WELAS ASIH PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA: SEBUAH STUDI DESKRIPTIF KUANTITATIF - USD Repository

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

WELAS ASIH PADA MAHASISWA PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA:
SEBUAH STUDI DESKRIPTIF KUANTITATIF
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi

Disusun oleh:
Stefanus Tino Adika
NIM: 07 9114 039

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2014

i

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

ii

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI

TERPUJI

iii

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

PERSEMBAHAN

Sedikit karya kecil ini saya persembahkan untuk………………
Jesus Kristus yang selalu memberikan sinar terang dan bimbingan
terhadap penulis….
Almarhum Bapak saya RR. Utomo yang sudah berada di Surga, sedikit
persembahan supaya di surga bapak bisa tersenyum bangga untuk
anakmu ini, semoga semakin tenang disana dengan kebahagiaan. Untuk
Ibu saya MM. Trimurtini yang tanpa hentinya memberikan tawa dan

tangis untuk penulis agar segera menyelesaikan penulisan skripsi ini,
sekiranya ini persembahan yang sangat spesial untuk ke dua orang tua
saya yang telah memberikan penulis semangat yang baru dan semangat
yang tidak akan pernah padam.

Untuk ke dua saudara saya kakak dan adik saya Yohana Fransiska
Atikasari serta Paulus Nico Ardianto, terima kasih untuk semangat dan
perhatiannya.

Untuk Monika Dewi Ratna W. teman suka dan duka penulis selama lebih
dari 8th, perjalanan yang panjang masih menanti kita. Indah akan tiba
pada waktunya, harapan dan doa menyertai kita selalu.
Untuk semua sahabat penulis, kalian semua sudah menjadi bagian dari
keluarga. Kalian semua hebat, saya bangga terhadap kalian semua.
Semoga kisah indah ini akan terus terjalin selamanya.

iv

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN

MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
v

v

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

WELAS ASIH PADA MAHASISWA PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA:
SEBUAH STUDI DESKRIPTIF KUANTITATIF

Stefanus Tino Adika

ABSTRAK
Welas asih adalah cara adaptif untuk berhubungan dengan diri ketika mempertimbangkan
kekurangan pribadi atau dalam keadaan sulit. Ketika dihadapkan dengan perjuangan hidup yang
sukar, atau menghadapi kesalahan pribadi, kegagalan, dan kekurangan; welas asih merespon
dengan kebaikan daripada mencerca diri secara kasar, mengakui bahwa ketidaksempurnaan adalah
bagian dari pengalaman manusia bersama. Penelitian ini menguji welas asih pada mahasiswa
Psikologi Universitas Sanata Dharma ( N = 281 ; Musia = 19,8 ). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tingkat welas asih adalah rendah (μh = 45 > μe = 37.19). Selain itu, penelitian ini menguji
(1) perbedaan welas asih berdasarkan jenis kelamin dan (2) perbedaan welas asih antara remaja
dengan dewasa muda. Hasil menunjukkan bahwa ada perbedaan welas asih berdasarkan jenis
kelamin, sebaliknya tidak ada perbedaan welas asih antara remaja dengan dewasa muda. Saran
untuk penelitian selanjutnya meliputi: eksplorasi welas asih dengan melakukan wawancara ingatan
awal dan menjelaskan karakter welas asih pada setiap tahap perkembangan secara menyeluruh.
Kata kunci: Welas asih, mahasiswa Psikologi, studi deskriptif kuantitatif

vi

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN

TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

SELF-COMPASSION AMONG STUDENTS OF PSYCHOLOGY
AT SANATA DHARMA UNIVERSITY:
A QUANTITATIVE DESCRIPTIVE RESEARCH

Stefanus Tino Adika
ABSTRACT
Self-compassion is an adaptive way of relating to the self when considering personal
inadequacies or difficult life circumstances. When faced with difficult life struggles, or confronting
personal mistakes, failures, and inadequacies, self-compassion responds with kindness rather than
harsh self-judgment, recognizing that imperfection is part of the shared human experience. The
current study examined self-compassion among students of Psychology at Sanata Dharma
University (N=281; Mage=19.8). Results indicated that the level of self-compassion is low (μh = 45
> μe = 37.19). In addition, the current study examined (1) the difference of self-compassion on sex
and (2) the difference of self-compassion between adolescents and young adults. Results indicated
that there was difference self-compassion on sex, conversely there was no difference between
adolescents and young adults. Recommendations for future research include: exploration of selfcompassion by doing an earliest momories interview and explicate the character of selfcompassion on each stage of development.

Keywords: Self-compassion, Students of Psychology, a quantitative descriptive research.

vii

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

viii
viii

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kupanjatkan pada Tuhan pemilik Semesta, karena atas bimbingan
dan berkat yang diberikanNYA penulis dapat menyelesaikan skripsi yang jauh
belum sempurna ini yang berjudul “Welas Asih pada Mahasiswa Psikologi
Universitas Sanata Dharma: Sebuah Studi Deskriptif Kuantitatif” ini diajukan
kepada Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma untuk memenuhi sebagian
dari syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa
bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak skripsi ini tidak bakal
pernah terwujud. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Sang Khalik yang disembah dengan berbagai cara yang telah menyinari
berkat dan membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Penulis
selalu percaya bahwa DIA akan selalu hadir untuk membimbing dan
memberikan jalan yang terbaik untuk penulis.
2. Orang Tua tercinta, Alm. Bapak Robertus Redjo Utomo yang sudah
berada di Pangkuan Sang Pencipta, untuk pelajaran sebagaimana menjadi
sebagai seorang pria. Dukungan serta pendidikan tanggung jawab dalam

lingkup sebagaimana biasa disebut sebagai sebuah keluarga akan selalu
hidup dan berkobar pada jiwa ini. Untuk Ibunda tercinta MM. Trimurtini
yang sampai saat ini tidak pernah lelah memberikan semangat dan doa
untuk segala kelancaran penulis.
3. Yohana Fransika Atikasari dan Paulus Nico Ardianto, terima kasih untuk
semangat dan kehangatan yang tidak pernah ada habisnya sebagai bagian
dari keluarga ini.
4. Untuk Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto selaku Dekan Fakultas Psikologi atas
ijin yang telah diberikan kepada penulis dalam melakukan penelitian ini.
5. MM. Nimas Eki Suprawati, M.Si., Psi selaku dosen pembimbing yang
telah membimbing penulis dengan sabar dan penuh dengan perhatian.

ix

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI


Terima kasih Bu untuk bimbingan hingga akhirnya mampu bisa
menyelesaikan studi ini.
6. Dr. Ratri Sunar Astuti selaku ketua program studi yang telah memberikan
kelancaran penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Psikologi.
7. My Lucky Angel Monika Dewi Ratna W. untuk waktu, semangat dan
dukungan yang tidak ada habisnya bagi penulis hingga bisa menyelesaikan
skripsi ini. Terima kasih juga untuk segala kisah yang sudah dilalui,
semoga akan indah pada waktunya.
8. Pak Gie, Mas Gandung, Mas Doni, Mbak Nany, Mas Muji untuk semua
bantuannya dalam masa perkuliahan penulis samapi selesai mengerjakan
skripsi ini.
9. Sahabat, konsultan beserta Bos besarku, Albertus Harimurti yang telah
meluangkan banyak waktu, pikiran, semangat dan tenaga untuk berbagi
pikiran kapan saja penulis minta. Terima kasih sekali lagi yang tidak akan
pernah akan ada habisnya.
10. Kang Jaya dan Pakdhe Wahyu setiajati, untuk waktu dan tenaga yang
membuat penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
11. Keluarga kecil, dimana penulis tinggal di rumah kontrakan bersama
Bambang, Wawan, Anton untuk segala suka dan duka melewati kehidupan

yang keras ini. Menyusul kembali Dimas untuk memberikan penulis
semangat kerja yang baru.
12. Keluarga besar gowok rumah cinta, Tatang, Budi, Taufik, Vio, Hendy,
Boy, Dino, Aziz, Andro, Mardi, Nanta untuk semangat dan harapan kita
meraih impian bersama.
13. Th. Eriek Yonathan beserta keluarga kecilnya, sang istri Eva Deviana,
serta keponakan kecilku Ecuel yang semakin tambah ganteng. Terima
kasih untuk pengalaman dan memberikan penulis mengerti makna akan
persahabatan.
14. Angkatan akhir seperjuangan 2007, Bambang, Dody Gendut, Putri Ve,
Eva, Dea, Reno, Arya, Rico, Tia, Anton, Ayu dan yang tidak bisa penulis

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

sebutkan satu demi satu. Terima kasih telah memberikan motivasi untuk
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
15. Keluaraga besar TN (Tumindak Ngiwo) Windra, Kriwil, Komenk, Indro,
Simien, Kang Kopet, Bang Boy, beserta yang lainnya yang tidak akan
pernah bisa disebutkan satu demi satu, terima kasih untuk pelajaran
berdinamika di dalam keluarga besar yang sangat hangat, kalian semua
hebat.
16. Anak muda hebat Bayu, Arga, Yudha, Boni, Gempol, Kosak, Gerald,
Kiplek, Sikak, Yatim, Dyan Martikatama, Plenthong, dan yang lainnya
yang tidak bisa disebutkan satu demi satu. Kalian pemuda harapan bangsa
yang sangat hebat, terima kasih untuk waktu dan tenaga dalam penyebaran
skala yang penulis lakukan.
17. Untuk Mas Dian K, inspirasi dan motivasi membuat penulis menjadi
berkembang dan mampu untuk menemukan arti yang dinamakan
persahabatan dan inilah kehidupan.
18. Untuk Keluarga Besar Palguno, Mas Agus, Joko Think, Ary Idek, Deta,
Hendra, Ery, dan yang tidak bisa disebutkan satu-demi satu. Terima kasih
untuk dukungan dan semangat hingga akhirnya selesai juga penulisan
skripsi ini.
19. Untuk si hijau, yang menemaniku dimana saat hujan dan terikanya panas
matahari melewati jalanan guna tujuan melakukan pencarian jurnal dan
mengantarkanku ke kampus Fakultas Psikologi.
20. Untuk Don Fernando yang saat ini sedang istirahat di dalam almari, berkat
jasa dan ketangguhanmu penulis mampu membuat penulisan awal skripsi
ini.
Yogyakarta, 25 Juli 2014
Penulis,
Stefanus Tino Adika

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ............................ ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii
PERSEMBAHAN ...................................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ..................................................... iv
ABSTRAK................................................................. .................................. v
ABSTRACT ................................................................................................ vi
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................. vii
KATA PENGANTAR ............................................................................... ix
DAFTAR ISI ............................................................................................. xii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xvi
BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………….. 10
C. Tujuan Penelitian………………………………………………… 11
D. Manfaat Penelitian………………………………………………. 11
BAB II : LANDASAN TEORI .................................................................. 12
A. Welas Asih………………………………..………….………….. 12
1. Pengertian Welas Asih…….………………………………… 12
2. Komponen Welas Asih………………………………….…… 16

xii

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Welas Asih............................. 22
C. Welas Asih Mahasiswa Universitas Sanata Dharma………...…... 23
D. Pertanyaan Penelitian………………………………………....….. 25
BAB III : METODE PENELITIAN……………………………………….. 26
A. Jenis Penelitian…………………………………………………... 26
B. Variabel Penelitian………………………………………………. 26
C. Definisi Operasional…………………………………………….. 26
D. Subjek Penelitian………………………………………………… 27
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data…………………………….. 28
F. Validitas, Analisis Item dan Reliabilitas………………………… 30
1. Validitas………………………………………………….….. 30
2. Analisis Item………………………………………………… 31
3. Reliabilitas…………………………………………………... 31
G. Metode Analisis Data……………………………………….…… 32
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…........................ 34
A. Orientasi Kancah Dan Persiapan Penelitian...................................... 34
B. Pelaksanaan Penelitian...................................................................... 35
C. Hasil Penelitian................................................................................. 36
1. Deskripsi Subjek Penelitian........................................................ 36
2. Uji Normalitas............................................................................. 36
3. Deskripsi Data Penelitian............................................................ 37
4. Deskripsi Data Penelitian Tiap Angkatan................................... 40

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

5. Deskripsi Data Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin dan Masa
Perkembangan………………………………………………..… 43
D. Pembahasan.................................................................................... 45
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN.................................................... 53
A. Kesimpulan .................................................................................... 53
B. Saran .............................................................................................. 53
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 56
LAMPIRAN ............................................................................................. 61

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Blue Print dan Sebaran Item Skala Welas Asih ........................... 29
Tabel 3.2 Pemberian Skor Skala Welas Asih .............................................. 30
Tabel 4.1 Pelaksanaan Penelitian ............................................................... 35
Tabel 4.2 Deskripsi Subjek Penelitian ........................................................ 36
Tabel 4.3 Uji Normalitas Data ................................................................... 37
Tabel 4.4 Hasil Analisis Deskriptif Penelitian ............................................ 39
Tabel 4.5 Uji One Sample T-Test ............................................................... 40
Tabel 4.6 Hasil Analisis Deskriptif Tiap Angkatan..................................... 41
Tabel 4.7 Uji One Sample T-Test Tiap Angkatan ....................................... 42
Tabel 4.8 Uji Two Independent Sample T-Test Jenis Kelamin .................... 43
Tabel 4.9 Uji Two Independent Sample T-Test Masa Perkembangan .......... 44

xv

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Self-Compassion Scale …......……………………………….….. 61
Lampiran Skala Welas Asih….…………………….…………………..….. 64
Lampiran Hasil Uji Coba

………………………………………….….. 68

Lampiran Hasil Uji Coba Terpakai……………………………………….... 71
Lampiran Total Skor dan Histogram…………………………………...….. 73
Lampiran Data Deskriptif Jenis Kelamin dan Tahun Angkatan…………... 76
Lampiran Hasil Uji Normalitas Data……………………………………..... 78
Lampiran Hasil Uji One Sample T-Test Keseluruhan Data……………...… 80
Lampiran Hasil Uji One Sample T-Test Tahun Angkatan,
Komponen dan Aspek................................................................... 82
Lampiran Hasil Uji Two Independent Sample T-Test Jenis Kelamin…….... 90
Lampiran Hasil Uji Two Independent Sample T-Test
Masa Perkembangan..................................................................... 92

xvi

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam buku Motivation and Personality (1954), Maslow menuliskan
bahwa seseorang yang mengalami aktualisasi diri memelihara kapasitas untuk
merasa kagum dan mengalami pengalaman puncak. Individu tersebut
merupakan orang yang kreatif, demokratis, dan rendah hati. Juga
memposisikan humor tanpa permusuhan dan bela rasa (compassion) yang
mendalam bagi orang lain. Bela rasa tidak hanya menjadi pembicaraan kaum
psikologi humanistik semata. Bela rasa adalah kekhasan yang dimiliki oleh
setiap individu. Allport (1961) menyebutkan bahwa bela rasa merupakan
syarat yang harus ada guna menjadi pribadi yang matang. Pribadi yang
matang ditandai dengan “relasi hangat antara diri dengan orang lain”.
Pengejawantahan dari relasi hangat ini adalah cinta terhadap orang lain dalam
cara yang intim dan penuh welas kasih.
Menurut Neff (2003a), bela rasa melibatkan sikap terbuka dan
tersentuh oleh penderitaan orang lain, sehingga seseorang berkeinginan untuk
meringankan penderitaan mereka. Bela rasa menawarkan kesabaran, kebaikan
dan pemahaman yang tidak menghakimi, mengakui bahwa semua manusia
tidak sempurna dan sangat mungkin membuat kesalahan. Neff

(2003a,

2003b) menyatakan bahwa bela rasa didefinisikan; “tersentuh oleh
penderitaan orang lain, membuka kesadaran seseorang untuk rasa sakit orang

1

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
2

lain dan tidak menghindari atau memutuskan hubungan dengan orang
tersebut, sehingga perasaan kebaikan terhadap orang lain dan keinginan untuk
meringankan penderitaan oranglain yang muncul”. Sedangkan Snyder (2011)
mendefinisikan bela rasa sebagai sebuah aspek kemanusiaan yang melibatkan
pencarian di luar diri sendiri dan berpikir tentang orang lain layaknya
merawat dan mengidentifikasi diri dengan orang lain tersebut. Dalam
psikologi positif, individu yang mempraktekkan bela rasa perlu untuk (a)
memahami kesulitan orang lain dan menganggapnya serius, (b) memahami
bahwa kesulitan orang yang mengalami tidak merugikan individu, dan (c)
bahwa individu, sebagai pengamat, mampu mengidentifikasi diri dengan
penderitaan orang lain.
Signifikansi bela rasa dalam kehidupan ini turut mendapatkan tempat
dalam dunia pendidikan. Salah satu institusi pendidikan yang mengadopsi
konsep bela rasa ini adalah Universitas Sanata Dharma (USD). USD adalah
perguruan tinggi berbasis Jesuit. Sebagai sebuah kampus Jesuit, ada 3
semangat dasar (nilai-nilai yang dikembangkan) dalam pendidikan―yang
kemudian dikenal dengan 3C. Nilai-nilai ini disarikan dalam Model
Pendidikan Karakter di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (2010). Adi,
Dwiatmoko, Istono, Nugraha, & Maryarsanta (2010) menyatakan bahwa
semangat dasar pertama adalah “kecakapan” yang dimaknai sebagai
kemampuan

akademik

yang

memadukan

unsur-unsur

pengetahuan

keterampilan, dan sikap. Unsur-unsur dasar kecakapan adalah pengetahuan,
keterampilan, dan sikap. Kedua adalah “hati nurani” yang dimaknai sebagai

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
3

kemampuan memahami alternatif dan menentukan pilihan (baik-buruk,
benar-salah). Terakhir adalah bela rasa yang dimaknai sebagai kemauan
untuk berbela rasa pada sesama dan lingkungan (Man and women for and
with others). Unsur-unsur dalam bela rasa adalah: peduli, peka, rela, dan
tanggap.
Ditilik dari unsur-unsur bela rasa tersebut, maka bela rasa yang
ditekankan dalam semangat dasar tersebut adalah bela rasa yang arahnya ke
luar (outward compassion) atau terarah ke oranglain. Dengan demikian unsur
nilai yang mengikuti; peduli, peka, rela, dan tanggap, berarti bahwa peduli
pada oranglain, peka terhadap oranglain, rela berkorban bagi oranglain, dan
tanggap terhadap permasalahan oranglain.
Unsur nilai ini kesemuanya diejawantahkan dalam proses pendidikan
karakter. Adi dkk. (2010) menyatakan bahwa pendidikan karakter di
Universitas bersifat sekunder. Karakter sudah dibentuk dalam lingkungan
yang lebih sempit namun akrab, yakni keluarga. Lalu sebelum mencapai fase
perkuliahan mahasiswa sudah memperoleh pendidikan karakter dari sekolah
maupun masyarakat. Bahkan tatkala kuliah, mahasiswa juga mendapatkan
pendidikan karakter di masyarakat. Meskipun demikian, pendidikan karakter
di Universitas adalah hal yang sangat penting. Mayoritas mahasiswa
disamping kuliah juga mengikuti kegiataan kepanitiaan. Oleh karena itu,
waktu yang dihabiskan mahasiswa dalam urusan kampus tidak diragukan lagi
banyaknya. Dengan demikian, universitas berperan besar dalam membangun

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
4

konsep diri, keterampilan sosial, nilai-nilai, kematangan penalaran moral,
perilaku prososial, dan pengetahuan mengenai moralitas atau suara hati.
Dalam sebuah bagian, Adi dkk. (2010) menuliskan:
“…..proses pendidikan di USD merupakan bagian integral dari pergulatan
kemanusiaan dalam ranah akademik demi lahirnya pribadi-pribadi magis,
yaitu pribadi yang selalu memimpikan dan mengupayakan kebaikan
bersama yang lebih”. (hal. 25)

Sesuai dengan isi teks tersebut, maka yang ingin dicapai dari pendidikan
karakter ini adalah seorang pribadi yang utuh atau pribadi yang magis.
Pribadi yang utuh ini dicapai lewat pengembangan karakter dengan semangat
3C. Semangat ini sepakat bahwa manusia adalah tujuan, dan bukan alat.
Oleh karenanya, untuk mengedepankan manusia sebagai tujuan adalah
dengan menghargai. Menghargai memiliki implikasi bahwa yang dihargai
tidak hanya orang lain, melainkan juga diri sendiri. Penghargaan terhadap diri
sendiri inilah yang kemudian mewujud dalam self-compassion (selanjutnya
akan disebut “welas asih”). Jika bela rasa terarah ke luar diri, maka welas asih
terarah ke dalam diri (Germer & Neff, 2013).
Neff & Lamb (2009) mendefinisikan welas asih sebagai sebuah cara
berelasi dengan keterbukaan-hati terhadap aspek negatif dari diri sendiri dan
pengalaman. Cara berelasi dengan keterbukaan hati ini mampu menciptakan
resiliensi emosional dan kesejahteraan psikologis yang lebih besar. Menurut
definisi yang disajikan Neff, welas asih disusun dari tiga faktor kunci: (a)
kebaikan-diri – perluasan kebaikan dan pemahaman terhadap diri sendiri,
misalnya merasakan ketidakmampuan atau penderitaan daripada menilai
secara kasar dan mengecam diri, (b) rasa kemanusiaan – melihat pengalaman

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
5

diri sebagai bagian pengalaman manusia yang lebih luas daripada melihatnya
terpisah dan terasing, dan (c) kewaskitaan – mengatasi pikiran dan perasaan
yang

menyakitkan

dalam

kesadaran

yang

seimbang

daripada

mengidentifikasikannya secara berlebihan dalam cara yang membesarbesarkan.
Bagi Kristin Neff (2011) welas asih menjadi semacam piranti untuk
mencapai penyembuhan psikologis, kesejahteraan, dan relasi yang lebih baik.
Welas asih adalah “cara yang lebih waras untuk berhubungan dengan diri
sendiri”. Neff membedakan harga diri (self-esteem) dengan welas asih. Jika
harga diri berdasarkan pada pencapaian superior, maka welas asih lebih pada
kualitas pribadi yang sifatnya konstan, dalam menilai dan memperlakukan
diri dengan baik layaknya manusia (Greenberg, 2012). Jika Neff mengklaim
bahwa harga diri mampu membuat individu cenderung depresif jika target
tidak tercapai, maka welas asih tidak. Sikap peduli terhadap diri sendiri ini
membantu individu untuk mengenal kesamaan dan hubungan dengan
oranglain, yang berbagi dengan si individu mengenai aspirasi umum dan
sumber penderitaan.
Bahkan, welas asih berperan dalam mengatasi diri yang mandek.
Dengan kata lain, welas asih turut serta menjadi basis kritisisme-diri yang
konstruktif. Breines (2013) membuat alegori bahwa welas asih laiknya
sebuah parasut yang memungkinkan individu untuk meluncur dengan aman
menuju bagian yang diri sendiri takut untuk melihatnya. Ini tidak akan
membiarkan individu berendah diri dengan mudahnya, welas asih juga tidak

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
6

mengantar individu ke dalam jurang keputusasaan. Welas asih membuat
individu berani mengakui “ya, saya kacau”, tanpa membuat individu
berpemahaman bahwa dirinya (dan hidupnya) adalah sesuatu yang
mengerikan. Welas asih membuat individu menjadi orang yang memiliki
kekuatan sekaligus kelemahan disertai kesempatan untuk meningkatkan.
Dalam atmosfer kehangatan ini, melihat lebih akrab pada kelemahankelemahan ini tidaklah menakutkan.
Syahdan, hasil penelitian menunjukkan bahwa welas asih dapat
meningkatkan kesehatan mental (Neff, 2011; Terry & Leary, 2011; Terry,
Leary, Mehta, & Henderson, 2013; Neff, Kirkpatrick, & Rude, 2007). Juga,
Barnard & Curry (2011) menemukan bahwa welas asih berkaitan erat dengan
psikologi humanistik, pengecaman-diri (self-criticism), harga diri (selfesteem),

mengasihani-diri (self-pity),

maupun

kepuasan-diri

egosentrisme

(self-complacency).

Germer

(self-centeredness),
&

Neff

(2013)

menyatakan bahwa ada peningkatan kuantitas riset mengenai welas asih sejak
2003. Ada sekitar 200 artikel jurnal dan disertasi yang meneliti topik tersebut.
Apa yang ditemukan oleh para peneliti adalah welas asih yang lebih besar
terkait dengan psikopatologi yang rendah. MacBeth & Gumley (dalam
Germer & Neff, 2013) menemukan bahwa welas asih berpengaruh besar
terhadap depresi, kecemasan, dan stres.
Oleh karena itu, dalam rangka mencapai pribadi yang utuh, dibutuhkan
pengembangan baik bela rasa maupun welas asih. Guna mengembangkan
bela rasa, mahasiswa dapat belajar berbela rasa lewat kepanitiaan maupun

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
7

perkuliahan. Guna mengembangkan welas asih, dibutuhkan langkah lebih
jauh lagi. Korthagen & Vasalos (2009) menyatakan bahwa refleksi
menciptakan sebuah keseimbangan pikiran, perasaan, serta kehendak
sebagaimana yang menjadi sumber berperilaku. Dari proses penyeimbangan
yang berfokus terhadap masa lalu namun berorientasi ke masa depan inilah
kemudian tercipta transformasi diri yang ditandai dengan kekinian dan
kewaskitaan.
Bertolak dari hubungan logis tersebut, maka dalam proses pendidikan
USD pengembangan welas asih dapat dilakukan lewat refleksi. Refleksi
dalam hal ini mengarah pada pandangan bahwa pendidikan adalah proses
penyadaran (menjadi lebih waskita). Reznitskaya & Sternberg (2004) juga
menuliskan bahwa fungsi refleksi dapat membantu peserta didik memantau
dan mengontrol berbagai proses pembelajaran.

Ini berarti refleksi

meningkatkan kewaskitaan, dan kewaskitaan itu sendiri berpengaruh
signifikan terhadap aspek lain dalam welas asih. Berkaitan dengan hal
termaksud, Adi dkk. (2010) menuliskan:
“Dalam pendidikan berbasis Ignasian, refleksi mengambil peran yang
penting. Dengan berefleksi, mahasiswa menimbang dan memilih
pengalaman-pengalamannya untuk menemukan dirinya yang otentik.
Dengan cara ini, ia dapat mengambil keputusan dan bertindak sesuai
dengan martabatnya yang luhur .” (hlm. 26)

Sayangnya, proses refleksi ini tidak kasat mata ketika akhir kuliah
(atau semester) di kelas-kelas. Padahal, kelas menjadi ruang paling kondusif
dalam melakukan refleksi. Jangankan di kelas, bahkan di kepanitiaan (yang
seringkali menjadi “idola” mahasiswa) refleksi jarang terjadi.

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
8

Bahkan, dalam penelitian mengenai persepsi nilai oleh Zamharin
(2012), nilai yang mendapat peringkat 1 dan 2 menurut mahasiswa adalah
nilai humanis dan kerja sama yang notabene dipahami mahasiswa sebagai
bagian dari hubungan interpersonal ‒ yang berarti bela rasa, bukan welas

asih.

Penelitian

Zamharin

ini

menjadi

cermin

yang

baik

dalam

menggambarkan pendidikan yang dialami mahasiswa.
Mengetahui bagaimana gambaran welas asih dan menyajikan contoh
yang tepat dalam kehidupan mahasiswa bukanlah hal mudah. Bela rasa lebih
mudah dilihat karena terjadi antar individu. Sedangkan welas asih terjadi
dalam hubungan individu dengan dirinya sendiri, oleh karena itu welas asih
termasuk dalam ranah yang cukup privat. Namun, ketika akan tiba waktu
ujian, welas asih yang “terlihat” rendah dengan mudah terlihat. Misalnya
menumpuknya tugas yang seharusnya bisa dikerjakan secara bertahap.
Begadang menjadi tradisi yang begitu kental dalam kultus mahasiswa ketika
ujian akan dilaksanakan. Padahal, ini hanya membuat mahasiswa lelah dan
proses belajar menjadi kurang efektif. Bahkan tidak jarang pula yang merasa
tidak “enak badan” ketika ujian dan setelah ujian berlangsung (berimbas pada
kesehatan secara fisik). Dengan satu kasus ini, tidak serta merta bisa
disimpulkan bahwa welas asih mahasiswa Sanata Dharma adalah rendah.
Oleh karena itu, studi deskripsi perlu dilakukan utuk memperoleh data yang
lebih sahih.
Di samping itu, Pommier (2010) menemukan bahwa mahasiswa
dengan bela rasa tinggi memiliki welas asih yang cenderung rendah, dan

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
9

mahasiswa dengan welas asih yang tinggi memiliki level bela rasa yang tinggi
pula. Namun, hal tersebut ditemukan di tradisi Barat. Oleh karena itu,
partisipan dengan adat ketimuran menjadi pertanyaan dan perbincangan yang
menarik, sebagaimana dicerminkan dalam diri mahasiswa Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
Dari uraian pendek di atas, welas asih pada mahasiswa Sanata Dharma
mendapatkan urgensi tersendiri untuk ditelisik. Selain itu, seakan-akan uraian
semangat dasar Universitas Sanata Dharma perlu diperlengkap. Bela rasa
sebaiknya berorientasi ke dalam (diri sendiri) maupun ke luar (liyan). Apa
yang tidak ada dalam uraian semangat dasar tersebut adalah kata “self”. Self
mengandung pemahaman bahwa ada waktu di mana seseorang harus
menghadapi masalahnya sendiri. Tidak setiap hal dapat dibicarakan dengan
oranglain. Setiap orang menyimpan masalah dan pemecahannya masingmasing sama dengan setiap orang memiliki ruang privat masing-masing. Oleh
karena itu, keunikan manusia di sini sangat ditekankan. Germer & Neff
(2013) sendiri menjelaskan bahwa kecenderungan manusia adalah berbela
rasa terhadap orang lain, namun tidak untuk dirinya sendiri. Tidak heran
apabila di dunia Barat kemudian muncul istilah “woe is me” atau “sengsara
adalah saya”.
Selain itu, sebagai seorang mahasiswa Psikologi, tuntutan sebagai
pribadi yang mampu berwelas asih dan memahami diri sendiri menjadi
penting ketika mahasiswa tersebut terjun ke masyarakat – entah sebagai
seorang psikolog maupun pegawai HRD. Sebagaimana ditemukan Pommier

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
10

(2010) bahwa seseorang dengan welas asih tinggi cenderung memiliki bela
rasa yang tinggi pula, namun tidak untuk sebaliknya. Oleh karena itu, menjadi
penting bagi mahasiswa psikologi untuk secara reflektif melihat dirinya
mengenai bagaimana dirinya mampu untuk peduli dan berwelas-asih terhadap
diri sendiri. Dengan terus melatih kemampuan welas asih secara reflektif dan
ketika suatu waktu mahasiswa tersebut terjun dan menyapa masyarakat, maka
harapannya di masa depan mahasiswa tersebut mampu bertindak sebagai
seorang professional helper. Berkaitan dengan hal tersebut, menyelidiki
welas asih pada mahasiswa psikologi menjadi amatlah penting.
Alhasil, bertolak dari signifikansi welas asih terhadap kesehatan
mental individu dan uraian mengenai bela rasa dalam semangat dasar
Universitas Sanata Dharma, serta basis dasar dan menyiapkan mahasiswa
psikologi sebagai seorang professional helper, muncul pertanyaan kritis yang
penting untuk ditelusuri. Pertanyaan tersebut adalah; bagaimana gambaran
welas asih pada mahasiswa psikologi Sanata Dharma? Jawaban dari
pertanyaan tersebut akan mengantar ke dalam proses pendidikan yang “lebih
jauh”. “Lebih jauh” di sini tidak memiliki makna lain kecuali pendidikan
yang semakin memanusiakan manusia.

B. Rumusan Masalah
Masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah: bagaimana
gambaran welas asih pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma?

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
11

C. Tujuan Penelitian
Bertolak dari pertanyaan pada rumusan masalah, maka tujuan dari
penelitian ini adalah mendeskripsikan gambaran welas asih pada mahasiswa
Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

D. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini akan bermanfaat dalam kajian welas asih
yang dalam dunia psikologi masih relatif baru. Oleh karena itu, penelitian ini
bisa menjadi studi permulaan dalam konsep welas asih sehingga membuka
pintu lebih lebar untuk penelitian yang membutuhkan literatur welas asih,
khususnya pada mahasiswa.
Selain itu, secara praktis penelitian ini dapat menjadi sebuah refleksi
sekaligus evaluasi bagi USD dan mahasiswa Sanata Dharma mengenai proses
pembelajaran yang selama ini telah berlangsung. Oleh karena itu, hasil dari
penelitian ini dapat dijadikan data atau pengetahuan baru dalam proses
pembelajaran di USD.

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Welas Asih
1. Pengertian Welas Asih
Dalam sebuah wawancara mengenai definisi welas asih, Neff
(2011) memberi sebuah contoh mengenai persahabatan. Ketika seorang
teman sedang memiliki masalah lalu bercerita, kemungkinan orang yang
diceritai akan menunjukkan kehangatan, rasa peduli, kebaikan hati.
Pendeknya, orang yang diceritai memberikan emosi yang positif dan
sifatnya menolong. Demikian pula dengan welas asih, bedanya adalah
bahwa “Welas asih secara sederhana berarti bela rasa yang terararah ke
dalam diri” (Germer & Neff, 2013). Singkatnya, welas asih adalah sebuah
cara berelasi dengan keterbukaan-hati terhadap aspek negatif dari diri
sendiri dan pengalaman. Neff (2003a) menambahkan bahwa welas asih
memerlukan pengetahuan bahwa penderitaan, kegagalan, dan ketidakadekuatan adalah bagian dari kondisi manusia, yang semua orang ‒
termasuk diri sendiri ‒ layak untuk diwelas-asihi.

Menurut Neff (2003a), welas asih terejawantahkan dalam sikap

terbuka dan tergerak oleh penderitaan diri, merasa peduli dan berbaik-hati
terhadap diri sendiri, mengambil pemahaman, sikap tidak menghakimi
terhadap kekurangan dan kegagalan diri, dan mengakui pengalaman itu
sendiri sebagaimana juga pengalaman manusia pada umumnya.

12

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
13

Dalam penelitian mengenai welas asih, Barnard & Curry (2011)
membentangkan hubungan welas asih dengan psikologi humanistik,
pengecaman-diri (self-criticism), harga diri (self-esteem), mengasihanidiri (self-pity), egosentrisme (self-centeredness), maupun kepuasan-diri
(self-complacency). Dengan psikologi humanistik, komponen kebaikan
dalam

welas

asih

memiliki

konsistensi

dengan

kunci

menuju

kesejahteraan-diri. Kunci menuju kesejahteraan-diri adalah tidak terlalu
defensif dan mengambil sudut pandang terhadap diri ketika menderita,
kemudian belajar memahami dan menerima kegagalan personal tanpa
menghakimi, mencintai, dan memaafkan.
Pengecaman-diri menimbulkan rasa isolasi serta pelepasan
perilakuan maupun mental. Hal ini berarti pengecaman-diri menunjukkan
rendahnya

intimasi

dan

perjuangan

afiliatif

yang

disebabkan ketakutan akan penolakan. Ketika

kemungkinan

seseorang sedang

mengecam-diri, afek negatif bermunculan. Selain itu, mengecam--diri
cenderung

mendorong

tindakan

untuk

menghindari

situasi

dan

memungkinkan terbukanya kesempatan menuju kegagalan.
True self-esteem memiliki similaritas dengan konsep humanistik
dan welas asih. Self-esteem sendiri dibagi ke dalam dua tipe, yang
pertama adalah contingent self-esteem dan true self-esteem. Contingent
self-esteem tergantung akan standar-standar tertentu yang diciptakan
individu. Oleh karena itu, contingent self-esteem berdasar pada evaluasi
terhadap diri, sedangkan welas asih justru sebaliknya.

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
14

Selanjutya adalah kaitan antara welas asih dengan mengasihanidiri, egosentrisme, maupun kepuasan-diri. Mengasihani-diri memiliki arti
bahwa individu kehilangan rasa kemanusiaan dan cenderung overidentifikasi dengan perasaan, pikiran, dan pengalaman. Ini menunjukkan
bahwa welas asih dengan mengasihani-diri merupakan dua konstruk yang
berbeda. Demikian pula dengan egosentrisme yang kehilangan komponen
rasa kemanusiaan. Bahkan welas asih justru mendukung keterhubungansosial (Neff, 2003a). Kepuasan-diri juga merupakan konstruk yang
berbeda dengan welas asih. Welas asih membicarakan tentang
ketenangan-diri, bukan ketidakacuhan atau penyerahan diri, melainkan
pemahaman akan kesalahan. Kepuasan-diri sangat mugkin untuk
mengantarkan seseorang menjadi defensif apabila menghadapi kegagalan.
Beberapa penelitian menemukan bahwa welas asih berkorelasi
positif terhadap afek-afek positif dan berkorelasi negatif dengan afek
negatif (Leary et al., 2007; Neff et al., 2007; Neff & Vonk, 2009). Juga,
welas asih menunjukkan hubungan yang unik dengan kesejahteraan-diri
(Neely, Schallert, Mohammed, Roberts, & Chen, 2009). Welas asih
menimbulkan kepuasan hidup di mana kepuasan hidup ini menjadi aspek
pokok dalam kesejahteraan-diri. Selain itu welas asih kemungkinan juga
berhubungan dengan regulasi emosi dan kecerdasan emosional, konstrukkonstruk yang berhubungan dengan hasil psikologi positif terkhusus
ketika individu memiliki kendali kecil atas situasi (Neff, 2005). Terakhir,
welas asih berkorelasi positif dengan kewaskitaan dan secara negatif

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
15

dengan perenungan, supresi pikiran, dan penghindaran (Neff et al., 2005;
Neff, Kirkpatrick, & Rude, 2007; Neff & Vonk, 2009; Raes, 2010;
Thompson & Waltz, 2008).
Bertolak dari uraian di atas, welas asih merupakan konsep yang
sedang

berkembang

dalam

penelitian

psikologi.

Konsep

yang

mengadaptasi tradisi Timur ini didefinisikan sebagai bela rasa yang
diarahkan terhadap diri sendiri. Misalnya ketika seorang mahasiswa
memperoleh nilai yang buruk dalam 3 semester awal. Buruknya nilai ini
memunculkan kecemasan dalam diri mahasiswa tersebut. Kecemasan ini
kemudian memunculkan tegangan antara mahasiswa dengan dunia batin
maupun dunia luar. Ketegangan ini perlu direduksi. Apabila mahasiswa
tersebut memiliki welas asih yang baik, maka rasa gagal yang
memunculkan sikap peremehan diri akan mudah dikontrol. Pengendalian
ini akan diwujudkan dalam sikap yang lebih positif, misalnya membuat
komparasi yang lebih luas bahwa setiap orang pernah mengalami
kegagalan. Kegagalan bukan berarti seseorang tidak mampu. Kegagalan
ini menjadi momentum diri untuk berusaha lebih keras dan rasional di
semester berikutnya. Dengan demikian, pola belajar akan diubah demi
mencapai apa yang diharapkan.
Dari penelitian sebelumnya mengenai welas asih (Neff, 2011;
Terry & Leary, 2011; Terry, Leary, Mehta, & Henderson, 2013; Neff,
Kirkpatrick, & Rude, 2007) dan bela rasa (Neff, 2011; Pommier, 2010),
maka ada tiga aspek utama dan negasi yang menyusun keduanya; hanya

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
16

saja arahnya berbeda. Jika bela rasa arahnya ke luar, maka welas asih ke
dalam.

2. Komponen Welas Asih
Menurut Germer & Neff (2013) ada tiga komponen inti dalam
welas asih (dan bela rasa); (a) kebaikan, (b) rasa kemanusiaan; (c)
kewaskitaan. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai ketiganya:
a. Kebaikan vs Penilaian Diri
Kebaikan

berarti

melakukan

perpanjangan

kebaikan

terhadap diri dan memahami diri daripada menilai diri secara kasar
dan mengecam-diri. Welas asih ditandai dengan kehangatan dan
pemahaman terhadap diri ketika menderita, gagal, atau merasa
tidak mampu, daripada mengabaikan rasa sakit atau mendera diri
dengan kritik-terhadap-diri. Orang dengan welas asih mengakui
bahwa menjadi sempurna, gagal, dan mengalami kesulitan hidup
merupakan hal yang tidak bisa dihindari, sehingga mereka
cenderung bersikap lembut dengan diri mereka sendiri ketika
dihadapkan dengan pengalaman menyakitkan daripada marah
terhadap dirinya sendiri ketika hidup muram tidak sesuai apa yang
diharapkan. Orang tidak bisa selalu mendapatkan apa yang mereka
inginkan. Bila kenyataan ini ditolak atau ditentang, maka
penderitaan akan meningkat dalam wujud stres, frustrasi dan

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
17

otokritik. Bila kenyataan ini diterima dengan simpati dan kebaikan,
ketenangan emosional akan dialami (Neff, 2009).
Dalam

kajian

psikologi

positif,

komponen

ini

bersinggungan erat dengan penerimaan-diri yang menjadi dimensi
kesejahteraan psikologis. Penerimaan-diri dipahami sebagai ciri
utama dari kesehatan mental sebagaimana karakteristik aktualisasi
diri, fungsi diri yang optimal, dan kematangan psikis (Ryff &
Singer, 1996). Seseorang yang berbaik-hati terhadap dirinya akan
cenderung lebih menerima dirinya karena mereka bersikap lembut
terhadap dirinya sendiri.
Dalam kasus di mana ancaman hadir, sebagai respon
protektif, individu merasa perlu untuk memfokuskan perhatian
pada diri sendiri. Ketika fokusnya adalah pada diri sendiri, tidak
peduli pada penderitaan orang lain atau pandangan kritis terhadap
dunia muncul. Ancaman menjadi penghalang bagi kebaikan.
Dengan demikian, konstruksi lawan untuk kebaikan (dalam bela
rasa) adalah ketidakpedulian (indifference). Berbeda lagi dengan
welas asih. Dalam welas asih, konstruk lawan untuk kebaikan
adalah penilaian diri (self-judgement). Ketika sikap kritis berbalik
ke dalam, rasa pemahaman untuk diri hilang dan kebaikan
menyelinap pergi mendukung sikap kritis dan menghakimi. Ketika
kebaikan hilang bagi orang lain dalam kasih sayang, respon dingin
dan apatis terjadi kemudian (Pommier, 2010).

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
18

b. Rasa Kemanusiaan vs Isolasi
Komponen ini berarti melihat pengalaman diri sebagai
bagian dari pengalaman manusia yang lebih luas daripada
memisahkan

serta

mengisolasinya.

Frustrasi

karena

tidak

memperoleh persis seperti yang diinginkan sering disertai dengan
irasionalitas dalam nuansa isolasi―seolah-olah "aku" adalah satusatunya orang yang menderita atau membuat kesalahan.
Namun, semua manusia menderita. Menjadi "manusia"
berarti seseorang bersifat fana, rentan dan tidak sempurna. Oleh
karena itu, welas asih melibatkan pengakuan bahwa penderitaan
dan kekurangan pribadi adalah bagian dari pengalaman bersama
seluruh manusia - sesuatu yang dilalui semua orang, bukannya
cuma “aku” sendiri.
Ini juga berarti pengakuan bahwa pemikiran pribadi,
perasaan dan tindakan juga dipengaruhi oleh faktor "eksternal"
seperti

sejarah

pengasuhan,

budaya,

kondisi

genetik

dan

lingkungan, serta perilaku dan harapan orang lain. Thich Nhat
Hahn menyebut jejaring rumit dari sebab dan akibat yang
resiprokal di mana tiap manusia tertanam "Ke-saling-Ada-an”
(Interbeing). Menyadari ke-saling-Ada-an memungkinkan individu
untuk menjadi kurang menghakimi tentang kegagalan pribadi.
Setelah semua terjadi, apabila individu memiliki kendali penuh atas
perilakunya, berapa banyak orang yang dengan sadar memilih

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
19

untuk

memiliki

masalah

kemarahan,

masalah

kecanduan,

melemahkan kecemasan sosial, gangguan makan, dan sebagainya?
Banyak aspek dari diri sendiri dan keadaan hidup yang tidak
bisa dipilih individu, melainkan berasal dari faktor tak terhitung
[genetik dan (atau) lingkungan] di mana individu memiliki sedikit
kontrol atasnya. Dengan mengakui ketergantungan esensial
individu, kegagalan dan kesulitan hidup tidak harus diambil secara
pribadi,

tetapi

dapat

diakui

dengan

kasih

sayang,

tidak

menghakimi, dan pemahaman (Neff, 2009).
Pada konsep bela rasa, rasa kemanusiaan memiliki konstruk
lawan berupa rasa pemisahan (separation). Setelah seseorang
mampu melihat yang lain terpisah dari diri, adalah mungkin untuk
mengorbankan respon welas asih kepada individu yang dalam
sedang menderita. Dalam welas asih, jika seseorang melakukan ini
untuk diri sendiri, individu yang memotong diri dari rasa
kemanusiaan dan menjadi terisolasi. Dengan demikian, dalam
welas asih, isolasi (isolation) adalah kebalikan dari kemanusiaan,
tetapi dalam bela rasa dikonseptualisasikan dalam cara yang sedikit
berbeda di mana keterpisahan dari orang lain menjadi hasilnya
(Pommier, 2010).
c. Kewaskitaan vs Over-identifikasi
Menurut Neff (2009) kewaskitaan berarti memegang
pikiran

dan

perasaan

yang

menyakitkan

dalam

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
20

menyeimbangkannya

dengan

kesadaran

daripada

mengidentifikasikannya secara berlebih. Dalam terapi kognitif,
melebih-lebihkan sesuatu adalah simptom buah pikir negatif yang
mengantar individu menuju depresi. Dalam pemahaman di sini,
yang perlu ditekankan adalah bahwa welas asih juga memerlukan
pendekatan yang seimbang untuk emosi negatif sehingga perasaan
tidak direpresi atau dibesar-besarkan. Sikap seimbang ini berasal
dari proses yang berkaitan dengan pengalaman pribadi orang lain
yang juga menderita, sehingga menempatkan situasi ke dalam
perspektif yang lebih luas.
Hal tersebut juga berasal dari kehendak untuk mengamati
pikiran negatif dan emosi dengan keterbukaan dan kejelasan,
sehingga mereka mengada di kesadaran. Kewaskitaan adalah tidak
menghakimi,

keadaan pikiran reseptif di mana seseorang

mengamati pikiran dan perasaan seperti mereka, tanpa berusaha
untuk menekan atau menolak mereka. Seseorang tidak bisa
mengabaikan rasa sakit dan merasa kasihan terhadapnya di saat
yang sama. Pada saat yang sama, kewaskitaan mengharuskan
seseorang untuk tidak melakukan “over-identifikasi” dengan
pikiran dan perasaan, yang dengan mudah menghantarnya untuk
terjebak dan hanyut oleh reaktivitas negatif (Neff, 2009).
Berkaitan dengan hal tersebut, komponen kewaskitaan
dalam welas asih memiliki konstruk lawan berupa over-identifikasi.

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
21

Ketika seorang individu tidak waskita dalam situasi yang
melibatkan diri, mereka kemungkinan melakukan over-identifikasi
terhadap rasa sakit. Menyangkal penderitaan diri mengantar
seseorang menjadi terlalu terlibat dengan rasa sakit. Dalam hal bela
rasa, over-identifikasi terhadap penderitaan orang lain bukanlah
yang seringkali terjadi. Akan jauh lebih mungkin untuk menolak
atau melepaskan diri penderitaan maupun rasa sakit yang dialami
orang lain (disengagement). Dengan demikian, konstruk lawan dari
bela rasa adalah pelepasan dari liyan, sedangkan pada welas asih
adalah over-identifikasi (Pommier, 2010).

Dari ketiga komponen inti, kewaskitaan memegang peranan lebih.
Kewaskitaan mempengaruhi dua aspek yang lain. Dalam menghadapi
pengalaman buruk, kewaskitaan dalam level tertentu dibutuhkan agar
menimbulkan

kebaikan

dan

rasa

kemanusiaan.

Jopling

(2000)

menemukan bahwa sikap melepas (tepatnya menerima atau menikmati)
dalam kewaskitaan menurunkan kritisisme-diri dan memberi ruang lebar
bagi pemahaman-diri, yang berarti meningkatkan kebaikan-diri. Demikian
juga Elkind (1969) yang menemukan bahwa pengambilan-perspektif yang
seimbang melawan egosentrisme yang menyebabkan rasa terisolir dan
keterpisahan dari kemanusiaan, dengan demikian menciptakan rasa
kesaling-terhubungan.

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
22

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Welas Asih
Berikut adalah beberapa faktor yang berpengaruh dengan tingkat welas
asih dalam diri setiap individu:
1. Pola Asuh
Greenberg (2012) mengklaim bahwa welas asih adalah sebentuk
keahlian yang dapat dilatih dan ditingkatkan lewat belajar. Dalam hal ini,
hubungan antara anak dengan penjaga, khususnya orang tua, mendapatkan
tempat penting. Apabila anak mendapatkan hukuman karena marah atau
atau sedih, maka anak cenderung belajar bahwa kedua kondisi tersebut
adalah buruk. Jika anak merasa ditolak saat berbagi mengenai
kekecewaannya, maka mereka akan cenderung mencerca dirinya atau
memandang rendah dirinya.
2. Kelekatan
Kelekatan terhadap orang tua juga berpotensi besar dalam
membentuk welas asih. Neff & McGehee (2010) menemukan bahwa
remaja dan dewasa awal dengan kelekatan yang aman (secure attachment
style, selanjutnya disingkat SAS), memiliki level welas asih yang tinggi.
Sesuai dengan model Bartholomew, SAS melibatkan keyakinan bahwa
orang lain mendukung dirinya dan bahwa individu tersebut mearasa aman
dan berarti sebagai seorang manusia. Remaja dan dewasa awal dengan
preoccupied attachment style (PAS) ditemukan sebaliknya. PAS adalah
kelekatan yang melibatkan kebutuhan atau ketergantungan terhadap orang
lain untuk mengakui bahwa dirinya ada. Pun dengan fearful attachment

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKAN