan, dan adanya perasaan ambivalen pada seorang figur yang penting, maka perasaan marah mereka terhadap orang tersebut berubah menjadi kemarahan yang ekstrem. Depresi akan berkembang bila individu berupaya mengurangi rasa kehilangan dengan mengintroyeksi obyek yang hilang ke dalam dirinya sehingga kemarahan dan kebenciannya diarahkan ke dalam dirinya. Individu seringkali mengkritik diri sendiri, marah, dan membenci dirinya untuk sesuatu hal yang bukan kesalahannya. Freud menganggap kemarahan yang diarahkan ke diri sendiri (anger turned b) Teori kognitif Teori ini berupaya menjelaskan sebab-sebab depresi berdasarkan pada proses-proses psikologis internal. Saat ini ada dua teori yang paling utama, yaitu : Teori Beck dan Teori Learned-Helplessness dari Seligman (Nevid dkk, 2005).
(1) Teori Beck.
Beck menghubungkan pengembangan depresi dengan adopsi dari cara berpikir yang bias atau terdistorsi secara negatif di awal kehidupan (cognitive triad of depression). Segitiga kognitif mencakup keyakinan-keyakinan negatif mengenai diri sendiri, lingkungan atau dunia secara umum, dan masa depan. Segitiga kognitif dari depresi adalah sebagai berikut :
(a) Pandangan negatif tentang diri sendiri. Memandang diri sendiri sebagai tidak berharga, penuh kekurangan, tidak adekuat, tidak dapat dicintai, dan kurang memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk mencapai kebahagiaan.
(b) Pandangan negatif tentang lingkungan. Memandang lingkungan sebagai memaksakan tuntutan yang berlebihan dan/ atau memberikan hambatan yang tidak mungkin diatasi, yang terus menerus menyebabkan kegagalan dan kehilangan.
(c) Pandangan negatif tentang masa depan. Memandang masa tidak punya kekuatan untuk mengubah hal-hal menjadi lebih baik.
Teori kognitif meyakini bahwa orang yang mengadopsi cara berpikir yang negatif ini memiliki resiko yang lebih besar untuk menjadi depresi bila dihadapkan pada pengalaman hidup yang menekan atau mengecewakan.
(2) Teori Learned-Helplessness Seligman (dalam Nevid dkk, 2005) mengajukan pandangan bahwa orang dapat menjadi depresi karena ia belajar untuk memandang dirinya sendiri sebagai tidak berdaya dalam mengontrol penguatan-penguatan di lingkungannya atau untuk mengubah kehidupannya menjadi lebih baik. Kerentanan terhadap depresi akan terjadi bila individu mempunyai keyakinan bahwa dirinya tidak berdaya. Jika individu merasakan bahwa responnya terus-menerus hanya memiliki akibat minimal pada lingkungan, individu akan mengembangkan keyakinan tentang ketidakberdayaan. Jika keyakinan ini diperkuat dalam situasi yang tidak dapat dikontrol, maka akan dihasilkan kepasifan dan depresi.
Seligman (dalam Nevid dkk, 2005) mengubah teori ketidakberdayaan dalam kerangka konsep psikologi sosial atas gaya atribusional. Gaya atribusional adalah suatu gaya personal dalam karakteristik. Atribusi tersebut dapat internal atau eksternal, stabil atau tidak stabil dan global atau spesifik. Individu yang tidak berdaya dan melakukan atribusi kausal internal, stabil dan global kemungkinan akan mengalami depresi yang lebih mendalam daripada individu yang tidak berdaya yang melakukan atribusi kausal eksternal, tidak stabil dan spesifik.
d) Teori belajar.
Konsep depresi dari teori belajar ini diteliti oleh Lewinsohn dan kawan-kawan (dalam Davison dan Neale, 1986; Sue dkk, 1986) yang menghasilkan beberapa asumsi yaitu :
(1) Depresi dan simtom-simtom klinis lainnya dapat terjadi jika tingkah laku memperoleh sedikit penguatan. Bila seorang individu kehilangan orang yang dicintainya, maka ia akan mengalami penurunan aktivitas karena perhatian, kasih sayang, dan dukungan orang lain yang biasa diperolehnya hilang. Hal ini mendorong timbulnya depresi.
(2) Frekuensi penguatan positif yang kurang ini, pada gilirannya cenderung mengurangi aktivitas selanjutnya dan kemudian tingkat penguatan juga menjadi berkurang. Saat mengalami depresi individu akan memperoleh simpati dari teman-teman dan orang sekitarnya. Keadaan ini akan memperkuat keadaan tidak aktifnya
(3) Jumlah penguatan positif yang tersedia secara potensial bagi individu adalah fungsi dari tiga variabel yaitu : (a) Karakteristik pribadi seperti usia, jenis kelamin, dan daya tarik individu terhadap orang lain.
(b) Lingkungan tempat individu tinggal seperti d rumah lebih banyak penguat positif.
(c) Perilaku-perilaku individu yang dapat mendatangkan penguatan berupa keterampilan sosial dan keterampilan pemecahan masalah.
6. Depresi Pasca Stroke
Stroke dapat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan seseorang seperti kemampuan sosial dan fisik. Ketika stroke mengakibatkan ketidakmampuan fisik ataupun kognitif, penyesuaian emosional dapat menjadi sangat sulit. Permasalahan emosional setelah stroke menjadi hal yang biasa, yaitu penderita stroke sangat mudah mengalami depresi (Sarafino, 1998).
Menurut Taylor (1999) penderita stroke dengan kerusakan otak kiri sering memberi reaksi dengan kecemasan dan depresi, sedangkan penderita dengan kerusakan otak kanan terlihat lebih biasa dalam menghadapi situasi mereka.
Gejala depresi pasca stroke sama dengan gejala depresi fungsional malam hari dan adanya ide-ide bunuh diri (www.health.lrc). Bagi penderita stroke, depresi menjadi masalah yang serius, dan tingkatannya tergantung pada bagian otak yang terkena dan keparahannya.
Bagaimanapun, faktor sosial juga diprediksi dapat mempengaruhi tingkat depresi. Hubungan penderita stroke dengan yang merawat, apakah suami/ istri, anggota keluarga lainnya atau teman dapat mempengaruhi tingkat depresi pasca stroke. Perlindungan yang berlebihan dari yang merawat, hubungan yang buruk dengan keluarga dan pandangan negatif yang dimiliki keluarga terhadap situasi yang dihadapi menjadi hal utama penyebab depresi ( Taylor, 1999).
7. Faktor-Faktor yang Dapat Menimbulkan Depresi Pasca Stroke
Ahli ilmu saraf seperti Colamtonio, dkk (dalam Hartanti, 2001) dan Robinson, dkk (1992) mengemukakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya keadaan depresi pasca stroke, antara lain : a) Lokasi lesi
Penderita stroke yang mengalami lesi di hemisfer kiri, secara dimakna lebih menderita depresi dibandingkan lesi di hemisfer kanan, dan 80 % akan tetap depresi selama 6 bulan atau lebih (Robinson, dkk, 1992). Penderita stroke yang mengalami lesi di hemisfer kanan menunjukkan keadaan sebaliknya, yaitu penderita akan kegirangan yang berlebihan b) Lamanya pasca serangan stroke Robinson, dkk (1982) mengatakan bahwa depresi pada awal serangan stroke lebih banyak berhubungan dengan letak lesi dan tidak berhubungan kuat dengan beratnya hendaya fisik. Lipsey, dkk (dalam Hartanti, 2001) membuktikan bahwa depresi pasca stroke dipengaruhi oleh lamanya pasca serangan stroke yang berhubungan dengan hendaya yang diderita.
c) Hendaya kemampuan fisik Robinson, dkk (1992) pada studi prospektif terhadap penderita pasca stroke mendapatkan bahwa korelasi antara derajat keadaan depresi dan hendaya kemampuan fisik adalah tidak tetap dan akan semakin meningkat dalam waktu 6 bulan pasca stroke. Didukung oleh penemuan Lipsey (dalam Hartanti, 2001) yang mengatakan adanya hubungan yang kuat antara beratnya hendaya fisik dengan gangguan afektif pada 6 bulan pasca stroke.
d) Pengaruh fungsi kognitif Robinson, dkk (1992) mengatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara hendaya fungsi kognitif dan skor depresi pada keadaan akut pasca stroke. Korelasi antara hendaya fungsi kognitif dengan beratnya depresi ini akan menurun pada periode 3 bulan pasca stroke dan antara 3-6 bulan pasca stroke hubungan ini akan meningkat lagi. Penderita pasca stroke, sebaliknya penderita yang depresi tidak menunjukkan perbaikan, bahwa akan terjadi penurunan dari skor MMSE (Robinson, dkk, 1992).
e) Gangguan aktivitas kehidupan sehari-hari Robinson, dkk (1982) pada studinya terhadap 103 penderita pasca stroke menemukan bahwa selama dirawat di rumah sakit dalam periode akut, terdapat hubungan antara hendaya aktivitas kehidupan sehari-hari dengan beratnya depresi walaupun hubungan tersebut tidak sekuat seperti letak lesi. Semakin berat hendaya fungsi aktivitas sehari-hari, semakin berat pula keadaan depresinya. Korelasi ini akan meningkat selama periode 3 bulan pasca stroke dan pada waktu 6 bulan pasca stroke korelasi ini akan sekuat antara letak lesi dengan beratnya depresi.
f) Umur penderita Robinson, dkk (1982) mengatakan bahwa pada keadaan akut pasca stroke, usia penderita secara bermakna berhubungan dengan beratnya skor depresi. Dikatakan semakin muda penderita stroke akan semakin menjadi depresi. Hal ini disebabkan pada penderita muda akan lebih mengalami kesulitan hidup dibandingkan yang lebih tua, yaitu pada sebagian besar telah mengalami pensiun dan tidak lagi berhubungan dengan orang lain.
g) Kerusakan otak sebelumnya Dengan adanya kerusakan dari jaringan otak sebelumnya akan anterior hemisfer kiri terhadap frontal pole, sehingga dapat disimpulkan apabila seseorang pernah mendapat serangan stroke di anterior hemisfer kiri kemudian mendapat serangan stroke di hemisfer kanan, maka gejala depresi yang timbul berkaitan dengan kerusakan lesi lama di anterior hemisfer kiri (Robinson, dkk, 1982).
h) Hendaya fungsi sosial Robinson, dkk (1982) pada studi terhadap 103 penderita pasca stroke didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara skor penilaian fungsi sosial dan skor penilaian berat depresi pada keadaan akut. Penilaian fungsi sosial pada keadaan akut tersebut mencerminkan kemampuan penyesuaian sosial pada keadaan akut tersebut mencerminkan kemampuan penyesuaian sosial sebelumnya (premorbid social adjustment), sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin berat depresi yang dialami, semakin jelek kemampuan fungsi sosial sebelumnya dari penderita. Hubungan ini akan menurun dan tidak bermakna lagi pada saat 3 bulan pasca stroke.
C. Pria dan Wanita
Perbedaan perlakuan antara pria dan wanita didalam masyarakat tampaknya berawal dari adanya perbedaan faktor biologis antara pria dan wanita.
Menurut Maccoby (dalam Suhapti, 1995) perbedaan perilaku bagi pria dan wanita sebenarnya timbul bukan karena faktor bawaan yang dibawa sejak lahir tetapi perbedaan perlakuan yang diterima pria dan wanita sejak awal masa perkembangan.
Secara struktur biologis atau jenis kelamin, manusia terdiri dari pria dan wanita yang masing-masing memiliki alat dan fungsi biologis yang melekat serta tidak dapat dipertukarkan. Sementara itu konsep gender adalah pembagian pria dan wanita yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Gender dapat diartikan sebagai konsep sosial yang membedakan peran antara pria dan wanita. Perbedaan fungsi dan peran antara pria dan wanita dibedakan menurut kedudukan fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan sosial.
William dan Best (dalam Brannon, 1996) menyatakan sifat feminin terdiri dari sifat seperti lembut, emosional, sabar, dan tekun yang biasanya dilekatkan pada jenis kelamin wanita, sedangkan sifat maskulin terdiri dari sifat tegas, keras, mandiri, dan penuh persaingan yang biasanya dilekatkan pada jenis kelamin pria.
Secara fisik-biologis pria dan wanita tidak saja dibedakan oleh jenis kelamin, bentuk dan anatomi biologis lainnya, melainkan juga komposisi kimia dalam tubuh. Adanya kenyataan bahwa pria secara biologis berbeda dengan wanita tidak ada perbedaaan pendapat. Akan tetapi efek perbedaan biologis terhadap perilaku manusia khususnya dalam perbedaan relasi gender, menimbulkan banyak perbedaan. Perbedaan anatomis biologis dan komposisi kimia dalam tubuh oleh sejumlah ilmuwan dianggap berpengaruh pada perkembangan emosional dan kapasitas intelektual masing-masing. Unger (dalam
Tabel 1 Perbedaan Emosional dan Intelektual Pria dan Wanita Pria Wanita
- Sangat agresif - Tidak terlalu agresif
- Independen - Tidak terlalu independen
- Tidak emosional - Lebih emosional
- Dapat menyembunyikan emosi - Sulit menyembunyikan emosi
- Lebih objektif - Lebih subjektif
- Tidak mudah goyah terhadap krisis - Mudah goyah menghadapi krisis
- Lebih berterus terang - Kurang berterus terang
- Berperasaan tidak mudah - Berperasaan mudah tersinggung tersinggung
- Mudah mengatasi persoalan - Sulit menghadapi persoalan
- Tidak canggung dalam penampilan - Lebih canggung dalam penampilan D.
Dinamika Perbedaan Tingkat Depresi Pria dan Wanita Pasca Stroke
Jenis kelamin pria dan wanita memiliki perbedaan yang bertolak belakang satu sama lain, baik mencakup fisik maupun psikologis. Secara biologis, alat-alat biologis melekat pada pria dan wanita selamanya, fungsinya tidak dapat dipertukarkan. Sementara itu konsep gender yang merupakan pembagian pria dan wanita yang dikontruksi secara sosial maupun kultural dapat dipertukarkan. Perbedaan fungsi dan peran antara pria dan wanita tidak ditentukan karena adanya perbedaan biologis, tetapi dibedakan atau dipilah-pilah menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai kehidupan. Adanya perbedaan fungsi dan peranan itulah yang akan menyebabkan perbedaan cara
Holmes (1967) menyebutkan bahwa salah satu penyebab timbulnya depresi adalah karena mendapat luka berat atau sakit berat. Terlebih ketika sakit yang di alaminya merupakan penyakit yang dapat menurunkan kualitas hidup penderitanya yaitu stroke. Stroke dapat menyebabkan kematian dan kecacatan utama, ketidakmampuan penderita dalam melakukan sesuatu yang biasanya dikerjakan sebelum terkena stroke inilah yang semakin membuat penderita merasa dirinya tidak berguna, sehingga berakibat penderita menjadi mudah depresi.