Retorika visual pada praktik representasi hantu sebagai simbol identitas komunitas musik underground di Kota Surakarta - USD Repository

  

RETORIKA VISUAL PADA PRAKTIK REPRESENTASI HANTU

SEBAGAI SIMBOL IDENTITAS KOMUNITAS MUSIK UNDERGROUND

DI KOTA SURAKARTA

Tesis

  Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma

  Yogyakarta

  

Oleh

Albertus Rusputranto Ponco Anggoro

096322010

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

  

Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

2013

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

  Saya, mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang bernama Albertus Rusputranto Ponco Anggoro (NIM. 096322010), menyatakan bahwa tesis dengan judul: Retorika Visual pada Praktik Representasi Hantu sebagai ini

  Simbol Identitas Komunitas Musik Underground di Kota Surakarta merupakan hasil karya dan penelitian saya sendiri.

  Di dalam tesis ini tidak terdapat karya peneliti lain yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi lain. Pemakaian, peminjaman/pengutipan dari karya peneliti lain di dalam tesis ini saya pergunakan hanya untuk keperluan ilmiah sesuai dengan peraturan yang berlaku, sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.

  Yogyakarta, 3 September 2013 Yang membuat pernyataan: Albertus Rusputranto Ponco Anggoro

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Saya, yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Albertus Rusputranto Ponco Anggoro NIM : 096322010

  Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

  

Retorika Visual pada Praktik Representasi Hantu sebagai Simbol Identitas

Komunitas Musik Underground di Kota Surakarta

  Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelola dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Yogyakarta Pada tanggal : 3 September 2013 Yang membuat pernyataan: Albertus Rusputranto Ponco Anggoro

KATA PENGANTAR

  Kisah hantu merupakan tema cerita yang sering saya jumpai ketika berbincang santai, ngelantur, bersama beberapa teman. Obrolan semacam ini terasa lebih menyenangkan, menggairahkan sekaligus mencekam saat diperbincangkan pada waktu malam semakin larut. Kisah-kisah yang membangkitkan sensasi kengerian ini begitu digemari. Terlepas percaya atau tidak dengan keberadaan hantu.

  Sensasi kengerian merupakan sensasi tergelap manusia yang teramat kuat, yang membuat orang merinding atau bahkan sampai mungkug-mungkug serasa mau muntah. Sensasi-sensasi ini membangun kenikmatan keindahan yang lain, kenikmatan atas sensasi-sensasi kengerian. Estetika kengerian. Estetika inilah yang memungkinkan representasi hantu hadir sebagai simbol identitas komunitas musik underground aliran Black Metal di Surakarta; menghadirkan metafora kengerian sebagai kondensasi kekuatan visual simbol identitas mereka.

  Tema tersebut saya usung dalam proyek penulisan tesis ini: Retorika

  

Visual pada Praktik Representasi Hantu sebagai Simbol Identitas Komunitas

Musik Underground di Kota Surakarta. Sebuah latihan penelitian. Sebagai sebuah

  latihan tentunya tesis ini masih jauh dari sempurna, tapi setidaknya kekurangsempurnaan ini menjadi sebuah langkah penting bagi proses belajar saya.

  Syukur kepada Tuhan, proyek penulisan tesis ini akhirnya bisa saya selesaikan dengan sepenuh kemampuan saya, sepenuh keterbatasan kemampuan saya. Dan sudah pasti saya tidak mungkin bisa menyelesaikan proyek penulisan tesis ini tanpa bantuan dari banyak pihak. Maka, mengawali tulisan ini saya merasa harus menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu. Pertama-tama dan terutama saya sangat berterima kasih kepada Dr. St. Sunardi yang telah dengan sabar membimbing saya menyelesaikan penulisan tesis ini. Banyak hal yang bisa saya pelajari selama proses pembimbingan. Jauh lebih dari sekedar menyelesaikan tulisan.

  Terima kasih kepada romo Banar (Dr. G. Budi Subanar, S.J.) yang selalu membantu meneguhkan semangat saya untuk menyelesaikan proyek penulisan tesis dan memantapkan langkah saya untuk tidak “menyebarkan kebohongan”. Terima kasih kepada Prof. Dr. A. Supratiknya yang sudah bersedia membaca dan memberikan catatan-catatan pada tesis saya. Terima kasih yang sedalam- dalamnya kepada semua pengajar di program studi Magister Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta; pengalaman yang teramat sangat berharga bagi saya mendapat kesempatan belajar di lembaga ini, bertemu dengan para pengajar yang sangat inspiratif dan sangat membantu memperluas cakrawala pengetahuan saya. Dan terima kasih kepada lembaga tempat saya bekerja, Institut Seni Indonesia Surakarta, yang telah memberikan kesempatan saya menempuh studi lanjut.

  Terima kasih kepada kelompok Makam dan Bandoso, terutama kepada Jiwo (Makam), Nonot (Bandoso) dan Ichsan (Bandoso), yang telah bersedia menjadi subjek yang saya teliti, yang sangat terbuka dan sangat membantu sepanjang proses penulisan tesis ini. Semoga hasil penelitian ini berguna bagi kita semua. Terima kasih kepada Aji (Down for Life), mas Jlitheng Suparman, Muchus Budi Rahayu, Joko S. Gombloh dan K.H. Dian Nafi’ yang telah bersedia berbagi pengetahuan dan menjadi nara sumber dalam penelitian ini.

  Terima kasih kepada mbak Desy yang telah membantu mempermudah hal- hal teknis urusan administrasi, yang sebenarnya sederhana tapi terasa sangat rumit bagi beberapa orang, termasuk saya, kalau tidak ada yang membantu mernahke. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua teman mahasiswa IRB, terutama teman-teman seangkatan yang tidak pernah tidak menjadi sepotong senja yang membahagiakan. Leo, Elly, Lucy, Virus, Iwan, Abed, Anes, Vita, mbak Lulud, Probo, Agus dan Herlien adalah orang-orang yang dikaruniai Tuhan kemampuan untuk menjadikan apa-apa yang sulit menjadi semudah-mudahnya urusan.

  Terima kasih kepada Bibit “Jrabang” Waluya dan Taufik Murtono yang tidak terkira support yang selalu diberikan; bukan hanya menyemangati bahkan juga tidak pernah tidak membuka pintu setiap kali saya nodong meminjam uang untuk sekedar menutup lobang yang menjadi lebih sering muncul sejak saya semakin khusuk merampungkan tesis. Terima kasih kepada Setyawan Mayit yang selalu bersedia meluangkan waktu untuk mendiskusikan sebentar tesis yang sedang saya kerjakan dan gojek, gojek, gojek selepasnya. Terima kasih kepada pak Halim H.D. dan mbak Melati Suryodarmo yang tidak bosan-bosannya memberikan dukungan dengan selalu mengabarkan dan mengundang ngebir (maaf kalau akhir-akhir ini jadi sering tidak bisa memenuhi undangan). Terima kasih kepada Irfan Gundul yang telah membuat laptop saya -pusaka satu-satunya yang saya miliki selama proses menulis tesis ini- sehat kembali setelah sebelumnya sempat membuat jantung berdebar-debar oleh aksi mogoknya.

  Terima kasih kepada Yudha Rena Mahanani dan Jepun Rahpatani, istri dan anak tercinta, yang telah dengan sangat sabar menemani dan, untuk beberapa waktu, rela “dimadu” dengan tesis ini. Maafkan kalau kalian terpaksa harus ikut- ikutan prihatin. Tapi nggak apa-apa ya, namanya juga cinta. Cinta tuh, konon katanya, susah senang ditanggung bersama.

  Dan tentunya masih banyak lagi handai taulan, yang tidak bisa saya sebut satu persatu, yang sudah saya repoti dan banyak membantu selama proses penulisan tesis. Saya haturkan banyak-banyak terima kasih. Lemah teles; Gusti

  

Allah sing mbales. Akhir kata, saya persembahkan tesis ini kepada khalayak

  pembaca. Semoga karya yang masih jauh dari sempurna ini berguna untuk menambah pengetahuan kita bersama.

  Albertus Rusputranto Ponco Anggoro

  

ABSTRAK

Makam dan Bandoso adalah nama dua kelompok dari komunitas musik Black

Metal yang ada di kota Surakarta, yang sampai sekarang masih menunjukkan

  eksistensinya di dunia musik underground. Dua kelompok ini mensintesakan representasi hantu, ikon-ikon Jawa tradisional dan simbol identitas komunitas musik Black Metal sebagai kondensasi kekuatan (metafora) simbol visual identitas mereka. Sintesa ini terasa janggal dan membangkitkan sensasi kengerian, namun justru inilah kekuatannya: retorika simbol identitas Makam dan Bandoso. Kedua kelompok musik Black Metal ini menjadikan apa-apa yang mengerikan, menjijikkan, sebagai estetika simbol identitas mereka. Estetika yang dibangun oleh metafora-metafora dari sensasi-sensasi kengerian. Estetika kengerian. Analisa retorik dilakukan untuk mengetahui kekuatan simbol identitas dan pengalaman estetik Makam dan Bandoso. Dari analisa ini akhirnya tidak hanya dapat diketahui kekuatan retorik simbol identitas dan estetika kengerian Makam dan Bandoso tetapi juga bagaimana estetika kengerian ini menandai kebangkitan postradisionalisme.

  Kata kunci : retorika, estetika kengerian, simbol identitas, postradisionalisme.

  

ABSTRACT

Makam and Bandoso are the titles of two musical groups of Black Metal

  community in Surakarta, who still show their existence. These groups synthesise ghosts representation, traditional javanese icons, and Black Metal music community’s identity symbol as power condensation (metaphor) of their identity’s visual symbol. This synthesis seems odd and raises horrifying sensation, but exactly this is the strength point: symbolic rhetorics of Makam and Bandoso

  ’s identities. These groups made everything which is horrified and disgusting as their aesthetics symbol of their identities. Aesthetics which are constructed by metaphors of disgusting sensations. Aesthetics of disgust. Rhetorics analysis is made in order to understand the power of symbolic identity and aesthetics experience of Makam and Bandoso. Finally, from this analysis, the rhetorics power of identity’s symbol and disgusting aesthetics of Makam and Bandoso are detected. Then, this analysis is also to know how disgusting aesthetics signifies the raise of post-traditionalism.

  Keywords : rhetoric, aesthetic of disgust, identity’s symbol, post-traditionalism.

  

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ................................................................................................. i

LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ................................................................. iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ................................. v

KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi

ABSTRAK ............................................................................................................ x

ABSTRACT …... .. ............................................................................................... xi

DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii

  

BAB I Pendahuluan ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 7 C. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 8 D. Pentingnya Penelitian ..................................................................................... 9 E. Tinjauan Pustaka ............................................................................................. 9 F. Kerangka Teoritis…. .................................................................................... 15

  G.

  Metode Penelitian ......................................................................................... 22 H. Skema Penulisan ........................................................................................... 23

  

BAB II Black Metal yang Tersisa di Surakarta ........................................ 24

A. Gelombang Kemunculan Aliran Musik Black Metal ................................... 25 B. Komunitas Black Metal di Indonesia ............................................................ 32 C. Komunitas Black Metal di Surakarta ............................................................ 39 1. Makam: Black Metal sebagai Kedjawen Pagan Front ............................ 46 2. Bandoso: Black Metal di Atas Panggung................................................. 52

BAB III Simbol Identitas Makam dan Bandoso .......................................... 57

A. Membaca Visualitas Makam dan Bandoso ................................................... 57 1. Makam

  a. Representasi Kekuatan Alam pada Logo Makam ................................ 58

  b. Artwork “Kedjawen” pada Produk Merchandise ................................. 71

  c. Fesyen Panggung ................................................................................. 84

  d. Imaji Fotografi ..................................................................................... 94 2. Bandoso

  a. Aplikasi Artwork Visual pada Merchandise dan Logo Bandoso ......... 99

  b. Menimbang Eksistensi dan Rasa Nyaman dalam Fesyen Panggung ..................................................................... 110

  3. Rangkuman: Menjadi Subkultur dan Bagian dari Kebudayaan Populer ....................................................................... 115 B.

  Visualitas yang Menggelisahkan ................................................................ 124 1.

  Tengkorak Bandoso ............................................................................... 124 2. Shiva Ratriarkha..................................................................................... 127 3. Pe-Makam-an Banaspati ........................................................................ 129

  

BAB IV Estetika Kengerian ....................................................................... 133

A. Sensasi Kengerian dalam Metafora ............................................................ 134 B. Metafora Kengerian pada Simbol Identitas Makam dan Bandoso ............. 138 1. Retorika Nama ....................................................................................... 138 2. Fesyen Panggung yang Mengerikan ...................................................... 145 3. Banaspati: Metafora Kengerian sebagai Ide .......................................... 149 4. Kerapian yang Mengerikan .................................................................... 153 5. Estetika Kengerian sebagai Kebangkitan Postradisionalisme ............... 157

BAB V Penutup .......................................................................................... 162

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 170

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masyarakat berkebudayaan Jawa mempunyai sejarah panjang praktik

  representasi hantu dalam folklor mereka. Sampai sekarang cerita-cerita hantu masih menjadi salah satu dongeng favorit, yang seringkali hadir dalam obrolan- obrolan santai menjelang atau sepanjang malam. Ada yang tidak mempercayai keberadaannya, namun bukan berarti tidak menyukai pengisahannya.

  Cerita-cerita itu beredar lebih banyak daripada yang benar-benar diterima sebagai pengalaman pribadi, tetapi hal itu memang lazim terjadi. Cerita yang beredar itu mungkin saja melebih-lebihkan, tetapi itu kurang penting

  1 dibandingkan dengan kenyataan bahwa cerita-cerita itu ditanggapi secara serius.

  Representasi hantu dalam folklor masyarakat Jawa selain hadir dan tersebar lewat dongeng yang dituturkan di ruang-ruang domestik juga terkemas dalam media seni tradisi kelisanan. Di antaranya, yang sampai sekarang masih banyak ditemui, adalah pada pergelaran wayang kulit. Dalam permainan wayang kulit, pada adegan dan kisah tertentu, tidak jarang dalang memunculkan boneka wayang

  

2

setanan. Menurut Ki Jlitheng Suparman , wayang setanan adalah representasi dari

1 Lihat, Stange, Dr. Paul. 1998. Politik Perhatian: Rasa Dalam Kebudayaan Jawa. Tr. Tim LKiS.

  Yogyakarta: LKiS. h.37.

  3

  berbagai jenis hantu yang ada di Jawa . Konon seperti itulah wujud hantu yang ada dan pernah dijumpai oleh masyarakat Jawa. Masing-masing dinamai sesuai dengan nama jenis hantu yang ”sebenarnya”, misalnya: théthék (jrangkong), banaspati, ntok nthing, wewe dan hantu pocong.

  Selain dikisahkan dalam seni pertunjukan (tradisi kelisanan), representasi hantu juga hadir dalam seni rupa, di antaranya representasi hantu-hantu pesugihan pada karya-karya lukis tradisional Citro Waluyo dan berbagai jenis hantu pada

  4

  panel-panel gambar umbul seri hantu . Sholehpati (Achmad Sholeh), yang sempat populer lewat program siaran televisi yang berjudul Para Pemburu Hantu dan

  

Mister Tukul Jalan-Jalan, bahkan menerbitkan buku (katalog) lukisan-lukisan

  karyanya yang konon merepresentasikan wujud hantu yang dilihatnya secara

3 Wayang setanan bermacam-macam dan imajinatif bentuknya; ada yang lehernya terlalu panjang,

  

ada yang kepalanya terlalu besar, ada yang berbadan gemuk dengan kepala yang terlalu kecil, ada

yang posisi badannya selalu terbalik dengan rambut api yang menyala, ada yang hidungnya seperti

buah terung, ada yang penisnya terlalu besar, ada yang payudaranya memanjang menjuntai sampai

pinggul dan masih banyak ragam lagi. Biasanya dalang memainkannya dengan membayangkan,

meniru, manusia yang mempunyai anatomi seperti itu. Misalnya wayang setanan yang berhidung

seperti terung, biasanya suaranya dibuat bindeng, sengau, seperti orang yang mempunyai anatomi

4 hidung serupa dengan citraan hantu tersebut. Permainan dalang membuat penonton tertawa.

  

Gambar umbul adalah gambar yang dicetak dengan format kertas sebesar folio, berisi gambar

dalam kotak (panel) atau lebih, dalam ukuran 2,1 x 3,2 cm; 2,5 x 3,6 cm; 3,7 x 2,5 cm; 3,5 x 5,5

cm, dan beberapa variasi ukuran yang lain. Dicetak di atas kertas 70 gram, 80 gram atau di atas

100 gram. Dicetak berangkai dan diberi nomor urut dari angka 1 hingga 20, 30, 36, 50, 78 atau

100. Disebut gambar umbul karena gambar tersebut digunakan untuk permainan umbul (biasanya

dilakukan oleh anak-anak). Cara mainnya dengan melemparkan ke udara (bahasa Jawa: umbul).

Gambar umbul ditumpuk dua atau lebih tergantung berapa banyak pesertanya. Setiap anak

mengumpulkan satu (atau dua gambar) kemudian dipegang di tangan dan dilontarkan ke udara

sehingga gambar umbul terbang dan berputar di udara sebelum akhirnya jatuh ke tanah. Gambar

umbul yang tampak gambarnya dinyatakan sebagai pemenang sedangkan gambar yang tengkurap

kalah. Di antara macam-macam seri gambarnya terdapat juga seri memedi (hantu). Gambar seri

memedi ini merepresentasikan hantu dalam kepercayaan masyarakat Jawa. Lihat, Hermanu dkk.

2010. Pameran Gambar Umbul II: Thong-Thong Shot. Yogyakarta: Bentara Budaya Yogyakarta;

Benu Wibi Winarko, Ibnu. 2010. Gambar Oemboel Indonesia. Yogyakarta: Penggemar Toelen

  5

  gaib . Di antara lukisan-lukisan tersebut ada beberapa lukisan yang merepresentasikan jenis-jenis hantu yang dikenal dalam folklor masyarakat Jawa.

  Representasi hantu dalam folklor kebudayaan Jawa sampai sekarang ternyata masih sering dihadirkan. Selain dalam tradisi kelisanan dan karya seni rupa, representasi hantu juga muncul pada film layar lebar, beberapa program televisi (misalnya: sinetron, reality show, iklan dan pemberitaan), karya sastra dan, yang pernah marak, sandiwara radio. Representasi hantu ternyata juga mewarnai simbol identitas komunitas anak muda urban di beberapa kota di Jawa, di antaranya kelompok-kelompok musik underground, ekstrim metal, yang berkiblat pada aliran musik Black Metal.

  Di Surakarta, salah satu kota besar di Jawa Tengah yang sebagian besar penduduknya berkebudayaan Jawa dan sekaligus urban, komunitas musik

  

underground bertumbuh. Kelompok-kelompok musik underground yang

  bermunculan di Surakarta beraliran Metal Core, Hard Core, Grind Core, Death

  

Metal, Gothik Metal, Black Metal, dan beberapa kelompok yang mengklaim,

  bentuk musiknya, sebagai kombinasi di antara dua atau lebih aliran musik ekstrim metal. Komunitas Black Metal, di Surakarta, merupakan komunitas musik

  

underground yang relatif sedikit jumlah anggotanya. Di antara puluhan kelompok

  musik underground (dari berbagai aliran) di Surakarta, hanya ada dua kelompok musik Black Metal yang sampai sekarang terjaga eksistensinya: Makam dan

  Bandoso.

5 Lihat, Sholehpati. 2011. 666 Penampakan Makhluk Gaib Paling Heboh di Indonesia. Jakarta:

  Simbol identitas yang digunakan komunitas Black Metal di Surakarta umumnya berasal dari simbol-simbol antikrist (antichrist) tradisi kristen Eropa (karakter huruf yang dipilih untuk menuliskan nama kelompok mereka, simbol pentagram terbalik

  , tengkorak kepala kambing, angka ‟666‟, salib terbalik, representasi setan dan lain-lain), representasi hantu, ikon-ikon Jawa tradisional dan simbol identitas kebudayaan kuno bangsa-bangsa Skandinavia (pagan). Komunitas ini hampir tidak pernah membuat ajang pentas musik yang khusus bagi kalangan sendiri. Mereka biasanya tampil dalam ajang pentas bersama, bergabung dengan komunitas musik underground yang lain. Dalam perhelatan- perhelatan semacam ini tidak sulit membedakan antara metalheads yang Black

  

Metal dengan yang lainnya, baik kelompok yang tampil di atas panggung maupun

  penontonnya. Fesyen, aksi panggung dan berbagai produk ikonik yang mereka kenakan menjadi ciri pembeda yang paling kentara.

  Pada dekade tahun 1990an Black Metal di Surakarta pernah mengalami era kejayaannya. Namun sekarang aliran musik ini, di Surakarta, tidak banyak lagi

  6

  peminatnya. Alasan ketidakpopuleran aliran musik Black Metal ini, menurut Aji , di antaranya karena teknik permainan musik kelompok-kelompok pengusungnya oleh publik musik underground dianggap terlalu sederhana (tidak ada perkembangan teknik sejak era kejayaannya, mandeg) dibandingkan dengan beberapa kelompok underground lain yang muncul belakangan. Bahkan ada yang 6 dengan nada sinis menganggap kelompok musik Black Metal sebenarnya tidak

  Vokalis kelompok musik Down for Life. Wawancara di kantor biro advertising tempatnya bekerja, The Think, yang juga sekaligus distro merchandise komunitas musik underground, Belukar, dan basecamp Down for Life, kelompok musiknya, di kampung Kartopuran, Surakarta, bisa main musik, hanya asal bising. Selain itu simbol yang digunakan, fesyen dan aksi panggung mereka dianggap ketinggalan jaman dibandingkan dengan kelompok-kelompok musik underground yang lain. Meskipun begitu, beberapa praktisi musik ini cukup dihormati oleh praktisi musik underground lainnya. Jiwo

  7

  dan Julious (Makam) di antaranya; selain dianggap sebagai senior bagi komunitas

  

underground di Surakarta, keduanya dihormati karena sikap dan kecintaan mereka

terhadap Black Metal.

  Tidak banyak kelompok musik underground di Surakarta yang, menurut Aji, benar-benar menjadi kelompok yang ideologis. Lebih banyak yang hanya mendudukkan musik underground sebagai sekedar aliran musik belaka; menjadi

  

underground hanya saat beraksi di atas panggung. Di lingkungan komunitas

  musik underground di Surakarta Bandoso salah satu kelompok yang menerima

  8

  anggapan ini. Menurut pengakuan Ichsan dan Nonot , Bandoso cenderung mendudukkan Black Metal sebagai sekedar aliran musik dan aksi panggung belaka.

  Bandoso memilih aliran musik Black Metal ini karena merasa senang dan

  cocok dengan warna musiknya saja, dan menggunakan musik aliran ini untuk menyerukan tentang kebaikan hidup manusia. Seruan-seruan tersebut tersurat dalam syair-syair lagu mereka. Bandoso mendakwahkan kesejatian manusia,

  9

sangkan paraning dumadi , dari sudut pandang yang lain; mendakwahkan seruan-

  7 8 Mereka termasuk metalheads angkatan pertama komunitas underground di Surakarta.

  

Keduanya adalah anggota Bandoso. Wawancara pada tanggal 27 Maret 2012 di Kedai Grek, Jl.

9 Srikaya 13 Karangasem, Surakarta. Basecamp kelompok ini.

  Nonot dan Ichsan menggunakan istilah ”mendakwahkan” dan ungkapan ”sangkan paraning seruan kemanusiaan lewat musik Black Metal dan representasi dunia kematian. Itulah mengapa mereka menamakan kelompoknya Bandoso, keranda mayat.

  

Bandoso merepresentasikan mayat atau hantu (mayat hidup) yang berseru dari

dunia kematian untuk mengingatkan manusia agar menjalani hidup dengan baik.

  Berbeda dengan Bandoso, Jiwo meyakini Black Metal sebagai jalan hidupnya. Makam bagi anggota-anggotanya, menurut Jiwo, bukan hanya sekedar kelompok musik belaka. Dia mengklaim Makam sebagai Kedjawen Pagan Front:

  10

  pelindung agar Kejawen tetap eksis. Melalui Black Metal mereka mencoba memperjuangkan kejawaan (identitas Jawa) yang

  • –dalam anggapan mereka- terancam punah.

  Jiwo mempelajari sejarah, simbol dan ideologi Black Metal. Dia dan kelompoknya tidak mau asal pakai simbol sebab, menurutnya, asal pakai simbol adalah langkah yang cethek, dangkal, dan hanya sekedar fesyen belaka. Black

  

Metal bagi Makam bukan sekedar mode fesyen, karena itu mereka merasa perlu

  benar-benar mempelajari dan mendalami segala hal tentang Black Metal. Menurut

11 Jiwo, menjadi kalau tidak memahami benar simbol dan ideologi

  ”darkness” Black Metal justru akan melukai diri sendiri.

  Berbekal pengetahuan tentang Black Metal dan Kejawen, Makam mencoba mengawinkan ideologi simbol keduanya. Mereka tidak mengambil mentah-

  artinya mengingat hakikat hidup manusia: dari mana dan akan menuju kemana manusia hidup di 10 dunia ini.

  

Wawancara dengan Jiwo pada tanggal 18 Februari 2012 di basecamp kelompok Makam yang

sekaligus distro, Kartel Black Dealer: Largest Indonesian Black Metal Merchandise Online Store,

Jl. HOS Cokroaminoto 41 B Jagalan, Surakarta. Bertempat di depan komplek pemakaman umum

Purwoloyo. Menurut pengakuan Jiwo, keberadaan Kartel di dekat pemakaman umum ini bukan 11 disengaja. Kebetulan di lokasi inilah mereka dapat tempat kontrakan.

  Kelompok Makam menyapa publik komunitas Black Metal, jaringannya, dengan istilah mentah simbol dan ideologi Black Metal sebab, menurut Jiwo, tidak semuanya bisa diterapkan di lingkungan mereka (Jawa). Mereka mengawinkan simbol- simbol identitas Black Metal dengan representasi hantu dalam folklor masyarakat Jawa dan ikon-ikon Jawa tradisional sebagai upaya merevitalisasi kebudayaan Jawa yang mereka bayangkan terancam surut.

  Paparan inilah yang mendorong saya meneliti kekuatan simbol identitas dan pengalaman estetik komunitas musik Black Metal di kota Surakarta. Alasan yang melatarbelakangi ketertarikan saya melakukan penelitian ini adalah:

  

pertama, komunitas musik Black Metal di kota Surakarta ini mengawinkan simbol

  identitas (dan perlawanan) subkultur musik Black Metal dengan representasi hantu dari folklor kebudayaan Jawa dan ikon-ikon Jawa tradisional sebagai simbol identitas mereka, dan kedua, mereka menghadirkan simbol-simbol tersebut dalam berbagai produk ikonik dan fesyen panggung. Karena itulah maka saya arahkan tema penelitian ini pada bagaimana retorika visual pada praktik representasi

  

hantu sebagai simbol identitas komunitas musik underground aliran Black Metal

di kota Surakarta.

B. Rumusan Masalah

  Untuk mengerucutkan penelitian saya membatasi topik kajian penelitian ini hanya pada simbol visual identitas komunitas musik underground aliran Black

  

Metal di Surakarta yang saya rumuskan dalam empat poin pertanyaan sebagai

  panduan:

  1. Bagaimana simbol identitas komunitas musik Black Metal yang mempunyai sejarah sosial, budaya dan sejarah simbolnya sendiri beradaptasi dengan folklor hantu yang dikenal oleh masyarakat kota Surakarta? 2. Mengapa representasi hantu digunakan sebagai simbol identitas komunitas musik Black Metal di Surakarta?

  3. Kode-kode retorik seperti apa yang menjadi kekuatan simbol identitas komunitas musik Black Metal di Surakarta?

  4. Bagaimana pengalaman estetik komunitas musik Black Metal di Surakarta dalam praktik penggunaan representasi hantu sebagai simbol identitas mereka? C.

   Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Memahami beradaptasinya simbol identitas komunitas musik Black Metal dengan folklor hantu yang dikenal oleh masyarakat kota Surakarta.

  2. Memahami alasan penggunaan representasi hantu sebagai simbol identitas komunitas musik Black Metal di Surakarta.

  3. Mengungkap kekuatan retorik simbol identitas komunitas musik Black Metal di Surakarta.

  4. Mengungkap estetika simbol identitas komunitas musik Black Metal di Surakarta.

  D. Pentingnya Penelitian

  Penelitian ini penting bagi pengembangan Kajian Ilmu Budaya dan Humaniora, khususnya di Indonesia, untuk menambah wacana studi tentang semiotika.

  Bagi komunitas musik Black Metal di kota Surakarta, sebagai subjek yang diteliti, penelitian ini penting agar mereka dapat memahami retorika simbol identitas mereka, politik identitas yang terjadi serta pengalaman estetik yang dialami berkait dengan penggunaan representasi hantu dan ikon-ikon Jawa tradisional dalam berbagai simbol identitas mereka.

  Penelitian ini penting bagi masyarakat kota Surakarta agar lebih memahami komunitas musik Black Metal di Surakarta sebagai bagian dari masyarakat dan stakeholder kota serta survivalitas folklor hantu dan simbol- simbol identitas Jawa tradisional dalam praktik representasinya yang sekarang.

  Secara pribadi penelitian ini penting bagi saya untuk menambah pengetahuan tentang semiotika, khususnya retorika visual, sebagai bekal menjadi praktisi pendidikan (pengajar) seni rupa, bagian dari komunitas kesenian serta studi kebudayaan di Surakarta. Penelitian ini penting bagi saya sebagai bagian dari masyarakat yang berkebudayaan Jawa yang tinggal di kota Surakarta dan bergaul dengan komunitas musik underground yang ada di kota ini.

  E. Tinjauan Pustaka

  Tulisan populer yang merepresentasikan hantu dan kisah-kisah perjumpaan manusia dengan hantu cukup banyak beredar di masyarakat. Baik yang dimuat dalam media massa cetak maupun yang diunggah pada beberapa situs web di internet. Kebanyakan mengklaim apa yang ditulisnya sebagai kisah nyata, atau paling tidak didasarkan pada kisah nyata. Berbanding terbalik dengan kuantitas tulisan populer yang beredar di masyarakat, tulisan ilmiah (hasil penelitian ilmiah) yang mengusung tema representasi hantu tidak banyak dijumpai.

  Clifford Geertz adalah salah seorang dari sedikit peneliti yang pernah meneliti dan menulis tentang representasi hantu di masyarakat Jawa meskipun

  12

  tidak secara khusus mengusungnya sebagai tema penelitian . Representasi hantu hanya menjadi salah satu bagian dari topik penelitiannya tentang agama sebagai sistem budaya. Pada salah satu bab dalam buku hasil penelitiannya Geertz memaparkan berbagai jenis makhluk halus yang dikenal dan dipercayai kemengadaannya oleh masyarakat Jawa. Menurut cerita yang beredar di masyarakat, konon, ada yang berwujud seperti manusia utuh, manusia dengan banyak bekas luka, hingga sosok makhluk yang sangat mengerikan, seperti monster. Ada yang baik, ada yang suka membantu tapi ada juga yang gemar menakut-nakuti.

  Ada tiga jenis pokok makhluk halus yang banyak direpresentasikan oleh masyarakat Jawa dalam tradisi tuturnya: memedi (tukang menakut-nakuti),

  

lelembut (makhluk halus) dan tuyul, ditambah demit dan danyang. Memedi adalah

  istilah Jawa untuk jenis roh yang paling mudah untuk dipahami orang Barat, 12 karena ia hampir tepat sama dengan apa yang dalam bahasa Inggris disebut spooks

  Lihat, Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Tr. Aswab

  13

  (hantu) . Memedi atau hantu menjadi simbol kekuatan yang jahat, simbol chaotic, penyebab kekacauan dalam tata kebudayaan manusia.

  Senada dengan Geertz, Lucas Sasongko Triyoga menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat Jawa terhadap kekuatan adikodrati merupakan bagian

  14 dari sistem kepercayaan mereka dalam membudidayakan lingkungan hidup .

  Demi kelangsungan hidup mereka harus menjaga keselarasan kosmos dengan cara mengembangkan sikap rukun dan hormat terhadap diri sendiri, sesama manusia, alam dan alam adikodrati. Jadi manusia Jawa mengalami alam sebagai tempat di mana kesejahteraan hidupnya tergantung dari keberhasilannya dalam menyesuaikan dirinya dengan kekuatan-kekuatan gaib atau angker yang ada di

  15 sekelilingnya .

  Kekuatan adikodrati dipersonifikasikan sebagai kekuatan gaib makhluk halus atau roh leluhur. Berdasarkan konsep tersebut masyarakat Jawa, yang tinggal di lereng gunung Merapi, mengelompokkan makhluk halus dalam tiga golongan besar, yaitu roh leluhur, danyang dan lelembut. Roh leluhur adalah roh orang yang sudah meninggal. Seseorang yang meninggal, kalau semasa hidupnya berkelakuan baik, rohnya menjadi makhluk halus yang masuk ke dalam Karaton

16 Merapi dan terus menjagai anak turunnya. Tetapi kalau seseorang meninggal

  sementara semasa hidupnya banyak berbuat kejahatan dan merugikan orang lain 13 rohnya bakal melayang-layang tanpa tujuan. Roh-roh tersebut kemudian 14 Ibid. h.21.

  

Lihat, Triyoga, Lucas Sasongko. 1991. Manusia Jawa dan Gunung Merapi. Yogyakarta: Gadjah

15 Mada University Press. 16 Ibid. h.8.

  Masyarakat Jawa percaya bahwa dunia makhluk halus mempunyai hierarki struktur feodal sebagaimana yang ada dalam masyarakat feodal Jawa. Menurut Geertz, dunia makhluk halus menempel pada pohon, batu, sungai dan tempat-tempat lainnya. Roh-roh inilah yang disebut sebagai lelembut.

  Masyarakat Jawa yang tinggal di lereng gunung Merapi tidak menempatkan lelembut dan memedi dalam pengelompokan yang berbeda.

  

Lelembut acapkali medeni, menakut-nakuti, dengan menampakkan dirinya atau

  17 membuat suara-suara yang menakutkan sehingga disebut pula sebagai memedi .

  Ada beberapa jenis lelembut atau memedi yang dikenal oleh masyarakat lereng gunung Merapi, di antaranya banaspati, jin, wewe, genderuwo, peri, jrangkong,

  

buto, thethekan dan gundhul pringis. Jenis-jenis lelembut atau memedi inilah yang

  disebut sebagai hantu, di antara beberapa varian jenis hantu yang lain, yang

  18 direpresentasikan dalam folklor masyarakat Jawa tradisional .

  Kepercayaan masyarakat Jawa terhadap hantu, menurut Geertz, bukanlah bagian dari suatu skema yang konsisten, sistematis dan terintegrasi, tetapi berupa serangkaian imaji-imaji yang berlainan, yang kongkrit dan spesifik; metafora- metafora visual yang terlepas satu sama lain yang memberi bentuk kepada berbagai pengalaman yang kabur, dan kalau tidak demikian tidak akan bisa dimengerti. Dunia makhluk halus adalah dunia sosial yang dirubah bentuknya secara simbolis, makhluk halus priyayi memerintah makhluk halus abangan, makhluk halus Cina membuka toko dan memeras penduduk asli, dan makhluk

  17 18 Ibid. h.56.

  

Lihat, Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia: Ilmu gosip, dongeng, dan lain lain. Jakarta: halus santri melewatkan waktunya dengan sembahyang dan memikirkan cara-cara

  19 mempersulit mereka yang tak beriman .

  Hantu, dalam kepercayaan masyarakat Jawa, direpresentasikan dalam folklor (tradisi tutur dan seni tradisi kelisanan) dan beberapa karya seni rupa tradisional di dalamnya (di antaranya pada boneka wayang setanan dan topeng tari). Namun seturut dengan perkembangan teknologi media dan hiburan, representasi hantu ini akhirnya juga hadir dalam berbagai media: tulisan, imaji juga audio visual atau film. Representasi hantu pada film layar lebar merupakan fenomena menarik dalam dunia perfilman Indonesia.

  Suma Riella Rusdiarti dalam makalahnya yang berjudul Film Horor

20 Indonesia: Dinamika Genre menyebutkan bahwa di antara berbagai variasi

  genre film layar lebar di Indonesia (drama, komedi, laga, dunia remaja hingga horor) film hororlah yang paling diminati, baik oleh produser sebagai pembuat film maupun penonton. Film horor di Indonesia kebanyakan bersubgenre horror

  

of the Demonic (horor hantu). Film horor jenis ini menawarkan tema tentang

  dunia (manusia) yang menderita karena kekuatan hantu (atau setan) menguasai dunia dan mengancam kehidupan umat manusia.

  Representasi hantu dalam film horor ini disukai (oleh pembuat maupun penontonnya) selain karena folklor yang merepresentasikan hantu masih sangat dekat dengan masyarakat juga karena pengalaman perjumpaan dengan hantu 19 merupakan pengalaman substantif yang tidak setiap orang mengalaminya;

  Lihat, Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Tr. Aswab 20 Mahasin. Jakarta Pusat: PT Dunia Pustaka Jaya. h.36.

  Lihat, Film Horor Indonesia: Dinamika Genre pada menonton film horor menjadi sarana konfirmasi atas pengalaman yang mistik atau yang supranatural. Menonton film horor memunculkan kenikmatan paradoksal.

  Kenikmatan paradoksal mengandaikan adanya kebutuhan yang tak terpisahka n akan “kenikmatan yang menyenangkan” dan “kenikmatan yang menyakitkan atau menyiksa”. Para penonton datang ke gedung bioskop dengan kesadaran untuk mendapatkan pengalaman menakutkan, mengerikan, atau

  21

  menjijikkan yang dalam realitas sehari-hari justru mereka hindari. Film horor di Indonesia menurut Veronika Kusumaryati, dalam makalahnya yang berjudul

  22 Hantu-Hantu dalam Film Horor di Indonesia , merupakan metafora tentang

  masa lalu yang menyakitkan, menakutkan, dendam atau traumatik; menjadi tempat bagi hal-hal yang tabu, terlarang, berbahaya, menjijikkan atau pun menakutkan; menjadi situs perayaan hal-hal yang selama ini ditindas. Representasi hantu dalam film horor menjadi situs kontestasi ideologi antara yang dominan dan yang marjinal, yang modern dan tradisional, antara yang patriarkal maupun subversif yang saling berjuang mendapatkan tempat.

  Dari tinjauan pustaka ini dapat dilihat bagaimana representasi hantu yang bersumber dari folklor mempunyai daya ungkap yang kuat, baik sebagai bagian dari sistem kepercayaan masyarakat Jawa maupun sebagai komoditi hiburan (dalam tradisi kelisanan hingga film layar lebar). Representasi hantu ini membangkitkan sensasi kengerian sekaligus juga kesakralan. Menakutkan 21 sekaligus menyenangkan. Dialektika inilah yang membuat representasi hantu 22 Ibid.

  Lihat, Hantu-Hantu dalam Film Horor di Indonesia pada sangat diminati. Tidak sedikit yang bahkan tergila-gila dengan kenikmatan sensasi-sensasi kengeriannya.

  Praktik merepresentasikan hantu (folklor) sekarang ternyata tidak berhenti pada tradisi tutur (tradisi kelisanan) dan film layar lebar saja. Representasi hantu sekarang bahkan hadir di tengah-tengah budaya anak muda urban, di antara tren budaya populer, sebagai bagian dari simbol identitas mereka: sensasi kengerian hantu digunakan sebagai kondensasi kekuatan simbol identitas komunitas musik

  

Black Metal. Fenomena ini sangat menarik dan khas tetapi kurang mendapat

perhatian dari para peneliti-pemerhati kebudayaan.