BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Nanda Firdaus Prasetya BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sabun Sabun adalah suatu sediaan yang digunakan oleh masyarakat sebagai pencuci

  pakaian dan pembersih kulit. Berbagai jenis sabun yang beredar di pasaran dalam bentuk yang bervariasi, mulai dari sabun cuci, sabun mandi, sabun tangan, sabun pembersih peralatan rumah tangga dalam bentuk krim, padatan atau batangan, bubuk dan bentuk cair (Arif dan Budiyono, 2004). Sabun adalah garam logam alkali (biasanya garam natrium) dari asam-asam lemak. Sabun mengandung terutama garam C

  16 dan C 18 , namun dapat juga mengandung beberapa karboksilat

  dengan bobot atom lebih rendah. Kegunaan sabun ialah kemampuannya mengemulsi kotoran berminyak sehingga dapat dibuang dengan pembilasan. Kemampuan ini disebabkan oleh dua sifat sabun. Pertama, rantai hidrokarbon sebuah molekul sabun larut dalam zat non-polar, seperti tetesan-tetesan minyak. Kedua, ujung anion molekul sabun, yang tertarik pada air, ditolak oleh ujung anion molekul-molekul sabun yang menyembul dari tetesan minyak lain. Karena tolak-menolak antara tetes-tetes sabun-minyak, maka minyak itu tidak dapat saling bergabung, tetapi tetap tersuspensi (Fessenden & Fessenden, 1986).

  Dewasa ini pemanfaatan sabun sebagai pembersih kulit semakin menjadi

  

trend dan beragam. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang modern saat ini,

  telah banyak pula sabun-sabun dibuat untuk maksud pencegahan atau pengobatan terhadap penyakit-penyakit kulit yang dikenal sebagai sabun untuk obat (Tranggono & Latifah, 2007).

  Sabun obat adalah garam yang berasal dari suatu asam lemak tinggi yang bereaksikan dengan alkali dan ditambah dengan zat kimia, bahan obat yang berguna untuk mencegah, mengurangi, menghilangkan atau menyembukan penyakit dan atau gejala penyakit pada kulit (Tranggono & Latifah, 2007).

  Proses pembentukan sabun dikenal sebagai reaksi penyabunan atau saponifikasi, yaitu reaksi antara lemak/gliserida dengan basa seperti berikut:

  

Gambar 1. Reaksi pembentukan sabun

  Mula-mula reaksi penyabunan berjalan lambat karena minyak dan larutan alkali merupakan larutan yang tidak saling campur (immiscible). Setelah terbentuk sabun maka kecepatan reaksi akan meningkat, sehingga reaksi penyabunan bersifat autokatalitik, dimana pada akhirnya kecepatan reaksi akan menurun lagi karena jumlah minyak sudah berkurang (Alexander, 1964 dalam Perdana dan Hakim, 2008).

  Reaksi penyabunan merupakan reaksi eksotermis sehingga harus diperhatikan pada saat penambahan minyak dan alkali agar tidak terjadi panas yang berlebihan. Pada proses penyabunan, penambahan larutan alkali (KOH atau NaOH) dilakukan sedikit demi sedikit sambil diaduk dan dipanasi untuk menghasilkan sabun cair. Untuk membuat proses yang lebih sempurna dan merata maka pengadukan harus lebih baik. Sabun cair yang diperoleh kemudian diasamkan untuk melepas asam lemaknya (Levenspiel, 1972 dalam Perdana dan Hakim, 2008).

  Menurut Arif dan Budoyono (2004) berdasarkan dari bahan dasarnya, sabun dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar, yaitu:

  1. Sabun yang dibuat dari asam lemak dan logam yang digaramkan. Logam yang digunakan biasanya dari jenis logam alkali, misalnya natrium dan kalium. Jenis sabun yang dihasilkan di antaranya adalah sabun mandi padat dan krim.

  2. Sabun yang dibuat dari bahan dasar zat aktif permukaan (ZAP). Jenis ZAP yang digunakan biasanya terdiri dari jenis anionik dan menghasilkan sabun dalam bentuk cair.

B. Uraian Bahan

  1. Ekstrak Etanol Ketepeng Cina Ketepeng cina mengandung senyawa seperti fenol, tanin, saponin, alkaloid, steroid, flavonoid, antrakuinon dan karbohidrat yang berpotensi memiliki aktivitas antimikroba (Sule et al, 2010).

  2. Asam Stearat Asam stearat berbentuk kasar, putih atau kuning pucat, agak mengkilat, kristal atau serbuk putih kekuningan. Kelarutan sangat mudah larut dalam benzen, karbon tetraklorida, kloroform, dan eter; mudah larut dalam etanol (95%), heksana, dan propilen glikol; praktis tidak larut dalam air.

  Gambar 2. Stuktur asam stearat Asam stearat berfungsi sebagai emulgator (Rowe, 2009).

  3. Minyak Kelapa Minyak kelapa adalah minyak lemak yang diperoleh dengan pemerasan endosperm kering Cocos nucifera L. Minyak kelapa berwujud jernih, tidak berwarna atau kuning pucat, bau khas, dan tidak tengik. Kelarutan larut dalam 2 bagian etanol (96%) pada suhu 60ºC, sangat mudah larut dalam kloroform dan dalam eter. Minyak kelapa memiliki suhu lebur antara 23º sampai 26ºC (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979). Berfungsi sebagai basis sabun cair.

  4. Kalium Hidroksida Kalium hidroksida berwarna putih atau hampir putih, higroskopis berbentuk bulat kecil, serpihan atau memanjang. Kelarutan larut dalam 1 bagian air, 3 bagian etanol 96%, sangat mudah larut dalam etanol mutlak P mendidih. Berfungsi sebagai agen pembasa (Rowe, 2009).

  5. Ethylenediaminetetraacetic Acid (EDTA) EDTA berwujud hablur padat, putih, dan berbau khas. Kelarutan praktis larut dalam air dan propilen glikol, mudah larut dalam etanol (95%), dalam kloroform dan dalam eter. EDTA berfungsi sebagai antioksidan, mengcegah bau tengik.

  Gambar 3. Struktur EDTA

  6. Gliserin Gliserin berwujud cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, manis, higroskopik. Kelarutan praktis tidak larut dalam benzen, kloroform, minyak lemak; sedikit larut dalam aseton; larut dalam 11 bagian etil asetat dan 500 bagian eter; mudah larut dalam etanol (95%), metanol, air.

  Gambar 4. Struktur gliserin

  Gliserin berfungsi sebagai kosolven, emolien, solven, humektan, agen antimikroba (Rowe, 2009).

C. Ketepeng Cina

  Ketepeng cina merupakan perdu yang tingginya sampai 3 m, tumbuh ditempat lembab sampai dengan 1400 m di atas permukaan laut. Tanaman ini mempunyai bunga berwarna kuning, dalam tandan panjang, dipucuk. Daunnya bersirip, terbentuk dari 8-14 pasang anak daun, pasang pertama paling kecil, panjang 5-15 cm, kaku seperti kulit, membundar lebar, pada pangkal miring, ujung tumpul dengan pucuk tajam dari ibu tulang (Sastroamidjojo, 1997).

  1. Sistematika tanaman ketepeng cina:

  Kingdom : Plantae

  Subkingdom : Tracheobionta Superdivisio : Spermatophyta Divisio : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Subclass : Rosidae Order : Fabales Family : Fabaceae Genus : Senna Species : Senna alata (L.) Roxb Synonym : Cassia alata (L.)

  2. Nama Lain Nama lain ketepeng cina yang lazim dipakai di Indonesia yaitu: daun kupang, daun kurap, gelanggang, ketepeng, kupang-kupang (Menado), ketepeng badak dan ki manila (Sunda), ketepeng kebo dan ketepeng cina (Jawa), acon-aconan (Madura), kupang-kupang (Ternate), tabankun (Tidore), dan lain sebagainya (Heyne, 1987).

  3. Manfaat Ketepeng Cina Ektrak dari daun ketepeng cina dapat digunakan untuk mengobati kurap, kudis, borok dan penyakit kuit lainnya termasuk gatal-gatal (Abubacker et al,

  2007).

  4. Kandungan Kimia Ketepeng cina mengandung senyawa seperti fenol, tanin, saponin, alkaloid, steroid, flavonoid, karbohidrat, antrakuinon (Sule et al, 2010), rhein, aloe- emodin, emodin, dan krisofanol (Pharkphoom et al, 2009).

  a. Flavonoid Flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan berpembuluh tetapi beberapa kelas lebih tersebar daripada yang lainnya, flavon dan flavonol tersebar luas, sedangkan isoflavon dan biflanonol hanya terdapat pada beberapa suku tumbuhan, dan umumnya flavonoid terdapat dalam tumbuhan dalam bentuk campuran, jarang sekali dijumpai hanya flavonoid tunggal dalam jaringan tumbuhan (Harborne, 1987). Beberapa kemungkinan fungsi flavonoid untuk tumbuhan adalah sebagai pengatur tumbuh, pengaturan fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus, dan kerja terhadap serangga (Robinson, 1995).

  Gambar 5. Struktur dasar flavonoid

  Flavonoid memiliki sistem aromatik yang terkonjugasi dan kerena itu menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum UV dan spektrum tampak (Harborne, 1987).

  b. Tanin Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dan dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer mantap yang tidak larut dalam air.

  Secara kimia terdapat dua jenis utama tanin yang tersebar tidak merata dalam dunia tumbuhan. Tanin terkondensasi hampir terdapat semesta di dalam paku-pakuan dan gimnospermae, serta tersebar luas dalam angiospermae, terutama pada jenis tumbuhan berkayu. Sebaliknya, tanin terhirolisis penyebarannya terbatas pada tumbuhan berkeping dua (Harborne, 1987).

  c. Saponin Saponin adalah glikosida triterpen dan sterol, sebagai glikosida basanya dihidrolisis oleh asam uronat yang berikatan. Berdasarkan struktur glikon saponin dibedakan menjadi saponin tipe steroid dan triterpenoid. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuan membentuk busa dan menghemolisis sel darah. Dalam larutan sangat encer saponin sangat beracun untuk ikan, dan tumbuhan yang mengandung saponin telah digunakan sebagai racun imun. Beberapa saponin bekerja sebagai antimikroba (Robinson, 1995).

  Pembentukan busa yang mantap sewaktu mengekstraksi tumbuhan dan waktu memekatkan ekstrak tumbuhan, merupakan bukti akan adanya saponin, tetapi biasanya lebih baik lagi bila uji sederhana itu dipastikan dengan cara KLT dan pengukuran spektrum (Harborne, 1987).

  Saponin jauh lebih polar daripada sapogenin karena ikatan glikosidanya, dan lebih mudah dipisahkan dengan KKt atau dengan KLT pada selulosa. Tetapi, KLT pada silika gel berhasil juga dengan memakai pengembang seperti butanol yang dijenuhkan dengan air atau kloroform

  • – metanol – air dengan perbandingan 13:7:2 (Harborne, 1987).

  d. Alkaloid Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar.

  Pada umumnya alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik (Harborne, 1987).

  Menurut Robinson (1995) senyawa alkaloid adalah golongan senyawa yang dari segi kimia bersifat homogen, mengandung nitrogen yang sering kali terdapat dalam cincin heterosiklik dan bersifat basa.

  Berdasarkan bentuk dan asalnya alkaloid dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu alkaloid sejati, protoalkaloid, dan pseudoalkaloid. Alkaloid sejati merupakan turunan dari asam amino dan mengandung atom nitrogen pada cincin heterosiklik. Protoalkaloid juga merupakan turunan dari asam amino, tapi atom nitogen tidak terdapat pada cincin heterosiklik, sedangkan pseudoalkaloid bukan merupakan turunan dari asam amino (Tadeusz, 2007).

  Alkaloid biasanya tak berwarna, sering kali bersifar optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar (Harborne, 1987).

  e. Steroid Steroid dasar sama dengan lanosterol dan triterpenoid tetrasiklik lain, tetapi hanya pada gugus metil yang terikat pada sistem cincin, pada posisi

  10 dan 13. Rantai samping delapan-karbon yang terdapat dalam lanosterol juga dalam bentuk steroid, terutama dari sumber hewan, tetapi kebanyakan steroid pada tumbuhan mempunyai satu atau dua atom tambahan (Robinson, 1995).

  f. Antrakuinon Kuinon adalah senyawa yang berwarna dan mempunyai kromofor dasar seperti pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon (Harborne, 1987).

  Gambar 6. Struktur antrakuinon

  Antrakuinon terhidroksilasi tidak sering terdapat dalam tumbuhan secara bebas tetapi sebagai glikosida. Semua antrakuinon berupa senyawa kristal bertitik leleh tinggi, larut dalam pelarut organik basa. Senyawa ini biasa berwarna merah, tetapi yang lainnya berwarna kuning sampai coklat, larut dalam larutan basa dengan membentuk warna violet merah.

  Bentuk senyawa antrakuinon dalam tumbuhan masih rumit karena prazat aslinya mudah terurai oleh enzim atau cara ekstraksi yang tidak sesuai, sehingga laporan mengenai adanya antrakuinon bebas harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Banyak antrakuinon yang terdapat sebagai glikosida dengan bagian gula terikat dengan salah satu gugus hidroksil fenolik (Robinson, 1995)..

D. Ekstraksi

  Ekstraksi adalah kegiatan penarikan suatu zat yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut cair. Simplisia yang diekstraksi mengandung zat-zat seperti serat, karbohidrat, protein, dan lain sebagainya baik zat yang dapat larut maupun zat yang tidak larut. Dalam berbagai macam simplisia umumnya mengandung senyawa-senyawa golongan alkaloid, glikosida, flavonoid, dan lain sebagainya yang mempunyai struktur kimia berbeda-beda. Struktur kimia yang berbeda akan mempengaruhi kelarutan dan stabilitas senyawa-senyawa tersebut terhadap pemanasan, logam berat, udara, cahaya dan derajat keasaman. Untuk mempermudah pemilihan metode ekstraksi dan cairan penyari yang tepat maka harus terlebih dahulu mengetahui senyawa aktif yang terkandung dalam simplisia (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).

  Pada waktu pembuatan sebuk simplisia, beberapa sel ada yang dindingnya pecah dan ada yang dindingnya masih utuh. Sel yang dindingnya telah pecah, proses pembebasan sari tidak ada yang menghalangi. Proses penyarian pada sel yang dindingnya masih utuh, zak aktif yang terlarut pada cairan penyari untuk keluar dari sel, harus melewati dinding sel. Peristiwa osmosa dan difusi berperan pada proses penyarian tersebut (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).

  Faktor-faktor yang mempengaruhi ekstraksi antara lain yaitu derajat kehalusan serbuk yang umumnya penyarian akan bertambah baik bila permukaan serbuk simplisia yang bersentuhan dengan cairan penyari makin luas. Dengan demikian maka semakin halus serbuk simplisia seharusnya semakin baik penyariannya. Faktor yang kedua yaitu perbedaan konsentrasi yang terdapat mulai dari pusat butir serbuk simplisia sampai ke permukaannya, maupun pada perbedaan konsentrasi yang terdapat lapisan batas, sehingga suatu titik akan dicapai, oleh zat-zat yang tersari jika ada daya dorong yang cukup untuk melanjutkan pemindahan massa. Semakin besar perbedaan konsentrasi, semakin besar daya dorong tersebut hingga semakin cepat penyarian. Semakin kasar serbuk simplisia semakin panjang jarak, sehingga konsentrasi zat aktif yang terlarut dan tertinggal dalam sel semakin banyak (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).

  Pemilihan cairan penyari yang akan digunakan dalam ekstraksi dari bahan mentah obat tertentu berdasarkan pada daya larut zat aktif dan zat tidak aktif serta zat yang tidak diinginkan tergantung pada tipe preparat farmasi yang diperlukan sebagai contoh, yang mengandung air, hidroalkoholik atau alkoholik. Walaupun air dan alkohol serta gliserin (dalam jumlah yang lebih sedikit), mungkin yang paling sering digunakan sebagai pelarut dalam ekstraksi obat, asam asetet dan pelarut-pelarut organik seperti eter dapat digunakan untuk tujuan khusus (Ansel, 1989).

  Etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena:

  1. Lebih selektif

  2. Kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% keatas

  3. Tidak beracun

  4. Netral

  5. Absorbsinya baik

  6. Etanol dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan

  7. Panas yang diperlukan untuk pemekatan lebuh sedikit Etanol dapat melarutkan alkaloida basa, minyak menguap, glikosida, kurkumin, kumarin, antrakuinon, flavonoid, steroid, damar dan klorofil. Kerugian penggunaan etanol sebagai cairan penyari yaitu mahal harganya (Depertemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).

E. Maserasi

  Maserasi adalah proses pengekstrakan simpilsia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokam atau pengadukan pada temperatur ruang (kamar). Maserasi merupakan cara ekstraksi yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia ke dalam cairan penyari, sehingga kemudian cairan penyari akan menembus dinding sel dan rongga sel yang mengandung senyawa aktif, senyawa aktif akan akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan senyawa aktif di dalam sel dan di luar sel, makan larutan yang terpekat akan didesak ke luar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan diluar sel dan di dalam sel. Keutungan dari maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).

F. Candida albicans

  Taksonomi Candida albicans:

  Kingdom : Fungi Phylm : Ascomycota Subphylm : Saccharomycotina Class : Saccharomycetes Order : Saccharomycetales Family : Saccharomyceteae Genus : Candida Species : Candida albicans

  Fungi merupakan suatu organisme eukariotik yang. mempunyai ciri-ciri spesifik yaitu mempunyai inti sel, memproduksi spora, dapat bereproduksi baik secara aseksual dengan pembelahan, maupun secara seksual dengan peleburan inti dari kedua induknya, dan beberapa jamur mempunyai bagian-bagian tubuh berbentuk filamen-filamen dan sebagian lagi membentuk uniseluler (Pratiwi, 2008).

  Jamur dapat lebih bertahan dalam keadaan alam sekitar yang tidak menguntungkan dibanding dengan jasad-jasad renik lainnya. Khamir dan kapang dapat tumbuh dalam suatu substrat atau medium yang berisikan konsentrasi gula yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri, dan pada umumnya jamur dapat bertahan terhadap keadaan yang lebih asam daripada bakteri (Pratiwi, 2008). Jamur dapat hidup pada pH 3,8-5,6 dan kisaran suhu 22-30ºC, resisten terhadap penisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, peka terhadap gliseofulvin (Pelczar, 1986).

  Candida albicans merupakan suatu khamir yang merupakan flora normal

  selaput lendir saluran pernafasan, pencernaan dan genitalia wanita tetapi juga dapat menyebabkan kandidiasis. Infeksi yang lebih gawat dapat menyerang jantung (endokarditis), darah (septisemia), dan otak (meningitis). Organisme ini dapat hidup sebagai saprofit pada selaput-selaput lendir tersebut tanpa menyebabkan penyakit. Namun demikian, apabila inangnya menjadi lemah karena suatu penyakit maka C. albicans dapat menyebabkan infeksi (Pelczar, 1986).

G. Konsentrasi Hambat Minimum (MIC)

  Konsentrasi hambat minimum (MIC) didefinisikan sebagai konsentrasi terendah dari suatu antimikroba yang akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme setelah inkubasi. MIC digunakan oleh laboratorium diagnostic terutama untuk mengonfirmasi resistensi, tetapi paling sering sebagai alat penelitian untuk menentukan aktivitas in vitro antimikroba baru, dan data dari studi tersebut telah digunakan untuk menentukan breakpoints MIC (Andrews, 2001).

  Konsentrasi hambat minimum atau lebih dikenal dengan minimum inhibitory

  

concentration (MIC) adalah konsentrasi terendah dari antibiotika atau antimikroba

  yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba tertentu. Nilai MIC adalah spesifik untuk tiap-tiap kombinasi dari antibiotika dan mikroba. MIC dari sebuah antibiotika terhadap mikroba digunakan untuk mengetahui sensitivitas dari mikroba terhadap antibiotika. Nilai MIC berlawanan dengan sensitivitas mikroba yang diuji. Semakin rendah nilai MIC dari sebuah antibiotika, sensitivitas dari mikroba semakin besar. MIC dari sebuah antibiotika terhadap spesies mikroba adalah rata-rata MIC terhadap seluruh strain dari spesies tersebut. Strain dari beberapa spesies mikroba adalah sangat berbeda dalam hal sensitivitasnya (Jawetz

  et al . 1996).

  MIC dapat ditentukan dengan prosedur tabung dilusi. Prinsip dasar metode ini adalah dengan cara memberikan mikroba uji dengan kepadatan tertentu kepada bahan antimikroba yang akan diuji pada konsentrasi yang semakin kecil. Kepekaan bahan uji terhadap bahan antimikroba ditentukan dengan pengamatan secara makroskopis setelah masa inkubasi berakhir yaitu dengan melihat ada tidaknya pertumbuhan koloni mikroba uji dalam tabung (medium cair) yang ditandai keruhnya medium cair yang dipakai (Pelczar, 1986).

  Metode ini digunakan untuk menentukan MIC suatu senyawa antimikroba. Pada metode ini digunakan erlenmeyer yang diisi medium cair dan sejumlah tertentu mikroba uji, kemudian masing-masing erlenmeyer diisi dengan senyawa

  o

  yang diuji. Erlenmeyer-erlenmeyer tersebut diinkubasi pada suhu 37 C selama 24 jam, untuk selanjutnya diamati turbidansi atau kekeruhannya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Konsentrasi terendah senyawa yang memberikan hasil biakan mulai tampak jernih merupakan konsentrasi hambat minimal senyawa tersebut. Metode Tube Dilution Test mempunyai keuntungan karena dapat menguji daya bakteriostatik dan bakterisidal sekaligus, namun metode ini hanya dapat menguji sabu bahan antimikroba dalam satu kali kegiatan (Pelczar, 1986).

  ® H. Lactacyd ®

  Lactacyd merupakan sabun cair (vaginal douche) yang telah banyak beredar

  ®

  dipasaran. Komposisi dari Lactacyd yaitu:

  1. Aqua Aqua berwujud cairan jernih, tidak berwarna,tidak berbau, tidak mempunyai rasa. Kelarutan sangat mudah larut dalam pelarut polar (Rowe,

  2009).

  2. TEA-Lauryl Sulfate TEA-lauryl sulfate berupa cairan bening yang larut dalam air. Dalam sampo dan sabun cair biasanya digunakan sebagai foaming agent.

  3. Ammonium Lauryl Sulfate Ammonium lauryl sulfate berwujud cairan, tidak berbau, tidak berasa, tidak berwarna atau berwarna kuning muda. Kelarutan mudah larut dalam air dingin maupun air panas.

  4. Ethyleneglycol Stearate Ethyleneglycol stearate berwujud lilin padat berwarna putih atau hampir

  o

  putih. Mempunyai titik lebur pada suhu 54-60

  C. Kelarutan larut dalam aseton dan etanol (95%) panas, praktis tidak larut dalam air (Rowe, 2009).

  5. Diethyleneglycol Stearate Diethyleneglycol stearate berwujud lilin padat berwarna putih atau hampir

  o

  putih. Mempunyai titik lebur pada suhu 43-50

  C. Kelarutan larut dalam aseton dan etanol (95%) panas, praktis tidak larut dalam air (Rowe, 2009).

  6. Hydrogenated Peanut Oil Berwujud cairan tidak berwarna atau berwarna kuning pucat, sedikit

  o

  berbau kacang dan memiliki rasa seperti kacang. Pada suhu 3 C akan berwarna pucat dan pada suhu yang lebih rendah akan mengeras. Kelarutan sangat sukar larut dalam etanol (95%), larut dalam benzen, karbon tetraklorida, dan minyak, sangat mudah larut dalam karbon disulfida, kloroform, eter dan heksan (Rowe, 2009).

  7. Lactic Acid Lactic acid umumnya tidak berbau, tidak berwarna atau sedikit kuning,

  o

  kental, higroskopis, nonvolatil. Mempunyai titik lebur pada suhu 17 C. Kelarutan sangat mudah larut dalam etanol (95%), eter dan air, praktis tidak larut dalam kloroform (Rowe, 2009).

  8. Lactoserum

  9. Ethylhydroxyethylcellulose Ethylhydroxyethylcellulose umumya higroskopis, berwarna putih atau sedikit kekuning-kuningan atau sedikit keabu-abuan, berbentuk granul atau serbuk, tidak berbau. Kelarutan dapat mengembang dalam air, tidak laut dalam air panas dan etanol.

  10. Natural Orange Flavour

  11. Sodium Methyl Paraben Sodium methyl paraben berupa serbuk kristal berwarna putih, higroskopik, tidak berbau atau hampir tidak berbau. Kelarutan larut dalam 50 bagian etanol

  (95%), dalam 2 bagian air, dan praktis tidak larut dalam minyak (Rowe, 2009).

  12. Sodium Hydroxide Sodium hydroxide berbentuk batang, butiran, massa hablur atau keping, kering, keras, rapuh dan menunjukkan susunan hablur, berwarna putih, mudah meleleh basah, sangat alkalis dan korosif, segera menyerap karbondioksida. Kelarutan sangat mudah larut dalam air dan dalam etanol (95%) P (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979).

  13. Cholesterol Cholesterol berbentuk jarum, serbuk atau granul, berwarna putih atau sedikit kuning, hampir tidak berbau. Kelarutan larut dalam aseton dan minyak tumbuhan, agak larut dalam benzen, kloroform, etanol, eter, heksan, isopropil miristat, metanol, dan praktis tidak larut dalam air (Rowe, 2009).

  14. Phosphoric acid Phosphoric acid berupa cairan tidak berwarna dan tidak berasa. Memiliki

  o

  titik lebur pada suhu 42,35

  C. Kelarutan mudah larut dalam etenol (95%) dan dalam air (Rowe, 2009).