BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepemimpinan Transformasional 1. Definisi Kepemimpinan Transformasional - Hendra Kurniawan BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepemimpinan Transformasional 1. Definisi Kepemimpinan Transformasional Kepemimpinan menurut Robbins dalam Marwan Subekti (2013),

  adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan. Kepemimpinan menurut Hersey adalah proses untuk mempengaruhi aktivitas individu atau kelompok dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus berorientasi pada tugas (tasks) dan hubungan antar manusia (human

  relationship ). Berdasarkan definisi kepemimpinan menurut Robbins dan

  Hersey maka kepemimpinan adalah suatu proses interaksi antara atasan dan bawahan, dimana adanya hal mempengaruhi dari atasan pada bawahan.

  Kepemimpinan transformasional ini berpusat pada asumsi bahwa para pemimpin dapat mengubah keyakinan, asumsi dan perilaku karyawan dengan menarik pentingnya kolektif atau hasil organisasi. Menurut Bass dan Rigio dalam Wahyu Hamdani (2012), secara konseptual, kepemimpinan transformasional pada awalnya dibedakan dari model kepemimpinan transaksional yang mengandalkan kepentingan pribadi sebagai dasar memotivasi para karyawan.

  8 Awalnya, konsep kepemimpinan transformasional diperkenalkan oleh Burns pada tahun 1978 yang menyatakan bahwa pemimpin yang transformasional meningkatkan kebutuhan dan motivasi bawahan dan mempromosikan perubahan dramatis dalam individual, grup, dan organisasi.

  Bass mendefinisikan bahwa pemimpin transformasional adalah seseorang yang meningkatkan kepercayaan diri individual maupun grup, membangkitkan kesadaran dan ketertarikan dalam grup dan organisasi, dan mencoba untuk menggerakkan perhatian bawahan untuk pencapaian dan pengembangan eksistensi.

  Awalnya kepemimpinan transformasional ditunjukkan melalui tiga perilaku, yaitu karisma, konsiderasi individual, dan stimulasi intelektual.

  Namun pada perkembangannya, perilaku karisma kemudian dibagi menjadi dua, yaitu karisma atau idealisasi pengaruh dan motivasi inspirasional.

  Memang pada dasarnya karismatik dan motivasi inspirasional tidak dapat dibedakan secara empiris tetapi perbedaan konsep antara kedua perilaku tersebut membuat kedua faktor di atas dapat dipandang sebagai dua hal yang berbeda. Oleh karena itu, pada perkembangan berikutnya, kepemimpinan transformasional diuraikan dalam empat ciri utama, yaitu: idealisasi pengaruh, motivasi inspirasional, konsiderasi individual, dan stimulasi intelektual.

2. Teori Kepemimpinan Transformasional

  Dalam pengembangan teori kepemimpinan terdapat tiga haluan besar, yaitu: a.

  Teori kepemimpinan berdasarkan sifat (traits theory) b. Teori kepemimpinan berdasarkan perilaku (behavior theory) c. Teori kepemimpinan berdasarkan situasi (situational theory)

  Menurut Luthans dalam Marwan Subekti (2013), salah satu teori kepemimpinan yang menggunakan pendekatan situasionaln adalah teori kepemimpinan kontingensi yang dikembangkan oleh Fiedler pada tahun 1967. Teori kepemimpinan kontingensi menyatakan bahwa kinerja pegawai yang efektif hanya dapat tercapai apabila terjadi kesamaan visi antara tipe kepemimpinan seorang pemimpin dengan bawahannya serta sejauh mana pemimpin mampu mengendalikan situasi. Tiga dimensi penting yang muncul pada model kepemimpinan kontingensi, yaitu: a.

  Leader-member relations (hubungan pemimpin-anggota), yaitu hubungan pemimpin dengan anggota, besaran kadar kepercayaan serta respek dari bawahan terhadap pemimpin.

  b.

  Task structure (tingkat strukur tugas), yaitu kadar formalisasi dan prosedur operasional standar pada struktur tugas yang diberikan oleh pemimpin.

  c.

  Position power (kekuasaan posisi pemimpin), yaitu otoritas pada suatu situasi seperti penerimaan dan pemberhentian pegawai, disiplin, promosi serta peningkatan upah.

  Teori kepemimpinan situasional lainnya dikemukakan oleh Vroom dan Yetton pada tahun 1973 (Wahyu Hamdani, 2012). Teori yang dinamakan teori normative Vroom-Yetton ini menjelaskan bagaimana seorang pemimpin harus memimpin bawahan dalam berbagai situasi.

  Model ini menunjukkan bahwa tidak ada satupun tipe kepemimpinan yang dapat efektif diterapkan dalam berbagai situasi.

  Pilihan mengenai tipe kepemimpinan yang akan dianut hanya efektif jika sesuai dengan situasi yang dihadapi. Selanjutnya House dan Mitchel l pada tahun 1974 mengemukakan teori situasional dengan berbasis pada hasil penelitian dari Universitas Ohio (Wahyu Hamdani, 2012).

  Teori yang dinamakan sebagai teori path-goal ini mengungkapkan bahwa seorang pemimpin mempunyai tugas untuk membantu bawahan dalam mencapai tujuan-tujuan (goal) mereka dan menyediakan petunjuk (path) atau dukungan yang diperlukan untuk memastikan bahwa tujuan tersebut sejalan dengan tujuan organisasi secara keseluruhan. Pada intinya, teori path-goal menjelaskan empat perilaku pemimpin, yaitu (Wahjono, 2010) : a.

  Pemimpin direktif, mengarahkan tentang apa yang harus dilakukan dan bagaimana caranya, menjadwalkan pekerjaan, mempertahankan standar kinerja, dan memperjelas peranan pemimpin dalam kelompok.

  b.

  Pemimpin suportif, melakukan berbagai usaha agar pekerjaan menjadi lebih menyenangkan, memperlakukan pengikut dengan adil, bersahabat, dan mudah bergaul serta memperhatikan kesejahteraan bawahannya.

  c.

  Pemimpin partisipatif, melibatkan bawahan, meminta saran bawahan dan menggunakannya dalam proses pengambilan keputusan.

  d.

  Pemimpin yang berorientasi pada kinerja, menentukan tujuan-tujuan yang menantang, mengharap kinerja yang tinggi, menekankan pentingnya kinerja yang berkelanjutan, optimistik dan memenuhi standar-standar yang tinggi.

  Intinya, teori path goal mengasumsikan bahwa pemimpin harus fleksibel sehingga apabila situasi membutuhkan perubahan tipe kepemimpinan, maka pemimpin mampu mengganti tipe kepemimpinannya secara cepat. Namun Horner (Wahyu Hamdani, 2012) mengungkapkan bahwa dari sekian banyak peneliti yang meneliti tentang teori situasional, ternyata diketahui bahwa teori situasional sangat ambigu karena teori ini lebih menjelaskan konsep-konsep manajerial, dengan kata lain teori tersebut seharusnya ditujukan untuk manajer. Selain itu, teori situasional tidak mampu menjelaskan mengenai konsep kepemimpinan itu sendiri. Kelemahan lain dari teori ini adalah tidak menjelaskan perlu atau tidaknya pekerja mengubah perilaku, seperti yang dilakukan pemimpin, sesuai dengan perubahan situasi pekerjaan.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepemimpinan Transformasional

  Adapun yang mempengaruhi kepemimpinan transformasional adalah: a.

  Idealisasi Pengaruh (Idealized Influence) Idealisasi pengaruh adalah perilaku yang menghasilkan standar perilaku yang tinggi, memberikan wawasan dan kesadaran akan visi, menunjukkan keyakinan, menimbulkan rasa hormat, bangga dan percaya, menumbuhkan komitmen dan unjuk kerja melebihi ekspektasi, dan menegakkan perilaku moral yang etis. Pemimpin yang memiliki idealisasi pengaruh akan menunjukkan perilaku antara lain: mengembangkan kepercayaan bawahan kepada atasan, membuat bawahan berusaha meniru perilaku dan mengidentifikasi diri dengan pemimpinnya, menginspirasikan bawahan untuk menerima nilai-nilai, norma-norma, dan prinsip-prinsip bersama, mengembangkan visi bersama, menginspirasikan bawahan untuk mewujudkan standar perilaku secara konsisten, mengembangkan budaya dan ideology organisasi yang sejalan dengan masyarakat pada umumnya, dan menunjukkan rasa tanggung jawab social dan jiwa melayani yang sejati.

  b.

  Motivasi Inspirasional (Inspirational Motivation) Motivasi inspirasional adalah sikap yang senantiasa menumbuhkan tantangan, mampu mencapai ekspektasi yang tinggi, mampu membangkitkan antusiasme dan motivasi orang lain, serta mendorong intuisi dan kebaikan pada diri orang lain. Pemimpin mampu membangkitkan semangat anggota tim melalui antusiasme dan optimisme. Pemimpin juga memanfaatkan simbol-simbol untuk memfokuskan usaha dan mengkomunikasikan tujuan-tujuan penting dengan cara yang sederhana. Pemimpin yang memiliki motivasi inspirasional mampu meningkatkan motivasi dan antusiasme bawahan, membangun kepercayaan diri terhadap kemampuan untuk menyelesaikan tugas dan mencapai sasaran kelompok. Bass menyatakan bahwa pemimpin yang memiliki motivasi inspirasional akan menunjukkan perilaku membangkitkan gairah bawahan untuk mencapai prestasi terbaik dalam performasi dan dalam pengembangan dirinya, menginspirasikan bawahan untuk mencapai masa depan yang lebih baik, membimbing bawahan untuk mencapai masa depan yang lebih baik, membimbing bawahan mencapai sasaran melalui usaha, pengembangan diri, dan unjuk kerja maksimal, menginspirasikan bawahan untuk mengerahkan potensinya secara total, dan mendorong bawahan untuk bekerja lebih dari biasanya.

  c.

  Konsiderasi Individual (Individualized Consideration) Konsiderasi individual adalah perilaku yang selalu mendengarkan dengan penuh kepedulian dan memberikan perhatian khusus, dukungan, semangat, dan usaha pada kebutuhan prestasi dan pertumbuhan anggotanya. Pemimpin transformasional memiliki perhatian khusus terhadap kebutuhan individu dalam pencapaiannya dan pertumbuhan yang mereka harapkan dengan berperilaku sebagai pelatih atau mentor.

  Bawahan dan rekan kerja dikembangkan secara suksesif dalam meningkatkan potensi yang mereka miliki. Konsiderasi ini sangat mempengaruhi kepuasan bawahan terhadap atasannya dan dapat meningkatkan produktivitas bawahan. Konsiderasi ini memunculkan antara lain dalam bentuk memperlakukan bawahan secara individu dan mengekspresikan penghargaan untuk setiap pekerjaan yang baik.

  d.

  Stimulasi Intelektual (Intelectual Stimulation) Stimulasi intelektual adalah proses meningkatkan pemahaman dan merangsang timbulnya cara pandang baru dalam melihat permasalahan, berpikir, dan berimajinasi, serta dalam menetapkan nilai- nilai kepercayaan. Dalam melakukan kontribusi intelektual melalui logika, analisa, dan rasionalitas, pemimpin menggunakan simbol sebagai media sederhana yang dapat diterima oleh pengikutnya. Melalui stimulasi intelektual pemimpin dapat merangsang tumbuhnya inovasi dan cara-cara baru dalam menyelesaikan suatu masalah. Melalui proses stimulasi ini akan terjadi peningkatan kemampuan bawahan dalam memahami dan memecahkan masalah, berpikir, dan berimajinasi, juga perubahan dalam nilai-nilai dan kepercayaan mereka. Perubahan ini bukan saja dapat dilihat secara langsung, tetapi juga perubahan jangka panjang yang merupakan lompatan kemampuan konseptual, pemahaman dan ketajaman dalam menilai dan memecahkan masalah.

  Bahkan Metcalfe pada tahun 2006 dalam Rahyuda (2008) menambahkan bahwa seringnya teori kepemimpinan transformasional digunakan pada penelitian di sektor publik juga disebabkan oleh banyaknya kelemahan yang terdapat pada tiga haluan besar teori kepemimpinan dan teori kepemimpinan transaksional sebelumnya sehingga teori-teori tersebut sudah dianggap sebagai paradigm usang (old paradigm) dalam penelitian pada sektor publik.

4. Hubungan Kepemimpinan Transformasional dengan Kinerja

  Dampak dari diterapkannya kepemimpinan transformasional adalah pemimpin mampu mempengaruhi kinerja bawahannya.

  Pemimpin transformasional mengarahkan dan mengilhami upaya karyawan dengan meningkatkan kesadaran mereka akan pentingnya nilai-nilai organisasi dan hasil. Proses ini menuntut para pemimpin untuk menciptakan visi, misi dan tujuan antara karyawan, memberikan keyakinan dan arah tentang masa depan organisasi. Daya tarik untuk tujuan yang lebih luas mengaktifkan tingkat kebutuhan karyawan yang tinggi, mendorong mereka untuk mengatasi kepentingan pribadi mereka sendiri demi organisasi dan pelanggannya. Kepemimpinan transformasional lebih baik dibandingkan kepemimpinan transaktional dalam hal menekan turn-over karyawan, meningkatkan produktivitas dan menjadikan kepuasan pegawai lebih besar.

  Jadi, kepemimpinan transformasional akan memberikan pengaruh positif pada hubungan antara atasan dan bawahan. Dengan konsep kepemimpinan transformasional, bawahan akan merasa percaya, kagum, bangga, loyal, dan hormat kepada atasannya serta termotivasi untuk mengerjakan pekerjaan dengan hasil yang melebihi target yang telah ditentukan bersama. Tipe kepemimpinan ini mendorong para pengikutnya (individu-individu dalam satu organisasi) untuk menghabiskan upaya ekstra dan mencapai apa yang mereka anggap mungkin. Kepemimpinan transformasional meningkatkan kesadaran para pengikutnya dengan menarik cita-cita dan nilai-nilai seperti keadilan (justice), kedamaian (peace) dan persamaan (equality).

  Sementara itu, Humphreys (2005) menyatakan bahwa pemimpin yang menerapkan gaya kepemimpinan transformasional dengan karakteristik yang diungkapkan oleh Bass akan menyebabkan terjadinya perubahan yang konstan menuju ke arah perbaikan bagi organisasinya. Dengan perubahan-perubahan positif tersebut, pegawai siap untuk menerima tugas yang diberikan pemimpin tanpa beban, senang dan puas dalam melakukan pekerjaannya serta akan meningkatkan produktivitas dan kinerja pegawai yang bersangkutan.

B. Kompetensi 1. Definisi Kompetensi

  Kompetensi menurut Grote dalam Pramudyo (2010) merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, perilaku yang harus dimiliki seseorang dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya. Kompetensi dapat digunakan untuk memprediksi kinerja, yaitu siapa yang berkinerja baik dan kurang baik tergantung pada kompetensi yang dimilikinya, diukur dari kriteria atau standar yang digunakan.

  Selanjutnya kompetensi menurut Spence Jr. dalam Ruky (2006) adalah “un under lying characteristic of an individual that is casually

  realated to cretarion-referenced effective and/or superior performance in a job or situation

  ” atau karakteristik dasar seseorang (individu) yang mempengaruhi cara berpikir dan bertindak membuat generalisasi terhadap segala situasi yang dihadapi serta bertahan cukup aman dalam diri manusia.

  Menurut Mangkunegara dalam Nenny Anggraeni (2010) mengemukakan bahwa kompetensi merupakan faktor mendasar yang dimiliki seseorang yang mempunyai kemampuan lebih, yang membuatnya berbeda dengan seseorang yang mempunyai kemampuan rata-rata atau biasa saja.

  Kompetensi menurut oleh Nick Boreham dalam Sahwan (2014:5) sebagai berikut :

  Contempory work related education and training policy represent

occupational competence as the outcome of individual performance

at work. This paper present a critique of this neo liberal assumption, arguing that in many cases competence should be regreded as an atribure of groups, teams and communities. It proposes a theory of collective competence in terms of (1) making collective sense of event in the workplace, (2) developing and using a collective knowledge base and (3) developing a sense of interdependency.

  Menurut Malthis dan Jackson dalam Christilia (2013) menjelaskan bahwa kompetensi adalah karakteristik-karakteristik dasar yang dapat dihubungkan dengan kinerja yang meningkat dari individu-individu atau tim. Ada semakin banyak organisasi yang menggunakan beberapa segi analisis kompetensi.

  Kesimpulan dari definisi para ahli adalah kompetensi sebagai kemampuan seseorang untuk menghasilkan pada tingkat yang memuaskan di tempat kerja, termasuk di antaranya kemampuan seseorang untuk mentransfer dan mengaplikasikan keterampilan dan pengetahuan tersebut dalam situasi yang baru dan meningkatkan manfaat yang disepakati.

2. Teori Kompetensi

  Konsep kompetensi berawal dari artikel David McClelland yang mengegerkan, “Testing for competence rather than intelligence”. Artikel tersebut meluncurkan gerakan kompetensi dalam psikologi industrial.

  David McClelland menyimpulkan, berdasarkan hasil penelitian, bahwa tes kecakapan akademis tradisional dan pengetahuan isi, serta nilai dan ijazah sekolah; (1) tidak dapat memprediksi keberhasilan di pekerjaan/kehidupan, (2) biasanya bias terhadap masyarakat yang sosial ekonomi rendah.

  Spencer dan Spencer (dalam Palan, 2008:6), mengemukakan bahwa kompetensi merujuk kepada karakteristik yang mendasari perilaku yang menggambarkan motif, karakteristik pribadi (ciri khas), konsep diri, nilai- nilai, pengetahuan atau keahlian yang dibawa seseorang yang berkinerja unggul (superior performer) di tempat kerja.

  Selanjutnya, Spencer dan Spencer (dalam Palan, 2008:6), menguraikan lima karakteristik yang membentuk kompetensi, sebagai berikut: a.

  Pengetahuan; merujuk pada informasi dan hasil pembelajaran.

  b.

  Keterampilan; merujuk pada kemampuan seseorang untuk melakukan suatu kegiatan.

  c. Konsep diri dan nilai-nilai; merujuk pada sikap, nilai-nilai dan citra diri seseorang, seperti kepercayaan seseorang bahwa dia bisa berhasil dalam suatu situasi.

  d.

  Karakteristik pribadi; merujuk pada karakteristik fisik dan konsistensi tanggapan terhadap situasi atau informasi, seperti pengendalian diri dan kemampuan untuk tetap tenang dibawah tekanan.

  e.

  Motif; merupakan emosi, hasrat, kebutuhan psikologis atau dorongan- dorongan lain yang memicu tindakan.

  Karakteristik kompetensi dibedakan berdasarkan pada tingkat mana kompetensi tersebut dapat diajarkan. Keahlian dan pengetahuan biasanya dikelompokkan sebagai kompetisi di permukaan sehingga mudah tampak. Kompetisi ini biasanya mudah untuk dikembangkan dan tidak memerlukan biaya pelatihan yang besar untuk menguasainya.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kompetensi

  Faktor yang mempengaruhi organisasi menggunakan pendekatan kompetensi adalah untuk mengomunikasikan perilaku yang dihargai di seluruh organisasi, untuk meningkatkan tingkat kompetensi di organisasi tersebut, dan untuk menekankan kapabilitas karyawan guna meningkatkan keunggulan kompetitif organisasional.

  Memiliki sumber daya manusia yang kompeten adalah keharusan bagi perusahaan. Mengelola sumber daya manusia berdasarkan kompetensi diyakini bisa lebih menjamin keberhasilan mencapai tujuan. Sebagian besar perusahaan memakai kompetensi sebagai dasar dalam memilih orang, mengelola kinerja, pelatihan dan pengembangan serta pemberian kompensasi.

  Proses rekrutmen dan seleksi diarahkan untuk mencari orang yang mendekati kompetensinya, demikian pula halnya untuk pengembangan kinerja dan karir karyawan. Setiap kali diadakan uji kompetensi (assessment) untuk mencocokkan apakah karyawan bisa memenuhi model kompetensinya atau tidak. Bila terjadi kekurangan maka karyawan tersebut harus dilatih dan dibina lebih lanjut. Kelalaian atau mengabaikan pelatihan bisa berakibat karyawan menjadi tidak kompeten sehingga kinerja tidak maksimal.

  Kompetensi dalam manajemen sumber daya manusia memainkan peran kritikal dan esensial karena di satu sisi merupakan Human capital dan Active agent bagi pengembangan suatu organisasi, di sisi lain merupakan faktor determinan kapabilitas yang merupakan sekumpulan keahlian dan keterampilan dalam mengkoordinasikan dan mengintegrasikan serangkaian sumber daya yang ada dalam suatu sistem organisasi sehingga menghasilkan serangkaian kompetensi yang akan membentuk kompetensi inti (core competency).

  Kompetensi memberikan beberapa manfaat kepada karyawan, organisasi sebagai berikut : a.

  Karyawan 1)

  Kejelasan relevansi pembelajaran sebelumnya, kemampuan untuk mentransfer keterampilan, nilai, dari kualifikasi yang diakui, dan potensi pengembangan karir. 2)

  Adanya kesempatan bagi pegawai untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan melalui akses sertifikasi nasional berbasis standar yang ada. 3) Penempatan sasaran sebagai sarana pengembangan karier 4)

  Kompetensi yang ada sekarang dan manfaatnya akan dapat memberikan nilai tambah pada pembelajaran dan pertumbuhan.

  5) Pilihan perubahan karir yang lebih jelas untuk berubah pada jabatan baru, seseorang dapat membandingkan kompetensi mereka sekarang dengan kompetensi yang diperlukan untuk jabatan baru. Kompetensi baru yang dibutuhkan mungkin hanya berbeda 10% dari yang telah dimiliki.

  6) Penilaian kinerja yang lebih obyektif dan umpan balik berbasis standar kompetensi yang ditentukan dengan jelas.

  7) Meningkatnya ketrampilan dan ‘marketability’ sebagai karyawan. b.

  Organisasi 1) Pemetaan yang akurat mengenai kompetensi angkatan kerja yang ada yang dibutuhkan.

  2) Meningkatnya efektifitas rekrutmen dengan cara menyesuaikan kompetensi yang diperlukan dalam pekerjaan dengan yang dimiliki pelamar.

  3) Pendidikan dan pelatihan difokuskan pada kesenjangan keterampilan dan persyaratan keterampilan perusahaan yang lebih khusus.

  4) Akses pada pendidikan dan pelatihan yang lebih efektif dari segi biaya berbasis kebutuhan industri dan identifikasi penyedia pendidikan dan pelatihan internal dan eksternal berbasis kompetensi yang diketahui.

  5) Pengambil keputusan dalam organisasi akan lebih percaya diri karena karyawan telah memiliki keterampilan yang akan diperoleh dalam pendidikan dan pelatihan.

  6) Penilaian pada pembelajaran sebelumnya dan penilaian hasil pendidikan dan pelatihan akan lebih reliable dan konsisten.

  7) Mempermudah terjadinya perubahan melalui identifikasi kompetensi yang diperlukan untuk mengelola perubahan. .

  Memiliki SDM adalah keharusan bagi perusahaan. Mengelola SDM berdasarkan kompetensi diyakini bisa lebih menjamin keberhasilan mencapai tujuan. Sebagian besar perusahaan memakai kompetensi sebagai dasar dalam memilih orang, mengelola kinerja, pelatihan dan pengembangan serta pemberian kompensasi.

  Komponen utama kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang saling terkait mempengaruhi sebagian besar jabatan (peranan atau tanggung jawab), berkorelasi dengan kinerja pada jabatan tersebut, dan dapat diukur dengan standar-standar yang dapat diterima, serta dapat ditingkatkan melalui upaya-upaya pelatihan dan pengembangan.

  Kemudian Hutapea dan Thoha dalam Christina (2013) mengungkapkan bahwa ada empat komponen utama pembentukan kompetensi yaitu pengetahuan yang dimiliki seseorang, kemampuan, pengalaman, dan perilaku individu. Keempat komponen utama dalam kompetensi dapat dijelaskan lebih rinci sebagai berikut : a.

  Pengetahuan Pengetahuan adalah informasi yang dimiliki oleh seseorang.

  Pengetahuan adalah komponen utama kompetensi yang mudah diperoleh dan mudah diidentifikasi.

  Pengetahuan karyawan turut menentukan berhasil tidaknya pelaksanaan tugas yang dibebankan kepadanya, karyawan yang mempunyai pengetahuan yang cukup akan meningkatkan efisiensi perusahaan. Namun bagi karyawan yang belum mempunyai pengetahuan cukup, maka akan bekerja tersendat-sendat. Pemborosan bahan, waktu dan tenaga serta faktor produksi yang lain akan diperbuat oleh karyawan berpengetahuan kurang. Pemborosan ini akan mempertinggi biaya dalam pencapaian tujuan organisasi. Atau dapat disimpulkan bahwa karyawan yang berpengetahuan kurang, akan mengurangi efisiensi. Maka dari itu, karyawan yang berpengetahuan kurang harus diperbaiki dan dikembangkan melalui pelatihan SDM, agar tidak merugikan usaha-usaha pencapaian tujuan organisasi yang sudah ditentukan sebelumnya. Pengetahuan dikategorikan sebagai berikut : 1)

  Informasi yang didapatkan dan diletakkan dalam ingatan kita (Deklaratif).

  2) Bagaimana informasi dikumpulkan dan digunakan ke sesuatu hal yang sudah kita ketahui (Procedural).

  3) Mengerti tentang how, when dan why informasi tersebut berguna dan dapat digunakan (Strategic).

  b.

  Keterampilan Faktor yang juga ikut mensukseskan pencapaian tujuan organisasi adalah faktor keterampilan karyawan. Bagi karyawan yang mempunyai keterampilan kerja yang baik, maka akan mempercepat pencapaian tujuan organisasi, sebaliknya karyawan yang tidak terampil akan memperlambat tujuan organisasi. Untuk karyawan-karyawan baru atau karyawan dengan tugas baru diperlukan tambahan keterampilan guna pelaksanaan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Keterampilan merupakan kemampuan seseorang untuk melakukan suatu aktivitas atau pekerjaan. Lebih lanjut tentang keterampilan adalah sebagai kapasitas yang dibutuhkan untuk melaksanakan suatu rangkaian tugas yang berkembang dari hasil pelatihan dan pengalaman. Keahlian seseorang tercermin dengan seberapa baik seeorang dalam melaksanakan suatu kegiatan yang spesifik, seperti mengoperasikan suatu peralatan, berkomunikasi efektif atau mengimplementasikan suatu strategi bisnis.

  c.

  Perilaku Disamping pengetahuan dan ketrampilan karyawan, hal yang perlu diperhatikan adalah sikap perilaku kerja karyawan. Apabila karyawan mempunyai sifat yang mendukung pencapaian tujuan organisasi, maka secara otomatis segala tugas yang dibebankan kepadanya akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

  Menurut Gitosudarmo dan Sudita dalam Fahmi (2012) mengemukakan bahwa : ”Perilaku kerja adalah sikap keteraturan perasaan dan pikiran seseorang dan kecenderungan bertindak terhadap aspek lingkungannya.” d.

  Pengalaman kerja Banyak perusahaan atau organisasi yang kerapkali menganggap bahwa pengalaman sebagai indikator yang tepat dari kemampuan dan sikap yang berhubungan dengan pekerjaan.

  Pengalaman adalah keseluruhan pelajaran yang diperoleh seseorang dari peristiwa-peristiwa yang dialami dalam perjalanan hidup. Pengalaman yang dapat membentuk kompetensi seseorang misalnya pengalaman yang diperoleh dari bekerja dan berorganisasi.

  Baik pengalaman manis maupun pahit berperan penting dalam pembentukan kompetensi dari individu. Mengingat pengalaman seseorang memiliki peran yang cukup besar dalam pembentukan kompetensi, maka sudah sewajarnya seorang pemimpin mengetahui latar belakang sumber daya manusianya.

  Menurut Manullang dalam Christilia (2013) bahwa : ”Pengalaman kerja adalah proses pembentukan pengetahuan atau keterampilan tentang metode suatu pekerjaan karena keterlibatan karyawan tersebut dalam pelaksanaan tugas pekerjaan. Pengalaman kerja sebagai suatu proses pembelajaran dan pertambahan perkembangan potensi bertingkah laku baik dari pendidikan formal maupun non formal atau atau bisa diartikan sebagai suatu proses yang membawa seseorang kepada suatu pola tingkah laku yang lebih tinggi.

  Komponen-komponen kompetensi terdiri dari motive (dorongan), traits (ciri, sifat, karakter pembawaan), self image (citra diri), social role (peran sosial), dan skills (keterampilan).

  Untuk lebih jelasnya komponen-komponen kompetensi tersebut akan diuraikan satu persatu sebagai berikut : 1)

  Motive (Dorongan) Motif seringkali diartikan dengan istilah dorongan. Dorongan atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat. Jadi motif tersebut merupakan studi driving force yang menggerakkan manusia untuk bertingkah-laku, dan di dalam perbuatannya itu mempunyai tujuan tertentu. Setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia selalu dimulai dengan motivasi (niat).

  Motivasi adalah pemberian atau penimbulan motif, dapat pula diartikan hal atau keadaan menjadi motif. Sedangkan menurut Mitchell dalam Christilia (2013) motivasi mewakili proses persistensi kegiatan-kegiatan sukarela (volunter) yang diarahkan ke tujuan tertentu. Motivasi bertalian dengan tiga hal yang sekaligus merupakan aspek-aspek dari motivasi. Ketiga hal tersebut adalah : keadaan yang mendorong tingkah laku (motivating states), tingkah laku yang didorong oleh keadaan tersebut (motivated behavior), dan tujuan dari pada tingkah laku tersebut, (Goals or ends of such behavior ).

  Lebih lanjut motivasi sebagai suatu perubahan tenaga yang ditandai oleh dorongan efektif dan reaksi-reaksi pencapaian tujuan.

  Karena kelakukan manusia itu selalu bertujuan, kita dapat menyimpulkan bahwa perubahan tenaga yang memberi kekuatan bagi tingkah laku lmencapai tujuan, telah terjadi di dalam diri seseorang. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah energi aktif yang menyebabkan terjadinya suatu perubahan pada diri seseorang yang nampak pada gejala/kejiwaan, perasaan, dan juga emosi, sehingga mendorong individu untuk bertindak atau melakukan sesuatu dikarenakan adanya tujuan, kebutuhan, atau keinginan yang harus terpuaskan.

  2) Traits (Ciri, sifat, karakter pembawaan)

  Traits adalah elemen dasar dari kepribadian yang berperan

  vital dalam usaha meramalkan tingkah laku. Hal ini tampak definisi kepribadian menurut Cattell. Menurutnya, kepribadian adalah struktur kompleks yang tersusun dalam berbagai kategori yang memungkinkan prediksi tingkah laku seseorang dalam situasi tertentu, mencakup seluruh tingkah laku baik yang konkrit atau yang abstrak.

  3) Self image (Citra diri)

  Menurut Brisset dalam Christilia (2013) self image merupakan suatu gambaran dan keadaan diri yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan. Self image berkenaan dengan karakteristik fisik dan mentalnya. Proses perkembangan self image merupakan gambaran diri yang dimiliki individu melalui interaksi dengan lingkungan. Individu mendapat umpan balik dan persetujuan mengenai perilakunya dari orang-orang di sekitar individu tersebut.

  4) Social role (Peran sosial)

  Social role merupakan seperangkat harapan dan perilaku atas

  status sosial. Peran sosial merupakan tingkah laku individu yang mementaskan suatu kedudukan tertentu. Dalam peranan yang berhubungan dengan pekerjaannya, seseorang diharapkan menjalankan kewajiban-kewajibannya yang berhubungan dengan peranan yang dipegangnya.

C. Kompensasi 1. Definisi Kompensasi

  Kompensasi merupakan sejumlah uang yang di terima sebagai balas jasa dari prestasi kerja termasuk juga berbagai macam layanan dan tunjangan dari perusahaan kepada pegawainya. Pendapat lain yang dikemukakan oleh Rivai (2010) Kompensasi merupakan sesuatu yang diterima karyawan sebagai pengganti kontribusi jasa mereka pada perusahaan. Pada dasarnya manusia bekerja juga ingin memperoleh uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kompensasi merupakan apa yang diterima oleh para karyawan sebagai ganti kontribusi mereka kepada organisasi (Simamora, 2004).

  Kompensasi (compensation) meliputi kompensasi finansial dan non finansial. Dimana pada kompensasi finansial terdapat kompensasi finansial langsung (direct financial compentation) yaitu berbentuk gaji atau upah dan kompensasi finansial tidak langsung (indirect financial compensation) atau disebut juga dengan tunjangan. Sedangkan untuk kompensasi non

  financial meliputi insentif, tunjangan dan fasilitas. Untuk sistem kompensasi dibedakan oleh waktu, hasil (output) dan borongan.

  Kompensasi merupakan salah satu faktor penting dan menjadi perhatian pada banyak organisasi dalam mempertahankan dan menarik sumber daya manusia yang berkualitas. Berbagai organisasi berkompetisi untuk memperoleh sumber daya manusia yang berkualitas, karena kualitas hasil pekerjaan ditentukan oleh kompetensi yang dimiliki sumber daya manusianya. Alasan ini membuat banyak organisasi mengeluarkan sejumlah dana yang relatif besar untuk mengembangkan sumber daya manusianya agar memiliki kompetensi sesuai kebutuhannya.

  Kompensasi adalah imbalan yang dibayarkan kepada karyawan atas jasa yang mereka sumbangkan pada pekerjannya (Bangun, 2012).

  Kompensasi dapat diterima dalam bentuk finansial (kompensasi langsung dan kompensasi tidak langsung) dan kompensasi bukan finansial.

  Kompensasi finansial adalah bentuk kompensasi yang dibayarkan kepada karyawan dalam bentuk uang atas jasa yang mereka sumbangkan pada pekerjaannya (Bangun, 2012). Kompensasi dalam bentuk finansial dapat dibayarkan secara langsung dan tidak langsung. Kompensasi langsung adalah kompensasi yang dibayarkan secara langsung baik dalam bentuk gaji pokok (base payment) maupun berdasarkan kinerja (bonus dan insentif). Kompensasi langsung dapat berupa :

  a. Perlindungan umum (jaminan sosial, pengangguran dan cacat) b.

  Perlindungan pribadi (pensiun, tabungan, pesangon tambahan, dan asuransi) c.

  Bayaran tidak masuk kantor (pelatihan, cuti kerja, sakit, liburan, acara pribadi, masa istirahat, hari libur nasional) d.

  Tunjangan siklus hidup (bantuan hukum, perawatan orang tua, perawatan anak, program kesehatan, konseling, penghasilan dan biaya pindah).

  Kompensasi tidak langsung adalah kompensasi yang dibayarkan dalam bentuk uang tetapi sistem pembayarannya dilakukan setelah jatuh tempo, atau pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa akan datang yang telah disepakati sebelumnya. Kompensasi tidak langsung dapat dibayarkan dalam bentuk tunjangan seperti asuransi, liburan atas biaya perusahaan dan dana pensiun. Pembayaran tidak langsung akan diberikan kepada seluruh karyawan.

  Kompensasi non finansial adalah imbalan yang diberikan kepada karyawan bukan dalam bentuk uang, tetapi lebih mengarah pada pekerjaan yang menantang, imbalan karir, jaminan sosial atau bentuk-bentuk lain yang dapat menimbulkan kepuasan kerja (Bangun, 2012). Imbalan non finansial dapat berupa imbalan karir (berupa rasa aman, pengembangan diri, fleksibilitas karir, dan peluang kenaikan penghasilan), dan imbalan sosial (berupa simbol status, pujian dan pengakuan, kenyamanan tugas, dan persahabatan).

2. Teori Kompensasi

  Kompensasi merupakan cara perusahaan untuk meningkatkan kualitas karyawannya untuk pertumbuhan perusahaan. Setiap perusahaan memiliki suatu sistem kompensasi yang berbeda-beda sesuai dengan visi, misi, dan tujuannya. Menurut Gugup Kismono (2011) kompensasi dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu: a.

  Kompensasi Finansial (Uang) Kompensasi langsung berupa pembayaran upah (pembayaran atas dasar jam kerja), gaji (pembayaran secara tetap/bulanan), dan insentif atau bonus. Pemberian gaji tetap setiap bulannya umumnya didasarkan pada nilai pekerjaan yang diembannya. Semain tinggi nilai pekerjaan atau jabatannya akan semakin tinggi pula gaji yang diterimanya tanpa memeprtimbangkan kinerja yang dihasilkannya. Penentuan nilai sebuah pekerjaan dilakukan melalui evaluasi pekerjaan. Sebaliknya, besar- kecilnya gaji insentif atau bonus dikaitkan dengan kinerja seseorang atau kinerja organisasi. Jika seseorang menunjukkan kinerja yang lebih tinggi dibandingkan rekan kerjanya, maka dia berhak mendapatkan insentif lebih besar walaupun mereka menduduki jabatan yang sama. Kompensasi pelengkap atau tidak langsung (benefits), pemberian pelayanan dan fasilitas kepada karyawan seperti program beasiswa pendidikan, perumahan, program rekreasi, libur dan cuti, konseling financial, dan lain-lain.

  b.

  Kompensasi Non finansial (Non uang) Kepuasan dari pekerjaan itu sendiri, yaitu yaitu tugas-tugas yang menarik, tantangan, tanggung jawab, pengakuan, dan rasa pencapaian.

  Kepuasan yang diperoleh dari lingkungan kerja karyawan, yaitu kebijakan yang sehat, supervisi yang kompeten, kerabat kerja yang menyenangkan, dan lingkungan kerja yang nyaman.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kompensasi

  Berbagai faktor yang mempengaruhi besarnya kompensasi yang diberikan perusahaan kepada karyawannya. Dikemukakan oleh Hasibuan (2009) sebagai berikut :

  a. Penawaran dan Permintaan Jika pencari kerja (penawaran) lebih banyak daripada lowongan pekerja (permintaan) maka kompensasi relatif kecil. Sebaliknya jika pencari kerja lebih sedikit daripada lowongan pekerjaan maka komoensasi relatif semakin besar.

  b. Kemampuan dan Kesediaan Perusahaan Apabila kemampuan dan kesediaan perusahaan untuk membayar semakin baik, maka tingkat kompensasi akan semakin besar. Tetapi sebaliknya, jika kemampuan dan kesediaan perusahaan untuk membayar kurang, maka tingkat kompensasi relatif kecil.

  c. Serikat buruh / organisasi karyawan Apabila serikat buruhnya kuat dan berpengaruh maka tingkat kompensasi semakin besar. Sebaliknya jika serikat buruh tidak kuat dan kurang berpengaruh maka tingkat kompensasi relatif kecil. d.

  Produktivitas Kerja Karyawan Jika produktivitas kerja karyawan baik dan banyak maka kompensasi akan semakin besar. Sebaliknya kalau produktivitas kerjanya buruk serta sedikit maka kompensasinya kecil.

  e.

  Pemerintah dan Undang-undang dan keppres Pemerintah dengan undang-undang dan keppres menetapkan besarnya batas upah/balas jasa minimum. Peraturan pemrintah ini sangat penting supaya pengusaha tidak sewenang-wenang menetapkan besarnya balas jasa bagi karyawan. Pemerintah berkewajiban melindungi masyarakat dan tindakan sewenang-wenang.

  f.

  Biaya Hidup Apabila biaya hidup didaerah itu tinggi maka tingkat kompensasi/ upah semakin besa. Sebaliknya, jika tingkat biaya hidup didaerah itu rendah maka tingkat kompensai / upah relatif kecil. Seperti tingkat upah di jakarta lebih besar dari pada di Bandung.

  g.

  Posisi Jabatan Karyawan Karyawan yang menduduki jabatan Lebih tinggi akan menerima gaji/ kompensasi lebih besar. Sebaliknya karyawan yang menduduki jabatan yang lebih rendah akan memperoleh gaji/ kompensasi yang kecil. Hal ini wajar karena seseorang ang mendapat kewenangan dan tanggung jawab yang besar harus mendapat gaji/ kompensasi yang lebih besar pula. h.

  Pendidikan dan pengalaman kerja Jika pendidikan lebih tinggi dan pengalaman kerja lebih lama maka gaji / balas jasanya akan semakin besar, karena kecakapan serta keterampilannya lebih baik. Sebaliknya, karyawan yang berpendidikan rendah dan pengalaman kerja yang kurang maka tingkat gaji kompensasinya kecil.

4. Hubungan Kompensasi dengan Kinerja

  Kompensasi karyawan merupakan elemen hubungan kerja yang sering menimbulkan masalah dalam hubungan industrial. Masalah kompensasi, khususnya upah, selalu menjadi perhatian manajemen organisasi, karyawan, dan pemerintah. Manajemen memperhitungkan upah karena merupakan bagian utama dari biaya produksi dan operasi, melukiskan kinerja karyawan yang harus dibayar, dan mempengaruhi kemampuannya untuk merekrut tenaga kerja dengan kualitas tertentu.

  Kompensasi karyawan menentukan kemampuan perusahaan untuk mendapatkan keuntungan, terutama di perusahaan yang padat karya. Oleh karena itu, jika memungkinkan, manajemen berupaya mengefisiensikan upah karyawan dengan pembayaran minimal, tetapi karyawan harus berkinerja secara maksimal. Ketika merekrut seorang karyawan, manajemen organisasi mengharapkan karyawan melakukan pekerjaan atau tugas tertentu dengan cara tertentu dan menghasilkan kinerja tertentu untuk mencapai tujuan organisasi. Harapan organisasi dikemukakan dalam bentuk deskripsi tugas (job description).

  Jika seorang karyawan menghasilkan kinerja yang diharapkan manajemen, ia akan mendapatkan kompensasi tertentu. Dalam waktu tertentu, ia akan mendapatkan kenaikan kompensasi jika memenuhi kriteria kinerja yang ditetapkan manajemen organisasi. Bagi karyawan, upah menentukan standard dan kualitas hidupnya. Upah ukuran tenaga, pikiran, waktu, risiko kerja, dan kinerja yang ia berikan kepada majikan.

  Upah juga mencerminkan kualitas dan kebahagiaan hidupnya di hari tua. Oleh karena itu, upah menentukan hubungan karyawan dengan majikannya, terjadinya pemogokan, kepuasan kerja, dan komitmen terhadap tempat kerja.

  Sebagian besar pemogokan buruh di Indonesia disebabkan oleh tuntutan buruh atas kenaikan upah minimum dan perbaikan jaminan sosial mereka. Bagi pemerintah, kompensasi mempengaruhi kestabilan ekonomi makro, yaitu tingkat pengangguran, inflasi, daya beli dan perkembangan ekonomi, serta poltik dan sosial negara. Upah menentukan jumlah pajak yang diterima pemerintah dan kemampuannya untuk memberikan layanan publik bagi warga negaranya. Jumlah pajak penghasilan yang dipungut pemerintah menentukan kemampuan pemerintah untuk memberikan jaminan sosial kepada karyawan ketika sedang bekerja dan di hari tuanya.

  Kompensasi memberikan kontribusi kepada kemakmuran masyarakat. Di negara-negara maju, tingkat upah merupakan pencipta kemakmuran negara-negara tersebut. Sebagian anggota masyarakat adalah pekerja, baik pada sektor publik maupun pada sektor swasta. Upah mempengaruhi daya beli mereka untuk membeli produk yang mereka butuhkan. Selain itu, upah juga menentukan jumlah jenis, kuantitas dan kualitas produk yang diproduksi oleh pekerja dan dibutuhkan oleh para anggota masyarakat.

  Upah merupakan tolak ukur kinerja karyawan. Upah diberikan setelah karyawan menghasilkan kinerja tertentu. Tujuan mengaitkan upah dengan kinerja antara lain sebagai berkut: a.

  Upah merupakan bagian dari strategi perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan secra efisien. Skema upah disusun berdasarkan tujuan kinerja., seperti tingkat produktivitas dan keuntungan perusahaan.

  b.

  Untuk mempertahankan dan mengembangkan budaya organisasi dengan merekrut dan mempertahankan retensi karyawan dengan kompetensi tinggi.

  c.

  Menciptakan sistem manajemen SDM denga sistem imbalan intrinsik dan ekstrinsik yang meningkatkan motivasi kerja karyawan.

  d.

  Upah juga berkaitan dengan manajemen kinerja yang mengontrol, mengembangkan, dan mempertahankan kinerja tinggi karyawan.

D. Kinerja 1. Definisi Kinerja

  Kinerja adalah kemampuan seseorang dalam melaksanakan tugas pada suatu organisasi (Pramudyo, 2010). Terdapat hubungan yang erat antara kinerja perseorangan dengan kinerja perusahaan. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa apabila kinerja karyawan baik, maka kinerja perusahaan juga akan menjadi baik.

  Faktor –faktor situasi juga berpengaruh terhadap tingkat kinerja yang dicapai seseorang, situasi yang mendukung misalnya adanya kondisi sarana usaha yang baik, ruang yang tenang, pengakuan atas pendapat rekan kerja yang lain, pemimpin yang mengerti kebutuhan karyawan dan tidak otoriter tetapi demokratis. Sistem kerja yang mendukung tentunya akan mendorong pencapaian kinerja yang tinggi daripada kondisi kerja yang tidak mendukung dimana terdapat pemimpin yang otoriter, pelayanan yang kurang memuaskan, tekanan terhadap peranan, tentu akan menimbulkan kinerja karyawan yang rendah.

2. Teori Kinerja

  Menurut Pramudyo (2010) terdapat kurang lebih dua syarat utama yang diperlukan guna melakukan penilaian kinerja yang efektif, yaitu : a.

  Adanya kriteria kinerja yang dapat diukur secara objektif; dan

  b. Adanya objektivitas dalam proses evaluasi Sedangkan dari sudut pandang kegunaan kinerja itu sendiri, Sondang

  Siagian (2008) menjelaskan bahwa bagi individu penilaian kinerja berperan sebagai umpan balik tentang berbagai hal seperti kemampuan, keletihan, kekurangan dan potensinya yang pada gilirannya bermanfaat untuk menentukan tujuan, jalur, rencana dan pengembangan karirnya.

  Sedangkan bagi organisasi, hasil penilaian kinerja sangat penting dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan tentang berbagai hal seperti identifikasi kebutuhan program pendidikan dan pelatihan, rekrutmen, seleksi, program pengenalan, penempatan, promosi, sistem balas jasa, serta berbagai aspek lain dalam proses manajemen sumber daya manusia. Berdasarkan kegunaan tersebut, maka penilaian yang baik harus dilakukan secara formal berdasarkan serangkaian kriteria yang ditetapkan secara rasional serta diterapkan secara objektif serta didokumentasikan secara sistematik.

  Dengan demikian, dalam melalukan penilaian atas prestasi kerja para pegawai harus terdapat interaksi positif dan kontinu antara para pejabat pimpinan dan bagian kepegawaian

  Terdapat beberapa metode dalam mengukur prestasi kerja, sebagaimana diungkapkan oleh Gomes (2008), yaitu : a.

  Metode Tradisional. Metode ini merupakan metode tertua dan paling sederhana untuk menilai prestasi kerja dan diterapkan secara tidak sistematis maupun sistematis. Yang termasuk kedalam metode tradisional adalah :rating scale, employee comparation, check list, free form essay, dan critical incident. 1)

  Rating scale. Metode ini merupakan metode penilaian yang paling tua dan banyak digunakan, dimana penilaian yang dilakukan oleh atasan atau supervisor untuk mengukur karakteristik, misalnya mengenai inisitaif, ketergantungan, kematangan, dan kontribusinya terhadap tujuan kerjanya.