PEMIKIRAN KIAI ṢĀLIḤ DARAT TENTANG ETIKA BELAJAR (Studi Analisis Dalam Kitab Syarḥ Minhāj Al-Atqiyā` Ilā Ma’rifat Hidāyat AlAżkiyā Ilā Ṭarīq Al-Awliyā`) - STAIN Kudus Repository

BAB II ETIKA BELAJAR A. Deskripsi Pustaka 1. Etika a. Pengertian Etika Secara etimologi, ada dua pendapat mengenai asal-usul kata etika,

  yakni; pertama, etika berasal dari bahasa Inggris, yang disebut dengan

  ethic (singular) yang berarti suatu sistem, prinsip moral, aturan atau cara

  berperilaku. Akan tetapi, terkadang ethics (dengan tambahan huruf s) dapat berarti singular. Jika ini yang dimaksud maka ethics berarti suatu cabang filsafat yang memberikan batasan prinsip-prinsip moral. Jika dengan maksud plural (jamak) berarti prinsip-prinsip moral yang

  ethics

  1 dipengaruhi oleh perilaku pribadi.

  Kedua , etika berasal dari bahasa Yunani, yang berarti ethikos

  yang mengandung arti penggunaan, karakter, kebiasaan, kecenderungan, dan sikap yang mengandung analisis konsep-konsep seperti harus, mesti benar-salah, mengandung pencarian ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral, serta mengandung pencarian kehidupan yang baik secara moral. Sedangkan dalam bahasa Yunani kuno, etika berarti

  ethos, yang apabila dalam bentuk tunggal mempunyai arti tempat tinggal

  yang biasa, padang rumput, kandang, adat, akhlak, watak perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak artinya adalah adat kebiasaan. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal- usul kata ini, maka “etika” berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Arti inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya etika yang oleh

  Aristoteles (384-322 SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat

  2 moral.

  Sudah cukup banyak para ahli yang berbicara mengenai etika. Ahmad Tafsir secara sederhana mengatakan bahwa etika merupakan budi pekerti menurut akal. Etika merupakan ukuran baik buruk perbuatan

  3

  manusia menurut akal. Amsal Bakhtiar dengan nada yang berbeda mengartikan etika dalam dua makna, yakni; etika sebagai kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia dan etika sebagai suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-

  4 hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia yang lain.

  Di sisi lain, dengan penekanan yang agak berbeda Asmoro Achmadi justru mengatakan ada dua permasalahan yang dibicarakan oleh etika, yaitu menyangkut “tindakan” dan “baik-buruk”. Apabila permasalahan jatuh pada “tindakan” maka etika disebut sebagai filsafat praktis, sedangkan jatuh pada “baik-buruk” maka etika disebut “filsafat

  5 normatif”.

  Tidak ada perbedaan secara signifikan dari ketiga definisi tersebut. Ketiganya justru saling menegaskan dan melengkapi satu sama

  6

  lain. Jika mengacu pada pengertian Rizal dan Misnal yang juga dikutip

  7

  8

  oleh Fathul Mufid, serta dalam Kamus Bahasa Indonesia, etika dibedakan dalam tiga pengertian pokok, yaitu; (a) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak serta kewajiban moral; (b) kumpulan asas atau nilai moral; (c) nilai-nilai atau norma moral yang

  2 Mohammad Adib, Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, 3 Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm. 205-206.

  Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami; Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu, Memanusiakan Manusia, 4 PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2012, hlm. 121. 5 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 165. 6 Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm. 16.

  Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hlm. 29. 7 8 Fathul Mufid, Filsafat Ilmu Islam, STAIN Kudus, 2008, hlm. 85.

  Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, menjadi pedoman suatu golongan atau masyarakat dalam mengatur tingkah lakunya.

  Sebagai pengetahuan mengenai norma baik-buruk terkait dengan tindakan, etika mempunyai persoalan yang luas. Etika yang demikian ini mempersoalkan dengan tindakan buruk/jahat yang dianggap tidak

  9 manusiawi.

  Etika dalam pemahaman demikian merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Pada tingkatan ini, etika disebut juga filsafat moral, yaitu cabang

  10

  filsafat yang berbicara tentang tindakan manusia. Sebagai sebuah cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan kritis dalam melihat dan menggumuli nilai dan norma moral serta permasalahan- permasalahan moral yang timbul dalam kehidupan manusia, khususnya

  11 masyarakat.

  Refleksi kritis dan rasional atas apa yang berlaku umum di masyarakat, dalam tingkat ini bisa dikatakan sebagai dasar penilaian terhadap suatu perbuatan apakah itu baik atau buruk.

  Dalam konteks ini juga, etika tidak memberikan ajaran melainkan memeriksa kebiasaan, nilai, norma, dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika menuntut pertanggung jawaban dan mau menyingkatkan kerancuan (kekacauan). Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral, sedangkan kata moral selalu mengacu

  12 pada baik buruknya manusia sebagai manusia.

  Selanjutnya, sebagai filsafat praktis, etika sering disamakan dengan moralitas, yang berasal dari kata latin mos yang dalam bentuk

  13 9 jamaknya mores, yang berarti cara hidup atau adat kebiasaan. 10 Asmoro Achmadi, Op.Cit, hlm. 16. 11 Ayi Sofyan, Op.Cit, hlm. 369.

  Syaiful Sagala, Etika dan Moralitas Pendidikan; Peluang dan Tantangan, Kencana,

Jakarta, 2013, hlm. 13. Lihat juga Musa Asy‟arie, Filsafat Islam; Sunnah Nabi dalam Berpikir,

Lesfi, Yogyakarta, 1999, hlm. 83. 12 Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2005, hlm. 89.

  Etika dan moralitas sama-sama berarti sistem nilai dan adat kebiasaan tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia yang telah diinstitusionalisasikan dalam sebuah adat kebiasaan yang kemudian berwujud dalam pola perilaku yang ajek dan terulang dalam kurun waktu yang lama sebagaimana layaknya sebuah kebiasaan. Dalam konteks ini, etika berisikan nilai dan norma-norma konkret yang menjadi

  14 pedoman dan pegangan hidup manusia dalam kehidupannya.

  Perlu dicatat bahwa meskipun etika dalam konteks ini sering disamakan dengan moralitas, bukan berarti etika adalah moralitas itu sendiri. Jika moralitas menuntut manusia bertindak berdasarkan nilai dan norma dari adat kebiasaan nenek moyang atau tradisi dan budaya masyarakat yang umum diterima, etika tidak demikian. Etika menuntut manusia untuk berperilaku moral secara kritis dan rasional, dalam pengertian tindakan moral yang dilakukannya secara sadar bukan semata- mata karena moralitas melainkan juga karena disadari bahwa tindakan itu baik untuk dilakukan, baik itu bermanfaat untuk diri sendiri dan bagi

  15 14 orang lain. Dengan demikian, meskipun etika juga berisi nilai dan 15 Syaiful Sagala, Op.Cit, hlm. 13.

  Ibid, hlm. 15. Persoalan bagaimana harus bertindak sangat dipengaruhi oleh nilai yang

terdapat dalam tingkah laku itu sendiri. Karena apa yang disebutnya baik merupakan suatu nilai

yang mendorong manusia untuk bertindak dan berperilaku. Dalam kaitan ini, ada dua aliran yang

saling bertentangan. Aliran pertama adalah paham deontologi berpendapat bahwa nilai moral

selalu didasarkan pada apa yang ada dalam perbuatan, bukan sesuatu yang lain, yang berada di

luarnya. Orang tidak mau berbohong misalnya, bukan karena sesuatu yang lain di luar perbuatan

berbohong itu, tetapi karena perbuatan berbohong itu yang tidak baik. Aliran ini berpendapat

bahwa perilaku moral harus didasarkan pada dorongan yang kuat dari dalam diri seseorang untuk

melakukannya dan atau meninggalkannya. Aliran ini tidak mempertimbangkan konsekuensi logis

dari perbuatannya, karena nilai moral dari suatu tindakan sifatnya intrinsik. Sebaliknya, aliran

kedua, yaitu teleologis justru berpendapat bahwa tindakan moral merupakan pilihan bebas

seseorang dalam menentukan moralnya di antara berbagai tingkah laku yang ada berdasarkan

pertimbangan logis atas keuntungan. Dalam arti, suatu tindakan dianggap benar karena

konsekuensi dari tindakan tersebut. Jika nilai moral dalam deontologis bersifat intrinsik, maka

dalam teleologis nilai moral justru bersifat ekstrinsik. Meskipun secara eksistensial keduanya

berbeda, namun secara esensial keduanya bermuara pada satu tujuan, yaitu kebahagiaan tertinggi.

Lihat Undang Ahmad Kamaludin, Filsafat Manusia; Sebuah Perbandingan antara Islam dan

Barat, Pustaka Setia, Bandung, 2012, hlm. 220-222. Lihat juga Ayi Sofyan, Op.Cit, hlm. 352-355.

Pada aliran deontologis, dapat ditemui dalam pendapatnya Kant mengenai prinsip moralnya.

Menurut Kant, bertindak atau berbuat jangan karena “jika-maka” atau “kasihan”, tapi karena

“harus”. Misal, saya membantu orang bukan karena sedih melihatnya, atau saya membantu orang

bukan karena imbalan, melainkan karena harus. Demikian prinsip umum moralnya. Lihat Stefanus norma-norma konkret seperti halnya moralitas, tetapi etika lebih menitikberatkan pada rasio.

  Berbagai pengertian etika yang telah diuraikan di atas, oleh Palmquis digambarkan seperti pohon besar yang memiliki satu cabang pohon yang besar, di mana ujung dari suatu pohon tersebut terdapat ranting-ranting begitu banyak. Ranting-ranting tersebut sangat penting, karena di sinilah tumbuh daun dan buah pohon. Jumlahnya yang begitu banyak tidak berpengaruh signifikan pada penampilan dan kesehatan pohon ketika salah satu ranting disingkirkan. Satu cabang pohon yang besar itu merupakan analogi dari Palmquis sebagai prinsip-prinsip moral yang fundamental, yang disebut dengan “meta-etika”. Sedangkan ranting-ranting itu merupakan pertanyaan-pertanyaan etis tentang bagaimana manusia harus bertindak, pertanyaan ini mencakup berbagai aspek termasuk pada persoalan yang spesifik, sehingga oleh Palmquis

  

16

disebut dengan “etika terapan”.

  Analogi dari Palmquis tersebut mengisyaratkan bahwa etika menempati dua posisi secara simultan dalam kehidupan manusia. Satu sisi ia merupakan prinsip-prinsip moral yang fundamental, ia merupakan fondasi dasar secara rasional dalam menentukan keputusan baik atau buruknya suatu tindakan.

  Namun demikian, perannya dalam kehidupan manusia bukan sekedar berpikir tentang baik buruk secara filosofis, melainkan juga memberikan pegangan atau pedoman konkret kepada manusia bagaimana harus bertindak. Pedoman tersebut tidak bisa disamakan antara satu daerah dengan daerah lain, antara satu orang dengan orang lain, antara satu kelompok dengan kelompok lain, karena pemikiran manusia sangat dipengaruhi oleh latar belakang keilmuan, sosial, politik, budaya,

  

teori etika yang berkembang di barat seperti hedonisme, vitalisme, utilitarianisme, pragmatisme,

dan seterunya. Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, PT Remaja RosdaKarya, Bandung, 2013, hlm.

  40. 16 Stephen Palmquis, Pohon Filsafat; Teks Kuliah Pengantar Filsafat, Terj. Muhammad

  ekonomi, agama yang berada di lingkungannya. Hal ini ibarat ranting pohon satu dengan yang lain, di mana satu ranting ada yang panjang ada yang pendek, ada yang menumbuhkan buah dan dedaunan ada pula yang tidak. Pemikiran manusia juga dinamis dan berkembang sesuai dengan konteks perkembangan zaman, tidak stagnan. Jika dianalogikan dengan pohon tadi, maka pemikiran manusia seperti ranting yang akan berjatuhan karena kondisinya tidak memungkinkan lagi untuk bertahan di atas pohon.

  Ringkasnya, dapat dikatakan bahwa etika merupakan ilmu yang berbicara tentang perilaku manusia berdasarkan akal dan pikiran, baik sebagai penilai baik dan buruknya suatu perbuatan manusia maupun sebagai nilai dan norma-norma konkret tentang mana yang baik dan yang buruk.

b. Objek dan Sifat Etika

  Secara umum, etika merupakan ilmu yang membicarakan tentang perilaku manusia mengenai yang baik dan yang buruk. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, tetapi mempersoalkan bagaimana

  17 manusia harus bertindak dan berperilaku.

  Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia yang dilakukan secara sadar dan bebas. Sedangkan objek formalnya adalah kebaikan dan keburukan atau bermoral dan tidak bermoral dari

  18 tingkah laku tersebut.

  Perbuatan dan predikat nilai etis, keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Untuk mengkaji nilai diperlukan suatu kejadian yang dapat diamati dan diteliti. Karena “nilai” tidak melayang-layang dalam ruang yang hampa, tetapi menuju sasaran pengalaman. Dalam hubungannya dengan nilai etis ini, berlakunya 17 menjurus pada perbuatan, perbuatanlah yang dijadikan sebagai bahan Ayi Sofyan, Op.Cit, hlm. 369. tinjauan, tempat nilai etis diterapkan. Nilai sebagai dasar dan bentuk, sedangkan perbuatan sebagai isi. Sebagai dasar dan bentuk, ia baru dapat dipahami dengan jelas, apabila isi diikutsertakan bersama dengan perbuatan. Paduan antara nilai etis dan perbuatan sebagai pelaksanaannya

  19

  menghasilkan sesuatu yang disebut moral atau kesusilaan. Dengan demikian, pokok pembicaraan etika tidak dapat melepaskan diri dari “perbuatan” sebagai “isi” dari dasar dan bentuk (nilai).

  Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran melainkan memeriksa kebiasaan, nilai, norma, dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika menuntut pertanggung jawaban dan mau menyingkatkan kerancuan (kekacauan). Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral, sedangkan kata

  20 moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia.

  Sifat kritis etika terhadap realitas moral yang diamati dan ditelitinya merupakan sifat “dasar” dari etika itu sendiri. Dalam hubungannya dengan ini, Darmodiharjo dan Sidarta, yang dikutip oleh Syaiful, merumuskan lima tugas etika sebagai berikut;

1) Untuk mempersoalkan norma yang dianggap berlaku.

  Diselidikinya apakah dasar suatu norma itu dan apakah dasar itu membenarkan ketaatan yang dituntut oleh norma itu terhadap norma yang dapat berlaku. 2)

  Etika mengajukan pertanyaan tentang legitimasinya, artinya norma yang tidak dapat mempertahankan diri dari pertanyaan kritis dengan sendirinya akan kehilangan haknya. 3)

  Etika mempersoalkan pula hak setiap lembaga seperti orang tua, sekolah, negara, dan agama untuk memberikan perintah atau larangan yang harus ditaati. 4)

  Etika memberikan bekal kepada manusia untuk mengambil sikap 19 yang rasional terhadap semua norma.

  Ayi Sofyan, Op.Cit, hlm. 381.

  5) Etika menjadi alat pemikiran dan rasional dan bertanggung jawab bagi seorang ahli dan bagi siapa saja yang tidak mau diombang-

  21 ambingkan oleh norma-norma yang ada.

  Sifat dasar kritis tersebut menunjukkan bahwa etika

  • –demikian kata Syaiful- mengharapkan manusia bertindak sesuai dengan nilai dan norma moral yang berlaku. Namun, esensi dari pengharapan etika bukan semata-mata karena diperintahkan oleh moralitas (adat kebiasaan yang berlaku secara turun temurun), agama, orang tua, atau institusi lainnya, melainkan karena kesadaran dari manusia itu sendiri bahwa tindakan itu

  22

  baik bagi dirinya serta bermanfaat bagi orang lain. Hal yang harus dipahami dari etika adalah etika menuntut orang untuk berperilaku moral secara kritis dan rasional. Konsekuensi logis dari hal ini adalah menuntut pertimbangan setiap orang dan kelompok harus terbuka, termasuk terbuka untuk digugat dan dibantah secara kritis rasional oleh pihak lain, sehingga semua pihak bisa sampai pada suatu sikap dan penilaian yang bisa diterima semua pihak atau yang dianggap paling benar atau diakui

  23 kebenarannya.

  Kenyataan ini menempatkan etika sebagai ilmu yang membicarakan baik buruk, tetapi berbeda dengan ilmu normatif lainnya, yakni akhlak dan moral. Akhlak merupakan ilmu tentang baik buruk berdasarkan wahyu Tuhan, jika Islam maka sumbernya adalah al-Quran dan as-Sunnah; sifatnya universal dan absolut. Sedangkan moral merupakan baik buruk berdasarkan ukuran tradisi dan budaya; sifatnya temporal, relatif, dinamis.

  Namun demikian, dari ketiganya; akhlak, etika dan moral, dapat

  24 21 terjalin hubungan yang harmonis. Akhlak sebagai baik buruk 22 Syaiful Sagala, Op.Cit, hlm. 12. 23 Lihat catatan kaki nomor 15. 24 Syaiful Sagala, Op.Cit, hlm. 15.

  Lihat Khozin, Khazanah Pendidikan Agama Islam, PT Remaja Rosdakarya, Bandung,

2013, hlm. 130. Lihat Al Mawardi, Etika, Moral dan Akhlak dalam Jurnal LENTERA Vol. 13,

Nomor. 01, LPPM Universitas AlMuslim Bireuen, Matangglumpang Dua-Bireuen, Maret 2013, berdasarkan wahyu, sifatnya universal dan absolut, butuh pemikiran serta perpaduan tradisi dan budaya untuk membumikan perintah-perintah agama tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Begitu pula adat kebiasaan yang umum diterima, butuh pemikiran kritis untuk meninjau ulang agar kedudukannya dapat dipertanggungjawabkan secara kritis dan rasional. Ketiganya dapat dikatakan saling melengkapi dan membutuhkan satu sama lain.

c. Pendekatan Etika

  Pada bagian sebelumnya, telah dijelaskan bahwa etika merupakan ilmu yang membicarakan tentang baik atau buruk berkenaan dengan sikap dan perilaku manusia. Meski tidak mempersoalkan bagaimana keadaan manusia, tetapi persoalan etika selalu berhubungan dengan

  25

  eksistensi manusia dalam segala aspeknya, karena persoalan nilai selalu berkaitan erat dengan perbuatan manusia.

  Sebagai ilmu yang mengkaji perilaku manusia berkaitan dengan baik dan buruk, etika memiliki pendekatan yang saling berkaitan dan melengkapi satu sama lain, yaitu, etika deskriptif, meta-etika, dan etika normatif.

  Pertama, etika deskriptif; pengetahuan serta penilaian manusia

  tentang baik buruk terhadap perbuatan yang dilakukan oleh manusia dibangun atas asumsi bahwa tingkah laku moral dalam arti luas, seperti adat kebiasaan, anggapan tentang baik buruk, tindakan-tindakan yang

  26 diperbolehkan atau tidak diperbolehkan, dan seterusnya.

  Etika dalam konteks ini hanya memberikan gambaran dari gejala kesadaran moral, dari norma dan konsep-konsep etis dalam berperilaku. Etika deskriptif berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan perilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini 25 sebagai suatu yang bernilai dan bermanfaat bagi kehidupannya. Etika Musa Asy‟arie, Op.Cit, hlm. 83. deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan

  27 tentang perilaku atau sikap yang mau diambil.

  Objek penyelidikannya hanya terbatas pada memberikan gambaran, melukiskan, menceritakan sesuai dengan kondisi sebenarnya mengenai tingkah laku masyarakat. Etika ini hanya memeriksa kebiasaan, nilai, norma, dan pandangan-pandangan moral yang berlaku di masyarakat secara kritis. Dalam hal ini, etika deskriptif tidak memberikan penilaian apapun, tidak memilih mana yang baik dan mana yang buruk, tidak mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat. Etika

  

28

  deskriptif di sini bersifat netral. Singkatnya, etika deskriptif merupakan kerangka dasar untuk menilai perbuatan serta mengambil sikap yang seharusnya dilakukan.

  Kedua, metaetik. Awalan meta

  (Yunani) berarti „melebihi‟, „melampaui‟. Metaetika bergerak seolah-olah bergerak pada taraf lebih tinggi daripada perilaku etis, yaitu pada taraf „bahasa etis‟ atau bahasa

  29

  yang digunakan di bidang moral. Metaetika menganalisis logika perbuatan dalam kaitan ini dengan „baik‟ atau „buruk‟. Perkembangan

  30

  lebih lanjut dari meta-etika ini adalah filsafat analitik. Pendekatan analitik ini meliputi dua aspek yaitu; penelaahan tentang konsep-konsep

  31 yang dipakai dan penelaahan mengenai logika dari alasan-alasan moral.

  Ketiga, etika normatif; dalam konteks ini, etika tidak berbicara

  lagi tentang gejala, melainkan tentang apa yang sebenarnya harus merupakan tindakan manusia. Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan oleh manusia dalam berperilaku. Etika memberi kita

  32 27 pegangan atau orientasi dalam menjalani kehidupan kita di dunia ini. 28 Syaiful Sagala, Op.Cit, hlm. 17. 29 Surajiyo, Op.Cit, hlm. 88. Lihat Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Op.Cit, hlm. 30. 30 Mohammad Adib. Op.Cit, hlm. 206 31 Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Op.Cit, hlm. 33.

  Tedi Priatna, Etika Pendidikan; Panduan Bagi Guru Profesional, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2012, hlm. 119.

  Dalam hal ini, seseorang dapat dikatakan sebagai participation approach karena yang bersangkutan telah melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia. Ia tidak netral karena berhak untuk

  33 mengatakan atau menolak suatu etika tertentu.

  Etika normatif mendasarkan pendiriannya atas norma. Ia dapat mempersoalkan norma yang diterima seseorang atau masyarakat secara lebih lebih kritis. Ia bisa mempersoalkan apakah norma itu benar atau tidak. Etika normatif merupakan sistem-sistem yang dimaksudkan untuk memberikan petunjuk atau penuntun dalam mengambil keputusan yang menyangkut baik atau buruk. Dalam prakteknya, etika normatif dibagi menjadi dua, yaitu etika umum dan etika khusus.

  1) Etika umum, etika ini menekankan pada tema-tema umum seperti; apa yang dimaksud norma etis? Mengapa norma moral mengikat kita? bagaimana hubungan antara tanggung jawab dengan

  34

  kebebasan? Atau dalam bahasa yang sederhana etika umum berbicara prinsip-prinsip umum, seperti apakah nilai, motivasi

  35 suatu perbuatan, suara hati, dan sebagainya.

  2) Etika khusus. Dalam hal ini, prinsip-prinsip umum yang dibicarakan oleh etika umum diupayakan untuk diterapkan ke dalam perilaku manusia yang khusus. Etika khusus juga

  36 dinamakan etika terapan.

  Masalah dasar etika khusus adalah bagaimana seseorang harus bertindak dalam bidang atau masalah tertentu, dan bidang itu perlu ditata agar mampu menunjang pencapai kebaikan hidup manusia sebagai manusia. Etika khusus dibagi menjadi dua, yaitu etika individual dan etika sosial, keduanya berkaitan dengan tingkah laku manusia sebagai warga masyarakat. Etika individual membahas kewajiban manusia 33 terhadap diri sendiri dalam kaitannya dengan kedudukan manusia sebagai 34 Mohammad Adib, Op.Cit, hlm. 206. 35 Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Op.Cit, hlm. 30-31.

  Surajiyo, Op.Cit, hlm. 88. warga masyarakat. Etika sosial membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota masyarakat atau umat manusia. Dalam masalah ini etika individual tidak dapat dipisahkan dengan etika sosial, karena kewajiban terhadap diri sendiri dan sebagai anggota masyarakat atau umat manusia saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia lain baik secara langsung maupun dalam bentuk kelembagaan (keluarga, masyarakat, dan negara), sikap kritis terhadap pandangan-pandangan dunia, ideologi- ideologi maupun tanggung jawab manusia terhadap lingkungan hidup. Etika sosial berfungsi membuat manusia menjadi sadar akan tanggung jawabnya sebagai manusia dalam kehidupannya sebagai anggota

  37 masyarakat, menurut semua dimensinya.

  Etika dalam konteks normatif-khusus ini sering disamakan dengan moralitas yang berasal dari bahasa latin mos, yang dalam bentuk

  38

  jamaknya mores, yang berarti cara hidup atau adat kebiasaan. Dalam pengertian ini, etika berisikan nilai dan norma-norma konkret yang

  39 menjadi pedoman dan pegangan hidup manusia dalam kehidupannya.

  Dengan demikian dapat dipahami bahwa etika normatif merupakan kerangka kerja yang berdasar pada kerangka kerja etika deskriptif dan analitik (metaetik). Etika normatif bertugas untuk memberikan pertimbangan dan penilaian atas sikap dan perilaku manusia baik individu maupun kelompok, sehingga nilai dan norma yang umum diterima dapat dipertanggungjawabkan secara rasional, bahkan tidak menutup kemungkinan munculnya nilai dan norma baru karena norma sebelumnya tidak memiliki dasar yang kuat. Selain itu, etika normatif juga memberikan pedoman secara konkret bagaimana harus bertindak dalam bidang-bidang tertentu. Dari uraian mengenai pendekatan etika terkait dengan tingkah laku atau perbuatan manusia, jika diskemakan 37 sebagai berikut; 38 Tim Dosen Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta, 2002, hlm. 175-176.

  Stefanus Supriyanto, Op.Cit, hlm. 194.

  Gambar 1.

  Skema Pendekatan Etika Etika

  Etika Etika Meta-etik/

  Normatif Umum Deskriptif Analitik

  Etika Normatif Khusus

  Etika Etika

  Sosial Individual

  Etika Etika

  Etika Etika Dan lain- Profesi Keluarga Belajar Mengajar lain

  Sikap dan Perilaku Manusia 2.

   Belajar a. Pengertian Belajar

  Beberapa pandangan para ahli tentang pengertian belajar antara lain sebagai berikut; 1)

  Moh. Surya (1997); “Belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya.” 2)

  Witherington (1952); “Belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan, dan kecakapan.”

  3) Crow & Crow (1995); “Belajar adalah diperolehnya kebiasaan- kebiasaan, pengetahuan, dan sikap baru.”

  4) Hilgard (1962); “Belajar adalah proses di mana suatu perilaku muncul atau berubah karena adanya respons terhadap sesuatu situasi.”

  5) Di Vesta dan Thompson (1970); “Belajar adalah perubahan perilaku yang relatif menetap sebagai hasil dari pengalaman.”

  6) Gae & Berliner; “Belajar adalah suatu proses perubahan perilaku

  40

  yang muncul karena pengalaman.” Beberapa pengertian dari para ahli di atas memiliki kesamaan satu dengan yang lain meskipun berbeda dalam redaksi yang digunakannya.

  Dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar merupakan suatu proses individu dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya sehingga menimbulkan terjadinya perubahan tingkah laku, baik sikap, keterampilan, pengetahuan. Perubahan ini terjadi karena adanya respons dari individu terhadap rangsangan-rangsangan atau stimulus yang diterimanya. Dengan demikian, aktivitas belajar manusia terjadi secara sadar dan disengaja tidak secara kebetulan.

  Secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan, yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan

  41

  lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Interaksi 40 tersebut tidak terbatas pada mempelajari mata pelajaran, tetapi juga

  Hamzah B. Uno dan Nurdin Mohamad, Belajar dengan Pendekatan PAILKEM;

Pembelajaran Aktif, Inovatif, Lingkungan, Kreatif, Efektif, Menarik, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2014, hlm. 139. penguasaan, kebiasaan, persepsi, kesenangan minat, penyesuaian sosial,

  42 bermacam-macam keterampilan dan cita-cita.

  Pada akhirnya, hasil dari interaksi tersebut menghasilkan berbagai perubahan yang terjadi dalam pribadi individu sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Perubahan tersebut adalah perubahan perilaku. Perilaku mengandung pengertian yang luas. Hal ini mencakup pengetahuan, pemahaman, keterampilan, sikap, kemampuan berpikir, penghargaan terhadap sesuatu, minat, dan sebagainya. Setiap perilaku ada yang nampak bisa diamati, ada pula tidak bisa diamati. Perilaku yang dapat diamati disebut penampilan atau behavioral performance. Sedangkan yan g tidak bisa diamati disebut “kecenderungan perilaku atau behavioral tendency. Namun demikian, individu dapat dikatakan telah menjalani proses belajar, meskipun pada dirinya hanya ada perubahan

  

43

dalam kecenderungan perilaku.

  Oemar Hamalik berpendapat bahwa perubahan tersebut terjadi pada salah satu aspek atau beberapa aspek tingkah laku manusia, yaitu; (a) pengetahuan, (b) pengertian, (c) kebiasaan, (d) keterampilan, (e) apresiasi, (f) emosional, (g) hubungan sosial, (h) jasmani, (i) etis atau

  44 budi pekerti, dan (j) sikap.

  Pengetahuan menjadi salah satu unsur penting yang perlu diperhatikan di sini. Seperti yang digariskan oleh Moh. Rosyid, tahapan pertama dalam proses belajar adalah adanya informasi atau pengetahuan. Tahap ini merupakan tahap yang paling penting sebelum menuju proses belajar yang sesungguhnya berupa membaca, memahami, menganalisis,

  45

  dan mengapresiasi. Dengan adanya informasi, manusia dapat berinteraksi atau merespons informasi tersebut dengan cara membaca. 42 Dengan membaca, segala pengetahuan dan informasi dapat ditransfer,

  Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2009, hlm. 45. 43 44 Sumiati dan Asra, Metode Pembelajaran, CV Wacana Prima, Bandung, 2008, hlm. 38. 45 Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2003, hlm. 30.

  Lihat Moh. Rosyid, Strategi Pembelajaran Demokratis, LePPPAS dan UPT UNNES disadap dan disimpan dalam otak. Dalam konteks demikian, perubahan pertama yang terjadi dalam proses belajar manusia adalah bertambahnya pengetahuan atau mendapat pengetahuan baru.

  Pengetahuan merupakan unsur paling penting dalam proses kehidupan manusia. Menurut Ayi Sofyan, dengan pengetahuan yang dimiliki, cara pandang manusia dapat terbentuk. Kemudian dari cara pandang itulah manusia memiliki ideologi yang menentukan sikap dan

  46 tindakannya.

  Membaca sebagai aktivitas belajar pertama yang dilakukan oleh manusia guna memperoleh pengetahuan, mendapat perhatian secara serius dalam Islam. Allah berfirman;

        Artinya; Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang

  

47

Menciptakan. (QS. Al- „Alaq: 1).

  Ayat tersebut menunjukkan betapa pentingnya kegiatan membaca dalam kehidupan manusia. Lebih dari itu, ayat tersebut merupakan wahyu pertama kali yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw. Bahkan kata

  Iqra‟ diulang-ulang hingga dua kali, yaitu pada ayat

  pertama dan ayat ketiga. Pengulangan kata

  iqra‟ dalam rangkaian wahyu

  48

  pertama mengindikasikan begitu pentingnya perihal membaca. Karena dengan membaca manusia dapat mengetahui berbagai macam pengetahuan yang dapat menuntun atau mengarahkan sikap dan perilaku yang harus dilakukannya.

  Kata

  iqra‟, oleh Quraish Shihab ditafsirkan tidak terbatas pada

  perintah untuk membaca teks tertulis, melainkan mencakup berbagai arti 46 yang sangat luas, yaitu; bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri 47 Lihat Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat, hlm. 35.

  Al-Quran dan Terjemahannya, Wakaf dari Pelayan Dua Tanah Suci, Raja Abdullah bin Abdul Aziz Ali Sa‟ud, tidak diperjualbelikan, dibagi secara cuma-cuma, hlm. 1079. 48 Ali Romdhoni, Al-Quran dan Literasi, Sejarah Rancang-bangun Ilmu-Ilmu Keislaman, sesuatu; bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Objek perintah

  iqra‟ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.

  Selanjutnya, Quraish Shihab juga menafsirkan bahwa ayat tersebut menghendaki umatnya untuk membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan atau bermanfaat untuk seluruh makhluk Allah. Bukankah Allah tidak membutuhkan sesuatu, dan justru makhluk yang membutuhkan Allah Swt.? Dari ayat tersebut, ia juga menekankan bahwa titik tolak atau motivasi pencarian ilmu, demikian juga tujuan akhirnya, haruslah karena

  49 Allah, dalam arti bermanfaat untuk manusia atau makhluk Allah.

  Dengan demikian, proses belajar yang dimaknai sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu secara sadar berupa interaksinya dengan lingkungan sehingga menghasilkan perubahan perilaku dalam diri individu tersebut. Dalam Islam memiliki makna yang sedikit berbeda. Jika dalam pengertian umum perubahan perilaku yang terjadi sebagai akibat dari interaksinya dengan lingkungan, baik lingkungan fisik/psikis maupun lingkungan sosial, merupakan unsur yang primer dalam realitas hasil belajar. Maka Islam tidak demikian, perubahan perilaku yang terjadi dari hasil proses belajar merupakan konsekuensi logis dari tujuan belajar yang utama, yaitu karena Allah. Dengan demikian, perubahan perilaku hasil belajar bukanlah hasil belajar itu sendiri, melainkan konsekuensi logis dari hasil belajar yang sesungguhnya. Perubahan perilaku tersebut bukanlah unsur primer dari hasil belajar, karena primernya adalah karena Allah.

  Belajar dalam Islam memiliki makna yang sedikit berbeda dengan pengertian umum. Ayat di atas merupakan pedoman yang cukup jelas, singkat dan padat, yang dapat dijadikan sebagai landasan dalam 49 perumusan makna belajar. Dalam kaitan ini, Muhbib Abdul Wahab

  Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran; Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan berpendapat bahwa belajar adalah proses transformasi diri menuju peningkatan kapasitas intelektual, keluhuran moral, kedalaman spiritual, kecerdasan sosial, keberkahan profesional, dan perubahan sosial menuju

  khaira ummah (umat terbaik). Karena dengan belajar, manusia bisa hidup

  bermartabat dan membangun peradaban yang bersendikan nilai-nilai

  50

  ketuhanan dan kemanusiaan. Jika diperhatikan secara sepintas, tidak ada yang berbeda dalam perumusan belajar dalam pengertian umum dengan belajar dalam pengertian Islam. Namun, sifatnya yang transenden merupakan landasan yang cukup jelas dan sangat berbeda dengan pengertian umum untuk dijadikan sebagai tolok ukur dalam proses pelaksanaan maupun perumusan tujuan belajar.

b. Pandangan tentang Peristiwa Belajar

  Belajar merupakan suatu proses yang kompleks yang terjadi pada semua orang dan berlangsung seumur hidup, sejak dia masih bayi hingga

  51

  ke liang lahat nanti. Poin penting yang perlu dipahami di sini adalah belajar merupakan aktivitas yang dilakukan oleh individu secara mandiri, bersifat individual dan dilakukan secara sadar dalam bentuk interaksinya dengan lingkungan, baik lingkungan fisik/psikis maupun lingkungan sosial. Meskipun tidak dipungkiri adanya pemahaman bahwa belajar merupakan bagian dari proses yang ditimbulkan oleh aktivitas pembelajaran, yaitu suatu kegiatan atau aktivitas sistemik yang diciptakan oleh orang lain (guru, orang dewasa, dan sebagainya) guna mewujudkan kondisi yang memungkinkan individu untuk belajar secara

  52 mandiri.

  50 Lihat Muhbib Abdul Wahab, Inilah Adab Belajar Menurut Islam, di akses dari tanggal 4 November 2015. 51 Arief S. Sadirman, et.al. Media Pendidikan; Pengertian, Pengembangan, dan

  Pemanfaatannya, 52 Rajawali Pers, Depok, 2012, hlm. 2.

  Lihat Andi Prastowo, Pengembangan Bahan Ajar Tematik, Diva Press, Yogyakarta,

  Belajar sebagai suatu proses yang kompleks yang terjadi pada masing-masing orang, dewasa ini muncul berbagai pemahaman dan pandangan terkait dengan peristiwa belajar. Nana Sudjana dalam hal ini mengklasifikasikan berbagai sudut pandang dalam memahami belajar menjadi tiga domain, yaitu (a) belajar sebagai proses, (b) belajar sebagai

  

53

hasil, (c) belajar sebagai fungsi.

  Pertama, Belajar dipandang sebagai proses, dalam konteks ini

  siswa/individu mengalami berbagai pengalaman secara sadar dan disengaja dalam bentuk interaksinya dengan lingkungan-lingkungan sekitarnya, baik itu berupa lingkungan sosial seperti guru, teman-teman sekelas, maupun dengan lingkungan nonsosial seperti gedung sekolah, tempat tinggal, dan seterusnya. Mengenai hal ini, Hamzah dan Nurdin, mengidentifikasi dua poin penting yang terjadi dalam proses belajar, yaitu; (a) belajar adalah suatu proses mental dan emosional yang terjadi secara sadar, dan (b) belajar adalah mengalami, dalam hal ini terjadi interaksi antara individu dengan lingkungannya, baik lingkungan

  54 fisik/psikis maupun lingkungan sosial.

  Mengalami berarti menghayati suatu peristiwa yang akan menimbulkan respons-respons tertentu dari pihak individu. Pengalaman yang berupa pelajaran akan menghasilkan perubahan (pematangan, pendewasaan) pola tingkah laku, perubahan di dalam sistem nilai, di dalam perbendaharaan konsep-konsep (pengertian) serta di dalam

  55 kekayaan informasi.

  Terkait pengalaman belajar individu, Oemar Hamalik membagi dua jenis pengalaman yang diperoleh individu dari hasil interaksinya dengan lingkungan, yaitu;

  1) Pengalaman langsung partisipasi sesungguhnya, berbuat, dan 53 sebagainya.

  Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2009, hlm. 45. 54 Hamzah B.Uno dan Nurdin Mohamad, Op.Cit, hlm. 142.

  2) Pengalaman pengganti yang terbagi ke dalam lima objek, yaitu;

  (a) melalui observasi langsung, seperti melihat kejadian-kejadian aktual, menangani objek-objek , dan benda-benda yang konkret; (b) melalui gambar, seperti melihat gambar hidup, melihat fotografi; (c) melalui grafis; (d) melalui kata-kata, seperti membaca, mendengar, dan (e) melalui simbol-simbol, misal

  56 simbol-simbol teknis, terminologi, rumus-rumus, dan indeks.

  Belajar dalam hal ini dipandang sebagai suatu proses untuk mencapai tujuan, bukan suatu tujuan itu sendiri. Terjadi secara sadar dan bersifat individual, tidak diwakilkan kepada orang lain.

  Kedua , Belajar dipandang sebagai hasil merupakan suatu

  pandangan yang lebih menekankan pada hasil yang dicapai oleh individu dari proses belajar. Sumadi Suryabrata menarik tiga unsur pokok berkaitan dengan hasil belajar ini, yaitu; (a) belajar itu menimbulkan perubahan tingkah laku, (b) perubahan itu pada pokoknya adalah sesuatu

  57 yang baru, (c) perubahan itu terjadi karena usaha.

  Ketiga unsur tersebut masing-masing terikat satu sama lain yang pada esensinya menekankan pada terjadinya perubahan. Perubahan itu terjadi karena adanya usaha dan merupakan sesuatu yang baru.

  Moh. Surya seperti yang dikutip oleh Hamdani, mengemukakan ada delapan ciri-ciri perubahan perilaku yang terjadi pada diri individu dalam proses belajar, yaitu; (a) perubahan yang disadari dan disengaja (intensional), (b) perubahan yang berkesinambungan (kontinu), (c) perubahan yang fungsional, (d) perubahan yang bersifat positif, (d) perubahan yang bersifat aktif, (e) perubahan yang bersifat permanen, (f) perubahan yang bertujuan dan terarah, (g) perubahan perilaku secara

  58 56 keseluruhan. 57 Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, hlm. 29-30.

  Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 232.

  Namun demikian, menurut Muhibbin di antara ciri-ciri perubahan khas yang menjadi karakteristik perilaku belajar yang terpenting adalah; (a) Perubahan intensional, yaitu perubahan yang terjadi dalam proses belajar berkat pengalaman atau praktek yang dilakukan dengan sengaja dan disadari, atau dengan kata lain bukan kebetulan. Individu menyadari akan adanya perubahan yang dialami atau sekurang-kurangnya merasakan adanya perubahan dalam dirinya, seperti penambahan pengetahuan, kebiasaan, sikap dan pandangan sesuatu, keterampilan dan seterusnya. Sehubungan dengan itu, perubahan yang diakibatkan mabuk, gila, dan lelah tidak termasuk dalam karakteristik belajar, karena individu yang bersangkutan tidak menyadari atau tidak menghendaki keberadaannya. Di samping perilaku belajar itu menghendaki perubahan yang disadari, juga diarahkan pada tercapainya perubahan tersebut. Misal, ketika seseorang belajar bahasa Inggris, maka sebelumnya ia telah menetapkan tujuan yang ingin dicapainya. Berkenaan dengan hal ini, perlu diperhatikan juga bahwa tidak semua perubahan dari hasil proses belajar dilakukan secara sengaja atau dipelajari dengan sengaja. Sebab tidak semua perubahan yang terjadi karena dipelajari lebih dulu, bisa juga disebabkan oleh suatu adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat tanpa harus mempelajarinya lebih dulu. (b) Perubahan positif dan aktif, yaitu perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat positif dan aktif. Positif artinya baik, bermanfaat, serta sesuai dengan harapan. Hal ini juga bermakna bahwa perubahan tersebut senantiasa merupakan penambahan, yakni diperolehnya sesuatu yang baru (seperti pemahaman dan keterampilan baru) yang lebih baik daripada apa yang telah ada sebelumnya. Adapun perubahan aktif artinya tidak terjadi dengan sendirinya seperti karena proses kematangan (misalnya bayi yang bisa merangkak setelah bisa duduk), tetapi karena usaha individu itu sendiri. Dan (c) Perubahan efektif dan fungsional, yaitu perubahan yang timbul karena proses belajar bersifat efektif, yakni berhasil guna. Artinya, bagi individu. Selain itu, perubahan dalam proses belajar bersifat fungsional dalam arti bahwa ia relatif menetap dan setiap saat apabila dibutuhkan, perubahan tersebut dapat direproduksi dan dimanfaatkan. Perubahan fungsional dapat diharapkan memberi manfaat yang luas. Selain itu, perubahan yang efektif dan fungsional biasanya bersifat dinamis dan mendorong timbulnya perubahan-perubahan positif

  59 lainnya.

  Lain halnya dengan ciri perubahan yang diuraikan di atas. Moh. Rosyid merumuskan ciri-ciri perubahan belajar menjadi enam, yaitu; (a)

  Perubahan alamiah , yaitu perubahan yang terjadi setelah individu

Dokumen yang terkait

ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN HAMKA TENTANG KONSEP ETIKA GURU DAN MURID

9 85 38

PEMIKIRAN PENDIDIKAN MENURUT SYAIKH AZ ZARNUJI (Studi Analisis Kitab Ta’limul Muta’alim) SKRIPSI

1 1 127

STUDI ANALISIS PEMIKIRAN SAYYID ABDURRAHMAN BA’ALAWI TENTANG PERNIKAHAN ANTARA SYARIFAH DENGAN NON SYARIF DALAM KITAB BUGHYAH AL-MUSTARSYDIN - STAIN Kudus Repository

0 2 26

STUDI ANALISIS PEMIKIRAN SAYYID ABDURRAHMAN BA’ALAWI TENTANG PERNIKAHAN ANTARA SYARIFAH DENGAN NON SYARIF DALAM KITAB BUGHYAH AL-MUSTARSYDIN - STAIN Kudus Repository

0 0 16

KONSEP ETIKA PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM (TELAAH PEMIKIRAN IMAM NAWAWI DALAM KITAB AT-TIBYAN FI ADABI HAMALATIL QUR’AN) - STAIN Kudus Repository

0 0 27

KONSEP ETIKA PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM (TELAAH PEMIKIRAN IMAM NAWAWI DALAM KITAB AT-TIBYAN FI ADABI HAMALATIL QUR’AN) - STAIN Kudus Repository

0 1 39

PEMIKIRAN IBN JAMA’AH TENTANG PEDOMAN ETIKA PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM (KAJIAN TERHADAP KITAB TADZKIRAT AL-SAMI’ WA AL-MUTAKALLIM FI ADAB AL-‘ALIM WA AL-MUTA’ALLIM) - STAIN Kudus Repository

0 0 103

STUDI ANALISIS TENTANG ETIKA BELAJAR PERSPEKTIF KH. M. HASYIM ASY’ARI DALAM KITAB ADABUL ‘ALIM WAL MUTA’ALLIM - STAIN Kudus Repository

0 3 94

PEMIKIRAN KIAI ṢĀLIḤ DARAT TENTANG ETIKA BELAJAR (Studi Analisis Dalam Kitab Syarḥ Minhāj Al-Atqiyā` Ilā Ma’rifat Hidāyat AlAżkiyā Ilā Ṭarīq Al-Awliyā`) - STAIN Kudus Repository

0 0 11

PEMIKIRAN KIAI ṢĀLIḤ DARAT TENTANG ETIKA BELAJAR (Studi Analisis Dalam Kitab Syarḥ Minhāj Al-Atqiyā` Ilā Ma’rifat Hidāyat AlAżkiyā Ilā Ṭarīq Al-Awliyā`) - STAIN Kudus Repository

0 0 67